Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rasulullah SAW. bersabda, Bahwa sebaik-baiknya generasi
adalah generasi pada zamanku kemudian genersi sesudahnya
lalu generasi sesudahnya.... Generasi dimana Nabi SAW. diutus
adalah generasi para sahabat, mereka adalah sebaik-baiknya
generasi. Baik dari aspek keimanan mereka sangat memegang
teguh ajaran Islam dan mencintai Allah SAW. dan Rasul-Nya
melebihi dari segalanya. Hal ini bisa dilihat dari kisah para
sahabat dalam mempertahankan aqidah mereka, meskipun
harus disiksa dan didera oleh berbagai siksaan dan cacian dari
kafir quraisy. Mereka adalah generasi yang patut kita jadikan
teladan, baik dari kuatnya keimanan, pengaplikasiannya dalam
kehidupan sehari-hari dan usaha para sahabat untuk tidak
menjadi shaleh sendiri saja tapi merekalah yang menyebarkan
ajaran islam (aqidah, akhlak dan syariah) kepada yang lainnya.1
Terlepas dari segala keutamaan yang dimiliki oleh para
sahabat. Para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan
segala hal yang sampai pada kita dari sahabat baik itu berupa
perkataan, perbuatan maupun fatwa sebagai salah satu sumber
pengambilan hukum dalam Islam.
Para ulama mengkategorikan Qaul Shahabi sebagai salah
satu sumber pengambilan hukum yang masih dipertentangkan
keabsahannya. Berbeda dengan Al-Quran, Sunnah, Ijma dan
1 http://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/22/hujjiyah-qaul-asshahabi-dalam-penetapan-hukum-islam/. Diakses tanggal 4 Januari 2012.

Qiyas yang jumhur ulama telah menyepakatinya sebagai sumber


pengambilan hukum dalam Islam. Jumhur ulama disini adalah
empat Imam mazhab yang mutabar. Oleh karena itu untuk
mengetahui pendapat dari para ulama yang berbeda pendapat
terhadap keabsahan Qaul Shahabi, kami mencoba memberi
sedikit

gambaran

mengenai

hal

ini

dalam

makalah

yang

sederhana ini.

B. TUJUAN
1. Memberikan pemahaman secara objektif mengenai Qaul
Shahabi.
2. Memeberikan penjelasan secara utuh mengenai Qaul
Shahabi.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN QAUL SHAHABI
Qaul Shahabi, yaitu:



:
Yang dimaksud dengan Qaul Shahabi (Mazdhab Shahabi) adalah
pendapat- pendapat para shahabat dalam masalah ijtihad.2
Selain itu juga terdapat beberapa definisi mengenai Qaul
Shahabi, di antaranya:
1. Perkataan seorang sahabat yang tersebar pada sahabatsahabat yang lainnya tanpa diketahui ada sahabat lain
yang menentangnya.
2. Fatwa seorang sahabat atau madzhab fiqihnya dalam
permasalahan ijtihadiyah.
3. Madzhab sahabat dalam

sebuah

permasalahan

yang

termasuk objek ijtihad.


4. Dr. Musthafa Daib Al-Bugha, mengistilahkan Qaul
Shahabi dengan Madzhab Shahabi, yaitu segala hal yang
sampai kepada kita dari salah seorang sahabat Rasul baik
berupa fatwanya atau ketetapannya dalam permasalahan
yang berkaitan dengan syariat, yang tidak terdapat dalam
nash Al-Quran dan As-Sunnah dan belum ada Ijma dalam
permasalahan tersebut.

2 http://www.scribd.com/doc/51198325/91/A-QAUL-SHAHABI. diakses
tanggal 4 Januari 2012.
3 Opcit, hal 1.

Dari beberapa defini Qaul Shahabi di atas, maka dapat


kami simpulkan bahwa Qaul Shahabi adalah hal-hal yang sampai
kepada kita dari sahabat baik itu berupa fatwa atau
ketetapannya, perkataan dan perbuatannya dalam sebuah
permasalahan yang menjadi objek ijtihad yang belum ada nash
yang sharih baik dari Al-Quran atau As-Sunnah yang
menjelaskan hukum permasalahan tersebut.

B. MACAM-MACAM QAUL SHAHABI


Para ulama membagi Qaul Shahabi ke dalam beberapa
macam, di antaranya:

1. Menurut Dr. Abdul karim Zaedan pembagian Qaul Shahabi


ada beberapa macam:
a. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak
termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama
semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa
dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima dari Nabi
SAW. sangat besar. Sehingga perkataan sahabat dalam
hal ini bisa termasuk dalam kategori As-Sunnah,
meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf.
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam As-Sarkhasi dan
beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam
hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad, seperti :
perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah
sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit
haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling
banyak adalah sepuluh hari. Namun contoh-contoh
tesebut ditolak oleh beberapa ulama As-Syafiiyah,
bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahanpermaslahan yang bisa dijadikan objek ijtihad dan pada

kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita


berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masingmasing.
b. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang
lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah
hujjah karena masuk dalam kategori ijma.
c. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat
yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang
mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun
bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma sukuti
bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma sukuti bisa
dijadikan hujjah.
d. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau
ijtihadnya sendiri. Qaul Shahabi yang seperti inilah yang
menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai
keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam. Dr.
Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan
bahwa perkataan yang berasal dari ijtihad seorang
sahabat yang tidak diketahui tersebarnya pendapat
tersebut di antara para sahabat lainnya juga tidak
diketahui pula ada sahabat lain yang menentangnya
dan perkataan tersebut tidak bertentangan dengan AlQuran dan As-Sunnah. Pada perkataan sahabat seperti
ini para ulama berbeda pendapat mengenai statusnya.4
2. Menurut Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar ada
yang perlu ditambahkan beberapa poin mengenai macammacam Qaul Shahabi ini, di antaranya:
a. Perkataan
Khulafa
Ar-Rasyidin

dalam

sebuah

permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat untuk


menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam
4 Opcit, hal 1.

sebuah hadits, Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku


dan Sunnah para Khulafa Ar-Rasyidin setelahku.
b. Perkataan
seorang
sahabat
yang
berlandaskan
pemikirannya dan ditentang oleh sahabat yang lainnya.
Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa
perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah, akan
tetapi

sebagian

ulama

lainnya

dari

kalangan Ushuliyyin dan fuqaha mengharuskan untuk


mengambil perkataan satu sahabat.5
Beberapa Macam Qaul Shahabi yang Menjadi Perselisihan
Para Ulama
Setelah dijelaskan di atas bahwa perkataan sahabat
memiliki beberapa macam variasi, semua ulama sepakat bahwa
perkataan

sahabat

yang

diperselisihkan

keabsahannya

sebagai hujjah adalah :


1. Perkataan

sahabat

yang

berasal

dari

pendapat

dan

ijtihadnya sendiri.
2. Perkataan sahabat terhadap permasalahan yang bisa
dijadikan objek ijtihad.
3. Perkataan sahabat yang tidak tersebar di antara para
sahabat

yang

lainnya

dan

tidak

ada

sahabat

yang

mengingkari pendapat tersebut.


4. Perkataan sahabat terhadap suatu permasalahan yang
tidak ada nash yang sharih baik Al-Quran ataupun AsSunnah.
5. Perkataan

sahabat

yang

sampai

kepada

generasi

sesudahnya, seperti tabiin dan berlanjut hingga ke zaman


sekarang.

5 Opcit, hal 1.

6. Adapun perkataan sahabat selain dari keadaan yang sudah


disebutkan

di

atas

dapat

dijadikan

hujjah dalam

pengambilan hukum Islam.6

C. KEDUDUKAN QAUL SHAHABI


Ada banyak pendapat mengenai kedudukan Qaul Shahabi,
diantaranya:
1. Para ulama ushul sepakat mengatakan bahwa pendapt
yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara, baik
pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hokum.
2. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, Qaul Qadim SyafiI dan
pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hanbal,
menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dilakukan
melalui ijtihad dapat dijadikan hujjah, dan apabila terjadi
perbedaan dengan Qiyas, maka pendapat sahabat yang
didahulukan. Alasannya terdapat dalam QS. Al-Imran : 10.













...

Artinya : kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk

manusia, menyeru kepada yang maruf dan mencegah dari


yang mungkar.
3. Pendapat Jumhur Ulama dan Qaul Jadid dari Imam Syafii,
yaitu :

Pendapat sahabat secara mutlak tidak dapat dijadikan


hujjah.
4. Menurut kebanyakan Ulama Hanafiyah, Imam Malik dan
Qaul Qadim Imam Syafii, yaitu :

6 Opcit, hal 1.

Pendapat sahabat menjadi hujjah syariyah didahulukan


daripada Qiyas.
5. Pendapat sebagian besar ulama lain :



Pendapat sahabat menjadi hujjah apabila didukung oleh
Qiyas.
Pengaruh

Perbedaan

Pendapat

Para

Ulama

Mengenai Qaul Shahabi


Perbedaan pendapat para ulama mengenai hujjah Qaul
Shahabi sebagai salah satu masdar tasyri,menyebabkan
perbedaan pula dalam menghukumi suatu permasalahan yang
tidak ada nash sharih yang menjelaskannya. Berikut ini beberapa
contoh dari sekian banyak contoh yang ada, yang dipandang erat
kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
1. Hukum sujud Tilawah, apakah wajib atau sunnah?
Imam Malik, As-Syafii dan Ahmad berpendapat bahwa
hukumnya adalah sunnah dan tidak mencapai wajib.
Imam Malik dan Imam Ahmad berdalilkan pada Qaul
Shahabi, yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitabnya AlMuwatha dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya, bahwa Umar bin
Khattab membaca ayat sajdah ketika di atas mimbar pada hari
jumat, maka Umar bersujud dan sujudlah semua yang hadir
mengikuti Umar. Kemudian Umar membacanya pada hari jumat
yang lain, maka para sahabat lain bersiap-siap untuk bersujud,
7 Dr. H. Nazar Bakri, Fiqh & Ushul Fiqh, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2003.

tetapi Umar berkata, Sesungguhnya Allah tidak mewajibkannya


kecuali jika kita mau. Umar tidak bersujud dan melarang yang
lainnya untuk bersujud.
Adapun Imam As-Syafii berdalilkan bahwa sujud dilakukan
untuk shalat. Adapun perintah untuk shalat telah dijelaskan
secara global oleh Al-Quran dan telah diterangkan oleh AsSunnah secara terperinci. Maka hal ini menunjukkan bahwa
shalat yang diwajibkan adalah shalat yang lima, sedangkan
selainnya tidaklah wajib.
Kemudian beliau berdalilkan hadits Nabi SAW. yang
berbunyi, Bahwa Rasulullah SAW. membaca ayat dalam surat
an-najm maka beliau bersujud, lalu bersujud pulalah yang
lainnya kecuali dua orang.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum sujud
tilawah adalah wajib. Imam Abu hanifah berdalilkan dengan
beberapa hadits Nabi SAW., di antaranya:

Rasulullah SAW. bersabda, Sujud tilawah bagi siapa yang

mendengarnya dan bagi siapa yang membacanya.


Dari Abu Hurairah ra. dalam Kitab Al-Iman yang
dimarfukan kepada Nabi SAW., Apabila Ibnu Adam
membaca ayat sajdah maka syaitan akan menyendiri dan
menangis sambil berkata, Celakalah! Telah diperintah Ibnu
Adam untuk bersujud maka dia bersujud dan baginya
surga, sedangkan aku diperintah untuk bersujud tapi

enggan, maka bagiku neraka. ( HR. Muslim)


2. Hukum shalat jumat bagi yang shalat id
Imam As-Syafii berpendapat bahwa kewajiban shalat
jumat bagi ahli balad adapun ahli qura dirukhsah. Imam As-

Syafii berdalilkan sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam


malik dari Ibnu Syihab dari Abi Ubaid bekas hamba sahaya Ibnu
Azhar, dia berkata, Saya melakukan shalat id bersama Utsman
Bin Affan maka utsman shalat lalu berkhutbah dab berkata,
Sesungguhnya telah berkumpul pada hari ini dua id, maka
barang siapa yang hendak menunggu dari ahli aliyah maka
tunggulah dan barang siapa yang hendak pulang maka telah
diizinkan baginya.
Imam Ahmad berpendapat bahwa shalat jumat tidak usah
dikerjakan bagi mereka yang melaksanakan shalat id baik ahli
balad atau ahli qura kecuali Imam. Adapun Imam ahmad
berdalilkan apa yang diriwayatkan Iyas bin Abi Ramlah AsySyami, dia berkata, Saya melihat Muawiyah bertanya kepada
Zaid bin Arqam, Apakah engkau pernah mendapatkan dua id
bersatu pada satu hari bersama Rasulullah SAW.?, maka Zaid
berkata, Iya. Maka bagaimana hukumnya? Zaid menjawab,
Shalat Id kemudian dirukhsah pada shalat jumat. Lalu Zaid
berkata, Barang siapa yang hendak shalat (baca: shalat jumat)
maka shalatlah. ( HR. Abu Daud) dan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah saw bersabda, Telah berkumpul pada hari ini dua Id,
maka barang siapa yang ingin shalat jumat shalatlah, karena
sesungguhnya kami shalat jumat. ( HR. Abu Daud)
Adapun Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat
bahwa shalat jumat dan shalat Id wajib keduanya untuk
dilaksanakan. Abu Hanifah berdalilkan bahwa hukum
melaksanakan shalat jumat adalah wajib adapun shalat id maka
bagi siapa yang meninggalkannya berarti sesat dan bidah.
3. Hukum potong tangan bagi seorang pembantu

10

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum bagi seorang


pembantu yang mencuri harta tuannya tidak dipotong. Adapun
dalilnya apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik, beliau berkata,
Telah bercerita kepada kami dari Az-Zuhri dari As-Saib bin Yazid
bahwa Abdullah bin Amar bin Hadhrami datang kepada Umar bi
Khattab dengan seorang hamba, lalu dia berkata, Potong
tangnya karena dia telah mencuri. Umar bertanya, Apa yang
dicuri olehnya?, dia menjawab, Cermin istriku yang berharga
enam puluh dirham. Maka Umar berkata, Lepaskan saja karena
tidak ada potong tangan bagi pembantu yang mencuri hartamu
dan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Masud bahwa seseorang
datang kepadanya lalu berkata, Budak saya mencuri harta milik
budak saya yang lain, lalu Ibnu masud berkata, Tidak ada
potong tangan bagi harta (baca: budak) yang mencuri
harta(baca: budak).
Adapun Daud Adz-dzhahiri berpendapat bahwa potong
tangan tetap berlaku secara mutlak. Dengan berdalilkan Firman
Allah Swt., Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 5:38).
4. Status wanita yang ditinggal hilang suami
Imam malik dan Ahmad berpendapat bahwa wanita yang
ditinggal hilang suaminya hendaknya menunggu empat tahun,
kemudian menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Setelah itu baru diperbolehkan baginya untuk menikah lagi.
Adapun dalil yang dipegang adalah apa yang dikeluarkan
Said bin Mansur dan Ibnu Abi Syaibah dari sanad keduanya,

11

bahwa Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan menetapkan bagi
wanita yang ditinggal hilang oleh suaminya untuk menunggu
selama empat tahun, kemudian memanggil wali sang suami dan
memintanya untuk menceraikannya. Setelah itu sang wanita
menjalani iddahnya selama empat bulan sepuluh hari, setelah itu
dia boleh menikah lagi jika berkehendak.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagi
wanita yang ditinggal hilang suaminya hendaknya menunggu
seratus dua puluh tahun dari hari kelahirannya, apabila telah
mencapai seratus dua puluh tahun maka dihukumi bahwa
suaminya telah meninggal. Imam Abu Hanifah berpendapat pada
hadits yang diriwayatkan dari Mugirah bin Syubah mengenai
wanita yang ditinggal hilang suaminya, Nabi SAW. bersabda,
Sesungguhnya wanita tersebut tetap istrinya sehingga datang
kepadanya bukti yang pasti (tentang hilangnya sang suami).
Juga perkataan Ali bin Abi thalib bahwa ia berkata, Wanita yang
ditinggal hilang suaminya sedang diuji maka bersabarlah
sehingga jelas kematian suaminya atau thalak.
5. Status Pernikahan dalam masa Iddah
Imam Malik, Al-AuzaI dan Al-Laits berpendapat bahwa
mereka harus dipisahkan, dan wanita itu menjadi haram bagi
laki-laki tersebut selamanya.
Mereka berpendapat dengan perkataan Umar yang
memisahkan antara Thalhah Al-Asdiah dengan suaminya Rasyid
Ats-Tsaqafi ketika mereka menikah pada masa iddah dari
suaminya. Dan berkata, Setiap wanita yang menikah dalam
masa iddahnya, apabila suami yang menikahinya itu belum
menggaulinya maka harus dipisahkan keduanya. Kemudian sang

12

wanita menyempurnakan masa iddahnya. Lalu jika pada masa


iddah itu dia menikah lagi dengan yang lain dan sudah digauli
maka harus dipisahkan keduanya. Kemudian sang wanita
menyempurnakan masa iddah dari suami yang pertama lalu
dilanjutkan dengan menjalani masa iddah dari suami yang
kedua. Dan antara wanita tersebut dengan suaminya yang ketiga
tidak boleh bersatu selamanya.
Adapun pendapat yang kedua bahwa dipisahkan keduanya
dan sang wanita boleh mendapatkan maharnya. Dan apabila
telah habis masa iddahnya apabila sang wanita berkehandak
untuk menikahinya lagi maka tidak apa-apa. Sebagaimana
dijelaskan oleh Ali bin Abi Thalib.
Berkata Imam Al-Baihaqi dari As-Syaabi bahwa Umar bin
khattab datang kepada seorang wanita yang menikah pada masa
iddahnya, Umar mengambil maharnya lalu menyimpannya
dibaitulmal lalu memisahkan keduanya. Dan Umar berkata,
Tidak boleh berkumpul keduanya selama-lamanya. Ali bin Abi
Thalib berkata, Tidaklah seperti itu akan tetapi pisahkan
keduanya kemudian sang wanita menyempurnakan iddahnya lalu
melanjutkan iddah dari suami yang kedua dan ia boleh menerima
mahar. Kemudian As-Syaabi berkata, Maka Umar memuji Allah
dan berkata, Wahai manusia kembalikanlah segala hal kepada
As-Sunnah.8

8 Opcit, hal 1.

13

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas maka terdapat beberapa
kesimpulan penting yang terbagi kepada beberapa poin:
1. Bahwa tidak semua Qaul Shahabi yang diperselisihkan
keabsahannya sebagai hujjah di antara para ulama.
Tetapi Qaul Shahabi yang diperselisihkan adalah berupa
perkataan sahabat tentang suatu permasalahn ijtihadiayah
yang tidak tersebar di kalangan para sahabat yang lainnya
dan tidak ada nash sharih yang menjelaskan permasalahan
tersebut.
2. Apabila terdapat nash sharih yang menjelaskan hukum
tentang suatu permasalahan maka Qaul Shahabi yang ada
tentang permasalahan tersebut berfungsi sebagai penjelas
dan penafsir bagi nash tersebut.
3. Secara garis besar para ulama terbagi ke dalam dua
pendapat mengenai keabsahan Qaul Shahabi sebagai salah
satu masdar tasyri, yaitu ada yang menjadikannya
sebagai hujjah dan ada yang menolaknya sebagai hujjah.
4. Apabila Qaul Shahabi bertentangan dengan qiyas maka
didahulukan Qaul Shahabi dari pada qiyas, bagi yang
berpendapat bahwa Qaul Shahabi adalah hujjah ketika
bertentangan dengan qiyas.

14

5. Apabila Qaul Shahabi sejalan dengan qiyas maka Qaul


Shahabi sebagai penguat bagi qiyas tersebut.
6. Qaul Shahabi mengenai suatu permasalahan tidak berlaku
bagi para sahabat yang lain yang berijtihad pula. Adapun
bagi sahabat yang awwam maka terjadi perselisihan di
dalamnya.
7. Apabila terjadi perbedaan fatwa antara satu sahabat
dengan sahabat yang lainnya, maka diambil pendapat
salah satu darinya yang paling dekat kebenarannya
dengan Al-Quran, As-Sunah, ijma atau qiyas.
8. Apabila Qaul Shahabi berbeda dengan riwayatnya (yang
marfu) maka yang diambil adalah riwayatnya (yang
marfu).
9. Apabila salah seorang sahabat ruju dari perkataannya
terhadap suatu permasalahan maka perkataannnya tidak
bisa dijadikan hujjah. Sebagaimana yang terjadi pada
Ummar bin Khattab.

B. SARAN
Saran kepada para generasi Islam khususnya sahabat-sahabat
kami di STAIN teruntuk mahasiswa Tarbiyah jurusan bahasa
Inggris unit 3 semester 1, agar lebih memahami tentang Qaul
Shahabi tersebut, sehingga nantinya bisa menentukan
pemakaiannya dalam menetapkan hukum-hukum atau
menyelesaikan suatu masalah.

15

Anda mungkin juga menyukai