Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Satelit

Teknologi penerbangan antariksa sebenarnya merupakan "buah" dari era perang dingin
dan persaingan antara Amerika Serikat dengan Rusia yang saat itu masih bernama Uni Sovyet.
Teknologi roket yang merupakan dasar dari sistem penerbangan antariksa pada mulanya
dikembangkan untuk keperluan persenjataan. Bicara soal teknologi roket, kita tidak bisa lepas
dari nama Wehrner Von Braun, ilmuwan Jerman yang direkrut Hitler untuk mengembangkan
misil V2, sebuah peluru kendali dengan teknologi roket dalam masa Perang dunia II.
Saat perang usai, Von Braun hijrah ke AS dan membantu pengembangan teknologi roket
untuk kepentingan penerbangan antariksa di sana. Namun demikian, entah kenapa, cetak biru V2
kemudian jatuh ke tangan Rusia, dan digunakan oleh pihak rusia sebagai acuan untuk
mengembangkan roketnya sendiri. Kedua negara adidaya itu kemudian terlibat dalam persaingan
sengit untuk mengeksplorasi ruang angkasa.
Rusia unggul lebih dahulu dengan keberhasilannya meluncurkan satelit buatan yang
pertama di dunia dengan nama Sputnik I ( yang artinya rekan pelancong 1 ) pada 4 Oktober 1957
dan memulai Program Sputnik Rusia, dengan Sergei Korolev sebagai kepala disain dan Kerim
Kerimov sebagai asistentnya. Peluncuran ini memicu lomba ruang angkasa (space race) antara
Soviet dan Amerika.
Sputnik 1 membantuk mengidentifikasi kepadatan lapisan atas atmosfer dengan jalan
mengukur perubahan orbitnya dan memberikan data dari distribusi signal radio pada lapisan
ionosphere. Karena badan satelit ini diisi dengan nitrogen bertekanan tinggi, Sputnik 1 juga
memberi kesempatan pertama dalam pendeteksian meteorit, karena hilangnya tekanan dalam
disebabkan oleh penetrasi meteroid bisa dilihat melalui data suhu yang dikirimkannya ke bumi.
Sputnik 2 diluncurkan pada tanggal 3 November 1957 dan membawa awak mahluk hidup
pertama ke dalam orbit, seekor anjing bernama Laika.
Pada bulan Mei, 1946, Project Rand mengeluarkan desain preliminari untuk experimen
wahana angkasa untuk mengedari dunia, yang menyatakan bahwa, "sebuah kendaraan satelit
yang berisi instrumentasi yang tepat bisa diharapkan menjadi alat ilmu yang canggih untuk abad
ke duapuluh". Amerika sudah memikirkan untuk meluncurkan satelit pengorbit sejak 1946
dibawah Kantor Aeronotis angkatan Laut Amerika (Bureau of Aeronautics of the United States
Navy). Project RAND milik Angkatan Udara Amerika akhirnya mengeluarkan laporan diatas,
tetapi tidak mengutarakan bahwa satelit memiliki potensi sebagai senjata militer; tetapi, mereka
menganggapnya sebagai alat ilmu, politik, dan propaganda. Pada tahun 1954, Sekertari
Pertahanan Amerika menyatakan, "Saya tidak mengetahui adanya satupun program satelit
Amerika."
Pada tanggal 29 Juli 1955, Gedung Putih mencanangkan bahwa Amerika Serikat akan
mau meluncurkan satelit pada musim semi 1958. Hal ini kemudian diketahui sebagai Project
Vanguard. Pada tanggal 31 July, Soviets mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan satelit
pada musim gugur 1957.

Mengikuti tekanan dari American Rocket Society (Masyarakat Roket America), the
National Science Foundation (Yayasan Sains national), and the International Geophysical Year,
interest angkatan bersenjata meningkat dan pada awal 1955 Angkatan Udara Amerika dan
Angkatan Laut mengerjai Project Orbiter, yang menggunakan wahana Jupiter C untuk
meluncurkan satelit. Proyek ini berlangsung sukses, dan Explorer 1 menjadi satelit Amerika
pertama pada tanggal 31 januari 1958.
Pada 12 April 1961, Rusia kembali memimpin dengan meluncurkan manusia pertama ke
angkasa luar, Yuri Alekseyivich Gagarin, seorang mayor Agkatan Udara Rusia yang meluncur
dengan kapsul Vostok I. Kurang dari sebulan kemudian, AS yang "kebakaran jenggot" karena
terus didahului Rusia meluncurkan astronaut pertamanya, Alan B Shepard dengan kapsul
Mercury 7.
Peluncuran ini dilakukan secara terburu-buru dengan teknologi yang belum "matang"
sehingga Shepard hanya mampu mengangkasa selama 15 menit dengan ketinggian maksimal 184
km, kalah jauh dengan Gagarin yang mencatat waktu 108 menit dan ketinggian maksimal 301,4
km dalam sekali orbit.
Misi Shepard sendiri sebenarnya hanyalah penerbangan naik-turun dan tidak sampai
mengorbit Bumi. Wajar kalau Rusia sempat mengejek misi ini sebagai "penerbangan kutu
loncat". AS baru berhasil mengirimkan pesawat pengorbit pada 20 Februari 1962, ketika kapsul
Friendship 7 yang diawaki oleh Letkol John Herschel Glenn berhasil melakukan 3 kali orbit
dalam penerbangan selama 4 jam 56 menit.
Prestasi ini masih kalah jauh dengan kemajuan yang dicapai Rusia pada 6 bulan
sebelumnya, ketika Mayor German Stephanovich Titov berhasil mengorbit sebanyak 17 kali
dalam penerbangan selama 25 jam 18 menit dalam kapsul Vostok II.
Bulan menjadi sasaran berikutnya dari kedua negara yang tengah bersaing itu. Rusia lagilagi mendahului dengan mengirim wahana tak berawak Lunik II pada 14 September 1959.
Wahana ini tercatat sebagai wahana buatan manusia pertama yang mendarat di permukaan bulan.
Sayangnya, Lunik II mendarat secara keras (hard landing), dengan akibat seluruh peralatan yang
dibawanya rusak sehingga tidak mampu mengirimkan data apapun ke Bumi.

Pada bulan Juni 1961, tiga setengah tahun setelah meluncurnya Sputnik 1, Angkatan Udara
Amerika menggunakan berbagai fasilitas dari Jaringan Mata Angkasa Amerika (the United States
Space Surveillance Network) untuk mengkatalogkan sejumlah 115 satelit yang mengorbit bumi.
Rusia baru berhasil mendaratkan wahana yang mampu melakukan pendaratan Lunak (soft
landing) pada Februari 1966 melalui wahana Lunik IX.
Bagaimana dengan AS? Walaupun pada awalnya sempat tertinggal, AS berhasil
mengirimkan wahana untuk melakukan pendaratan lunak pada 1966. Setahun kemudian, sebuah
wahana AS lainnya berhasil mengirimkan gambar TV pertama dari permukaan bulan.

Puncaknya terjadi pada 17 Juli 1969, ketika Neil Armstrong dan Edwin Aldrin berhasil
mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai manusia pertama yang menginjak permukaan bulan
melalui misi Apollo-11.

Misi ini dilanjutkan dengan 5 pendaratan lainnya, masing-masing Apollo-12 (November 1969),
Apollo-14 (Februari 1971), Apollo-15 (Agustus 1971), Apollo-16 (April 1972), dan terakhir,
Apollo-17 (Desember 1972). Misi Apollo juga pernah mencatat kegagalan, tepatnya menimpa
misi Apollo-13 yang mengalami kecelakaan (ledakan pada salah satu modulnya). Lewat tindakan
pertolongan yang legendaris, para awaknya dapat kembali dengan selamat ke Bumi walaupun
gagal menjejak ke permukaan Bulan.

Sementara itu, Rusia tercatat pernah mengirimkan modul Lunkhod I pada 17 November 1970.
Modul ini berupa robot yang dikendalikan dari Bumi. Namun demikian, sesudahnya program
antariksa Rusia di Bulan tidak lagi berlanjut. Begitu pula dengan AS. Setelah berakhirnya misi
Apollo-17, AS tidak lagi mengirimkan manusia ke Bulan.

Era Ulang Alik


Penerbangan berawak ke antariksa selalu menyedot dana yang tidak sedikit. Sebelum era
pesawat ulang-alik, seluruh komponen wahana antariksa bersifat sekali pakai. Akibatnya,
mengirim misi berawak sama halnya dengan membuat wahana baru. Selain boros biaya, cara ini
juga riskan karena apabila terjadi masalah (baca: kecelakaan) dalam misi berawak di ruang
angkasa, mengirim misi untuk melakukan pertolongan adalah tindakan yang hampir mustahil.

Musibah yang menimpa misi Apollo-13 memberikan pelajaran bahwa misi berawak ke antariksa
tidak lain adalah sebuah petualangan yang penuh resiko. Atas pertimbangan itulah, maka sejak
akhir dasawarsa 1970-an, NASA mulai mengembangkan pesawat ulang-alik. Misi ulang-alik
dinilai lebih "murah" karena hampir seluruh komponennya dapat dipergunakan kembali pada
misi-misi sesudahnya. AS kembali mencatat sejarah dengan keberhasilannya meluncurkan
pesawat ulang-alik pertamanya, Columbia, pada bulan Juni 1981.

Dengan digunakannya teknologi ulang-alik, terbuka kesempatan untuk meluncurkan misi


berawak dengan frekuensi yang lebih sering dengan pembiayaan yang lebih kecil. Bahkan saat
peluncuran perdana Columbia, pihak NASA (Badan luar angkasa AS) sempat mematok target
untuk meluncurkan setidaknya satu misi berawak tiap minggu.

Namun, dalam kenyataannya target itu tidak pernah tercapai. Misi ulang-alik sendiri mulai
dipertanyakan efektifitas dan efisiensinya mengingat dana yang diserap ternyata tidak jauh
berbeda dengan pada era roket-sekali-pakai yang sudah ditinggalkan NASA. Nahas yang
menimpa pesawat ulang-alik Challenger yang meledak saat peluncuran (28 Februari 1986) dan
menewaskan ketujuh awaknya memang sempat membuat NASA merestrukturisasi kembali
program ulang-aliknya, khususnya dalam persoalan keamanan.

Namun demikian, teknologi ulang-alik sendiri tidak banyak berubah, bahkan selama lebih dari
20 tahun sejak pertama kali digunakan. Puncaknya terjadi pada peristiwa kecelakaan yang
menimpa Columbia, 1 Februari 2003 lampau, ketika pesawat tersebut meledak di udara sesaat
setelah memasuki atmosfir Bumi dalam proses pendaratan. Peristiwa yang menewaskan tujuh
awak tersebut kembali membuka perdebatan mengenai keamanan serta kepentingan misi ulangalik.

Buntut dari kecelakaan ini adalah dibekukannya program luar angkasa AS sambil mengkaji
kembali berbagai faktor dalam penerbangan ulang-alik, termasuk kemungkinan digunakannya
teknologi yang sama sekali baru, dengan efisiensi dan tingkat keamanan yang lebih tinggi. Ada
beberapa alternatif pengganti pesawat ulang-alik yang saat ini sedang dikembangkan, walaupun
masih belum jelas teknologi mana yang kelak akan dipilih untuk menggantikan model
peluncuran pesawat ulang-alik.

Sepeninggal Challenger dan Columbia, AS masih memiliki tiga pesawat ulang-alik lain, yaitu
Discovery, Atlantis, dan Endeavour, ditambah dengan satu prototipe yang tidak pernah
mengudara, Enterprise, yang kini menghuni museum Smithsonian.

Sementara itu, dalam megejar ketertinggalannya dari AS, Rusia tercatat juga sempat
mengembangkan pesawat ulang-aliknya sendiri yang diberi nama Buran, dari bahasa setempat
yang berarti Badai Salju. Tahun 1988, Buran sempat diuji-coba dalam sebuah penerbangan tanpa
awak. Sayangnya, krisis politik maupun ekonomi yang melanda Uni Sovyet sesaat sebelum
bubar membuat proyek Buran tersendat, dan bahkan terhenti sama sekali sebelum sempat
berkembang.

Pecahnya Uni Sovyet akhirnya juga membawa malapetaka bagi program antariksa Rusia.
Pangkalan peluncuran Rusia yang berada di Tyuratam (dikenal sebagai kosmodrom Baikonur)
kini telah masuk wilayah Kazakhstan, sebuah negara kecil yang secara ekonomi tidak begitu
makmur. Tentu saja pemerintah Kazakhstan tidak ingin membiarkan begitu saja sebagian
teritorinya dipakai secara gratis oleh negara "asing" untuk kepentingannya sendiri. Pendeknya,
pemerintah Kazakhstan menuntut pihak Rusia untuk membayar semacam ongkos sewa untuk

dapat terus menggunakan pangkalan tersebut, hal mana cukup memusingkan bagi pihak Rusia
yang perekonomiannya juga sedang sekarat dibelit "krismon".

Walhasil, pasca bubarnya Sovyet, program rang angkasa Rusia sempat tersendat selama beberapa
waktu. Walaupun terkesan "ala kadarnya", Rusia masih terus melanjutkan program antariksa
mereka dengan memanfaatkan stasiun luar angkasa Mir. Sayangnya, pembiayaan yang tersendatsendat, ditambah lagi dengan kondisi Mir yang memang sudah uzur akhirnya membuat otoritas
Rusia terpaksa memutuskan untuk mengakhiri riwayat stasiun kebanggaan mereka itu pada bulan
April 2001. Anggaran yang "cekak" pula yang menyebabkan Rusia "kreatif" mencari cara,
termasuk yang tidak biasa, untuk membiayai program luar angkasanya. Dengan membayar biaya
sekitar US$ 20 juta, siapa saja bisa mengikuti penerbangan antariksa Rusia. Dengan cara ini
pula, Dennis Tito, seorang milyarder asal AS, akhirnya bisa tercatat sebagai turis antariksa yang
pertama dalam sejarah.

Belakangan, Rusia berniat menjadikan program "turis antariksa" ini


sebagai salah satu cara untuk memperoleh dana segar guna melanjutkan program luar
angkasanya.

Ruang angkasa memang terlalu luas untuk dieksplorasi oleh satu atau dua negara tertentu saja.
Dewasa ini, pemanfaatan luar angkasa dilakukan atas dasar kerjasama, bukan lagi persaingan
seperti pada awalnya. Kini, AS dan Rusia, bersama-sama dengan negara-negara maju lainnya
bahu-membahu mengembangkan Stasiun Luar Angkasa Internasional (International Space
Station) yang diharapkan kelak menjadi pusat kegiatan eksplorasi antariksa secara lintas negara.

Sementara itu, teknologi roket juga tidak lagi merupakan monopoli AS atau Rusia. Tercatat
negara-negara seperti Jepang, India, China, dan Uni Eropa, juga telah berhasil mengembangkan
teknologi roketnya sendiri. Keberhasilan China dalam meluncurkan misi berawak ke antariksa
kiranya telah menorehkan sejarah baru dalam dunia penerbangan antariksa.

Satelit buatan manusia terbesar pada saat ini yang mengorbit bumi adalah Station Angkasa
Interasional (International Space Station).
Kelebihan Media Satelite, yaitu :
1. Koneksi dimana saja. Tidak perlu LOS (Line of Sigth) dan tidak ada masalah dengan jarak,
2. Jangkauan cakupannya yang luas baik nasional, regional maupun global,

3. Pembangunan infrastrukturnya relatif cepat untuk daerah yang luas, dibanding teresterial,
4. Komunikasi dapat dilakukan baik titik ke titik maupun dari satu titik ke banyak titik secara
broadcasting, multicasting,
5. Kecepatan bit akses tinggi dan bandwidth lebar,
6. VSAT bisa dipasang dimana saja selama masuk dalam jangkauan satelite,
7. Handal dan bisa digunakan untuk koneksi voice, video dan data, dengan menyediakan
bandwidth yang lebar,
8. Jika ke internet jaringan akses langsung ke ISP/ NAP router dengan keandalannya mendekati
100%,
9. Sangat baik untuk daerah yang kepadatan penduduknya jarang dan belum mempunyai
infrastuktur telekomunikasi.
Kekurangan Media Satelite, yaitu :
1. Besarnya throughput akan terbatasi karena delay propagasi satelite geostasioner. Kini berbagai
teknik protokol link sudah dikembangka sehingga dapat mengatasi problem tersebut.
Diantaranya penggunaan Forward Error Correction yang menjamin kecilnya kemungkinan
pengiriman ulang,
2. Waktu yang dibutuhkan dari satu titik di atas bumi ke titik lainnya melalui satelite adalah
sekitar 700 milisecond (latency), sementara leased line hanya butuh waktu sekitar 40 milisecond.
Hal ini disebabkan oleh jarak yang harus ditempuh oleh data yaitu dari bumi ke satelite dan
kembali ke bumi. Satelite geostasioner sendiri berketinggian sekitar 36.000 kilometer di atas
permukaan bumi.
3. Sangat sensitif cuaca dan Curah Hujan yang tinggi, Semakin tinggi frekuensi sinyal yang
dipakai maka akan semakin tinggi redaman karena curah hujan.
4. Rawan sambaran petir gledek.

Anda mungkin juga menyukai