Anda di halaman 1dari 2

2

(74) 15 Maret 2003

LIMA MENIT SAJA


Landasan IMAn untuk MENIngkatkan Taqwa SAmbil bekerJA

Bahaya Sikap Tergesa-gesa dalam


Mengafirkan Seorang Muslim
Pada hakikatnya mengafirkan seseorang adalah hak
Allah SWT semata, sehingga tidak diperbolehkan
mendahului ketentuan-Nya, kecuali dengan izin
Allah SWT dan berdasarkan pengetahuan, atau
berdasarkan nash-nash Alquran dan Sunnah Nabi
saw serta hujjah (dalil) yang pasti dan tidak
diragukan. Hal demikian karena, iman dan kafir
terdapat dalam hati, dan tidak ada seorang pun yang
mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang,
kecuali Allah SWT.
Tanda-tanda lahiriyah yang terdapat pada seseorang
tidak secara meyakinkan dan pasti menunjukkan
apa yang terdapat dalam hati, tetapi hanya bersifat
dugaan. Sementara, Islam melarang mengikuti
dugaan (prasangka) sebagaimana terdapat pada
banyak nash Alquran dan Sunnah, dan dilarang pula
hanya mencari -cari alasan atau pertanda atas suatu
tuduhan, terutama dalam persoalan-persoalan
akidah. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu
adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain...." (Al-Hujurat: 12).
Oleh karena itu, Rasulullah saw memperingatkan
Usamah bin Zaid yang membunuh seseorang yang
telah mengucapkan 'Laa Ilaha Illallahu' (Tiada
Tuhan selain Allah), sebagaimana pula Allah
memperingatkan para sahabat yang hendak pergi
berperang agar tidak membunuh seseorang yang
memberi salam kepada mereka berdasarkan
prasangka mereka bahwa ia mengucapkan salam
tersebut hanya kemunafikan dan ketakutannya,
maka Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang
yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di
jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang yang mengucapkan
'salam' kepadamu, 'kamu bukan seorang mukmin'
(lalu kamu membunuhnya), dengan maksud
mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di
sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah
keadaan
kamu
terdahulu,
lalu
Allah
menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu,maka

telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui


apa yang kamu kerjakan." (An-Nisaa': 94)
Dengan demikian, adalah suatu keharusan
mengetahui ketentuan hukum tentang seorang
muslim yang keluar dari Islam dan masuk dalam
kekafiran. Seorang muslim tidak dapat mengafirkan
seseorang, kecuali berdasarkan petunjuk yang jelas
seperti matahari di siang hari. Adapun bahaya dari
sikap mengafirkan seorang muslim tanpa petunjuk
yang jelas dapat menimbulkan beberapa akibat
buruk yang menimpanya, di antaranya:
1. Perlindungan terhadap darah dan hartanya
menjadi hilang, sehingga tidak ada hukum
qishash bagi pelakunya, tetapi hanya
diasingkan.
2. Memisahkan
dirinya
dengan
pasangan
(istrinya) dan memutuskan sebab warisan
antara dirinya dan pasangannya.
3. Kekuasaannya pada anak-anaknya menjadi
hilang, karena tidak ada kepercayaan mereka
kepadanya.
4. Kepemimpinannya atas kaum muslimin putus
dan harus dimusuhi.
5. Terjadi pembunuhan atas dirinya.
6. Tidak dimandikan dan tidak pula dikafani, serta
tidak dapat dikuburkan di komplek pemakaman
kaum muslimin.
Dan, akibat-akibat lain yang berbahaya yang
muncul akibat klaim pengafiran yang tergesa-gesa
tanpa berdasarkan bukti yang jelas. Jika buktibuktinya banyak dan jelas, maka hilanglah bahaya
pengafiran tersebut. Sebagaimana dituntutnya
bukti-bukti pengafiran dan tidak adanya halangan
untuk memutuskannya, maka diwajibkan pula
penelitian dan pembahasan yang mendalam
sebelum dikeluarkannya hukum pengafiran
tersebut, terutama terhadap orang-orang yang telah
menyatakan
keislaman
mereka
dengan
mengucapkan syahadat 'Laa Ilaha Illallahu
Muhammadur Rasuulullahi' (Tiada Tuhan selain
Allah, Muhammad utusan Allah).
Imam as-Syaukani ra mengatakan, "Memutuskan
kekafiran seseorang haruslah dengan keterbukaan
dan dengan ketenangan hati serta kedamaian jiwa,
sehingga tidak ada keputusan yang diterima dari
dugaan kemusyrikan, terutama jika tidak

Ummat Muslim yang dimuliakan Allah:


Setiap Muslim berkewajiban untuk berdakwah sesuai dengan kemampuannya. Kesempatan kita saat ini untuk turut
berdakwah adalah menyampaikan pesan ini kepada rekan, keluarga dan saudara kita yang belum mengetahuinya
.

2
(74) 15 Maret 2003

LIMA MENIT SAJA


Landasan IMAn untuk MENIngkatkan Taqwa SAmbil bekerJA

mengetahui adanya penyimpangan dari jalan Islam.


Juga tidak ada anggapan seseorang melakukan
perbuatan kafir selama ia tidak keluar dari Islam
dan menjadi kafir, dan tidak juga dapat ditentukan
seseorang itu kafir hanya berdasarkan ucapannya
yang menunjukkan ucapan seorang kafir, sedang ia
tidak meyakini maknanya.
Maka, tidak setiap perbuatan atau perkataan yang
menunjukkan kekafiran dapat menyebabkan
pelakunya menjadi kafir, jika ia seorang muslim
dan tidak mengetahui maksudnya. Akan tetapi, jika
maksudnya sudah jelas dan hujjah (dalil) telah
ditegakkan baginya dengan penjelasan bahwa
perbuatan demikian dapat menjadikannya kafir,
tetapi ia tetap melakukannya, maka ia adalah kafir.
Jika kenyataan itu belum jelas, maka tidak
diperbolehkan tergesa-gesa menuduhnya kafir.
Penjelasan di atas telah ditegaskan banyak nash
yang melarang keras mengafirkan seorang muslim
tanpa bukti yang jelas. Di antaranya sabda
Rasulullh saw, "Orang yang mengatakan kepada
saudaranya, 'Hai kafir', maka hal itu akan
menyebabkan salah seorang di antara keduanya
terbunuh." ( HR al-Bukhari). Sabda beliau yang
lain, "Orang yang memanggil seseorang kafir, atau
berkata, 'musuh Allah', sedangkan orang tersebut
tidak demikian, maka ia telah sesat." (HR Muslim)
Ibnu Hajar berkata, "Hadis tersebut dimaksudkan
untuk mencegah seorang muslim mengatakan
demikian kepada saudaranya sesama muslim...."
Disebutkan bahwa hadis ini menjelaskan seseorang
yang mengafirkan saudaranya, kekurangan, dan
dosanya dikembalikan kepadanya. Pengertian
demikian ini dapat diterima. Disebutkan pula
bahwa tindakan tersebut dikhawatirkan akan terus
berlanjut pada kekafiran, seperti dikatakan bahwa
perbuatan dosa adalah jalannya kekafiran, sehingga
dikhawatirkan orang yang melakukannya akan
mengalami suu'ul khatimah (meninggal dalam
keadaan yang jelek).
Dari semua pendapat tersebut, saya menegaskan
bahwa orang yang menyebut kafir saudaranya yang
tidak diketahuinya kecuali keislamannya dan tidak
ada keraguan dalam tuduhannya, maka ia adalah
kafir. Ia menjadi kafir karena mengafirkan
saudaranya. Jadi, pengertian hadis ini adalah bahwa

pengafiran tersebut kembali kepada orang yang


mengafirkan saudaranya, dan pendapat yang kuat
adalah pengafiran dan bukannya kekafiran, seakanakan ia mengafirkan dirinya, karena ia mengafirkan
seseorang yang seperti dirinya, dan siapa yang tidak
mengafirkannya selain orang kafir yang tidak
mempercayai kebenaran agama Islam.
Di dalam hadis-hadis seperti ini juga terdapat
peringatan keras untuk tidak tergesa-gesa
mengafirkan sesama muslim, karena tindakan
demikian
mengandung
ancaman
terhadap
kehormatan seorang muslim yang telah tegas
keislamannya berdasarkan keyakinan. Oleh karena
itu, tidak dibolehkan menuduh seseorang kafir,
kecuali setelah mendapatkan bukti yang pasti akan
kekafirannya secara meyakinkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, hadis-hadis
demikian merupakan tameng bagi manusia untuk
tidak melakukan tuduhan tanpa alasan kepada
sesamanya. Tuduhan kafir kepada sesama muslim
akan menyebabkannya terjerumus ke dalam
perbuatan-perbuatan yang merupakan bagian dari
kekafiran atau kemusyrikan ketika hukum
diberlakukan baginya.
Sumber: Al-Jahlu bi Masaailil i'tiqad wa Hukmuhu,
Abdur Razzaaq bin Thahir bin Ahmad Ma'asy
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam
Indosia

Ummat Muslim yang dimuliakan Allah:


Setiap Muslim berkewajiban untuk berdakwah sesuai dengan kemampuannya. Kesempatan kita saat ini untuk turut
berdakwah adalah menyampaikan pesan ini kepada rekan, keluarga dan saudara kita yang belum mengetahuinya
.

Anda mungkin juga menyukai