PENDAHULUAN
Dewasa ini, Acquired Immune Deficiency (AIDS) merupakan salah satu masalah
kesehatan yang perlu mendapat perhatian dunia. WHO meramalkan bahwa jumlah penderita
AIDS dan kematian akibat AIDS seluruh dunia akan meningkat 10 persen dalam waktu 8 tahun
mendatang, yaitu dari satu setengah juta saat ini menjadi 12-18 juta pada tahun 2000 . Penyakit
ini memang mempunyai angka kematian yang tinggi dimana hampir semua penderita AIDS
meninggal dalam waktu lima tahun sesudah menunjukkan gejala pertama AIDS (Depkes 1988).
Di Indonesia, kasus AIDS yang pertama kali dilaporkan adalah seorang wisatawan lakilaki berkebangsaan Belanda yang meninggal di Bali pada tahun 1987. Kasus kedua juga orang
asing sedangkan kasus berikutnya terjadi pada seorang pria Indonesia yang juga meninggal di
Bali. Sejak itu, jumlah penderita AIDS terus meningkat. Hal ini terlihat dalam data kumulatif
Depkes RI dari 15 Propinsi dimana sampai bulan Maret 1995 kasus AIDS sudah mencapai 288
orang. Di propinsi Sumatera Utara dilaporkan adanya dua kasus yang menderita HIV positif dan
kemungkinan kasus ini akan bertambah banyak.
AIDS merupakan penyakit yang fatal, menular dan sampai sekarang belum ada obatnya.
Penderita AIDS tetap menularkan penyakit sepanjang hidupnya dan biasanya HIV menyerang
usia produktif. Masalah AIDS menjadi lebih berat lagi karena pada kasus seropositif, penderita
biasanya merasa sehat dan dari penampilan luar juga tampak sehat namun merupakan pembawa
virus yang asimtomatik dan dapat menularkan HIV kepada orang lain.
Sebagaimana diketahui bahwa penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui hubungan
seksual, pemakaian jarum suntik secara bergantian, tranfusi darah serta oleh ibu yang terinfeksi
kepada bayi yang dikandungnya. Yang perlu diperhatikan bahwa seorang pengidap HIV dapat
tampak sehat tetapi potensial sebagai sumber penularan seumur hidup.
Infeksi virus ini sangat berpengaruh terhadap sistem imunitas, terutama imunitas seluler
yang dipengaruhi oleh sel limfosit T CD4+. AIDS kini telah meluas menjadi pandemi dan
masalah internasional. Pertambahan kasus yang cepat di kalangan penduduk (bukan
homoseksual) dan penyebaran ke semakin banyak negara serta belum adanya obat dan vaksin
yang efektif terhadap AIDS telah menimbulkan keresahan dan keprihatinan di seluruh dunia.
Kemudian pasien pulang paksa beberapa hari dan kambuh lagi. Pasien kemudian rawat
inap di RS. Jatiroto dengan keluhan yang sama. Pasien terdiagnosa tifoid dan gastritis.
Kemudian pasien diperiksakan ke RSD. dr. Soebandi dengan hasil VCT (+) reaktif.
MRS: pasien mengeluhkan sakit perut di ulu hati saat batuk, maupun menarik nafas
dalam dan disertai pusing. Perut seperti ditusuk-tusuk dan melilit. Pasien juga
mengeluhkan makan maupun minum terasa pahit. Pasien tidak mual, tidak muntah, tidak
sesak. BAB dan BAK dalam batas normal.
3. Riwayat penyakit dahulu.
Pasien pernah diare 2 hari selama di rawat inap di RS. Jatiroto.
Sejak 2 bulan yang lalu pasien mengeluhkan batuk kering, jarang-jarang, dahak (-), darah
(-), sesak (-) keringat malam (-), dan lidah terasa pahit serta memberat saat ini. Saat batuk
pasien juga mengeluhkan pusing.
Pasien juga sering mengeluh demam subfebris hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat pemberian obat ARV (+)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat tranfusi darah (-)
Riwayat batuk lama (+)
4. Riwayat penyakit keluarga.
Tidak ada keluarga yang memiliki gejala yang serupa.
5. Riwayat pengobatan
Pasien menerima pengobatan selama dirawat di puskesmas tanggul dan RS. Jatiroto.
Riwayat pribadi
A. Riwayat sosial dan ekonomi.
Pasien tinggal bersama istri dan seorang putra. Pasien bekerja sebagai petani padi
sekaligus penjual hasil panen lainnya yang berupa palawija. Pendapatan yang diperoleh
tiap harinya tidak tentu. Jika dirata-rata penghasilan yang didapatkan sekitar Rp.600.000,hingga Rp.900.000,- per bulan. Penghasilannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga, dan sekolah putranya. Sedangkan istri dan putranya tidak bekerja.
Pasien dikenal baik dan ramah oleh keluarga, kerabat dan tetangganya. Sejak terdiagnosis
penyakit tersebut, hanya istrinya saja yang mengetahui. Sedangkan keluarga pasien
lainnya termasuk putranya tidak tahu.
Kesan : riwayat sosial baik, riwayat ekonomi kurang.
B. Riwayat sanitasi lingkungan.
Pasien tinggal di dalam rumah berukuran 15x6 meter, dengan 3 kamar tidur, 1 ruang
tamu, dapur dan 1 kamar mandi yang dilengkapi jamban. Dinding rumah terbuat dari batu
bata, dan berlantaikan ubin, sedangkan bagian belakang rumah yaitu dapur berdinding
anyaman bambu berlantai semen.
Ventilasi rumah berasal dari 2 jendela ruang tamu, 1 jendela ruang tengah dan belakang,
dan 1 jendela di tiap kamar yang memiliki luas rata-rata sekitar 40 x 60 cm. Cahaya
matahari tidak dapat masuk ke setiap ruangan rumag sehingga rumah pasien memakai
3
genteng kaca di tengah-tengah ruangan untuk menerangi ruangan dalam rumah. Pasien
menggunakan sumur untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, minum, memasak, dan
mencuci. Jarak antara sumur dan septic tank sekitar 6 meter.
Pembuangan sampah dilakukan dengan menggunakan lubang di halaman belakang
rumah, yang berukuran 2x1 meter. Sampah ditumpuk yang kemudian dibakar. Jarak
dengan rumah sekitar 10 meter. Pasien tidak memiliki hewan peliharaan di belakang
rumah. Halaman depan maupun belakang rumah, tidak memiliki tembok pagar atau
tembok pembatas halaman.
Kesan : riwayat sanitasi lingkungan cukup baik.
Riwayat gizi
Pasien makan 2-3 kali dalam sehari, dan tiap porsi habis. Menu yang dikonsumsi
adalah nasi, tahu, tempe, ikan, sayur, dan buah. Pasien jarang mengkonsumsi ayam,
maupun daging sapi atau kambing.
Kesan : riwayat gizi kurang
Anamnesis sistem
Sistem serebrospinal : composmentis, cephalgia (-), kejang (-), penurunan kesadaran
(-), parese (-).
sistem kardiovaskular : hipertensi (-), nyeri dada (-), palpitasi (-), dispnea (-), bengkak
di kaki (-), sesak saat aktifitas (-).
sistem pernafasan
: sesak nafas (-), batuk (+) dahak (-) darah (-), pilek (-), asma (-);
batuk lama (+), dahak (-), darah (-), riwayat kontak (-), keringat
malam berlebihan (-), penurunan BB (+).
sistem gastrointestinal: disfagia (+), odinofagia (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut
(+) saat telat makan dan saat menghirup nafas panjang, BAB
cair (-) lendir (-) darah (-), hematochezia (-), melena (-).
sistem urogenital
: hematuri (-), nyeri BAK (-), poliuri (-).
sistem integumen
: turgor kulit normal, ptechie (-), purpura (-), ekimosis (-),
sarkoma kaposi (-), scrofuloderma (-).
sistem muskuloskeletal : nyeri sendi (-), nyeri otot (-), nyeri tulang (-).
Kesan : terdapat batuk kering tanpa dahak maupun darah disertai penurunan berat badan.
2.3 Pemeriksaan fisik
2.3.1 Pemeriksaan umum (Jumat, 10 Desember 2010)
keadaan umum : lemah
kesadaran
: composmentis
vital sign
: tek. darah : 80/ 60 mmHg
nadi
: 84 x/ menit
RR
: 24 x/menit
Suhu
: 36 oC
4
kulit
: turgor kulit normal, ikterus (-), ptechie (-), purpura (-), ekimosis (-)
kelenjar limfe : tidak ditemukan pembesaran pada limfonodi submandibula, leher,
maupun aksila.
Otot
: tonus otot dalam batas normal, atrofi (-).
Tulang
: deformitas (-)
kesan : hipotensi
2.3.2 Pemeriksaan khusus
1. Kepala dan leher
a. Kepala
Bentuk
Rambut
Mata
o Sklera
o Konjungtiva
o Oedem palpebra
o Pupil
Hidung
Telinga
Mulut
b. Leher
Kelenjar limfe
Tiroid
Kaku kuduk
JVP
Integumen
: pembesaran (-/-)
: pembesaran (-/-)
: (-)
: 7 cm (normal)
: scrofuloderma (-)
2. Thorax
a. Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak nampak
- Palpasi
: ictus cordis tidak teraba
- Perkusi
: redup ICS II-III PSL dextra hingga ICS III-V MCL sinistra
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-), extra systole (-)
b. Paru
VENTRALIS (D/S)
DORSALIS (D/S)
Inspeksi
Bentuk : barrel chest, simetris
Bentuk : barrel chest, simetris
Retraksi : (-)
Retraksi : (-)
Gerakan nafas tertinggal (-)
Gerakan nafas tertinggal (-)
Pelebaran ICS (+)
Pelebaran ICS (+)
5
Palpasi
(dextra)
Fremitus raba
N
N
N
N
(sinistra)
(dextra)
Fremitus raba
N
N
N
N N
N N
N N
N N
N N N N
N N N N
Nyeri tekan (-), krepitasi (-)
3. Abdomen
a. Inspeksi
b. Auskultasi
c. Perkusi
d. Palpasi
(sinistra)
S
S
S
S S
S S
S
S
S
S
S
S
S
Suara dasar
V
V
BV
V V
V V
V
V
BV
V V
V V
Ronkhi
- - -
- - -
Wheezing
4. Ekstremitas
6
Tonus otot
o Ekstremitas superior
: 555/555
o Ekstremitas inferior
: 555/555
5) Sensorik
: dalam batas normal
6) Autonom
: BAB (+) 1 kali/hari, kuning, padat, lendir (-), darah (-) BAK (+) 3-4
kali/hari, bening.
7) Columna vertebra : dalam batas normal
8. Status gizi
BMI =
60
(1,65)2
= 22,038
Kesan : berat badan dalam batas normal
2.4 Pemeriksaan penunjang
2.4.1 Pemeriksaan laboratorium (10 Desember 2010)
Jenis pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Lekosit
Hematokrit
Trombosit
Faal hati
Bilirubin direct
Bilirubin total
SGOT
SGPT
Albumin
Hasil
Nilai rujukan
8,8
6,8
26,0
262
13,4 17,7
4,3 10,3
38 42 %
150 450
0,14
0,35
16
10
2,5
0,2 0,4
< 1,2
10 35
9 43
3,4 4,8
Faal ginjal
Kreatinin serum
1,2
0,6 1,3
BUN
17
6 - 20
Urea
37
10 50
Asam urat
2,8
3,4 7
Kadar gula darah
Sewaktu
81
< 200
Elektrolit
Natrium
132,9
135 155
Kalium
3,97
3,5 5,0
Chloride
99,6
90 110
Calsium
1,75
2,15 2,57
Kesan :
Hemoglobin, dan hematokrit menurun, hipoalbumin, kalsium menurun.
2.4.2
Pemeriksaan VCT
Hasil pemeriksaan VCT 25 November 2010 : positif reaktif.
2.5 Resume
Pasien mengeluhkan epigastric pain dan disfagia sejak 10 hari yang lalu dengan hasil
VCT positif reaktif.
RPD: Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), batuk lama (-), tranfusi darah (-)
RPK: (-)
RPO: terapi selama di puskesmas tanggul dan RS. Jatiroto
Pemeriksaan fisik ditemukan:
o Keadaan umum : lemah
o Kesadaran
: composmentis
o Vital sign
: tek. darah : 80/ 60 mmHg
nadi
: 84 x/ menit
RR
: 24 x/menit
Suhu
: 36 oC
o Kepala leher
: anemis, kandidiasis oral, dan radang tonsil
o Thorax
: barrel chest, pemeriksaan lainnya dalam batas normal
o Abdomen
: dalam batas normal
o Ekstremitas
: dalam batas normal
Status gizi
: baik
Pemeriksaan penunjang : anemia, hipoalbuminemia.
2.6 Diagnosis kerja dan diagnosis banding
Diagnosis kerja
: AIDS stadium II kategori B dengan epigastrium pain dan candidiasis
oral.
Diagnosis banding : candidiasis esofageal, ulkus peptikum, TB paru.
2.7 Planning
2.7.1 Planning diagnostik
Pemeriksaan foto rontgen thorax PA
Cor:
o CTR: 1,3 + 5,3
28,6
x 100 % = 23,07 %
10
2.7.2
Planning terapi
Infus RL : D5% = 2 : 1 (20 tpm)
Inj. Cefotaxime 1 gr 3 dd I (iv)
Inj. Antrain amp
3 dd I (iv)
Inj. Ranitidin amp
3 dd I (iv)
2.7.3
2.7.4
Planning monitoring
Evaluasi tanda-tanda vital
Evaluasi komplikasi (TB paru, meningitis TB, diare, dehidrasi)
Planning edukasi
Menjelaskan pada pasien mengenai penyakitnya, penularan, komplikasi dan
menghindari faktor-faktor yang dapat memperberat kondisinya.
Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya kontrol, dan berobat.
Memberikan motivasi kepada pasien dan keluarga.
11
2.8 Follow up
Kondisi
pasien
Keluhan
10/12/2011
11/12/2011
Ic tak nampak
Ic tak teraba
Redup ICS II-III PSL dextra; hingga ICS
III-V MCL sinistra.
S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), extra
systole (-), murmur (-).
Ic tak nampak
Ic tak teraba
Redup ICS II-III PSL dextra; hingga ICS
III-V MCL sinistra.
S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), extra
systole (-), murmur (-).
Pulmo :
I
P
P
A
Tek. darah
Nadi
RR
Suhu tubuh
Kepala/
leher
Thorax:
Cor :
I
P
P
A
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
Diagnosis
Datar
BU (+) normal 15x/menit
Timpani, shifting dullness (-)
Soepel, nyeri tekan (-).
Akral hangat +/+
Oedem -/B20 dengan susp. TB
paru,disfagia,candidiasis oral
Datar
BU (+) normal 13x/menit
Timpani, shifting dullness (-)
Soepel, nyeri tekan (-).
Akral hangat +/+
Oedem -/B20 dengan susp. TB
paru,disfagia,candidiasis oral
12
Terapi
Kondisi
pasien
Keluhan
Tek. darah
Nadi
RR
Suhu tubuh
Kepala/
leher
Thorax:
Cor :
I
P
P
A
Pulmo :
I
P
P
A
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
Diagnosis
Terapi
12/12/2011
13/12/2011
Ic tak nampak
Ic tak teraba
Redup ICS II-III PSL dextra; hingga ICS
III-V MCL sinistra.
S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), extra
systole (-), murmur (-).
Ic tak nampak
Ic tak teraba
Redup ICS II-III PSL dextra; hingga ICS
III-V MCL sinistra.
S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), extra
systole (-), murmur (-).
Datar
BU (+) normal 20x/menit
Timpani, shifting dullness (-)
Soepel, nyeri tekan (-).
Akral hangat +/+
Oedem -/B20 dengan disfagia,candidiasis oral
Infus RL : D5% = 2 : 1 (20 tpm)
Inj. cotrimoxazole 1 gr 3 dd I (iv)
Inj. Antrain amp
3 dd I (iv)
Datar
BU (+) normal 11x/menit
Timpani, shifting dullness (-)
Soepel, nyeri tekan (-).
Akral hangat +/+
Oedem -/B20 dengan disfagia,candidiasis oral
Infus RL : D5% = 2 : 1 (20 tpm)
Inj. cotrimoxazole 1 gr 3 dd I (iv)
Inj. Antrain amp
3 dd I (iv)
13
3 dd I (iv)
3 dd I (iv)
14
Kondisi
pasien
Keluhan
Tek. darah
Nadi
RR
Suhu tubuh
Kepala/
leher
Thorax:
Cor :
I
P
P
A
Pulmo :
I
P
P
A
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
Diagnosis
Terapi
14/12/2011
Tidak pusing, tidak nyeri dada, lidah terasa pahit sudah berkurang, perut tidak melilit.
BAB 2x dalam batas normal, BAK 4x dalam batas normal
80/60mmHg
80
20
36,6
a/i/c/d : -/-/-/-; pembesaran KGB (-); pernafasan cuping hidung (-), candidiasis oral (+)
Ic tak nampak
Ic tak teraba
Redup ICS II-III PSL dextra; hingga ICS III-V MCL sinistra.
S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), extra systole (-), murmur (-).
Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-).
Fremitus raba N/N
Sonor +/+
Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Datar
BU (+) normal 20x/menit
Timpani, shifting dullness (-)
Soepel, nyeri tekan (-).
Akral hangat +/+
Oedem -/B20 dengan ,disfagia,candidiasis oral
Infus RL : D5% = 2 : 1 (20 tpm)
Inj. cotrimoxazole 1 gr 3 dd I (iv)
Inj. Antrain amp
3 dd I (iv)
Inj. Ranitidin amp
3 dd I (iv)
Fluconazole 2 dd II
Gentian violet
2.9 Prognosis
Dubia ad malam
2.10 Evaluasi
a. Usulan : endoscopy abdomen, konsul dokter spesialis paru (susp.TB paru), cek CD4
dan klinik VCT: pertimbangan memulai pemberian ARV
b. Hasil :
- Paru : tidak ada terapi khusus (hasil foto negatif)
- Klinik VCT : adherence terapi baru dapat dimulai tanggal 21/12/2010
- Pemeriksaan endoskopi dan hitung CD4 tidak dilakukan.
15
16
Envelope HIV berfungsi sebagai alat penting untuk menempelkan virus tersebut
pada sel induk (sel hidup yang diserang, biasanya sel T helper), kemudian melubangi
dinding sel induk tersebut. Envelope terdiri dari banyak komponen glikoprotein dan di
antaranya yang penting adalah gp 160, gp 140, gp 120. Pemberian nama masing-masing
glikoprotein tersebut sesuai dengan berat molekulnya yang diukur menurut kiloDalton.
Identifikasi laboratorik terhadap profit glikoprotein ini sangat menunjang diagnosis
keberadaan envelope virus dalam tubuh manusia..
17
Bagian inti (core) HIV berfungsi penting untuk replikasi virus di dalam sel induk,
terdiri dari beberapa komponen protein dan yang paling penting adalah p24, p16, p15 dan
enzim reverse transcriptase. Menurut Kuby J. (1996) Partikel HIV terdiri atas inner core
yang mengandung 2 untai DNA identik yang dikelilingi oleh selubung fosfolipid. Genon
HIV mengandung gen env yang mengkode selubung glikoprotein, gen gag yang
mengkode protein core yang terdiri dari protein p17 (BM 17.000) dan p24 (BM 24.000),
dan gen pol yang mengkode beberapa enzim yaitu : reverse transcriptase, integrase dan
protease. Enzim-enzim tersebut dibutuhkan dalam proses replikasi. Bagian paling
infeksius dari HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000) dan gp 41 (BM
41.000). Kedua glikoprotein tersebut sangat berperan pada perlekatan virus HIV dengan
sel hospes pada proses infeksi.
b. Patofisiologi
Virus AIDS (HIV) dapat menghindar bahkan mampu melumpuhkan sistem
kekebalan tubuh (immune system), yaitu sistem pertahanan tubuh yang selalu timbul bila
tubuh dimasuki benda asing. Target sel HIV terutama adalah limfosit T helper, yang
dikenal sebagai sel pemberi komando awal untuk memulai suatu rantai reaksi kekebalan
tubuh. Jika sel T-helper ini lumpuh akibat infeksi HIV, maka sistem kekebalan tubuhpun
tidak melakukan reaksi imun dalam keadaan defisiensi. Akibatnya, penderita AIDS
mudah mendapat infeksi oportunistik (misalnya Pneumocystis carinii, jamur) atau
bertambah beratnya suatu penyakit yang semula hanya ringan saja. Sehingga pada
permulaan penyakit penderita AIDS sulit didiagnosis secara klinis, bahkan dapat
meninggal tanpa diketahui penyakitnya. Patogenesis HIV dimulai pada saat virus masuk
ke dalam suatu sel induk (limfosit T helper).
RNA dari HIV mulai membentuk DNA dalam struktur yang belum sempurna,
disebut proviral DNA, yang akan berintegrasi dengan genome sel induk secara laten
(lama). Karena DNA dari HIV bergabung/integrasi dengan genome sel induknya (limfosit
T helper) maka setiapkali sel induk berkembang biak, genom HIV tersebut selalu ikut
memperbanyak diri dan akan tetap dibawa oleh sel induk ke generasi berikutnya. Oleh
karena itu dapat dianggap bahwa sekali mendapat infeksi virus AIDS maka orang tersebut
selama hidupnya akan terus terinfeksi virus, sampai suatu saat mampu membuat kode
18
dari messenger RNA (cetakan pembuat gen) dan mulai menjalankan proses
pengembangan partikel virus AIDS generasi baru yang mampu ke luar dan sel induk dan
mulai menyerang sel tubuh lainnya untuk menimbulkan gejala umum penyakit AIDS.
Setelah HIV masuk ke dalam tubuh, perjalanan penyakit AIDS dimulai dengan
masa induksi (window period), yaitu penderita masih tampak sehat, dan hasil
pemeriksaan darah juga masih negatif, Setelah 23 bulan,perjalanan penyakit dilanjutkan
dengan masa inkubasi, yaitu penderita masih tampak sehat, setapi kalau darah penderita
kebetulan diperiksa (test ELISA dan Western Blot) maka hasilnya sudah positif. Lama
masa inkubasi bisa 510 tahun tergantung umur (bayi lebih cepat) dan cara penularan
penyakit (lewat transfusi atau hubungan seks). Kemudian penderita masuk ke masa gejala
klinik berupa ARC (AIDS Related Complex) seperti misalnya : penurunan berat badan,
diare) dan akhirnya dilanjutkan dengan gejala AIDS berupa infeksi oportunistik seperti
TBC, jamur, kanker kulit, gangguan saraf dan lain-lain sampai meninggal.
Perjalanan penyakit AIDS belum diketahui dengan pasti. Masa inkubasi
diperkirakan 5 tahun atau lebih. Diperkirakan bahwa sekitar 25% dari orang yang
terinfeksi akan menunjukkan gejala AIDS dalarn 5 tahun pertama. Sekitar 50% dari yang
terinfeksi dalam 10 tahun pertama akan mendapat AIDS. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya AIDS pada orang yang seropositif belum diketahui dengan
jelas. Menurunnya limfosit T4 di bawah 200 per ml. berarti prognosis.yang buruk.
Diperkirakan bahwa infeksi HIV yang berulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi
lain mempunyai peranan penting. Mortalitas pada penderita AIDS yang sudah sakit lebih
dari 5 tahun mendekati 100%. Survival penderita AIDS rata-rata ialah 1 2 tahun.
c. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratoris.
Untuk menentukan adanya infeksi HIV sebelum menjadi AIDS tidak mudah karena
individu yang terpapar masih asimtomatik, yang secara klinis tidak mudah dikenali.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium mulai
dari uji penapisan dengan penentuan adanya antibodi anti-HIV, misalnya dengan ELISA
yang kemudian dilanjutkan dengan uji kepastian dengan pemeriksaan lebih spesifik yaitu
dengan Western blot. Uji western blot lebih spesifik karena mampu mendeteksi
19
komponen-komponen yang terkandung pada HIV, antara lain gp120, gp41, p24. Untuk
negara berkembang seperti Indonesia mengingat uji Western blot belum merata dilakukan
secara rutin, maka WHO menganjurkan pemeriksaan laboratorium dengan tiga metode
yang berbeda. Dikatakan terinfeksi HIV apabila ketiga pemeriksaan laboratorium dari
metode yang berbeda-beda tersebut semuanya menunjukkan reaktif.
Tabel 2. Tes diagnostik untuk infeksi HIV
Skrining
Konfirmasi
Lain-lain
Enzyme-linked immunoassay (EIA, ELISA) untuk HIV-1, HIV2, atau keduanya aglutinasi Latek untuk HIV-1
Western blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2 Indirect
immunofluorescence antibody assay (IFA) untuk HIV-1
Radioimmunoprecipitation antibody assay (RIPA) untuk HIV-1
ELISA untuk HIV-1 p24 antigen Polymerase Chain Reaction
(PCR) untuk HIV-1
20
d. Candidiasis oro-faring
e. Limfadenopati umum
f. Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
2) AIDS dicurigai pada anak ( bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor dan tidak terdapat sebab imunosupresi yang diketahui seperti kanker,
malnutrisi berat, atau etiologi lainnya).
Gejala mayor :
a. Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal
b. Diare kronik lebih dari 1 bulan
c. Demam lebih dari 1 bulan
Gejala minor :
a. Limfadenopati umum
b. Candidiasis oro-faring
c. Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).
d. Batuk persisten
e. Dermatitis umum
f. Infeksi HIV maternal
d. Klasifikasi dan manifestasi klinis
Menurut WHO (2002) manifestasi klinis penderita HIV/ AIDS dewasa dibagi
menjadi empat stadium, yaitu:
Stadium I:
1. asimtomatik
2. limfadenopati generalisata persisten
Dengan penampilan klinis derajat 1: asimtomatik dan aktifitas normal.
Stadium II:
1. penurunan berat badan < 10%
2. manifestasi mukoutaneus minor (dermatitis seborreic, prurigo, infeksi jamur pada
kuku, ulserasi pada mulut berulang, cheilitis angularis)
3. Herpes zoster, dalam 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran nafas atas berulang (misalnya sinusitis bakterial)
Dengan penampilan klinis derajat 2: simtomatik, aktivitas normal.
Stadium III:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dengan atau penampilan klinis derajat 3: berbaring di tempat tidur < 50% sehari
dalam satu bulan terakhir.
Stadium IV:
1. HIV wasting syndrome
2. Pneumonia pneumocystic carinii
3. Infeksi toksoplasmosis di otak
4. Diare karena cryptosporidiosis > 1 bulan
5. Infeksi sitomegalovirus
6. Infeksi Herpes simpleks, maupun mukokutaneus > 1 bulan.
7. Infeksi mikosis (histoplasmosis, coccidioidomycosis)
8. Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus maupun paru.
9. Infeksi mikobakteriosis atypical
10. Sepsis
11. Tuberkulosis ekstrapulmoner
12. Limfoma maligna
13. Sarkoma kaposi
14. Ensepalopati HIV
Dengan penampilan klinis derajat 4: berada di tempat tidur, > 50% setiap hari bulanbulan terakhir.
Sistem klasifikasi CDC pasien dengan infeksi HIV baik pada remaja maupun
dewasa didasarkan pada kondisi klinis yang berhubungan dengan infeksi HIV dan jumlah
limfosit CD4+ T. Sistem berdasarkan pada 3 bagian menurut hitung CD4+ T limfosit dan
kategori klinis.
Tabel 3. Klasifikasi CDC (1993) untuk penderita HIV/ AIDS.
Kategori
Hitung CD4
> 500 sel/mm3
200-500 sel/mm3
< 200 sel/mm3
Kondisi klinis
non A, non C
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
e. Penatalaksanaan
I. Penatalaksanaan Pada Orang Dewasa
Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi perlu diberikan segera sesudah diagnosis HIV/AIDS
ditegakkan dan dilakukan secara berkesinambungan. Bahkan, konseling dan edukasi
merupakan pilar pertama dan utama dalam penatalaksanaan HIV/AIDS; karena
keberhasilan pencegahan penularan horizontal maupun vertikal, pengendalian kepadatan
virus dengan ARV, peningkatan CD4, pencegahan dan pengobatan IO (infeksi
oportunistik) serta komplikasi akan berhasil jika konseling dan edukasi berhasil
dilakukan dengan baik.
Pada konseling dan edukasi perlu diberikan dukungan psikososial supaya ODHA
(orang dengan HIV/ AIDS) mampu memahami, percaya diri dan tidak takut tentang
24
status dan perjalanan alami HIV/AIDS, cara penularan, pencegahan serta pengobatan
HIV/AIDS dan IO; semuanya ini akan memberi keuntungan bagi ODHA dan
lingkungannya.
Antiretrovirus (ARV)
Pemberian ARV sebaiknya tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada
pasien yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah yang arif dan bijaksana,
serta mempertimbangkan berbagai faktor: sanggupkah pasien mengkonsumsi obat dalam
waktu yang tidak terbatas, kemampuan membeli obat dalam jangka lama, rasa kurang
nyaman selama mengonsumsi obat, pasien menginginkan penyakitnya tidak diketahui
orang lain, potensi resistensi obat, efek samping yang tidak ringan, jangkauan
memperoleh obat, serta saat yang tepat memulai terapi.
Tabel 5. Rekomendasi memberikan terapi ARV menurut WHO (2002).
Bila pemeriksaan
dapat dilakukan
CD4
nucleic adid (DNA) sel termasuk sintesis DNA yang tergantung pada ribonucleic acid
(RNA) pada saat terjadi reverse transkripsi; sedangkan PRT analog non-nukleosida secara
selektif menghambat proses reverse transkripsi HIV-1. Penghambat protease bekerja
dengan cara menghambat sintesis protein inti HIV.
Tabel 6. Kombinasi pengobatan antiretrovirus (ARV).
Kriteria
Penghambat Reverse transcriptase
kombinasi
Sangat
Didanosin+lamivudin
dianjurkan
Didanosin+stavudin
Didanosin+zidovudin
Didanosin+Efirenz+Lamivudin/
Stavudin/ Zidovudin
Lamivudin+Zidovudin
Lamivudin+stavudin
Alternatif
Zidovudin+Zalsitabin
Tidak dianjurkan
Stavudin+Zidovudin
Zalsitabin+Didanosin
Zalsitabin+Lamivudin
Zalsitabin+Stavudin
Penghambat protease
Indinavir
Indinavir+Ritonavir
Lopinavir+Ritonavir
Nelfinavir
Amprenavir
Nelfinavir+saquinavir
Ritonavir
Saquinavir
Sumber: US. Deportment of Health and Human Services. Guidelines for the use of antiretroviral
agents in hiv-infected adults and adolescents. MMWR 2001; 50: 1-1152.
Antiretrovirus (ARV)
Pemberian kombinasi ARV merupakan penatalaksanaan baku IHDHA tanpa
memandang status kehamilan, sama seperti pemberian ARV pada ODHA karena telah
dipertimbangkan farmakokinetiknya dan tidak terbukti memberikan efek teratogenik pada
janin/bayi jika diberikan setelah umur kehamilan 14 minggu. Pada pencegahan penularan
HIV perinatal (PHP), baik ACOG, USHS maupun WHO menganjurkan kombinasi ARV
untuk menekan replikasi virus secara cepat sampai batas yang tidak dapat dideteksi;
sehingga diharapkan PHP, tidak terjadi, mengurangi kejadian resistensi dan memberi
kesempatan perbaikan imunitas ibu.
Pemberian kombinasi ARV mulai diberikan pada IHDHA yang memiliki CD4
<500/mm3 atau kepadatan virus >10.000/ml dengan atau tanpa gejala klinis; sedangkan
pemberian ZDV tunggal dapat dilakukan jika CD4 > 500/mm3 dan kepadatan virus 4.000
- 10.000/ml dengan dosis 100 mg 5 kali sehari yang dimulai setelah trimester I sampai
masa persalinan. Pada saat mulai persalinan (kala I), ZDV diberikan secara intravena 2
mg/kg BB dalam 1 jam, dan diteruskan 1 mg/kg BB/jam sampai pengikatan tali pusat
bayi; kemudian diikuti dengan pemberian ZDV oral pada bayi setelah berumur 12 jam
dengan dosis 2 mg/kg BB/6 jam selama 6 minggu. Semua ARV diberikan setelah
trimester I (14 minggu umur kehamilan) untuk menghindari beberapa efek teratogenik.
Namun, jika ibu sedang menjalani pengobatan ARV dan kemudian hamil, pengobatan
tersebut dilanjutkan sebab penghentian, ARV akan mengakibatkan rebound phenomenon
jumlah virus.
Perawatan Antepartum
Perawatan antepartum IHDHA ditujukan bukan hanya perawatan rutin saja,
melainkan juga strategi pencegahan PHP dan pengobatan serta komplikasikomplikasinya. Setiap kunjungan antepartum diperhatikan masalah psikososial ibu, gejala
dan tanda infeksi HIV serta IO. Pemantauan kesejahteraan janin sebaiknya dilakukan
secara non invasif, karena pemeriksaan diagnostik invasif meningkatkan risiko PHP,
kecuali atas indikasi yang kuat.
27
Jumlah CD4 dan kepadatan virus dipantau selama perawatan antepartum setiap
trimester atau setiap 4 minggu jika ARV diberikan guna mengikuti perkembangan
penyakit, keberhasilan ataupun resistensi ARV serta menentukan langkah lebih lanjut. Di
samping itu, pemeriksaan hemoglobin, lekosit dan trombosit juga dilakukan setiap 4
minggu untuk menilai efek penekanan ARV terhadap sumsum tulang.
Cara Persalinan
Pada saat persalinan harus dihindari semua manipulasi yang dapat meningkatkan
risiko PHP melalui kontak darah atau sekret genital ibu; seperti persalinan vagina dengan
solusio plasenta, plasenta previa, perdarahan jalan lahir, ketubah pecah dini serta partus
lama. Pada kasus tersebut, mernpercepat kala II atau operasi cesarea perlu dilakukan.
Penelitian di Swiss, Perancis, London dan daratan Eropa lainnya menunjukkan penurunan
kejadian PHP 50-87% pada IHDHA yang menjalani operasi cesarea eletif. Namun,
sebagian besar subyek penelitian juga menggunakan ZDV selama kehamilannya.
Penelitian di Rwanda mendapatkan kematian IHDHA post operasi cesarea yang
bermakna dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi HIV, walaupun hal ini tidak
ditemukan di Eropa. Sebaliknya, hasil penelitian di Amerika dan Vietnam tidak
didapatkan perbedaan bermakna dalam penurunan PHP antara kelompok yang dilakukan
operasi cesarea elekif dengan kelompok yang diberikan profilaksis ZDV; bahkan untuk
menyelamatkan seorang bayi dari PHP; memerlukan 12-16 operasi cesarea elektif. Oleh
karena itu,operasi cesarea bukan untuk menurunkan kejadian PHP dan dilakukan atas
indikasi obstetri.
III. Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Oportunistik (IO)
Penyebab utama kematian ODHA adalah infeksi opportunistik. Center of Disease
Control (CDC) menganjurkan pemberian regimen pencegahan bagi semua pasien dengan
status imun yang buruk tanpa kecuali. Infeksi oportunistik yang sering dijumpai di
Amerika dan Eropa adalah Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP), sedangkan di negara
berkembang (Afrika, Asia Tengah dan Asia Tenggara) termasuk Indonesia adalah
tuberkulosis paru.
28
Tabel 7. Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik pada pasien HIV/ AIDS.
Patogen
Pneumocytis
carinii
Indikasi
pencegahan
CD4<
200/mm3
- panas > 2
minggu
Toxoplasma
gondii
CD4<
100/mm3
- IgG
toksoplasma
Candida vagina/
oropharygeal
CD4
<
500/mm3
Sering
kambuh
- Tes Mantoux
> 5 mm
- Kontak erat
dengan
penderita
tb.
aktif
M. tuberculosis
Varicella zoster
Kontak dengan
penderita
Pencegahan
Pengobatan
ditambah salah satu dari ARV yang disebutkan berturut-turut dengan dosisnya sebagai
berikut: infinavir 800 mg 3 kali sehari, nelfinavir 750 mg 3 kali sehari, efavirenz 600 mg
sekali sehari atau abakavir 300 mg 2 kali sehari.
Pada pasien tidak dilakukan perhitungan CD4 maupun limfosit total hanya
dilakukan VCT dengan hasil positif. Adherence dan pemberian ARV direncanakan 1
minggu setelah KRS. Terapi umum dan simptomatis diberikan Infus RL : D5% = 2 : 1
(20 tpm), Inj. cotrimoxazole 1 gr 3 dd I (iv), Antrain amp 3 dd I (iv), Inj. Ranitidin amp
3 dd I (iv), sedangkan terapi candidiasis oral pada pasien tersebut gentian violet, dan
Fluconazole 100 mg 2 dd II.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. CDC Atlanta. Recommendations for prevention of HIV transmission in health care
settings. MMWR (August 21), 1987; 36(25).
2. CDC Atlanta. Revision of the case definition for AIDS. MMWR, 1987; 36 (Suppl. 1): 315.
3. CDC. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-infected adults and
adolescents. August 2001; p. 1-115.
4. CDC. Public Health Services task for recommendations for use of andretroviral drugs in
pregnant women infected with HIV-1 for maternal health and for reducing perinatal HIV1 transmission in the us. MMWR 2001 ; 50 (RR.11).
5. CDC. Updated guidelines for the use of rifabutin or rifampin for the treatment and
prevention of tuberculosis among HIV-infected patients taking protease inhibitor or non
nucleoside reverse transcriptase inhibitors. MMWR 2000; 49 (RR 10).
6. Depkes RI. Penanggulangan AIDS. Petunjuk untuk seluruh jajaran kesehatan di
Indonesia. Jakarta, 1988.
7. Djoerban Z. Penatalaksanaan AIDS. Dalam : Setiati S, Sudoyo AW, Alwi I, dkk (Eds).
Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2000. Jakarta : Pusat Informasi dan
Penerbitan FKUI; 2001; hal. 1-8.
8. Fauci AS, Lane HC. Human immunodeficiency syndrome (HIV): AIDS and related
disorder. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasoer DL, et al (Eds). Harrison's Principles of
Internal Medicine. 15th ed. New York: McGraw- Hill; 2001; p.1852-908.
9. Sarwo Handayani. 2001. Deplesi Sel Limfosit CD4+ pada Infeksi HIV. Jakarta. Cermin 2
Dunia Kedokteran No. 130.
10. Siti Budina K. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Ed ketiga. 1996; 134.
11. UNAIDS. 2010. Global report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2010.
Switzerland.
12. US Departemen of Health and Human Services. Guidelines for the management of
33