Anda di halaman 1dari 33

BAB I.

PENDAHULUAN
Dewasa ini, Acquired Immune Deficiency (AIDS) merupakan salah satu masalah
kesehatan yang perlu mendapat perhatian dunia. WHO meramalkan bahwa jumlah penderita
AIDS dan kematian akibat AIDS seluruh dunia akan meningkat 10 persen dalam waktu 8 tahun
mendatang, yaitu dari satu setengah juta saat ini menjadi 12-18 juta pada tahun 2000 . Penyakit
ini memang mempunyai angka kematian yang tinggi dimana hampir semua penderita AIDS
meninggal dalam waktu lima tahun sesudah menunjukkan gejala pertama AIDS (Depkes 1988).
Di Indonesia, kasus AIDS yang pertama kali dilaporkan adalah seorang wisatawan lakilaki berkebangsaan Belanda yang meninggal di Bali pada tahun 1987. Kasus kedua juga orang
asing sedangkan kasus berikutnya terjadi pada seorang pria Indonesia yang juga meninggal di
Bali. Sejak itu, jumlah penderita AIDS terus meningkat. Hal ini terlihat dalam data kumulatif
Depkes RI dari 15 Propinsi dimana sampai bulan Maret 1995 kasus AIDS sudah mencapai 288
orang. Di propinsi Sumatera Utara dilaporkan adanya dua kasus yang menderita HIV positif dan
kemungkinan kasus ini akan bertambah banyak.
AIDS merupakan penyakit yang fatal, menular dan sampai sekarang belum ada obatnya.
Penderita AIDS tetap menularkan penyakit sepanjang hidupnya dan biasanya HIV menyerang
usia produktif. Masalah AIDS menjadi lebih berat lagi karena pada kasus seropositif, penderita
biasanya merasa sehat dan dari penampilan luar juga tampak sehat namun merupakan pembawa
virus yang asimtomatik dan dapat menularkan HIV kepada orang lain.
Sebagaimana diketahui bahwa penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui hubungan
seksual, pemakaian jarum suntik secara bergantian, tranfusi darah serta oleh ibu yang terinfeksi
kepada bayi yang dikandungnya. Yang perlu diperhatikan bahwa seorang pengidap HIV dapat
tampak sehat tetapi potensial sebagai sumber penularan seumur hidup.
Infeksi virus ini sangat berpengaruh terhadap sistem imunitas, terutama imunitas seluler
yang dipengaruhi oleh sel limfosit T CD4+. AIDS kini telah meluas menjadi pandemi dan
masalah internasional. Pertambahan kasus yang cepat di kalangan penduduk (bukan
homoseksual) dan penyebaran ke semakin banyak negara serta belum adanya obat dan vaksin
yang efektif terhadap AIDS telah menimbulkan keresahan dan keprihatinan di seluruh dunia.

BAB II. LAPORAN KASUS


2.1 Identitas penderita
Nama
: Tn. Slamet H. S.
Umur
: 40 thn
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SMA
Alamat
: Sidomulyo Semboro
Tanggal MRS : 10 Desember 2010
Tanggal KRS : 14 Desember 2010
No. RM
: 28.96.71
2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan pada penderita serta keluarga penderita pada
tanggal 10 Desember 2010 di RIP RSD dr. Soebandi Jember.
A. Riwayat penyakit
1. Keluhan utama
Nyeri perut dan mulut terasa pahit
2. Riwayat penyakit sekarang
Sejak 10 hari SMRS pasien mengeluhkan sakit perut dengan batuk kering dan mulut
terasa pahit. Nyeri perut hilang timbul dan muncul terutama saat batuk dan menarik nafas
panjang. Nyeri juga muncul saat diberi makan dan tidak berkurang setelah makan
maupun istirahat. Nyeri tidak menjalar ke bagian punggung, bahu maupun lengan. Nyeri
hanya berada di ulu hati. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk. Pasien juga tidak sering
makan makanan yang berlemak. BAB normal, 1-2 hari sekali, konsistensi padat, warna
kuning kecoklatan, tidak berlendir, tidak berdarah. Pasien tidak mengeluhakan nyeri
dada, maupun nyeri sendi.
Pasien juga mengeluhkan makan maupun minum terasa pahit dan sulit menelan sejak 10
hari yang lalu. Pasien mengeluhkan mual namun tidak muntah. Pasien juga batuk jarangjarang, tanpa dahak maupun darah. Saat batuk, kepala terasa sakit. Pasien tidak demam,
tidak mengalami penurunan kesadaran, tidak sesak. Pasien mengalami penurunan berat
badan 5 kg dalam 4 minggu, keluar keringat malam (-), demam (-), pilek (-).
Kemudian pasien berobat ke puskesmas tanggul dengan rawat jalan, namun tidak
membaik. Pasien kemudian rawat inap di puskesmas tanggul selama 5 hari dan tidak
membaik.

Kemudian pasien pulang paksa beberapa hari dan kambuh lagi. Pasien kemudian rawat
inap di RS. Jatiroto dengan keluhan yang sama. Pasien terdiagnosa tifoid dan gastritis.
Kemudian pasien diperiksakan ke RSD. dr. Soebandi dengan hasil VCT (+) reaktif.
MRS: pasien mengeluhkan sakit perut di ulu hati saat batuk, maupun menarik nafas
dalam dan disertai pusing. Perut seperti ditusuk-tusuk dan melilit. Pasien juga
mengeluhkan makan maupun minum terasa pahit. Pasien tidak mual, tidak muntah, tidak
sesak. BAB dan BAK dalam batas normal.
3. Riwayat penyakit dahulu.
Pasien pernah diare 2 hari selama di rawat inap di RS. Jatiroto.
Sejak 2 bulan yang lalu pasien mengeluhkan batuk kering, jarang-jarang, dahak (-), darah
(-), sesak (-) keringat malam (-), dan lidah terasa pahit serta memberat saat ini. Saat batuk
pasien juga mengeluhkan pusing.
Pasien juga sering mengeluh demam subfebris hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat pemberian obat ARV (+)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat tranfusi darah (-)
Riwayat batuk lama (+)
4. Riwayat penyakit keluarga.
Tidak ada keluarga yang memiliki gejala yang serupa.
5. Riwayat pengobatan
Pasien menerima pengobatan selama dirawat di puskesmas tanggul dan RS. Jatiroto.
Riwayat pribadi
A. Riwayat sosial dan ekonomi.
Pasien tinggal bersama istri dan seorang putra. Pasien bekerja sebagai petani padi
sekaligus penjual hasil panen lainnya yang berupa palawija. Pendapatan yang diperoleh
tiap harinya tidak tentu. Jika dirata-rata penghasilan yang didapatkan sekitar Rp.600.000,hingga Rp.900.000,- per bulan. Penghasilannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga, dan sekolah putranya. Sedangkan istri dan putranya tidak bekerja.
Pasien dikenal baik dan ramah oleh keluarga, kerabat dan tetangganya. Sejak terdiagnosis
penyakit tersebut, hanya istrinya saja yang mengetahui. Sedangkan keluarga pasien
lainnya termasuk putranya tidak tahu.
Kesan : riwayat sosial baik, riwayat ekonomi kurang.
B. Riwayat sanitasi lingkungan.
Pasien tinggal di dalam rumah berukuran 15x6 meter, dengan 3 kamar tidur, 1 ruang
tamu, dapur dan 1 kamar mandi yang dilengkapi jamban. Dinding rumah terbuat dari batu
bata, dan berlantaikan ubin, sedangkan bagian belakang rumah yaitu dapur berdinding
anyaman bambu berlantai semen.
Ventilasi rumah berasal dari 2 jendela ruang tamu, 1 jendela ruang tengah dan belakang,
dan 1 jendela di tiap kamar yang memiliki luas rata-rata sekitar 40 x 60 cm. Cahaya
matahari tidak dapat masuk ke setiap ruangan rumag sehingga rumah pasien memakai
3

genteng kaca di tengah-tengah ruangan untuk menerangi ruangan dalam rumah. Pasien
menggunakan sumur untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, minum, memasak, dan
mencuci. Jarak antara sumur dan septic tank sekitar 6 meter.
Pembuangan sampah dilakukan dengan menggunakan lubang di halaman belakang
rumah, yang berukuran 2x1 meter. Sampah ditumpuk yang kemudian dibakar. Jarak
dengan rumah sekitar 10 meter. Pasien tidak memiliki hewan peliharaan di belakang
rumah. Halaman depan maupun belakang rumah, tidak memiliki tembok pagar atau
tembok pembatas halaman.
Kesan : riwayat sanitasi lingkungan cukup baik.
Riwayat gizi
Pasien makan 2-3 kali dalam sehari, dan tiap porsi habis. Menu yang dikonsumsi
adalah nasi, tahu, tempe, ikan, sayur, dan buah. Pasien jarang mengkonsumsi ayam,
maupun daging sapi atau kambing.
Kesan : riwayat gizi kurang
Anamnesis sistem
Sistem serebrospinal : composmentis, cephalgia (-), kejang (-), penurunan kesadaran
(-), parese (-).
sistem kardiovaskular : hipertensi (-), nyeri dada (-), palpitasi (-), dispnea (-), bengkak
di kaki (-), sesak saat aktifitas (-).
sistem pernafasan
: sesak nafas (-), batuk (+) dahak (-) darah (-), pilek (-), asma (-);
batuk lama (+), dahak (-), darah (-), riwayat kontak (-), keringat
malam berlebihan (-), penurunan BB (+).
sistem gastrointestinal: disfagia (+), odinofagia (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut
(+) saat telat makan dan saat menghirup nafas panjang, BAB
cair (-) lendir (-) darah (-), hematochezia (-), melena (-).
sistem urogenital
: hematuri (-), nyeri BAK (-), poliuri (-).
sistem integumen
: turgor kulit normal, ptechie (-), purpura (-), ekimosis (-),
sarkoma kaposi (-), scrofuloderma (-).
sistem muskuloskeletal : nyeri sendi (-), nyeri otot (-), nyeri tulang (-).
Kesan : terdapat batuk kering tanpa dahak maupun darah disertai penurunan berat badan.
2.3 Pemeriksaan fisik
2.3.1 Pemeriksaan umum (Jumat, 10 Desember 2010)
keadaan umum : lemah
kesadaran
: composmentis
vital sign
: tek. darah : 80/ 60 mmHg
nadi
: 84 x/ menit
RR
: 24 x/menit
Suhu
: 36 oC
4

kulit
: turgor kulit normal, ikterus (-), ptechie (-), purpura (-), ekimosis (-)
kelenjar limfe : tidak ditemukan pembesaran pada limfonodi submandibula, leher,
maupun aksila.
Otot
: tonus otot dalam batas normal, atrofi (-).
Tulang
: deformitas (-)
kesan : hipotensi
2.3.2 Pemeriksaan khusus
1. Kepala dan leher
a. Kepala
Bentuk
Rambut
Mata
o Sklera
o Konjungtiva
o Oedem palpebra
o Pupil
Hidung

Telinga
Mulut

b. Leher
Kelenjar limfe
Tiroid
Kaku kuduk
JVP
Integumen

: bulat lonjong, simetris


: hitam, bergelombang, tidak mudah dicabut
: ikterus (-/-), hiperemia (-/-)
: anemis (+/+)
: (-/-)
: refleks pupil (+/+), D 2/2 mm, leukokoria (-/-)
: sekret (-/-), bau (-), perdarahan (-/-), pernafasan cuping
hidung (-/-), odem (-/-).
: sekret (-/-), bau (-/-), perdarahan (-/-), odem (-/-)
: sianosis (-), bau (-); Lidah : kandidiasis oral (+); Faring:
hiperemi; tonsila palatina (T1 hiperemi/ T1 hiperemi).

: pembesaran (-/-)
: pembesaran (-/-)
: (-)
: 7 cm (normal)
: scrofuloderma (-)

2. Thorax
a. Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak nampak
- Palpasi
: ictus cordis tidak teraba
- Perkusi
: redup ICS II-III PSL dextra hingga ICS III-V MCL sinistra
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-), extra systole (-)
b. Paru
VENTRALIS (D/S)
DORSALIS (D/S)
Inspeksi
Bentuk : barrel chest, simetris
Bentuk : barrel chest, simetris
Retraksi : (-)
Retraksi : (-)
Gerakan nafas tertinggal (-)
Gerakan nafas tertinggal (-)
Pelebaran ICS (+)
Pelebaran ICS (+)
5

Palpasi
(dextra)
Fremitus raba

N
N
N
N

(sinistra)

(dextra)
Fremitus raba

N
N
N
N N

N N
N N
N N
N N N N
N N N N
Nyeri tekan (-), krepitasi (-)

Nyeri tekan (-), krepitasi (-)


Perkusi
S S
S S
S S
S S S S
S
S
Auskultasi
Suara dasar
V V
V V
BV BV
V V V V
V
V
Ronkhi
- - - - - - Wheezing
- - - - - - -

3. Abdomen
a. Inspeksi
b. Auskultasi
c. Perkusi
d. Palpasi

(sinistra)

S
S
S
S S
S S

S
S
S
S
S

S
S

Suara dasar
V
V
BV
V V
V V

V
V
BV
V V
V V

Ronkhi
- - -

- - -

Wheezing

: datar, turgor kulit normal


: bising usus (+) 15x/menit
: timpani di seluruh abdomen
: soepel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal
tidak teraba.

4. Ekstremitas
6

a. Superior : akral hangat +/+, oedema -/-.


b. Inferior
: akral hangat +/+, oedema -/-.
Kesan : dalam batas normal
5. Integumen : tidak terdapat penyakit kulit seperti jamur, dermatitis, maupun sarkoma
kaposi
6. Status psikiatri singkat
1) Kesan umum
: berpakaian rapi, bersih, sopan, sesuai gender dan usia.
2) Kontak
: verbal (+), mata (+)
3) Kesadaran
: kualitatif : non-psikotik
Kuantitatif : GCS : 4-5-6
4) Afek emosi
: adekuat
5) Proses berfikir : bentuk : realistik
Arus : koheren
Isi : waham (-)
6) Persepsi
: dalam batas normal
7) Kemauan
: dalam batas normal
8) Psikomotor
: dalam batas normal
9) Intelegensi
: dalam batas normal
7. Status neurologi singkat
1) Kesadaran
Kualitatif : compos mentis
Kuantitatif : GCS 4-5-6
2) Meningeal sign
Kaku kuduk
: tidak ada
Kernig
: tidak ada
Brudzinski I
: tidak ada
Brudzinski II
: tidak ada
3) Nervus cranialis : dalam batas normal
4) Motorik
: dalam batas normal
Kekuatan otot
o Ekstremitas superior
: 555/555
o Ekstremitas inferior
: 555/555

Tonus otot
o Ekstremitas superior
: 555/555
o Ekstremitas inferior
: 555/555
5) Sensorik
: dalam batas normal
6) Autonom
: BAB (+) 1 kali/hari, kuning, padat, lendir (-), darah (-) BAK (+) 3-4
kali/hari, bening.
7) Columna vertebra : dalam batas normal

8. Status gizi
BMI =

Berat badan (kg)


Tinggi Badan (m)2

60
(1,65)2

= 22,038
Kesan : berat badan dalam batas normal
2.4 Pemeriksaan penunjang
2.4.1 Pemeriksaan laboratorium (10 Desember 2010)
Jenis pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Lekosit
Hematokrit
Trombosit
Faal hati
Bilirubin direct
Bilirubin total
SGOT
SGPT
Albumin

Hasil

Nilai rujukan

8,8
6,8
26,0
262

13,4 17,7
4,3 10,3
38 42 %
150 450

0,14
0,35
16
10
2,5

0,2 0,4
< 1,2
10 35
9 43
3,4 4,8

Faal ginjal
Kreatinin serum
1,2
0,6 1,3
BUN
17
6 - 20
Urea
37
10 50
Asam urat
2,8
3,4 7
Kadar gula darah
Sewaktu
81
< 200
Elektrolit
Natrium
132,9
135 155
Kalium
3,97
3,5 5,0
Chloride
99,6
90 110
Calsium
1,75
2,15 2,57
Kesan :
Hemoglobin, dan hematokrit menurun, hipoalbumin, kalsium menurun.

2.4.2

Pemeriksaan VCT
Hasil pemeriksaan VCT 25 November 2010 : positif reaktif.

2.5 Resume
Pasien mengeluhkan epigastric pain dan disfagia sejak 10 hari yang lalu dengan hasil
VCT positif reaktif.
RPD: Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), batuk lama (-), tranfusi darah (-)
RPK: (-)
RPO: terapi selama di puskesmas tanggul dan RS. Jatiroto
Pemeriksaan fisik ditemukan:
o Keadaan umum : lemah
o Kesadaran
: composmentis
o Vital sign
: tek. darah : 80/ 60 mmHg
nadi
: 84 x/ menit
RR
: 24 x/menit
Suhu
: 36 oC
o Kepala leher
: anemis, kandidiasis oral, dan radang tonsil
o Thorax
: barrel chest, pemeriksaan lainnya dalam batas normal
o Abdomen
: dalam batas normal
o Ekstremitas
: dalam batas normal
Status gizi
: baik
Pemeriksaan penunjang : anemia, hipoalbuminemia.
2.6 Diagnosis kerja dan diagnosis banding
Diagnosis kerja
: AIDS stadium II kategori B dengan epigastrium pain dan candidiasis
oral.
Diagnosis banding : candidiasis esofageal, ulkus peptikum, TB paru.
2.7 Planning
2.7.1 Planning diagnostik
Pemeriksaan foto rontgen thorax PA

Gambar foto thorax PA (11 Desember 2010)


Gambaran radiologik:
Marker dan identitas jelas
Teknis foto posisi PA, inspirasi cukup
Soft tissue: dalam batas normal
Bone: scapula terbuka kurang lebar, tidak nampak fraktur
Airway: trachea di tengah, tidak ada deviasi
Cartilago: tidak nampak gambaran kalsifikasi/ sklerotik

Cor:
o CTR: 1,3 + 5,3
28,6

x 100 % = 23,07 %

10

2.7.2

Planning terapi
Infus RL : D5% = 2 : 1 (20 tpm)
Inj. Cefotaxime 1 gr 3 dd I (iv)
Inj. Antrain amp
3 dd I (iv)
Inj. Ranitidin amp
3 dd I (iv)

2.7.3

2.7.4

o Sudut cardiofrenikus dextra dan sinistra tajam


o Aortic knob tidak melebar
o Pinggang jantung dalam batas normal
Pulmo
o Sinus costofrenicus dextra et sinistra tajam
o Paru pada hemithorax dextra terdapat peningkatan corakan bronkovaskuler
terutama di bagian hilus. Sedangkan hemithorax sinistra tidak.
o Tidak ditemukan pelebaran hilus
o Terdapat pelebaran inter-costa-space (ICS) pada hemithorax dextra maupun
sinistra.
o Diafragma dalam batas normal
Kesan :
o Cor : dalam batas normal
o Pulmo : terdapat proses peradangan brokus maupun bronkiolus respiratorik pada
hemithorax dextra lobus inferior dan sebagian lobus medius.

Planning monitoring
Evaluasi tanda-tanda vital
Evaluasi komplikasi (TB paru, meningitis TB, diare, dehidrasi)

Planning edukasi
Menjelaskan pada pasien mengenai penyakitnya, penularan, komplikasi dan
menghindari faktor-faktor yang dapat memperberat kondisinya.
Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya kontrol, dan berobat.
Memberikan motivasi kepada pasien dan keluarga.

11

2.8 Follow up
Kondisi
pasien
Keluhan

10/12/2011

11/12/2011

Demam (-) batuk (+) dahak (-) darah (-),


pilek (-), sesak (-), mual (+) muntah
(-),nyeri perut epigastrium (+), BAB 1x,
padat, kuning, lendir(-), darah (-). BAK 3x,
kuning, @1/2 gelas aqua.
85/60 mmHg
84
24
36,5
a/i/c/d : +/-/-/-; pembesaran KGB (-);
pernafasan cuping hidung (-), candidiasis
oral (+)

Dada sakit seperti ditusuk-tusuk sebelah


kiri bawah; perut masih sakit melilit,
batuk (+) kering, susah menelan dan lidah
terasa pahit. Tidak BAB dan BAK dalam
batas normal
90/60mmHg
68
20
36,4
a/i/c/d : -/-/-/-; pembesaran KGB (-);
pernafasan cuping hidung (-), candidiasis
oral (+)

Ic tak nampak
Ic tak teraba
Redup ICS II-III PSL dextra; hingga ICS
III-V MCL sinistra.
S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), extra
systole (-), murmur (-).

Ic tak nampak
Ic tak teraba
Redup ICS II-III PSL dextra; hingga ICS
III-V MCL sinistra.
S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), extra
systole (-), murmur (-).

Pulmo :
I

Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-).

P
P
A

Fremitus raba N/N


Sonor +/+
Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi


(-).
Fremitus raba N/N
Sonor +/+
Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki
(-/-)

Tek. darah
Nadi
RR
Suhu tubuh
Kepala/
leher
Thorax:
Cor :
I
P
P
A

Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
Diagnosis

Datar
BU (+) normal 15x/menit
Timpani, shifting dullness (-)
Soepel, nyeri tekan (-).
Akral hangat +/+
Oedem -/B20 dengan susp. TB
paru,disfagia,candidiasis oral

Datar
BU (+) normal 13x/menit
Timpani, shifting dullness (-)
Soepel, nyeri tekan (-).
Akral hangat +/+
Oedem -/B20 dengan susp. TB
paru,disfagia,candidiasis oral

12

Terapi

Kondisi
pasien
Keluhan

Tek. darah
Nadi
RR
Suhu tubuh
Kepala/
leher
Thorax:
Cor :
I
P
P
A
Pulmo :
I
P
P
A
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
Diagnosis
Terapi

Infus RL : D5% = 2 : 1 (20 tpm)


Inj. Cefotaxime 1 gr
3 dd I (iv)
Inj. Antrain amp
3 dd I (iv)
Inj. Ranitidin amp
3 dd I (iv)

Infus RL : D5% = 2 : 1 (20 tpm)


Inj. cotrimoxazole 1 gr 3 dd I (iv)
Inj. Antrain amp
3 dd I (iv)
Inj. Ranitidin amp
3 dd I (iv)
Fluconazole 2 dd II
Gentian violet
Konsul paru dan klinik VCT

12/12/2011

13/12/2011

Tidak pusing, tidak nyeri dada, lidah terasa


pahit sudah berkurang, perut tidak melilit.
BAB 2x dalam batas normal, BAK 4x
dalam batas normal
90/60mmHg
76
24
36,5
a/i/c/d : -/-/-/-; pembesaran KGB (-);
pernafasan cuping hidung (-), candidiasis
oral (+)

Tidak pusing, tidak nyeri dada, lidah terasa


pahit sudah berkurang, perut tidak melilit.
BAB 1x dalam batas normal, BAK 3x
dalam batas normal
80/60mmHg
80
20
36,4
a/i/c/d : -/-/-/-; pembesaran KGB (-);
pernafasan cuping hidung (-), candidiasis
oral (+)

Ic tak nampak
Ic tak teraba
Redup ICS II-III PSL dextra; hingga ICS
III-V MCL sinistra.
S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), extra
systole (-), murmur (-).

Ic tak nampak
Ic tak teraba
Redup ICS II-III PSL dextra; hingga ICS
III-V MCL sinistra.
S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), extra
systole (-), murmur (-).

Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-).


Fremitus raba N/N
Sonor +/+
Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-).


Fremitus raba N/N
Sonor +/+
Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Datar
BU (+) normal 20x/menit
Timpani, shifting dullness (-)
Soepel, nyeri tekan (-).
Akral hangat +/+
Oedem -/B20 dengan disfagia,candidiasis oral
Infus RL : D5% = 2 : 1 (20 tpm)
Inj. cotrimoxazole 1 gr 3 dd I (iv)
Inj. Antrain amp
3 dd I (iv)

Datar
BU (+) normal 11x/menit
Timpani, shifting dullness (-)
Soepel, nyeri tekan (-).
Akral hangat +/+
Oedem -/B20 dengan disfagia,candidiasis oral
Infus RL : D5% = 2 : 1 (20 tpm)
Inj. cotrimoxazole 1 gr 3 dd I (iv)
Inj. Antrain amp
3 dd I (iv)
13

Inj. Ranitidin amp


Fluconazole 2 dd II
Gentian violet

3 dd I (iv)

Inj. Ranitidin amp


Fluconazole 2 dd II
Gentian violet

3 dd I (iv)

14

Kondisi
pasien
Keluhan
Tek. darah
Nadi
RR
Suhu tubuh
Kepala/
leher
Thorax:
Cor :
I
P
P
A
Pulmo :
I
P
P
A
Abdomen
I
A
P
P
Ekstremitas
Diagnosis
Terapi

14/12/2011
Tidak pusing, tidak nyeri dada, lidah terasa pahit sudah berkurang, perut tidak melilit.
BAB 2x dalam batas normal, BAK 4x dalam batas normal
80/60mmHg
80
20
36,6
a/i/c/d : -/-/-/-; pembesaran KGB (-); pernafasan cuping hidung (-), candidiasis oral (+)

Ic tak nampak
Ic tak teraba
Redup ICS II-III PSL dextra; hingga ICS III-V MCL sinistra.
S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), extra systole (-), murmur (-).
Simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-).
Fremitus raba N/N
Sonor +/+
Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Datar
BU (+) normal 20x/menit
Timpani, shifting dullness (-)
Soepel, nyeri tekan (-).
Akral hangat +/+
Oedem -/B20 dengan ,disfagia,candidiasis oral
Infus RL : D5% = 2 : 1 (20 tpm)
Inj. cotrimoxazole 1 gr 3 dd I (iv)
Inj. Antrain amp
3 dd I (iv)
Inj. Ranitidin amp
3 dd I (iv)
Fluconazole 2 dd II
Gentian violet

2.9 Prognosis
Dubia ad malam
2.10 Evaluasi
a. Usulan : endoscopy abdomen, konsul dokter spesialis paru (susp.TB paru), cek CD4
dan klinik VCT: pertimbangan memulai pemberian ARV
b. Hasil :
- Paru : tidak ada terapi khusus (hasil foto negatif)
- Klinik VCT : adherence terapi baru dapat dimulai tanggal 21/12/2010
- Pemeriksaan endoskopi dan hitung CD4 tidak dilakukan.
15

16

BAB III. PEMBAHASAN


1. AIDS
a. Tinjauan pustaka
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan sekumpulan gejala
penyakit yg menunjukkan kelemahan/kerusakan yg didapat dari faktor luar & bukan
bawaan yang sejak lahir atau kumpulan gejala-gejala penyakit infeksi atau keganasan
tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh atau kekebalan
penderita.
Penyebab AIDS adalah suatu retrovirus yang sejak tahun 1986 disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV) atas rekomendasi dari International Committee on
Toxonomy of Viruses. HIV termasuk dalam golongan Retrovirus berinti RNA (sebagian
besar virus lain adalah DNA) dan mempunyai enzim bemama reverse transcriptase yang
mampu mengubah kode genetik dari DNA ke RNA.Virus ini terdiri dari inti (core)
dengan lapisan luar bernama amplop (envelope) (Gambar 1).

Gambar 1. Struktur anatomi HIV (Fauci, 2001).

Envelope HIV berfungsi sebagai alat penting untuk menempelkan virus tersebut
pada sel induk (sel hidup yang diserang, biasanya sel T helper), kemudian melubangi
dinding sel induk tersebut. Envelope terdiri dari banyak komponen glikoprotein dan di
antaranya yang penting adalah gp 160, gp 140, gp 120. Pemberian nama masing-masing
glikoprotein tersebut sesuai dengan berat molekulnya yang diukur menurut kiloDalton.
Identifikasi laboratorik terhadap profit glikoprotein ini sangat menunjang diagnosis
keberadaan envelope virus dalam tubuh manusia..
17

Bagian inti (core) HIV berfungsi penting untuk replikasi virus di dalam sel induk,
terdiri dari beberapa komponen protein dan yang paling penting adalah p24, p16, p15 dan
enzim reverse transcriptase. Menurut Kuby J. (1996) Partikel HIV terdiri atas inner core
yang mengandung 2 untai DNA identik yang dikelilingi oleh selubung fosfolipid. Genon
HIV mengandung gen env yang mengkode selubung glikoprotein, gen gag yang
mengkode protein core yang terdiri dari protein p17 (BM 17.000) dan p24 (BM 24.000),
dan gen pol yang mengkode beberapa enzim yaitu : reverse transcriptase, integrase dan
protease. Enzim-enzim tersebut dibutuhkan dalam proses replikasi. Bagian paling
infeksius dari HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000) dan gp 41 (BM
41.000). Kedua glikoprotein tersebut sangat berperan pada perlekatan virus HIV dengan
sel hospes pada proses infeksi.
b. Patofisiologi
Virus AIDS (HIV) dapat menghindar bahkan mampu melumpuhkan sistem
kekebalan tubuh (immune system), yaitu sistem pertahanan tubuh yang selalu timbul bila
tubuh dimasuki benda asing. Target sel HIV terutama adalah limfosit T helper, yang
dikenal sebagai sel pemberi komando awal untuk memulai suatu rantai reaksi kekebalan
tubuh. Jika sel T-helper ini lumpuh akibat infeksi HIV, maka sistem kekebalan tubuhpun
tidak melakukan reaksi imun dalam keadaan defisiensi. Akibatnya, penderita AIDS
mudah mendapat infeksi oportunistik (misalnya Pneumocystis carinii, jamur) atau
bertambah beratnya suatu penyakit yang semula hanya ringan saja. Sehingga pada
permulaan penyakit penderita AIDS sulit didiagnosis secara klinis, bahkan dapat
meninggal tanpa diketahui penyakitnya. Patogenesis HIV dimulai pada saat virus masuk
ke dalam suatu sel induk (limfosit T helper).
RNA dari HIV mulai membentuk DNA dalam struktur yang belum sempurna,
disebut proviral DNA, yang akan berintegrasi dengan genome sel induk secara laten
(lama). Karena DNA dari HIV bergabung/integrasi dengan genome sel induknya (limfosit
T helper) maka setiapkali sel induk berkembang biak, genom HIV tersebut selalu ikut
memperbanyak diri dan akan tetap dibawa oleh sel induk ke generasi berikutnya. Oleh
karena itu dapat dianggap bahwa sekali mendapat infeksi virus AIDS maka orang tersebut
selama hidupnya akan terus terinfeksi virus, sampai suatu saat mampu membuat kode
18

dari messenger RNA (cetakan pembuat gen) dan mulai menjalankan proses
pengembangan partikel virus AIDS generasi baru yang mampu ke luar dan sel induk dan
mulai menyerang sel tubuh lainnya untuk menimbulkan gejala umum penyakit AIDS.
Setelah HIV masuk ke dalam tubuh, perjalanan penyakit AIDS dimulai dengan
masa induksi (window period), yaitu penderita masih tampak sehat, dan hasil
pemeriksaan darah juga masih negatif, Setelah 23 bulan,perjalanan penyakit dilanjutkan
dengan masa inkubasi, yaitu penderita masih tampak sehat, setapi kalau darah penderita
kebetulan diperiksa (test ELISA dan Western Blot) maka hasilnya sudah positif. Lama
masa inkubasi bisa 510 tahun tergantung umur (bayi lebih cepat) dan cara penularan
penyakit (lewat transfusi atau hubungan seks). Kemudian penderita masuk ke masa gejala
klinik berupa ARC (AIDS Related Complex) seperti misalnya : penurunan berat badan,
diare) dan akhirnya dilanjutkan dengan gejala AIDS berupa infeksi oportunistik seperti
TBC, jamur, kanker kulit, gangguan saraf dan lain-lain sampai meninggal.
Perjalanan penyakit AIDS belum diketahui dengan pasti. Masa inkubasi
diperkirakan 5 tahun atau lebih. Diperkirakan bahwa sekitar 25% dari orang yang
terinfeksi akan menunjukkan gejala AIDS dalarn 5 tahun pertama. Sekitar 50% dari yang
terinfeksi dalam 10 tahun pertama akan mendapat AIDS. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya AIDS pada orang yang seropositif belum diketahui dengan
jelas. Menurunnya limfosit T4 di bawah 200 per ml. berarti prognosis.yang buruk.
Diperkirakan bahwa infeksi HIV yang berulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi
lain mempunyai peranan penting. Mortalitas pada penderita AIDS yang sudah sakit lebih
dari 5 tahun mendekati 100%. Survival penderita AIDS rata-rata ialah 1 2 tahun.
c. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratoris.
Untuk menentukan adanya infeksi HIV sebelum menjadi AIDS tidak mudah karena
individu yang terpapar masih asimtomatik, yang secara klinis tidak mudah dikenali.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium mulai
dari uji penapisan dengan penentuan adanya antibodi anti-HIV, misalnya dengan ELISA
yang kemudian dilanjutkan dengan uji kepastian dengan pemeriksaan lebih spesifik yaitu
dengan Western blot. Uji western blot lebih spesifik karena mampu mendeteksi
19

komponen-komponen yang terkandung pada HIV, antara lain gp120, gp41, p24. Untuk
negara berkembang seperti Indonesia mengingat uji Western blot belum merata dilakukan
secara rutin, maka WHO menganjurkan pemeriksaan laboratorium dengan tiga metode
yang berbeda. Dikatakan terinfeksi HIV apabila ketiga pemeriksaan laboratorium dari
metode yang berbeda-beda tersebut semuanya menunjukkan reaktif.
Tabel 2. Tes diagnostik untuk infeksi HIV
Skrining
Konfirmasi

Lain-lain

Enzyme-linked immunoassay (EIA, ELISA) untuk HIV-1, HIV2, atau keduanya aglutinasi Latek untuk HIV-1
Western blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2 Indirect
immunofluorescence antibody assay (IFA) untuk HIV-1
Radioimmunoprecipitation antibody assay (RIPA) untuk HIV-1
ELISA untuk HIV-1 p24 antigen Polymerase Chain Reaction
(PCR) untuk HIV-1

Berdasarkan WHO Workshop yang diadakan di Bangui, Republik Afrika Tengah,


2224 Oktober 1985 telah disusun suatu definisi klinik AIDS untuk digunakan oleh
negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas diagnostik laboratorium. Ketentuan
tersebut adalah sebagai berikut :
1) AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu
gejala minor dan tidak terdapat sebab-sebab imunosupresi yang diketahui seperti
kanker, malnutrisi berat, atau etiologi lainnya.
Gejala mayor :
a. Penurunan berat badan lebih dari 10%
b. Diare kronik lebih dari 1 bulan
c. Demam lebih dari 1 bulan (kontinu atau intermiten).
Gejala minor :
a. Batuk lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis pruritik umum
c. Herpes zoster rekurens

20

d. Candidiasis oro-faring
e. Limfadenopati umum
f. Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
2) AIDS dicurigai pada anak ( bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor dan tidak terdapat sebab imunosupresi yang diketahui seperti kanker,
malnutrisi berat, atau etiologi lainnya).
Gejala mayor :
a. Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal
b. Diare kronik lebih dari 1 bulan
c. Demam lebih dari 1 bulan
Gejala minor :
a. Limfadenopati umum
b. Candidiasis oro-faring
c. Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).
d. Batuk persisten
e. Dermatitis umum
f. Infeksi HIV maternal
d. Klasifikasi dan manifestasi klinis
Menurut WHO (2002) manifestasi klinis penderita HIV/ AIDS dewasa dibagi
menjadi empat stadium, yaitu:
Stadium I:
1. asimtomatik
2. limfadenopati generalisata persisten
Dengan penampilan klinis derajat 1: asimtomatik dan aktifitas normal.
Stadium II:
1. penurunan berat badan < 10%
2. manifestasi mukoutaneus minor (dermatitis seborreic, prurigo, infeksi jamur pada
kuku, ulserasi pada mulut berulang, cheilitis angularis)
3. Herpes zoster, dalam 5 tahun terakhir
4. Infeksi saluran nafas atas berulang (misalnya sinusitis bakterial)
Dengan penampilan klinis derajat 2: simtomatik, aktivitas normal.
Stadium III:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Penurunan berat badan > 10%


Diare kronik dengan penyebab yang tidak jelas > 1 bulan
Demam tanpa penyebab yang jelas (intermittent atau menetap) > 1 bulan
Kandidiasis oral
Tuberkulosis paru dalam 1 tahun terakhir
Terinfeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
21

Dengan atau penampilan klinis derajat 3: berbaring di tempat tidur < 50% sehari
dalam satu bulan terakhir.
Stadium IV:
1. HIV wasting syndrome
2. Pneumonia pneumocystic carinii
3. Infeksi toksoplasmosis di otak
4. Diare karena cryptosporidiosis > 1 bulan
5. Infeksi sitomegalovirus
6. Infeksi Herpes simpleks, maupun mukokutaneus > 1 bulan.
7. Infeksi mikosis (histoplasmosis, coccidioidomycosis)
8. Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus maupun paru.
9. Infeksi mikobakteriosis atypical
10. Sepsis
11. Tuberkulosis ekstrapulmoner
12. Limfoma maligna
13. Sarkoma kaposi
14. Ensepalopati HIV
Dengan penampilan klinis derajat 4: berada di tempat tidur, > 50% setiap hari bulanbulan terakhir.
Sistem klasifikasi CDC pasien dengan infeksi HIV baik pada remaja maupun
dewasa didasarkan pada kondisi klinis yang berhubungan dengan infeksi HIV dan jumlah
limfosit CD4+ T. Sistem berdasarkan pada 3 bagian menurut hitung CD4+ T limfosit dan
kategori klinis.
Tabel 3. Klasifikasi CDC (1993) untuk penderita HIV/ AIDS.
Kategori
Hitung CD4
> 500 sel/mm3
200-500 sel/mm3
< 200 sel/mm3

infeksi HIV asimtomatis,


akut (primer), PGL

Kondisi klinis
non A, non C

Indikator kondisi AIDS

A1
A2
A3

B1
B2
B3

C1
C2
C3

Tabel 4. Kategori klinis infeksi HIV


Kategori klinis infeksi HIV
Kategori A: terdiri dari satu atau lebih kondisi yang ada di daftar di bawah ini baik pada
dewasa maupun remaja dengan riwayat infeksi HIV. Tidak terdapat kondisi yang ada di
kategori B maupun C.
22

Infeksi HIV asimtomatis


Persistent generalized lymphadenopathy
Infeksi akut (primer) HIV yang bersamaan dengan munculnya penyakit atau adanya
riwayat infeksi HIV akut
Kategori B: terdiri dari kondisi yang simtomatis pada pasien yang terinfeksi HIV baik
pada remaja maupun dewasa yang tidak termasuk dalam kategori klinis C dan sedikitnya
terdapat satu dari kriteria berikut:
(1) kondisi yang berhubungan dengan infeksi HIV atau menunjukkan adanya kerusakan
pada imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated immunity); atau (2) kondisi yang
dianggap oleh dokter memiliki rangkaian perjalanan klinis atau kebutuhan penanganan
komplikasi infeksi HIV. Berikut beberapa contoh yang terlibat, tetapi tidak terbatas pada
hal-hal berikut:
Bacillary angiomatosis,
Candidiasis, oropharyngeal (thrush,
Candidiasis, vulvovaginal; persisten, sering, atau tidak efektif pada terapi,
Cervicaldysplasia (sedang atau berat)/cervical carcinoma in situ
Constitutional symptoms, seperti demam (38.5oC) atau diare sedikitnya > 1 bulan
Hairy leukoplakia, oral
Herpes zoster (shingles), yang melibatkan sedikitnya dua episode yang jelas atau lebih
dari satu daerah dermatom
Idiopathic thrombocytopenic purpura
Listeriosis
Pelvic inflammatory disease, terutama jika komplikasi dari tuboovarian
abscess
Peripheralneuropathy
Kategori C: kondisi yang terdaftar pada kasus AIDS surveillance.
Candidiasis of bronchi, trachea, atau paru
Candidiasis, esophageal
Cervical cancer, invasive
Coccidioidomycosis, disseminated atau extrapulmonary
Cryptococcosis, extrapulmonary
Cryptosporidiosis, chronic intestinal( > 1 bulan durasi)
Cytomegalovirus disease (selain hati, lien, maupun limfonodi)
Cytomegalovirus retinitis (dengan gangguan visus)
Encephalopathy, HIV-related
Herpes simplex: chronic ulcer (>1 bulan durasi); atau bronchitis, pneumonia, atau
esophagitis
Histoplasmosis, disseminated atau extrapulmonary
Isosporiasis, chronic intestinal( > 1 bulan durasi)
Kaposis sarcoma
Lymphoma, Burkitts
Lymphoma, primary, pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, disseminated atau extrapulmonary
Mycobacterium tuberculosis, (baik di dalam paru maupun extrapulmonary)
Mycobacterium, spesies lain maupun spesies yang tidak diketahui, disseminated atau
extrapulmonary
23

Pneumocystis carinii pneumonia


Pneumonia, recurrent
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Salmonella septicemia, recurrent
Toxoplasmosis of brain
Wasting syndrome oleh karena HIV
Pada kasus ini hanya didapatkan data sebagai berikut:
Pasien mengalami penurunan berat badan sekitar 7 %, dengan keluhan sering
demam subfebris sejak 1 tahun yang lalu, terdapat infeksi saluran nafas berupa batuk
kering sejak 2 bulan yang lalu dengan hasil gambaran foto rontgen paru positif adanya
proses inflamasi di bronkus dan negatif untuk TB paru. Diare tanpa sebab yang jelas
hanya selama 2 hari dan sembuh. Pasien juga menderita candidiasis oral, sedangkan
pada integumen tidak ditemukan manifestasi dari penyakit jamur, herpes, gangguan
perdarahan maupun sarkoma kaposi. Pasien mengeluh nyeri perut di epigastrium tanpa
penjalaran ke bagian punggung sejak 10 hari yang lalu. Pemeriksaan perhitungan CD4
maupun ELISA tidak dilakukan, namun hanya pemeriksaan VCT dengan hasil positif.
Aktivitas sehari-hari tidak terganggu.
Sehingga pada pasien ini hanya meliputi 1 gejala mayor dengan 2 gejala minor.
Berdasarkan data yang didapatkan, pasien masuk kriteria stadium II, dengan kategori B.

e. Penatalaksanaan
I. Penatalaksanaan Pada Orang Dewasa
Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi perlu diberikan segera sesudah diagnosis HIV/AIDS
ditegakkan dan dilakukan secara berkesinambungan. Bahkan, konseling dan edukasi
merupakan pilar pertama dan utama dalam penatalaksanaan HIV/AIDS; karena
keberhasilan pencegahan penularan horizontal maupun vertikal, pengendalian kepadatan
virus dengan ARV, peningkatan CD4, pencegahan dan pengobatan IO (infeksi
oportunistik) serta komplikasi akan berhasil jika konseling dan edukasi berhasil
dilakukan dengan baik.
Pada konseling dan edukasi perlu diberikan dukungan psikososial supaya ODHA
(orang dengan HIV/ AIDS) mampu memahami, percaya diri dan tidak takut tentang
24

status dan perjalanan alami HIV/AIDS, cara penularan, pencegahan serta pengobatan
HIV/AIDS dan IO; semuanya ini akan memberi keuntungan bagi ODHA dan
lingkungannya.
Antiretrovirus (ARV)
Pemberian ARV sebaiknya tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada
pasien yang dicurigai, tetapi perlu menempuh langkah-langkah yang arif dan bijaksana,
serta mempertimbangkan berbagai faktor: sanggupkah pasien mengkonsumsi obat dalam
waktu yang tidak terbatas, kemampuan membeli obat dalam jangka lama, rasa kurang
nyaman selama mengonsumsi obat, pasien menginginkan penyakitnya tidak diketahui
orang lain, potensi resistensi obat, efek samping yang tidak ringan, jangkauan
memperoleh obat, serta saat yang tepat memulai terapi.
Tabel 5. Rekomendasi memberikan terapi ARV menurut WHO (2002).
Bila pemeriksaan
dapat dilakukan

CD4

1. Klinis stadium IV tanpa mempertimbangkan


jumlah CD4
2. Klinis stadium I, II, atau III dengan CD4 <
200/mm3
Bila pemeriksaan CD4 tidak
1. Klinis stadium IV tanpa mempertimbangkan
dapat dilakukan
jumlah limfosit total.
2. Klinis stadium II, atau III dengan limfosit total
1200/ mm3
Kombinasi ARV merupakan dasar penatalaksanaan pemberian antivirus terhadap
ODHA; karena dapat mengurangi resistensi, menekan replikasi HIV secara efektif
sehingga kejadian penularan/IO/komplikasi lainnya dapat dihindari, dan meningkatkan
kualitas serta harapan hidup ODHA. Dua golongan ARV yang diakui Food and Drug
Administration (FDA) dan World Health Organization (WHO) adalah penghambat
reverse transcriptase (PRT), yang terdiri dari analog nukleosida dan non-analog
nukleosida, serta penghambat protease (PP) HIV. Ketiga jenis ini dipakai secara
kombinasi dan tidak dianjurkan pada pemakaian tunggal. Penggunaan kombinasi ARV
merupakan farmakoterapi yang rasional; sebab masing-masing preparat bekerja pada
tempat yang berlainan atau memberikan efek sinergis terhadap yang lain. Preparat
golongan PRT analog nukleosida menghambat beberapa proses polimerisasi deoxyribo
25

nucleic adid (DNA) sel termasuk sintesis DNA yang tergantung pada ribonucleic acid
(RNA) pada saat terjadi reverse transkripsi; sedangkan PRT analog non-nukleosida secara
selektif menghambat proses reverse transkripsi HIV-1. Penghambat protease bekerja
dengan cara menghambat sintesis protein inti HIV.
Tabel 6. Kombinasi pengobatan antiretrovirus (ARV).
Kriteria
Penghambat Reverse transcriptase
kombinasi
Sangat
Didanosin+lamivudin
dianjurkan
Didanosin+stavudin
Didanosin+zidovudin
Didanosin+Efirenz+Lamivudin/
Stavudin/ Zidovudin
Lamivudin+Zidovudin
Lamivudin+stavudin
Alternatif

Zidovudin+Zalsitabin

Tidak dianjurkan

Stavudin+Zidovudin
Zalsitabin+Didanosin
Zalsitabin+Lamivudin
Zalsitabin+Stavudin

Penghambat protease
Indinavir
Indinavir+Ritonavir
Lopinavir+Ritonavir
Nelfinavir

Amprenavir
Nelfinavir+saquinavir
Ritonavir
Saquinavir

Sumber: US. Deportment of Health and Human Services. Guidelines for the use of antiretroviral
agents in hiv-infected adults and adolescents. MMWR 2001; 50: 1-1152.

II. Penatalaksanaan Pada Ibu Hamil/Melahirkan


Konseling, Edukasi dan Uji Saring Antepartum
The American College of Obstetricians and Gynaecologists (AGOG) dan USPHS
menganjurkan konseling, edukasi dan Uji saring HIV sebagai bagian perawatan
antepartum yang dilakukan secara rutin dan sukarela oleh ibu hamil dengan risiko tinggi
infeksi HIV dan ibu hamil dengan HIV/AIDS (IHDHA). Dalam konseling dan edukasi,
perlu dukungan psikososial ibu supaya tidak takut dan percaya diri mengenai status HIV
dan kehamilannya, tentang perjalanan alami HIV, cara penularan dan pencegahan
perinatal serta keuntungan pemberian ARV bagi ibu dan janin/bayi. Hasil negatif uji
saring pada ibu risiko tinggi infeksi HIV perlu diulang 4 minggu kemudian mengingat
kemungkinan window period pada saat pemeriksaan dilakukan.
26

Antiretrovirus (ARV)
Pemberian kombinasi ARV merupakan penatalaksanaan baku IHDHA tanpa
memandang status kehamilan, sama seperti pemberian ARV pada ODHA karena telah
dipertimbangkan farmakokinetiknya dan tidak terbukti memberikan efek teratogenik pada
janin/bayi jika diberikan setelah umur kehamilan 14 minggu. Pada pencegahan penularan
HIV perinatal (PHP), baik ACOG, USHS maupun WHO menganjurkan kombinasi ARV
untuk menekan replikasi virus secara cepat sampai batas yang tidak dapat dideteksi;
sehingga diharapkan PHP, tidak terjadi, mengurangi kejadian resistensi dan memberi
kesempatan perbaikan imunitas ibu.
Pemberian kombinasi ARV mulai diberikan pada IHDHA yang memiliki CD4
<500/mm3 atau kepadatan virus >10.000/ml dengan atau tanpa gejala klinis; sedangkan
pemberian ZDV tunggal dapat dilakukan jika CD4 > 500/mm3 dan kepadatan virus 4.000
- 10.000/ml dengan dosis 100 mg 5 kali sehari yang dimulai setelah trimester I sampai
masa persalinan. Pada saat mulai persalinan (kala I), ZDV diberikan secara intravena 2
mg/kg BB dalam 1 jam, dan diteruskan 1 mg/kg BB/jam sampai pengikatan tali pusat
bayi; kemudian diikuti dengan pemberian ZDV oral pada bayi setelah berumur 12 jam
dengan dosis 2 mg/kg BB/6 jam selama 6 minggu. Semua ARV diberikan setelah
trimester I (14 minggu umur kehamilan) untuk menghindari beberapa efek teratogenik.
Namun, jika ibu sedang menjalani pengobatan ARV dan kemudian hamil, pengobatan
tersebut dilanjutkan sebab penghentian, ARV akan mengakibatkan rebound phenomenon
jumlah virus.
Perawatan Antepartum
Perawatan antepartum IHDHA ditujukan bukan hanya perawatan rutin saja,
melainkan juga strategi pencegahan PHP dan pengobatan serta komplikasikomplikasinya. Setiap kunjungan antepartum diperhatikan masalah psikososial ibu, gejala
dan tanda infeksi HIV serta IO. Pemantauan kesejahteraan janin sebaiknya dilakukan
secara non invasif, karena pemeriksaan diagnostik invasif meningkatkan risiko PHP,
kecuali atas indikasi yang kuat.

27

Jumlah CD4 dan kepadatan virus dipantau selama perawatan antepartum setiap
trimester atau setiap 4 minggu jika ARV diberikan guna mengikuti perkembangan
penyakit, keberhasilan ataupun resistensi ARV serta menentukan langkah lebih lanjut. Di
samping itu, pemeriksaan hemoglobin, lekosit dan trombosit juga dilakukan setiap 4
minggu untuk menilai efek penekanan ARV terhadap sumsum tulang.
Cara Persalinan
Pada saat persalinan harus dihindari semua manipulasi yang dapat meningkatkan
risiko PHP melalui kontak darah atau sekret genital ibu; seperti persalinan vagina dengan
solusio plasenta, plasenta previa, perdarahan jalan lahir, ketubah pecah dini serta partus
lama. Pada kasus tersebut, mernpercepat kala II atau operasi cesarea perlu dilakukan.
Penelitian di Swiss, Perancis, London dan daratan Eropa lainnya menunjukkan penurunan
kejadian PHP 50-87% pada IHDHA yang menjalani operasi cesarea eletif. Namun,
sebagian besar subyek penelitian juga menggunakan ZDV selama kehamilannya.
Penelitian di Rwanda mendapatkan kematian IHDHA post operasi cesarea yang
bermakna dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi HIV, walaupun hal ini tidak
ditemukan di Eropa. Sebaliknya, hasil penelitian di Amerika dan Vietnam tidak
didapatkan perbedaan bermakna dalam penurunan PHP antara kelompok yang dilakukan
operasi cesarea elekif dengan kelompok yang diberikan profilaksis ZDV; bahkan untuk
menyelamatkan seorang bayi dari PHP; memerlukan 12-16 operasi cesarea elektif. Oleh
karena itu,operasi cesarea bukan untuk menurunkan kejadian PHP dan dilakukan atas
indikasi obstetri.
III. Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Oportunistik (IO)
Penyebab utama kematian ODHA adalah infeksi opportunistik. Center of Disease
Control (CDC) menganjurkan pemberian regimen pencegahan bagi semua pasien dengan
status imun yang buruk tanpa kecuali. Infeksi oportunistik yang sering dijumpai di
Amerika dan Eropa adalah Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP), sedangkan di negara
berkembang (Afrika, Asia Tengah dan Asia Tenggara) termasuk Indonesia adalah
tuberkulosis paru.

28

Tabel 7. Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik pada pasien HIV/ AIDS.
Patogen
Pneumocytis
carinii

Indikasi
pencegahan
CD4<
200/mm3
- panas > 2
minggu

Toxoplasma
gondii

CD4<
100/mm3
- IgG
toksoplasma

Candida vagina/
oropharygeal

CD4
<
500/mm3
Sering
kambuh
- Tes Mantoux
> 5 mm
- Kontak erat
dengan
penderita
tb.
aktif

M. tuberculosis

Varicella zoster

Kontak dengan
penderita

Pencegahan

Pengobatan

Pilihan : - kotrimoksasol forte


sekali sehari
Altematif : - kotrimoksasol
forte 3 kali/minggu
- dapson 50 mg 2 kali/hari atau
100 mg sekali sehari
- dapson 50 mg/hari +
pirimetamin
50 mg/minggu+leukovorin
25 mg/minggu
- pentamidin aerosol 300
mg/hari
- atovaquon 1500 mg sekali
sehari
Pilihan : - kotrimoksasol forte
sekali sehari
Altematif
:
dapson50
mg/hari+pirimetamin
50 mg/minggu + leukovoin
25 mg/minggu
- atovaquon 1500 mg sekali
sehari

Pilihan : - kotrimoksasol forte 2


tablet 3 kali sehari
selama 21 hari
Altematif : - dapson 100mg/hari
- trimetoprim 20
mg/kg BB/hari selama 21 hari
- klindamisin 300.600 mg 4 kali
sehari
+ primakuin 15 mg/hari selama
21 hari
- atovaquon 1500 mg sekali
sehari
selama 21 hari

Pilihan : - flukonazol 100-200


mg/hari
Altematif : - itrakonazol 200
mg/hari
Isoniazid 300 mg/hari +
piridoksin 50 mg/hari
selama 12 bulan
Rifampisin 600 mg/hari +
pirazinamid 15-20
mg/kg BB/hari, jika resisten
terhadap isoniazid
Ig varicella zoster (VIZIG) 6,25
ml, diberikan

Pilihan : - sulfadiazin 12mg+pirimetamin


Ibu hamil : - spiramisin 1 g 3
kali/hari selama 1-2 minggu
Altematif : - klindamisin 300600 mg 4 kali sehari+
primakuin 15 mg/hari selama
21 hari
- dapson 50 mg/hari +
pirimetamin 50 mg/
minggu + leukovorin 25
mg/minggu
- atovaquon 1500 mg sekali
sehari
Pilihan : - flukonazol 100-200
mg/hari
Altematif : - itrakonazo1200
mg/hari
Seperti pasien tuberkulosis paru
pada umumnya
(sesuai dengan kriteria WHO)

Asiklovir 800 mg 5 kali sehari


selama 2 minggu
29

< 96 jam setelah kontak


Terdapat
Siprofloksasin 500 mg 2 kali Siprofloksasin 500 mg 2 kali
bakteri
sehari
sehari
salmonela
Virus hepatitis A Anti HAV Vaksin hepatitis A : 2 dosis
Virus hepatitis B Anti HBs dan Vaksin hepatitis b : 3 dosis
HBs Sumber : US Public Health Services. Guidelines for the prevention of opportunistic infections in
person infected with human immunodeficiency syndome. MMWR 2001; 50 : 322-4812.
Salmonella sp.

IV. Penatalaksanaan Post Exposure


Konseling, Edukasi dan uji Darah Post Exposure
Tenaga medis, paramedis dan pekerja di bidang kesehatan lainnya merupakan
salah satu kelompok risiko tinggi terinfeksi HIV akibat paparan produk ODHA.
Konseling dan edukasi post exposure penting, terutama berhubungan dengan psikososial
dan perilaku untuk mencegah penularan sekunder (seperti tidak melakukan hubungan
seksual, pemakaian kondom, mencegah kehamilan, menghindari pemberian ASI) sampai
terbukti sumber infeksi tidak mengandung HIV. Uji darah post exposure untuk menilai
antibodi HIV atau RNA HIV dilakukan segera setelah terpapar untuk mengetahui status
infeksi HIV yang bersangkutan; 6 minggu, 12 minggu sampai 6 bulan kemudian, jika
hasil uji darah negatif baru disimpulkan tidak terinfeksi HIV.
Antiretroviral (ARV),
Pencegahan post exposure (PPE) HIV dengan ARV sebaiknya dimulai secepat
mungkin tanpa kecuali (hamil atau tidak). Pada percobaan binatang, didapatkan bahwa
pemberian ARV setelah 36 jam paparan tidak efektif mencegah infeksi HIV; namun pada
manusia belum ada penelitian mengenai hal ini. Saat ini, CDC dan USPHS menganjurkan
pemberian kombinasi ARV untuk PPE, walaupun ZDV sendiri mampu menurunkan
serokonversi sampai 79% pada penelitian retrospektif.
Kombinasi dasar ARV oral selama 4 minggu yang diberikan terdiri dari ZDV 300
mg 2 kali sehari, lamivudin 150 mg 2 kali sehari atau lamivudin 150 mg 2 kali sehari
dengan stavudin 40 mg 2 kali sehari atau sehari dengan didanosin 400 mg sekali sehari.
Sedangkan kombinasi lanjut ARV yang diindikasikan untuk kasus HIV positif kelas 1
dengan cidera kulit dalam dan HIV Positif kelas 2 terdiri dari regimen kombinasi dasar
30

ditambah salah satu dari ARV yang disebutkan berturut-turut dengan dosisnya sebagai
berikut: infinavir 800 mg 3 kali sehari, nelfinavir 750 mg 3 kali sehari, efavirenz 600 mg
sekali sehari atau abakavir 300 mg 2 kali sehari.
Pada pasien tidak dilakukan perhitungan CD4 maupun limfosit total hanya
dilakukan VCT dengan hasil positif. Adherence dan pemberian ARV direncanakan 1
minggu setelah KRS. Terapi umum dan simptomatis diberikan Infus RL : D5% = 2 : 1
(20 tpm), Inj. cotrimoxazole 1 gr 3 dd I (iv), Antrain amp 3 dd I (iv), Inj. Ranitidin amp
3 dd I (iv), sedangkan terapi candidiasis oral pada pasien tersebut gentian violet, dan
Fluconazole 100 mg 2 dd II.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. CDC Atlanta. Recommendations for prevention of HIV transmission in health care
settings. MMWR (August 21), 1987; 36(25).
2. CDC Atlanta. Revision of the case definition for AIDS. MMWR, 1987; 36 (Suppl. 1): 315.
3. CDC. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-infected adults and
adolescents. August 2001; p. 1-115.
4. CDC. Public Health Services task for recommendations for use of andretroviral drugs in
pregnant women infected with HIV-1 for maternal health and for reducing perinatal HIV1 transmission in the us. MMWR 2001 ; 50 (RR.11).
5. CDC. Updated guidelines for the use of rifabutin or rifampin for the treatment and
prevention of tuberculosis among HIV-infected patients taking protease inhibitor or non
nucleoside reverse transcriptase inhibitors. MMWR 2000; 49 (RR 10).
6. Depkes RI. Penanggulangan AIDS. Petunjuk untuk seluruh jajaran kesehatan di
Indonesia. Jakarta, 1988.
7. Djoerban Z. Penatalaksanaan AIDS. Dalam : Setiati S, Sudoyo AW, Alwi I, dkk (Eds).
Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2000. Jakarta : Pusat Informasi dan
Penerbitan FKUI; 2001; hal. 1-8.
8. Fauci AS, Lane HC. Human immunodeficiency syndrome (HIV): AIDS and related
disorder. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasoer DL, et al (Eds). Harrison's Principles of
Internal Medicine. 15th ed. New York: McGraw- Hill; 2001; p.1852-908.
9. Sarwo Handayani. 2001. Deplesi Sel Limfosit CD4+ pada Infeksi HIV. Jakarta. Cermin 2
Dunia Kedokteran No. 130.
10. Siti Budina K. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Ed ketiga. 1996; 134.
11. UNAIDS. 2010. Global report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2010.
Switzerland.
12. US Departemen of Health and Human Services. Guidelines for the management of

occupational exposure to HBV, HCV and HIV recommendations for postexposure


prophylaxis. MMWR 2001; 50 (RR 11).
13. USPHS/IDSA. 2001. Guidelines for the prevention of opportunistic infections in person
infected with human immunodeficiency syndrome. Jul. 2001. p.1-68.
14. WHO-GPA. Current and future dimensions of the AIDS Pandemic. A capsule summary.
WHO Geneva.
15. Wise J. Breast feeding safer than mixed feeding for babies of HIV mothers. Br Med J
2001; 322 : 511-3.
32

33

Anda mungkin juga menyukai