Anda di halaman 1dari 25

ASSIGNMENT

PERTANYAAN SEPUTAR PENYAKIT GIGI DAN MULUT


BLOK 17 DIGESTIF

DISUSUN OLEH:
NAMA

: Monica Trifitriana

NIM

: 04011381320042

KELAS

: PSPD B 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015

Soal:
1. Bagaimana klasifikasi karies menurut kedalamannya?
Karies berasal dari bahasa Latin yaitu caries yang artinya kebusukan. Karies gigi
adalah suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai
akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh
pembentukan asam microbial dari substrat sehingga timbul destruksi komponenkomponen organik yang akhirnya terjadi kavitas.
Berdasarkan stadium (kedalamannya) karies gigi, karies terbagi sebagai berikut:
1. Karies Superficialis
Ciri-ciri karies superficialis adalah karies baru mengenai enamel saja, sedang dentin
belum terkena.
2. Karies Media
Ciri-ciri karies superficialis adalah karies sudah mengenai dentin, tetapi belum
melebihi setengah dentin.
3. Karies Profunda
Ciri-ciri karies superficialis adalah karies sudah mengenai lebih dari setengah dentin
dan kadang-kadang sudah mengenai pulpa.
Karies profunda dapat dibagi lagi atas :
a. Karies profunda stadium I Karies telah melewati setengah dentin, biasanya radang
pulpa belum dijumpai
b. Karies profunda stadium II Masih dijumpai lapisan tipis yang membatasi karies
dengan pulpa dan telah terjadi radang pulpa.
c. Karies profunda stadium III Pulpa telah terbuka, dijumpai bermacam-macam
radang pulpa.

Lesi D1-D6 merupakan klasifikasi dari karies gigi. Adapun beberapa klasifikasi
Karies Menurut ICDAS:
No
.
1.

Klasifikasi
D1

Interpretasi
Dalam keadaan gigi kering, terlihat lesi putih pada permukaan gigi

2.

D2

3.

D3

4.

D4

5.
6.

D5
D6

Dalam keadaan gigi basah, sudah terlihat adanya lesi putih pada
permukaan gigi
Terdapat lesi minimal pada permukaan email gigi
Lesi email lebih dalam, tampak bayangan gelap dentin atau lesi
sudah mencapai bagian Dentino Enamel Junction (DEJ)
Lesi telah mencapai dentin
Lesi telah mencapai pulpa

2.
Bagaimana fokal infeksi gigi menyebar ke tubuh?
Penyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung melalui
beberapa cara, yaitu transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen), transmisi melalui
aliran limfatik (limfogen), perluasan infeksi dalam jaringan, dan penyebaran dari traktus
gastrointestinal dan pernapasan akibat tertelannya atau teraspirasinya materi infektif.
a. Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya
merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan kemungkinan

masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di
lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang
selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam
pembuluh darah. Vena-vena yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir ke
pleksus vena pterigoid yang menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus vena
faringeal dan vena maksilaris interna melalui vena emisaria. Karena perubahan tekanan
dan edema menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini
tidak berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah,
memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus di dalam mulut ke kepala atau
faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut.
Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena jugularis internal dan eksternal dan
kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan. Namun, saat berada di dalam
darah, organisme yang mampu bertahan dapat menyerang organ manapun yang kurang
resisten akibat faktor-faktor predisposisi tertentu.
b. Transmisi melalui aliran limfatik (limfogen)
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut kaya dengan
aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah menjalar ke
kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah, terdapat anastomosis pembuluh darah dari
kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak
ditemukan pada rahang bawah.

Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut:


Sumber infeksi
Gingiva bawah
Jaringan subkutan bibir bawah
Jaringan submukosa bibir atas dan bawah
Gingiva dan palatum atas
Pipi bagian anterior

KGB regional
Submaksila
Submaksila, submental, servikal profunda
Submaksila
Servikal profunda
Parotis

Pipi bagian posterior

Submaksila, fasial

Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening memfasilitasi


penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat mengenai kepala atau leher atau
melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke bagian tubuh lainnya.
Weinmann mengatakan bahwa inflamasi gingiva yang menyebar sepanjang sisi
krista alveolar dan sepanjang jalur pembuluh darah ke sumsum tulang. Ia juga
menyatakan bahwa inflamasi jarang mengenai membran periodontal. Kapiler berjalan
beriringan dengan pembuluh limfe sehingga memungkinkan absorbsi dan penetrasi toksin
ke pembuluh limfe dari pembuluh darah.
c. Peluasan langsung infeksi dalam jaringan
Hippocrates pada tahun 460 sebelum Masehi menyatakan bahwa supurasi yang
berasal dari gigi ketiga lebih sering terjadi daripada gigi-gigi lain dan cairan yang
disekresikan dari hidung dan nyeri juga berkaitan dengan hal tersebut, dengan kata lain
infeksi antrum. Supurasi peritonsilar, faringeal, adenitis servikal akut, selulitis, dan
angina Ludwig dapat disebabkan oleh penyakit periodontal da infeksi prikoronal sekitar
molar ketiga. Parotitis, keterlibatan sinus kavernosus, noma, dan gangren juga dapat
disebabkan oleh infeksi gigi. Osteitis dan osteomyelitis seringkali merupakan perluasan
infeksi dari abses alveolar dan pocket periodontal. Keterlibatan bifurkasio apikal pada
molar rahang bawah melalui infeksi periodontal merupakan faktor yang penting yang
menyebabkan osteomyelitis dan harus menjadi bahan pertimbangan ketika mengekstraksi
gigi yang terinfeksi.
Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran material septik atau
organisme ke dalam tulang atau sepanjag bidang fasial dan jaringan penyambung di
daerah yang paling rentan. Tipe terakhir tersebut merupakan selulitis sejati, di mana pus
terakumulasi di jaringan dan merusak jaringan ikat longgar, membentuk ruang (spaces),
menghasilkan tekanan, dan meluas terus hingga terhenti oleh barier anatomik. Ruang
tersebut bukanlah ruang anatomik, tetapi merupakan ruang potensial yang normalnya
teriis oleh jaringan ikat longgar. Ketika terjadi infeksi, jaringan areolar hancur,

membentuk ruang sejati, dan menyebabkan infeksi berpenetrasi sepanjang bidang


tersebut, karena fasia yang meliputi ruang tersebut relatif padat.2,3
Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu:

Perluasan di dalam tulang tanpa pointing


Area yang terkena terbatas hanya di dalam tulang, menyebabkan osteomyelitis.
Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang lebih sering pada rahang bawah. DI
rahang atas, letak yang saling berdekatan antara sinus maksila dan dasar hidung
menyebabkan mudahnya ketelibatan mereka dalam penyebaran infeksi melalui
tulang.

Perluasan di dalam tulang dengan pointing


Ini merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi perluasan tidak
terlokalisis melainkan melewati tulang menuju jaringan lunak dan kemudian
membentuk abses. Di rahang atas proses ini membentuk abses bukal, palatal, atau
infraorbital.

Selanjutnya,

abses

infraorbital

dapat

mengenai

mata

dan

menyebabkan edema di mata. Di rahag bawah, pointing dari infeksi menyebabkan


abses bukal. Apabila pointing terarah menuju lingual, dasar mulut dapat ikut
terlibat atau pusa terdorong ke posterior sehingga membentuk abses retromolar
atau peritonsilar.

Perluasan sepanjang bidang fasial


Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena fungsinya yang
membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan saraf, serta karena
adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat longgar, sehingga infeksi
dapat menurun.
Di bawah ini adalah beberapa fasia dan area yang penting, sesuai dengan

klasifikasi dari Burman:

Lapisan superfisial dari fasia servikal profunda


Regio submandibula
Ruang (space) sublingual
Ruang submaksila
Ruang parafaringeal

Penting untuk diingat bahwa kepala, leher, dan mediastinum dihubungkan oleh
fasia, sehingga infeksi dari kepala dapat menyebar hingga ke dada. Infeksi menyebar

sepanjang bidang fasia karena mereka resisten dan meliputi pus di area ini. Pada regio
infraorbita, edema dapat sampai mendekati mata. Tipe penyebaran ini paling sering
melibatkan rahang bawah karena lokasinya yang berdekatan dengan fasia.
d. Penyebaran ke traktus gastrointestinal dan pernapasan
Bakteri yang tertelan dan produk-produk septik yang tertelan dapat menimbulkan
tonsilitis, faringitis, dan berbagai kelainan pada lambung. Aspirasi produk septik dapat
menimbulkan laringitis, trakeitis, bronkitis, atau pneumonia. Absorbsi limfogenik dari
fokus infeksi dapat menyebabkan adenitis akut dan selulitis dengan abses dan septikemia.
Penyebaran hematogen terbukti sering menimbulkan infeksi lokal di tempat yang jauh.
Infeksi oral dapat menimbulkan sensitisasi membran mukosa saluiran napas atas
dan menyebabkan berbagai gangguan, misalnya asma. Infeksi oral juga dapat
memperburuk kelainan sistemik yang sudah ada, misalnya tuberkulosis dan diabetes
mellitus. Infeksi gigi dapat terjadi pada seseorang tanpa kerusakan yang jelas walaupun
pasien memiliki sistem imun yang normal. Suatu tipe pneumonia dapat disebabkan oleh
aspirasi material infeksi, terutama pada kelainan periodontal yang lanjut. Juga telah
ditunjukkan bahwa tuberkel basil dapat memasuki tubuh melalui oral, yaitu pocket
periodontal dan flap gingiva yang terinfeksi yang meliputi molar ketiga. Infeksi oral,
selain dapat memperburuk TB paru yang sudah ada, juga dapat menambah systemic load,
yang menghambat respon tubuh dalam melawan efek kaheksia dari penyakit TB tersebut.
Mendel telah menunjukkan perjalanan tuberkel basilus dari gigi melalui limfe, KGB
submaksila dan servikal tanpa didahului ulserasi primer. Tertelannya material septik dapat
menyebabkan gangguan lambung dan usus, seperti konstipasi dan ulserasi.
3. Jelaskan tentang trepanasi!

Tujuan trepanasi adalah menciptakan drainase melalui saluran akar atau melalui
tulang untuk mengalirkan sekret luka serta untuk mengurangi rasa sakit. Jika timbul abses
alveolar akut, berarti infeksi telah meluas dari saluran akar melalui periodontal apikalis
sampai ke dalam tulang periapeks. Nanah dikelilingi oleh tulang pada apeks gigi dan
tidak dapat mengalir ke luar. Pada stadium ini belum tampak pembengkakan. Perasaan
sangat nyeri terutama bila ditekan sehingga untuk menghilangkannya perlu segera
dilakukan drainase.
Untuk itu dapat dipakai dua cara:
a. Trepanasi melalui saluran akar
b. Trepanasi di daerah apeks akar

Trepanasi Melalui Saluran Akar


Usaha awal untuk memperoleh drainase adalah membuka saluran akar lebar-lebar
sampai melewati foramen apikalis dan saluran akar dibiarkan terbuka beberapa hari
supaya sekret dapat mengalir ke luar. Ke dalam kavum pulpa dimasukan kapas yang
longgar agar sisa makanan tidak menutup jalan drainase. Setiap hari kapas diganti dan

saluran dibersihkan dengan larutan garam fisiologis atau NaOCl 5% bila sekret pus tidak
ada lagi. Dalam hal ini, Schroeder (1981) mengajurkan terapi alternatif, yaitu pemberian
preparat antibiotik kortikosteroid (pasta Ledermix), dan menutup saluran dengan oksida
seng eugenol. Setelah rasa sakit berkurang dan drainase telah berhenti, saluran akar
dipreparasi dengan sempurna dan diisi dengan bahan pengisi saluran akar.
Trepanasi Melalui Tulang
Trepanasi ini dikenal dengan nama fistulasi apikal. Fistulasi apikal sebagai
penanganan darurat dianjurkan pada abses alveolar akut atau infeksi periapeks akut yang
disebabkan pengisian saluran akar yang tidak sempurna atau pengisian yang berlebihan.
Tekniknya adalah sebagai berikut:

Berikan anestesi lokal


Insisi (dalam bentuk semilunar panjangnya kira-kira 20 mm) di sekitar daerah batas
mukogingival di mana terletak apeks, dilakukan dengan bantuan foto rontgen.
Perforasi dengan fistulator (Sargenti, 1965) melalui mukosa dan tulang tidak
dianjurkan karena lokasi apeks tidak dapat ditentukan dengan tepat dan luka yang

disebabkan sobekan akan meninggalkan bekas.


Pengambilan tulang alveolar langsung di atas apeks dan nanah mengalir keluar.
Kuretase dengan kuret secara hati-hati pada apeks dan irigasi dengan larutan garam

fisiologis.
Lakukan penjahitan (kira-kira dua jahitan)
Memasukkan sebuah pita kasa ke bawah selaput lendir
Pemberian analgetik dan antibiotic
Fistulasi apikal sebagai penanganan darurat dapat dianjurkan pada abses alveolar akut
atau infeksi periapeks akut yang disebabkan pengisian saluran akar yang tidak
sempurna atau pengisian yang berlebihan.

4. Jelaskan tentang ICD test!


Untuk mempermudah dalam proses mengklasifikasikan penyakit, indonesia
menggunakan sistem informasi kesehatan yang lebih efektif dan efisien, yaitu dengan
cara klasifikasi penyakit berdasarkan ICD ( international classification of diseases ).
1. Pengertian ICD

International Classification of Diseases (ICD) adalah klasifikasi diagnostik


standar internasional untuk semua epidemiologi umum, untuk penggunaan di
beberapa manajemen kesehatan dan klinis.
ICD digunakan untuk mengklasifikasikan penyakit dan masalah kesehatan lainnya
dicatat pada berbagai jenis kesehatan dan catatan penting termasuk sertifikat
kematian dan catatan kesehatan. Selain itu ICD adalah suatu sistem klasifikasi
penyakit dan beragam jenis tanda, simptoma, kelainan, komplain dan penyebab
eksternal penyakit. Setiap kondisi kesehatan diberikan kategori dan kode. ICD
dipublikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan digunakan secara luas
untuk morbiditas, mortalitas, sistem reimbursemen dan sebagai penunjang keputusan
dalam kedokteran.
Dalam pengkodean pada ICD menetapkan lebih dari 155.000 memungkinkan
berbagai kode dan memungkinkan yang banyak berasal dari pelacakan diagnosis dan
prosedur baru dengan perluasan yang signifikan pada kode-kode yang telah tersedia
17.000 pengkodean pada ICD-9 dan ICD-10 yang mulai bekerja dari tahun 1983 dan
dapat diselesaikan pada tahun 1992.
2. Fungsi ICD sebagai klasifikasi penyakit
Fungsi lCD sebagai sistem klasifikasi penyakit dan masalah terkait kesehatan
digunakan untuk kepentingan informasi statistik morbiditas dan mortalitas. Penerapan
Pengodean sistem lCD Digunakan untuk :
1) Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan di sarana pelayanan kesehatan.
2) Masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis untuk mengklasifikasikan penyakit.
3) Memudahkan proses penyimpanan dan pengambilan data terkait diagnosis
karakteristik pasien dan penyedia layanan.
4) Untuk mempermudah sistem penagihan pembayaran biaya pelayanan kesehatan.
5) Pelaporan nasional dan internasional morbiditas dan mortalitas.
6) Menentukan bentuk pelayanan yang harus direncanakan dan dikembangkan sesuai
kebutuhan zaman.

Ada 21 kelompok utama penyakit menurut ICD X, yaitu :


1. Penyakit infeksi dan parasit.
Yang termasuk penyakit infeksi berdasarkan ICD-X antara lain : penyakit infeksi usus,

tuberculosis, penyakit bakteri zoonotik, penyakit bakteri lainnya, hepatitis virus, infeksi
virus pada system saraf, demam berdarah dengue, mikosis, penyakit protozoa, HIVAIDS, dan lain-lain.
Menurut data dari dinas kesehatan pada tahun 2006 berdasarkan ICD X, penyakit infeksi
dan parasit yang paling banyak yaitu demam berdarah dengue. Penyakit Demam
Berdarah Dengue telah menyebar secara luas ke seluruh kawasan dengan jumlah
kabupaten/kota terjangkit semakin meningkat hingga ke wilayah pedalaman. Penyakit ini
sering muncul sebagai KLB sehingga angka kesakitan dan kematian yang terjadi
dianggap merupakan gambaran penyakit di masyarakat.
2. Neoplasma
Yang termasuk neoplasma berdasarkan ICD-X yaitu neoplasma ganas, neoplasma in situ,
neoplasma jinak, dan neoplasma sifat tidak tentu.
Menurut ICD X, WHO 1992, neoplasma yang paling banyak di Indonesia adalah
neoplasma sifat tidak tentu. Pada waktu ini presentasi gambaran klinis maupun patologis
kelihatannya sebagai suatu neoplasma jinak, tetapi perjalanan penyakit menunjukkan ada
sebagian yang dapat berubah sifatnya menjadi ganas. Tidak ada parameter yang dipakai
untuk menentukan mana yang tetap jinak dan mana yang akan berubah menjadi ganas,
kecuali data epidemiologis.

3. Penyakit darah dan organ pembentuk darah.


Yang termasuk penyakit darah dan organ pembentuk darah menurut ICD-X antara lain:
anemia defisiensi besi, anemia pernisiosa, anemia defisiensi asam folat, anemia
hemolitik, anemia aplastik, DIC, purpura, dan beberapa kondisi perdarahan lainnya.
Penyakit darah yang paling banyak di Indonesia adalah anemia defisiensi besi. Anemia
ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesia paling banyak disebabkan
oleh infeksi cacing tambang (ankilostomiasis). Infestasi cacing tambang pada seseorang
dengan makanan yang baik tidak akan menimbulkan anemia. Bila disertai malnutrisi,
baru akan terjadi anemia. Penyebab lain dari anemia defisiensi adalah : diet yang tidak
mencukupi, absorpsi yang menurun, kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, laktasi,

perdarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darah.


4. Penyakit endokrin, nutrisi dan gangguan imunitas.
Yang termasuk penyakit endokrin, nutrisi dan gangguan imunitas menurut ICD-X antara
lain: penyakit thyroid, diabetes melitus, malnutrisi, sindrom metabolik, dan lain-lain.
Penyakit endokrin yang paling banyak diderita yaitu diabetes melitus. Diabetes melitus
adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan
manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Tingkat prevalensi dari diabetes
melitus adalah tinggi. Diabetes melitus merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika
dan merupakan penyebab utama kebutaan akibat neuropati diabetik. Tujuh puluh lima
persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Komplikasi yang
paling utama adalah serangan jantung, payah ginjal, stroke dan gangren.
5. Gangguan mental
Yang termasuk gangguan mental berdasarkan ICD-X antara lain: gangguan mental
organik, gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif, skizofrenia, gangguan
skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, perubahan kepribadian.
Salah satu yang banyak diderita adalah skizofrenia. Pada umumnya ditandai oleh
penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh
afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian.
6. Gangguan sistem saraf
Yang termasuk gangguan system saraf menurut ICD-X antara lain: penyakit inflamasi
pada system saraf pusat, gangguan pada ekstrapiramidal, penyakit degeneratif pada
sistem saraf, polineuropati, cerebral palsy, penyakit pada sistem saraf lainnya.
Di pusat-pusat pelayanan neurologi di Indonesia jumlah penderita gangguan peredaran
darah otak (GDPO) selalu menempati urutan pertama dari seluruh penderita rawat inap.
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun
menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau

berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskular.
7. Penyakit mata dan adnexa
Yang termasuk penyakit mata dan adnexa menurut ICD-X antara lain: kelainan pada
lensa, system lakrimal, konjungtiva, sclera, kornea, iris, badan ciliar, lensa, koroid dan
retina, glaucoma, dan lain sebagainya.
Yang paling banyak di derita yaitu katarak. Katarak adalah setiap kekeruhan pada lensa
yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau
akibat kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif.
Penyebabnya bermacam-macam. Umumnya adalah usia lanjut (senil), tapi dapat juga
terjadi secara kongenital akibat infeksi virus di masa pertumbuhan janin, genetik, dan
gangguan perkembangan; kelainan sistem metabolik atau sistemik seperti, diabetes
melitus.
8. Penyakit telinga dan processus mastoideus
Yang termasuk dalam penyakit telinga dan processus mastoideus menurut ICD-X antara
lain: penyakit telinga bagian luar, penyakit telinga bagian tengah dan mastoid, penyakit
telinga bagian dalam, dan beberapa kelainan pada telinga.
Yang paling banyak adalah otitis eksterna dan otomikosis. Penyebab otitis eksterna
biasanya Staphylococcus aureus, Staphylococcus albus. Gejalanya antara lain rasa nyeri
yang hebat, apalagi bila daun telinga disentuh atau dipegang, liang tampak bengkak pada
tempat tertentu, gangguan pendengaran bila furunkel besar dan menyumbat liang telinga.
9. Penyakit sistem peredaran darah
Yang termasuk dalam penyakit system peredaran darah menurut ICD-X antara lain:
demam rematik akut, penyakit jantung rematik, hipertensi, penyakit jantung iskemik,
penyakit serebrovaskuler dan lain sebagainya.
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan penanggulangan yang
baik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi hipertensi seperti ras,
umur, obesitas, asupan garam yang tinggi dan adanya riwayat hipertensi dalam keluarga.
Dari beberapa penelitian, terlihat adanya kecenderungan bahwa masyarakat perkotaan

lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Prevalensi


hipertensi akan meningkat dengan bertambahnya umur. Hipertensi bersifat penyakit
endemik di Indonesia.
10. Penyakit sistem pernapasan
Yang termasuk penyakit system pernapasan menurut ICD-X antara lain: infeksi saluran
pernafasan atas, influenza dan pneumonia, infeksi saluran pernafasan bawah, dan lainlain.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering berada dalam
daftar pola 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan Ditjen Pelayanan
Medik, Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit Sistem Napas menempati
peringkat pertama 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan di Rumah Sakit di
Indonesia. pada orang normal tidaklah mudah bagi kuman patogen untuk dapat masuk
sampai ke dalam saluran pernapasan, mengingat sistem pertahanan paru yang berlapislapis dan bermacam-macam bentuknya.
11. Penyakit sistem pencernaan
Yang termasuk penyakit system pencernaan menurut ICD-X antara lain: penyakit pada
esophagus, abdomen, duodenum, dan appendix, hernia, colitis, penyakit pada peritoneum
dan lain-lain.Penyakit sistem pencernaan yang paling banyak diderita di Indonesia adalah
diare dan gastoenteritis. Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya
frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (3 atau lebih per hari) yang disertai
perubahan bentuk dan konsistensi tinja dari penderita. Penyakit ini disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme termasuk bakteri, virus dan parasit lainnya seperti jamur, cacing
dan protozoa. Salah satu bakteri penyebab diare adalah bakteri Escherichia coli
Enteropatogenik (EPEC).
12. Penyakit kulit dan jaringan.
Yang termasuk penyakit kulit dan jaringan menurut ICD-X antara lain: infeksi pada kulit
dan jaringan subkutan, dermatitis dan eksema, urtikaria dan eritema dan lain-lain.

13. Penyakit sistem otot rangka dan jaringan


Yang termasuk penyakit sistem otot rangka dan jaringan menurut ICD-X antara lain:
arthropaties, dorsopathies, kelainan pada jaringan lunak, osteopathies dan
chondropathies, dan lain-lain.
14. Penyakit sistem kencing dan kelamin
Yang termasuk penyakit sistem kencing dan kelamin menurut ICD-X antara lain:
penyakit glomerular, gagal ginjal, urolithiasis, penyakit pada ginjal dan ureter, infeksi
pada organ pelvis, penyakit non-infeksi pada genital, dan lain-lain.
15. Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas
Yang termasuk komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas menurut ICD-X antara lain:
kehamilan dengan abortus, udema, proteinuri, dan hipertensi pada kehamilan, ketuban
pecah dini, infeksi intrapartum, dan lain-lain.
16. Keadaan tertentu yang berasal dari masa perinatal.
Yang termasuk keadaan tertentu yang berasal dari masa perinatal menurut ICD-X antara
lain: trauma lahir, kelainan pada system pernafasan dan kardiovaskuler, infeksi spesifik
pada periode perinatal, dan lain-lain.
17. Malformasi kongenital, deformitas dan abnormalitas kromosom.
Yang termasuk malformasi kongenital, deformitas dan abnormalitas kromosom menurut
ICD-X antara lain: malformasi kongenital pada sistem saraf, mata, telinga, wajah, sistem
sirkulasi, sistem, pernafasan, organ genital, malformasi kongenital dan deformitas pada
sistem muskuloskeletal, dan lain-lain.
18. Gejala, tanda dan hasil klinik, dan laboratorium abnormal yang tidak dapat
diklasifikasikan.
19. Cedera dan keracunan
Yang termasuk cedera dan keracunan menurut ICD-X antara lain: cedera pada kepala,

leher, thorax, abdomen, tulang belakang, luka bakar, keracunan obat dan lain-lain.
20. Penyebab lain yang menyebabkan kecacatan dan kematian
Yang termasuk penyebab lain yang menyebabkan kecacatan dan kematian menurut ICDX antara lain: kecelakaan transportasi, perbuatan yang disengaja yang merugikan diri
sendiri, komplikasi akibat operasi, dan lain-lain.
21. Faktor yang mempengaruhi status kesehatan dan kontak dengan Yankes
Berikut adalah daftar ICD-10 untuk kode klasifikasi
Ba

Blok

Judul

b
I

A00-

Penyakit Infeksi dan parasit

II

B99
C00-

Neoplasma

III

D48
D50-

Penyakit darah dan organ pembentuk darah termasuk ganguan

IV
V
VI

D89
E00-E90
F00-F99
G00-

sistem imun
Endokrin, nutrisi dan ganguan metabolik
Ganguan jiwa dan prilaku
Penyakit yg mengenai sistem syaraf

VII

G99
H00-

Penyakit mata dan adnexa

VIII

H59
H60-

Penyakit telinga dan mastoid

IX
X
XI

H95
I00-I99
J00-J99
K00-

Penyakit pada sistem sirkulasi


Penyakit pada sistem pernafasan
Penyakit pada sistem pencernaan

XII
XIII

K93
L00-L99
M00-

Penyakit pada kulit dan jaringan subcutaneous


Penyakit pada sistem musculoskletal

XIV

M99
N00-

Penyakit pada sistem saluran kemih dan genital

XV

N99
O00-

Kehamilan dan kelahiran

XVI

O99
P00-P96

Keadaan yg berasal dari periode perinatal

XVI

Q00-

Malformasi kongenital, deformasi dan kelainan chromosom

I
XVI

Q99
R00-

Gejala, tanda, kelainan klinik dan kelainan lab yg tidak

II
XIX
XX
XXI

R99
S00-T98
V01-Y98
Z00-Z99

ditemukan pada klasifikasi lain


Keracunan, cedera dan beberapa penyebab yg dari luar
Penyebab morbiditas dan kematian eksternal
Faktor faktor yg memengaruhi status kesehatan dan

XXI

U00-

hubungannya dengan jasa kesehatan


Kode kegunaan khusus

U99

5. Jenis-jenis antibiotik dan analgesik untuk ibu hamil dan menyusui beserta indikasi
dan kontraindikasi
Penggunaan Analgesik dan Antibiotik dalam Kehamilan
Tujuan setiap terapi obat yang diresepkan selama kehamilan adalah untuk
menghindari reaksi obat yang merugikan baik pada ibu maupun janin. Telah diketahui
bahwa tidak satupun obat yang digunakan untuk merawat rasa nyeri atau infeksi
sepenuhnya tanpa risiko. Namun akibat yang ditimbulkan dari tidak dirawatnya infeksi
selama kehamilan melebihi risiko yang mungkin ditimbulkan oleh sebagian besar obatobatan yang dibutuhkan untuk perawatan gigi.
Pada masa kehamilan, obat-obatan sangat mudah diabsorbsi, oleh karena itu
dokter gigi harus sangat berhati-hati dalam memberi resep obat-obatan kepada pasien
hamil. Reaksi toksik, alergi atau hipersensitivitas yang terjadi pada wanita hamil dapat
mempengaruhi kesehatannya dan membatasi kemampuannya untuk menjalani kehamilan.
Efek obat yang merugikan secara spesifik terhadap kesehatan janin adalah mencakup
cacat

kongenital,

keguguran,

komplikasi

kelahiran,

berat

badan

rendah

dan

ketergantungan obat pasca lahir.


Food and Drug Administration atau FDA Amerika telah menetapkan lima
kategori untuk mengklasifikasikan obat berdasarkan risiko terhadap wanita hamil dan
janinnya. Kelima kategori ini memberikan pedoman untuk keamanan relatif obat yang
diresepkan bagi wanita hamil. Klasifkasi FDA tentang obat yang mempunyai efek
terhadap janin. Pada tahun 1979, FDA merekomendasikan 5 kategori obat yang
memerlukan perhatian khusus terhadap kemungkinan efek terhadap janin.

A. Obat yang sudah pernah diujikan pada manusia hamil dan terbukti tidak ada risiko
terhadap janin dalam rahim. Obat golongan ini aman untuk dikonsumsi oleh ibu
hamil (vitamin)
B. Obat yang sudah diujikan pada binatang dan terbukti ada atau tidak ada efek terhadap
janin dalam rahim akan tetapi belum pernah terbukti pada manusia. Obat golongan
ini bila diperlukan dapat diberikan pada ibu hamil (Penicillin).
C. Obat yang pernah diujikan pada binatang atau manusia akan tetapi dengan hasil yang
kurang memadai. Meskipun sudah dujikan pada binatang terbukti ada efek terhadap
janin akan tetapi pada manusia belum ada bukti yang kuat. Obat golongan ini boleh
diberikan pada ibu hamil apabila keuntungannya lebih besar disbanding efeknya
terhadap janin (Kloramfenicol, Rifampisin, PAS, INH).
D. Obat yang sudah dibuktikan mempunyai risiko terhadap janin manusia. Obat
golongan ini tidak dianjurkan untuk dikonsumsi ibu hamil. Terpaksa diberikan
apabila dipertimbangkan untuk menyelamatkan jiwa ibu (Streptomisin, Tetrasiklin,
Kanamisin).
E. Obat yang sudah jelas terbukti ada risiko pada janin manusia dan kerugian dari obat
ini jauh lebih besar daripada manfaatnya bila diberikan pada ibu hamil, sehingga
tidak dibenarkan untuk diberikan pada ibu hamil atau yang tersangka hamil
Obat-obatan dalam kategori A dan B umumnya dianggap tepat untuk digunakan
selama kehamilan. Obat-obatan kategori C harus digunakan dengan peringatan, dan obatobatan kategori D dan X harus dihindari atau merupakan kontraindikasi. Obat-obatan
yang digunakan di kedokteran gigi seperti anestestikum lokal, analgesik, antibiotik,
antifungi dan obat-obatan lainnya biasanya memiliki waktu paruh metabolik pendek yang
diberikan untuk periode terbatas, oleh karena itu cenderung kurang menyebabkan
komplikasi selama kehamilan.
Klasifikasi (FDA) untuk antibiotika dan risikonya terhadap janin.

Berikut ini tabel anestetikum lokal yang aman dan tidak aman digunakan pada masa kehamilan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan anestetikum lokal selama


kehamilan antara lain:
a. Penggunaan yang aman adalah anestetikum lokal dengan kadar rendah atau tanpa epinefrin,
sebab pada masa kehamilan biasanya terdapat komplikasi kehamilan berupa peningkatan
tekanan darah.
b. Untuk kategori anestetikum lokal yang aman (Tabel 1), maksimum penggunaan adalah 2
karpul.
c. Hindari pemberian epinefrin pada pasien wanita hamil yang menderita hipertensi. Gunakan
4% prilokain tanpa epinefrin (Citanest Plain) setelah konsultasi dan mendapat keterangan
dari obstetrisian pasien.
Pada kasus penanganan nyeri orofasial, kasus-kasus emergensi yang disertai rasa
nyeri ataupun terdapat potensi nyeri setelah dilakukannya perawatan, maka analgesik
diberikan untuk meredakan rasa nyeri tersebut. Idealnya, analgesik haruslah aman, tidak
memiliki efek samping, tidak invasif, penggunaannya sederhana dan onset serta offset yang

cepat.34 Analgesik yang paling sering digunakan pada masa kehamilan yaitu asetaminofen
(kategori B) dapat diberikan pada setiap trimester kehamilan.
Analgesik golongan opium tertentu seperti oksikodon, morfin, kodein atau
propoksifen digunakan secara hati-hati dan hanya jika diindikasikan. Penggunaan analgesik
opium yang berkelanjutan dan dosis yang tinggi akan berakibat retardasi pertumbuhan dan
perkembangan, risiko janin menderita cacat kongenital mutipel seperti cacat jantung dan
celah bibir atau palatum serta ketergantungan fisik.
Pada sebagian analgesik golongan opium kategori B pada akhir trimester ketiga
kehamilan

menjadi

kategori

C/D,

seperti

kodein,

hidrokodon

dan

oksikodon

dikontraindikasikan pada trimester ketiga karena dapat menyebabkan neonatal respiratory


depression dan ketergantungan opium. Meperidin (Demerol) dianjurkan penggunaannya pada
rasa nyeri yang sangat parah.
Aspirin (kategori C) harus dihindari pemakaiannya karena dapat menyebabkan
komplikasi persalinan dan perdarahan pasca melahirkan pada ibu. Anti-inflamasi nonsteroid
(AINS) hanya diberikan pada masa kehamilan jika diindikasikan. AINS diberikan secara
intermiten dengan dosis efektif yang paling rendah pada masa kehamilan. Pada minggu ke-6
hingga minggu ke-8 prepartum, penggunaan AINS sudah harus dihentikan. Aspirin dan AINS
mempunyai mekanisme lazim menghambat sintesa prostaglandin yang dapat menyebabkan
konstriksi duktus arteriosus pada janin yang mengakibatkan hipertensi pulmoner pada janin.

Berikut ini analgesik yang aman dan tidak aman diresepkan selama masa kehamilan
berdasarkan FDA.

Banyak prosedur dental yang memerlukan obat antibiotik untuk mencegah


infeksi. Penggunaan bahan - bahan antibiotik sangat terbatas indikasinya di bidang
kedokteran gigi. Dokter gigi harus memberikan perawatan khusus bagi pasien hamil
khususnya jika ada infeksi akut. Pemilihan bahan yang paling aman, pembatasan durasi
pemberian obat dan meminimalkan dosis merupakan prinsip yang mendasar untuk terapi
yang aman. Antibiotik derivat beta-laktam (penisilin dan sefalosporin) merupakan pilihan
pertama pada kasus infeksi orofasial. Obat-obatan ini tergolong kategori B dan aman
digunakan pada masa kehamilan. Antibotik golongan makrolida seperti eritromisin,
klindamisin, azitromisin, metronidazol (kategori B) diyakini mempunyai risiko kecil dan
diberikan

pada

pasien

hamil

yang

alergi

terhadap

penisilin.Aminoglikosida

sepertistreptomisin, gentamisin (kategori C) dan klorheksidin (kategori B) aman


digunakan pada masa kehamilan, tetapi bila digunakan pada akhir kehamilan akan
menyebabkan toksisitas pada janin. Tetrasiklin \termasuk doksisikolin hiklat yang
berdampak diskolorasi gigi, kerusakan pada hati dan pankreas, malformasi serta
menghambat pertumbuhan tulang pada janin, sehingga tetrasiklin dikontraindikasikan
pada pasien wanita hamil. Kloramfenikol juga dikontraindikasikan karena akan
menyebabkan toksisitas pada ibu dan kegagalan sirkulasi pada janin yang disebut gray
syndrome.

Berikut ini antibiotik yang aman dan tidak aman diresepkan selama masa kehamilan.

Obat-obatan lain seperti klorheksidin kumur, antifungi nistatin (kategori B) dan


klotrimazol (kategori C) aman diresepkan pada masa kehamilan. Klotrimazol,
ketoconazol, fluconazol (kategori C) sebaiknya dihindari pemakaiannya. Kortikosteroid
tergolong dalam FDA kategori C. Umumnya digunakan untuk mengobati berbagai
kondisi oral yang terinflamasi, untuk pasien wanita hamil biasanya diresepkan
kortikosteroid topikal misalnya obat kumur.

Daftar Pustaka

Asmadi. 2008.Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika.
Cohen, Stephen dan Richard C.Burns.2002. Pathways of The Pulp. Mosby Co. St. Loius.
Grossman LI. Oliet S. Rio CED.1995. Ilmu Endodontik dalam Praktik. Ed.11. Jakarta: EGC.
Rasinta Tarigan. 2006.Perawatan Pulpa Gigi. Ed. 2. Jakarta : EGC.
Walton, Richard E. 2008.Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia. Ed.3. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai