DISUSUN OLEH:
NAMA
: Monica Trifitriana
NIM
: 04011381320042
KELAS
: PSPD B 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
Soal:
1. Bagaimana klasifikasi karies menurut kedalamannya?
Karies berasal dari bahasa Latin yaitu caries yang artinya kebusukan. Karies gigi
adalah suatu proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai
akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh
pembentukan asam microbial dari substrat sehingga timbul destruksi komponenkomponen organik yang akhirnya terjadi kavitas.
Berdasarkan stadium (kedalamannya) karies gigi, karies terbagi sebagai berikut:
1. Karies Superficialis
Ciri-ciri karies superficialis adalah karies baru mengenai enamel saja, sedang dentin
belum terkena.
2. Karies Media
Ciri-ciri karies superficialis adalah karies sudah mengenai dentin, tetapi belum
melebihi setengah dentin.
3. Karies Profunda
Ciri-ciri karies superficialis adalah karies sudah mengenai lebih dari setengah dentin
dan kadang-kadang sudah mengenai pulpa.
Karies profunda dapat dibagi lagi atas :
a. Karies profunda stadium I Karies telah melewati setengah dentin, biasanya radang
pulpa belum dijumpai
b. Karies profunda stadium II Masih dijumpai lapisan tipis yang membatasi karies
dengan pulpa dan telah terjadi radang pulpa.
c. Karies profunda stadium III Pulpa telah terbuka, dijumpai bermacam-macam
radang pulpa.
Lesi D1-D6 merupakan klasifikasi dari karies gigi. Adapun beberapa klasifikasi
Karies Menurut ICDAS:
No
.
1.
Klasifikasi
D1
Interpretasi
Dalam keadaan gigi kering, terlihat lesi putih pada permukaan gigi
2.
D2
3.
D3
4.
D4
5.
6.
D5
D6
Dalam keadaan gigi basah, sudah terlihat adanya lesi putih pada
permukaan gigi
Terdapat lesi minimal pada permukaan email gigi
Lesi email lebih dalam, tampak bayangan gelap dentin atau lesi
sudah mencapai bagian Dentino Enamel Junction (DEJ)
Lesi telah mencapai dentin
Lesi telah mencapai pulpa
2.
Bagaimana fokal infeksi gigi menyebar ke tubuh?
Penyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung melalui
beberapa cara, yaitu transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen), transmisi melalui
aliran limfatik (limfogen), perluasan infeksi dalam jaringan, dan penyebaran dari traktus
gastrointestinal dan pernapasan akibat tertelannya atau teraspirasinya materi infektif.
a. Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya
merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan kemungkinan
masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di
lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang
selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam
pembuluh darah. Vena-vena yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir ke
pleksus vena pterigoid yang menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus vena
faringeal dan vena maksilaris interna melalui vena emisaria. Karena perubahan tekanan
dan edema menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini
tidak berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah,
memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus di dalam mulut ke kepala atau
faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut.
Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena jugularis internal dan eksternal dan
kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan. Namun, saat berada di dalam
darah, organisme yang mampu bertahan dapat menyerang organ manapun yang kurang
resisten akibat faktor-faktor predisposisi tertentu.
b. Transmisi melalui aliran limfatik (limfogen)
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut kaya dengan
aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah menjalar ke
kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah, terdapat anastomosis pembuluh darah dari
kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak
ditemukan pada rahang bawah.
KGB regional
Submaksila
Submaksila, submental, servikal profunda
Submaksila
Servikal profunda
Parotis
Submaksila, fasial
Selanjutnya,
abses
infraorbital
dapat
mengenai
mata
dan
Penting untuk diingat bahwa kepala, leher, dan mediastinum dihubungkan oleh
fasia, sehingga infeksi dari kepala dapat menyebar hingga ke dada. Infeksi menyebar
sepanjang bidang fasia karena mereka resisten dan meliputi pus di area ini. Pada regio
infraorbita, edema dapat sampai mendekati mata. Tipe penyebaran ini paling sering
melibatkan rahang bawah karena lokasinya yang berdekatan dengan fasia.
d. Penyebaran ke traktus gastrointestinal dan pernapasan
Bakteri yang tertelan dan produk-produk septik yang tertelan dapat menimbulkan
tonsilitis, faringitis, dan berbagai kelainan pada lambung. Aspirasi produk septik dapat
menimbulkan laringitis, trakeitis, bronkitis, atau pneumonia. Absorbsi limfogenik dari
fokus infeksi dapat menyebabkan adenitis akut dan selulitis dengan abses dan septikemia.
Penyebaran hematogen terbukti sering menimbulkan infeksi lokal di tempat yang jauh.
Infeksi oral dapat menimbulkan sensitisasi membran mukosa saluiran napas atas
dan menyebabkan berbagai gangguan, misalnya asma. Infeksi oral juga dapat
memperburuk kelainan sistemik yang sudah ada, misalnya tuberkulosis dan diabetes
mellitus. Infeksi gigi dapat terjadi pada seseorang tanpa kerusakan yang jelas walaupun
pasien memiliki sistem imun yang normal. Suatu tipe pneumonia dapat disebabkan oleh
aspirasi material infeksi, terutama pada kelainan periodontal yang lanjut. Juga telah
ditunjukkan bahwa tuberkel basil dapat memasuki tubuh melalui oral, yaitu pocket
periodontal dan flap gingiva yang terinfeksi yang meliputi molar ketiga. Infeksi oral,
selain dapat memperburuk TB paru yang sudah ada, juga dapat menambah systemic load,
yang menghambat respon tubuh dalam melawan efek kaheksia dari penyakit TB tersebut.
Mendel telah menunjukkan perjalanan tuberkel basilus dari gigi melalui limfe, KGB
submaksila dan servikal tanpa didahului ulserasi primer. Tertelannya material septik dapat
menyebabkan gangguan lambung dan usus, seperti konstipasi dan ulserasi.
3. Jelaskan tentang trepanasi!
Tujuan trepanasi adalah menciptakan drainase melalui saluran akar atau melalui
tulang untuk mengalirkan sekret luka serta untuk mengurangi rasa sakit. Jika timbul abses
alveolar akut, berarti infeksi telah meluas dari saluran akar melalui periodontal apikalis
sampai ke dalam tulang periapeks. Nanah dikelilingi oleh tulang pada apeks gigi dan
tidak dapat mengalir ke luar. Pada stadium ini belum tampak pembengkakan. Perasaan
sangat nyeri terutama bila ditekan sehingga untuk menghilangkannya perlu segera
dilakukan drainase.
Untuk itu dapat dipakai dua cara:
a. Trepanasi melalui saluran akar
b. Trepanasi di daerah apeks akar
saluran dibersihkan dengan larutan garam fisiologis atau NaOCl 5% bila sekret pus tidak
ada lagi. Dalam hal ini, Schroeder (1981) mengajurkan terapi alternatif, yaitu pemberian
preparat antibiotik kortikosteroid (pasta Ledermix), dan menutup saluran dengan oksida
seng eugenol. Setelah rasa sakit berkurang dan drainase telah berhenti, saluran akar
dipreparasi dengan sempurna dan diisi dengan bahan pengisi saluran akar.
Trepanasi Melalui Tulang
Trepanasi ini dikenal dengan nama fistulasi apikal. Fistulasi apikal sebagai
penanganan darurat dianjurkan pada abses alveolar akut atau infeksi periapeks akut yang
disebabkan pengisian saluran akar yang tidak sempurna atau pengisian yang berlebihan.
Tekniknya adalah sebagai berikut:
fisiologis.
Lakukan penjahitan (kira-kira dua jahitan)
Memasukkan sebuah pita kasa ke bawah selaput lendir
Pemberian analgetik dan antibiotic
Fistulasi apikal sebagai penanganan darurat dapat dianjurkan pada abses alveolar akut
atau infeksi periapeks akut yang disebabkan pengisian saluran akar yang tidak
sempurna atau pengisian yang berlebihan.
tuberculosis, penyakit bakteri zoonotik, penyakit bakteri lainnya, hepatitis virus, infeksi
virus pada system saraf, demam berdarah dengue, mikosis, penyakit protozoa, HIVAIDS, dan lain-lain.
Menurut data dari dinas kesehatan pada tahun 2006 berdasarkan ICD X, penyakit infeksi
dan parasit yang paling banyak yaitu demam berdarah dengue. Penyakit Demam
Berdarah Dengue telah menyebar secara luas ke seluruh kawasan dengan jumlah
kabupaten/kota terjangkit semakin meningkat hingga ke wilayah pedalaman. Penyakit ini
sering muncul sebagai KLB sehingga angka kesakitan dan kematian yang terjadi
dianggap merupakan gambaran penyakit di masyarakat.
2. Neoplasma
Yang termasuk neoplasma berdasarkan ICD-X yaitu neoplasma ganas, neoplasma in situ,
neoplasma jinak, dan neoplasma sifat tidak tentu.
Menurut ICD X, WHO 1992, neoplasma yang paling banyak di Indonesia adalah
neoplasma sifat tidak tentu. Pada waktu ini presentasi gambaran klinis maupun patologis
kelihatannya sebagai suatu neoplasma jinak, tetapi perjalanan penyakit menunjukkan ada
sebagian yang dapat berubah sifatnya menjadi ganas. Tidak ada parameter yang dipakai
untuk menentukan mana yang tetap jinak dan mana yang akan berubah menjadi ganas,
kecuali data epidemiologis.
berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskular.
7. Penyakit mata dan adnexa
Yang termasuk penyakit mata dan adnexa menurut ICD-X antara lain: kelainan pada
lensa, system lakrimal, konjungtiva, sclera, kornea, iris, badan ciliar, lensa, koroid dan
retina, glaucoma, dan lain sebagainya.
Yang paling banyak di derita yaitu katarak. Katarak adalah setiap kekeruhan pada lensa
yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau
akibat kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif.
Penyebabnya bermacam-macam. Umumnya adalah usia lanjut (senil), tapi dapat juga
terjadi secara kongenital akibat infeksi virus di masa pertumbuhan janin, genetik, dan
gangguan perkembangan; kelainan sistem metabolik atau sistemik seperti, diabetes
melitus.
8. Penyakit telinga dan processus mastoideus
Yang termasuk dalam penyakit telinga dan processus mastoideus menurut ICD-X antara
lain: penyakit telinga bagian luar, penyakit telinga bagian tengah dan mastoid, penyakit
telinga bagian dalam, dan beberapa kelainan pada telinga.
Yang paling banyak adalah otitis eksterna dan otomikosis. Penyebab otitis eksterna
biasanya Staphylococcus aureus, Staphylococcus albus. Gejalanya antara lain rasa nyeri
yang hebat, apalagi bila daun telinga disentuh atau dipegang, liang tampak bengkak pada
tempat tertentu, gangguan pendengaran bila furunkel besar dan menyumbat liang telinga.
9. Penyakit sistem peredaran darah
Yang termasuk dalam penyakit system peredaran darah menurut ICD-X antara lain:
demam rematik akut, penyakit jantung rematik, hipertensi, penyakit jantung iskemik,
penyakit serebrovaskuler dan lain sebagainya.
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang memerlukan penanggulangan yang
baik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi hipertensi seperti ras,
umur, obesitas, asupan garam yang tinggi dan adanya riwayat hipertensi dalam keluarga.
Dari beberapa penelitian, terlihat adanya kecenderungan bahwa masyarakat perkotaan
leher, thorax, abdomen, tulang belakang, luka bakar, keracunan obat dan lain-lain.
20. Penyebab lain yang menyebabkan kecacatan dan kematian
Yang termasuk penyebab lain yang menyebabkan kecacatan dan kematian menurut ICDX antara lain: kecelakaan transportasi, perbuatan yang disengaja yang merugikan diri
sendiri, komplikasi akibat operasi, dan lain-lain.
21. Faktor yang mempengaruhi status kesehatan dan kontak dengan Yankes
Berikut adalah daftar ICD-10 untuk kode klasifikasi
Ba
Blok
Judul
b
I
A00-
II
B99
C00-
Neoplasma
III
D48
D50-
IV
V
VI
D89
E00-E90
F00-F99
G00-
sistem imun
Endokrin, nutrisi dan ganguan metabolik
Ganguan jiwa dan prilaku
Penyakit yg mengenai sistem syaraf
VII
G99
H00-
VIII
H59
H60-
IX
X
XI
H95
I00-I99
J00-J99
K00-
XII
XIII
K93
L00-L99
M00-
XIV
M99
N00-
XV
N99
O00-
XVI
O99
P00-P96
XVI
Q00-
I
XVI
Q99
R00-
II
XIX
XX
XXI
R99
S00-T98
V01-Y98
Z00-Z99
XXI
U00-
U99
5. Jenis-jenis antibiotik dan analgesik untuk ibu hamil dan menyusui beserta indikasi
dan kontraindikasi
Penggunaan Analgesik dan Antibiotik dalam Kehamilan
Tujuan setiap terapi obat yang diresepkan selama kehamilan adalah untuk
menghindari reaksi obat yang merugikan baik pada ibu maupun janin. Telah diketahui
bahwa tidak satupun obat yang digunakan untuk merawat rasa nyeri atau infeksi
sepenuhnya tanpa risiko. Namun akibat yang ditimbulkan dari tidak dirawatnya infeksi
selama kehamilan melebihi risiko yang mungkin ditimbulkan oleh sebagian besar obatobatan yang dibutuhkan untuk perawatan gigi.
Pada masa kehamilan, obat-obatan sangat mudah diabsorbsi, oleh karena itu
dokter gigi harus sangat berhati-hati dalam memberi resep obat-obatan kepada pasien
hamil. Reaksi toksik, alergi atau hipersensitivitas yang terjadi pada wanita hamil dapat
mempengaruhi kesehatannya dan membatasi kemampuannya untuk menjalani kehamilan.
Efek obat yang merugikan secara spesifik terhadap kesehatan janin adalah mencakup
cacat
kongenital,
keguguran,
komplikasi
kelahiran,
berat
badan
rendah
dan
A. Obat yang sudah pernah diujikan pada manusia hamil dan terbukti tidak ada risiko
terhadap janin dalam rahim. Obat golongan ini aman untuk dikonsumsi oleh ibu
hamil (vitamin)
B. Obat yang sudah diujikan pada binatang dan terbukti ada atau tidak ada efek terhadap
janin dalam rahim akan tetapi belum pernah terbukti pada manusia. Obat golongan
ini bila diperlukan dapat diberikan pada ibu hamil (Penicillin).
C. Obat yang pernah diujikan pada binatang atau manusia akan tetapi dengan hasil yang
kurang memadai. Meskipun sudah dujikan pada binatang terbukti ada efek terhadap
janin akan tetapi pada manusia belum ada bukti yang kuat. Obat golongan ini boleh
diberikan pada ibu hamil apabila keuntungannya lebih besar disbanding efeknya
terhadap janin (Kloramfenicol, Rifampisin, PAS, INH).
D. Obat yang sudah dibuktikan mempunyai risiko terhadap janin manusia. Obat
golongan ini tidak dianjurkan untuk dikonsumsi ibu hamil. Terpaksa diberikan
apabila dipertimbangkan untuk menyelamatkan jiwa ibu (Streptomisin, Tetrasiklin,
Kanamisin).
E. Obat yang sudah jelas terbukti ada risiko pada janin manusia dan kerugian dari obat
ini jauh lebih besar daripada manfaatnya bila diberikan pada ibu hamil, sehingga
tidak dibenarkan untuk diberikan pada ibu hamil atau yang tersangka hamil
Obat-obatan dalam kategori A dan B umumnya dianggap tepat untuk digunakan
selama kehamilan. Obat-obatan kategori C harus digunakan dengan peringatan, dan obatobatan kategori D dan X harus dihindari atau merupakan kontraindikasi. Obat-obatan
yang digunakan di kedokteran gigi seperti anestestikum lokal, analgesik, antibiotik,
antifungi dan obat-obatan lainnya biasanya memiliki waktu paruh metabolik pendek yang
diberikan untuk periode terbatas, oleh karena itu cenderung kurang menyebabkan
komplikasi selama kehamilan.
Klasifikasi (FDA) untuk antibiotika dan risikonya terhadap janin.
Berikut ini tabel anestetikum lokal yang aman dan tidak aman digunakan pada masa kehamilan.
cepat.34 Analgesik yang paling sering digunakan pada masa kehamilan yaitu asetaminofen
(kategori B) dapat diberikan pada setiap trimester kehamilan.
Analgesik golongan opium tertentu seperti oksikodon, morfin, kodein atau
propoksifen digunakan secara hati-hati dan hanya jika diindikasikan. Penggunaan analgesik
opium yang berkelanjutan dan dosis yang tinggi akan berakibat retardasi pertumbuhan dan
perkembangan, risiko janin menderita cacat kongenital mutipel seperti cacat jantung dan
celah bibir atau palatum serta ketergantungan fisik.
Pada sebagian analgesik golongan opium kategori B pada akhir trimester ketiga
kehamilan
menjadi
kategori
C/D,
seperti
kodein,
hidrokodon
dan
oksikodon
Berikut ini analgesik yang aman dan tidak aman diresepkan selama masa kehamilan
berdasarkan FDA.
pada
pasien
hamil
yang
alergi
terhadap
penisilin.Aminoglikosida
Berikut ini antibiotik yang aman dan tidak aman diresepkan selama masa kehamilan.
Daftar Pustaka
Asmadi. 2008.Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika.
Cohen, Stephen dan Richard C.Burns.2002. Pathways of The Pulp. Mosby Co. St. Loius.
Grossman LI. Oliet S. Rio CED.1995. Ilmu Endodontik dalam Praktik. Ed.11. Jakarta: EGC.
Rasinta Tarigan. 2006.Perawatan Pulpa Gigi. Ed. 2. Jakarta : EGC.
Walton, Richard E. 2008.Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia. Ed.3. Jakarta: EGC.