Anda di halaman 1dari 11

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai

Berbagi informasi terkini bersama teman-teman Anda


Jakarta Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan
suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Namun
belum banyak yang mengenal filosofi di balik pengenaan
PPN. Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam
kategori: (1) pajak objektif, (2) pajak atas konsumsi umum
dalam negeri, dan (3) pajak tidak langsung.

Menurut pakar PPN, Untung Sukardji, pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat
timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah
tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak
yang juga disebut dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai
kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak
berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapapun yang mengonsumsi barang atau jasa
yang termasuk objek PPN, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi
barang atau jasa tersebut.
Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul
beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk
menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun
konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap
konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama.
Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang kondisi subjektif
pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak
terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan.
Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki
tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.

PPN Sebagai Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri


Di samping sebagai pajak objektif, PPN di Indonesia termasuk dalam kategori pajak atas
konsumsi. Ditinjau dari hukum perpajakan, pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul akibat
suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis.
Maksudnya, yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barangbarang dalam proses produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Selama barang-barang itu
masih dalam siklus produksi atau distribusi, pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara
yang dapat dibebankan kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak
masukan. Dalam penjelasan atas Undang-undang PPN, ditegaskan bahwa PPN adalah pajak atas
konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat pada setiap
jalur produksi dan distribusi.

PPN Sebagai Pajak Tidak Langsung


Selanjutnya, selain sebagai pajak objektif dan pajak atas konsumsi, PPN juga termasuk Pajak
Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, beban pembayaran pajaknya dipikul oleh
konsumen, namun penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan kepada
penjual. Dengan kata lain dalam mekanisme pemungutan PPN, pemikul beban pembayaran PPN
dan penanggungjawab penyetoran PPN ke Kas Negara adalah pihak yang berbeda. Faktur Pajak
yang diterbitkan oleh penjual, digunakan sebagai bukti pungutan atas PPN terutang, ketika
menjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima
BKP atau JKP. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap PPN yang dipungut dalam setiap
Masa Pajak ke Kas Negara. Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar PPN terutang yang
tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti
pembayaran pajak. Hal ini beda dengan mekanisme penarikan Pajak Langsung seperti PPh,
dimana orang pribadi atau badan sebagai pemikul beban pembayaran pajak juga dibebani
tanggung jawab atas penyetorannya ke Kas Negara.
Saat ini, PPN memiliki peranan yang strategis dan signifikan dalam porsi penerimaan negara dari
sektor perpajakan. Penerimaan PPN pada tahun 2010 adalah sebesar Rp.230,605 triliun, naik
menjadi Rp.298,441 triliun pada tahun 2011, dan ditargetkan menjadi Rp.350,343 triliun di tahun
2012 ini, atau 34% dari total target penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp.1.019,333 triliun.
Pemerintah terus berupaya mencegah kebocoran penerimaan pajak dari sektor PPN, diantaranya
dengan menerbitkan aturan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP) di tahun 2012 ini.
Kebijakan ini diarahkan untuk mencegah penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan
transaksi yang sebenarnya oleh PKP yang tidak bertanggungjawab. Hingga saat ini, Ditjen Pajak
telah mencabut status pengukuhan PKP terhadap 202.132 perusahaan. Dengan kebijakan
tersebut, diharapkan masyarakat lebih sadar, peduli serta mendukung target penerimaan pajak
demi kelangsungan pembangunan nasional dan penyelenggaraan negara. Bangga bayar Pajak!
Seri PPN dan PPnBM - Pajak Pertambahan Nilai dan Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas :
1.
2.
3.
4.

penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
impor Barang Kena Pajak;
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

8. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pelaporan Usaha Untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Pengusaha yang melakukan :
1. penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam
Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena
Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
2. pengusaha kecil yang memilih dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan
usahanya pada Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) dan wajib memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang.

Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil dibebaskan dari kewajiban mengenakan/memungut PPN atas penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) sehingga tidak perlu melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali apabila Pengusaha Kecil
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Undang-undang PPN &
PPnBM berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak


Mulai bulan Februari hingga Agustus 2012, DIrektorat Jenderal Pajak (DJP) akan melaksanakan
program registrasi ulang bagi para pengusaha yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP). PKP adalah para pengusaha yang bergerak di bidang usaha industri, perdagangan, dan
jasa yang wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang dan/atau jasa yang
mereka serahkan/jual dengan omset satu tahun lebih dari Rp. 600 juta.
Secara umum, syarat-syarat subjektif dan objektif untuk penetapan PKP dapat dilihat pada
gambar berikut ini:

Gambar 1. Syarat Subjektif dan Objektif Penetapan Pengusaha Kena Pajak


Dalam program registrasi ulang ini, seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di Indonesia akan
meneliti kembali mengenai keberadaan alamat pengusaha yang bersangkutan maupun kebenaran
dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha tersebut. Untuk itu, kepada seluruh
pengusaha yang telah terdaftar sebagai PKP dihimbau untuk mempersiapkan data dan dokumen
terkait dengan keberadaan alamat dan kegiatan usahanya.
Apabila dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pengusaha yang bersangkutan sudah tutup
atau sudah tidak aktif/tidak berusaha lagi, maka status pengukuhannya sebagai PKP akan
dicabut. Dengan dicabutnya status pengukuhan PKP bagi pengusaha yang bersangkutan, maka
Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas penjualan barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut,
tidak dapat dikreditkan oleh pihak yang membeli.

Secara umum, proses registrasi ulang PKP dapat dijelaskan pada gambar berikut ini:

Gambar 2. Alur Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak


Berdasarkan data per Desember 2011, jumlah pengusaha yang terdaftar sebagai PKP dalam
administrasi Direktorat Jenderal Pajak adalah sekitar 870 ribu pengusaha. Namun demikian dari
jumlah tersebut hanya sekitar 450 ribu pengusaha saja yang berstatus aktif dan secara rutin setiap
bulan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) PPN-nya. Sedangkan 420 ribu sisanya
kemungkinan sudah tutup atau sudah tidak aktif lagi.
DJP berharap, pada saat program Registrasi Ulang ini selesai, akan diperoleh basis PKP yang
benar-benar aktif dan jelas keberadaannya (valid). Dengan data PKP yang valid maka pelayanan
KPP kepada para pengusaha akan lebih berkualitas serta administrasi pelaporan PKP juga dapat
ditata dan diawasi secara lebih baik.
Ketentuan mengenai Registrasi Ulang PKP dapat dilihat pada PER-05/PJ/2012 tentang Resitrasi
Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012. Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi
Kring Pajak di 500200.

Seri PPN dan PPnBM - Faktur Pajak, Faktur Pajak Gabungan, dan Dokumen
Tertentu yang Ditetapkan Sebagai Faktur Pajak
Jumat, 15 Juni 2012 - 22:08

Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:


1.
2.
3.
4.

penyerahan Barang Kena Pajak;


penyerahan Jasa Kena Pajak;
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
ekspor Jasa Kena Pajak.

Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang
dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama
1 (satu) bulan kalender yang disebut dengan Faktur Pajak gabungan.
Saat Pembuatan Faktur Pajak
Faktur Pajak harus dibuat pada:
1. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
4. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

Faktur Pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP setelah jangka waktu 3 bulan sejak saat Faktur Pajak
seharusnya dibuat, dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak
Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak dengan ketentuan sebagai berikut :
1. dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau penyerahan
JKP yang paling sedikit memuat :
a. nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
b. nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. PPN yang dipungut;
e. PPn BM yang dipungut;
f. kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
2. Setiap Faktur Pajak harus menggunakan Kode dan Seri Faktur Pajak yang telah ditentukan di
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak, yaitu :
a. kode Faktur Pajak terdiri dari :
2 (dua) digit Kode Transaksi;
1 (satu) digit Kode Status; dan
3 (tiga) digit Kode Cabang.

3.

4.

5.
6.

7.

8.
9.

b. nomor seri Faktur Pajak terdiri dari :


2 (dua) digit Tahun Penerbitan; dan
(delapan) digit Nomor Urut.
bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak
dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana
dimaksud dalam butir a di atas. Pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak.
Faktur Pajak paling sedikit dibuat dalam rangkap dua yaitu :
a. lembar ke-1 : Untuk Pembeli BKP atau Penerima JKP sebagai bukti Pajak Masukan.
b. lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagai bukti Pajak
Keluaran.
c. Dalam hal Faktur Pajak dibuat lebih dari rangkap dua, maka harus dinyatakan secara
jelas penggunaannya dalam lembar Faktur Pajak yang bersangkutan.
Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani
termasuk kesalahan dalam pengisian kode dan nomor seri merupakan Faktur Pajak cacat;
dalam hal rincian BKP atau JKP yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak,
maka PKP dapat membuat Faktur Pajak dengan cara :
a. dibuat lebih dari satu Faktur Pajak yang masing-masing menggunakan kode dan nomor
seri Faktur Pajak yang sama,ditandatangani setiap lembarnya, dan khusus untuk
pengisian baris Harga Jual/ Penggantian/ Uang Muka/ Termijn, Potongan Harga, Uang
Muka yang telah diterima, Dasar Pengenaan Pajak, dan PPN cukup diisi pada lembar
Faktur Pajak terakhir; atau
b. dibuat satu Faktur Pajak asalkan menunjuk nomor dan tanggal Faktur Penjualan yang
bersangkutan dan faktur penjualan tersebut merupakan lampiran Faktur Pajak yang
tidak terpisahkan.
PKP wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama pejabat (dapat lebih dari 1 orang
termasuk yang diberikan kuasa) yang berhak menandatangani Faktur Pajak disertai contoh
tandatangannya kepada Kepala KPP di tempat PKP dikukuhkan paling lambat pada saat pejabat
yang berhak menandatangani mulai menandatangani Faktur Pajak.
Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan ketentuan
pada huruf a di atas dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak.
Atas Faktur Pajak yang cacat, atau rusak, atau salah dalam pengisian, atau penulisan, atau yang
hilang, PKP yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut dapat membuat Faktur Pajak Pengganti.

Dokumen Tertentu Yang Kedudukannya Dipersamakan Dengan Faktur Pajak


Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak paling sedikit harus memuat :
1.
2.
3.
4.
5.

nama, alamat dan NPWP yang melakukan ekspor atau penyerahan;


nama pembeli BKP atau penerima JKP;
jumlah satuan barang apabila ada;
Dasar Pengenaan Pajak; dan
jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor.

Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak adalah :


1. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat yang
berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
2. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh Bulog/DOLOG untuk
penyaluran tepung terigu;
3. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk
penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak;
4. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;
5. Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang dibuat/dikeluarkan
untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
6. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
7. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik;
8. Pemberitahuan Ekspor Jasa Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang dilampiri dengan
invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor
Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, untuk ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud;
9. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan dilampiri dengan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran
Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk
impor Barang Kena Pajak; dan
10. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean.

Larangan Membuat Faktur Pajak


Orang Pribadi atau Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang
membuat Faktur Pajak.
Sanksi
PKP dikenai sanksi administrasi sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak apabila tidak membuat
Faktur Pajak, tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap, dan melaporkan Faktur Pajak tidak
sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak.

Seri PPh - Subjek Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak.
Subjek Pajak Penghasilan
Subjek PPh meliputi :
1. orang pribadi;

2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
3. Badan
Adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap; dan
4. bentuk usaha tetap (BUT).
Adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

tempat kedudukan manajemen;


cabang perusahaan;
kantor perwakilan;
gedung kantor;
pabrik;
bengkel;
gudang;
ruang untuk promosi dan penjualan;
pertambangan dan penggalian sumber alam;
wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.

Subjek Pajak Dalam Negeri


1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan Terbatas,
Perseroan Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama
dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,

yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
3. Kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan
b. pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD
c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
e. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Subjek Pajak Luar Negeri


1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
2. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari
183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia
bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

Tidak termasuk Subjek Pajak


1. Kantor perwakilan negara asing;
2. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama-sama mereka, dengan syarat:
a. bukan warga Negara Indonesia; dan
b. di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut; serta
c. negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
dengan syarat :
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
b. tidak menjalankan usaha; atau
c. kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman
kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan dengan syarat :
a. bukan warga negara Indonesia; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.

Seri PPN dan PPnBM - Pajak Pertambahan Nilai dan Pelaporan Usaha untuk
Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
impor Barang Kena Pajak;
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pelaporan Usaha Untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Pengusaha yang melakukan :
1. penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam
Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena
Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
2. pengusaha kecil yang memilih dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan
usahanya pada Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) dan wajib memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang.

Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil dibebaskan dari kewajiban mengenakan/memungut PPN atas penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) sehingga tidak perlu melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali apabila Pengusaha Kecil
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Undang-undang PPN &
PPnBM berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Anda mungkin juga menyukai