Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan

Proses perkembangan manusia dimulai dari masa anak-anak, dilanjutkan


dengan masa remaja, kemudian masa dewasa. Masa remaja merupakan masa
peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa, yang diikuti adanya perubahan
fisik, kognitif dan sosial emosional (Tobing dan Dewi, 2014). Selain sebagai masa
peralihan, masa remaja juga ditandai dengan pencarian jati diri. Pencarian jati diri
remaja sangat dipengaruhi oleh dua faktor dasar, yaitu faktor nature atau fakor
genetis, dan nurture seperti faktor lingkungan, budaya, dan pola asuh yang
diterapkan orangtua.
Menurut Baumrind dalam Tobing dan Dewi, (2014) terdapat empat pola
asuh yang yang dapat membuat perilaku yang beresiko pada anak. Salah satunya
ialah pola asuh neglectful akan cenderung menyebabkan remaja mengalami
pencapaian diri yang rendah, bahkan sangat rentan terhadap perilaku beresiko. Hal
ini berhubungan oleh karakteristik pola asuh neglectful yang tidak memerhatikan
kepekaan orang tua terhadap kebutuhan remaja, dan kurangnya keinginan orang
tua untuk menjadikan remaja tersebut memiliki kontrol diri yang tinggi yang akan
semakin meningkatkan kemungkinan remaja melakukan perilaku beresiko,
bahkan mengarah kepada perilaku pidana.
Perilaku kriminalitas pada awal tahun 2013 didominasi oleh pelajar yang
berusia remaja, dengan kasus berupa pencurian, tindakan asusila, tawuran, hingga
kasus narkoba. Data Profil Kriminalitas Remaja 2010 (Hasinta, 2010),
mengungkapkan bahwa selama tahun 2007 tercatat sekitar 3.100 orang pelaku
remaja berusia 18 tahun atau kurang. Jumlah itu meningkat pada tahun 2008
menjadi 3.300 pelaku dan menjadi 4.200 pelaku pada 2009. Hasil analisis data
yang bersumber dari berkas laporan penelitian kemasyarakatan (Irwansyah, 2013),
mengungkapkan bahwa sebesar 81,5% pelaku kriminalitas ini berasal dari
keluarga yang kurang atau tidak mampu secara ekonomi. Adapun tindak pidana
terbanyak yang dilakukan remaja tersebut adalah tindak pencurian (60%) dengan
faktor ekonomi sebagai pemicunya. Sementara itu, ketua Komisi Perlindungan
Anak Aris Merdeka Sirait mengungkapkan, setidaknya terdapat sekitar 7.000
lebih anak yang mendekam di penjara. Adapun empat kasus yang mendominasi
kasus kenakalan remaja ini, adalah narkotika, pelecehan seksual, pencurian dan

pembunuhan, serta terdapat 12 kasus pembunuhan sepanjang tahun 2012


(Irwansyah, 2013).
Anak adalah tumpuan harapan masa depan bangsa, oleh karena itu
diperlukan perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar
baik fisik mental dan rohaninya. Peningkatan kenakalan atau kejahatan anak
merupakan bahaya yang mengancam masa depan masyarakat suatu bangsa.
Penanganan dan penyelesaian dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi
yang harus diterima oleh anak. Dengan melakukan tindak pidana, maka anak
tersebut akan mendapatkan hukuman akibat tindak pidana yang dilakukannya.
Namun hal yang harus diingat bahwa pidana penjara bukanlah jalan keluar yang
terbaik bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum, sebab pengaruhnya akan
lebih buruk jika mereka dibina dalam lingkungan bermasalah. Sesuai amanat
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA). Di LPKA Anak mendapatkan pembinaan khususnya hak untuk
mendapatkan pendidikan secara layak (Aprilianda, 2014).
Melalui hak untuk mendapatkan pendidikan secara layak maka dapat
digunakan model pembelajaran Therapeutic Community merupakan model
penanganan anak pidana yang efektif membantu anak pidana keluar dari situasi
kehidupan pidana ke dalam kehidupan normal. Oleh karena itu, akan diulas
mengenai Model pembelajaran Therapeutic Community bagi anak pidana. Adapun
tujuan yang ingin dicapai yaitu, mengetahui proses pembelajaran dengan model
pembelajaran Therapeutic Community bagi anak pidana dan untuk mengetahui
pengaruh penerapan model pembelajaran Therapeutic Community terhadap anak
pidana.

Pembahasan
Metode Therapeutic Community pada mulanya digunakan dalam proses
pelayanan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan napza. Akan tetapi
mengingat karakteristik kesulitan untuk terbebas dari pengaruh nafza, memiliki
kemiripan dengan kesulitan yang dihadapi anak pidana untuk keluar dari situasi
lapas. Maka metode ini cukup efektif digunakan untuk penanganan anak pidana.
Atas dasar pemahaman realitas sosial tersebut metode Therapeutic Community,
merupakan salah satu solusi alternatif yang dipandang tepat dalam memberikan
layanan dan merehabilitasi keadaan tersebut. Karena secara konseptual
Therapeutic Community mengandung makna merubah dan mengembalikan fungsi
perilaku, psikologis dan emosi, intelektual dan spiritual, serta peningkatan
keterampilan hidup dan vokasional anak dan remaja yang normatif melalui
penciptaan kelompok (komunitas) dengan norma keluarga (Hufad, 2006).
Model Pembelajaran Therapeutic Community bagi anak pidana merupakan
pilihan yang dapat memberikan alternatif pemecahan masalah. Sebab model ini
tidak hanya menyentuh anak pidana sendiri, akan tetapi berupaya pula
memberdayakan keluarga dan komunitasnya. Oleh karena itu, tujuan studi ini
adalah membantu anak pidana agar dapat hidup normal dalam arti tidak lagi
berbuat negatif atau tindakan yang beresiko setelah terlepas dari lembaga
permasyarakatan. Tentu saja untuk melihat seberapa besar dampak dari model
pembelajaran Therapuetic Community terhadap pengentasan anak pidana, akan
diungkapan

bagaimana

proses

dari

pendekatan

pembelajar

Therapetic

Community.
Rehabilitasi dan pelayanan melalui metode Therapeutic Community,
dilakukan melalui beberapa tahap yang berproses, sehingga anak pidana dapat
mengikuti pembejalaran dengan penuh makna, dengan demikian peserta (anak
pidana) dapat kembali hidup normal. Tahapan yang dilakukan dalam Therapeutic
Community ini mecakup 5 (lima) tahapan. Secara garis besar proses dan siklus
kegiatan itu meliputi daur sebagai berikut :

Gambar: Proses model pembelajaran Therapeutic Community (Hufad, 2014).


Entry merupakan tahap awal yang ditunjukan untuk mengenal calon
residen (istilah baku untuk klien atau anak pidana). Data awal yang dikumpulkan
diantaranya; latar belakang kesehatan, keluarga, lingkungan, pendidikan, dan
katagori lamanya menjadi anak pidana. Induction merupakan tahap dimana
residen (anak pidana) masuk ke dalam lingkungan (baru) lapas, dan diperkenalkan
mengenai; filosofi, tujuan, norma, nilai, kegiatan, dan kebiasaaan lapas yang
dirancang secara umum dan khusus untuk memulihkan residen agar dapat kembali
ke masyarakat umum (keluarga sebagai basis utama) dengan peran dan fungsi
sesuai kemampuan dan keterbatasannya. Pada tahap ini, pihak keluarga residen
diberikan pemahaman mengenai program rehabilitas secara keseluruhan.
Tujuannya, memberikan pemahaman keluarga tentang berbagai aspek bahaya jika
anak terus menerus berbuat tindakan yang beresiko, juga membentuk jaringan
hubungan antar sesama orang tua agar dapat saling mendukung dalam
menghadapi masalah yang dialaminya. Beberapa komponen penting dalam tahap
ini, yaitu:
1. walking paper, satu perangkat pengenalan yang membantu proses adaptasi residen
baru terhadap program, dan dapat berubah atau ditambah sesuai dengan
kebutuhan dan budaya atau sifat lapas yang berisi:
a. filosofi tertulis atau ikrar, merupakan bentuk ikrar yang bertujuan agar
residen memahami dan menghayati bahwa lapas tempat yang paling
tepat untuk menjalani perubahan (rehabilitasi).
4

b. filosofi tidak tertulis, merupakan kumpulan kata atau kalimat yang


dapat menumbuhkan nilai-nilai kehidupan yang benar, seperti;
honesty, trust your environment.
c. Istilah atau jargon, merupakan kumpulan istilah dan bahasa khas,
menjelaskan teknik, perangkat serta mengungkapkan pesan yang
didalamnya mengandung makna pemulihan, dipakai dalam keseharian
di lapas sehingga dapat membangun keakraban dan membina gaya
hidup yang mendukung jalannnya pemulihan atau rehabilitas.
d. Empat struktur program Therapeutic Community, merupakan acuan
sasaran perubahan yang ingin dicapai dalam proses pelayanan
mencakup perubahan perilaku, perubahan aspek psikologis dan emosi,
perubahan aspek intelektual dan spiritual, serta peningkatan
keterampilan hidup dan vokasional.
e. Lima program Therapeutic Community, merupakan landasan yang
menentukan bentuk-bentuk upaya proses pelayanan meliputi; konsep
lingkungan keluarga pengganti, tekanan positif teman sebaya, sesi-sesi
terapeutik, sesi religi dan spiritual dan panutan (role model).
f.
Peraturan-peraturan, terdapat tiga aturan, yaitu; peraturan utama
(cardinal rules), peraturan umum (general rules), dan peraturan rumah
(house rules).
2. Intruduction Group, merupakan sebuah kelompok yang berfungsi untuk
memberikan pemahaman dan pengertian tentang program yang akan
dijalankan, beserta dengan pengertian-pengertian dasarnya.
Primary merupakan tahap dimana residen memasuki proses pelayanan.
Tahapan ini bertujuan untuk memperkuat kondisi stabil yang telah dicapai pada
tahap induction. Pada tahap ini dilandasi dan diterapkan dengan mengacu pada
konsep umum yang meliputi; lingkungan lapas yang sehat, isu-isu kritis, emosi
dan perilaku, sugesti, belajar untuk berfungsi dalam komunitas, belajar
menghadapi tekanan atau stress, dan rasa frustasi. Dalam tahap ini terdapat
beberapa fase sesuai dengan kemampuan residen untuk menyelesaikan proses
pelayanan, yaitu; younger member (1-3 bulan), middle peer (1-2 bulan), dan older
members (1-2 bulan).

Re-entry suatu tahap dimana residen dilatih untuk

bergabung dengan keluarga, lingkungan masyarakatnya, lingkungan sekolah.


Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan interaksi residen dengan lingkungan

sosialnya namun proses pelayanan belum sampai pada tahap terminasi. Beberapa
konsep umum yang menjelaskan posisi pasti dan residen dalam melaksanakan
program, antara lain; permulaan recovery atau pemulihan, reintegrasi, separasi dan
individualisasi, asimilasi dan adaptasi, penanganan residen, lokasi, networking.
Adapun beberapa isu kritis pada tahap re-entry antara lain; separasi, sugesti,
kebutuhan akan jaringan sosial yang baru, penyesuaian kepada berbagai kegiatan
serta sumber kepuasan yang bebas dari pengaruh untuk kembali ke jalanan,
belajar menghadapi tekanan stress dan frustasi, keinginan untuk menjalin
hubungan personal. Fase-fase dalam re-entry, meliputi; orientasi re-entry ( 2
minggu), fase re-entry A (1,5 -2 bulan), fase re-entry B ( 2 bulan), fase re-entry C
( 2 bulan). Aftercare (pembinaan lanjutan) suatu tahap dimana alumni
memasuki masyarakat luas, keluarga, lingkungan tetangga, dan lingkungan
pendidikan. Dalam fase ini aktifitas alumni dipantau perkembangannya, melalui
kemitraan dengan keluarga, instansi terkait dan mitra kerja lainnya.
Melalui model pembelajaran ini diharapkan residen atau anak pidana dapat
mengurangi

dan

mencegah

timbulnya

perluasan

permasalahan

sosial,

menghindarkan dan membebaskan anak pidana dari kondisi negatif kehidupan


atau pergaulan yang beresiko sehingga dapat memiliki kembali kemauan dan
kemampuan melaksanakan fungsi sosial secara wajar. Pembelajaran bagi anak
pidana dilakukan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang bersifat nonformal
dengan materi pokok berupa bimbingan sosial, mental dan agama, dan pelatihan
keterampilan fungsional (seperti: mengelas, bengkel motor, mobil, pembuatan
telur asin).
Pendekatan, strategi, metode dan teknik pembelajaran yang diterapkan
menggunakan pendekatan terpadu, melalui pendekatan sosial, mental, agama, dan
keterampilan fungsional metode yang digunakan disesuaikan dengan materi
kegiatan, namun sebagian besar materi disampaikan melalui kegiatan praktek. Di
akhir kegiatan para peserta mengikuti magang (praktek kerja lapangan) sesuai
dengan bidang keahlian yang diminatinya. Teknik pembelajarannya menggunakan
teknik pembelajaran partisipatif, agar dapat menumbuhkan rasa percaya diri para
peserta, sekaligus memupuk kebiasan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan,

sehingga manakala kembali ke lingkungan masyarakatnya, mereka sudah terbiasa


dan mau ikut serta dalam setiap kegiatan yang ada di masyarakat.
Therapeutic Community sebagai metode dalam pendidikan anak pidana
dapat berarti sebagai salah satu strategi mendekatkan layanan pendidikan dengan
tempat peserta didik (to bring school/classroom in to the children). Apabila
ditinjau dari segi materi pengajaran yang dikembangkan, maka Therapeutic
Community tidak dapat disebut sebagai the school not the children, akan tetapi
justru sebaliknya menjadi sangat sensitif terhadap kebutuhan anak, bukan hanya
anak yang dituntut untuk menyesuaikan dengan lembaga pendidikan. Demikian
jika pembelajaran Therapeutic Community ini di kaitkan dengan konsep Broad
Based Education, yang memiliki karakteristik bahwa proses pendidikan
bersumber pada nilai-nilai hidup yang berkembang secara luas di masyarakat.
Pendidikan berbasis luas merupakan sistem baru yang berwawasan
keunggulan, menganut prinsip tidak mungkin membentuk sumber daya manusia
yang berkualitas dan memiliki keunggulan, kalau tidak diawali dengan
pembentukan dasar (pondasi) yang kuat. Dengan demikian broad based education
diartikan bahwa pendekatan pendidikan yang harus memberikan orientasi yang
lebih luas, kuat dan mendasar, sehingga memungkinkan warga masyarakat
memiliki kemampuan menyesuaikan diri terhadap kemungkinan yang terjadi pada
dirinya baik yang berkaitan dengan usaha atau pekerjaannya. Pendidikan anak
pidana dengan metode Therapeutic Community dikaitkan dengan terminologi
Pendidikan Luar Sekolah merupakan salah satu pendidikan alternatif yang
beroreintasi pada pemberdayaan peserta didik yang dilakukan secara luwes.
Pendidikan Alternatif dikembangkan dengan asumsi : (1) peserta didik dilahirkan
dalam keadaan berbeda, (2) setiap peserta didik memiliki kemampuan untuk
belajar dan mengembangkan diri, (3) peserta didik tumbuh dan berkembang
sesuai dengan potensi genetik dan lingkungan yang mempengaruhinya, (4) peserta
didik

memiliki

kemampuan

dan

kreativitas

dalam

mengembangkan

kepribadiannya.
Tobing dan Dewi, (2014) menyatakan melalui penerapan model
pembelajaran Therapeutic Community bagi anak pidana akan mendapatkan
pengaruh atau hasil pada anak pidana yaitu,

Sebagian besar anak pidana merasa mengalami perubahan selama


mengikuti pembelajaran dengan metode Therapeutic Community berada di dalam
lapas dan dengan mencapai hidup yang lebih baik dari sebelumnya, salah satunya
dengan lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan. Anak pidana yang dulunya
hanya memedulikan masa sekarang, dan terkesan sangat tidak bertanggung jawab
karena tidak pernah memikirkan mengenai konsekuensi perbuatan tersebut,
sekarang telah menyadari bahwa anak pidana masih memiliki tanggung jawab
terhadap

kehidupan

keluarga,

sehingga

anak

pidana

akan

selalu

mempertimbangkan secara hati-hati langkah yang akan anak pidana ambil agar
tidak merugikan siapapun.
Perubahan positif juga dialami beberapa anak pidana lain dengan menjadi
individu yang lebih mandiri, mampu memperbaiki sikap buruk, dan merasa
mendapatkan pelajaran tentang sikap selama menjalani pembinaan atau
pembelajaran dengan metode Therapeutic Community di dalam lapas. Beberapa
anak pidana juga menjadi lebih rajin beribadah untuk menenangkan diri ketika
ada masalah yang anak pidana hadapi. Anak pidana lain berubah dengan menjadi
8

tidak terpengaruh dengan kerasnya kehidupan di dalam lapas dan selalu


berpegang teguh pada keyakinan anak pidana untuk selalu berperilaku positif.
Tidak hanya perubahan positif yang dialami para anak pidana di dalam
lapas anak, namun ada juga yang merasakan perubahan ke arah negatif. Salah
satunya adalah perasaan semakin tertekan akibat keberadaan anak pidana di dalam
lapas anak. Anak pidana merasa tertekan karena merasa tidak pantas berada di
dalam lapas anak, mengingat usia anak pidana yang tidak dapat digolongkan ke
dalam usia anak-anak lagi, dan juga karena pola pikir anak pidana lain yang
menurut anak pidana masih terlalu kekanak-kanakan, sehingga anak pidana sulit
untuk beradaptasi dan merasa tertekan. Perubahan negatif lainnya adalah salah
satu anak pidana yang masih sering merasakan emosi negatif ketika bertemu
dengan orang yang tidak menyukai anak pidana atau masyarakat yang
mengganggap dirinya kotor dan penuh dosa karena perbuatannya yang membuat
anak lapas mendekam di penjara.
Setelah pembelajaran atau rehabilitasi dengan metode Therapeutic
Community. Sebagian besar anak pidana telah mampu menerima dan bahkan
bersyukur atas hukuman dan kehidupan di dalam lapas sebagai karma terhadap
perbuatan melanggar hukum yang telah dilakukan. Kesadaran tersebut juga
membuat para anak pidana mampu belajar dari kesalahan yang pernah mereka
lakukan.

Penutup
Anak pidana adalah anak yang tidak ada bedanya dengan anak biasa.
Mereka juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai
dengan hak mereka sebagai anak Indonesia. Karena tindakan mereka yang
beresikolah yang membuat mereka mendekam di lapas anak. Untuk itu perlu di
berikan pendidikan khusus di luar sekolah pada mereka sesuai hak mereka untuk

hidup yang lebih baik ketika terlepas dari lapas. Yaitu dengan pembelajaran yang
menggunakan metode pembelajaran alternatif ialah Therapeutic Community.
Therapeutic Community mengandung makna merubah dan mengembalikan fungsi
perilaku, psikologis dan emosi, intelektual dan spiritual, serta peningkatan
keterampilan hidup dan vokasional anak dan remaja yang normatif melalui
penciptaan kelompok (komunitas) dengan norma keluarga.

Daftar Rujukan
Aprilianda, Nurini. 2014. Pengkajian Hukum Tentang Model Pembinaan Anak
Bernasis Pendidikan Layak Anak dalam Sistem Pemasyarakatan. Laporan
Akhir. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI.
Hasinta, F. (14 Agustus 2010). Data profil kriminalitas remaja-Biro pusat statistik.
Dipetik
11
Maret
2015,
dari
Kompasiana.com:
http://edukasi.kompasiana.com/
2010/08/14/kebermaknaan-hidup_225475.html.
Hufad, Achmad. 2006. Model Pembelajaran Therapeutic Community Bagi Anak
Jalanan (Kasus di Panti Sosial Karya Marga Sejahtera Ciganjeng
Kabupaten Ciamis). Mimbar Pendidikan. 25(1): 1-10.
Irwansyah, R. (26 Mei 2010). Anak-Citizen journalism. Dipetik 11 Maret 2015,
dari Waspada online- Pusat berita dan informasi sumut aceh:
http://www.waspada.co.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=117801:penghuni-lapas-anakseparuh-usia-produktif&catid=14:medan&Itemid=27.
Tobing, David Hizkia dan Dewi, Sagung Suari. 2014. Kebermaknaan Hidup pada
Anak Pidana di Bali. Jurnal Psikologi Udayana. 1(2): 1-13.

10

Anda mungkin juga menyukai