Kapsel Kriminologi KDRT
Kapsel Kriminologi KDRT
Rumah Tangga
Disusun Oleh :
Kahfi Bima Kurniawan
(11010112140583)
( 11010112140635)
Citra Marina N
(11010112140633)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Sebagai arahan pembentukan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) berangkat dari asas bahwa setiap
warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Pandangan tersebut
didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta perubahannya.
Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi. Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Dalam lingkup rumah tangga rasa aman, bebas dari segala bentuk
kekerasan dan tidak adanya diskriminasi akan lahir dari rumah tangga yang utuh
dan rukun. Dengan demikian keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia,
aman, tenteram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah
tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung
pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku
dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan
dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri
tidak dapat dikontrol, yang ada akhirnya dapat terjadi Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
Secara empiris Kekerasan dalam Rumah Tangga sudah lama berlangsung
dalam masyarakat, hanya secara kuantitas belim diketahui jumlahnya, seperti
kekerasan suami terhadap istri atau suami terhadap pembantu rumah tangga
perempuan. Bentuk kekerasannya beragam mulai dari penganiayaan, pemerkosaan
dan sebagainya. Mendasarkan pada hal-hal tersebut maka perlunya dibentuk UU
PKDRT. Dimana UU ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan
lain yang sudah berlaku sebelumnya antara lain, KUHP, KUHAP, UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
2.2 Penyebab Timbulnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Data Mengenai KDRT di
Indonesia
Kekerasan di dalam rumah tangga timbul dan terjadi karena berbagai faktor, baik dalam
dalam rumah maupun di luar rumah. Satu kekerasan akan berbuntut pada kekerasan lainnya.
Kekerasan terhadap istri biasanya akan berlanjut pada kekerasan lain; terhadap anak dan
anggota keluarga lainnya. Kekerasan yang terjadi, yang dilakukan anak-anak, remaja maupun
orang dewasa, jika ditelusuri dengan saksama, banyak sekali yang justru berakar dari proses
pembelajaran dalam rumah tangga. Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang
penuh kekerasan akan menjadi orang yang kejam. Penelitian yang pernah dilakukan untuk hal ini
membuktikan bahwa 50 persen sampai 80 persen laki-laki yang memukul istrinya dan atau
anak-anaknya, ternyata dibesarkan dalam rumah tangga yang orang tuanya suka memukul dan
melakukan kekerasan dalam rumah. 2
2 Ciciek Farha, dalam Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Komnas Perempuan, Jakarta, 2008, hlm. 35.
a.) Faktor budaya dan adat istiadat masyarakat. Budaya patriarki selalu memosisikan
perempuan berada di bawah kekuasaan dan kendali kaum laki-laki. Sebelum menikah
oleh ayah atau saudara laki-laki, setelah menikah oleh suami
b.) Rendahnya pengetahuan, pemahaman dan kesadaran terhadap kesetaraan dan keadilan
gender. Kesetaraan gender banyak diartikan identik dengan emansipasi dalam arti
sempit/radikal, sehingga dalam persepsi masyarakat, gender dianggap sebagai budaya
barat yang akan merusak budaya lokal dan kaidah agama.
c.) Lemahnya pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Kelemahan itu bukan hanya dari
aparat penegak hukum tapi juga dari sikap dan budaya masyarakat yang kurang taat
hukum.
d.) Penafsiran/interpretasi ajaran agama yang kurang tepat. Agama sering dipahami melalui
pendekatan tekstual, dan kurang dikaji dalam perubahan zaman (kontekstual) atau secara
parsial, tidak dipahami secara menyeluruh. Secara kodrat memang ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan tetapi seharusnya tidak menyebabkan timbulnya sikap
diskriminatif. Laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Allah dan sama pula di
hadapan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.3
Di samping itu, secara mikro (keluarga-kelompok masyarakat),
sejumlah faktor
e.) Pemberitaan tindak kekerasan yang dipublikasikan terlalu vulgar (bebas) di media massa
yang dapat memacu perilaku publik bahwa tidak kekerasan terhadap perempuan sudah
terjadi di mana-mana.
Jumlah KDRT/RP
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
4.310
16.615
16.709
19.253
49.537
136.849
101.128
113.878
8.315
11.719
Keterangan: Data dari 2004 sampai 2008 bersumber dari jumlah kasus yang dilaporkan pengadalayanan
dan Komnas Perempuan. Sedangkan sumber data 2009-2011 diperoleh dari laporan mitra
pengadalayanan dan data dari pengadilan agama. Tahun 2012 dan 2013 data bersumber hanya dari
pengadalayanan dan Komnas Perempuan.4
4 http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/satu-dasawarsa-undang-undang-penghapusan-kekerasandalam-rumah-tangga-uu-pkdrt/
2.3 Kualifikasi Pembuat atau Pelaku atau Subjek dari Tindak Pidana KDRT
Masalah Pembuat KDRT ini penting, oleh karena jangan sampai timbul pemikiran UU
PKDRT hanya diperuntukkan untuk menjerat laki-laki, sehingga apabila perempuan melakukan
tindak pidana KDRT hanya dijerat KUHP. Ditekankan UU PKDRT harus diterapkan seimbang
karena UU PKDRT meskipun jiwanya untuk melindungi perempuan, tetapi dalam aturan
pasalnya juga memberikan hak yang sama kepada laki-laki untuk dilindungi.
Dalam hal ini yang dapat menjadi pembuat / pelaku / subjek dari tindak pidana KDRT
adalah hanya orang dalam lingkup rumah tangga, meliputi :
a.) Suami, isteri, dan anak.
b.) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga ; dan/atau
c.) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut (dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada
dalam rumah tangga yang bersangkutan).
Anak sah
Pengangkatan anak yang dilakukan di PN akibat hukumnya hubungan antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungya putus, anak yang diangkat menjadi anak dari orang
tua angkatnya. Dikonstruksikan anak angkat tersebut yang baru lahir dalam keluarga
orang tua angkatnya. Sedangkan apabila pengangkatan anak dilakukan di Pengadilan
Agama maka hubungan anak dengan orang tua kandungnya tidak putus, yang beralih
hanyalah tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat.
UU PKDRT tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan yang menetap
dalam rumah tangga, apakah pengertiannya dikaitkan dengan batas waktu tertentu,
dalam pengertian menetap tersebut adalah tinggal bersama dalam satu rumah dengan
suatu rumah tangga/keluarga atau juga termasuk orang yang kadang-kadang tinggal
bersama dalam satu rumah dengan suatu rumah tangga/keluarga. Contoh sederhana,
apakah terkualifikasi sebagai yang menetap dalam rumah tangga apabila ada
mertua yang dalam setahun hanya tinggal 2 minggu dirumah menantunya. Hal ini
penting karena untuk menentukan apakah orang tersebut subjek KDRT atau bukan
apabila UU PKDRT mensyaratkan menetap tersebut adalah tinggal bersama, maka
mertua yang kadang-kadang tinggal bersama jika memukul menantunya, tidak dapat
diajukan sebagai terdakwa dalam perkara KDRT, oleh karena mertua tersebut tidaklah
memenuhi syarat yang menetap dalam rumah tangga.
Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut
Subjek dalam aturan ini adalah dalam kualifikasi sebagai orang yang bekerja
membantu rumah tangga atau dalam keseharian kita menyebutnya sebagai pembantu
rumah tangga. Dimana untuk dikualifikasikan sebagai pembantu rumah tangga
menurut UU PKDRT harus dipenuhi syarat, yakni :
-
Menetap dalam rumah tangga tersebut (Pasal 2 Ayat (1) huruf c).
Selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (pasal 2)
Jadi pembantu rumah tangga bisa menjadi pelaku tindak pidana KDRT apabila yang
bersangkutan dalam keadaan riil masih berada dan atau bekerja dalam rumah tangga
yang bersangkutan, dan menurut UU PKDRT pembantu yang memenuhi syarat
tersebut dapat disebut sebagai anggota keluarga.5
2.4 Penanganan dan Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat
dilakukanuntuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan preventif.
1. Pendekatan kuratif
a.Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik
danmemperlakukan anak-anaknya secara humanis.
b. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnyam
elaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika
sewaktu-waktu terjadi KDRT.
c. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang
mengundangterjadinya KDRT.
d. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada
akibatyang ditimbulkan dari KDRT.
e. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang
harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku
KDRT.
f. Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang
menampilkan informasi kekerasan.
g. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin,
kondisi,dan potensinya.
h. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena
KDRT,tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
i. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli
danresponsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.2.
2. Pendekatan Preventif
a.Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan
tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya
berarti bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat
lainnya.
b.Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi, dan
menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti, sehingga terjadi roses
kehidupan yang tenang dan membahagiakan.
c. Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT
dannilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya
memilikiefektivitas yang tinggi.
d. Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan
penanganansejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai serius.
e. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan
keselamatankorban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa
dendam bagi pelakunya.
f. Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri
kepadaAllah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam
rumah tangga,sehingga dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.
g. Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT
denganmengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi
kehidupanmasyarakat. Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat
sangat tergantung padakondisi riil KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota
keluarga untuk keluar dari praketk KDRT, kepedulian masyarakat sekitarnya, serta
ketegasan pemerintah menindak
praktek KDRT yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Pemulihan Korban
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
Tenaga Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan w
ajibmemulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pekerja Sosial;
Relawan Pendamping; dan/atau
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
KDRT merupakan permasalahan yang sering terjadi didalam rumah tangga. Oleh karena itu
harus dilakukan pencegahan secara dini. Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di rumah
tangga merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.
Untuk mencegah KDRT di rumah tangga, harus dikembangkan cinta kasih dan kasih saying. Sejak
dini. Ibu bisa berperan besar dalam hal mengajarkan kepada anak-anak dirumah untuk saling
mencintai dan saling menyayangi. Demikian juga PKK sebagai organisasi dapat memberi terusmenerus pencerahan dan penyadaran kepada kaum perempuan.
Oleh karena pelaku utama KDRT pada umumnya adalah suami, maka peranan para pemuka agama,
pendidik, sosiolog dan cendekiawan, harus berada digarda terdepan untuk terus menyuarakan
pentingnya rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat untuk dibangun secara baik dan
jauh dari KDRT. Supaya terkomunikasikan hal tersebut kepada masyarakat luas, maka peranan dan
partisipasi media sangat penting dan menentukan.
Amalkan sebuah pepatah Rumahku Istanaku. Betapapun keadaannya sebuah rumah, maka rumah
harus menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan, kedamaian, perlindungan, dan
kebahagian kepada seluruh anggota keluarga.
3.2 Saran
Dari simpulan yang disebutkan di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran antara
lain:
1. Dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi
konflik yang bisa menimbulkan kekerasan.
2.
Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri.
3. maka antara suami dan istri harus memiliki keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik,
adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, serta memiliki rasa saling percaya,
pengertian, dan saling menghargai.
4. pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati
untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan pengawasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Gusi Prayudi. 2008. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Merkid Press.
Ciciek Farha. 2008. dalam Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jakarta. Komnas Perempuan.
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI. 2008. Keluarga Sebagai Wahana Membangun Masyarakat
Tanpa Kekerasan. Bahan ajar/buku sumber PKTP-KDRT bagi Fasilitator Kabupaten dan Kota. Jakarta.
http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/satu-dasawarsa-undang-undang-penghapusan-kekerasandalam-rumah-tangga-uu-pkdrt/
https://farizdp15.wordpress.com/2014/12/25/menjaga-keluarga-dengan-memahami-tindak-pidana-kekerasan-dalamrumah-tangga/
harus
dihidupi.
Sebelum dibacakan putusan hakim menerbitkan penetapan agar Sukiran ditahan di rutan.
Penahanan bertujuan sebagai jaminan agar Sukiran melaksanakan putusan. Setelah divonis Sukiran
langsung ditahan sebagai tindak lanjut penetapan tersebut. Atas putusan tersebut JPU dan
penasihat hukum Sukiran, Hastin, menyatakan menerima.
Kasus KDRT tersebut terjadi di rumah Sukiran, lima bulan silam. Sukiran diduga mencelakai
istrinya dengan cara menendang di bagian tengkuk saat bertengkar. Pertengkaran itu dipicu rasa
cemburu Sukiran terhadap istrinya. Korban dituduh Sukiran berselingkuh.
Semula Sukiran ditahan penyidik Polresta Solo. Namun, setelah mendapat jaminan dari orang
tuanya dan dengan mempertimbangkan ia masih mempunyai tanggungan dua anak, polisi
mengalihkan penahanannya menjadi tahanan kota. Perbuatannya itu dinilai melanggar Pasal 44
ayat (3) UU No 23/2004 tentang Penghapusan KDRT.
Analisis Kasus
1.
Pelaku
Tindak Pidana :
Kejadian bermula dari percecokan antar suami-istri tersebut di kediaman mereka. Pertengkaran
itu dilatarbelakangi oleh rencana menghadiri arisan keluarga di Klaten, Minggu (21/4/2013) sekitar
pukul 11.00 WIB.
Bermula dari adu mulut itu kemudian terjadi kekerasan fisik. Pelaku sempat menendang korban
hingga tak sadarkan diri. Korban kemudian dibawa ke RS Dr Oen Solo. Sesampaiknya di RS, pihak
RS menyatakan korban dinyatakan sudah tak bernyawa.
3.
Akibat :
Bagi Pelaku
Sukiran melanggar Pasal 44 ayat (3) UU No 23/2004 tentang Penghapusan KDRT. Berikut isinya dari
pasal tersebut.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak
Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Dan berikut isi ayat 1 dan 2 Pasal 44 ayat (3) UU No 23/2004 tentang Penghapusan KDRT yang juga
terkait dengan tindak pidana Sukiran.
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat
jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Sukiran divonis 2 bulan 15 hari penjara. Sebelumnya hanya berstatus tahanan rumah. Putusan
tersebut lebih ringan 15 hari dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang sebelumnya menuntut
3 bulan penjara. Belasan saksi di persidangan memberikan keterangan bahwa Sukiran justru yang
sebenarnya menjadi korban kekerasan istrinya itu. Para saksi yang kebanyakan tetangga Sukiran
termasuk saudara kandung Yuliantini mengaku, kerap melihat Sukiran dipukuli istrinya tanpa
alasan jelas. Bahkan, lanjut Kun, ketika diperiksa polisi seratusan tetangga Sukiran membuat surat
permohonan agar Sukiran tidak ditahan.hakim juga mempertimbangkan fakta bahwa Sukiran saat
ini masih mempunyai tanggungan dua anak dan mertua (orang tua mendiang istri Sukiran) yang
masih harus dihidupi.
Bagi Korban
Korban ditendang hingga tak sadarkan diri. Korban kemudian dibawa ke RS Dr Oen Solo.
Sesampaiknya di RS, pihak RS menyatakan korban dinyatakan sudah tak bernyawa.