Anda di halaman 1dari 21

Pembuat Tindak Pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga

Disusun Oleh :
Kahfi Bima Kurniawan

(11010112140583)

Bunga Zakiyah Anandya

( 11010112140635)

Citra Marina N

(11010112140633)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pernikahan adalah babak baru bagi kehidupan manusia. Menurut Kamu Besar Bahasa
Indonesia nikah adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum dan ajaran agama. Semua orang di dunia ini dalam fitrahnya adalah ingin berkeluarga
dengan orang yang dicintainya dan bisa menghasilkan keturunan untuk bisa meneruskan silsilah
keluarga juga bisa untuk meneruskan membela agama dan negara. Semua orang memimpikan
mempunyai pernikahan yang bahagia penuh cinta dan hanya berakhir bila kematian datang
menghampiri. Sehingga kebanyakan orang memerlukan proses panjang pemikiran yang matang
pada akhirnya untuk memutuskan untuk menikah karena semuanya menginginkan pernikahan
sekali seumur hidup agar kelak dapat saling mengisi dengan pasangannya setiap harinya serta
agar tidak salah memilih orang sebagai pendamping hidup dan juga agar terhindar dari satu kata
yang paling ditakutkan pasangan suami istri di dunia ini adalah Perceraian. Karena perceraian
akan banyak menimbulkan dampak negatif bagi keseluruhan keluarga yang terjalin oleh
pernikahan, terlebih lagi untuk anak-anak. Akhir-akhir ini banyak sekali pasangan suami istri
yang bercerai karena kasus KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga. Memang benar apa kata
pepatah tak ada yang abadi di dunia ini. Termasuk dalam keluarga pastinya tidak selalu
harmonis dan berjalan mulus-mulus saja tentunya pasti ada konflik didalamnya entah itu konflik
kecil ataupun konflik besar. Konflik antara suami dengan istri, konflik antara orang tua dan anak
tak dapat dihindari dalam kehidupan keluarga. Walaupun seperti itu setiap keluarga mempunyai
cara-cara sendiri menyelesaikan konflik seperti ini. Tentu hal bagus jika cara penyelesaiannya
dengan cara yang bijaksana dan penuh kekeluargaan dengan bersama-sama mencari solusi dari
konflik yang dialami. Berbeda kalau cara penyelesaiannya dengan cara kekerasan sebagai
pelampiasan kemarahan ada yang dengan memukul, menampar, teriakan, makian dan sebagainya
dimana sebagian besar wanitalah sebagai korban kekerasan (KDRT).

1.2 Rumusan Masalah


A.) Apa yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
B.) Apa yang menjadi penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ? Dan bagaimana
fakta atau data yang terjadi mengenai kekerasan dalam rumah tangga tersebut di
Indonesia ?
C.) Bagaimana pembuat atau pelaku atau subjek dari tindak pidana KDRT ?
D.) Bagaimana penanganan dan pemulihan terhadap korban KDRT ?

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas Kapita Selekta Kriminologi yang
ditempuh pada semester 6. Dan juga untuk mengetahui mengenai penyebab atau faktor
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan lahirnya undang-undang PKDRT
(Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) serta penanganannya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Sebagai arahan pembentukan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) berangkat dari asas bahwa setiap
warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Pandangan tersebut
didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta perubahannya.
Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi. Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Dalam lingkup rumah tangga rasa aman, bebas dari segala bentuk
kekerasan dan tidak adanya diskriminasi akan lahir dari rumah tangga yang utuh
dan rukun. Dengan demikian keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia,
aman, tenteram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah
tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung
pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku
dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan
dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri
tidak dapat dikontrol, yang ada akhirnya dapat terjadi Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
Secara empiris Kekerasan dalam Rumah Tangga sudah lama berlangsung
dalam masyarakat, hanya secara kuantitas belim diketahui jumlahnya, seperti
kekerasan suami terhadap istri atau suami terhadap pembantu rumah tangga
perempuan. Bentuk kekerasannya beragam mulai dari penganiayaan, pemerkosaan
dan sebagainya. Mendasarkan pada hal-hal tersebut maka perlunya dibentuk UU
PKDRT. Dimana UU ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan
lain yang sudah berlaku sebelumnya antara lain, KUHP, KUHAP, UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi

Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan UU Nomor


39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 1

2.2 Penyebab Timbulnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Data Mengenai KDRT di
Indonesia

Kekerasan di dalam rumah tangga timbul dan terjadi karena berbagai faktor, baik dalam
dalam rumah maupun di luar rumah. Satu kekerasan akan berbuntut pada kekerasan lainnya.
Kekerasan terhadap istri biasanya akan berlanjut pada kekerasan lain; terhadap anak dan
anggota keluarga lainnya. Kekerasan yang terjadi, yang dilakukan anak-anak, remaja maupun
orang dewasa, jika ditelusuri dengan saksama, banyak sekali yang justru berakar dari proses
pembelajaran dalam rumah tangga. Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang
penuh kekerasan akan menjadi orang yang kejam. Penelitian yang pernah dilakukan untuk hal ini
membuktikan bahwa 50 persen sampai 80 persen laki-laki yang memukul istrinya dan atau
anak-anaknya, ternyata dibesarkan dalam rumah tangga yang orang tuanya suka memukul dan
melakukan kekerasan dalam rumah. 2

Secara keseluruhan, budaya patriarki yang berkembang di masyarakat dan kemudian


memengaruhi pemahaman masyarakat baik perempuan maupun laki-laki dalam menyikapi dan
memandang relasi keluarga yang terjadi sehingga menimbulkan ketimpangan relasi bahwa suami
mempunyai kuasa terhadap perempuan dan anak, dan juga dalam memutuskan kebijakan
keluarga. Hal ini akan memengaruhi anggota keluarga yang lain. Hal senada juga disampaikan
oleh salah seorang Wakil Ketua Komnas HAM, bahwa faktor dominan antara lain budaya
partiarki, budaya yang dipengaruhi agama yang meletakkan perempuan sebagai warga kelas dua,
adat dan tata nilai, hukum yang mendiskriminasikan perempuan dengan laki-laki dan tak
menghukum lelaki yang melakukan kekerasan terhadap istrinya, kebiasaan seperti melihat KDRT
lebih sebagai urusan rumah tangga yang tak boleh dicampuri.

Berikut beberapa fakto-faktor penyebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga


:
1 Gusi Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Merkid Press, Yogyakarta, 2008,
hlm. 15

2 Ciciek Farha, dalam Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Komnas Perempuan, Jakarta, 2008, hlm. 35.

a.) Faktor budaya dan adat istiadat masyarakat. Budaya patriarki selalu memosisikan
perempuan berada di bawah kekuasaan dan kendali kaum laki-laki. Sebelum menikah
oleh ayah atau saudara laki-laki, setelah menikah oleh suami
b.) Rendahnya pengetahuan, pemahaman dan kesadaran terhadap kesetaraan dan keadilan
gender. Kesetaraan gender banyak diartikan identik dengan emansipasi dalam arti
sempit/radikal, sehingga dalam persepsi masyarakat, gender dianggap sebagai budaya
barat yang akan merusak budaya lokal dan kaidah agama.
c.) Lemahnya pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Kelemahan itu bukan hanya dari
aparat penegak hukum tapi juga dari sikap dan budaya masyarakat yang kurang taat
hukum.
d.) Penafsiran/interpretasi ajaran agama yang kurang tepat. Agama sering dipahami melalui
pendekatan tekstual, dan kurang dikaji dalam perubahan zaman (kontekstual) atau secara
parsial, tidak dipahami secara menyeluruh. Secara kodrat memang ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan tetapi seharusnya tidak menyebabkan timbulnya sikap
diskriminatif. Laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Allah dan sama pula di
hadapan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.3
Di samping itu, secara mikro (keluarga-kelompok masyarakat),

sejumlah faktor

diidentifikasikan dapat menjadi pendorong (pemicu dan pemacu) meningkatnya tindak


kekerasan terhadap perempuan termasuk KDRT, antara lain :
a.) Kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan keterbelakangan;
b.) Semakin langkanya tokoh panutan yang menjadi teladan dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
c.) Banyaknya tayangan di media massa (terutama televisi) yang menampilkan berita atau
video (film dan sinetron) tentang tindakan kekerasan;
d.) Sikap dan penampilan perempuan yang semakin berani. Berjalan di malam hari, di tempat
rawan, dan berpenampilan berani, baik di tempat umum maupum media massa.

3 Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Keluarga Sebagai Wahana Membangun


Masyarakat Tanpa Kekerasan, Bahan ajar/buku sumber PKTP-KDRT bagi Fasilitator Kabupaten dan
Kota, Jakarta, 2008, hlm. 28-29.

e.) Pemberitaan tindak kekerasan yang dipublikasikan terlalu vulgar (bebas) di media massa
yang dapat memacu perilaku publik bahwa tidak kekerasan terhadap perempuan sudah
terjadi di mana-mana.

Berikut data mengenai kasus yang terjadi di Indonesia :


Berdasarkan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan, angka KDRT/Ranah Personal selama 10 tahun
terakhir sebagai berikut:
Tahun

Jumlah KDRT/RP

2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

4.310
16.615
16.709
19.253
49.537
136.849
101.128
113.878
8.315
11.719

Keterangan: Data dari 2004 sampai 2008 bersumber dari jumlah kasus yang dilaporkan pengadalayanan
dan Komnas Perempuan. Sedangkan sumber data 2009-2011 diperoleh dari laporan mitra
pengadalayanan dan data dari pengadilan agama. Tahun 2012 dan 2013 data bersumber hanya dari
pengadalayanan dan Komnas Perempuan.4

4 http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/satu-dasawarsa-undang-undang-penghapusan-kekerasandalam-rumah-tangga-uu-pkdrt/

2.3 Kualifikasi Pembuat atau Pelaku atau Subjek dari Tindak Pidana KDRT

Masalah Pembuat KDRT ini penting, oleh karena jangan sampai timbul pemikiran UU
PKDRT hanya diperuntukkan untuk menjerat laki-laki, sehingga apabila perempuan melakukan
tindak pidana KDRT hanya dijerat KUHP. Ditekankan UU PKDRT harus diterapkan seimbang
karena UU PKDRT meskipun jiwanya untuk melindungi perempuan, tetapi dalam aturan
pasalnya juga memberikan hak yang sama kepada laki-laki untuk dilindungi.
Dalam hal ini yang dapat menjadi pembuat / pelaku / subjek dari tindak pidana KDRT
adalah hanya orang dalam lingkup rumah tangga, meliputi :
a.) Suami, isteri, dan anak.
b.) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga ; dan/atau
c.) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut (dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada
dalam rumah tangga yang bersangkutan).

Suami, Isteri dan Anak.


a.) Kualifikasi suami isteri

Dalam mengartikan suami isteri menurut UU PKDRT haruslah dihubungkan dengan


UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana untuk disebut sebagai suami isteri maka
syaratnya adalah harus terikat dalam perkawinan. Tentunya suami isteri ini harus lahir dari
ikatan perkawinan yang sah yakni perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974).
Tetapi muncul pertanyaan, apakah suami isteri yang terikat perkawinan yang sah tetapi
perkawinanya tersebut tidak dicatatkan, terkualifikasi sebagai suami isteri dalam UU PKDRT.
Karena masih banyak masyarakat menggunakan lembaga kawin siri (kawin agama), yakni
perkawinannya tidak dicatatkan pada negara. Masalah ini tidak jelas diatur, tetapi harusnya
suami isteri yang perkawinannya tidak dicatatkan ini termasuk kualifikasi suami isteri dalam
UU PKDRT. Sebagai kesimpulan, maka kualifikasi suami isteri adalah seorang pria dan wanita
yang terikat dalam perkawinan yang sah baik yang dicatatkan maupun yang tidak dicatatkan
yang membentuk keluarga (rumah Tangga).

b.) Kualifikasi Anak


Dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Huruf a UU PKDRT dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini adalah anak angkat dan anak tiri. Maka dalam ha ini
kualifikasi anak dilihat dari bentuk ikatan darah (anak kandung) dan ikatan yuridis yang
mengikat seseorang menjadi orang tua dan anak, yakni perkawinan (anak tiri) dan pengangkatan
anak (anak angkat).

Anak sah dan anak luar kawin


Dalam UU PKDRT tidak dijelaskan apakah pengertian tersebut adalah anak yang sah
dan juga termasuk anak diluar perkawinan. Karena UU No. 1 Tahun 1974 membedakan
anak dalam dua bentuk yaitu anak yang sah yakni anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah dan anak luar kawin. Hal ini memiliki akibat hukum
yang besar, misalnya jika anak diluar perkawinan tersebut dipukul oleh ayah biologisnya,
jika UU PKDRT menganut pengertian anak adalah hanya anak yang sah, maka jelas ayah
biologisnya tersebut tidaklah melakukan tindak pidana KDRT, karena anak yang
dipukulnya bukan anak yang sah.

Anak sah
Pengangkatan anak yang dilakukan di PN akibat hukumnya hubungan antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungya putus, anak yang diangkat menjadi anak dari orang
tua angkatnya. Dikonstruksikan anak angkat tersebut yang baru lahir dalam keluarga
orang tua angkatnya. Sedangkan apabila pengangkatan anak dilakukan di Pengadilan
Agama maka hubungan anak dengan orang tua kandungnya tidak putus, yang beralih
hanyalah tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat.

Anak di bawah umur dan anak yang telah dewasa


Kualifikasi anak yang masih dibawah umur dalam perundang-undangan mempunyai
perbedaan batasan, hal ini bisa dilihat dari hal-hal sebagai berikut :
- Menurut Pasal 330 BW Yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur
mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila
perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.\
- Menurut Pasal 1 angka 2 UU No 4 Tahun 1979 anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21(duapuluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Menurut Pasal 1 angka 1 UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Anak


adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapam belas) tahun dan belum pernah kawin.
Menurut UU perlindungan anak anak adalah yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam perkara anak yang masih di bawah umur sebagai pelaku tindak pidana
KDRT, maka pengertian anak yang mempunyai konstruksi yuridis paling tepat
(sistematis) adalah pengertian anak dalam UU Pengadilan Anak, karena dengan
pengertian tersebut maka anak pelaku Tindak Pidana KDRT akan disidangkan dengan
siding anak.

Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga


a.) Kualifikasi yang mempunyai hubungan keluarga
Disini pengertian keluarga atau rumah tangga dalam UU PKDRT tidak diberikan
pengertiannya. Padahal dalam peraturan perundang-undangan yang terkait, pengertian
rumah tangga atau keluarga mempunyai konstruksi hukum yang berbeda, yakni :
-

Menurut pasal 1 angka 4 UU No. 4 Tahun 1979 Keluarga adalah kesatuan


masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah dan atau ibu dan anak.
Menurut pasal 1 angka 10 UU No. 10 Tahun 1992 keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri. Atau suami-isteri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya
Menurut Pasal 1 angka 3 UU No 23 tahun 2002 Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami, isteri, atau suami istri dan anaknya, ata uayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau
kebawah sampai dengan derajat ketiga.
Menurut pasal 168 huruf a KUHAP Orang yang memiliki hubungan kekeluargaan
adalah keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai
derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Dengan demikian pertanyaannya, pengertian keluarga/rumah tangga mana yang
dianut oleh UU PKDRT ? UU PKDRT tidak menjelaskan hal ini, UU PKDRT hanya
mensyaratkan adanya Hubungan Darah dan Hubungan Perkawinan, tidak jelas
apakah hubungan darah dan hubungan perkawinan tersebut pengertiannya dalam
batasan sampai derajat ketiga seperti UU No 23 Tahun 2002 dan KUHAP, atau tidak
ada batasan samai derajat ketiga.

b.) Kualifikasi Yang menetap dalam rumah tangga

UU PKDRT tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan yang menetap
dalam rumah tangga, apakah pengertiannya dikaitkan dengan batas waktu tertentu,
dalam pengertian menetap tersebut adalah tinggal bersama dalam satu rumah dengan
suatu rumah tangga/keluarga atau juga termasuk orang yang kadang-kadang tinggal
bersama dalam satu rumah dengan suatu rumah tangga/keluarga. Contoh sederhana,
apakah terkualifikasi sebagai yang menetap dalam rumah tangga apabila ada
mertua yang dalam setahun hanya tinggal 2 minggu dirumah menantunya. Hal ini
penting karena untuk menentukan apakah orang tersebut subjek KDRT atau bukan
apabila UU PKDRT mensyaratkan menetap tersebut adalah tinggal bersama, maka
mertua yang kadang-kadang tinggal bersama jika memukul menantunya, tidak dapat
diajukan sebagai terdakwa dalam perkara KDRT, oleh karena mertua tersebut tidaklah
memenuhi syarat yang menetap dalam rumah tangga.

Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut
Subjek dalam aturan ini adalah dalam kualifikasi sebagai orang yang bekerja
membantu rumah tangga atau dalam keseharian kita menyebutnya sebagai pembantu
rumah tangga. Dimana untuk dikualifikasikan sebagai pembantu rumah tangga
menurut UU PKDRT harus dipenuhi syarat, yakni :
-

Menetap dalam rumah tangga tersebut (Pasal 2 Ayat (1) huruf c).
Selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (pasal 2)
Jadi pembantu rumah tangga bisa menjadi pelaku tindak pidana KDRT apabila yang
bersangkutan dalam keadaan riil masih berada dan atau bekerja dalam rumah tangga
yang bersangkutan, dan menurut UU PKDRT pembantu yang memenuhi syarat
tersebut dapat disebut sebagai anggota keluarga.5

5 Gusi Prayudi, Op.Cit. Hlm.24

2.4 Penanganan dan Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Penanganan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat
dilakukanuntuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan preventif.

1. Pendekatan kuratif
a.Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik
danmemperlakukan anak-anaknya secara humanis.
b. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnyam
elaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika
sewaktu-waktu terjadi KDRT.
c. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang
mengundangterjadinya KDRT.
d. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada
akibatyang ditimbulkan dari KDRT.
e. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang
harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku
KDRT.
f. Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang
menampilkan informasi kekerasan.
g. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin,
kondisi,dan potensinya.
h. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena
KDRT,tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
i. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli
danresponsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.2.

2. Pendekatan Preventif

a.Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan
tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya
berarti bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat
lainnya.
b.Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi, dan
menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti, sehingga terjadi roses
kehidupan yang tenang dan membahagiakan.
c. Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT
dannilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya
memilikiefektivitas yang tinggi.
d. Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan
penanganansejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai serius.
e. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan
keselamatankorban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa
dendam bagi pelakunya.
f. Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri
kepadaAllah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam
rumah tangga,sehingga dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.
g. Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT
denganmengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi
kehidupanmasyarakat. Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat
sangat tergantung padakondisi riil KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota
keluarga untuk keluar dari praketk KDRT, kepedulian masyarakat sekitarnya, serta
ketegasan pemerintah menindak
praktek KDRT yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Pemulihan Korban
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
Tenaga Kesehatan; Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesi, dan dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan w
ajibmemulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pekerja Sosial;
Relawan Pendamping; dan/atau

Pembimbing Rohani. Pekerja Sosial, Relawan Pendamping, dan/


atau PembimbingRohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk
pemberian konselinguntuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi
korban

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

KDRT merupakan permasalahan yang sering terjadi didalam rumah tangga. Oleh karena itu
harus dilakukan pencegahan secara dini. Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di rumah
tangga merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.
Untuk mencegah KDRT di rumah tangga, harus dikembangkan cinta kasih dan kasih saying. Sejak
dini. Ibu bisa berperan besar dalam hal mengajarkan kepada anak-anak dirumah untuk saling
mencintai dan saling menyayangi. Demikian juga PKK sebagai organisasi dapat memberi terusmenerus pencerahan dan penyadaran kepada kaum perempuan.
Oleh karena pelaku utama KDRT pada umumnya adalah suami, maka peranan para pemuka agama,
pendidik, sosiolog dan cendekiawan, harus berada digarda terdepan untuk terus menyuarakan
pentingnya rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat untuk dibangun secara baik dan
jauh dari KDRT. Supaya terkomunikasikan hal tersebut kepada masyarakat luas, maka peranan dan
partisipasi media sangat penting dan menentukan.
Amalkan sebuah pepatah Rumahku Istanaku. Betapapun keadaannya sebuah rumah, maka rumah
harus menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan, kedamaian, perlindungan, dan
kebahagian kepada seluruh anggota keluarga.

3.2 Saran

Dari simpulan yang disebutkan di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran antara
lain:
1. Dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi
konflik yang bisa menimbulkan kekerasan.
2.

Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri.

3. maka antara suami dan istri harus memiliki keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik,
adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, serta memiliki rasa saling percaya,
pengertian, dan saling menghargai.
4. pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati
untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan pengawasannya.

DAFTAR PUSTAKA
Gusi Prayudi. 2008. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Merkid Press.
Ciciek Farha. 2008. dalam Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jakarta. Komnas Perempuan.
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI. 2008. Keluarga Sebagai Wahana Membangun Masyarakat
Tanpa Kekerasan. Bahan ajar/buku sumber PKTP-KDRT bagi Fasilitator Kabupaten dan Kota. Jakarta.

http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/satu-dasawarsa-undang-undang-penghapusan-kekerasandalam-rumah-tangga-uu-pkdrt/
https://farizdp15.wordpress.com/2014/12/25/menjaga-keluarga-dengan-memahami-tindak-pidana-kekerasan-dalamrumah-tangga/

Contoh Kasus dan Analisisnya


Sukiran Divonis 2 Bulan 15 Hari Penjara
Solopos.com, SOLO Terdakwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Sukiran, 36,
divonis dua bulan 15 hari penjara. Kini ia mendekam di Rutan Kelas I Solo setelah sebelumnya
penahanan penjual sayur asal Kalangan RT 002/RW 014, Jagalan, Jebres, Solo itu hanya berstatus
tahanan rumah.
Pejabat Humas Pengadilan Negeri (PN) Solo, Kun Maryoso, saat ditemui wartawan di kantornya,
Senin (30/9/2013), putusan bagi Sukiran dibacakan majelis hakim, Kamis (26/9/2013) lalu.
Putusan tersebut menurut Kun lebih ringan 15 hari dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU),
Inliek Untari. Sebelumnya JPU menuntut Sukiran tiga bulan penjara.
Dijelaskan Kun, majelis hakim yang terdiri dari Eni Indriyartini, Hary Tri dan Sih Yuliartini,
memvonis Sukiran berdasar pertimbangan fakta di persidangan dan bukti-bukti yang ada.
Meski Sukiran diketahui telah mencelakai istrinya, Yuliantini, 35, hingga mengakibatkannya tewas,
namun belasan saksi di persidangan memberikan keterangan bahwa Sukiran justru yang
sebenarnya menjadi korban kekerasan istrinya itu.
Para saksi yang kebanyakan tetangga Sukiran termasuk saudara kandung Yuliantini mengaku, kerap
melihat Sukiran dipukuli istrinya tanpa alasan jelas.
Bahkan, lanjut Kun, ketika diperiksa polisi seratusan tetangga Sukiran membuat surat permohonan
agar Sukiran tidak ditahan. Warga membubuhkan tanda tangan dalam surat itu sebagai bentuk
dukungan terhadap Sukiran.
Surat tersebut turut diajukan kepada hakim. Atas keterangan-keterangan itu hakim menilai
tindakan Sukiran karena terpancing membalas perlakuan istrinya yang kasar kala peristiwa nahas
itu terjadi, Minggu (21/4/2013).
Agar masyarakat tidak salah paham karena beranggapan mengapa terdakwa yang menewaskan
orang tapi divonis penjara kurang dari tiga bulan, perlu dijelaskan secara gamblang. Hakim
mempertimbangkan semua fakta dan bukti di persidangan. Terlebih seluruh saksi justru
meringankan terdakwa, papar Kun.
Informasi yang dihimpun Solopos.com, hakim juga mempertimbangkan fakta bahwa Sukiran saat
ini masih mempunyai tanggungan dua anak dan mertua (orang tua mendiang istri Sukiran) yang
masih

harus

dihidupi.

Sebelum dibacakan putusan hakim menerbitkan penetapan agar Sukiran ditahan di rutan.
Penahanan bertujuan sebagai jaminan agar Sukiran melaksanakan putusan. Setelah divonis Sukiran
langsung ditahan sebagai tindak lanjut penetapan tersebut. Atas putusan tersebut JPU dan
penasihat hukum Sukiran, Hastin, menyatakan menerima.
Kasus KDRT tersebut terjadi di rumah Sukiran, lima bulan silam. Sukiran diduga mencelakai
istrinya dengan cara menendang di bagian tengkuk saat bertengkar. Pertengkaran itu dipicu rasa
cemburu Sukiran terhadap istrinya. Korban dituduh Sukiran berselingkuh.
Semula Sukiran ditahan penyidik Polresta Solo. Namun, setelah mendapat jaminan dari orang
tuanya dan dengan mempertimbangkan ia masih mempunyai tanggungan dua anak, polisi
mengalihkan penahanannya menjadi tahanan kota. Perbuatannya itu dinilai melanggar Pasal 44
ayat (3) UU No 23/2004 tentang Penghapusan KDRT.

Analisis Kasus
1.

Pelaku

Sukiran (36) , warga Kalangan RT 002/RWE 014 Jagalan, Jebres Solo.


Korban

Yuliantini (35) , warga Kalangan RT 002/RWE 014 Jagalan, Jebres Solo.


2.

Tindak Pidana :

Kejadian bermula dari percecokan antar suami-istri tersebut di kediaman mereka. Pertengkaran
itu dilatarbelakangi oleh rencana menghadiri arisan keluarga di Klaten, Minggu (21/4/2013) sekitar
pukul 11.00 WIB.
Bermula dari adu mulut itu kemudian terjadi kekerasan fisik. Pelaku sempat menendang korban
hingga tak sadarkan diri. Korban kemudian dibawa ke RS Dr Oen Solo. Sesampaiknya di RS, pihak
RS menyatakan korban dinyatakan sudah tak bernyawa.
3.

Akibat :
Bagi Pelaku

Sukiran melanggar Pasal 44 ayat (3) UU No 23/2004 tentang Penghapusan KDRT. Berikut isinya dari
pasal tersebut.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak
Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

Dan berikut isi ayat 1 dan 2 Pasal 44 ayat (3) UU No 23/2004 tentang Penghapusan KDRT yang juga
terkait dengan tindak pidana Sukiran.
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat
jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Sukiran divonis 2 bulan 15 hari penjara. Sebelumnya hanya berstatus tahanan rumah. Putusan
tersebut lebih ringan 15 hari dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang sebelumnya menuntut
3 bulan penjara. Belasan saksi di persidangan memberikan keterangan bahwa Sukiran justru yang
sebenarnya menjadi korban kekerasan istrinya itu. Para saksi yang kebanyakan tetangga Sukiran
termasuk saudara kandung Yuliantini mengaku, kerap melihat Sukiran dipukuli istrinya tanpa
alasan jelas. Bahkan, lanjut Kun, ketika diperiksa polisi seratusan tetangga Sukiran membuat surat
permohonan agar Sukiran tidak ditahan.hakim juga mempertimbangkan fakta bahwa Sukiran saat
ini masih mempunyai tanggungan dua anak dan mertua (orang tua mendiang istri Sukiran) yang
masih harus dihidupi.

Bagi Korban
Korban ditendang hingga tak sadarkan diri. Korban kemudian dibawa ke RS Dr Oen Solo.
Sesampaiknya di RS, pihak RS menyatakan korban dinyatakan sudah tak bernyawa.

Anda mungkin juga menyukai