Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Dalam penenentuan suatu hadis itu dilihat dari kualitas dan kuantitas rawi, Hadits,
oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah Al-Quran.
Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam kehidupan
dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara struktural
hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Quran yang bersifat global.
Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika
kehidupan di dalam Al-Quran, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh
karena itu, hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam
menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam Al-Quran.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits
yang dapat diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak sebagai
dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan
yang termasuk dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dhaif. Semuanya
memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama haditshadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam hal ini,
maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu hadits dapat
dijadikan hujjah syariyyah atau tidak.

Quran Hadist

Page 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HADIS MUTAWATIR
1. Pegertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa adalah isim fail musytaq dari at-tawatur artinya
At-tatabu (berturut-turut).
Ada juga yang mengartikan hadis mutawatir sebagai berikut:
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fail dari at-tawatur yang artinya
berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah apa yang
diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka
terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad. Atau :
hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan
sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk
berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam
meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti
pendengarannya dan semacamnya.
2. Pembagian Hadits Mutawatir
Ada perbedaan pendapat ulama dalam pembagian hadits mutawatir. Sebagian
ulama menyebutkan pembagian hadits mutawatir kepada 3 bagian, yaitu:
mutawatir lafdzi, mutawatir maknawi, dan mutawatir amali.

Akan tetapi

mayoritas ulama membaginya menjadi 2 bagian, yaitu; mutawatir lafdzi dan


mutawatir maknawi. Sedangkan ada:
a) Hadits mutawatir lafdhi, adalah hadits yang mutawatir secara lafadz dan
maknanya. Misalnya, hadits: artinya
barang siapa yang sengaja berdusta dengan atas namaku, maka dia akan
mendapatkan tempat duduknya dari api neraka.
Hadits tersebut diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, dan diantara mereka
termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga. Terkait hadits tersebut,
menurut Abu Bakar Al-Bazzar diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan
sebagian ulama mengatakan bahwa itu diriwayatkan oleh 62 orang
sahabat, dengan susunan redaksi dan makna yang sama.
b) Hadits mutawatir maknawi, adalah hadits yang mutawatir secara
Quran Hadist

Page 2

maknanya dan tidak mutawatir secara lafalnya. Artinya para periwayat


hadits berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaan, akan tetapi terdapat
kesatuan prinsip dalam maknanya.

Misalnya,

hadits-hadits

yang

menjelaskan tentang mengangkat tangan dalam berdoa.



- -



sesungguhnya Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangannya


begitu tinggi pada waktu berdoa, kecuali pada waktu berdoa memohon
hujan, beliau mengangkat kedua tangannya sampai terlihat kedua
ketiaknya yang putih
Dalam redaksi pemberitaan yang lain dengan makna yang sama,
disebutkan:
- -

.
dari sahabat Anas, dia berkata bahwa pernah melihat Rasulullah SAW
mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa sampai terlihat kedua
ketiaknya yang putih
Walaupun kedua hadits di atas berbeda redaksinya dan bahkan beberapa
hadits serupa yang lainnya juga masih banyak, kesemuanya adalah haditshadits yang berbeda dalam redaksi, namun memiliki kadar kesamaan
dalam segi maknanya, yaitu menjelaskan keadaan Rasulullah mengangkat
tangan dalam berdoa, maka yang demikian adalah disebut hadits mutawatir
maknawi.
Hadits mutawatir itu memberikan faedah ilmu dhoruri, yakni keharusan untuk
menerimanya dan mengamalkan sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits
mutawatir tersebut hingga membawa pada keyakinan qothI (pasti).
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawtir oleh
sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak
bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir.
Barang siapa telah meyakini ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk
mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Sebaliknya bagi mereka yang
belum
Quran Hadist

mengetahui

dan

meyakini

kemutawatirannya,

wajib

baginya
Page 3

mempercayai dan mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh para


ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hokum
yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai kesdilan
maupun kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat,
sebagaimana telah ditetapkan diatas, menjadikan mereka tidak munkin sepakat
melakukan dusta.
B. HADITS AHAD
1. Definisi hadits ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka khobar ahad
atau khobar wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh orang satu.
Adapun yang dimaksud hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh
para ulama, antara lain:
Hadits ahad adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah
perowi hadits mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan
seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak
mencapai jumlah perowi hadits mutawatir.
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat yaitu: hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Muhammad Abu Zarhah mendefinisikan hadis ahad yaitu tiap-tiap khobar
yang yang diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh
Rosulullah dan tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan hadits ahad adalah hadits yang
diriwayatkan oleh satu, dua, atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tersebut
tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir. Keadaan perawi seperti ini
terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir.
2. Pembagian hadits ahad
Para muhadditsin membagi atau memberi nama-nama tertentu bagi hadits
ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap
thabaqot, yaitu Hadits Masyhur, Hadits Aziz, dan Hadits Ghorib.
Pembahasan mengenai hadits ahad dan hubungannya dengan aqidah, atau
hukum dan aqidah, itu tidak pernah dibicarakan oleh generasi pertama, kedua
Quran Hadist

Page 4

dan ketiga. Khususnya para sahabat g , tidak pernah memilah atau membagibagi hadits, seperti pembagian yang dilakukan oleh sebagian ahli bidah,
bahwa hadits ahad hanya terbatas untuk hukum, sedangkan hadits mutawatir
dapat dipakai untuk aqidah. Pembagian seperti ini tidak pernah dikenal,
kecuali oleh ahli bidah, seperti Mutazilah. Dan fikrah ini terus berkembang
sampai pada awal abad kedua puluh, hingga timbul Mutazilah gaya baru, atau
yang kita kenal dengan Hizbut Tahrir.
Hizbut Tahrir mereka membagi, hadits mutawatir untuk aqidah dan ahkam.
Sedangkan hadits ahad dikhususkan untuk masalah hukum. Adapun para
sahabat, tabiin dan tabiut tabiin menerima hadits, jika hadits tersebut sah
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tanpa membaginya sebagaimana yang
dilakukan oleh Mutazilah dan yang sepaham dengannya. Jadi, para
sahabatnya melihatnya, sah atau tidak, jika sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu
hadits, dan diterima baik untuk masalah hukum ataupun aqidah. Jadi
pembagian yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, bahwa hadits ahad tidak bisa
dipakai dalam aqidah, merupakan pembagian yang muhdats (bidah). Ini bisa
dilihat dari beberapa segi.
1) Berdasarkan nash Al Quran, banyak ayat (firman Allah) yang dijadikan
dalil oleh Imam Syafii. Diantaranya tersebut dalam kitab Ar Risalah,
bahwa khabar ahad itu diterima.
2) Demikian juga dari hadits-hadits yang akan kita lihat. Diantaranya, bahwa
Rasulullah

mengutus

sebagian

sahabat

orang

per

orang

untuk

menyampaikan Islam.
3) Bertentangan dengan Ijma para sahabat. Para sahabat tidak pernah
menolak hadits yang disampaikan oleh satu sahabat yang lain yang
berkenaan dengan akidah dan contoh tentang ini banyak sekali.
4) Bertentangan dengan kaidah ilmu hadits, yang dapat menunjukkan
kebodohan mereka. Memang, perlu diketahui bahwa ahlul bidah itu
menegakkan manhaj mereka atas dasar kebodohan dan hawa nafsu.
Sedangkan Ahlus Sunnah menegakkan manhaj di atas dasar ilmu dan
keadilan.
Quran Hadist

Page 5

3. Contoh Hadits Ahad


Sering terjadi, apa yang disangka oleh Hizbut Tahrir sebagai hadits ahad,
ternyata bukan ahad. Sebagai contoh tentang adzab kubur. Bahkan mereka
sering menyampaikan pengingkarannya terhadap adzab kubur. Padahal hadits
tentang masalah ini mutawatir maknawi. Dan masih banyak contoh lainnya.
Hadits apa saja yang mereka tolak? Ini harus diteliti terlebih dahulu, apakah
termasuk khabar ahad ataukah mutawatir? Demikian jika kita mengikuti teori
mereka. Tetapi ternyata mereka tidak paham yang dimaksud dengan ahad dan
mutawatir.
Di depan sudah disampaikan, jika kita menerima teori mereka, maka sebagian
besar aqidah akan tertolak. Contoh-contoh hadits ahad yang diterima,
disepakati dan dijadikan dalil oleh para ulama dari zaman ke zaman, yang di
dalamnya disamping berbicara tentang aqidah, tetapi juga hukum, atau yang
lainnya. Karena keduanya berkaitan. Contohnya, kita lihat satu per satu.
Contoh pertama, hadits nomor 1, yang kami bawakan dari Shahih
Bukhariyaitu sebuah hadits ahad dan gharib.




"Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing
orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia
yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka
(hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan". [Muttafaqun alaih].
C. HADITS SHAHIH
1. Pengertian Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha yashihhu suhhan
wa sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara
istilah yaitu :



.
" Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit
(memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz
dan tidak pula cacat
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan hadits yang
Quran Hadist

Page 6

bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak
syadz dan tidak berilat.
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafii
memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya
pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits
yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi
perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia
riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari
tadlis (penyembuyian cacat), kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai
kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
2. Syarat-syarat Hadits Shahih
1) Sanadnya Bersambung
setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi
terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir
sanad dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada
perawi pertama (para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi,
bersambung dalam periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang
atau lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap
putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadits yang
bersangkutan tidak shahih.
2) Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat
mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muruah, yaitu
senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang
dapt merusak harga dirinya.
3) Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya
Quran Hadist

Page 7

ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya.


Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang
kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu
menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini
artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa
yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya
kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
4) Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya.
Maksudnya, suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi
lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia
berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi
kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para
rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka
timbullah

penilaian

negatif

terhadap

periwayatan

hadits

yang

bersangkutan.
5) Tidak Berillat
Hadits berillat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit
karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan
hadits. Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya,
hadits tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut,
mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian,
yang dimaksud hadits tidak berillat, ialah hadits yang di dalamnya tidak
terdapat kesamaran atau keragu-raguan. Illat hadits dapat terjadi baik pada
sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama.
Namun demikian, illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

( ") .
"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin
Quran Hadist

Page 8

jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar


rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari,
Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
a) Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar
dari gurunya.
b) Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits
tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a. Abdullah bin yusuf
= tsiqat muttaqin.
b. Malik bin Annas
= imam hafidz
c. Ibnu Syihab Aj-Juhri = Ahli fiqih dan Hafidz
d. Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e. Jubair bin muth'imi
= Shahabat.
c) Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat
serta tidak cacat.
3. Klasifikasi Hadits Shahih
1) Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung
dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil,
dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan Illat yang tercela.
2) Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya
berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang
menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih lighairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.


Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi. Hadits ini semula
merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi dan syahid, maka
kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.
4. Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan
sebagai hujah atau dalil syara sesuai ijma para uluma hadits dan sebagian
ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan
dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang
Quran Hadist

Page 9

berhubungan dengan aqidah.


Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qati, yaitu al-Quran dan
hadits mutawatir. oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.
5. Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan
rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan
martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga
yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya.
seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi mawla (mawla
= budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya
dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin
Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. adaf al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih
rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari
ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh
tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
1) Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq alaih),
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari
dan Muslim,
5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari
saja,
6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan
Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai
berikut:
1) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2) Shahih Muslim (w. 261 H).
Quran Hadist

Page 10

3)
4)
5)
6)
7)

Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).


Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
Mustadrok Al-hakim (w. 405).
Shahih Ibn As-Sakan.
Shahih Al-Abani.

D. HADITS HASAN
1. Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat al-husna
artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits
Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:



" .
Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya
yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula
cacat
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali
hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang
kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits
hasan dengan hadits shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:



: :
:

..... "
Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu
jafar bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa alAsyari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang :
Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah
bayangan pedang( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
2. Klasifikasi Hadits Hasan
1) Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit
meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada
kejanggalan (syadz) dan cacat (Illat) yang merusak hadits.
2) Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya,
tetapi dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam
Quran Hadist

Page 11

meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang


bersesuaian dengan maknanya. Jumhur ulama muhaddisin memeberikan
definisi tentang haditst hasan li-Ghairihi sebagai berikut:
, .

Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata
keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya
sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan
periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dhaif. Kemudian
ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi
hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang menolong, maka hadits
tersebut akan tetap berkualitas dhaif.
3. Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya
dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan
sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal.
Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan
hadits hasan.
E. HADITS DHOIF
1. Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara
istilah yaitu;


Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara
hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi
tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau
tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhaiif yang
sangat lemah. Karena kualitasnya dhaif, maka sebagian ulama tidak
menjadikannya sebagai dasar hukum.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;
Quran Hadist

Page 12

"
"

" : "
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami dari abi
tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa
yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau
seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan
kepada nabi Muhammad saw
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : kami tidak
mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian
hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam
sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama
hadits
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab Taqribut Tahdzib :
Hakim al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:
1) Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian
yang perama adalah terputus secara dzhohir (nyata) :
a) Muallaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu
rawi atau lebih secara berurutan.
b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang
sesudah tabiin (Sahabat).
c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara
berurutan.
d) Munqoti adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (aib) pada sanadnya dan
memperbagus untuk dzohir haditsnya.
b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau
sezaman dengannya apa yang ia tidak pernah dengar dengan lafadz
yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya seperti qaala.
2) Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam adalah dan
dhobit (hafalannya), adapun yang pertama penyakit pada adalah
(ketaqwaan) yaitu:
Quran Hadist

Page 13

a) Pendusta
b) Tertuduh dusta
c) Fasiq
d) Bidah
e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan) yaitu :
a) Jelek hafalannya
b) Lalai
c) Menyelisihi yang tsiqat
d) Ucapan yang menipu
2. Klasifikasi Hadits Dhaif
1) Dhaif karena tidak bersambung sanadnya
a) Hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada
sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.
b) Hadits Muallaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya
secara berturut-turut.
c) Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabiin. Yang dimaksud dengan
gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal
sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul saw.
a. Mursal al-Jali
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan
oleh tabiin besar.
b. Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabiin yang masih kecil.
Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabiin tersebut
meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah
mendengar sebuah hadits.
d) Hadits Mudhal
hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik
sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang
sebelum shahabiy dan tabi'iy.
e) Hadits Mudallas
yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa
hadits itu tidak terdapat cacat.
Quran Hadist

Page 14

2) Dhaif karena tiadanya syarat adil


a) Hadits al-Maudhu
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya
dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja
maupun tidak.
b) Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap
hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada
perbuatan ataupun perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun
ragu.
3) Dhaif karena tiadanya Dhabit
a) Hadits Mudraj
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian
dari) hadits.
b) Hadits Maqlub
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau
sanadnya.

Kemudian

didahulukan

pada

penyebutannya,

yang

seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan penyebutan,


yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada
tempat yang lain.
c) Hadits Mudhtharib
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari
satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang
berdekatan tidak bisa ditarjih.
d) Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits
riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk
tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf yaitu hadits yang
perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata
sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.
4) Dhaif karena Kejanggalan dan kecacatan
a) Hadits Syadz
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang
kualitasnya lebih utama.
Quran Hadist

Page 15

b) Hadits Muallal
hadits yang diketahui Illatnya setelah dilakukan penelitian dan
penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat
5) Dhaif dari segi matan
a) Hadits Mauquf
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya bersambung
maupun terputus.
b) Hadits Maqthu
hadits yang diriwayatkan dari tabiin dan disandarkan kepadanya, baik
perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu
adalah perkataaan atau perbuatan tabiin.
3. Kehujahan Hadits Dhoif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan,
dengan beberapa syarat:
1) Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan
banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih
atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa
dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum
halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh
digunakan untuk perkara fadahilul amal (keutamaan amal).
2) Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam
fadhailul amal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits
lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dhaif jadi pokok, tetapi
dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
3) Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh
meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau
perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih
menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
Quran Hadist

Page 16

Quran Hadist

Page 17

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Derajat suatu hadits itu memiliki beberapa kemungkinan, bisa saja kita katakan
shahih, hasan, ataupun dhaif itu tergantung kepada 2 hal yaitu keadaan sanadnya
dan keadaan perawinya. Akan tetapi oleh para ulama telah diberikan kemudahan
bagi para peneliti hadits untuk mengetahui derajat hadits tersebut dalam kitabkitab hadits seperti yang paling terkenal adalah kitab tahzibul kamal fi asmaail
rijal yang menerangkan tentang keadaan perawinya, apakah dia itu pendusta,
bidah, fasiq dan yang lainnya. Akan tetapi semua ulama telah sepakat tentang
keshahihan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
sehingga kita tidak perlu lagi untuk meneliti atas kedaan sanad dan perawinya
akan tetapi yang mesti ingat hadits-hadits selain dari imam bukhari dan imam
muslim mesti kita telaah kembali akan keshahihannya.

Quran Hadist

Page 18

Anda mungkin juga menyukai