Suku Baduy
Suku Baduy
Keluarga Kanekes
Jumlah populasi
5.000 - 8.000
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Banten, Indonesia
Bahasa
Dialek Baduy dari Sunda
Agama
Hinduisme (Sunda Wiwitan), Islam, Buddha (Minoritas)
Kelompok etnik terdekat
Sunda
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis
Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000
orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain
itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy
dalam.
Daftar isi
1 Etimologi
2 Wilayah
3 Bahasa
4 Kelompok masyarakat
5 Asal-usul
6 Kepercayaan
7 Pemerintahan
8 Mata pencaharian
10 Rujukan
11 Lihat pula
12 Pranala luar
Etimologi
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok
masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan
Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka
menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah
mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
(Garna, 1993).
Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 62727 6300 LS dan
10839 106455 BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan
Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung,
Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian
dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 600 m di atas permukaan laut (DPL)
tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata
mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian
tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 C.
Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek SundaBanten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes
Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita
nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adatistiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di
desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah
berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas
sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah
tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Kelompok masyarakat
Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan
bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan
adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia
luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda
lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping,
dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam),
yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo,
Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna
putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk
bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar,
warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua
adat)
Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit
sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai
Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi
wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala
berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes
Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke
Kanekes Luar:
Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang
menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti
kaos oblong dan celana jeans.
Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas
kaca & plastik.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa,
yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut
berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
Asal-usul
Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering
pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan
mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau
asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang
mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti,
catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda'
yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda
yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini
merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang
cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah
tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai
perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat
terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah
Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut
tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan
pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas
Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut
yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang
Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian
dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5)
orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara
resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan
leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini
dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli,
asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.
Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada
pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya
juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, . Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan
adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah
konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pndk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang
mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala
desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat
tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan,
hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Mata pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama
masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan
penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti
durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di
sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan
sejahtera. Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang
miskin.Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat
lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang
terkesan kolot yang harus mereka patuhi.
Bulan Puasa/Kawalu
Masyarakat Baduy Dalam sedang melaksanakan puasa yang dinamakan Kawalu. Di saat
Kawalu ini, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah
mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang
mereka disebut Kawalu dan jatuh bulannya adalah di Bulan Adapt. Di saat Kawalu, ada
banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan
difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan
membetulkan rumah atau selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan
datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu.
Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan
hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu
tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan
amanah adat-nya.
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan
masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada
yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua
perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh
Puun untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang
Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk
menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia
melaksanakan hal tersebut.
Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di
lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh
anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena
sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika
memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya
dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai
bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena
hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas
pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Puun untuk
diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok
atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku
pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam
lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika
hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau
akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Puun dan Jaro. Masyarakat
Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Rutannya Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat, sangat jelas berbeda
dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan Adat Baduy bukanlah
jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung narapidana di kota-kota, melainkan
berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus/menjaganya. Selama 40 hari
sipelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap melakukan
kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi
nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang namanya hukuman berat disini
adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah
dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di
masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat.
Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.
Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang
sangsang, serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih karena cara
memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya
dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai
kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka
umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh
dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang
ditenun.Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman,
yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat
dengan selembar kain. Untuk kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan
ikat kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang
panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy yakin
dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam.
Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua
sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan
bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang
kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit
kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna, model ataupun
corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh
budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy
Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok
yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas
koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.
Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy
Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna
pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna
biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk
pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan
dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup.
Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung
berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna
baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang
ditenun sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang
dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen,
dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian
untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung
atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih,
sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua
hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya
dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain,
baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang
dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang
terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda
Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin
berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu.
Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak
dengan adanya pikukuh ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit
mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi
tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat
tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan
tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat
pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen
akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan
terjadi kegagalan pada panen.
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan
setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur
Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan
penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka
berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan
kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula
hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy
menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga
membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes
terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
http://watipuspitasari.blogspot.com/2011/04/kebudayaan-suku-badui.html
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Kepercayaan merupakan hal utama dalam sebuah roda kehidupan, dimana kepercayaan
sebagai dasar akan petunjuk yang harus dilakukan ketika manusia hidup didunia yang fana
ini.
Kehidupan seseorang tidak akan merasa tentram ketika didalam dirinya tidak ada suatu
kepercayaan apapun, meskipun dia seorang yang tidak beragama tetapi pada dasarnya dia
punya keyakinan tentang apa yang dia percayai pada saat itu
Suku baduy merupakan suku asli yang yang mendiami tanah banten, kehidupan suku
baduy masih mempertahankan adat istiadat dan budaya leluhur mereka hingga saat ini.
mereka percaya terhadap kepercayaan / keyakinan yang terus diturunkan turun temurun
hingga sekarang dan dijaga sedemikian ketatnya supaya kepercayaan mereka tidak
tersisihkan oleh agama-agama yang begitu banyak mempengaruhi kehidupan dunia modern,
dengan kedisiplinan dan keteguhan mereka semuanya dapat terjaga dengan baik.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Dalam laporan ini rumusan masalah yang akan di ambil adalah :
1.
2.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Dalam laporan ini Adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana sitem kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat suku baduy.
2. Untuk bagaimana pelaksanaan keyakinan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku
baduy.
D. Pentingnya penelitian
Petingnya penelitian ini sebagai tahap pemahaman terhadap salah satu poin penting
dalam suatu kebudayaan yaitu kepercayaan suatu masyarakat yang kali ini adalah mengenai
seluk beluk kepecayaan/ keyakinan pada masyarakat suku baduy.
E. Sumber Data
Pengumpulan sumber-sumber data yang kami gunakan dalam penelitian ini yaitu
dengan cara mewawancarai sebagian masyarakat baduy yang memang bisa menjadi sumber
mediator kami dalam mengumpulkan informasi-informasi tentang keadaan masyarakat suku
baduy itu sendiri. Meskipun dalam mengumpulkan informasi yang dibutuhkan begitu sulit
untuk kami dapatkan karena berbenturan dengan peraturan yang memang dibatasi oleh
pantrangan ( Larangan-larangan ).
BAB II
KONDISI GEOGRAFIS DAN DEMOGRAFIS
A. Kondisi Geografis
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 62727 6300 LS dan
10839 106455 BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan
Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung,
Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian
dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 600 m di atas permukaan laut (DPL)
tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata
mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian
tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 C.[1]
B. Kondisi Demografis
Masyarakat baduy merupakan masyarakat yang menjungjung tinggi nilai demokrasi
diantara kesukuannya. Populasi masyrakat suku baduy saat ini mencapai antara 5000
8000 orang yang tersebar dalam 54 kampung yang mengelilingi tiga kampung utama yaitu
kampung cikeusik, Cikertawana dan cibeo.
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang
mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala
desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat
tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu Pu'un.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah Pu'un yang ada di tiga
kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari
bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak
ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
BAB III
HASIL TEMUAN
dalam pengumpulan bahan untuk laporan ini begitu sulit karena
banyaknya pertanyaan yang tidak dijawab, mungkin karena larangan /
pantrangan yang memang tidak boleh disebarkan kepada pihak umum.
Selain dari masalah tersebut, karena banyaknya saingan-saingan
dalam berlomba-lomba dalam mengumpulkan informasi-informasi untuk
bahan laporannya masing masing dan juga waktunya yang memang
terbatas sehingga menjadi kendala untuk kami, tetapi meskipun begitu,
alhamdulillah penulis mendapatkan hasil yang mungkin hanya sedikit, tapi
itu tidak menjadi persoalan karena meskipun hanya sedikit itu bisa
berguna bagi keperluan tugas laporan ini.
Dalam mencari informasi, penulis berkomunikasi dengan salah satu
masyarakat suku baduy yang bernama sarta . Dalam rincian obrolan
tersebut kurang lebih seperti dibawah ini:
Pertanyaan :
ari agama nu di anut ku masyarakat suku baduy teh naon?
( Apa agama yang dianut oleh masyarakat suku baduy? )
Jawaban :
Agama nu di anut ku urang baduy mah sunda wiwitan.
( agama yang dianut oleh masyarakat suku baduy adalah sunda wiwitan)
Pertanyaan :
Ari ibadah na sunda wiwitan teh kumaha?
( bagaimana cara peribadatan sunda wiwtan?)
Jawaban :
Ari ibadahna mah, sapopoe ge ibadah
Jawaban :
Heeh
( iya )
Pertanyaan :
Naha ngan jalma tertentu wungkul nu kudu ibadah teh?
( kenapa hanya orang tertentu saja yang boleh beribadah)
Jawaban:
Eta mah geus aya dina aturan adat na kudu kitu
( itu sudah ada dalam aturan adat diharuskan seperti itu )
BAB IV
ANALISA HASIL TEMUAN
Dari percakapan diatas dan beberapa sumber lain bahwa Dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah
mengharapkan bantuan dari luar. Mereka secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan
berladang. Selain itu mereka menjual hasil kerajinan seperti Koja dan Jarog(tas yang terbuat
dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang
dan berburu.
Dalam pemerintahan secara adatnya Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan
yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan
tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek
moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh
meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu
Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di
Cikartawana.
Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai
juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy
Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang
dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
Masyrakat baduy, terutama baduy dalam mereka menganut ajaran sunda wiwitan yang
memang itu adalah ajaran nenek moyangnya yang diturunkan tanpa ada penambahan dan
pengurangan dalam ajarannya, dan itu terkiaskan dalam sebuah kalimat Lojor heunteu
beunang dipotong, pndk heunteu beunang disambun.artinya panjang jangan dipotong,
pendek jangan disambung.
Dalam tempat ibadah atau objek sakralnya yaitu di arca domas yang tempatnya
dirahasiakan, hanya puun dan orang-orang terpilih saja yang dapat mengunjungi dan
melakukan pemujaan ditempat tersebut, pemujaan tersebut dilakukan dalam waktu sekali
dalam setahun pada bulan kelima.
Di sekitar Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan.
Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air
yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun
tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang
kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada
pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau
ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan
yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat
Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
B. Saran-saran
Alhamdulillah dalam praktek lapangan ini banyak himah yang dapat penulis ambil
sebagai bahan untuk pengetahuan. Penulis yakin dalam pembelajaran dan pembuatan laporan
ini masih banyak kekurangannya. Sebagai bahan untuk kemajuan penulis dalam penelitian,
penulis mohon untuk kritik dan sarannya. Karena kesempurnaan hanya milik Allah Yang
Maha Esa.
http://banencobain.blogspot.com/2012/03/makalah-suku-baduy.html