Anda di halaman 1dari 22

Larangan Menggunjing Orang Lain (Ghibah)

Salah satu bentuk kemaksiatan yang banyak dilakukan oleh manusia adalah gemar membicarakan
kejelekan orang lain atau yang diistilahkan dengan ghibah. Bahkan yang parahnya, terkadang apa yang mereka
ghibahkan itu tidak ada pada orang yang dighibahi. Padahal dalil-dalil yang menerangkan tentang haramnya
ghibah sangatlah tegas dan jelas, baik di dalam Al Qur`anul Karim ataupun di dalam hadits-hadits nabawi.
Berikut ini kami akan menyebutkan beberapa dalil yang melarang kita dari perbuatan ghibah yang kami
ringkaskan dari kitab Riyadhush Shalihin karya Imam An Nawawi rahimahullah taala.
1. Firman Allah taala:



Janganlah kalian menggunjingkan satu sama lain. Apakah salah seorang dari kalian suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertaqwalah kalian kepada Allah.
Sesungguhnya Allah itu Tawwab (Maha Penerima taubat) lagi Rahim (Maha Menyampaikan rahmat). [QS Al
Hujurat: 12]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: Di dalamnya terdapat larangan dari perbuatan ghibah.
As Sadi rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: (Allah) menyerupakan memakan daging (saudara)nya yang
telah mati yang sangat dibenci oleh diri dengan perbuatan ghibah terhadapnya. Maka sebagaimana kalian
membenci untuk memakan dagingnya, khususnya ketika dia telah mati tidak bernyawa, maka begitupula
hendaknya kalian membenci untuk menggibahnya dan memakan dagingnya ketika dia hidup.
2. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah bersabda:
: : . : . :

Tahukah kalian apa itu ghibah? Para sahabat menjawab: Allah dan rasul-Nya lebih mengetahuinya. Nabi
berkata: Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dia benci. Ada yang bertanya: Bagaimana
pendapat anda jika padanya ada apa saya bicarakan? Beliau menjawab: Jika ada padanya apa yang engkau
bicarakan maka engkau telah mengghibahnya, dan jika tidak ada padanya apa yang engkau bicarakan maka
engkau berbuat buhtan terhadapnya. [HR Muslim (2589)]
Hadits di atas menerangkan tentang definisi ghibah. Ghibah adalah membicarakan kejelekan atau aib seorang
muslim dengan tidak secara langsung di hadapannya. Sedangkan buhtan adalah berkata dusta terhadap
seseorang di hadapannya mengenai sesuatu yang tidak pernah dia lakukan.
3. Dari Aisyah radhiallahu anha, dia berkata:
: ! : . - :
:
Saya berkata kepada Nabi : Cukuplah bagi anda dari Shafiyyah begini dan begini -maksudnya
dia itu bertubuh pendek. Beliau berkata: Sungguh engkau telah mengucapkan kalimat yang kalau dicampur
dengan air laut niscaya dapat merubah (rasa dan bau)nya! Aisyah berkata: Saya juga menceritakan tentang
seseorang kepada beliau. Lalu beliau menjawab: Saya tidak suka menceritakan seseorang sedangkan pada
diriku terdapat (kekurangan) ini dan ini. [HR Abu Daud (4875) dan At Tirmidzi (2502)]
Imam An Nawawi rahimahullah berkata: Hadits ini merupakan larangan yang paling tegas dari perbuatan
ghibah.
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah bersabda:
.

Cukuplah kejelekan bagi seseorang dengan meremehkan saudara muslimnya. Setiap muslim haram darahnya,
hartanya, dan kehormatannya atas muslim yang lain. [HR Muslim (2564)]
Hadits di atas menerangkan larangan untuk menumpahkan darah, mengambil harta, dan menodai kehormatan
sesama muslim. Dan perbuatan ghibah adalah salah satu bentuk pelecehan terhadap kehormatan seorang muslim
yang tidak dibenarkan di dalam Islam.
5. Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, Rasulullah bersabda:
: : .

Ketika saya dimirajkan, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga sedang mencakar wajah
dan dada mereka. Saya bertanya: Siapakah mereka ini wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orangorang yang memakan daging manusia (ghibah) dan melecehkan kehormatan mereka. [HR Abu Daud (4878).
Hadits shahih.]
Hadits ini menerangkan bentuk hukuman yang dialami oleh orang-orang yang gemar membicarakan kejelekan
dan menjatuhkan kehormatan orang lain.
Demikianlah beberapa dalil dari Al Qur`an dan hadits yang melarang kita dari perbuatan ghibah. Semoga Allah
taala memudahkan kita semua untuk dapat meninggalkannya.

Risywah Dalam Presfektif Hukum Islam


Risywah ditinjau dari bahasa adalah suatu yang dapat mengantarkan tujuan dengan segala cara, berdasarkan
prinsip asal tujuan dapat tercapai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) risywah adalah menyuap
atau memberikan uang sogokan dan sebagainya agar agar segala keinginannya dapat dikabulkan.
Menurut Ibrahim An-Nakhal dalam Mausu`ah Fiqhiyah, risywah adalah suatu yang diberikan kepada seseorang
untuk menghidupkan kebathilan atau mengancurkan kebenaran. Dr. Yusuf Qardawi mendefenisikan risywah
sebagai duatu yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan dan jabatan untuk mensukseskan
perkaranya dengan mengalahkan lawan-lawannya sesuai dengan apa yang ia inginkan, atau untuk memberikan
peluang kepadanya.
Risywah pada praktek dan realitasnya menjamur dan menyebar dalam segala aspek kehidupan masyarakat.
Bahkan risywah lebih kompleks dan berpariasi bentuk serta istilahnya sehingga sulit untuk diberantas. Risywah
bagaikan penyakit kanker yang sudah mengakar dan tumbuh berkembang ditubuh manusia. Secara nyata
risywah adalah kanker sosial dan penyakit masyarakat.
Berkembang biaknya praktek risywah dalam kehidupan masyarakat modrn bukan merupakan hal yang baru. Penyakit
risywah sudah mulai berkembang biak dari masa dahulu dan bahkan sudah dikenal di masa kerasulan nabi Muhammad
Saw. Risywah merupakan penyakit moral, sosial, ekonomi, yang dengan segala cara dapat dijungkirbalikkan, yang benar
bisa menjadi salah, yang salah bisa menjadi benar. Yang sukar bisa menjadi lancar, yang lancar bisa menjadi berbelit-belit.
Kondisi suap sudah dikenal masyarakat klasik, namun sifatnya masih individual dan terbatas. Dampak dan bayanya tidak
se kronis dan menjolok seperti dalam masyarakat kontemporer sekarang ini. Penyakit itu seolah-olah sudah merupakan
tradisi yang sah dan merupakan suatu keharusan hidup.
Risywah dalam presfektif Islam serta konsepnya adalah menjaga keutuhan 5 axiomatik yang sangat mendasa dalam
kehidupan manusia, yaitu; keturunan, akal, harta, agama dan sosial. Mendapatkan sesuatu dari orang lain dengan cara
bathil, memperoleh jabatan dengan cara tidak wajar dan tidak sesuai dengan prosedur yang tidak masuk akal.b hal seperti
itu merupakan praktek yang diharamkan oleh agama Islam. Karena jelas buktinya dapat membawa dampak, bahaya dan
juga merugikan kehidupan orang banyak (publik).

Perbuatan risywah dalam Fiqih Islam hukumnya haram, berdasarkan argumen syaria`at adari Al-Qur`an, Sunnah dan
Ijtihad para ulama. Dalam surat Al-Baqarah ayat 188 menjelaskan; dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian orang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada benda orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahuinya.
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini, kalian jangan menyuap para hakim untuk memihak serta memanagkan kasusmu
(Tafsir qurthubi I / 340). Dizaman kontemporer ini banyak hakim melakukan risywah hanya untuk menengkan kasusu
seseorang. Demi uang dan perut yang sejengkal para hakim rela membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.
Para hakim saat ini dicap sebagai simbol suap menyuap.

KORUPSI: DEFINISI, CIRI-CIRI, DAN TIPOLOGINYA


Kata korupsi awalnya berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary; 1960).
Kata corruptio itu sendiri berasal dari kata corrumpere, suatu kata dalam bahasa Latin yang lebih tua. Dari
bahasa Latin itulah lalu turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu
corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Patut diduga, istilah korupsi dalam Bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Belanda.
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan
sudah sejak lama dikaji secara kritis oleh para ilmuwan dan filsuf. Filsuf Yunani, Aristoteles, yang diikuti oleh
Machiavelli, misalnya, sejak awal sudah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral
corrupt). Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk penyimpangan konstitusi, sehingga para penguasa rezim
--termasuk dalam sistem demokrasi-- tidak lagi dipimpin oleh hukum dan tidak lagi melayani kepentingan
rakyat, tetapi tak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.
Korupsi bisa dilihat dari perspektif kebudayaan. Secara teoritis dan praktis, relasi antara korupsi dan
kebudayaan sangat kuat. Bahkan dalam praktiknya, korupsi terkait dengan unsur tradisi feodalisme, hadiah,
upeti, dan sistem kekerabatan (extended family). Korupsi agaknya akan tumbuh dalam masyarakat atau bangsa
yang memiliki tradisi budaya feodalis atau neofeodalis. Pasalnya, dalam budaya tersebut, tidak ada sistem nilai
yang memisahksan secara tajam antara milik publik (negara) dengan milik pribadi bagi ruling class (elit
penguasa). Sedangkan, sistem kekerabatan ikut mendorong nepotisme.
Dalam perspektif agama, korupsi juga dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat tercela. Dalam perspektif
ajaran Islam, misalnya, Hafidhuddin menyatakan, korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang
merusak kemaslahatan, kemanfaatan hidup, dan tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah
kubro (dosa besar). Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan
dengan prinsip keadilan (al-adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab.
Sebagai suatu gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan dalam satu kalimat saja. Yang mungkin
dilakukan adalah membuat gambaran yang masuk akal mengenai gejala tersebut, agar dapat dipisahkan dari
gejala lain yang bukan korupsi. Inti korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi.
Berdasarkan induksi kasus demi kasus dari masyarakat masa lalu sampai zaman moderen, oleh Syed Hussein
Alatas telah disusun sejumlah ciri korupsi.
Ciri-ciri korupsi dapat diringkas sebagai berikut: (a) suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan, (b) penipuan
terhadap badan pemerintah, (c) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (d)
dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya
menganggapnya tidak perlu, (e) melibatkan lebih dari satu orang atau pihak, (f) adanya kewajiban dan
keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain, (g) terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang
menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, (h) adanya usaha untuk
menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum, dan (i) menunjukkan fungsi ganda yang

kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.


Ciri-ciri tersebut sebetulnya masih bisa diperluas lagi. Namun, untuk keperluan proposal disertasi ini, daftar
yang ada ini tampaknya sudah cukup, sekadar untuk membuat klasifikasi gejala.
Dari segi tipologi, korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis yang berbeda. Tujuh jenis itu adalah korupsi transaktif
(transactive corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi investif (investive corruption),
korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), korupsi defensif (defensive corruption), korupsi otogenik
(autogenic corruption), dan korupsi dukungan (supportive corruption).
Korupsi transaktif merujuk kepada adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak pemberi dan pihak penerima
demi keuntungan kedua belah pihak, dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh keduaduanya. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah, atau antara masyarakat dan
pemerintah.
Korupsi yang memeras adalah jenis korupsi di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah
kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.
Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu,
selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.
Korupsi perkerabatan atau nepotisme, adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara
untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan
mereka, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang
berlaku.
Korupsi defensif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka
mempertahankan diri.
Korupsi otogenik adalah jenis korupsi yang dilakukan seorang diri, dan tidak melibatkan orang lain. Misalnya,
anggota DPR yang mendukung berlakunya sebuah undang-undang tanpa menghiraukan akibat-akibatnya, dan
kemudian menarik keuntungan finansial dari pemberlakuan undang-undang itu, karena pengetahuannya tentang
undang-undang yang akan berlaku tersebut.
Sedangkan, korupsi dukungan tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk
lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.
Tindakan menghambat seorang yang jujur dan cakap untuk menduduki jabatan strategis tertentu, misalnya, bisa
dimasukkan dalam kategori ini.
Korupsi merupakan masalah yang sangat serius. Alinea pertama Penjelasan Umum UU Nomor 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 menyatakan: Tindak pidana korupsi
merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas,
dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana
yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah
pencegahan tingkat nasional maupun internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan
kerjasama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Yang patut diperhatikan adalah pengaruh korupsi yang menular, yaitu bila korupsi menyerang seluruh sistem
sosial sedemikian rupa, sehingga yang terjangkit adalah sistem secara total. Jadi, tidak terbatas pada bagian dan
tempat-tempat tertentu, yang tidak mempengaruhi pusat sistem sosial dan negara yang vital.

KORUPSI,KOLUSI,NEPOTISME DALAM AJARAN ISLAM


Pada saat sekarang ini, bangsa Indonesia tengah mengalami krisis moneter dan krisis ekonomi berkepanjangan
yang salah satunya disebabkan oleh praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh para
pejabat pemerintah sejak dari tingkat desa hingga tingkat nasional. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan
maraknya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah karena lemahnya iman dan penghayatan para
pejabat negara terhadap ajaran-ajaran agama, serta ketidak-mengertian mereka tentang hukum Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN).
Untuk menghentikan praktek KKN di kalangan pejabat pemerintah dan masyarakat luas, MUI Propinsi DKI
Jakarta memfatwakan tentang hukum korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta cara memberantasnya, sebagai
berikut:
1. Ditinjau dari segi etimologi, korupsi berasal dari bahasa Inggris corruption yang berasal dari akar kata corrupt
yang berarti jahat, buruk, dan rusak. Sedangkan menurut istilah, korupsi didefinisikan sebagai berikut: a. Menurut Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption, korupsi adalah, "Tingkah laku
menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan demi keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi,
kerabat atau kroni".
b. Korupsi adalah perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu, dan sebagainya
dengan tujuan untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Karena akibatnya
yang merugikan itu, maka korupsi digolongkan sebagai tindak pidana.
c. Korupsi adalah suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu
pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan
jabatan tanpa ada catatan atau administrasinya. Sebagai balas jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau
tidak, adalah berupa kelonggaran aturan yang semestinya diterapkan secara ketat.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa korupsi dalam perspektif ajaran Islam adalah
identik dengan risywah, ghulul, dan at-tajawuz fi isti'mal al-haqq, serta termasuk salah satu bentuk dari sikap
khianat yang diharamkan oleh Allah SWT karena korupsi berdampak negatif dan sangat merugikan masyarakat
luas. Di antaranya adalah: a. Merusak akhlak dan moral bangsa
b. Mengacaukan sistem perekonomian dan hukum
c. Menggerogoti kesejahteraan rakyat dan menghambat pelaksanaan pembangunan.
d. Merugikan dan bahkan menimbulkan dlarar (bahaya) bagi orang lain
e. Menyebabkan hilangnya berkah dari Allah SWT
f. Menyebabkan siksa neraka.
Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah SAW :
)
Artinya:
Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu (makanan & minuman) yang haram, maka lebih berhak masuk ke
dalam neraka.
g. Anak-anak yang diberi makan dan minum dari hasil korupsi, susah dididik menjadi anak yang shaleh, yang
mau beribadah kepada Allah SWT serta berbakti kepada kedua orang tua. Anak-anak seperti itu, cenderung
mengabaikan ajaran agama, menentang orang tua, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, mempraktekkan
kehidupan free sex, suka tawuran, dan melakukan berbagai kejahatan yang lain. Hal ini tidak lain karena

mereka dibesarkan dari makanan dan minuman yang dibeli dengan uang hasil korupsi yang secara tegas
dilarang oleh Allah. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa' ayat 29:


( 29)

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. An-Nisa', 4: 29.
2. Jenis dan kategori korupsi adalah sebagai berikut:
a. Penyalah-gunaan wewenang
b. Penyelewengan dana, seperti dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1). Pengeluaran fiktif
2). Manipulasi harga pembelian atau kontrak
3). Penggelapan dana atau pencurian langsung darikas.
Ada lima bidang kegiatan yang dianggap sebagai sumber praktek korupsi, yaitu: 1). Proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang.Hal ini menyangkut harga, kualitas, dan komisi.
2). Bea dan cukai yang menyangkut manipulasi bea masuk barang dan penyelundupan administratif.
3). Perpajakan, yang menyangkut proses penentuan besarnya pajak dan pemeriksaan pajak.
4). Pemberian izin usaha, dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa serta pungutan liar.
5). Pemberian fasilitas kredit perbankan dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa serta pungutan liar.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pemberian imbalan di luar kontrak yang telah disepakati karena kita
menyetujui pembelian atau pengadaan barang (kantor) dengan harga di atas harga yang wajar adalah termasuk
korupsi yang diharamkan oleh Allah SWT. Karena hal itu termasuk manipulasi harga pembelian atau kontrak.
Sedangkan karyawan yang datang terlambat atau pulang lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan, dalam
istilah yang populer tidak termasuk dalam kategori korupsi karena tidak berupa penyalah-gunaan wewenang
atau penyelewengan dana. Sungguh pun demikian, hal itu termasuk perbuatan yang tidak baik karena melanggar
disiplin dan mengurangi produktivitas kerja sehingga merugikan pihak lain.
3. Kolusi, ditinjau dari segi etimologi berasal dari bahasa Inggris collusion yang berarti persekongkolan atau
kongkalikong.Sedangkan menurut pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Kolusi adalah
permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara
negara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, bangsa atau negara.
4.Nepotisme berasal dari bahasa Perancis nepote yang berarti keponakan. Istilah ini pada mulanya digunakan
untuk menjelaskan praktek favoritisme yang dilakukan oleh pimpinan Gereja Katolik Romawi (Paus dan para
Kardinal) pada abad pertengahan, yang memberikan jabatan-jabatan kepada sanak, famili, keponakan atau
orang-orang yang mereka sukai.
Berdasarkan pengertian bahasa di atas, maka Nepotisme dapat didefinisikan sebagai berikut: Nepotisme adalah
suatu sikap atau tindakan seorang pemimpin yang lebih mendahulukan keluarga dan sanak famili dalam memberikan jabatan dan yang lain, baik dalam birokrasi pemerintahan maupun dalam manajemen perusahaan
swasta.
5. Pada umumnya, manusia mempunyai ikatan jiwa yang lebih kuat dengan keluarga dan sanak famili dibanding

dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan teori 'ashobiyah yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun. Oleh karena
itu, sangat wajar jika seorang pemimpin pemerintahan atau perusahaan swasta atau yang lain, lebih senang
memberikan jabatan-jabatan strategis kepada keluarga atau orang yang disenanginya serta lebih mementingkan
dan mengutamakan mereka dalam segala hal dibanding dengan orang lain yang tidak mempunyai ikatan apaapa. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: a. Pada umumnya, kerabat memiliki rasa tanggungjawab yang lebih besar terhadap pekerjaannya dibandingkan
dengan orang lain.
b. Pada umumnya, keluarga lebih mudah fit in dibanding non keluarga.
c. Pada umumnya keluarga menaruh perhatian dan minat yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain.
d. Pada umumnya keluarga memiliki loyalitas dan kehandalan (dependability) yang lebih tinggi dibandingkan
dengan orang lain.
e. Pada umumnya keluarga lebih mampu melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif dibandingkan
dengan orang lain.
f. Jika keluarga yang diberi jabatan tertentu mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab dengan baik, maka
akan mendorong semangat kerja orang lain.
Sepanjang keluarga atau orang yang disenanginya mempunyai kemampuan dan profesionalisme serta bersifat
amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, maka tidak ada sesuatu yang perlu
dipermasalahkan. Permasalahannya adalah, bagaimana jika keluarga atau famili atau orang lain yang
disenanginya itu tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam
memegang jabatan yang diberikan kepadanya?
Menurut ajaran Islam, seorang pemimpin tidak boleh memberikan jabatan -apalagi jabatan yang sangat
strategis-kepada seseorang semata-mata atas dasar pertimbangan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan,
padahal yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah
dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, atau ada orang lain yang lebih berhak dari padanya.
Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah dalam hadits shahih riwayat Imam al-Hakim dalam alMustadrak dari sahabat Abdullah ibn Abbas, sebagai berikut:






)
"Barangsiapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena didasarkan atas pertimbangan
keluarga, padahal di antara mereka ada orang yang lebih berhak daripada orang tersebut, maka ia telah
berkhianat kepadaAllah, Rasulullah dan orang-orang yang beriman".
6. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa nepotisme yang dilarang oleh ajaran Islam adalah
nepotisme yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan keluarga atau sanak famili dengan tanpa
memperhatikan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan.
Adapun nepotisme yang disertai dengan pertimbangan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah
seseorang yang akan diberi jabatan, maka hal itu tidak dilarang. Mayoritas umat Islam sepakat bahwa hadis
adalah merupakan sumber hukum yang sangat penting sebagai pedoman utama ajaran Islam setelah al-Quran.
Dengan kata lain bahwa, al-quran merupakan sumber ajaran Islam yang pertama, sedangkan hadis Nabi saw.
adalah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua.[1] Hal ini sebagaimana di jelaskan dalam al-Quran surat
al-Hasyr : 7 ;

Apa yang di berikan rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang di larangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.[2] [3]
Berdasarkan petunjuk ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa untuk mengetahui petunjuk hukum yang benar dalam
ajaran Islam, di samping harus berpegang teguh pada al-Quran juga harus berpegang teguh pada hadis Nabi
Saw. Dalam hal ini Nabi saw. sendiri telah menginformasikan kepada umatnya bahwa, di samping al-Quran
masih terdapat satu pedoman yang sejenis dengan al-Quran, yakni al-hadis. Sebagaimana sabdanya
mengatakan:
Wahai Umatku, sungguh aku telah di beri al-Quran dan yang menyamainya. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan
Turmuziy ).[4]
Jadi tidak di ragukan lagi bahwa yang di maksud dengan menyamai atau semisal al-Quran dalam matan
hadis di atas adalah hadis Nabi saw. Mengingat peran hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam
setelah al-Quran, mengharuskan adanya penelitian yang mendalam sebagai upaya menjaga kualitas kemurnian,
keotentikan, dan kesahihannya. Sehingga secara legal hadis-hadis yang telah terseleksi keotentikannya dapat di
pertanggung jawabkan sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Langkah penelitian terhadap kualitas
hadis menjadi sangat penting, mengingat bahwa latar belakang sejarah penghimpunan hadis baru terjadi pada
akhir tahun 100 H. (awal akhir abad ke II H.), atas perintah Khalifah Umar Ibn Abd al-Azis yang memerintah
sekitar tahun 717-720 M.[5]
Dengan melihat jauhnya jarak antara masa kehidupan Nabi saw. dengan masa perhimpunan hadis-hadis
tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai manipulasi, pemalsuan, dan penyimpangan terhadap
matan hadis dan lain sebagainya. Sehingga menyebabkan kualitas hadis menjadi berbagai macam bentuknya,
ada yang di anggap sahih, hasan maupun daif. Perlu di jelaskan di sini bahwa terjadinya kualitas hadis hasan
adalah merupakan pecahan dari kualitas hadis daif yang di pergunakan sebelum masanya al-Turmuziy.[6]
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka adanya usaha penelitian penelusuran terhadap hadis-hadis
yang di pergunakan untuk menetapkan hukum, terutama yang berhubungan dengan masalah : Larangan
menerima hadiah bagi para pejabat dalam melaksanakan tugasnya, tidak menutup kemungkinan akan
menghasilkan pernyataan kualitas hadis yang berbagai macam. Apakah hadis hadis yang di jadikan sebagai
landasan hukum tersebut berkualitas sahih, hasan ataupun daif. Oleh karena itu untuk menggunakan kapasitas
sebuah hadis dalam kualifikasi sahih, hasan atau daif, tidak bisa tidak kecuali harus melakukan verifikasi
melalui penelitian baik terhadap sanad maupun terhadap matan hadis. Dimana proses ini merupakan upaya
untuk memastikan paling tidak menduga secara kuat bahwa, hadis-hadis di maksud benar-benar berasal dari
Nabi saw. sehingga secara otentik bisa menjadi hujjah bagi penetapan hukum dalam Islam sekaligus dapat di
pertanggung jawabkan kevaliditasannya.
PEMBAHASAN SANAD DAN MATAN HADIS TENTANG LARANGAN MENERIMA HADIAH BAGI
PARA PEJABAT
Klasifikasi Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat
Takhrij al- Hadis
Kata takhrij yang sering di artikan sebagai : al-Istimbat ( mengeluarkan dari sumbernya), al- Tadrib ( latihan ),
dan al-Tawjih (pengarahan),[7] ialah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai
sumber asli dari hadis, yang di dalamnya di kemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang
bersangkutan. Kemudian guna kepentingan penelitian, maka akan di jelaskan hingga kualitas hadis yang di
jadikan obyek penelitian.
Adapun metode takhrij al-Hadis yang akan di pergunakan dalam menelusuri hadis-hadis tentang : Larangan

menerima hadiah bagi para pejabat, adalah terdapat dua macam metode, yakni : (1) Metode takhrij melalui
lafal-lafal yang terdapat dalam hadis (takhrij al- hadis bi alfaz), yaitu adanya upaya pencarian hadis pada kitabkitab hadis dengan cara menulusuri matan hadis yang bersangkutan.[8] (2) Dengan metode takhrij melalui tema
hadis (tematik) (takhrij al-hadis bi al-mawdu), yakni upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis berdasarkan
topik masalah yang di bahas dalam sejumlah matan hadis.[9]
Untuk penggunaan metode yang pertama, penulis merujuk pada kamus hadis al-Mujam al-Mufahras li Alfaz alHadis al-Nabawiy, dan untuk metode yang ke dua penulis merujuk kepada kitab : Miftah Kunuz al-Sunnah,
yang keduanya di susun oleh Arnold John Wensinck (w.1939 M.) dan J.P. Mensing.
Jika di tempuh melalui metode lafal dari berbagai riwayat yang terkait dengan matan hadis tentang larangan
menerima hadiah bagi pejabat, di temukan di dalamnya beberapa kata kunci, seperti : ? ????? ?? ??? ? ???
- ??????? , sedangkan jika di tempuh dengan metode tematik , maka berbagai riwayat hadis yang di cari di
temukan pada topik : ?????? ?? ??? ( ??? ?????? ) ?? ? ?? ?????? ??? ??? ? ?? ???? ?????????????
?? ? ???? ???? ? ???? ?? ??? ??[10] , dan setelah di telusuri ternyata data yang di peroleh menunjukkan bahwa
hadis hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat di muat dalam beberapa kitab hadis. Adapun
kitab hadis di maksud berikut jumlah periwayatnya , masing-masing terdapat pada :
Sahih al-Bukhariy, yakni memuat satu riwayat yang terdapat dalam kitab al-aiman, bab III.
Sunan al-Darimiy, memuat dua riwayat, yaitu terdapat dalam kitab al-Zakat bab 30, dan dalam kitab al-Sair
bab 52.
Dengan demikian hadis-hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat yang berhasil di kumpulkan
sesuai petunjuk kedua kamus hadis (al-Mujam dan Miftah) tersebut di atas hanya di temukan sekitar 3 riwayat
dalam 2 kitab hadis.
Susunan Sanad dan Matan Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Pejabat
Hadis Riwayat al-Bukhariy Pada Kitab al-Aiman :
Abu al-Yaman menceritakan kepada kami, Syuaib memberitakan kepada kami, dari al-Zuhriy dia berkata :
Urwah memberitakan kepadaku, dari Abi Humaid al-Saidiy, dia telah memberitakannya, sesungguhnya
Rasulullah Saw. mengangkat seorang amil (pegawai) untuk menertima sedekah/zakat. Kemudian setelah selesai
dari pekerjaannya dia datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata: Ini untukmu dan yang ini hadiah yang di
berikan orang kepadaku. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Mengapakah anda tidak duduk saja di
rumah bapak atau ibumu untuk melihat apakah di beri hadiah atau tidak. Kemudian sesudah shalat Rasulullah
Saw. berdiri setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya lalu bersabda: Amma badu, mengapakah seorang
amil yang di serahi mengurus pekerjaannya, kemudian ia datang lalu berkata, ini hasil untuk kamu dan ini aku
di beri hadiyah, mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibunya untuk mengetahui apakah di
beri hadiah atau tidak. Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang yang menyembunyikan
sesuatu untuk di ambil hasilnya (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat nanti memikul di atas
lehernya, jika berupa onta akan bersuara, jika berupa lembu akan menguak, dan jika berupa kambing akan
mengembik. Maka sungguh aku telah menyampaikan ; Abu Humaid berkata: Kemudian Rasulullah Saw.
mengangkat kedua tangannya, hingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya. Berkata pula Abu Humaid,
sungguh hal itu telah mendengar bersamaku Zaid ibn Sabit dari Nabi Saw.
Kualitas Hadis Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat
Berdasarkan Penelitian Sanad
Dalam bab ini, penelitian sanad di lakukan terhadap hadis yang berasal dari periwayat terakhir (Mukharrij alHadis) dari jalur Imam al-Darimiy bersama periwayat-periwayat di atasnya seperti : Abu al-Yaman, Syuaib, al-

Zuhriy, Urwah dan Abu Humaid al-Saidiy.


Untuk mempermudah proses kegiatan peninjauan terhadap sanad-sanad hadis tentang larangan menerima
hadiah bagi para pejabat, berikut ini akan di buatkan skema untuk keseluruhan sanad yang terkait baik dari jalur
periwayat al-Bukhariy maupun sanad hadis yang berasal dari jalur al-Darimiy :
Pada skema gambar di atas tercantum seluruh sanad (nama periwayat) dan lafal-lafal penerima riwayat ( sigat
al-Tahammul) , seperti lafal: Haddasaniy, haddasana (sana), akhbaraniy, akhbarana (ana), an, dan anna, adalah
merupakan tanda penghubung antara periwayat yang satu dengan periwayat yang lain . Dalam skema juga
kelihatan adanya seorang sahabat yang berfungsi sebagai periwayat tingkat pertama, yakni Abu Humaid alSaidiy. Pada tingkat kedua, ketiga, keempat dan pada tingkat ke lima masing-masing terdapat satu orang
periwayat. Itu berarti apabila di lihat dari segi banyak dan sedikitnya sanad atau rawiy, hadis tentang larangan
menerima hadiah bagi para pejabat adalah termasuk klasifikasi hadis ahad.
Yang di maksud hadis ahad menurut istilah adalah, hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang
atau lebih , akan tetapi belum cukup syarat padanya untuk di masukkan sebagai yang mutawwatir.[14] Adapun
sanad hadis yang sedang di jadikan obyek penelitian ini adalah termasuk dalam katagori hadis ahad yang garib.
Menurut istilah Fatchur Rahman yang di maksud dengan hadis garib ialah :
Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian
dalam sanad itu terjadi.
Jadi kegariban tersebut sesungguhnya hanya terletak pada sanad (rawiy) saja, bukan terletak pada matan hadis,
sebab tidak di temukan adanya lafal yang sulit atau tidak populer atau tidak di muat dalam sanad-sanad yang
lain. Dan yang di maksudkan dengan penyendirian (ifrad) rawiy disini ialah karena tidak adanya orang lain
yang meriwayatkan selain rawiy itu sendiri, dimana penyendirian itu dapat terjadi pada tingkat tabiiy, tabiit
tabiiy atau dapat juga terjadi pada seluruh rawiy rawiy pada tiap-tiap tabaqat, kecuali pada tingkat sahabat.
Berdasarkan Kritik Sanad
Sanad yang di pilih untuk di teliti langsung sebagaimana yang tertera pada skema sanad di atas adalah dari jalur
periwayatan Imam al-Darimiy, kemuan keatas hingga tabaqat pertama pada seorang sahabat Nabi Saw. yakni
Abu Humaid al Saidiy.
al Darimiy.[16]
Nama lengkapnya adalah Abd Allah bin Abd al-Rahman bin al-Fadl bin Bahram bin Abd al-Samad alDarimiy al-Tamimiy Abu Muhammad al-Samarkandiy (181-255 H.). Dalam riwayat hidupnya, dia pernah
berguru kepada Abd al-Yaman , dan salah seorang muridnya yang terkenal adalah al-Bukhariy. Al-Darimiy
adalah termasuk periwayat hadis yang berkualitas siqat. Hal ini dapat di pahami dari beberapa pernyataan ahli
kritik hadis tentang dirinya, seperti : (1) Ahmad bin Hambal, bahwa al-Darimiy ialah seorang Imam. (2) Ahmad
bin Sayyar (w. 268 H.), bahwa al-Darimiy adalah orang yang berpengetahuan luas, dengan karya besarnya telah
menyusun kitab al-Musnad dan al-Tafsir. (3) al-Khatib al-Bagdadiy (w.463 H.), bahwa al-Darimiy adalah orang
yang senang mengembara mencari hadis Nabi, mengumpulkan dan menghafalkannya. Dan dia itu termasuk
orang yang siqat, sidq, wara dan zuhud.[17] Tidak ada seorangpun yang mencela pribadi al-Darimiy,
sebaliknya pujian yang di berikan kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Oleh karena
itu, di yakini bahwa al-Darimiy adalah benar-benar menerima hadis dari abu al-Yaman. Hal ini di dukung oleh
lambang periwayatan yang digunakan adalah dengan lafal akhbarana, yang dimungkinkan dengan metode alSama, al-Qiraah atau dengan al-Ijazah. Yang berarti pula bahwa antara al-Darimiy dengan abu al-Yaman
terjadi persambungan sanad.
Abu al-Yaman.[18]

Nama lengkapnya adalah al-Hakam bin Nafi al-Bahraniy abu al-yaman al-Himsiy (w.221/222 H.). Dia
menerima hadis dari Syuaib bin Abi Hamzah, dan murid yang meriwayatkan hadisnya adalah al-Bukhariy dan
al-Darimiy.
Para kritikus hadis memberi penilaian terhadap diri Abu al-Yaman dengan pernyataan sebagai berikut : (1)
Ahmad ibn Hambal bertanya : Bagaimana caranya kamu mendengar ( menerima) hadis dari Syuaib ? Abu alYaman menjawab : Sebagian dengan cara al-Qiraah.[19] Yang dimaksud dengan al-qiraah ialah periwayat
menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang
lain yang membacakannya,dan ia mendengarkan. Cara ini biasa di sebut al-ard (penyodoran). (2) Abu Hatim
dan Muhammad bin Abd Allah bin Ammar al-Musiliy mengatakan bahwa, Abu al-Yaman adalah orang yang
siqat.[20]
Berdasarkan pernyataan para ahli kritikus hadis tersebut, maka dapat di simpulkan bahwa, Abu al-Yaman adalah
periwayat hadis yang memiliki kualitas pribadi yang baik, lebih-lebih lambang periwayatan yang di gunakan
adalah lafal akhbarana, yang di mungkinkan ia menerima hadis tersebut dengan al-sama, al-qiraah atau
dengan cara al-ijazah.[21] Maksud dari pada al-ijazah ialah, seorang guru hadis memberikan izin kepada
seseorang untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya, baik melalui lesan maupun tulisan. Dan mayoritas
Ulama membolehkan cara al-ijazah ini bahkan menilainya cukup terpercaya untuk periwayatan hadis.
Dengan demikian bahwa, Abu al-Yaman adalah seorang yang benar-benar telah menerima hadis dari gurunya,
yang berarti pula bahwa, sanad hadis yang ada di antara keduanya adalah bersambung dan dapat di percaya.
Syuayb.[22]
Nama lengkapnya adalah Syuayb bin Abi Hamzah Dinar al-Amawiy Mawlahum Abu Bisyr al-Himsiy (w.162
H.). Dia menerima hadis dari al-Zuhriy, dan muridnya yang meriwayatkan hadisnya adalah Abu al-Yaman.
Ibn Main, al-Ijliy, Yaqub bin Syaybah, Abu Hatim dan al-Nasaiy, menilai Syuayb bersifat siqat. Lebih lanjut
Ibn Main menjelaskan bahwa dia termasuk orang yang asbat pada al-Zuhriy dan menjadi sekretarisnya. Ahmad
menilai bahwa, Syuayb itu sabt, salih al-hadis, dia penulis dengan penuh kecermatan (dabit). Abu al-Yaman
menilai, Syuayb itu sangat ketat dalam hadis. Dan Abu Dawud juga menjelaskan bahwa, Syuayb adalah asakh
hadisan min al-Zuhriy.[23] Kecuali itu tak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi Syuayb. Dan
pujian yang di berikan kepadanya adalah berperingkat tinggi. Dengan melihat hubungan pribadinya dengan alZuhriy yang begitu akrab dengan menggunakan lambang periwayatan akhbarana, maka diyakini bahwa
Syuayb benar-benar telah menerima hadis dari gurunya, yakni al-Zuhriy. Yang berarti pula bahwa sanad
diantara keduanya adalah bersambung.
Al-Zuhriy.[24]
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim bin Ubayd Allah bin Abd Allah bin Syihab bin Abd Allah
bin al-Haris bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Kaab bin Galib al-Quraisiy al-Zuhriy Abu Bakr al-Madaniy
(50-124 H.). Ia lebih populer dengan nama Ibn Syihab atau al-Zuhriy. Ia menerima hadis dari Urwah,
sedangkan muridnya yang meriwayatkan hadisnya adalah Syuayb.
Al-Zuhriy adalah periwayat hadis yang di andalkan kejujuran dan kedabitannya. Hal itu diakui para ahli kritikus
hadis seperti : (1) Ibn Saad, bahwa al-Zuhriy adalah orang yang siqat, ilmuwan, periwayat yang faqih dan
jami. (2) Abu al-Zinad, bahwa al-Zuhriy adalah orang yang paling berilmu di masanya, ia dapat menulis apa
yang pernah di dengarnya dan menjadi hujjah. (3) Al-Lays menyatakan bahwa, saya tidak pernah melihat orang
yang pintar melebihi al-Syihab.[25] (4) Ibn Manjuwiyah juga menyatakan bahwa, al-Zuhriy adalah orang yang
pernah bertemu dengan sepuluh sahabat Nabi, dan dia adalah yang paling hafiz pada masanya.[26]

Berdasarkan penilaian para kritikus hadis tersebut, menunjukkan bahwa al-Zuhriy adalah seorang tabiin kecil
yang berkualitas siqat. Dia menerima hadis dari Urwah (seorang tabiin besar) dengan lambang periwayatan
an yang dipercaya dan di yakini bahwa antara keduanya terjadi persambungan sanad.
Urwah.[27]
Dia adalah Urwah bin al-Zubayr bin al- Awwam bin Khuwaylid bin Asad bin Abd al-Uzza al-Qurasyiy alAsadiy, Abu Abd Allah al-Madaniy (22-92 H.). Sebagai seorang tabiin besar yang teruji kualitasnya, Urwah
termasuk periwayat hadis yang banyak menerima hadis dari Aisyah (bibinya), di samping berguru kepada
Asma bint Abi Bakr (ibunya) sendiri, juga kepada Abu Humaid al-Saidiy. Sedang murid-muridnya adalah alZuhriy, Hisyam (putranya) dan lain-lain.
Menurut penilaian ahli kritik hadis, Urwah termasuk periwayat hadis yang terpuji. Hal itu sebagaimana di
kemukakan oleh : (1) Ibn Saad, menempatkannya sebagai al-tabaqat al-saniyah (tingkat kedua) dari penduduk
Madinah. Urwah adalah seorang yang siqat, faqih,mamun, alim dan sabt. (2) al-Ijliy mengatakan bahwa,
Urwah adalah tabiin yang siqat, saleh dan tidak pernah terkena fitnah. (3) Sufyan bin Uyaynah (w.198 H.),
mengatakan: hanya ada tiga orang yang paling mengetahui hadis Aisyah, yaitu : al-Qasim bin Muhammad,
Urwah bin al-Zubayr, dan Amrah bint Abd al-Rahman. (4) Sedang ibn Hibban memasukkan Urwah kedalam
orang yang siqat. Dia adalah penduduk Madinah yang sangat utama dan cendekiawan.[28]
Sebagai seorang tabiin besar yang pada umumnya langsung menerima hadis dari para sahabat Nabi, adalah
tidak di ragukan lagi kebenarannya bahwa, sanad antara Urwah dengan sahabat Abu Humaid al-Saidiy adalah
benar-benar bersambung.
Abu Humaid.[29]
Dia adalah Humaid bin Nafi al-Ansariy Abu Aflah al-Madaniy Maula Safwan bin Aus. Abu Humaid adalah
seorang sahabat Nabi yang sering bersama-sama sahabat Zaid ibn Sabit, salah seorang yang di percaya Nabi
Saw. sebagai sekretarisnya sejak berumur 11 tahun. [30] Salah satu murid Abu Humaid yang sangat siqat, faqih,
mamun dan alim yang menerima riwayatnya adalah Urwah bin al-Zubayr.
Abu Humaid di samping sebagai sahabat nabi Saw. juga sebagai periwayat hadis yang memiliki keadilan dan
kekuatan hafalan yang dapat di andalkan. Hal ini dapat di fahami dari beberapa pernyataan dari ulama rijal alhadis, seperti :Zainab bint Umm Salamah, Imam al-Nasaiy, al-Bukhariy, Muslim, dan ibn Hibban, bahwa Abu
Humaid adalah seorang sahabat yang siqat.[31] Tidak ada seorang ahli rijal al-hadis yang mencela pribadinya.
Dan dengan melihat hubungannya yang sering bersama-sama Nabi dan para sahabat Nabi lainnya, dapatlah di
nyatakan bahwa hadis yang sanadnya di teliti saat ini adalah terjadi persambungan antara periwayat (Abu
Humaid) dengan Nabi Saw.
Apabila di cermati secara seksama keseluruhan sanad sebagaimana yang tertera pada gambar skema sanad
tersebut di atas , adalah memiliki integritas pribadi yang terpuji, tidak mengandung syaz dan illat
( mengandung kejanggalan dan kecacatan ), karena seluruh periwayatnya dapat di andalkan kejujuran dan
kekuatan hafalannya ( siqat ) kemudian sanad satu dengan yang lain pun bersambungan (muttasil). Dengan
demikian dapat di simpulkan bahwa hadis riwayat al-Darimiy yang tengah di teliti saat iniadalah telah
memenuhi syarat-syarat sebagai sanad hadis yang memiliki kualitas Sahih.
Berdasarkan Penelitian Matan
Penelitian terhadap matan di pandang sangat penting , mengingat kedudukan matan hadis bisa mempengaruhi
kualitas kesahihan hadis. Dimana suatu hadis barulah dapat dinyatakan berkualitas sahih, apabila sanad dan
matan hadis tersebut sama-sama berkualitas sahih.[32] Jadi hadis yang sanadnya sahih tetapi matannya tidak
sahih (daif) atau sebaliknya, yakni sanadnya daif, tetapi matannya sahih, maka hadis yang demikian tidak

dapat di nyatakan sebagai hadis sahih.


Untuk mengetahui bahwa, suatu matan hadis itu berkualitas sahih, minimal matan tersebut harus memenuhi
empat macam tolok ukur, di antaranya: (1) Tidak bertentangan dengan al-Quran. (2) Tidak bertentangan
dengan hadis mutawwatir. (3) Tidak bertentangan dengan ijma Ulama, dan (4) Tidak bertentangan dengan
logika yang sejahtera.[33] Musthafa al-Sibaiy menambahkan bahwa, suatu matan hadis dapat dinilai
berkualitas palsu (tidak berasal dari rasul), apabila matan hadis tersebut : (1) Memiliki susunan gramatika
sangat jelek. (2) Maknanya sangat bertentangan dengan pendapat akal. (3) Menyalahi al-Quran yang tegas
maksudnya. (4) Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman Nabi. (5) Bersesuaian dengan
pendapat orang yang meriwayatkannya, sedang orang tersebut terkenal sangat fanatik terhadap mazhabnya. (6)
Mengandung suatu perkara yang seharusnya di beritakan oleh orang banyak, tetapi ternyata hanya di riwayatkan
oleh seorang saja. (7) Mengandung berita tentang pemberian pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil, atau
ancaman siksa yang berat terhadap suatu perbuatan yang tidak berarti.[34]
Berdasarkan kriteria kesahihan matan yang di jadikan tolok ukur sebagaimana kriteria-kriteria tersebut di atas,
maka dapat di simpulkan bahwa, matan hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat yang di
riwayatkan oleh imam al-Darimiy adalah matan hadis yang tidak bertentangan sama sekali dengan tolok ukur
kesahihan matan hadis. Dan dapat di nyatakan sebagai matan hadis yang berkualitas sahih (benar-benar berasal
dari Nabi Saw.).
Berdasarkan Pemahaman Secara Tekstual dan Secara Kontekstual
Pemahaman Secara Tekstual
Secara tekstual terdapat beberapa kata kunci dalam matan hadis yang dijadikan obyek penelitian, di antaranya :
( terangkatnya seorang pegawai,pejabat, pekerja atau orang yang di serahi tanggung jawab untuk melaksanakan
tugas, kemudian menmerima hadiah, tetapi berkesan menyembunyikan sesuatu untuk di ambil hasilnya atau
berkhianat dalam arti populer terindikasi melakukan korupsi), maka Nabi Saw. dengan tegas hingga di nyatakan
dua kali dengan menggunakan kata isim istifham (kata untuk bertanya) seperti kata-kata , yang menurut ahli
Ushul mempunyai arti al-Nahyi atau larangan yang bersifat taubikh (menegur).[35] Larangan tersebut
terlihat pada sikap ketidak relaan Nabi ketika menerima laporan dari seorang pegawai yang menerima hadiah
ketika ia sedang menjalankan tugasnya.
Dengan demikian secara tekstual hukum bagi seorang pegawai atau pejabat yang menerima hadiah menurut
hadis al-Darimiy adalah tidak boleh atau haram hukumnya.
b. Pemahaman Secara Kontekstual
Secara kontekstual, sesungguhnya makna hadis dari al-Darimiy adalah di tunjukkan kepada orang banyak, tidak
mengkhusus kepada hukum seorang pegawai atau pejabat yang menerima hadiah, tetapi lebih bersifat umum.
Hal itu terbukti dari asbab al-nuzul hadis tersebut pernah di sampaikan Nabi Saw. ketika selesai turun dari
mimbar shalat, dengan nada ketidak puasan nabi kepada seorang pegawai yang telah melapor kepada-nya di
hadapan orang banyak. Sesungguhnya dasar hukum yang melarang seorang menerima hadiah, adalah lebih di
sandarkan atau di qiyaskan kepada kasus seorang pegawai yang karena jabatan atau pekerjaannya, sehingga
seorang datang memberikan hadiah kepadanya bukan karena dasar sukarela, tetapi di curigai oleh Nabi Saw.
mempunyai maksud-maksud tertentu, hubungan tertentu atau latar belakang tertentu, dengan istilah populer
hadiah yang di terimanya itu terindikasi berbau kolusi, nepotisme dan individualistis. Jadi apabila seseorang
menerima hadiah dari orang yang memberi hadiah kepadanya bukan karena niat atau maksud-maksud tertentu ,
tetapi atas dasar sukarela dan bertujuan untuk memuliakan serta hanya mengharap rida Allah Swt. Maka
pemberian hadiah atau penerimaan hadiah seperti ini adalah tidak termasuk katagori yang di larang
sebagaimana hukum yang terkandung dalam hadis riwayat Imam al-Darimiy.

KESIMPULAN
Dengan selesainya pembahasan tentang penelitian metodologis hadis masalah korupsi, kolusi, nepotisme dan
individualistis, yakni studi kasus atas hadis Abu al-Humaidiy tentang larangan menerima hadiah bagi pejabat
dalam melaksanakan tugasnya, dapat di simpulkan beberapa hal penting sebagai berikut :
Mengingat peran al-Hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah al-Quran, mengharuskan
adanya langkah penelitian yang mendalam sebagai upaya untuk menjaga kualitas kemurnian, keotentikan dan
kesahihannya. Sehingga dapat di pertanggung jawabkan sebagai dasar penetapan hukum dalam Islam.
Sesungguhnya hadis riwayat al-Darimiy yang di jadikan sebagai landasan hukum tentang larangan menerima
hadiah bagi para pejabat, apabila di lihat dari kualitas sanad, maupun matannya adalah berkualitas sahih,
walaupun masuk dalam katagori hadis ahad. Sehingga dengan demikian keabsahannya sebagai landasan hukum
Islam dapat di terima .
Secara tekstual maupun secara kontekstual, isi kandungan hadis yang di riwayatkan oleh Imam al-Darimiy ,
berintikan adanya larangan memberi atau menerima suatu hadiah yang di latar belakangi oleh adanya maksud
atau niat tertentu, hubungan tertentu yang dalam istilah populer sekarang terkenal dengan adanya indikasi suap,
kolusi, nepotisme dan individualistis di dalamnya. Sedang pemberian atau penerimaan hadiah yang di sebabkan
oleh adanya latar belakang dasar suka rela, untuk memuliakan satu dengan yang lainnya, dan untuk menjalin
perdamaian diantara sesama yang di lakukan semata-mata mengharap rida Allah Swt. Maka pemberian atau
penerimaan hadiah semacam ini tidak termasuk dalam larangan, bahkan sangat di anjurkan oleh Nabi Saw.

SIYASAH (POLITIK ISLAM)


2.1 Politik Islam
Dalam Agama Islam, bukan masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja yang dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatn
umat juga dibahas dan diatur dalam Islam, dalam kajian ini salah satunya adalah Politik Islam yang dalam
bahasa agamanya disebut Fiqh Siyasah.
Fiqh Siyasah dalam koteks terjemahan diartikan sebagai materi yang membahas mengenai ketatanegaraan Islam
(Politik Islam). Secara bahasa Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali melalui dalildalil yang terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan
kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan.
Sedangkan Ibn Al-Qayyim mengartikan Fiqh Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih
dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemudharatan, serta sekalipun Rasullah tidak menetapkannya
dan bahkan Allah menetapkannya pula.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh Siyasah adalah hukum yang mengatur hubungan
penguasa dengan rakyatnya. Pembahasan diatas dapat diartikan bahwa Politik Islam dalam kajian Islam disebut
Fiqh Siyasah.
2.2 Bagian-bagian Fiqh Siyasah
Setelah kita mengetahui tentang pengertian dan penamaan Politik Islam dalam Islam adalah Fiqh Siyasah. Maka
dalam kajian kali ini akan dibahas mengenai bidang-bidang Fiqh Siyasah. Dan Fiqh Siyasah ini menurut
Pulungan (2002, hal:39) terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
1.
Siyasah Dusturiyah
2.
Siyasah Maliyah
3.
Siyasah Dauliyah
4.
Siyasah Harbiyah
2.2.1 Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu Siyasah itu sendiri serta Dusturiyah.
Arti Siyasah dapat kita lihat di pembahasan diatas, sedangkan Dusturiyah adalah undang-undang atau peraturan.
Secara pengertian umum Siyasah Dusturiyah adalah keputusan kepala negara dalam mengambil keputusan atau
undang-undang bagi kemaslahatan umat.

Sedangkan menurut Pulungan (2002, hal:39) Siyasah Dusturiyah adalah hal yang mengatur atau kebijakan yang
diambil oleh kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga negaranya. Hal ini berarti Siyasah
Dusturiyah adalah kajian terpenting dlam suatu negara, karena hal ini menyangkut hal-hal yang mendasar dari
suatu negara. Yaitu keharmonisan antara warga negara dengan kepala negaranya.
2.2.2 Siyasah Maliyah
Arti kata Maliyah bermakna harta benda, kekayaan, dan harta. Oleh karena itu Siyasah Maliyah secara umum
yaitu pemerintahan yang mengatur mengenai keuangan negara.
Djazuli (2003) mengatakan bahwa Siyasah Maliyah adalah hak dan kewajiban kepala negara untuk mengatur
dan mengurus keungan negara guna kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Lain halnya
dengan Pulungan (2002, hal:40) yang mengatak bahwa Siyasah Maliyah meliputi hal-hal yang menyangkut
harta benda negara (kas negara), pajak, serta Baitul Mal.
Dari pembahsan diatas dapat kita lihat bahwa siyasah maliyah adalah hal-hal yang menyangkut kas negara serta
keuangan negara yang berasal dari pajak, zakat baitul mal serta pendapatan negara yang tidak bertentangan
dengan syariat Islam.
2.2.3 Siyasah Dauliyah
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta kekuasaan. Sedangkan Siyasah
Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional,
masalh territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing.
Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum
Dzimi, hudud, dan qishash (Pulungan, 2002. hal:41).
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Siyasah Dauliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah
kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara
untuk pengakuan dari negara lain.
2.2.4 Siyasah Harbiyah
Harbiyah bermakna perang, secara kamus Harbiyah adalah perang, keadaan darurat atau genting. Sedangkan
makna Siyasah Harbiyah adalah wewenang atau kekuasaan serta peraturan pemerintah dalam keadaan perang
atau darurat.
Dalam kajian Fiqh Siyasahnya yaitu Siyasah Harbiyah adalah pemerintah atau kepala negara mengatur dan
mengurusi hala-hal dan masalah yang berkaitan dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan
jaminan keamanan perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah perdamaian
(Pulungan, 2002. hal:41).
A. Pengertian Fiqh Siysah
Kata fiqh siysah yang tulisan bahasa Arabnya adalah berasal dari dua kata yaitu kata fiqh ()
dan yang kedua adalah al-siys () .
Kata fiqh secara bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil dari ayat Alquran {}
[1][3], yang artinya kaum berkata: Wahai Syuaib, kami tidak memahami banyak dari apa yang kamu
bicarakan.[2][4]
Secara istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti: { } yaitu
mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci
Sedangkan al-siys pula, secara bahasa berasal dari yang memiliki arti mengatur (/),
seperti di dalam hadis: , yang berarti:
Adanya Bani Israil itu diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka
seperti apa yang dilakukan pemimpin pada rakyatnya. Bisa juga seperti kata-kata
yang artinya: Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara
tersebut. Sedangkan kata mashdar-nya yaitu siysah itu secara bahasa bermakna: yang
artinya bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut untuknya.
Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-siys maka fiqh siysah yang juga dikenal dengan nama siysah
syariyyah secara istilah memiliki berbagai arti:
1.
Menurut Imam al-Bujairim: Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara
memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan.

2.
Menurut Wuzrat al-Awqf wa al-Syun al-Islmiyyah bi al-Kuwait: Memperbagus kehidupan manusia
dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan mereka pada waktu sekarang dan
akan datang, serta mengatur permsalahan mereka.
3.
Menurut Imam Ibn bidn: Kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang
menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siysah berasal dari Nabi, baik secara khusus maupun secara
umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siysah berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya.
Sedangkan secara batin, siysah berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh Siysah yang saling
berhubungan secara timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang mengatur; 2. Pihak yang diatur. Melihat kedua unsur
tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siysah itu mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari
Wirjono Prodjodikoro bahwa:
Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siysah berbeda dengan politik. Menurut Ali Syariati seperti
yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh siysah (siysah syariyyah) tidak hanya menjalankan fungsi
pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama menjalankan fungsi pengarahan (`ishlh). Sebaliknya,
politik dalam arti yang murni hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan. [Ini juga dibuktikan
dengan definisi politik di dalam Penguin Encyclopedia:
Political Science: The academic discipline which describes and analyses the operations of government, the
state, and other political organizations, and any other factors which influence their behaviour, such as
economics. A major concern is to establish how power is exercised, and by whom, in resolving conflict within
society.
Ternyata, memang di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali tentang kemaslahatan
untuk rakyat atau masyarakat secara umum.
Oleh karena itu, politik yang didasari adat istiadat atau doktrin selain Islam, yang dikenal dengan siysah
wadliyyah itu bukanlah fiqh siysah, hanya saja selagi siysah wadliyyah itu tidak bertentangan dengan
prinsip Islam, maka ia tetap dapat diterima.[3][15]
B. Ruang Lingkup Fiqh Siysah
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siysah. Ada yang
membagi menjadi lima bidang. Ada yang membagi menjadi empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan ini
tidaklah terlalu prinsipil.
Menurut Imam al-Mward, seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh siysah-nya yaitu al-Ahkm alSulthniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup fiqh siysah adalah sebagai berikut:[4][16]
1.
Siysah Dustriyyah;
2.
Siysah Mliyyah;
3.
Siysah Qadl`iyyah;
4.
Siysah Harbiyyah;
5.
Siysah `Idriyyah.
Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-Siysah al-Syariyyah, ruang
lingkup fiqh siysah adalah sebagai berikut:[5][17]
1.
Siysah Qadl`iyyah;
2.
Siysah `Idriyyah;
3.
Siysah Mliyyah;
4.
Siysah Dauliyyah/Siysah Khrijiyyah.
Sementara Abd al-Wahhb Khalf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja, yaitu:[6][18]
1.
Siysah Qadl`iyyah;
2.
Siysah Dauliyyah;

3.
Siysah Mliyyah;
Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi ruang lingkup fiqh siysah menjadi
delapan bidang berserta penerangannya, yaitu:[7][19]
1.
Siysah Dustriyyah Syariyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan);
2.
Siysah Tasyriyyah Syariyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum);
3.
Siysah Qadl`iyyah Syariyyah (kebijaksanaan peradilan);
4.
Siysah Mliyyah Syariyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter);
5.
Siysah `Idriyyah Syariyyah (kebijaksanaan administrasi negara);
6.
Siysah Dauliyyah/Siysah Khrijiyyah Syariyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri atau
internasional);
7.
Siysah Tanfdziyyah Syariyyah (politik pelaksanaan undang-undang);
8.
Siysah Harbiyyah Syariyyah (politik peperangan).
Dari sekian uraian tentang, ruang lingkup fiqh siysah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian pokok.
Pertama (1): politik perundang-undangan (Siysah Dustriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang
penetapan hukum (Tasyriyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (Qadl`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan
administrasi pemerintahan (`Idriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.[8][20]
Kedua (2): politik luar negeri (Siysah Dauliyyah/Siysah Khrijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan
keperdataan antara warganegara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga negara. Di bagian
ini juga ada politik masalah peperangan (Siysah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar
diizinkan berperang, pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata.[9][21]
Ketiga (3): politik keuangan dan moneter (Siysah Mliyyah), yang antara lain membahas sumber-sumber
keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak
publik, pajak dan perbankan.[10][22]
Politik Rasulullah Saw di Mekkah
Masa kenabian merupakan masa yang awal dari sejarah Islam, dan semenjak Rasulullah memulai dakwahnya
sampai beliau wafat yang dinamakan masa itu dengan masa kenabian atau masa wahyu, mengingat ciri-ciri
yang membedakannya dari masa-masa yang lain, adalah masa yang ideal, yang di masa itulah puncak
berwujudnya keagungan Islam. Masa kenabian itu, terbagi kepada dua periode yang dipisahkan oleh hijrah.
Dalam pada itu tidak ada di antara kedua fase itu perbedaan yang tegas bahkan periode yang pertama, adalah
sebagai perintis jalan bagi yang kedua.
Di dalam periode yang pertama, timbulah benih masyarakat Islam dan dalam periode inilah ditetapkan dasardasar Islam yang pokok. Dalam periode yang kedua, disempurnakan pembentukan masyarakat Islam serta
dijelaskan sesuatu yang tadinya dikemukakan secara ringkas (global) dan disempurnakan perundang-undangan
dan tata aturan dengan melahirkan prinsip-prinsip baru, serta menerapkan prinsip-prinsip itu ke dalam
kenyataan. Dalam periode inilah nampak masyarakat Islam dalam bentuk kemasyarakatan sebagai satu kesatuan
yang bergerak menuju kepada satu tujuan.
Hijrah Rasulullah merupakan awal dari mulainya periode kedua dari masa kerasulan beliau. Biasanya disebut
dengan Al-Ahad al-Madani atau periode Madinah (Elwa, :19).
Secara umum politik Rasulullah Saw di Mekkah adalah sebagai berikut: Pertama, Mempusatkan gerakan Islam
pada satu tempat (Darul Arqam) agar aktivitas dan gerakan dapat berjalan dengan optimal tanpa mendapat
gangguan dari kelompok-kelompok lain (Quraisy). Kedua, melakukan hijrah ke Habsy dan Thaif demi
menyelamatkan para pengikut dari kekejaman dan penindasan kafir Quraisy, serta menjalin kerjasama dengan
pemimpin-pemimpin setempat untuk mendapatkan bala bantuan. Ketiga, mengadakan perjanjian dengan para
pemuda Yatsrib (Madinah) di Aqabah I dan II yang esensinya mereka mengakui Muhammad sebagai Nabi dan
Rasul Allah Swt yang ditugaskan untuk menyebarkan pesan-pesan ilahiyah kepada masyarakat.
Politik Rasulullah Saw di Madinah
Penduduk kota Yatsrib terdiri atas bangsa Arab dan Yahudi. Suku-suku arab terkemuka adalah Aus dan Khazraj
yang bermigrasi dari Arabia Selatan (Yaman) di samping suku Arab Pribumi. Sedangkan golongan Yahudi
mempunyai dua puluh suku yang menetap di wilayah itu dan sekitarnya. Seperti Taima, Khaibar, dan Fadak.
Mereka adalah Yahudi imigran yang terusir dari Palestina oleh Jenderal Titus dan Kerajaan Romawi Timur.
Dengan demikian, masyarakat Yahudi dari segi etnis bercorak majemuk. Begitu juga dari segi keyakinan dan
agama. Komunitas Yahudi beragama Yahudi, komunitas Arab terdiri atas penganut Paganisme (musyrik),

Yahudi dan Kristen minoritas dikalangan bangsa Arab. Heteroginitas bertambah kompleks setelah sebagian
orang Arab memeluk Islam (disebut kaum Anshar) dan Nabi Muhammad Saw bersama pengikutnya (Muhajirin)
berhijrah ke kota itu serta muncul pula golongan baru, yaitu golongan munafik yang sering berperilaku sebagai
provokator (Pulungan, 2001: 16).
Masyarakat yang bercorak pluralistik seperti Yastrib di atas menyebabkan setiap golongan memiliki cara
berfikir dan bertindak sendiri dalam mewujudkan kepentingannya menurut filosofi hidupnya yang dipengaruhi
oleh keyakinan, kultur, dan tuntutan situasi. Karakter manusia yang demikian menyebabkan mudah timbul
konflik. Karena masyarakat yang terdiri atas beberapa komunitas mempunyai perbedaan kepentingan yang
tajam dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya sehingga cenderung terjadi konflik dalam
mewujudkan kepentingan.
Nabi Muhammad Saw sangat memahami corak masyarakat Yatsrib yang mempunyai potensi timbulnya konflik.
Karena itu, Nabi Muhammad Saw mengadakan penataan dan pengendalian sosial untuk mengatur hubungan
antar golongan dalam kehidupan ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Untuk itu ia melakukan tiga langkah
politik. Pertama, membangun masjid yang berfungsi sebagai tempat beribadah, pusat pengajaran dan penyiaran
Islam, pembinaan akhlak dan kultur umat Islam dan sarana mempererat ikatan di antara sesama jamaah.
Berdirinya Masjid juga menjadi tonggak terbentuknya masyarakat Islam serta merupakan titik awal
pembangunan kota. Sebagai pemimpin masyarakat Nabi Muhammad sangat memperhatikan perkembangan dan
kemajuan perdagangan. Pembangunan jalan serta tempat khusus untuk mempermudah transaksi perdagangan.
Sehingga akhirnya Madinah tampil sebagai salah satu kota besar sekaligus pusat perdagangan di Jazirah Arabia
(Yatim, 2002: 119-120). Kedua, mewujudkan persaudaraan nyata dan efektif antara kaum Muhajirin dan
Anshar. Ketiga, ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah dengan cara membuat perjanjian tertulis yang
menekankan pada persatuan yang erat di antara kaum muslimin dan Yahudi serta sekutunya dalam kehidupan
sosial politik (Pulungan, 2001: 17-18).

Fungsi Hadis :
1) Mempertegas atau memperkuat hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an
(Bayan At-Taqrir)
2) Menjelaskan, menafsirkan, dan merinci ayat-ayat Al-Qur'an yang masih umum dan samar
(Bayan At-Tafsir)
3) Mewujudkan suatu hukum yang tidak tercantum dalam Al-Qur'an, namun pada prinsipnya
tidak bertentangan dengan Al-Qur'an (Bayan At-Tasyri)
PENGERTIAN SANAD, MATAN DAN RAWI
Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok hadits yang harus ada pada setiap hadist, antara keduanya
memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisakan. Suatu berita tentang rasulullah SAW (matan) tanpa
ditemukan rangkaian atau susunan sanadnya, yang demikian tidak dapat disebutkan hadits, sebaliknya suatu
susunan sanad, meskipun bersambung sampai rasul, jika tidak ada berita yang dibawanya, juga tidak bisa
disebut hadist.
Pembicaran dua istilah diatas, sebagai dua unsur pokok hadist, matan dan sanad diperlukan setelah rasul wafat.
Hal ini karna berkaitan dengan perlunya penelitian terhadap otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar
sumbernya dari rasul atau bukan.Upaya ini akan menentukan bagaimana kualitas hadits tersebut, yang akan
dijadikan dasar dalam penetapan syariat islam.
Dan untuk mengetahui lebih mendalam tentang apa itu unsur-unsur hadis dan kaitan lainya yang berhubungan
dengan unsur-unsur hadis seperti rawi, mukharijj dan sebagian lainya perlu kita pelajari
Atas pembicaraan diatas kami dari kelompok dua berkeinginan untuk membahas segala yang berkaitan dengan
unsu-unsur hadis, baik itu sanad,matan,rawi, mukharrij dan istilah-istilah kumpulan periwayat,gelar keahlian
bagi imam hadis.
B. PEGERTIAN SANAD, MATAN, RAWI, MUKHARIJ HADIS

1. Sanad hadits
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berati mutamad (sandaran/tempat
bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian karena, karena hadist itu
bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis,difinisi sanad iyalah : silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadis.
Silsilah orang maksudnya, ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadis tersebut,
sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainya merupakan
materi atau matan hadits. Dengan pegertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orangorang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.
2. Matan hadits
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafaamin al-aradhi(tanah yang meninggi).
Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa difinisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau
lafazh hadits itu sendiri. Pada salah satu definisi yang sangat sederhana misalnya, disebutkan bahwa matan ialah
ujung atau tujuan sanad . Dari definisi diatas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan)
silsilah sanad adalah matan hadits.
Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan :lafazh-lafazh hadits yang
didalamnya megandung makna makna tertentu.
Jadi dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah materi atau lafazh hadits
itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.
Penelitian sanad dan matan hadist
Penelitian terhadap sanad dan matan hadis(sebagai dua unsur pokok hadis)sangat diperlukan,bukan karena hadis
itu diragukan otentisitasnya.penelitian ini dilakukan untuk meyaring unsur-unsur luar yang masuk kedalam
hadis baik yang disegaja maupun yang tidak disegaja,baik yang sesuai dengan dalil-dalil naqli lainya atau tidak
sesuai.maka dengan penelitian terhadap kedua unsur hadis diatas, hadis-hadis masa rasul SAW dapat terhindar
dari segala yang megotorinya
Faktor yang paling utama perlunya dilakuakan penelitian ini, ada dua hal yaitu: pertama, karena beredarnya
hadis palsu (manudhu) pada kalangan masyarakat; kedua hadis-hadis tidak ditulis secara resmi pada masa rasul
SAW (berbeda dengan al-quran), sehinga penulisan hanya bersifat individul(tersebar di tangan pribadi sahabat )
dan tidak meyeluruh.
3. Rawi hadits
Kata rawi atau arawi, berati orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan hadis. Yang dimaksud dengan
rawi ialah orang yang merawikan/meriwayatkan, dan memindahkan hadits.
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiaptiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut para rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-tiap thabaqah-nya
merupakan sanad bagi yabaqah berikutnya.
Akan tetapi yang membedakan kedua istilah diatas ialah, jika dilihat dari dalam dua hal yaitu:
pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang-orang yang menerima hadits kemudian megumpulkanya dalam
suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan demikian perawi dapat disebutkan dengan mudawwin,
kemudian orang-orang yang menerima hadits dan hanya meyampaikan kepada orang lain, tanpa
membukukannya disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini dapat disebutkan bahwa setiap sanad adalah perawi
pada setiap tabaqagnya, tetapi tdak setiap perawi disebut sanad hadits karena ada perawi yang langsung
membekukanya.
Kedua: dalam penyebutan silsilah hadits, untuk susunan sanad, berbeda dengan peyebutan silsilah susunan rawi.
Pada silsilah sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang lasung meyampaikan hadits tersebut kepada
penerimanya. Sedangkan pada rawi yang disebut rawi pertama ialah para sahabat Rasul SAW. Dengan demikian
penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya rawi pertama sanad terakhir dan
sanad pertama adalah rawi terakhir.
Untuk lebih memperjelas uraian tentang sanad, matandan rawi di atas yang lebih lanjut pada hadits di bawah
ini.
Abubakar bin Abi Syaibah dan Abukarib telah menceritakan (hadits)kepada kami yang diterimanya dari alAmasy dari umara bin umair. Dari Abd ar-rahman bin yazi, dari Abdullah bin masud katanya :Rasulullah

SAW telah bersabda kepada kami : wahai sekalian pemuda barang siapa yang sudah mampu untuk melakukan
pernikaha, maka menikahlah, karena dengan menikah itu( lebih dapat) menjaga kehormatan . Akan tetapi
barang siapa yang belum mampu melakukannya, baginya hendaklah berpuasa. Karena dengan berpuasa itu
dapat menahan hasrat seksual(H.Ral-Bukhari dan muslim). Disini dapat kita jelaskan bahwa:
dari nama Abu Bakar bin abi syaibah sampai dengan Abdullah bin masud merupakan silsilah atau rangkaian
/susunan orang-orang yang meyampaikan hadits. Itu semua adalah sanad hadits tersebut, yang juga sebagai
jalan matan.
Dan mulai kata wahai sekalian pemuda sampai degan berpuasa dapat menahan hasrat seksual adalah matan,
materi atau lafaz hadits tersebut yang mengandung makna makna.
4. Takhrij hadits
Pegertian menurut bahasa
Kata takrhij dari kata kharaja,yakharruju,yang secara bahasa mempunyai bermacam-macam arti. Menurut
mahmud ath-tahhan,asal kata takhrij ialah;berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu persoalan.
Pegertian secara terminologi
Menurut Mahmud ath-tahhan pegertian takhrij sebagai beikut:
Petunjuk tentang tempat atau letak hadis pada sumber aslinya, yang diriwayatkan dengan meyebutkan
sanadnya, kemudian di jelaskan martabat atau kedudukanya manakala di perlukan.6)
Bedasarkan definisi diatas, maka men-takhrij berati melakukan dua hal:
Pertama, berusaha menemukan para penulis hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad-nya.kedua,
memberikan penilaian kulitas hadis apakah hadis tersebut itu shahih atau tida.
Ilmu thakrij merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan dikuasai, sebab di dalamnya
dibicarakan tentang berbagai kaidah untuk megetahui darimana sumber hadis itu berasal, selain itu didalamnya
ditemukan bayak kegunaan dan hasil yang diperoleh khusunya dalam menentukan kualitas sanad hadis
a. Gelar keahlian bagi imam hadits
Mengingat jasa dan usaha para ulama hadits yang sangat besar dalam upaya pembinaan dan pengembangan
hadits, kepada mereka diberikan laqab atau gelar-gelar tertentu, baik itu mereka yang ada pada thabaqah
pertama, kedua, ketika, dan seterusnya. Gelar itu antara lain ialah:
1. Al-muhaddits, merupakan gelar untuk ulama yang meguasai hadits, baik dari sudut ilmu riayah maupun di
rayah, mampu membedakan hadits dhaif dari yang sahih, meguasai hadits-hadits yang mukthalif dan hallain
yang berkaitan dengan ilmu hadis.
2. Amir al- muminin fi al- hadits,merupakan gelar bagi ulama ahli hadis termasyhur pada masanya, yang
memiliki keistimewaan hafalan dan pegetahuan dalam bidang ilmu hadits (baik terhadap matan atau sanadnya).
Gelar ini diberikan di antaranya kepada syubah bin al-hajjaj, sufyan ats-tsauri, ishak ibn ruhawaih, malik bin
anas, ahmad bin hanbal, al-bukhari, ad-daruquthni, az zahabi, dan ibn hajar al-asqalani.
3 .Al-hakim, merupakan gelar untuk ulama yang dapat meguasai seluruh hadits, baik dari sudut matan dan
sanadnya jarh dan tadil-nya, maupun tariknya, ulama yang dapat gelar seperti ini, ialah Ibnu Dinar, Al-laits,
dan Asy-syafii.
4. Al-Hujjah, merupakan gelar untuk ulama yang dapat menghafal sekitar 300.000 hadits beserta keadaan
sanadnya. Diantara ulama yang mendapat gelar ini Muhammad ibn Abdullah ibn Amir.
5. Al- Hafizh merupakan gelar untuk ulama yang memiliki sifat-sifat seorang Muhaddis. Ulama yang dapat
gelar Al-Hafizh adalah yang dapat menghafal dan menguasai 100.000 hadits, baik matan maupun sanadnya,
meskipun dengan jalan sanad yang berbilang, juga mengetahui hadits sahih dan ilmu haditsnya. Menurut AlMizzi, gelar al-hafizh ialah untuk ulama yang kadar lupanya sedikit daripada yang ingatannya.
Selain gelar Al-Hafizh, ada juga gelar Hafizh Hujjah,dua gelar disatukan. Gelar ganda ini diberikan untuk ulama
yang menguasai hadits lebih dari 100.000 sampai dengan 300.000 hadits.7
b.istilah-istilh kumpulan periwayat
Hadis-hadis yang diriwayatkan dan dihimpun oleh para mudawwin satu dengan yang lainya tidak sama ,
sehingga bisa jadi sesuatu hadis diriwayatkan oleh satu,dua,atau tiga perawi, bisa jadi pula hadis lainya hanya
diriwayatkan oleh satu perawi.berkaitan dengan ini, maka muncul istilah-istilah atau sebutan sebutan dalam
periwayatan hadis antara lain:
1.akhrajahu syaikhani: hadis tersebaut diriwayatkan oleh kedua perawi hadis (al-bukhari dan muslim)

2.akhrajahu shalasah: hadis tersebut diriwayatkan oleh tiga perawi hadis(abu daud,at-turmidzi, dan an nasai)
3.akhrajahu arbaatun: hadis tersebut diriwayatkan oleh empat perawi (abu daud,at-turmidzi,an-nasai, dan ibnmajah)
4.akhrajahu khamsatun: hadis tersebut diriwayatkan oleh (abu daud, at-turmidzi, an-nasai,ibn majah, dan
ahmad)
5.akhrajahu sittatun: hadis tersebut diriwayatkan oleh(al-bukhari,muslim,abu daud, at turmidzi, an nasai, dan
ibnu majah)
6.akhrajahu sabatun: hadis tersebut diriwayakan oleh(al-bukhari, muslim, abu-daud, at-turmidzi, an-nasai, ibn
majah, ahmad)
7.akhrajahu jamaatan: hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama hadist

Hadits Qudsi
Hadits Qudsi (Arab: ; Harkan kepada Tuhannya. Secara sederhana dikatakan hadits qudsi
adalah perkataan Nabi Muhammad, tentang wahyuTuhan yang diteriadits Qudsiy) salah satu
jenis hadits dimana perkataan Nabi Muhammad disandarkan kepada Allah atau dengan kata lain
Nabi Muhammad meriwayatkan perkataan Allah.[1]
Etimologi
Hadits ( ) Segala yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad, baik berupa ucapan, perbuatan,
persetujuan, atau karakter, kemudian Qudsi ( ) secara bahasa diambil dari kata quddus, yang
artinya suci. Disebut hadis qudsi, karena perkataan ini dinisbahkan kepada Allah, al-Quddus,
yang artinya Dzat Yang Maha Suci.
Secara istilah (terminologis) adalah sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Muhammad
yang disandmanya secara langsung, atau dengan perantaraan malaikat Jibril.
Perbedaan antara hadits qudsi dan al-Qur`an
Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, di antaranya adalah:
1. Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Subhanahu wa Taala sedangkan hadits
qudsi tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah namun lafazhnya berasal dari nabi.
2. Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan hadits qudsi tidak demikian.
3. Syarat validitas al-Qur`an adalah at-Tawtur (bersifat mutawatir) sedangkan hadts qudsi tidak
demikian.
4. Secara sederhana dapat dikatakan, hadits qudsi adalah wahyu Tuhan yang diterima Nabi
Muhammad secara langsung, TANPA perantaraan malaikat Jibril. Sehingga tidak ada
kata qul (katakanlah) diawal kalimat dan Allah membahasakan diri-Nya dengan sebutan AKU.
5. Sedangkan Al Qur'an adalah wahyu Tuhan yang diterima Nabi Muhammad lewat perantaraan
Malaikat Jibril. Sehingga Jibril membacakan wahyu dengan permulaan kataqul dan Jibril
membahasakan Tuhan dengan sebutan nama-Nya, Allah (dan Asmaul Husna lainnya).
6. Hadits qudsi memakai kalimat langsung (orang pertama/Aku), sedang Al Qur'an memakai
kalimat orang ketiga .
7. Hadits qudsi diturunkan secara "private" (khusus ) kepada Muhammad sebagai nabi,
sehinggga tidak disebarluaskan untuk umum, karena bersifat pribadi. Hanya beberapa
sahabat terpercaya saja yang menerimanya.

8. Sedangkan Al Qur'an diturunkan kepada Muhammad sebagai rosul, sehingga Nabi


Muhammad wajib menyebarluaskannya kepada umatnya dan seluruh umat manusia.
9. Demi kemurnian dan kesucian Al Qur'an, hadits qudsi dan Al Qur'an tidak disatukan dalam
satu mushaf. Hadits qudsi dibiarkan berdiri sendiri dan tidak pernah dibukukan (kodifikasi)
secara resmi.

Anda mungkin juga menyukai