Anda di halaman 1dari 15

M AK ALAH

APLIKASI LEAN SIX-SIGMA


PADA PT. SALIM IVOMAS PRATAMA-BITUNG

O L E H
Kelompok 1
Yustya Indriani

(2012310603)

Novika Safrilia A.

(2012310614)

Alwiyah Husen

(2012310615)

Rima Irmawati

(2011310426)

Sinta Dimas Surya

(2012310050)

Riska S.Jamalia

(2012310618)

Mata Kuliah Manajemen Biaya


Kelas F
Program Studi S1 Akuntansi

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas


Surabaya
2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas
ijin dari-Nya maka makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Adapun
makalah ini merupakan prasyarat dalam menempuh mata kuliah Manajemen Biaya di STIE
Perbanas Surabaya.
Di dalam makalah ini, dibahas mengenai Aplikasi Lean Six Sigma.Kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini, masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Sekian dan terima kasih.

Surabaya, November 2014

Kelompok 3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................2
BAGAIMANA TOYOTA MENJADI PERUSAHAAN MANUFAKTUR TERBAIK DUNIA............3
Keluarga Toyoda : Generasi-Generasi Kepemimpinan yang Konsisten............................................3
Perusahaan Otomotif Toyota.............................................................................................................5
Perkembangan Toyota Production System (TPS)..............................................................................8
One-Piece Flow, Sebuah Prinsip Inti.................................................................................................9
Menciptakan Sistem Manufaktur yang Mengubah Dunia................................................................10
Kesimpulan.....................................................................................................................................13

BAGAIMANA TOYOTA MENJADI PERUSAHAAN


MANUFAKTUR TERBAIK DUNIA
Cerita Tentang Keluarga Toyoda dan Toyota Production System

Hasil yang paling nyata dari upaya Toyota mencari keunggulan adalah filosofi
manufaktur yang disebut Toyota Production System (TPS). TPS merupakan evolusi besar
dalam proses bisnis yang efisien setelah system produksi masal yang diciptakan oleh Henry
Ford, dan telah didokumentasikan, dianalisis, dan diekspor ke perusahaan-perusahaan di
berbagai industry di seluruh dunia.
Walaupun sekarang memiliki lebih dari 240.000 karyawan di seluruh dunia, dalam
banyak hal Toyota masih merupakan sebuah bisnis keluarga besar yang masih sangat
dipengaruhi oleh keluarga pendiri Toyoda.

Keluarga Toyoda : Generasi-Generasi Kepemimpinan yang Konsisten


Ceritanya dimulai dengan Sakichi Toyoda, seorang tukang dan penemu, tidak
ubahnya Henry Ford, yang dibesarkan di akhir tahun 1800-an di sebuah desa yang terpencil
di luar Nagoya. Pada saat itu, pemintalan adalah industry utama dan pemerintah Jepang
berkeinginan untuk meningkatkan pengembangan usaha kecil, dengan mendorong
pembentukan industry-industri rumah tangga diseluruh Jepang. Toko-toko kecil dan
penggilingan kecil yang mempekerjakan beberapa orang saja merupakan hal yang umum.
Para ibu rumah tangga menghasilkan sedikit uang tambahan dengan bekerja di toko-toko
tersebut atau di rumah. Sebagai anak laki-laki, Toyoda belajar perkayuan dari ayahnya, dan
pada akhirnya menerapkan keahlian tersebut untuk merancang dan membuat mesin tenun dari
kayu. Pada tahun 1894, ia mulai membuat alat tenun manual yang lebih murah tetapi lebih
baik dari alat tenun yang sudah ada.
Toyoda merasa senang dengan alat tenun buatannya, tapi hatinya terusik karena
ibunya, neneknya, dan teman-teman mereka masih harus bekerja sangat keras memutar dan
menenun. Dia ingin menemukan cara agar mereka terbebas dari kerja keras tersebut, jadi dia
mulai mengembangkan alat tenun kayu yang dijalankan oleh mesin.

Pada masa itu, penem harus melakukan semua hal sendiri. Tidak ada departemen riset
dan pengembangan agar pekerjaan dapat didelegasikan. Ketika Toyoda pertama kali
mengembangkan mesin tenun, tidak terdapat sumber tenaga untuk menjalankan mesin tenun
tersebut, sehingga dia memusatkan perhatiannya pada masalah pembangkitan tenaga. Mesin
uap merupakan jenis sumber tenaga yang paling umum, jadi dia membeli sebuah mesin uap
bekas dan bereksperimen untuk menjalankan mesin tenun dengan menggunakan sumber
tenaga ini. Dia berusaha mencari tahu bagaimana melakukan hal tersebut dengan cara
mencoba-coba dan melakukan semuanya sendirisuatu pendekatan yang akan menjadi
bagian fondasi Toyota Way, genchi genbutsu. Pada tahun 1926, dia mendirikan Toyoda
Automatic Loom Works, induk Toyota Group dan masih merupakan inti konglomerat Toyota
(atau keiretsu) sampai saat ini.
Upaya Toyoda untuk terus-menerus mencoba, memperbaiki, dan menemukan sesuatu
yang baru, pada akhirnya menghasilkan mesin tenun otomatis canggih yang menjadi sama
terkenalnya dengan permata Mikimoto dan biola Suzuki (Toyoda, 1987). Di antara
penemuannya adalah mekanisme khusus untuk secara otomatis menghentikan alat tenun
ketika ada benang yang putussebuah penemuan yang berevolusi menjadi sebuah system
yang lebih luas yang menjadi salah satu dari dua pular Toyota Production System, yang
disebut jidoka (otomasi dengan sentuhan manusia). Pada intinya, jidoka berarti menciptakan
kualitas pada saat Anda memproses bahan baku atau pencegahan kesalahan. Hal ini juga
memungkinkan untuk merancang operasi dan peralatan sedemikian, sehingga pekerja tidak
terikat pada mesin dan bebas melakukan pekerjaan lain yang memberi nilai tambah.
Selama hidupnya, Sakichi Toyoda adalah insinyur hebat dan kemudian dianggap
sebagai Raja Penemu Jepang. Namun kontribusinya yang lebih luas terhadap
pengembangan Toyota berasal dari filosofi dan pendekatannya terhadap pekerjaan, yang
didasarkan pada semangat peningkatan berkesinambungan. Menariknya, filosofi ini dan pada
akhirnya Toyota Way, sangat dipengaruhi oleh sebuah buku yang dibaca oleh Sakichi karya
Samuel Smiles dengan judul Self-Help (Smiles, 2002). Buku ini pertama kali terbit di Inggris
pada 1859. Buku ini memngkhotbakan kebaikan-kebaikan kerja keras, hidup hemat, dan
perbaikan diri, dan dibumbui dengan cerita-cerita tentang para penemu hebat seperti James
Watt, yang membantu mengembangkan mesin uap. Buku tersebut sangat memberi inspirasi
kepada Sakichi Toyoda sehingga satu kopi buku tersebut dipamerkan di museum yang
didirikan di tempat kelahirannya.

Ketika membaca buku Samuel Smiles itu, Anda dapat melihat bagaimana
pengaruhnya terhadap Toyoda. Pertama, inspirasi Smiles untuk menulis buku tersebut hanya
untuk berbagi apa yang dia ketahui kepada orang lain. Buku ini berasal dari usahanya untuk
membantu kaum muda yang mengalami kesulitan ekonomi dan ingin memusatkan perhatian
mereka untuk mengembangkan diri mereka sendiritujuan Smiles bukanlah untuk mencari
uang. Kedua, buku tersebut menjelaskan secara runtut cerita mengenai para penemu yang
berkat dorongan alami dan rasa ingin tahunya berhasil mendapatkan penemuan-penemuan
hebat yang mengubah hidup manusia. Sebagai contoh, Smiles menyimpulkan bahwa
keberhasilan dan damak yang muncul dari penemuan James Watt bukan disebabkan bakat
alamnya, tapi dicapai melalui kerja keras, kegigihan, dan disiplin. Hal tersebut merupakan
ciri-ciri yang ditunjukkan oleh Sakichi Toyoda ketika membuat mesin tenun bertenaga uap.
Ada banyak contoh di sepanjang buku Smiles mengenai manajemen berdasarkan fakta dan
pentingnya bagi orang untuk memberi perhatian secara aktifsuatu ciri khas pendekatan
Toyota terhadap pemecahan masalah yang didasarkan pada genchi genbutsu.

Perusahaan Otomotif Toyota


Mesin tenun buatan Toyoda yang Bebas kesalahan menjadi model yang paling
popular dan pada tahun 1929 dia mengirimkan putranya, Kichiro ke Inggris untuk
merungdingkan penjualan hak patennya dengan Platt Brothers, produsen utama
peralatan tenun. Anaknya menegosiasikan harga 100.000 pound Inggris, dan pada
tahun 1930 dia menggunakan modal tesebut untuk mulai membangun Toyota Motor
Corporation (Fujimoto, 1999).
Ironisnya, pendiri Toyota Motor Company, Kiichiro Toyoda adalah anak laki-laki
yang lemah dan sering sakir, yang menurut banyak orang tidak memiliki kapasitas fisik untuk
menjadi seorang pemimpin. Namun ayahnya membantah hal itu dan Kiichiro Toyoda pun
bekerja keras. Ketika Sakichi Toyoda memberi tugas anaknya untuk membangun bisnis
mobil, hal itu tidak ditunjukkan untuk meningkatkan keuangan keluarga. Dia dapat saja
dengan mudah mewariskan bisnis alat tenun keluarga kepada anaknya. Tidak diragukan lagi
Sakichi Toyoda sangat sadar bahwa dunia tengah berubah dan mesin tenun bertenaga uap
akan menjadi teknologi masa lalu sementara mobil akan menjadi teknologi masa depan.
Namun lebih dari itu, dia telah meninggalkan sesuatu di dunia industry melalui pembuatan

mesin tenunnya dan ingin anaknya memiliki kesempatan yang sama dalam berkontribusi ke
dunia. Dia menjelaskan kepada Kiichiro:
Setiap orang harus menangani beberapa proyek besar setidaknya satu kali dalam
hidupnya. Saya mendedikasikan sebagian besar dari hidup saya untuk menciptakan
berbagai jenis alat tenun baru. Sekarang giliranmu. Kamu harus berupaya untuk
menyelesaikan sesuatu yang akan bermanfaat bagi masyarakat. (Reingold, 1999)
Ayah Kiichiro mengirimnya ke Tokyo Imperial University yang bergengsi untuk
belajar teknik mesin; dia berfokus pada teknologi mesin. Dia memperoleh banyak
pengetahuan mengenai cara pengecoran dan pemrosesan komponen logam dari Toyoda
Automatic Loom Works. Walaupun pendidikan formalnya di bidang teknik, dia mengikuti
jejak ayahnya dengan belajar sambil melakukan. Shoichiro Toyoda, anaknya,
mendeskripsikan Kiichiro Toyoda sebagai seorang insinyur tulen yang :
..memikirkan dengan sungguh-sungguh suatu permasalahan dan tidak bergantung
pada intuisi. Dia selalu suka mengumpulkan fakta. Sebelum memutuskan untuk
membuat mesin mobil, dia membuat sebuah mesin kecil. Blok silinder adalah benda
yang paling sulit untuk dicor, sehingga ia mempunyai banyak pengalaman di bidang
tersebut, dan dengan rasa percaya diri, dia terus maju. (Reingold, 1999)
Pendekatannya dalam belajar dan mencipta serupa dengan yang dilakukan ayahnya.
Setelah Perang Dunia II, Kiichiro Toyoda menulis, Saya akan mengubur segala harapan
akan kemampuan kami untuk membangun kembali industry Jepang, jika insinyur kami
adalah orang-orang yang dapat duduk makan tanpa pernah mencuci tangan terlebih dahulu.
Dia membangun Toyota Automotive Company berdasarkan filosofi dan pendekatan
manajemen ayahnya, tapi dia menambahkan inovasinya sendiri. Sebagai contoh, sementara
Sakichi Toyoda adalah penemu jidoka yang nantinya menjadi salah satu pilar Toyota
Production System, Just-In-Time adalah kontribusi Kiichiro Toyoda. Idenya dipengaruhi dari
perjalanan studinya ke pabrik Ford di Michigan untuk melihat industry mobil dan juga
melihat system supermarket AS yang menggantikan barang-barang di rak segera setelah
pelanggannya membeli. Visinya merupakan akar system kanban, yang dibuat berdasarkan
model system supermarket. Tanpa memandang rendah pencapainan tersebut, tindakannya
sebagai seorang pemimpinlah, sama seperti yang dilakukan oleh ayahnya, yang
meninggalkan jejak terbesar pada Toyota.

Dalam perjalanannya mebangun perusahaan mobil, Perang Dunia II terjadi, Jepang


kalah, dan pemenang Amerika dapat saja mengehentikan produksi mobil. Kiichiro Toyoda
sangat khawatir bahwa penduduk Amerika setelah perang dapat menutup perusahaannya.
Sebaliknya, Amerika menyadari kebutuhan akan truk untuk membangun kembali Jepang dan
bahkan membatuk Toyota untuk mulai memproduksi truk kembali.
Ketika ekonomi bangkit kembali di bawah pendudukan Amerika, Toyota tidak
memperoleh kesulitan dalam memperoleh pesanan mobil, tapi inflasi yang tinggi telah
membuat uang menjadi tidak berharga dan sangat sulit mendapatkan pembayaran dari
pelanggan. Arus kas menjadi sangat memberatkan sehingga pada satu saat di tahun 1948,
hutang Toyota delapan kali lebih besar dari nilai total perusahaannya (Reingold, 1999). Agar
tidak bangkrut, Toyota mengadopsi kebijakan biaya yang ketat, termasuk pemotongan gaji
secara sukarela bagi para manajer dan pemotongan sebesar 10 persen dari gaji semua
karyawan. Hal tersebut merupakan hasil dari negosiasi dengan para karyawan sebagai ganti
dari pemutusan hubungan kerja, untuk mempertahankan kebijakan Kiichiro Toyoda yang
tidak menyetujui pemberhentian karyawan. Akhirnya, bahkan pemotongan gaji tersebut tidak
mencukupi. Keadaan ini memaksanya untuk meminta 1.600 pekerja pension secara
sukarela. Akibatnya produksi berhenti dan para pekerja beremonstrasi, yang saat itu umum
terjadi di seluruh Jepang.
Setiap hari selalu ada perusahaan yang bangkrut. Yang sering didengar adalah CEO
berusaha mempertahankan paket opsi sahamnya atas perusahaan atau mungkin menjual
perusahaan setelah memecah-mecah aktiva berharga yang masih tersisa. Orang selalu
menyalahkan orang lain jika perusahaan mereka gagal. Kiichiro Toyoda mengambil
pendekatan yang berbeda. Dia menerima tanggung jawab atas kegagalan perusahaan mobil
tersebut dan memundurkan diri dari kedudukannya sebagai presiden direktur, walaupun pada
kenyataannya masalah itu berada di luar kendali siapa pun. Pengorbanan pribadinya
membantu meredakan ketidakpuasan para pekerja. Makin banyak pekerja yang secara
sukarela meninggalkan perusahaan dan ketenangan di kalangan para pekerja pulih kembali.
Akan tetapi pengorbanan pribadinya yang besar itu

memiliki dampak yang mendasar

terhadap Toyota. Setiap orang di Toyota tahu apa yang telah dilakukannya dan mengapa dia
melakukannya. Filosofi Toyota hingga hari ini adalah berpikir melampaui kepentingan
pribadi demi kepentingan jangka panjang perusahaan, selain menerima tanggung jawab atas
permasalahan. Kiichiro Toyoda memberikan contoh yang berada di luar logika sebagian besar
dari kita.
7

Anggota keluarga Toyoda dibesarkan dengan filosofi yang serupa. Mereka semua
belajar untuk turun tangan secara langsung, belajar mengenai semangat berinovasi, dan
memahami nilai perusahaan dalam berkontribusi terhadap masyarakat. Setelah Kiichiro
Toyoda, salah satu pemimpin keluarga Toyoda yang membentuk perusahaan adalah Eiji
Toyoda. Ketika dia lulus, sepupunya Kiichiro, memberinya tugas untuk membangun, yang
harus dilakukannya sendiri, sebuah labolatorium penelitian di sebuah hotel mobil di
Shibaura (Toyoda, 1987).
Hotel mobil yang dimaksud oleh Kiichiro adalah sebuah tempat yang menyerupai
garasi tempat parker yang luas. Pada awalnya, dia bekerja sendiri selama beberapa waktu dan
memerlukan waktu satu tahun untuk akhirnya membangun sebuah kelompok yang terdiri dari
10 orang. Tugas pertamanya adalah untuk meneliti mesin pemrosesan, yang sama sekali tidak
diketahuinya. Di waktu luangnya, dia akan mengevaluasi perusahaan-perusahaan yang dapat
membuat suku cadang untuk Toyota.
Ketika tantangan muncul, jawabannya adalah untuk mencoba berbagai hal untuk
belajar sambil melakukannya. Dengan system keyakinan dan nilai-nilai seperti ini, tidak
dapat dibayangkan menyerahkan perusahaan kepada putra, sepupu, atau keponakan yang
tidak mau tangan mereka kotor dan benar-benar mencintai bisnis mobil. Nilai-nilai
perusahaan ini membentuk cara mengembangkan dan memilih setiap generasi pemimpin.
Sekarang Toyota Way telah disebarkan tidak saja kepada para pemimpin di
Jepangtetapi juga kepada mitra kerja Toyota di seluruh dunia. Toyota selalu memikirkan
suatu cara untuk mengajarkan dan memperkuat system nilai yang mendorong para pendiri
perusahaan untuk turun langsung, untuk benar-benar berinovasi dan berpikir secara
mendalam mengenai masalah berdasarkan fakta-fakta yang nyata.

Perkembangan Toyota Production System (TPS)


Toyota Motor Corporation berjuang selama tahun 1930-an, terutama dalam
pembuatan truk-truk sederhana. Pada awalnya, perusahaan ini memproduksi kendaraan yang
berkualitas rendah dengan teknologi primitive dan hanya sedikit sukses. Pada tahun 1930-an,
para pemimpin Toyota mengunjungi Ford dan GM untuk mempelajari jalur perakitan mereka
dan membaca buku Henry Ford, Today and Tomorrow (1926). Sebelum PD II, Toyota

menyadari bahwa pasar Jepang terlalu kecil dan permintaan terlalu terbagi-bagi umtuk
mendukung volume produksi yang besar seperti yang dilakukan di AS. Para manajer Toyota
sadar bahwa jika mereka ingin perusahaannya dapat bertahan dalam jangka panjang mereka
harus menyesuaikan pendekatan produksi missal pada kondisi pasar Jepang.
Setelah Perang Dunia II, di tahun 1950 Toyota telah memiliki bisnis otomotif yang
sedang menanjak. System produksi massal Ford dirancang untuk membuat sejumlah model
yang terbatas dalam kuantitas yang sangat besar. Sebaliknya, Toyota perlu untuk
memproduksi berbagai jenis model dalam volume kecil, dengan menggunakan jalur perakitan
yang sama, karena permintaan konsumen di pasar kendaraan mereka terlalu rendah unutk
dapat menggunakan satu jalur perakitan hanya untuk satu jenis kendaraan. Dengan sumber
daya dan modal terbatas, Toyota perlu memutar uang dengan cepat. Toyota tidak memiliki
kemewahan untuk berlindung di balik volume tinggi dan skala ekonomi yang dimungkinkan
oleh system produksi missal Ford. Diperlukan penyesuaian proses manufaktur Ford untuk
mencapai secara simultan kualitas yang tinggi, biaya yang rendah, lead time yang singkat dan
flesibiltas

One-Piece Flow, Sebuah Prinsip Inti


Ketika Eiji Toyoda dan para manajer melakukan perjalanan study selama 12 minggu
ke pabrik-pabrik AS pada tahun 1950, mereka berharap akan merasa kagum dengan
kemajuan manufaktur mereka. Tetapi system produksi tersebut memiliki banyak kekurangan
yaitu, banyak peralatan membuat produk dalam jumlah besar yang disimpan sebagai
persediaan, hanya untuk kemudian dipindahkan ke departemen lain, yang akan diproses oleh
peralatan besar,dan seterusnya hingga ke langkah-langkah selanjutnya. Mereka melihat
bagaimana proses yang terputus-putus ini dikarenakan volume yang tinggi, dan interupsi
diantara langkah-langkah ini telah menyebabkan material dalam jumlah besar tertahan
sebagai persedian dan menunggu. Mereka melihat biaya tinggi dari peralatan dan apa yang
disebut sebagai efisiensi dalam mengurangi biaya per unit ,dengan membat para pekerja terus
sibuk agar peralatan tersebut terus bekerja.
Untungnya bagi Ohno,penugasan dari Eiji Toyoda untuk mengejar produktivitas
ford bukan berarti perusahaan harus bersaing langsung dengan ford. Dia hanya berfokus

dalam meningkatkan manufaktur Toyoda untuk pasar jepang yang terlindungimeskipun


demikian masih merupakan sebuah penugasan yang menakutkan.
Sebuah kunci keberhasilan dariproduksi massal adalah perkembangan dari mesin
pemrosesan yang presisi dan komponen yang dapat ditukar pasangkan (Womack, Jones,
Roos, 1991). Dengn menggunakan prinsip gerakan manajemen ilmiah yang dipelopori
Frederick Taylor, Ford juga sangat bergantung pada study tentang waktu (time studies), tugas
pekerja yang sangat terspesialisasi, dan pemisahan antara perencanaan yang dilakukan oleh
para insinyur dan pelaksanaan yang dilakukan oleh para pekerja.

Menciptakan Sistem Manufaktur yang Mengubah Dunia


Ohno tidak dapat mengimplementasikan system ERP atau menggunakan internet
untuk membuat informasi bergerak dengan kecepatan cahaya. Namun dia dibekali dengan
pengetahuannya mengenai lantai pabrik, para insinyur, manajer dan pekerja yang berdedikasi,
yang memberikan segalanya untuk membantu perusahaan agar berhasil. Dengan ini dia
banyak melakukan perjalanan lansung ke pabrik-pabrik Toyota yang hanya sedikit
jumlahnya, menetapkan prinsip jidoka dan one-piece flow.
Sejalan dengan pelajaran yang diambil Henry Ford, TPS meminjamkan banyak ide
dari AS. Salah satu ide yang penting adalah konsep dari system tarik, yang dialami oleh
supermarket-supermarket di AS.
JIT adalah serangkaian prinsip, alat, dan teknik yang memungkinkan perusahaan
memproduksi dan mengirim produk dalam kuantitas kecil, dengan lead time yang singkat,
untuk memenuhi keinginan pelanggan yang spesifik. Secara sederhana dapat dikatakan JIT
menyediakan barang yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam jumlah yang tepat.
Kekurangan JIT adalah ia memungkinkan anda untuk menjadi responsive terhadap perubahan
permintaan pelanggan dari hari ke hari, tepat seperti apa yang diperlukan oleh Toyota.
Toyota juga mendalami ajaran pelopor kualitas Amerika W. Edwards Deming. Dia
memberikan seminar produktivitas dan kualitas di Jepang, dan mengajarkan bahwa dalam
system bisnis pada umumnya, memenuhi dan melampaui tuntutan pelanggan merupakan
tugas setiap orang dalam sebuah organisasi. Dan dia secara dramatis memperluas definisi
pelanggan dengan memasukkan pelanggan internal dan eksternal. Setiap orang atau

10

langkah dalam suatu jalur produksi atau proses bisnis diperlakukan sebagai pelanggan dan
dipasok dengan apa yang benar-benar diperlukannya, tepat pada waktu yang diperlukan. Ini
adalah asal-usul prinsip Deming, proses berikutnya adalah pelanggan. Istilah bangsa
Jepang untuk hal ini, atokotei wa o- kyakusama, menjadi ungkapan yang paling signifikan di
JIT, karena dalam system Tarik hal tersebur berarti proses yang sebelumnya harus selalu
melakukan apa yang dikatakan oleh proses yang berikutnya. Jika tidak, JIT tidak akan
berjalan.
Deming juga mendorong orang-orang Jepang untuk mengadopsi sebuah pendekatan
sistematis dalam pemecahan masalah yang kemudian dikenal sebagai Deming Cycle atau
Plan-Do-Check-Act (PDCA) Cycle, dasar peningkatan berkesinambungan. Istilah Jepang
untuk pengingkatan berkesinambungan adalah kaizeny, dan merupakan proses membuat
perbaikan kecil-kecil, seberapa pun kecilnya, dan mencapai tujuan lean untuk menghilangkan
semua pemborosan yang menambah biaya tanpa menambah nilai. Kaizen mengajarkan
keterampilan kepada setiap orang untuk bekerja secara efektif dalam kelompok-kelompok
kecil, memecahkan masalah, mendokumentasikan dan meningkatkan proses, mengumpulkan
dan menganalisis data, dan memanajemeni diri sendiri dalam sebuah kelompok. Ia
mendorong pengambilan keputusan (atau penyampaian usulan) sampai ke tingkat para
pekerja, dan menuntut pembahasan secara terbuka dan consensus dalam kelompok sebelum
mengimplementasikan

keputusan.

Kaizen

adalah

filosofi

total

yang

mendorong

kesempurnaan dan mempertahankan TPS dalam kehidupan sehari-hari.


Sekembalinya Ohno dan timnya dari lantai pabrik dengan suatu system manufaktur
yang baru, system tersebut bukan hanya ditunjukkan untuk satu perusahaan dengan pasar
tertentu dan budaya tertentu. Apa yang mereka ciptakan adalah sebuah paradigm baru dalam
manufaktur atau pemberian jasa-suatu cara baru untuk melihat, memahami, dan
menerjemahkan apa yang terjadi dalam proses produksi, yang dapat mendorong mereka jauh
melampaui system produksi masal.
Pada tahun 1960-an, TPS menjadi filosofi yang kuat yang dapat dipelajari untuk
digunakan oleh semua jenis bisnis dan proses, tapi hal tersebut memerlukan waktu. Toyota
mengambil langkah pertama untuk menyebarluaskan Lean dengan secara sungguh-sungguh
mengajarkan prinsip TPS kepada para pemasoknya. Hal ini memindahkan pabrik manufaktur
lean yang terisolasi menjadi sebuah perusahaan lean total yang luas-ketika semua orang yang
berada dalam supply chain mempraktikkan prinsip-prinsip TPS yang sama. Model bisnis

11

yang sangat kuat! Namun kekuatan TPS sebagian besar tidak diketahui oleh perusahaan lain
di luar Toyota dan para pemasoknya hingga krisis minyak pada tahun 1973 yang
menyebabkan dunia mengalami resesi global, dan Jepang merupakan salah satu Negara yang
paling terpukul. Industri Jepang sedang terjun bebas dan satu-satunya yang dapat dilakukan
adalah bertahan hidup. Namun pemerintah Jepang mulai menyadari ketika Toyota keluar dari
bahaya dan kembali memperoleh prfitabilitas lebih cepat dari perusahaan-perusahaan yang
lain. Pemerintah Jepang mengambil inisiatif untuk meluncurkan seminar mengenai TPS,
walaupun disadari bahwa hal tersebut hanya merupakan sebagian kecil dari apa yang
membuat Toyota sukses.
Pada awal tahun 1980-an, jika Anda mnegunjungi Jepang, ketika Anda keluar dari
Toyota City dan kelompok afiliasi Toyota lainnya untuk kemudian memasuki perusahaan
Jepang yang lain, akan tampak bahwa penerapan prinsip TPS dengan cepat berkurang dan
melemah. Masih perlu sementara waktu sebelum dunia dapat memahami Toyota Way dan
paradigm manufaktur baru ini.
Sebagian dari masalah terjadi karena produksi massal setelah Perang Dunia II
berfokus pada biaya, biaya, dan biaya. Buatlah mesin yang lebih besar dan melalui skala
ekonomi turunkan biaya. Lakukan otomatisasi untuk menggantikan orang jika hal tersebut
dapat menghemat biaya. Pemikiran seperti ini menguasai dunia manufaktur hingga tahun
1980-an. Kemudian dunia bisnis memperoleh pemahaman mengenai kualitas dari Deming,
Joseph Juran, Kaoru Ishikawa, dan para ahli kualitas lainnya. Dunia bisnis belajar bahwa
memfokuskan diri pada kualitas sebenarnya akan mengurangi biaya lebih besar daripada jika
kita hanya memfokuskan diri pada biaya saja. Terakhir, pada tahun 1990-an, melalui
pekerjaan dari MITs Auto Industry Program dan buku laris berdasarkan penelitiannya, The
Machine That Changed the World (Womack, Jones, Roos, 1991), komunitas dunia
manufaktur menemukan lean productionistilah penulis untuk apa yang telah dipelajari
Toyota selama beberapa dasawarsa yang lalu dengan memusatkan perhatian pada supply
chain : mempersingkat lead time dengan menghilangkan pemborosan pada setiap langkah
dalam satu proses, mengarah pada kualitas terbaik dan biaya yang terendah, sementara
dalam waktu yang sama meningkatkan keselamatan kerja dan semangat kerja.

12

Kesimpulan
Toyota dimulai dengan nilai-nilai dan keinginan ideal dari keluarga Toyoda. Untuk
memahami Toyota Way kita harus mulai dengan keluarga Toyoda. Mereka adalah innovator,
mereka orang pragmatis yang idealis, mereka belajar sambil mengerjakan, dan selalu percaya
pada misinya untuk menyumbangkan sesuatu bagi masyarakat. Mereka tidak kenal lelah
dalam mencapai tujuan mereka. Yang terpenting adalah mereka memimpin dengan memberi
contoh.
TPS berevolusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh Toyota selama
perusahaan tumbuh. Ia berevolusi ketika Taiichi Ohno dan sejawatnya marancang prinsipprinsip ini agar dapat diterapkan di lantai pabrik dengan cara coba-coba selama bertahuntahun. Ketika kit memotretnya pada satu titik, kita dapat mendeskripsikan karakter teknis dan
prestasi TPS. Namun cara Toyota mengembangkan TPS, tantangan yang telah dihadapinya,
dan pendekatan yang telah diambilnya untuk memecahkan masalah benar-benar merupakan
refleksi Toyota Way. Dokumen internal Toyota Way yang dibuat oleh Toyota sendiri
membahas mengenai semangat menghadapi tantangan dan menyambut tanggung jawab
untuk mengatasi tantangan tersebut. Dokumen tersebut menyatakan :
Kami menyambut tantangan dengan semangat kreatif dan keberanian untuk
merealisasikan mimpi kamu tanpa kehilangan semangat atau tenaga. Kami
melakukan pekerjaan kami dengan penuh semangat, dengan optimism, dan keyakinan
yang tulus mengenai nilai dari kontribusi kami.
Dan selanjutnya :
Kami berusaha keras memutuskan nasib kami sendiri. Kami bertindak secara
mandiri, percaya pada kemampuan kami sendiri. Kami menerima tanggung jawab
atas tindakan kami dan untuk mempertahankan dan meningkatkan keterampilan yang
membuat kami mampu menciptakan nilai tambah.
Kata-kata yang penuh kekuatan ini mendeskripsikan dengan baik apa yang dicapai
oleh Ohno dan timnya. Keluar dari kemelut Perang Dunia II, mereka menerima tantangan
yang tampaknya tidak mungkinmenyamai produktivitas Ford. Ohno menerima tantangan
tersebut dan, dengan semangat kreatif dan keberanian, memecahkan masalah demi masalah
dan menciptakan sebuah system produksi baru. Dia dan timnya melakukannya sendiri dan

13

tidak meminta bantuan dari pemerintah Jepang atau pihak lainnya. Proses yang sama ini telah
dimainkan secara berulang kali sepanjang sejarah Toyota.
Secara umum, kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut.
1. Hasil yang paling dilihat adalah dari filosofi manufaktur yang disebut TPS (Toyota
Production System);
2. Perusahaan Toyota adalah generasi kepemimpinan yang konsisten;
3. Pada tahun 1929 awal dibuka usaha membuat mesin tenun buatan Toyoda. Lalu
mengirimkan puteranya Kichihiro ke Inggris untuk merundingkan penjualan hak
patennya dengan Platt Brathers;
4. Pada tahun 1930 dia menggunakan modal untuk memulai membangun Toyota Motor
Corporation;
5. Dalam perjalanan kerja keras anak dari Toyoda memulai produksi mobil; dan
6. Dalam perjalanan membangun mobil, terjadi Perang Dunia II dan Jepang Kalah. Tapi
Amerika menyadari kebutuhan akan truk dari buatan Toyota dan Toyota memproduksi
kembali.
Anggota keluarga Toyoda dibesarkan dengan filosofi yang serupa, mereka semua
belajar untuk turun tangan secara langsung. Mereka semua memiliki visi untuk menciptakan
sebuah perusahaan yang istimewa dengan masa depan yang panjang. Sekarang Toyota Way
telah disebarluaskan tidak saja kepada para pemimpin di Jepang tetapi juga pada mitra kerja
Toyota di seluruh dunia. Toyota selalu mengajarkan dan memperkuat system untuk benarbenar berinovasi dan berpikir secara mendalam mengenai masalah berdasarkan fakta-fakta
yang nyata.

14

Anda mungkin juga menyukai