TINJAUAN PUSTAKA
Batasan di atas menunjukan bahwa garis batas nyata wilayah pesisir tidak ada.
Batasan wilayah pesisir hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh
kondisi dan situasi setempat (Supriharyono, 2000). Terdapat kesepakatan umum di
dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan
laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastalline), maka suatu wilayah pesisir
memiliki dua kategori batas (bounda-ries), yaitu : batas yang sejajar garis pantai
(longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore). Dimana,
untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir dan laut
yang sejajar dengan garis pantai relatif muda (Bengen, 2002). Dahuri dkk. (1996)
dan Braown (1997) dalam Dahuri (1998) mengemukakan hal yang sama bahwa
wilayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan
dan lautan yang saling berinteraksi dan membentuk suatu kondisi lingkungan
yang unik (Dahuri dkk, 1996; Braown, 1997 dalam Dahuri, 1998).
penuh
untuk
mengeluarkan
atau
menolak
izin
kegiatan
pembangunan. Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas
wilayah pengaturan (regulation zone), maka akan menjadi tanggung jawab
bersama antara instansi pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan
instansi/lembaga yang mengelola daerah hulu atau laut lepas (Dahuri dkk, 1996).
Wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling padat dihuni oleh manusia serta
tempat berlangsungnya berbagai macam kegiatan pembangunan. Konsentrasi
kehidupan manusia dan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah pesisir
tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu merupakan
kawasan yang paling produktif di bumi, menyediakan kemudahan bagi berbagai
kegiatan dan memiliki pesona yang menarik bagi objek pariwisata (Dahuri, 1998).
Selain itu, wilayah pesisir juga memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan
3
manusia yaitu menyediakan jasa-jasa pendukung kehidupan, jasa kenyamanan,
penyedia sumberdaya dan penerima limbah (Ortolano, 1984 dalam Dahuri, 1996).
Sumberdaya alam yang berada di kawasan pesisir terdiri dari sumberdaya alam
yang dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat
pulih (unrenewable resources). Sumberdaya yang dapat pulih, antara lain meliputi
sumberdaya perikanan (plankton, ikan, moluska, krustasea, ekhinodermata,
mamalia laut), rumput laut, padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang
sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih antara lain mencakup minyak dan
gas, biji besi, pasir, timah, bauksit dan mineral, serta bahan tambang lainnya
(Dahuri dkk, 1996).
Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan
(ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir yang ada secara
terus menerus tergenang air dan ada pula yang hanya sesaat. Berdasarkan sifat
4
ekosistem, maka ekosistem dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade). Ekosistem alamiah seperti terumbu karang, hutan mangrove, padang
lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, estuaria, laguna, delta dan lain-lain
sedangkan ekosistem buatan seperti tambak, sawah pasang-surut, kawasan
pariwisata, kawasan industri, dan kawasan pemukiman (Dahuri dkk, 1996).
5
Struktur dari wilayah nodal ini digambarkan sebagai suatu sel hidup atau suatu
atom, dimana terdapat inti dan plasma (periferi) yang saling melengkapi.
3. Wilayah perencanaan didefenisikan sebagai wilayah yang memperlihatkan
koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi, dengan ciri-cirinya,
sebagai berikut : (a) memiliki kemampuan yang cukup besar untuk mengambil
keputusan-keputusan investasi yang berskala ekonomi, (b) mampu mengubah
industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada, (c) struktur ekonomi yang
homogen, (d) satu titik pertumbuhan (growth point), (e) menggunakan suatu
cara pendekatan perencanaan pembangunan, (f) masyarakatnya mempunyai
kesadaran bersama terhadap persoalan-persoalannya. Wilayah perencanaan
juga bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi saja, namun ada juga dari
aspek ekologis, dan
4. Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan
berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti
Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa/Kelurahan, dan RT/RW.
Disamping itu juga dari konsep wilayah, maka wilayah pesisir dan lautan bisa
termasuk ke dalam keempat jenis wilayah tersebut diatas. Sebagai wilayah
homogen, wilayah pesisir merupakan wilayah yang memproduksi sumberdaya
hayati laut seperti ikan, tetapi bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat
pendapatan penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Pada bagian lain, untuk
wilayah nodal, maka wilayah pesisir sering sebagai wilayah yang terkebelakang
atau wilayah belakang, sedangkan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan
seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang (backyard), yang
6
merupakan tempat pembuangan limbah, sedangkan sebagai wilayah perencanaan,
batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologis. Sehubungan
dengan wilayah pesisir sebagai wilayah administrasi, maka wilayah pesisir dapat
berupa wilayah adminstrasi yang relatif kecil, yaitu Kecamatan atau Desa,
Kabupaten atau Kota, pada Kabupaten/Kota yang berupa pulau kecil
(Budiharsono, 2001).
Konflik dapat didefinisikan sebagai interaksi yang tidak kompatibel antara dua
sistem atau lebih. Menurut J. Rais dan Wiryawan. B (2008), sumber-sumber
konflik dalam pemanfaatan ruang antara lain :
Faktor pertumbuhan penduduk yang tidak merata di Indonesia
1. Enam puluh dua persen (62%) penduduk hidup di atas 7%
lahan daratan.
2. Enam puluh persen (60%) penduduk hidup di ruang pesisir.
7
Pertentangan antara hukum adat yang tak tertulis dan hukum
perdata yang positif atas bidang lahan.
Bidang
lahan
yang
dipakai
tidak
jelas
batas-batas
geografisnya.
Ketiadaan peta dasar skala besar yang up-to-date.
Menurut Moore (1986); Sinurat (2000) dalam Ariadi (2003), konflik dapat
terjadi karena ada lima pemicu utama, yaitu (1) konflik hubungan (relation
conflict), (2) konflik data (data conflict), (3) konflik nilai (value conflict), (4)
konflik kepentingan (interest conflict), dan (5) konflik struktural (structural
conflict). Konflik hubungan mengacu pada konsep bahwa konflik terjadi
karena adanya hubungan disharmonis yang disebabkan oleh beberapa faktor
seperti salah paham, tidak
stereotypes. Konflik
bersangkutan
adanya
tentang
perihal
dan
yang
yang
diperkarakan,
keadaan dimana
secara
struktural
atau
suatu
keadaan di luar
8
kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan
status kekuatan, otoritas, klas, atau kondisi fisik yang berimbang.
Rudyanto (2004) mengatakan bahwa dalam jangka panjang, pelaksanaan Comanagement ini diyakini akan memberikan perubahan-perubahan ke arah yang
lebih baik yaitu:
10
a. Kerjasama Lintas Sektor
Pada kawasan pesisir, tidak hanya sektor perikanan yang berperan besar. Sektorsekor lainnya juga memiliki peranan besar karena saling terkait untuk dapat
memecahkan permasalahan yang ada. Misalnya berkaitan dengan perekonomian
masyarakat pesisir, sektor industri dan jasa menjadi sektor yang memiliki
kontribusi besar dalam pengembangan usaha produktif masyarakat. Berkaitan
dengan kelestarian lingkungan, juga tidak lepas dari peran serta dan keterlibatan
sektor industri, dimana biasanya limbah industri dibuang ke perairan.
Infrastruktur pendukung juga menjadi hal penting untuk dapat mengembangkan
wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan. Untuk itu, kerjasama lintas sektor
perlu diperhatikan karena masing-masing sektor memiliki kepentingannya sendirisendiri. Masing-masing sektor harus saling mendukung. Peran pemerintah daerah
dalam hal ini sangat besar agar terjadi sinergi yang baik dalam pengembangan
setiap sektor, sehingga tidak ada yang saling merugikan. (Rudyanto, 2004).
11
sumberdaya lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah harus disosialisasikan
secara luas dan benar kepada masyarakat nelayan agar mereka memiliki cara
pandang yang sama (Rudyanto, 2004).
12
industri, pemukiman, perhubungan dan sebagainya. Dalam perencanaan dan
pengelolaan semacam ini, maka aspek "cross-sectoral
atau cross-regional
a. Keterpaduan Wilayah/Ekologis
Secara keruangan dan ekologis, wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan
atas (daratan) dan laut lepas. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir
merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan
kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak terlepas dari
13
pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai
dampak lingkungan yang mengenai kawasan pesisir dan laut adalah akibat dari
dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan
atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan
sebagainya, demikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti
kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut (Hartomo, 2004).
b. Keterpaduan Sektor
Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di kawasan
pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan
yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Akibatnya, sering
kali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut antar satu
sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan
pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka dalam
14
perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral.
Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan
kegiatan sektor lain.
horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh
karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan di kawasan pesisir
sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan
kegiatan pembangunan lainnya (Hartomo, 2004).
d. Keterpaduan Stakeholder
Segenap keterpaduan yang telah diuraikan di atas, akan berhasil diterapkan
apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di
15
kawasan pesisir dan laut (Stakeholder). Seperti diketahui bahwa pelaku
pembangunan dan pengelola sumberdaya alam wilayah pesisir antara lain
terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan
juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masing-masing memiliki
kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir.
Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus mampu mengakomodir
segenap kepentingan pelaku pembangunan sumberdaya pesisir dan laut. Oleh
karena itu, perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan
pendekatan dua arah, yaitu pendekatan "top down" dan pendekatan "bottom up
(Hartomo, 2004).
16
Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan
pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan
sasarannya. Keterpaduan ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi
diantara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi
pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan
salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional (Hartomo, 2004).