Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Wilayah Pesisir dan Potensinya


Wilayah pesisir adalah suatu daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah
darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan yang kering maupun yang terendam
air namun masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut
dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut,wilayah pesisir meliputi bagian
lautan yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia
di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Supriharyono, 2000).

Batasan di atas menunjukan bahwa garis batas nyata wilayah pesisir tidak ada.
Batasan wilayah pesisir hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh
kondisi dan situasi setempat (Supriharyono, 2000). Terdapat kesepakatan umum di
dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan
laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastalline), maka suatu wilayah pesisir
memiliki dua kategori batas (bounda-ries), yaitu : batas yang sejajar garis pantai
(longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore). Dimana,
untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir dan laut
yang sejajar dengan garis pantai relatif muda (Bengen, 2002). Dahuri dkk. (1996)
dan Braown (1997) dalam Dahuri (1998) mengemukakan hal yang sama bahwa
wilayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan
dan lautan yang saling berinteraksi dan membentuk suatu kondisi lingkungan
yang unik (Dahuri dkk, 1996; Braown, 1997 dalam Dahuri, 1998).

Dahuri dkk. (1996) mengemukakan bahwa untuk kepentingan pengelolaan, maka


batas ke arah darat suatu wilayah pesisir ditetapkan dalam dua macam, yaitu
wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan
(regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management). Batas
wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan dimana terdapat
kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata
terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas
wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan.

Dalam day-to-day management, pemerintah atau pihak pengelola memiliki


kewenangan

penuh

untuk

mengeluarkan

atau

menolak

izin

kegiatan

pembangunan. Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas
wilayah pengaturan (regulation zone), maka akan menjadi tanggung jawab
bersama antara instansi pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan
instansi/lembaga yang mengelola daerah hulu atau laut lepas (Dahuri dkk, 1996).

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling padat dihuni oleh manusia serta
tempat berlangsungnya berbagai macam kegiatan pembangunan. Konsentrasi
kehidupan manusia dan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah pesisir
tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu merupakan
kawasan yang paling produktif di bumi, menyediakan kemudahan bagi berbagai
kegiatan dan memiliki pesona yang menarik bagi objek pariwisata (Dahuri, 1998).
Selain itu, wilayah pesisir juga memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan

3
manusia yaitu menyediakan jasa-jasa pendukung kehidupan, jasa kenyamanan,
penyedia sumberdaya dan penerima limbah (Ortolano, 1984 dalam Dahuri, 1996).

Sumberdaya alam yang berada di kawasan pesisir terdiri dari sumberdaya alam
yang dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat
pulih (unrenewable resources). Sumberdaya yang dapat pulih, antara lain meliputi
sumberdaya perikanan (plankton, ikan, moluska, krustasea, ekhinodermata,
mamalia laut), rumput laut, padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang
sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih antara lain mencakup minyak dan
gas, biji besi, pasir, timah, bauksit dan mineral, serta bahan tambang lainnya
(Dahuri dkk, 1996).

Sumberdaya alam pesisir yang merupakan suatu himpunan integral dari


komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik), mutlak dibutuhkan
oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen
hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling
berinteraksi membentuk suatu sistem, yang dikenal dengan ekosistem. Apabila
terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan
mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur
fungsional maupun dalam keseimbangannya (Bengen, 2000).

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan
(ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir yang ada secara
terus menerus tergenang air dan ada pula yang hanya sesaat. Berdasarkan sifat

4
ekosistem, maka ekosistem dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (manmade). Ekosistem alamiah seperti terumbu karang, hutan mangrove, padang
lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, estuaria, laguna, delta dan lain-lain
sedangkan ekosistem buatan seperti tambak, sawah pasang-surut, kawasan
pariwisata, kawasan industri, dan kawasan pemukiman (Dahuri dkk, 1996).

2.2. Konsep Ruang dan Wilayah


Ruang merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan wilayah. Konsep
ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk, dan (4)
ukuran. Konsep ruang itu sendiri sangat berkaitan erat dengan waktu, karena
pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan
ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun
unit tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001).

Budiharsono (2001) mendefenisikan wilayah sebagai suatu unit geografis yang


dibatasi oleh kriteria tertentu, yang bagian-bagiannya tergantung secara internal.
Wilayah itu sendiri dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu :
1. Wilayah homogen, adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria
mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama.
2. Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara fungsional
mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya
(hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat terlihat dari arus penduduk,
faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi.

5
Struktur dari wilayah nodal ini digambarkan sebagai suatu sel hidup atau suatu
atom, dimana terdapat inti dan plasma (periferi) yang saling melengkapi.
3. Wilayah perencanaan didefenisikan sebagai wilayah yang memperlihatkan
koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi, dengan ciri-cirinya,
sebagai berikut : (a) memiliki kemampuan yang cukup besar untuk mengambil
keputusan-keputusan investasi yang berskala ekonomi, (b) mampu mengubah
industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada, (c) struktur ekonomi yang
homogen, (d) satu titik pertumbuhan (growth point), (e) menggunakan suatu
cara pendekatan perencanaan pembangunan, (f) masyarakatnya mempunyai
kesadaran bersama terhadap persoalan-persoalannya. Wilayah perencanaan
juga bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi saja, namun ada juga dari
aspek ekologis, dan
4. Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan
berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti
Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa/Kelurahan, dan RT/RW.

Disamping itu juga dari konsep wilayah, maka wilayah pesisir dan lautan bisa
termasuk ke dalam keempat jenis wilayah tersebut diatas. Sebagai wilayah
homogen, wilayah pesisir merupakan wilayah yang memproduksi sumberdaya
hayati laut seperti ikan, tetapi bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat
pendapatan penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Pada bagian lain, untuk
wilayah nodal, maka wilayah pesisir sering sebagai wilayah yang terkebelakang
atau wilayah belakang, sedangkan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan
seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang (backyard), yang

6
merupakan tempat pembuangan limbah, sedangkan sebagai wilayah perencanaan,
batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologis. Sehubungan
dengan wilayah pesisir sebagai wilayah administrasi, maka wilayah pesisir dapat
berupa wilayah adminstrasi yang relatif kecil, yaitu Kecamatan atau Desa,
Kabupaten atau Kota, pada Kabupaten/Kota yang berupa pulau kecil
(Budiharsono, 2001).

2.3. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan


Meningkatnya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam di
wilayah pesisir dan lautan, akan mendorong terjadinya konflik pemanfaatan dan
konflik pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Konflik tersebut didominasi
oleh isu-isu dan hak kepemilikan suatu jenis sumberdaya di kawasan tertentu.
(Budiono, 2005)

Konflik dapat didefinisikan sebagai interaksi yang tidak kompatibel antara dua
sistem atau lebih. Menurut J. Rais dan Wiryawan. B (2008), sumber-sumber
konflik dalam pemanfaatan ruang antara lain :
Faktor pertumbuhan penduduk yang tidak merata di Indonesia
1. Enam puluh dua persen (62%) penduduk hidup di atas 7%
lahan daratan.
2. Enam puluh persen (60%) penduduk hidup di ruang pesisir.

Faktor kegiatan ekonomi.

7
Pertentangan antara hukum adat yang tak tertulis dan hukum
perdata yang positif atas bidang lahan.
Bidang

lahan

yang

dipakai

tidak

jelas

batas-batas

geografisnya.
Ketiadaan peta dasar skala besar yang up-to-date.

Menurut Moore (1986); Sinurat (2000) dalam Ariadi (2003), konflik dapat
terjadi karena ada lima pemicu utama, yaitu (1) konflik hubungan (relation
conflict), (2) konflik data (data conflict), (3) konflik nilai (value conflict), (4)
konflik kepentingan (interest conflict), dan (5) konflik struktural (structural
conflict). Konflik hubungan mengacu pada konsep bahwa konflik terjadi
karena adanya hubungan disharmonis yang disebabkan oleh beberapa faktor
seperti salah paham, tidak
stereotypes. Konflik
bersangkutan

adanya

data, yaitu suatu

komunikasi, perilaku emosional


keadaan dimana pihak-pihak

tidak mempunyai data dan informasi

tentang

perihal

dan
yang
yang

dipertentangkan, yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. Konflik


nilai adalah suatu kondisi dimana pihak-pihak yang berurusan mempunyai
nilai-nilai yang berbeda yang melandasi tingkah lakunya masing-masing dan
tidak diakui kebenarannya oleh pihak yang lain. Konflik nilai ini termasuk caracara penyelesaian permasalahan yang ditempuh, agama, dan ideologi. Konflik
kepentingan adalah pertentangan mengenai substansi atau pokok permasalahan
yang
adalah

diperkarakan,

kepentingan prosedur dan psikologis. Konflik struktural

keadaan dimana

secara

struktural

atau

suatu

keadaan di luar

8
kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan
status kekuatan, otoritas, klas, atau kondisi fisik yang berimbang.

2.4. Kerjasama Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Laut


Menurut Rudyanto (2004), untuk mengatasi berbagai permasalahan dan isu-isu
yang mucul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dibutuhkan suatu
model pengelolaan yang kolaboratif, yang memadukan antara unsur masyarakat
pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dan lain-lain) dan pemerintah
yang dikenal dengan Co-management, yang menghindari peran dominan yang
berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
sehingga pembiasan aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi. Melalui model
ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dilaksanakan dengan menyatukan
lembaga-lembaga terkait, terutama masyarakat dan pemerintah serta stakeholder
lainnya dalam setiap proses pengelolaan sumberdaya, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan. Pembagian tanggung jawab dan
wewenang antar stakehoder dapat terjadi dalam berbagai pola, tergantung
kemampuan dan kesiapan sumberdaya manusia dan institusi yang ada di masingmasing daerah. Susunan dalam model pengelolaan ini bukan sebuah struktur legal
yang statis terhdap hak dan aturan, melainkan sebuah proses yang dinamis dalam
menciptakan sebuah struktur lembaga yang baru.

Rudyanto (2004) mengatakan bahwa dalam jangka panjang, pelaksanaan Comanagement ini diyakini akan memberikan perubahan-perubahan ke arah yang
lebih baik yaitu:

Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir


dan laut dalam menunjang kehidupan.

Meningkatkan kemampuanmasyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam


setiap tahapan pengelolaan secara terpadu.

Meningkatkan pendapatan masyarakat dengan bentuk-bentuk pemanfaatan


yang lestari dan berkelanjutan, serta berwawasan lingkungan.

Selanjutnya Rudyanto (2004) mengatakan bahwa keberhasilan pengelolaan


dengan model

Co-management ini sangat dipengaruhi oleh kemauan

pemerintah untuk mendesentralisasikan tanggung jawab dan wewenang daalm


pengelolaan kepada nelayan dan stakeholder lainnya. Oleh karena Comanagement membutuhkan dukungan secara legal maupun finansial seperti
formulasi kebijakan yang mendukung ke arah Co-management, mengijinkan
dan mendukung nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengelola dan melakukan
restrukturisasi peran para pelaku pengelolaan perikanan. Pengelolaan Comanagement menggabungkan antara pengelolaan sumberdaya yang sentralistis,
yang selama ini banyak dilakukan oleh pemerintah (government based
management) dengan pengelolaan sumberdaya yang berbasis masyarakat
(community based management). Hirarki tertinggi berada pada tataran hubungan
saling kerjasama (cooperation), baru kemudian pada hubungan consultative
dan advisory. Hubungan kerjasama yang dilakukan dapat mencakup kerjasama
antar sektor, antar wilayah, serta antar aktor yang terlibat.

10
a. Kerjasama Lintas Sektor
Pada kawasan pesisir, tidak hanya sektor perikanan yang berperan besar. Sektorsekor lainnya juga memiliki peranan besar karena saling terkait untuk dapat
memecahkan permasalahan yang ada. Misalnya berkaitan dengan perekonomian
masyarakat pesisir, sektor industri dan jasa menjadi sektor yang memiliki
kontribusi besar dalam pengembangan usaha produktif masyarakat. Berkaitan
dengan kelestarian lingkungan, juga tidak lepas dari peran serta dan keterlibatan
sektor industri, dimana biasanya limbah industri dibuang ke perairan.
Infrastruktur pendukung juga menjadi hal penting untuk dapat mengembangkan
wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan. Untuk itu, kerjasama lintas sektor
perlu diperhatikan karena masing-masing sektor memiliki kepentingannya sendirisendiri. Masing-masing sektor harus saling mendukung. Peran pemerintah daerah
dalam hal ini sangat besar agar terjadi sinergi yang baik dalam pengembangan
setiap sektor, sehingga tidak ada yang saling merugikan. (Rudyanto, 2004).

b. Kerjasama Antar wilayah


Kawasan pesisir pada dasarnya tidak dapat dibatasi secara administratif. Terkait
dengan hal ini, maka wilayah yang termasuk dalam suatu kawasan (adanya
homogenitas, baik secara ekologis maupun ekonomis) harus saling bekerjasama
untuk meminimalisir konflik kepentingan. Kerjasama antar wilayah dapat
digalang melalui pembentukan forum kerjasama atau forum komunikasi antar
pemerintah daerah yang memiliki kawasan pesisir dan laut untuk mengantisipasi
sejak dini timbulnya perkembangan terburuk seperti konflik antar nelayan.
Kesepakatan dan penetapan norma-norma kolektif tentang pemanfaatan

11
sumberdaya lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah harus disosialisasikan
secara luas dan benar kepada masyarakat nelayan agar mereka memiliki cara
pandang yang sama (Rudyanto, 2004).

c. Kerjasama Antar Aktor (stakeholders)


Upaya pengurangan kesenjangan sektoral dan daerah jelas memerlukan strategi
khusus bagi penanganan secara komprehensif dan berkesinambungan. Untuk itu,
diperlukan adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk menjembatani persoalan
kemiskinan dan kesenjangan sektoral dan daerah tersebut, melalui mekanisme
kerjasama antar aktor (stakehokders) yang melibatkan unsur-unsur masyarakat
(kelompok nelayan), pihak swasta/pengusaha perikanan (Private Sector), dan
pemerintah (Government). Upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan
sektoral serta daerah tersebut yang berintikan suatu paradigma baru, dimana
inisiatif pembangunan daerah tidak lagi digulirkan dari pusat, tetapi merupakan
inisiatif lokal (daerah) untuk memutuskan langkah-langkah yang terbaik dalam
mengimplementasikan rencana pengelolaan kawasan dan rencana aksi yang sesuai
dengan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki (Rudyanto, 2004).

2.5. Keterpaduan Pengelolaan


Berdasarkan keterkaitan sektor, maka model pengelolaan sumberdaya pesisir
dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu pengelolaan sektoral dan pengelolaan secara
terpadu. Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada
dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem untuk
memenuhi tujuan tertentu (sectoral), seperti perikanan, pariwisata, pertambangan,

12
industri, pemukiman, perhubungan dan sebagainya. Dalam perencanaan dan
pengelolaan semacam ini, maka aspek "cross-sectoral

atau cross-regional

impacts seringkali terabaiakan. Akibatnya, model perencanaan dan pengelolaan


sektoral ini menimbulkan berbagai dampak yang dapat merusak lingkungan dan
juga akan mematikan sektor lain (Hartomo, 2004).

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian


bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir, serta laut
dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment),
merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola
segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan
berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu
dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomis-budaya dan
aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders), serta konflik
kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada. Keterpaduan perencanaan dan
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu ini mencakup 4 (empat) aspek, yaitu
(1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektor; (3) keterpaduan disiplin
ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholder (Hartomo, 2004).

a. Keterpaduan Wilayah/Ekologis
Secara keruangan dan ekologis, wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan
atas (daratan) dan laut lepas. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir
merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan
kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak terlepas dari

13
pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai
dampak lingkungan yang mengenai kawasan pesisir dan laut adalah akibat dari
dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan
atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan
sebagainya, demikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti
kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut (Hartomo, 2004).

Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh industri dan limbah rumah


tangga, sedimentasi akibat erosi dari kegiatan perkebunan dan kehutanan, serta
limbah pertanian tidak dapat hanya dilakukan di kawasan pesisir saja, melainkan
harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan di
wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut, serta Daerah
Aliran Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan.
Pengelolaan yang baik di wilayah pesisir akan hancur dalam sekejap jika tidak
diimbangi dengan perencanaan DAS yang baik pula. Keterkaitan antar ekosistem
yang ada di wilayah pesisir harus selalu diperhatikan (Hartomo, 2004).

b. Keterpaduan Sektor
Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di kawasan
pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan
yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Akibatnya, sering
kali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut antar satu
sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan
pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka dalam

14
perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral.
Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan
kegiatan sektor lain.

Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara

horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh
karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan di kawasan pesisir
sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan
kegiatan pembangunan lainnya (Hartomo, 2004).

c. Keterpaduan Displin llmu


Wilayah pesisir dan laut memiliki sifat dan karakteristik yang unik, baik sifat dan
karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik sosial budaya
masyarakat pesisir. Dengan demikian, dalam mengkaji wilayah pesisir dan laut
tidak hanya diperlukan satu disiplin ilmu saja, tetapi dibutuhkan berbagai disiplin
ilmu yang menunjang sesuai dengan karakteristik pesisir dan lautan tersebut.
Dengan sistem dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu
khusus pula seperti hidrooseanografi, dinamika oseanografi dan sebagainya.
Selain itu, kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara
umum, keterpaduan disiplin ilmudalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
adalah ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi
(Hartomo, 2004).

d. Keterpaduan Stakeholder
Segenap keterpaduan yang telah diuraikan di atas, akan berhasil diterapkan
apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di

15
kawasan pesisir dan laut (Stakeholder). Seperti diketahui bahwa pelaku
pembangunan dan pengelola sumberdaya alam wilayah pesisir antara lain
terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan
juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masing-masing memiliki
kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir.
Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus mampu mengakomodir
segenap kepentingan pelaku pembangunan sumberdaya pesisir dan laut. Oleh
karena itu, perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan
pendekatan dua arah, yaitu pendekatan "top down" dan pendekatan "bottom up
(Hartomo, 2004).

Keterpaduan merupakan aspek yang sangat esensial dalam sistem pengelolaan


sumberdaya pesisir dan laut, yang tidak hanya menjamin kecocokan secara
internal antara kebijakan dan program aksi, antara proyek dan program, tetapi
juga menjamin keterkaitan antara perencanaan dan pelaksanaan. Berdasarkan
jenis keterpaduan dapat dibedakan atas tiga jenis keterpaduan, yaitu keterpaduan
sistem, keterpaduan fungsi dan keterpaduan kebijakan (Hartomo, 2004).

Keterpaduan sistem memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal


sistem sumberdaya pesisir dalam persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola
pemanfaatan sumberdaya dan penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini
menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi,
sosial dan ekonomi ditangani secara cukup (Hartomo, 2004).

16
Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan
pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan
sasarannya. Keterpaduan ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi
diantara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi
pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan
salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional (Hartomo, 2004).

Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program


pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan
daerah, serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir adalah mengintegrasikan
program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam rencana pembangunan
ekonomi nasional dan daerah. Namun demikian, kebijakan dan strategi
penyuluhan pesisir harus dapat merupakan perubahan yang terjadi di wilayah
pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional (Hartomo,
2004).

Anda mungkin juga menyukai