Askep Jiwa - Napza

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 17

BAB1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan NAPZA semakin banyak dibicarakan baik di kota besar
maupun kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia. Peredaran NAPZA
sudah sangat menghawatirkan sehingga cepat atau lambat penyalahgunaan
NAPZA akan menghancurkan generasi bangsa atau disebut dengan lost
generation (Joewana, 2005).
Walaupun terdapat suatu rentang dari penggunaan obat biasa atau alkohol sampai
pada penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan serta ketergantungan, tetapi
tidak semua orang yang menggunakan zat akan menjadi tergantung.
Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan zat secara terus-menerus bahkan
sampai setelah terjadi masalah.
Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor
keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang
perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya; faktor
lingkungan lebih pada kurang positifnya sikap masyarakat terhadap masalah
tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2003)
Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan
penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin
banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan
ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan
ketergantngan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi
sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan
NAPZA (DepKes, 2001)
Tujuan
Tujuan Umum
Perawat dapat melakukan asuhan keperawatan klien NAPZA
Tujuan Khusus
a) Perawat dapat mengetahui pengertian klien penyalahgunaan NAPZA
b) Perawat dapat mengetahui proses terjadinya masalah klien NAPZA
c) Perawat dapat mengetahui rentang respons gangguan penggunaan NAPZA

BAB 2
TINJAUAN TEORI
A.Pengertian Penyalahgunaan Zat
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai
terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering
dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial
yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena
kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk
memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan
tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).

B.Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA


Rentang respons gangguan penggunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang
ringan sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan
oleh pengguna NAPZA.

Respon adaptif

Eksperimental
Rekreasional
Ketergantungan

Respon maladaptif

Situasional

Penyalahgunaan

Eksperimental: kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu
dari remaja. Sesuai kebutuhan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya
ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional: penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul denga teman
sebayanya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun.
Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-temannya.
Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan
bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan

diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat
pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi.
Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai
digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan
perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikana, dan
pekerjaan.
Ketergantungan: penggunaan zat yang cukup berat, telah terjadi ketergantungan
fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan
sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat
adiktif secara rutin pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan
atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan
macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari
individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan
yang biasa diinginkannya.

C.Jenis-Jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi dalam beberapa golongan yaitu:
1.NARKOTIKA
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintesis maupun semisintesis yang
dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang
rasa atau nyeridan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungan akan
zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti
ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain.
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
a) Narkotika alami, yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai
narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi, dan proses lainnya
terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses
sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk
terapi pengobatan secara langsung karena terlalu beresiko. Contohnya:
ganja dan daun koka.
b) Narkotika sintesis, yaitu jenis narkotika yang memerlukan proses yang
bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang
rasa sakit/analgesik. Contohnya: amfetamin, metadon,
dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.
Narkotika sintesis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:
1) Depresan : membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.

2) Stimulan : membuat pemakan bersemangat dalam beraktivitas kerja


dan merasa badan lebih segar.
3) Halusinogen : dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang
mengubah perasaan serta pikiran.
c) Narkotika semi sintesis, yaitu obat /zat yang diproduksi dengan cara
isolasi, ekstraksi, dan sebagainya seperti heroin, morfi, kodein, dan lainlain.
2.PSIKOTROPIKA
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah
zat atau obat, baik sintesis maupun semi sintesis yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika
(Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat saraf menjadi sangat
aktif karena merangsang saraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan
adalah amphetamine, ekstasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine
sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan
lainnya adlah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga
perasaan dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan
benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan
rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis
bila digunakan dalam waktu lama.
3.ZAT ADIKTIF LAINNYA
Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, da biologi dalam bentuk tunggal
maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara
langsung dan tidak langsung yang mempunya sifat karsinogenik, teratogenik,
mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang
bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikotropika, tetapi mempunyai pengaruh
dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk., 1999)
Contohnya: minuman keras (minuman beralkohol), nikotin, votaile, dan solvent.
D.Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1985) mengemukakan ada beberapa faktor
yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor internal dan
faktor eksternal:
1. Faktor Internal
a. Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih
cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu
biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah.
Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh
ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah
cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi.
Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat

b.

c.

d.

e.

berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan


masalah dengan cara melarikan diri.
Intelegensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang
untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya
berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya.
Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja
menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang
membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi;
sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat
penenang.
Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri.
Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu
atau ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman
sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama.
Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk
menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba
dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada
permasalahan yang ada.

2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab
seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim
UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun
1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota
keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami
ketergantungan narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari
pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan
ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak).
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya
penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik.
Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan
anak, maupun antar saudara.
4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran
orang tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus
menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat
istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri
tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan
ketidaksetujuannya.
5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut
anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang
harus dicapai dalam banyak hal.

6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan


dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering
berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
b. Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu
cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi
seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat
lebih banyak dalam delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat
dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut memiliki dampak yang
berarti kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan,
yang kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan
psikologis.
c. Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat
disebut sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang
sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan obatobatan ini mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa
melaporkan bahwa para penjual narkotika menjual barang
dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk di Sekolah Dasar.
Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin memperkuat
keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi
pecandu.
E. Tanda dan Gejala
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga
sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat
yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat
berbeda pada jenis zat yang berbeda.

Tabel 3. Perbandingan konsentrasi alkohol darah (BAC) dengan manifestasi


perilaku intoksikasi
BAC (mg/ml)
Perilaku
Sampai 0,1%
Bicara keras, penurunan kendali diri, tampak bodoh
0,1-0,2%
Bicara memaki, perasaan mudah terpengaruh, langkah
tidak stabil, koordinasi menurun, perhatian menurun,
kerusakan ingatan.
0,2-0,3%
Ataksia, tremor, mudah tersinggung, stupor
>0,3%
Tidak sadar

F.Dampak Penyalahgunaan NAPZA


Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan NAPZA mempunyai
dampak yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah
(pendidikan), serta masyarakat, bangsa, dan negara.
1. Bagi diri sendiri.
Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan
perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang
dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak,
kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan,
menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.
Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai
narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis: 1) Upper yaitu jenis
narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan
amfetamin, 2) Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat
orang yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang
menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan 3)
Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya
dibandingkan dengan kegunaan medis.
2. Bagi keluarga
Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman
dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu
karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan
anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran
yang meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus
berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun
lembaga pemasyarakatan.
3. Bagi pendidikan atau sekolah
NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses
belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku
asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang
sekolah dan meningkatnya perkelahian.
4. Bagi masyarakat, bangsa, dan negara
Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba
dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang
sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak

memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya


negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan
meningkat serta sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi
masalah tersebut.
G. Penanggulangan Masalah NAPZA
Penanggulangan masalah NAPZA dapat dilakukan mulai dari pencegahan,
pengobatan, sampai pemulihan (rehabilitasi).
1) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a) Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA
b) Deteksi dini perubahan perilaku
c) Menolak tegas untuk mencoba (Say No to Drugs) atau Katakan
tidak pada narkoba.
2) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala
putus zat, dengan dua cara yaitu:
a) Detoksifikasi tanpa substitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat
yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk
menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja
sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b) Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat
misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna
sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya
diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis
secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian
substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala
simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat
tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat
tersebut.
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan
terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar
pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat
mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya
pemulihan dan pengembangan klien baik fisik, mental, sosial, dan
spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga
kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
Jenis program rehabilitasi:
a) Rehabilitasi Psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali
ke masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu
dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan

berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi.


Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program
rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.
b) Rehabilitasi Kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang
semua berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan
kata lain sikap dan tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga
mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil
yang membimbing dan mengasuhnya. Yang termasuk rehabilitasi
kejiwaan ini adalah psikoterapi / konsultasi keluarga yang dapat
dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home.
c) Rehabilitasi Komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal
dalam satu tempat. Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan
memenuhi syarat sebagai koselor, setelah mengikuti pendidikan dan
pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini
klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara
efektif dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi
keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan
mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam
proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh
tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab
terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan
hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.
d) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu
detoksifikasi tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi
menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masingmasing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau
keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada
diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin
terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin
menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadangkadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama
sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.
4) PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon)
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) dimulai dari suatu
hasil uji coba yang dilakukan WHO yang mendapatkan penyebab
meningkatnya kasus HIV/AIDS yang terutama diakibatkan penggunaan
narkoba dengan bertukaran jarum suntik secara sembarangan. Faktanya
bahwa pengguna zat psikoaktif khususnya dengan menggunakan jarum
suntik (penasun) terus meningkat di Indonesia khususnya di Bali.
Metadon dipilih sebagai terapi utama substitusi karena memiliki
efek menyerupai morfin dan kokain dengan masa kerja yang lebih panjang
sehingga dapat diberikan satu kali sehari dan penggunaannya dengan cara
diminum. Efek yang ditimbulkan metadon mirip dengan yang ditimbulkan
heroin, namun efek fly-nya tidak senikmat biasanya pada metadon, sifat

ketergantungannya tidak seburuk heroin dan gejala putus obatnya tidak


seberat heroin.
a) Manfaat PTRM:
Tujuan utama didirikannya PTRM adalah untuk menilai apakah
substitusi metadon dapat diterima sebagai salah satu pilihan untuk
pengobatan ketergantungan opiat. Sedangkan tujuan khususnya yaitu
sebagai berikut :
Untuk menurunkan pemakaian NAPZA suntik.
Untuk mencegah penularan penyakit melalui darah seperti
HIV/AIDS, Hepatitis B dan C dengan cara mengurangi
pemakaian obat melalui suntikan dan bertukar jarum suntik.
Untuk membantu orang yang ketergantungan obat mencapai
keadaan bebas obat dengan cara detoksifikasi dan
meningkatkan kualitas hidup.
Untuk meningkatkan status kesehatan pengguna narkotika dan
zat aditif sehingga dapat hidup normal dan produktif melalui
PTRM.
b) Sekilas mengenai Metadon
Methadone (Metadon) mempunyai khasiat sebagai suatu analgetik
dan euforia karena bekerja pada reseptor opioid mu () yang mirip
dengan ikatan agonis opioid mu () yang lain, misalnya morfin.
Metadon adalah suatu agonis parsial opioid sintetik yang kuat dan
secara oral diserap dengan baik. Metadon juga dapat diberikan secara
parenteral maupun rektal, meskipun cara pemakaian yang terakhir
tidak lazim dikerjakan.
Efek Metadon secara kualitatif mirip dengan efek morfin dan
opioid lainnya. Efek metadon tersebut, antara lain sebagai analgetik,
sedatif, depresi pernapasan, dan euforia. Efek lainnya adalah
menurunkan tekanan darah, konstriksi pupil, dan efek pada saluran
cerna, yaitu memperlambat pengosongan lambung karena mengurangi
motilitas, meningkatkan tonus sfingter pilori, dan meningkatkan tonus
sfingter Oddi yang berakibat spasme dari saluran empedu.
Efek samping metadon antara lain gangguan tidur, mual-muntah,
konstipasi, mulut kering, berkeringat, vasodilatasi dan gatal-gatal,
menstruasi tidak teratur, ginekomastia dan disfungsi seksual pada pria,
serta retensi cairan dan penambahan berat badan. Efek samping tidak
akan terlalu banyak dialami oleh orang yang telah menggunakan
heroin.
Bioavailabilitas metadon oral tidak memperlihatkan perubahan
yang berarti pada orang yang distabilisasi dengan metadon, atau yang
sudah menggunakannya secara kronis. Metadon dipecah di hati
melalui sistem enzim sitokrom P450. Sekitar 10 % metadon yang
dikonsumsi secara oral akan diekskresi utuh. Sisanya akan
dimetabolisme dan metabolit inaktifnya disekresi melalui urin dan
tinja. Metadon juga dapat disekresikan melalui keringat dan liur.
Onset efek metadon terjadi sekitar 30 menit setelah obat diminum.
Konsentrasi puncak dicapai setelah 3-4 jam setelah metadon diminum.
Rata-rata waktu paruh metadon adalah 24 jam. Metadon mencapai

kadar tetap dalam tubuh setelah penggunaan 3-10 hari. Setelah


stabilisasi dicapai, variasi konsentrasi metadon dalam darah tidak
terlalu besar dan supresi gejala putus obat lebih mudah dicapai.
Metadon banyak diikat oleh protein plasma dalam jaringan seluruh
tubuh. Metadon dapat diketemukan dalam darah, otak, dan jaringan
lain, seperti ginjal, limpa, hati, serta paru-paru. Konsentrasi metadon
dalam jaringan tersebut lebih tinggi daripada dalam darah. Ikatan
tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi metadon dalam badan
cukup lama bila seseorang berhenti menggunakan metadon.
Selama mengikuti program Methadon ini, penderita harus secara
rutin mengkonsumsi methadon setiap hari dan menghentikan semua
pemakaian Napza yang lainnya. Sedangkan bagian terakhir bertugas
memberikan konseling pada saat pra program tentang penjelasan mengenai
kegiatan yang akan dilaksanakan, klien diberitahukan tentang baik buruk
methadon, menerima dosis harian methadon dan akan dilakukan
pemeriksaan urine sewaktu-waktu. Konseling pada saat program
berlangsung, yaitu bila klien menghadapi masalah dan pada saat akan
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pada saat penerimaan hasilnya.
Serta konseling diberikan pada saat program akan berakhir yaitu sebelum
obat dihentikan. Konseling juga diberikan kepada pihak keluarga agar
mempunyai persepsi yang sama tentang program yang akan dijalankan
serta dapat memberikan dukungan kepada klien yang berobat.
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
3.1 Identitas Klien
Kaji identitas klien meliputi : Nama lengkap, usia, jenis kelamin, alamat,
informan, tanggal pengkajian, dst.
Usia: Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja
menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan
pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih
tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.
3.2 Riwayat penyakit sekarang
1. Keluhan Utama: yang paling dirasakan klien saat itu adalah nyeri, susah
tidur, anoreksia.
2. Alasan masuk rumah sakit : klien atau keluarga klien mengatakan
bahwa klien konstipasi, diare, susah tidur, menurunnya selera makan, melakukan
perilaku seks melanggar norma, mengalami kemunduran dalam kebersihan diri.
Kadang-kadang klien suka mengganggu tetangganya dan teriak-teriak tanpa
alasan, sering marah-marah dan merusak barang-barang di rumah.
3.3 Riwayat penyakit dahulu

Mengkaji adanya riwayat penyakit terminal yang kemungkinan dapat membuat


klien depresi dan ingin memperoleh ketenangan dengan cara mengkonsumsi
narkoba dan zat adiktif lainnya.
3.4 Riwayat penyakit keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang
menjadi pengguna narkoba. Biasanya terdapat anggota keluarga yang memiliki
riwayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan narkoba. Ketakutan akan
perilaku klien, malu pada masyarakat, penghamburan dan pengurasan secara
ekonomi oleh klien, komunikasi dan pola asuh tidak efektif, dukungan moril
terhadap klien tidak terpenuhi. Sasaran yang hendak dicapai adalah keluarga
mampu merawat klien yang pada akhirnya mencapai tujuan utama yaitu
mengantisipasi terjadinya kekambuhan (relaps).
3.5 Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Mengkaji kebiasaan hidup klien yang berhubungan dengan kesehatannya, seperti
kebiasaan merokok, olahraga, minum alkohol, mengkonsumsi obat-obatan, dan
juga terapi yang pernah dijalani.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Mengkaji pola makan sehari-hari klien, menghitung intake cairan dalam sehari.
Kaji adanya penurunan napsu makan dan hitung BB klien sebelum dan saat sakit.
c) Pola eliminasi
Kaji BAB dan BAK sebelum dan saat sakit, meliputi jumlah, konsistensi, bau.
Kaji adanya konstipasi atau diare.
d) Pola aktivitas dan latihan
Kaji pola aktivitas klien sehari-hari sebelum dan saat sakit, meliputi pekerjaan
klien, terapi olahraga, terapi rehabilitasi NAPZA.
e) Pola tidur dan istirahat
Kaji pola tidur pasien dalam sehari. Pasien napza biasanya mengalami gangguan
pola tidur seperti insomnia, sering mengantuk.
f) Pola konsep diri
Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan
harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai
oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas,
pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu,
kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat berpengaruh terhadap
bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan cara melarikan diri.
g) Pola sensori
Saat sakit, daya penglihatan pasien biasanya mengalami halusinasi
penglihatan,pendengaran, dan perabaan, mata merah, sering mengantuk, bicara

cadel, penurunan kesadaran, banyak bicara dan tertawa, penurunan kemampuan


menilai, gangguan daya ingat.
h) Pola reproduksi seksual
Kaji adanya keinginan untuk melakukan seks bebas, kaji kapan menstruasi
terakhir (pada klien perempuan).
i) Pola hubungan sosial
Lingkungan sosial yang biasa akrab dengan klien biasanya adalah teman
pengguna zat, anggota keluarga lain pengguna zat lingkungan sekolah atau
kampus yang digunakan oleh para pengedar. Kelompok teman sebaya dapat
menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang
seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu.
Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut memiliki dampak yang
berarti kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan, yang
kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan psikologis.
j) Pola penanggulangan stres
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk
menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat
menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada
k) Pola kepercayaan beragama
Kegiatan keagamaan tidak ada, nilai-nilai kebaikan ditinggalkan karena perubahan
perilaku (tidak jujur, mencuri, mengancam dan lain-lain). Sasaran yang ingin
dicapai adalah mampu meningkatkan ibadah , pelaksanaan nilai-nilai kebaikan

3.6 Status mental


a) Penampilan
kaji penampilan klien meliputi kerapian dan kebersihan diri. Napas berbau
alkohol, jarang mandi, dll.
b) Pembicaraan
kaji cara bicara klien, meliputi komunikasi verbal dan non verbal. Klien berbicara
ngelantur dan dengan nada tinggi. Sering marah-marah.
c)Aktivitas motorik
kaji gerak tubuh klien. Biasanya klien merusak barang-barang di sekitarnya.
d) Emosional
emosi klien labil, tanpa ada sebab klien marah-marah dan sering berontak. Persaan
gelisah (takut kalau diketahui), tidak percaya diri, curiga dan tidak berdaya.
Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk mengontrol dan
mengendalikan diri sendiri
e) Interaksi selama wawancara
kaji reaksi klien saat diajak berbicara. Klien terkadang tidak melakukan kontak
mata dengan lawan bicaranya.
f)Intelegensi

pecandu yang datang untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada


umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya.
3.7 Kaji situasi kondisi penggunaan zat
a) Kapan zat digunakan
b) Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah
c) Kapan zat dikurangi/dihentikan, seklaipun hanya sementara
3.8 Kaji resiko yang berkaitan dengan penggunaan zat
a) Berbagi peralatan suntik
b) Perilaku seks yang tidak nyaman
c) Menyetir sambil mabuk
d) Riwayat over dosis
e) Riwayat serangan (kejang) selama putus zat
3.9 Kaji pola penggunaan
a) Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan malam)
b) Penggunaan selama seminggu
c) Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV)
d) Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah berjalan
melalui rumah bandar)
e) Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (mantan pacar, teman
pakai)
f) Adanya pikiran-pikiran tertentu (Ah, sekali nggak bakan merusak atau
Saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make)
g) Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan)
h) Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur
atau stres yang berkepanjangan)
3.10 kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi
bila tidak menggunakan.
3.11 Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
kaji penampilan klien, meliputi kerapian rambut, kebersihan diri, postur tubuh.
b) Kaji tanda-tanda vital (meliputi TD, Nadi, suhu, dan frekwensi pernapasan),
ukur tinggi badan dan berat badan.
c) Kaji keluhan fisik:
Data fisik yang biasanya ditemukan pada klien dengan penggunaan NAPZA pada
saat pengkajian adalah sebagai berikut: Nyeri, konstipasi, diare, kemunduran
dalam kebersihan diri, potensial komplikasi jantung, hati, infeksi pada paru-paru
d) Pemeriksaan persistem
1) Sistem pernapasan
kaji frekwensi pernapasan, adanya suara napas tambahan, dan pola napas.
2)sistem kardiovaskuler
Kaji frekwensi denyut jantung, tekanan darah, suhu akral.
3)sistem persarafan

Kaji suhu tubuh, adanya reflek fisiologis (reflek patella) dan reflek patologis
(reflek babynski) untuk mengetahui adanya kelainan sarat atau bagian yang
lumpuh.
4)Sistem urinaria
Kaji BAK klien dalam sehari meliputi jumlah, warna, dan bau. Kaji adanya
kesulitan BAK.
5)Sistem pencernaan
Kaji BAB klien dalam sehari meliputi jumlah, konsistensi, bau, dan warna. Kaji
adanya kesulitan BAB.
6)Sistem integumen dan muskuloskeletal
kaji adanya lesi pada kulit, adanya cedera pada ekstremitas atau anggota tubuh
lainnya.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap cedera: jatuh berhubungan dengan kesulitan
keseimbangan.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1: Resiko tinggi terhadap cedera: jatuh berhubungan dengan
kesulitan keseimbangan
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, klien tidak
mengalami cedera.
Kriteria hasil:
- Klien mampu mendemonstrasikan hilangnya efek-efek penarikan diri yang
memburuk
- klien tidak mengalami cedera fisik
Rencana tindakan:
1) Identifikasi tingkat gejala putus alkohol, misalnya tahap I diasosiasikan
dengan tanda/gejala hiperaktivitas (misalnya tremor, tidak dapat
beristirahat, mual/muntah, diaforesis, takhikardi, hipertensi); tahap II
dimanifestasikan dengan peningkatan hiperaktivitas ditambah dengan
halusinogen; tingkat III gejala meliputi DTs dan hiperaktifitas autonomik
yang berlebihan dengan kekacauan mental berat, ansietas, insomnia,
demam.
R/: Pengenalan dan intervensi yang tepat dapat menghalangi terjadinya
gejala-gejala dan mempercepat kesembuhan. Selain itu perkembangan
gejala mengindikasikan perlunya perubahan pada terapi obat-obatan yang
lebih intensif untuk mencegah kematian.
2) Pantau aktivitas kejang. Pertahankan ketepatan aliran udara. Berikan
keamanan lingkungan misalnya bantalan pada pagar tempat tidur.
R/: kejang grand mal paling umum terjadi dan dihubungkan dengan
penurunana kadar Mg, hipoglikemia, peningkatan alkohol darah atau
riwayat kejang.
3) Periksa refleks tenton dalam. Kaji cara berjalan, jika memungkinkan
R/: Refleksi tertekan, hilang, atau hiperaktif. Nauropati perifer umum
terjadi terutama pada pasien neuropati
4) Bantu dengan ambulasi dan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
R/: mencegah jatuh dengan cedera

5) Berikan cairan IV/PO dengan hati-hati sesuai petunjuk


R/: Penggantian cairan yang berhati-hati akan memperbaiki dehidrasi dan
meningkatkan pembersihan renal dari toksin sambil mengurangi resiko
kelebihan hidrasi.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan
sampai terjadi masalah
Rentang respons gangguan penggunaan NAPZA ada 5, yaitu:
eksperimental, rekreasional, situasional, penyalahgunaan, dan
ketergantungan
NAPZA dapat dibagi dalam beberapa golongan yaitu: narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA antara lain:
1) Faktor Internal, meliputi: faktor kepribadian, intelegensia, usia,
dorongan kenikmatan dan perasaan ingin tahu, dan pemecahan
masalah.
2) Faktor eksternal, meliputi: keluarga, kelompok teman sebaya (peer
group, dan faktor kesempatan
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada
juga sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat
penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala
intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda.
Penanggulangan Masalah NAPZA: Pencegahan, Pengobatan,
Rehabilitasi, PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon).
Metadon dipilih sebagai terapi utama substitusi karena memiliki efek
menyerupai morfin dan kokain dengan masa kerja yang lebih panjang
sehingga dapat diberikan satu kali sehari dan penggunaannya dengan cara
diminum. Efek yang ditimbulkan metadon mirip dengan yang ditimbulkan
heroin, namun efek fly-nya tidak senikmat biasanya pada metadon, sifat
ketergantungannya tidak seburuk heroin dan gejala putus obatnya tidak
seberat heroin.
4.2 Saran
Perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan
dalam membantu masyarakat yang sedang dirawat di rumah sakit untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang perawatan dan
pencegahan kembali penyalahgunaan NAPZA pada klien. Untuk itu dirasakan
perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan
dan ketergantungan NAPZA (sindroma putus zat)

Anda mungkin juga menyukai