Anda di halaman 1dari 28

Presentasi Kasus

SEORANG ANAK 3 TAHUN 6 BULAN DENGAN SPEECH DELAY


DEVELOPMENT, STATUS GIZI BAIK

Oleh :
Faiz Yunanto

G99131039/L.05.13

Pembimbing :
Hari Wahyu Nugroho, dr, SpA, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2013

KASUS I.
SEORANG ANAK 3 TAHUN 6 BULAN DENGAN SPEECH DELAY
DEVELOPMENTAL, STATUS GIZI BAIK
STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama

: An. S

Umur

: 3 Tahun 6 Bulan

Tanggal Lahir

: 16 Juli 2010

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Alamat

: Jebres

Pemeriksaan

: 6 November 2013

II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap perawat yang
merawat penderita.
A. Keluhan Utama
Perkembangan bicara lebih lambat dari pada anak seusianya
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan anak yang dirawat di Yayasan Pemeliharaan
Anak dan Bayi Permata Hati. Perawat mengeluh bahwa anak tersebut
perkembangannya lebih lambat daripada anak seusianya. Anak tidak
banyak bersuara dan belem bisa menirukan kata-kata , hanya bisa
mengucap suku kata seperti ma dan pa. dan kadang memberi respon bila
dipanggil.

Saat dilakukan pemeriksaan rutin, perawat mengatakan tidak


terdapat gangguan kesehatan yang dialami penderita. Dan dari pengamatan
pemeriksa penderita terlihat sehat dan bugar.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mondok

: disangkal

Riwayat alergi obat / makanan

: disangkal

Riwayat kejang sebelumnya

: disangkal

Riwayat perkembangan keterlambatan

: (+), keterlambatan bicara

dan bahasa,
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi obat / makanan

: disangkal

Riwayat kejang pada keluarga

: disangkal

E. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Faringitis

(+)

Polio

(-)

Bronkitis

(-)

Thypus abdominalis (-)

Morbili

(-)

Cacingan

(-)

Pertusis

(-)

Gegar otak

(-)

Difteri

(-)

Fraktur

(-)

Varicella

(-)

Kolera

(-)

Malaria

(-)

TB paru

(-)

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita adalah anak tunggal. Anggota keluarganya terdiri dari
ayah, ibu, dan penderita sendiri.

G. Riwayat Makan Minum Anak


-

Usia 0-10 bulan : ASI saja, frekuensi minum ASI tiap kali bayi
menangis atau minta minum, sehari biasanya 8 kali per hari dan lama
menyusui 10 menit, bergantian kiri kanan.

Usia 10-15 bulan : nasi tim 2-3 kali sehari satu mangkok kecil dengan
sayur hijau/bayam, telur, tahu, tempe, dengan diselingi dengan ASI dan
susu buatan (Nestle) jika bayi masih lapar. Frekuensi minum susu
buatan 2 kali per hari dengan takaran cangkir kecil.

H. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Prenatal


Pemeriksaan kehamilan dilakukan ibu penderita di bidan setempat.
Frekuensi pemeriksaan pada trimester I dan II 2 kali tiap bulan, dan pada
trimester III 4 kali tiap bulan. Penyakit kehamilan (-). Riwayat minum
jamu selama hamil (-), obat-obatan yang diminum adalah vitamin dan
tablet penambah darah dari bidan.
I. Riwayat Kelahiran
Penderita lahir di Karanganyar, partus normal, ditolong oleh bidan,
pada usia kehamilan 9 bulan, bayi langsung menangis segera setelah lahir.
Berat waktu lahir 3200 gram, panjang badan saat lahir 45cm.
J. Riwayat Pemeriksaan Post Natal
Pemeriksaan bayi setelah lahir dilakukan di bidan.

K. Riwayat Imunisasi

1.

Jenis
BCG

I
1 bulan

II
-

2.

DPT

2 bulan 3 bulan

4 bulan

3.

Polio

0 bulan 2 bulan

3 bulan

4.

Campak

9 bulan

5.

Hepatitis B

Lahir

2 bulan

III
-

IV
4 bulan

3 bulan

L. Keluarga Berencana
Ibu menggunakan KB suntik 3 bulan.
III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum

: tampak sehat

Derajat Kesadaran

: compos mentis

Status gizi

: gizi kesan baik

2. Tanda vital
S

: 37,1oC

: 110 x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan cukup.

RR

: 24 x/menit, tipe abdominal, kedalaman cukup, reguler.

BB

: 9 kg

TB

: 79 cm

3. Kulit : warna sawo matang, kelembaban baik, turgor baik.

4 bulan

4. Kepala : bentuk mesocephal, sutura sudah menutup, UUB datar, rambut


hitam tidak mudah rontok dan sukar dicabut.
5. Muka : sembab (-), wajah orang tua (-)
6. Mata : cowong (-), bulu mata hitam lurus tidak rontok, conjunctiva anemis
(-/-), strabismus (-), xeroftalmia (-), bercak bitots (-), oedem palpebra
(-/-).
7. Hidung : bentuk normal, napas cuping hidung(-/-), sekret (-/-), darah (-/-),
deformitas(-).
8. Mulut : sianosis (+), bibir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-),
mukosa basah (+), susunan gigi normal.
9. Tenggorokan : uvula di tengah, tonsil T1 T1, faring hiperemis (-),
pseudomembran (-), post nasal drip (-).
10. Telinga : bentuk aurikula dx et sn normal, kelainan MAE (-), serumen
(-/-), membrana timpani sde, prosesus mastoideus tidak nyeri tekan, tragus
pain (-), sekret (-).
11. Leher : bentuk normal, trachea ditengah, kelenjar thyroid tidak membesar.
12. Limfonodi

kelenjar

limfe

auricular,

submandibuler,

servikalis,

suparaklavikularis, aksilaris, dan inguinalis tidak membesar.


13. Thorax : bentuk normochest, retraksi (+) interkostal dan sub sternal, iga
gambang (-), gerakan simetris ka = ki
Cor :

Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Batas jantung kesan tidak melebar

Kiri atas

: SIC II LPSS

Kiri bawah

: SIC IV LMCS

Kanan atas

: SIC II LPSD

Kanan bawah: SIC IV LPSD


Auskultasi

: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising


sistolik (+)

Pulmo :

Inspeksi

: Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

: Sonor / Sonor di semua lapang paru

Batas paru-hepar

: SIC V kanan

Batas paru-lambung : SIC VI kiri

14. Abdomen :

Redup relatif di

: SIC V kanan

Redup absolut

: SIC VI kanan (hepar)

Auskultasi

: SD bronchovesikuler (+/+), RBK (+/+)

Inspeksi

: dinding dada sejajar dinding perut

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Perkusi

: tympani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba,


lien tidak teraba.

15. Urogenital : dalam batas normal


16. Gluteus : Baggy pants (-)
17. Ekstremitas :
akral dingin -

sianosis

oedem

CRT < 2 detik


18. Kuku : keruh (-), spoon nail (-), konkaf (-)
IV. STATUS GIZI
BB

x 100% =

U
P3 <

x 100%

= 90%

x 100%

= 94%

x 100%

= 90 %

10
BB

P15

U
TB

x 100% =

U
P3 <

79
84

BB

P15

U
BB

x 100% =

TB
BB

9
10

= P15

TB
7

Kesimpulan

:gizi kesan baik menurut antropometri

V. DENVER DEVELOPMENTAL SCREEENING TEST


Ditemukan keterlambatan pada aspek bahasa. Personal sosial,
adaptif-motorik-halus, dan motorik kasar sesuai dengan perkembangan anak
seusia penderita. Anak tersangka speech delay development.
VI. RESUME
Pasien merupakan Pasien merupakan anak yang dirawat di Yayasan
Pemeliharaan Anak dan Bayi Permata Hati. Perawat mengeluh bahwa anak
tersebut perkembangannya lebih lambat daripada anak seusianya. Anak tidak
banyak bersuara dan belum bisa menirukan kata-kata , hanya bisa mengucap
suku kata seperti ma, pa dan ni. dan kadang memberi respon bila dipanggil.
Saat dilakukan pemeriksaan rutin, perawat mengatakan penderita dalam
keadaan sehat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak baik,
compos mentis dan gizi kesan baik, tanda vital suhu 36,80C, nadi frekuensi: 90
x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan cukup, frekuensi nafas: 30 x/menit,
tipe abdominal, kedalaman cukup, dan reguler. Hasil tes perkembangan
Denver yaitu, personal sosial setara dengan anak usia 4,5 bulan, adaptifmotorik halus setara dengan anak usia 4,5 bulan, dan bahasa setara dengan
anak usia 8 bulan, serta motorik kasar setara dengan anak usia 4 bulan.

VII. ASSESMENT
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Global Delayed development


Down syndrome
Keterlambatan perkembangan personal sosial setara usia 3 tahun
Keterlambatan perkembangan adatif motorik halus setara usia 24 bulan
Keterlambatan perkembangan bahasa setara usia 6 bulan
Keterlambatan perkembangan motorik kasar setara usia 24 bulan

VIII. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Physiotherapy:
- Speech therapy
- Ocupation therapy
B. Edukasi :
- Motivasi perawat tentang penyakitnya
- Stimulasi di rumah
- Konseling
IX. PLANNING

X.

Konsul THT untuk tes pendengaran

Konsul RM

PROGNOSIS
Ad vitam
Ad sanam

: dubia ad bonam
: dubia ad malam

Ad fungsionam : dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM DOWN
1. DEFINISI
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai
trisomi, karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki
kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana
orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan
mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan
karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam
fungsi fisiologi tubuh (Pathol, 2003).
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler,
translokasi dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua
sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh
empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet,
2003).
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21
akan berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu
orang tua yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak
menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4%
dari total kasus (Lancet, 2003).
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu
saja yang mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah
penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si penderita lebih ringan
(Lancet, 2003).

10

II. EPIDEMIOLOGI
Menurut Soetjiningsih (1998: 211), sindrom Down merupakan
kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia.
Diperkirakan angka kejadian terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran
hidup dimana 20 tahun sebelumnya dilaporkan 1,6 per 1000. penurunan ini
diperkirakan berkaitan dengan menurunnya kelahiran dari wanita yang
berumur. Diperkirakan 20% anak dengan sindrom Down dilahirkan oleh
ibu yang berumur di atas 35 tahun.
Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa
angka kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit
hitam, tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Sedangkan angka kejadian
pada berbagai golongan sosial ekonomi adalah sama.
III. ETIOLOGI
Menurut Soetjiningsih (1998: 211-212), selama satu abad sebelumnya
banyak hipotesis tentang penyebab sindrom Down yang dilaporkan. Tetapi
sejak ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada tahun
1959,

maka

sekarang

perhatian

dipusatkan

pada

kejadian

non-

predisposisi genetic terhadap

non-

disjunctional sebagai penyebabnya yaitu:


1. Genetik
Diperkirakan

terdapat

disjunctional. Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan hasil


penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan resiko
berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom Down.
2. Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya nondisjunctional pada sindrom Down ini. Uchida 1981 (dikutip Pueschel
dkk.) menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan
sindrom Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum
terjadinya konsepsi. Sedangkan penelitian lain tidak mendapati hubungan
antara radiasi dengan penyimpangan kromosom.

11

3. Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya
sindrom Down. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu
memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan terjadinya

non-

disjunctional.
4. Autoimun
Factor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom Down
adalah aotuimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan
dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 (dikutip Pueschel dkk.) secara
konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu
yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang
umurnya sama.
5. Umur ibu
Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan
hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunctional pada kromosom.
Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estriadol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam
kadar LH (Lutenizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating
Hormone) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunctional.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan
adanya pengaruh umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak
dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra
kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi
dengan umur ibu.
Factor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus, bahan
kimia dan frekuensi koitus masih didiskusikan kemungkinan sebagai penyebab
dari sindrom Down.

12

IV. FAKTOR RISIKO


Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan
meningkat dengan bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi
wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun. Walau bagaimanapun,
wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat
bayi dengan sindrom Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom
Down adalah lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi
dengan sindrom Down, atau jika adanya anggota keluarga yang terdekat
yang pernah mendapat kondisi yang sama. Walau bagaimanapun
kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal
(Livingstone, 2006).
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down
berdasarkan umur ibu yang hamil:
- 20 tahun: 1 per 1,500
- 25 tahun: 1 per 1,300
- 30 tahun: 1 per 900
- 35 tahun: 1 per 350
- 40 tahun: 1 per 100
- 45 tahun: 1 per 30
V. SKRINING
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi
sindrom Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood
test dan atau sonogram. Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat
memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom Down
atau tidak (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah
Nuchal Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 14
kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada
belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down

13

dapat dikenal pasti dengan tehnik ini (American College of NurseMidwives, 2005).
Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada
darah ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang
diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic
gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa
mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation
for Medical Education and Research (MFMER), 2011).
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk
mendeteksi sindrom Down. Amniocentesis dilakukan dengan mengambil
sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom
janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan mengambil
sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan
hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di
mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom
janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini
dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang
jelas. Resiko keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical
Education and Research (MFMER), 2011).
VI. PATOFISIOLOGI
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem
organ dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini
dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan
proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan
menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan
postnatal. Anak anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan

14

pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi


yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan
tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang
khas, anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital.
Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada
kromosom

21

bertanggungjawab

menimbulkan

penyakit

jantung

kongenital pada penderita sindrom Down. Sementara gen yang baru


dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2,
adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab
utama retardasi mental dan defek jantung (Mayo Clinic Internal Medicine
Review, 2008).
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme
thiroid dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan
akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi
terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit
Hashimoto.
Penderita

dengan

sindrom

Down

sering

kali

menderita

hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas


terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh,
anak anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat
sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik
menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya
resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus
Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's
Hospital Medical Center, 2006).
Anak anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita
leukemia, seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute
Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak yang menderita
sindrom

Down

yang

mendapat

leukemia

terjadi

akibat

mutasi

hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada


anak anak dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21,

15

mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik
yang belum diketahui pasti (Lange BJ,1998).
VII. MORTALITAS/MORBIDITAS
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan
bertahan. Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50%
dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung
kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom
Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa
fistula transesofageal, Hirschsprung disease, atresia duodenal dan
leukemia akan meningkatkan mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas
yang tinggi karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi
seperti tonsil yang membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal
stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada saluran
nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis
Media, Alveolar Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia,
dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan
gagal jantung (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital
yang tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang
irreversibel. Gangguan pendengaran, visus, retardasi mental dan defek
yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak anak dengan
sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan
menghadapi masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya
berbahasa, dan kemampuan interpersonal (Cincinnati Children's Hospital
Medical Center, 2006).

16

VIII. EFEK PADA FISIK DAN SISTEM TUBUH


a

Pemeriksaan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang
pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas.
Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri ciri
yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu
lipatan (20%), sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki
dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%)
(Brunner, 2007).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka
didapatkan xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis
transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima,
elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan
infeksi pada kulit yang rekuren (Am J., 2009).
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent
quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 85 dengan rata-rata 50.
Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat.
Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003).
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang
spontan, sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang
kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa
ingin tahu yang tinggi (Nelson, 2003).
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada
anak anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering
didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang
cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang
pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang
disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma, penyakit
vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu,
pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada
penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering
terjadi pada orang orang lanjut usia (Am J., 2009).
17

Penderita sindrom Down sering menderita

Brachycephaly,

microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang
besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik,
tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada
sinus maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas
(upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya
lipatan epicanthal, titik titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga
50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),
conjunctivitis,

ruptur

kanal

nasolacrimal,

katarak

kongenital,

pseudopapil edema, spasma nutans dan keratoconus (Schlote, 2006).


Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan
hipoplasi tulang hidung dan jembatan hidung yang rata (Schlote,
2006). Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah
yang kecil dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai
dengan air liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia
parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan sempurna, pertumbuhan gigi
yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi
gigi serta kerusakan periodontal yang jelas (Selikowitz, Mark., 1997).
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks
yang berlipat. Otitis media yang kronis dan kehilangan pendengaran
sering ditemukan. Kira kira 6080% anak penderita sindrom Down
mengalami kemerosotan 15 20 dB pada satu telinga (William W. Hay
Jr, 2002).
b Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat
Leukemia, termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia
Myeloid. Diperkirakan 10% bayi yang lahir dengan sindrom Down
akan mendapat klon preleukemic, yang berasal dari progenitor myeloid
pada hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang
terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini
dirujuk sebagai Transient Leukemia, Transient Myeloproliferative

18

Disease (TMD), atau Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM)


c

(Lanzkowsky, 2005).
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita
sindrom Down dengan prevelensi 40-50%. Walau bagaimanapun kasus
lebih sering ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan
penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan.
Antara
penyakit
jantung

kongenital

yang

ditemukan

Atrioventricular Septal Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai


Endocardial Cushion Defect (43%), Ventricular Septal Defect (32%),
Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%),
dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering
ditemukan adalah Patent Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic
Stenosis (9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion defects adalah
terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang
dirawat, kira kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada
jantung mereka (Baliff JP, 2003).
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana
terjadinya kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial
cushions yang tidak sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang
sering di hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus,
coarctation of the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan
anomalous pulmonary venous return. Kelainan pada katup mitral juga
sering terjadi. Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi
asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula
timbul pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula
mengalami pengurangan pulmonary venous return, yang akhirnya akan
menjadi left-to-right shunt pada atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti
akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain
takipnu dan penurunan berat badan (William 2002).

19

AVD juga boleh melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan


pada salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler. Pada
penderitadengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior
dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi
komunikasi intratrial melalui septum atrial. Kondisi ini kita kenal
sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup atrioventikuler
yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta. Perfusi
jaringan endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan
lemahnya struktur pada leaflet katup mitral.
Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting.
Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering
terjadi melalui ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat
defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel
dan juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume
overloading pada ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti
dengan gagal jantung pada awal usia. Sekiranya terjadi overload
pulmonari, dapat terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti
dengan gagal jantung kongestif (Kallen B.,1996).
Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk
kepada kondisi dimana adanya lubang yang menghubungkan dua
ventrikel. Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali primer, dengan
atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat
kelainan seperti Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular
(AV) canal defects, transposition of great arteries,dan corrected
transpositions (Freeman SB, 1998)
Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang
atau jalur yang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke
atrium kiri, atau sebaliknya, melalui septum interatrial. Apabila

20

tejadinya defek pada septum ini, darah arterial dan darah venous akan
bercampur, yang bisa atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis.
Percampuran darah ini juga disebut sebagai shunt. Secara medis,
right-to-left-shunt adalah lebih berbahaya (Freeman SB, 1998).
Tetralogy of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital
pada anak yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran
darah yang kaya oksigen dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat
empat abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot.
Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau
tahanan pada katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan
katup terbuka kearah luar dari ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan
restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih
kuat yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel.
Kedua adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya
lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen
bercampur. Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar
ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.
Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah
pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis
yang minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru.
Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru
adalah lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K,
2008).

Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)


Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si
anak gagal menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya
terjadi bising jantung. Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas

21

yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal
jantung kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan
penderita (Amik K, 2008).
d Imunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi
dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka
mempunyai respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka
e

sangat rentan mendapat pneumonia (William W. Hay Jr. 2002).


Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom
Down

yang

dapat

ditemukan

adalah

atresia

atau

stenosis,

Hirschsprung disease (<1%), TE fistula, Meckel divertikulum, anus


imperforata dan juga omphalocele.
Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan Amerika didapatkan
prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah
sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik
pada human leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga
DQ8.
f

Dilaporkan

juga

terdapat

kaitan

yang

kuat

antara

hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek (Livingstone, 2006).


Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah
gangguan pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan.
Onsetnya sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun.
Insidens ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat.
Prevelensi mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital,
hipertiroid

primer,

autoimun

tiroiditis,

dan

compensated

hypothyroidism atau hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada


penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat
g

seiring dengan bertambahnya umur (Merritt's, 2000).


Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki
gangguan psikiatri atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak
mempunyai risiko mendapat gangguan psikis. Beberapa kelainan yang
bisa didapat adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),
22

Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik


dan gangguan spektrum Autisme (Cincinnati Children's Hospital
Medical Center, 2006).
h Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala gejala
sindrom Down yang sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi
kriteria diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer. Fenotip individu yang
mendapat trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel sel
trisomik yang terdapat dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh
(Andriolo, 2005).
IX. KOMPLIKASI
Walaupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai
murmur, anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat
defek pada jantung. Apabila resistensi pada vaskular pulmonari dapat
dideteksi, kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat
dikurangi, sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal.
Apabila tidak dapat dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi
pulmonal yang persisten dengan perubahan pada vaskular yang ireversibel
(Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada
jantung dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan
terhadap operasi yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi
dilakukan apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi
sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama (Kallen
B, 1996).
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal
atrioventrikuler, simptom biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai
dengan shunting sistemik-pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi,
disertai dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal.
Resistensi pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan
dari shunting sistemik-pulmonal yang diikuti dengan sianosis (Baliff JP,
2005).
23

Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk


menderita hipertensi arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal.
Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah alveolus, dinding arteriol
pulmonal yang lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu (Galley R,
2005).
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat
mencegah terjadinya kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada
paru - paru. Apalagi dengan pengobatan yang terkini (prostacyclin,
endothelin,

antagonis

reseptor

dan

phosphodiesterase-5-inhibitor)

didapatkan mampu memperbaiki status klinis dan jangka hidup bagi


penderita hipertensi arteri pulmonal (Livingstone, 2006).
Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah
pada penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan
patologi dimana didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis
pada penderita sindrom Down (Tyler, 2004).
X. PENATALAKSANAAN
Menurut Soetjiningsih (1998: 217-220), anak dengan sindrom Down
memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup hal-hal berikut:
1. Penanganan secara medis
Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan
medis yang sama dengan anak yang normal. Mereka memerlukan
pemeliharaan kesehatan, imunisasi, kedaruratan medis, serta dukungan
dan bimbingan dari anggota keluarganya. Tetapi terdapat beberapa
keadaan dimana anak dengan sindrom Down memerlukan perhatian
khusus, yaitu dalam hal :
a. Pendengaran
70-80% anak dengan sindrom Down dilaporkan terdapat gangguan
pendengaran. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan telinga sejak awal
kehidupannya, serta dilakukan tes pendengaran secara berkala oleh ahli
THT.
b. Penyakit jantung bawaan
24

30-40% anak dengan sindrom Down disertai dengan penyakit


jantung bawaan. Mereka memerlukan penanganan jangka panjang oleh
seorang ahli jantung anak.
c. Penglihatan
Anak dengan kelainan ini sering mengalami gangguan penglihatan
atau katarak. Sehingga perlu evaluasi secara rutin oleh ahli mata.
d. Nutrisi
Beberapa kasus, terutama yang disertai kelainan congenital yang
berat lainnya, akan terjadi gangguan pertumbuhan pda masa
bayi/prasekolah. Sebaliknya ada juga kasus justru terjadi obesitas pada
masa dewasa atau setelah dewasa. Sehingga diperlukan kerjasama
dengan ahli gizi.
e. Kelainan tulang
Kelainan tulang juga dapat terjadi pada sindrom Down, yang
mencakup

dislokasi

patella,

subluksasio

pangkal

paha,

atau

ketidakseimbangan atlantoaksial. Bila keadaan yang terakhir ini sampai


menimbulkan depresi medulla spinalis, atau apabila anak memegang
kepalanya dalam posisi seperti kortikolis, maka diperlukan pemeriksaan
radiologist untuk memeriksa spina servikalis dan diperlukan konsultasi
neurologist.
f.

Lain-lain
Aspek medis lainnya yang memerlukan konsultasi dengan ahlinya,

meliputi masalah imunologi, gangguan fungsi metabolisme, atau


kekacauan biokoimiawi.
2. Pendidikan
Ternyata anak dengan sindrom Down mampu berpartisipasi dalam
belajar melalui program intervensi dini, taman kanak-kanak, dan melalui
pendidikan kasus yang positif yang akan berpengaruh terhadap tumbuh
kembang anak secara menyeluruh.

25

a. Intervensi dini
Pada akhir-akhir ini, terdapat sejumlah program intervensi dini
yang dipakai sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberikan
lingkungan yang memadai bagi anak dengan sindrom Down makin
meningkat. Anak akan mendapat manfaat dari stimulasi sensoris dini,
latihan khusus yang mencakup aktivitas motorik kasar dan halus, dan
petunjuk agar anak mampu berbahasa. Demikian pula dengan mengajari
anak agar mampu menolong diri sendiri, seperti belajar makan, belajar
buang air besar/kecil, mandi, berpakaian, akan memberi kesempatan
anak untuk belajar mandiri.
b. Taman bermain/ Taman Kanak-kanak
Anak akan memperoleh mamfaat berupa peningkatan keterampilan
motorik kasar dan halus melalui bermain dengan temannya. Anak juga
dapat melakukan interaksi social denga temannya. Dengan memberikan
kesempatan

bergau

dengan

lingkungan

di

luar

rumah,

maka

memungkinkan anak berpartisipasi dalam dunia yang lebih luas.


c. Pendidikan Khusus ( SLB-C )
Program pendidikan khusus pada anak dengan sindrom Down akan
membantu anak melihat dunia sebagai suatu tempat yang menarik untuk
mengembangkan diri dan bekerja. Pengalaman yang diperoleh di
sekolah akan membantu mereka memperoleh perasaan tentang identitas
personal, harga diri dan kesenangan. Lingkungan sekolah memberi
kepada anak dasar kehidupan dalam perkembangan keterampilan fisik,
akademis dan kemampuan social.
3. Penyuluhan pada orang tua
Begitu diagnosis sindrom Down ditegakkan, tim kesehatan harus
menyampaikan hal ini secara bijaksana dan jujur. Penjelasan pertama
sangat menentukan adaptasi dan sikap orang tua selanjutnya. Penjelasan
ini sebaiknya singkat, oleh Karena pada waktu itu mungkin orang tua
masih belum mampu berpikir secara nalar. Tim kesehatan harus

26

menjelaskan bahwa anak dengan sindrom Down adalah individu yang


mempunyai hak yang sama dengan anak yang normal, serta pentingnya
makna kasih sayang dan pengasuhan orang tua.
Pertemuan lanjutan diperlukan untuk memberikan penjelasan lebih
lengkap. Walaupun menyampaikan masalah sindrom Down akan
menyakitkan bagi orang tua penderita, tetapi ketidakterbukaan justru
akan dapat meningkatkan isolasi atau harapan yang tidak mungkin dari
orang tuanya.
XI. PENCEGAHAN
Menurut Soetjiningsih (1998: 220), konseling genetic, maupun
amniosintesis pada kehamilan yang dicurigai, akan sangat membantu
mengurangi angka kejadian sindrom Down. Saat ini dengan kemajuan biologi
molecular, misalnya dengan gene targeting atau yang dikenal juga sebagai
homologous recombination sebuah gene dapat dinonaktifkan. Tidak
terkecuali suatu saat nanti, gen-gen yang terdapat di ujung lengan panjang
kromosom 21 yang bertanggungjawab terhadap munculnya fenotip sindrom
Down dapat dinonaktifkan.

DAFTAR PUSTAKA
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Andriolo, R B. 2005. Aerobic Exercise Training Programmes For Improving
Physical And Psychosocial Health in adults with Down Syndrome. www.
biomedsearch.com.
Am J Pathol. 2003. Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Lancet. 2003. Antenatal Screening for Downs Syndrome. The Lancet volume 362,
issues 9377, p 81.
American College of Nurse-Midwives. 2005. Prenatal Tests for Down Syndrome.
www.ncbi.nlm.nih.gv/pubmed/15895013

27

Tyler, C V, Zyzanski SJ, Runser, L. 2004. Increased Risk of Symptomatic


Gallbladder Disease in Adults with Down Syndrome. American Journal of
Medical Genetics vol 130 A, issue 4, pp 351-3
Livingstone C. 2006. Heart Related Down Syndrome. repository.usu.ac.id
Galley R. 2005. Medical Management of the Adult Patient with Down Syndrome.
Journal of the American Academy of Physician Assistant Apr: 18(4): 4552.
Baliff J B. 2005. New Development in Prenatal Screening for Down Syndrome.
University of Rochester School of Medical.
Kallen B, Mastroiacovo P, Robert E. 1996. Major Congenital Malformations in
Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8911611

28

Anda mungkin juga menyukai