Oleh :
Faiz Yunanto
G99131039/L.05.13
Pembimbing :
Hari Wahyu Nugroho, dr, SpA, M.Kes
KASUS I.
SEORANG ANAK 3 TAHUN 6 BULAN DENGAN SPEECH DELAY
DEVELOPMENTAL, STATUS GIZI BAIK
STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama
: An. S
Umur
: 3 Tahun 6 Bulan
Tanggal Lahir
: 16 Juli 2010
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Jebres
Pemeriksaan
: 6 November 2013
II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap perawat yang
merawat penderita.
A. Keluhan Utama
Perkembangan bicara lebih lambat dari pada anak seusianya
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan anak yang dirawat di Yayasan Pemeliharaan
Anak dan Bayi Permata Hati. Perawat mengeluh bahwa anak tersebut
perkembangannya lebih lambat daripada anak seusianya. Anak tidak
banyak bersuara dan belem bisa menirukan kata-kata , hanya bisa
mengucap suku kata seperti ma dan pa. dan kadang memberi respon bila
dipanggil.
: disangkal
: disangkal
: disangkal
dan bahasa,
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi obat / makanan
: disangkal
: disangkal
(+)
Polio
(-)
Bronkitis
(-)
Morbili
(-)
Cacingan
(-)
Pertusis
(-)
Gegar otak
(-)
Difteri
(-)
Fraktur
(-)
Varicella
(-)
Kolera
(-)
Malaria
(-)
TB paru
(-)
Usia 0-10 bulan : ASI saja, frekuensi minum ASI tiap kali bayi
menangis atau minta minum, sehari biasanya 8 kali per hari dan lama
menyusui 10 menit, bergantian kiri kanan.
Usia 10-15 bulan : nasi tim 2-3 kali sehari satu mangkok kecil dengan
sayur hijau/bayam, telur, tahu, tempe, dengan diselingi dengan ASI dan
susu buatan (Nestle) jika bayi masih lapar. Frekuensi minum susu
buatan 2 kali per hari dengan takaran cangkir kecil.
K. Riwayat Imunisasi
1.
Jenis
BCG
I
1 bulan
II
-
2.
DPT
2 bulan 3 bulan
4 bulan
3.
Polio
0 bulan 2 bulan
3 bulan
4.
Campak
9 bulan
5.
Hepatitis B
Lahir
2 bulan
III
-
IV
4 bulan
3 bulan
L. Keluarga Berencana
Ibu menggunakan KB suntik 3 bulan.
III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
: tampak sehat
Derajat Kesadaran
: compos mentis
Status gizi
2. Tanda vital
S
: 37,1oC
RR
BB
: 9 kg
TB
: 79 cm
4 bulan
kelenjar
limfe
auricular,
submandibuler,
servikalis,
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Kiri atas
: SIC II LPSS
Kiri bawah
: SIC IV LMCS
Kanan atas
: SIC II LPSD
Pulmo :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Batas paru-hepar
: SIC V kanan
14. Abdomen :
Redup relatif di
: SIC V kanan
Redup absolut
Auskultasi
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
: tympani
Palpasi
sianosis
oedem
x 100% =
U
P3 <
x 100%
= 90%
x 100%
= 94%
x 100%
= 90 %
10
BB
P15
U
TB
x 100% =
U
P3 <
79
84
BB
P15
U
BB
x 100% =
TB
BB
9
10
= P15
TB
7
Kesimpulan
VII. ASSESMENT
1.
2.
3.
4.
5.
6.
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Physiotherapy:
- Speech therapy
- Ocupation therapy
B. Edukasi :
- Motivasi perawat tentang penyakitnya
- Stimulasi di rumah
- Konseling
IX. PLANNING
X.
Konsul RM
PROGNOSIS
Ad vitam
Ad sanam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM DOWN
1. DEFINISI
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai
trisomi, karena individu yang mendapat sindrom Down memiliki
kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai tiga kromosom 21 dimana
orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini akan
mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan
karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam
fungsi fisiologi tubuh (Pathol, 2003).
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler,
translokasi dan mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua
sel dalam tubuh akan mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh
empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet,
2003).
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21
akan berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu
orang tua yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak
menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4%
dari total kasus (Lancet, 2003).
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu
saja yang mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah
penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si penderita lebih ringan
(Lancet, 2003).
10
II. EPIDEMIOLOGI
Menurut Soetjiningsih (1998: 211), sindrom Down merupakan
kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia.
Diperkirakan angka kejadian terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran
hidup dimana 20 tahun sebelumnya dilaporkan 1,6 per 1000. penurunan ini
diperkirakan berkaitan dengan menurunnya kelahiran dari wanita yang
berumur. Diperkirakan 20% anak dengan sindrom Down dilahirkan oleh
ibu yang berumur di atas 35 tahun.
Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa
angka kejadiannya pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit
hitam, tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Sedangkan angka kejadian
pada berbagai golongan sosial ekonomi adalah sama.
III. ETIOLOGI
Menurut Soetjiningsih (1998: 211-212), selama satu abad sebelumnya
banyak hipotesis tentang penyebab sindrom Down yang dilaporkan. Tetapi
sejak ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada tahun
1959,
maka
sekarang
perhatian
dipusatkan
pada
kejadian
non-
non-
terdapat
11
3. Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya
sindrom Down. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu
memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan terjadinya
non-
disjunctional.
4. Autoimun
Factor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom Down
adalah aotuimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan
dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 (dikutip Pueschel dkk.) secara
konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu
yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu kontrol yang
umurnya sama.
5. Umur ibu
Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan
hormonal yang dapat menyebabkan non-disjunctional pada kromosom.
Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya
kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estriadol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam
kadar LH (Lutenizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating
Hormone) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya non-disjunctional.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan
adanya pengaruh umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak
dengan sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra
kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi
dengan umur ibu.
Factor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus, bahan
kimia dan frekuensi koitus masih didiskusikan kemungkinan sebagai penyebab
dari sindrom Down.
12
13
dapat dikenal pasti dengan tehnik ini (American College of NurseMidwives, 2005).
Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada
darah ibu hamil yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang
diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic
gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa
mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation
for Medical Education and Research (MFMER), 2011).
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk
mendeteksi sindrom Down. Amniocentesis dilakukan dengan mengambil
sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom
janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan mengambil
sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat
kromosom janin. Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan
hingga 14. Resiko keguguran adalah 1 per 100 kehamilan.
Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di
mana darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom
janin. Tehnik dilakukan pada kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini
dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan hasil yang
jelas. Resiko keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical
Education and Research (MFMER), 2011).
VI. PATOFISIOLOGI
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem
organ dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini
dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan
proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan
menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan
postnatal. Anak anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan
14
21
bertanggungjawab
menimbulkan
penyakit
jantung
dengan
sindrom
Down
sering
kali
menderita
Down
yang
mendapat
leukemia
terjadi
akibat
mutasi
15
mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik
yang belum diketahui pasti (Lange BJ,1998).
VII. MORTALITAS/MORBIDITAS
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan
bertahan. Sekitar 85% bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50%
dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50 tahun. Penyakit jantung
kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita sindrom
Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa
fistula transesofageal, Hirschsprung disease, atresia duodenal dan
leukemia akan meningkatkan mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas
yang tinggi karena mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi
seperti tonsil yang membesar dan adenoids, lingual tonsils, choanal
stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada saluran
nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis
Media, Alveolar Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia,
dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang disertai dengan cor pulmonale dan
gagal jantung (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital
yang tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang
irreversibel. Gangguan pendengaran, visus, retardasi mental dan defek
yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak anak dengan
sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan
menghadapi masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya
berbahasa, dan kemampuan interpersonal (Cincinnati Children's Hospital
Medical Center, 2006).
16
Pemeriksaan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang
pendek. Mereka sering kali gemuk dan tergolong dalam obesitas.
Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down mempunyai ciri ciri
yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu
lipatan (20%), sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki
dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi tulang pinggul (6%)
(Brunner, 2007).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka
didapatkan xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis
transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima,
elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan
infeksi pada kulit yang rekuren (Am J., 2009).
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent
quatio (IQ) mereka sering berada antara 20 85 dengan rata-rata 50.
Hipotonia yang diderita akan meningkat apabila umur meningkat.
Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003).
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang
spontan, sikap ramah, ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang
kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal dengan rasa
ingin tahu yang tinggi (Nelson, 2003).
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada
anak anak sindrom Down sementara kejang tonik klonik lebih sering
didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit yang jelek, rambut yang
cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang
pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang
disebabkan faktor usia yang meningkat, kejang, neoplasma, penyakit
vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu,
pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada
penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering
terjadi pada orang orang lanjut usia (Am J., 2009).
17
Brachycephaly,
microcephaly, dahi yang rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang
besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat, sutura metopik,
tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada
sinus maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas
(upslanting) karena fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya
lipatan epicanthal, titik titik Brushfield, kesalahan refraksi sehingga
50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),
conjunctivitis,
ruptur
kanal
nasolacrimal,
katarak
kongenital,
18
(Lanzkowsky, 2005).
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita
sindrom Down dengan prevelensi 40-50%. Walau bagaimanapun kasus
lebih sering ditemukan pada penderita yang dirawat di RS (62%) dan
penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan.
Antara
penyakit
jantung
kongenital
yang
ditemukan
19
20
tejadinya defek pada septum ini, darah arterial dan darah venous akan
bercampur, yang bisa atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis.
Percampuran darah ini juga disebut sebagai shunt. Secara medis,
right-to-left-shunt adalah lebih berbahaya (Freeman SB, 1998).
Tetralogy of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital
pada anak yang sering ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran
darah yang kaya oksigen dengan darah yang kurang oksigen. Terdapat
empat abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot.
Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau
tahanan pada katup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan
katup terbuka kearah luar dari ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan
restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih
kuat yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel.
Kedua adalah ventricular septal defect. Pada kondisi ini, adanya
lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen
bercampur. Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar
ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.
Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah
pulmonary valve stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis
yang minimal terjadi karena darah masih lagi bisa sampai ke paru.
Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru
adalah lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K,
2008).
21
yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal
jantung kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan
penderita (Amik K, 2008).
d Imunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi
dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka
mempunyai respons sistem imun yang rendah. Contohnya mereka
e
yang
dapat
ditemukan
adalah
atresia
atau
stenosis,
Dilaporkan
juga
terdapat
kaitan
yang
kuat
antara
primer,
autoimun
tiroiditis,
dan
compensated
antagonis
reseptor
dan
phosphodiesterase-5-inhibitor)
dislokasi
patella,
subluksasio
pangkal
paha,
atau
Lain-lain
Aspek medis lainnya yang memerlukan konsultasi dengan ahlinya,
25
a. Intervensi dini
Pada akhir-akhir ini, terdapat sejumlah program intervensi dini
yang dipakai sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberikan
lingkungan yang memadai bagi anak dengan sindrom Down makin
meningkat. Anak akan mendapat manfaat dari stimulasi sensoris dini,
latihan khusus yang mencakup aktivitas motorik kasar dan halus, dan
petunjuk agar anak mampu berbahasa. Demikian pula dengan mengajari
anak agar mampu menolong diri sendiri, seperti belajar makan, belajar
buang air besar/kecil, mandi, berpakaian, akan memberi kesempatan
anak untuk belajar mandiri.
b. Taman bermain/ Taman Kanak-kanak
Anak akan memperoleh mamfaat berupa peningkatan keterampilan
motorik kasar dan halus melalui bermain dengan temannya. Anak juga
dapat melakukan interaksi social denga temannya. Dengan memberikan
kesempatan
bergau
dengan
lingkungan
di
luar
rumah,
maka
26
DAFTAR PUSTAKA
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Andriolo, R B. 2005. Aerobic Exercise Training Programmes For Improving
Physical And Psychosocial Health in adults with Down Syndrome. www.
biomedsearch.com.
Am J Pathol. 2003. Down Syndrome. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Lancet. 2003. Antenatal Screening for Downs Syndrome. The Lancet volume 362,
issues 9377, p 81.
American College of Nurse-Midwives. 2005. Prenatal Tests for Down Syndrome.
www.ncbi.nlm.nih.gv/pubmed/15895013
27
28