Anda di halaman 1dari 8

Mengapa membayar zakat?

Kesadaran umat islam tentang membayar zakat sampai sekarang masih kurang. Hal itu
disebabkan minimnya pemahaman dari masyarakat golongan tertentu tentang membayar
zakat. Padahal dari dana zakat mempunyai potensi yang cukup besar untuk meringankan
beban hidup bahkan pengentasan kemiskinan yang ada di Negara indonesia ini khususnya
umat Islam. Selain itu, alasan lain mengapa harus membayar zakat adalah sebagai berikut:
1. Zakat adalah rukun Islam ketiga
Zakat adalah salah satu rukun islam yang utama wajib bagi kaum muslim untuk
menjalankannya, mendapat pahala yang membayarnya dan diancamnya orang tidak
melaksanakannya. Kita akan mengetahui betapa pentingnya membayar zakat seperti peristiwa
malaikat jibril mengajarkan agama kepada kaum muslimin dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada Rasulullah, yang artinya:
Apakah itu Islam? Nabi menjawab: Islam adalah mengikrarkan bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, menidirikan shalat,
membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan naik haji bagi yang mampu
melaksanakannya. ( hadist muttafaq alaih )
Hadist lain yang terkenal dari Ibnu Umar,
Islam didirikan di atas lima dasar: mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa
pada bulan Ramadhan, dan berhaji bagi siapa yang mampu. ( Hadist Muttafaq Alaih )
Dari kedua Hadist diatas dapat disimpulkan bahwa zakat di dalam sunnah dan Alquran adalah dasar Islam yang ketiga. Sehingga bisa dikatakan tanpa dasar ketiga itu
keimanan seorang yang beragama Islam kurang lengkap.
2. Orang yang tidak membayar zakat mendapat peringatan keras di dunia dan akhirat
a. Hukuman di Akhirat
Tidak sedikit hadist Rasulullah mengancam orang-orang yang tidak membayar zakat
dengan hukuman yang berat. Agar mampu mengubah hati yang kikir untuk mau berkorban
terhadap kepentingan sesama. Dengan cara memberikan pujian dan mentakut-takuti beliau
menggiring manusia agar secara sukarela malaksanakan kewajiban membayar zakat.
Jika harta yang terlalu banyak kita timbun waktu di dunia bisa jadi akan menyelakai
diri kita sendiri di akhirat kelak, seperti didalam hadist Bukhari meriwayatkan dari Abu
Hurairah, Rasulullah s.a.w bersabda yang artinya:
Siapa yang dikarunia oleh Allah Kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya,
maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul, yang
sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya, lalu
melilit dan mematuk lehernya sambil berteriak, saya adalah kekayaanmu, saya adalah
kekayaanmu yang kau timbun-timbun dulu.

Di dalam al-quran juga memberi larangan kapada manusia untuk bersifat


bakhil,seperti dalam al-quran surat Al- Imran ayat 180, yang artinya:
sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan
kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka.sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka.harta yang mereka
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.Dan kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
( QS. Al-Imran ayat 180 )
Dari hadist dan ayat al-quran di atas sudah jelas larangan kepada kaum muslim untuk
bersifat bakhil, meski harta yang didapatkan melalui jerih payah sendiri bukan berarti harta
tersebut sepenuhnya milik pribadi tetapi sebagian adalah bagian dari hak orang lain. Karena
manusia itu selain mahkluk yang sempurna, juga merupakan mahkluk sosial. Sehingga
diwajibkan untuk menoleh kesamping kanan-kiri saling membantu dengan sesamanya.
b. Hukuman di dunia
Sekarang ini banyak daerah yang mengalami bencana diantaranya kelaparan dan
kemarau panjang. Hal ini bisa terjadi karena merupakan musibah yang diturunkan oleh Allah
SWT kepada orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat nya. Sebagaimana hadist
dibawah ini yang artinya;
Golongan orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat akan ditimpa kelaparan
dan kemarau panjang. (HR. Tabrani)
Hadist lain juga mengatakan, yang artinya:
Bila mereka tidak mengeluarkan zakat, berarti mereka menghambat hujan turun.
Seandainya binatang tidak ada, pastilah mereka tidak akan diberi hujan. ( HR. Ibnu
Majah, Bazar, dan Baihaqi )
Manusia sebagai Khalifah fil ard mempunyai peran untuk menetukan kemakmuran
yang ada di bumi ini salah satu nya dengan cara berzakat. Sebagaimana yang telah disebutkan
dalam hadist di atas, ketika manusia yang telah berkecukupan tidak mau mengeluarkan
sebagian hartany untuk berzakat maka Allah akan menurunkan musibah berupa kelaparan dan
kemarau panjang. Karena sifat bakhil adalah sifat yang tercela yang akan menjauhkan
manusia dari rahmat Allah SWT.
Namun sebaliknya, jika zakat telah ditunaikan oleh golongan-golongan tertentu maka
manusia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat, mendekatkan hamba dengan Allah
SWT, apa yang dihasilkan dari pelaksanaannya berupa pahala yang besar, dan zakat itu
membersihkan ahklak orang yang menunaikannya dari sifat bakhil dan pelit. Sebagaimana
firman Allah SWT yang terdapat di QS. At-taubah ayat 103, artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan menyucikan mereka. ( QS. At-taubah : 103 )

Persyaratan harta yang menjadi objek zakat adalah:


Pertama, harta yang didapatkan dengan cara yang baik dan halal. Hal ini sejalan dengan
firman Allah SWT, Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan
mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (QS AlBaqarah: 267).
Di dalam Shahih Bukhari terdapat satu bab yang menguraikan bahwa sedekah (zakat) tidak
akan diterima dari harta yang ghulul (harta yang didapatkan dengan cara menipu) dan tidak
akan diterima pula, kecuali dari hasil usaha yang halal dan bersih.
Sejalan dengan keterangan di atas, maka setiap penghasilan atau pendapatan yang halal,
seperti gaji, honor yang diterima oleh para pegawai, para pekerja, para tenaga ahli, para
profesional dan pekerja halal lainnya, adalah termasuk harta yang harus dikeluarkan
zakatnya.
Kedua, harta yang berkembang atau berpotensi untuk dikembangkan, seperti melalui kegiatan
usaha, perdagangan, melalui pembelian saham, atau ditabungkan, baik yang dilakukan sendiri
maupun bersama orang atau pihak lain. Harta yang tidak berkembang atau tidak berpotensi
untuk berkembang, tidak dikenakan kewajiban zakat.
Dalam terminologi fiqih sebagaimana disampaikan Yusuf Al-Qaradhawi, pengertian
berkembang itu terdiri dari dua macam, yaitu secara konkret dan tidak konkret. Yang konkret
ialah dengan cara diusahakan, diperdagangkan, dan yang sejenis dengannya. Sedangkan yang
tidak konkret, maksudnya harta tersebut berpotensi untuk berkembang nilai atau harganya,
baik berada di tangannya sendiri maupun di tangan orang lain.
Syarat harta yang berkembang mendorong setiap muslim untuk memproduktifkan harta yang
dimilikinya. Harta yang diproduktifkan akan selalu berkembang dari waktu ke waktu. Hal ini
sejalan dengan dengan salah satu makna zakat secara bahasa, yaitu an-namaa (berkembang
dan bertambah). Berdasarkan syarat ini, Yusuf Al-Qaradhawi mengambil suatu kesimpulan
bahwa setiap harta yang berkembang atau berpotensi untuk dikembangkan, termasuk ke
dalam objek atau sumber zakat.
Ketiga, milik penuh, yaitu harta tersebut berada di bawah kontrol dan di dalam kekuasaan
pemiliknya, atau seperti menurut sebagian ulama bahwa harta itu berada di tangan
pemiliknya, di dalamnya tidak tersangkut dengan hak orang lain, dan ia dapat menikmatinya.
Alasan penetapan syarat ini adalah kepemilikan yang jelas (misalnya harta kamu atau harta
mereka) dalam berbagai ayat Al Quran dan Hadis Nabi yang berkaitan dengan zakat.
Misalnya, firman Allah SWT dalam QS Al-Maaarij: 24-25 dan QS At-Taubah: 103. Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang
meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta) (QS AlMaaarij: 24-25).
Juga hadis riwayat Imam Bukhari dari Muadz bin Jabal, ketika Rasulullah SAW mengutusnya
untuk pergi ke Yaman, beliau bersabda kepadanya, Ajaklah mereka (penduduk Yaman) untuk

mengakui bahwasanya tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah. Dan bahwasanya Aku
adalah utusan Allah. Jika mereka telah mengikutinya, maka beritahu kepada mereka
bahwasanya Allah SWT mewajibkan pada harta mereka sedekah (zakat), yang diambil dari
orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir.
Zakat pada hakikatnya adalah pemberian kepemilikan pada para mustahik dari para muzakki.
Suatu yang sangat tidak mungkin, apabila seseorang (muzakki) memberikan kepemilikan
kepada orang lain (mustahik) sementara dia sendiri (muzakki) bukanlah pemilik yang
sebenarnya.
Keempat, harta tersebut, menurut pendapat jumhur ulama, harus mencapai nishab, yaitu
jumlah minimal yang menyebabkan harta terkena kewajiban zakat. Contohnya nishab zakat
emas adalah 85 gram, nishab zakat hewan ternak kambing adalah 40 ekor, dan sebagainya.
Hemat penulis, persyaratan adanya nishab ini merupakan suatu keniscayaan sekaligus
merupakan suatu kemaslahatan, sebab zakat itu diambil dari orang kaya (mampu) dan
diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu, seperti fakir dan miskin. Indikator
kemampuan itu harus jelas, dan nishab-lah merupakan indikatornya. Jika kurang dari nishab,
Islam membuka pintu untuk mengeluarkan sebagian dari penghasilan tanpa adanya nishab,
yaitu infak dan sedekah.
Kelima, sumber-sumber zakat tertentu, seperti perdagangan, peternakan, emas dan perak,
harus sudah berada atau dimiliki ataupun diusahakan oleh muzakki dalam tenggang waktu
satu tahun. Contohnya tenggang waktu antara Muharram 1421 H sampai dengan 1422 H.
Inilah yang disebut dengan persyaratan al-haul. Adapun zakat pertanian tidak terkait dengan
ketentuan haul (berlalu waktu satu tahun), ia harus dikeluarkan pada saat memetiknya atau
memanennya jika mencapai nishab, sebagaimana dikemukakan dalam QS Al-Anam: 141.
Keenam, sebagian ulama mazhab Hanafi mensyaratkan kewajiban zakat setelah terpenuhi
kebutuhan pokok, atau dengan kata lain, zakat dikeluarkan setelah terdapat kelebihan dari
kebutuhan hidup sehari-hari yang terdiri atas kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang jika
tidak terpenuhi, akan mengakibatkan kerusakan dan kesengsaraan dalam hidup. Adapun yang
menjadi alasannya adalah firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah: 219, Dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari kebutuhan.
(QS Al-Baqarah: 219).
Penulis berpendapat bahwa syarat ini memang perlu diperhatikan, agar orang-orang yang
terkena kewajiban zakat itu memang benar-benar orang yang termasuk kategori mampu dan
telah terpenuhi kebutuhan pokoknya secara layak. Hanya saja dalam menentukan
kemampuan seseorang untuk menjadi muzakki, ada dua pendekatan yang bisa digunakan.
Pertama, diserahkan pada kesadaran dan keikhlasan masing-masing muzakki untuk
menghitung sendiri harta dan kebutuhan pokoknya secara wajar. Kedua, dilakukan oleh amil
zakat yang dipercaya, seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), baik pusat maupun
daerah, untuk menentukan apakah seseorang itu termasuk kategori muzakki atau belum.
Di Indonesia, dalam era otonomi daerah sekarang, di samping pendekatan pertama,
pendekatan kedua tampaknya sangat mungkin dilaksanakan. Akan tetapi, jika dirasakan sulit,
keluarkan saja zakat dari penghasilan kotor yang diterima jika sudah mencapai nishab. Hal ini
di samping akan memudahkan, juga akan lebih menenteramkan jiwa karena telah

dipenuhinya kewajiban dengan sebaik-baiknya. Pada tahun 2011, misalnya, BAZNAS telah
menetapkan bahwa pegawai (negeri maupun swasta) yang berpenghasilan di atas Rp 3 juta
per bulan atau golongan III ke atas, gajinya dianggap sudah mencapai nishab. Karena itu,
harus dikeluarkan zakatnya setiap bulan sebesar 2,5 persen dari penghasilan kotor.

UPAYA MENINGKATKAN ANIMO MASYARAKAT BERZAKAT


KE LEMBAGA/ BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL

Sejak 2011 pengelolaan zakat di BAZNAS Kota Pekanbaru terus mengalami


peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2011 pengumpulan masih 189 juta/ tahun, ditahun
2012 pengumpulan berkisar pada angka 400 jt /tahun, di 2013 berkisar pada angka 1.3
M/tahun dan di 2014 sudah mencapai angka 5 M/tahun. Hal ini seiring dengan upaya yang
dilakukan dan penguatan pada sisi regulasi zakat itu sendiri. Misalnya adanya instruksi
presiden Nomor 3 Tahun 2014 tentang optimalisasi zakat pada instansi, kantor dan Badan
milik negara. Angka ini belum termasuk pengumpulan zakat oleh LAZ-LAZ yang ada di
Kota Pekanbaru yang berkisar
Dari sisi pendistribusian sekitar 3968 orang fakir miskin sudah mendapatkan
manfaat dari dana zakat yang didistribusikan oleh BAZNAS Kota Pekanbaru dengan nilai
bantuan mencapai 4 M. Sebanyak 62% atau 1961 orang pendistribusian pada sektor
pendidikan, 23 % atau 439 orang pada sektor Produktif, 12 % atau 1402 orang pada sektor
konsumtif dan 3 % atau 166 orang pada sektor lainnya seperti kesehatan. Jika kita bertolak
dari rumusan BAZNAS bahwa keberhasilan program pemberdayaan masyarakat miskin itu
berkisar 17 % maka pada sektor produktif BAZNAS hanya mampu memberdayakan 75 orang
di tahun 2014. Pencapaian ini belum maksimal, karena diakui bahwa dalam pengelolaan
masih banyak kekurangan terutama dalam pengumpulan dan pendistribusian. Namun ini terus
dievaluasi kedepan agar pendistribusian BAZNAS Kota Pekanbaru lebih berbasis manfaat.
Jika melihat sejarah,

Kejayaan peradaban Islam selalu ditopang oleh

optimalisasi zakat yang dikelola saat itu. Misalnya pada masa Umar Bin Abdul Aziz, zakat
demikian berhasilnya sehingga pada masa itu sulit mencari orang yang berhak menerima

zakat. Negara memiliki peranan penting mengatur pengelolaan zakat. Sehingga Zakat
menjadi kekuatan ummat mampu mewujudkan tujuan syariat islam yaitu kesejahteraan
hidup manusia lahir dan batin.
Untuk itu upaya dalam rangka meningkatkan animo masyarakat berzakat melalui
BAZNAS diantaranya adalah pertama; dakwah bil hall dari para umara, tokoh masyarakat
dan para mubaligh untuk memberikan teladan kepada masyarakat dengan berzakat melalui
BAZNAS. Pengurus Masjid tidak lagi mendistribusikan zakat sendiri-sendiri tetapi menjadi
bagian dari BAZNAS dalam jejaring BAZNAS yang disebut Unit Pengumpul Zakat (UPZ).
Jika kita semua memiliki komitmen yang sama, maka percetapan pengentasan kemiskinan
dengan penguatan pemberdayaan masyarakat yang menjadi kenyataan.
Kedua; perlu diupayakan implementasi dari zakat sebagai pengurang pajak. Jika
ini dapat direalisasikan maka kita umat islam tidak terbebani dua kewajiban yaitu zakat dan
pajak. Para pengusaha muslim sebelum mereka memperhitungkan pajak maka profitnya
sudah dikurangi dahulu dengan zakat.
Ketiga;

Peningkatan

program pendistribusian

zakat

berbasis

penguatan

pemberdayaan. Maksudnya orientasi pendisribusian ditujukan pada kemandirian dan


peningkatan ekonomi mayarakat. Menjadikan masyarakat miskin menjadi mampu, yang
bodoh menjadi pintar, yang lemah mentalnya menjadi berkarakter. Kerjasama dari setiap
stakeholder terkait perlu dilakukan untuk terwujudnya effesiensi dan efektifitas program. Hal
inilah yang sedang diupayakan pemerintah kota Pekanbaru dengan semua lembaga
masyarakat untuk terwujudnya kota Pekanbaru yang metropolitan madani.
Untuk itu BAZNAS tak bosan-bosannya mengajak masyarakat untuk berzakat
melalui Badan Amil Zakat atau lembaga amil zakat resmi sesuai dengan Undang-undang

Zakat Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat. Agar potensi zakat ini benar-benar
menjadi potensi umat yang dapat mengangkat umat dari keterpurukan terutama keterpurukan
ekonomi. Haryati-sekretatis BAZNAS

Anda mungkin juga menyukai