Anda di halaman 1dari 71

Jurnal Permukiman

Vol. 7 No. 3 November 2012

ISSN : 1907 4352

Pengantar Redaksi
Ungkapan puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan karena atas perkenan-Nya upaya untuk
menerbitkan Jurnal Permukiman edisi ketiga ini dapat terwujud. Terbitan kali ini menyajikan enam
tulisan berkaitan dengan bahasan perumahan dan lingkungan, komponen bahan bangunan alternatif,
serta penyehatan lingkungan permukiman.
Mengawali edisi kali ini Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan dan Rani Widyahantari membahas
mengenai upaya untuk meningkatkan produktivitas yang sebelumnya menggunakan sumberdaya pasif
(mesin, alat dan fasilitas kerja lainnya) menjadi menempatkan manusia sebagai sumberdaya aktif, yang
harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan kerja organisasi. Judul bahasan ini adalah Studi
Ergonomi terhadap Rancangan Ruang Kerja Kantor Pemerintah Berdasarkan Antropometri Indonesia.
Kajian Masalah Ekologis Dalam Penataan Permukiman Di Kawasan Pesisir-Zona Atas Air dipaparkan
oleh Aris Prihandono. Pelaksanaan penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan model penataan
permukiman di atas perairan berbasis ekologi dan kearifan lokal. Masih berkaitan dengan kearifan lokal,
Bramantyo dalam bahasannya mengenai Identifikasi Arsitektur Rumah Tradisional Nias Selatan dan
Perubahannya, menyimpulkan bahwa perubahan yang terjadi pada rumah tradisional Nias Selatan
merupakan upaya untuk mempertahankan eksistensi yang secara umum tidak menghilangkan
karakteristik asli arsitekturnya, namun ikut mempengaruhi kearifan lokal yang dimiliki terkait dengan
resistensi bangunan tersebut terhadap ancaman gempa.
Kawasan inner city residents memiliki peran penting yang signifikan bagi kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah dalam hal menyediakan berbagai pilihan tempat tinggal yang variatif dan
terjangkau, dan terutama karena posisi geografis yang strategis yang dapat dijadikan tempat tinggal dan
tempat mencari nafkah. Hasil penelitian Peran Kawasan Inner City Residents Di Kota Bandung Bagi
Kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah dipaparkan oleh Heni Suhaeni.
Emisi karbondioksida dapat dikurangi, salah satu caranya dengan mengurangi penggunaan semen
Portland dalam pembuatan beton. Pemanfaatan material tambahan yang mempunyai sifat menyerupai
semen seperti abu terbang (fly ash), silica fume, terak tanur tinggi, abu sekam padi, metakaolin dapat
menggantikannya. Penelitian Pemanfaatan Abu Terbang dan Serbuk Gergaji untuk Pembuatan Mortar
Ringan Geopolimer dilakukan oleh Dany Cahyadi, Triastuti, Anita Firmanti, dan Bambang Subiyanto.
Tulisan penutup dalam edisi akhir tahun ini adalah mengenai Kapasitas Subreservoir Air Hujan pada
Ruang Terbuka Hijau untuk Mereduksi Genangan Air (Banjir) oleh Sarbidi. Guna mengurangi risiko
banjir di wilayah perkotaan antara lain melalui aplikasi sistem penampungan air hujan dengan
subreservoir air hujan pada Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Semoga tulisan yang kami sajikan bermanfaat. Selamat membaca.
Bandung, November 2012
Redaksi

Jurnal Permukiman
Vol. 7 No. 3 November 2012

ISSN : 1907 4352


Daftar Isi

Pengantar Redaksi

Daftar Isi

ii

Studi Ergonomi terhadap Rancangan Ruang Kerja Kantor Pemerintah Berdasarkan


Antropometri Indonesia Ergonomics Study of Design of Government Offices Workspace
Based on Indonesian Anthropometry
Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari

126-137

Kajian Masalah Ekologis Dalam Penataan Permukiman Di Kawasan Pesisir Zona Atas Air
Study of Ecological Issues in Settlement Structuring on the Water Coastal Zone
Aris Prihandono

138-150

Identifikasi Arsitektur Rumah Tradisional Nias Selatan dan Perubahannya Architecture


Identification of South Nias Traditional Houses and Its Transformations
Bramantyo

151-161

Peran Kawasan Inner City Residents Di Kota Bandung Bagi Kelompok Masyarakat
Berpenghasilan Rendah The Role of Inner City Residents in the City of Bandung for the Low
Income People
Heni Suhaeni
Pemanfaatan Abu Terbang dan Serbuk Gergaji untuk Pembuatan Mortar Ringan
Geopolimer The Utilization of Fly Ash and Sawdust for the Manufacture of Lightweight
Geopolymer Mortar
Dany Cahyadi, Triastuti, Anita Firmanti, Bambang Subiyanto

162-169

170-175

Kajian Subreservoir Air Hujan pada Ruang Terbuka Hijau Dalam Mereduksi Genangan Air
(Banjir) Research on Rain Water Subreservoir is in the Green Opened Space to Reduce the
Flooded Water
Sarbidi

176-184

Katalog dan Abstrak

185-188
189

Indeks Subjek

ii

Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

STUDI ERGONOMI TERHADAP RANCANGAN RUANG KERJA KANTOR


PEMERINTAH BERDASARKAN ANTROPOMETRI INDONESIA
Ergonomics Study of Design of Government Offices Workspace
Based on Indonesian Anthropometry
1 Muhammad
1,2,3 Pusat

Nur Fajri Alfata, 2 Yuri Hermawan, 3 Rani Widyahantari

Litbang Permukiman, Badan Litbang. Kementerian Pekerjaan Umum


Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung
E-mail: ariel.alfata@puskim.pu.go.id
E-mail : siyourie@yahoo.com
E-mail : oreology@yahoo.com
Diterima : 05 April 2012; Disetujui : 17 Juli 2012

Abstrak
Makalah ini membahas hasil penelitian ergonomi ruang kantor pemerintah berdasarkan antropometri
manusia Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mensimulasikan kebutuhan ruang kerja yang optimum
berdasarkan antropometri manusia Indonesia yang sebenarnya. Survei lapangan dilakukan untuk
mengidentifikasi aktifitas pokok, perabot dan peralatan yang digunakan di ruang kantor pemerintah di
Indonesia. Luasan ruang kerja optimum bagi pegawai/karyawan kantor untuk melakukan aktifitas sesuai
dengan kedudukannya dalam organisasi kantor diperoleh dengan simulasi komputer. Simulasi mock up
digunakan untuk memvalidasi hasil simulasi komputer. Penelitian ini menghasilkan data aktifitas pokok dan
penunjang kerja, serta perabot dan peralatan yang digunakan untuk mendukung aktifitas tersebut. Studi ini
menunjukkan bahwa luasan ruang minimum untuk staf golongan I dan II adalah 1,9 m 2, staf golongan III
dan IV adalah 2,6 m2, pejabat eselon IV adalah 10,8 m2, pejabat eselon III adalah 20,5 m2, dan pejabat eselon
II adalah 107 m2.
Kata Kunci : Antropometri, ergonomi, kantor pemerintah, luasan minimum, simulasi

Abstract
This paper presents the result of ergonomic research on governments office based on Indonesians
anthropometry. The research aims to simulate in need of optimum space movement based on the real
Indonesian anthropometry. The field survey was carried out to identify the basic activities of workers,
Furnitur and equipments used by workers. Optimum workspace area for workers or staffs to perform certain
activities in accordance to their position in office organisation was obtained by computer simulation. Full
scale simulation (mock up) was carried out to validate the result of computer simulation that have been done
before.This research results data of basic and supporting activities, as well as Furnitur and equipments that
were used to support those activities. This research shows that minimum area for staff level I and II is 1.9 m2,
for level III and IV is 2.6 m2, for echelon IV is 10.8 m2, for echelon III is 20.5 m2, and for echelon II is 107.0 m2.
Keywords : Anthropometry, ergonomics, governments office, minimum area of workspace, simulation

PENDAHULUAN
Seiring dengan kebutuhan manusia yang terus
bertambah, kebutuhan akan ruang kerja yang
nyaman untuk beraktifitas juga ikut berubah.
Kebutuhan dalam ruang kerja ini pada umumnya
didorong oleh kemajuan teknologi, terutama
teknologi informasi dan telekomunikasi, sehingga
manusia mulai membangun fasilitas-fasilitas dalam
ruang perkantoran. Selain itu, kebutuhan akan
ruang pada kantor juga dipengaruhi oleh jenis
pekerjaan yang sedang dilakukan.
Paul Mahieu dalam Gie (2007) menyebutkan
bahwa
kantor
adalah
wadah
tempat
berlangsungnya pekerjaan administratif suatu
badan usaha yang dapat dilakukan dengan mesin

atau tangan. Sementara itu, Peusner (1972)


membagi kantor ke dalam beberapa kategori, yaitu
: kantor pemerintah, kantor komersial, kantor
profesional, dan kantor bisnis. Manusia dan semua
aktifitasnya dalam perkantoran, merupakan faktor
utama dan terpenting dalam penentuan kebutuhan
ruang gerak yang nyaman dalam gedung
perkantoran (human centered design). Jika
sebelumnya
masih
terpaku
pada
upaya
peningkatan produktivitas melalui sumberdaya
pasif (seperti misalnya mesin, alat maupun fasilitas
kerja lainnya), maka saat ini manusia ditempatkan
sebagai sumberdaya aktif yang harus dikelola
dengan baik untuk meningkatkan kinerja
organisasi. Di sini, faktor yang terkait dengan fisik
(fisiologi) maupun perilaku (psikologi) manusia
126

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

saat berinteraksi dengan mesin dalam sebuah


rancangan sistem manusia-mesin dan lingkungan
kerja fisik menjadi pertimbangan utama
(Wignjosoebroto, 2007).
Pendekatan ergonomi perlu dilakukan dalam
perencanaan dan perancangan ruang kerja yang
berpusat pada manusia. Ergonomi merupakan
suatu cabang ilmu yang sistematis untuk
memanfaatkan informasi mengenai sifat manusia,
kemampuan dan keterbatasan manusia untuk
merancang sistem kerja yang baik agar tujuan
dapat dicapai dengan efektif, aman dan nyaman
(Sutalaksana, 2006), sehingga fokus utama
ergonomi dalam perancangan objek, prosedur
kerja dan lingkungan kerja adalah manusia itu
sendiri (Sanders dan Mc Cormick, 1992). Sebagai
sebuah sistem kerja, ruang kantor mengandung
beberapa komponen kerja, dan masing-masing
komponen tersebut berinteraksi satu sama lain
(Darlis, et al, 2009). Tata ruang kantor yang
ergonomis diperoleh melalui pengaturan tata letak
dan fasilitas kerja untuk mencari gerakan-gerakan
kerja yang efisien dan disesuaikan dengan aliran
kegiatan
dan
gerakan
yang
efisien
(Wignjosoebroto, 2003).
Salah satu aspek penting dalam kajian ergonomi
adalah antropometri tubuh manusia. Antropometri
diartikan sebagai suatu ilmu yang secara khusus
berkaitan dengan pengukuran tubuh manusia yang
digunakan untuk menentukan perbedaan pada
individu, kelompok, dan sebagainya (Liliana,
2007). Data antropometri yang paling tepat untuk
diimplementasikan adalah data yang diukur secara
langsung terhadap populasi manusia yang nantinya
akan mengoperasikan hasil rancangan tersebut
(Wignjosoebroto, 2000).
Selama ini Indonesia belum mempunyai data
antropometri yang baik. Jikapun ada, sifatnya
masih terbatas dan masih mengadopsi dimensidimensi internasional yang mempunyai postur
tubuh lebih besar dibanding dengan postur tubuh
orang Indonesia, seperti misalnya Neufert
Architects Data, Human Dimension and Interior
Standard, Anatomy of Interior Design, dan lain-lain.
Data antropometri dari standar internasional
tersebut dianggap kurang sesuai untuk digunakan
pada perancangan yang diperuntukkan bagi
masyarakat Indonesia (Hermawan, et al, 2011).
Karena itu, penyesuaian antropometri untuk
mencapai optimalisasi gerak manusia Indonesia
saat bekerja sangat diperlukan, dengan tetap
memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan
tentang faktor ergonomi untuk perkantoran.
Tulisan ini berusaha menggali permasalahan
ergonomi ruang kantor pemerintah di Indonesia,
kemudian dilakukan perancangan ruang kantor
127

yang berbasis pada data antropometri manusia


Indonesia hasil penelitian Pusat Litbang
Permukiman (2010; 2011), sehingga diperoleh
ruang kantor yang efektif dan efisien dalam
pemanfaatannya, serta dapat meningkatkan
produktifitas kerja.

METODOLOGI
Disain Penelitian
Disain penelitian ini adalah penelitian lapangan
(survei) dan penelitian laboratorium. Survei
dilakukan untuk mendapatkan data primer yang
berupa data aktifitas pokok dan pola kerja, perabot
dan peralatan yang digunakan dalam sistem kerja.
Survei dilakukan dengan dua cara, yaitu
pengukuran lapangan dengan obyek survei berupa
ruang kerja dan penghuninya, dan melalui
kuesioner kepada para pegawai. Selanjutnya, data
hasil survei lapangan dianalisis lebih lanjut melalui
penelitian
laboratorium
dilakukan
untuk
menganalisis data hasil melalui simulasi komputer
dan simulasi fisik skala 1:1.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah gedung kantor
pemerintah dan pegawainya, sehingga sampel
diambil secara acak terhadap populasi tersebut.
Sampel diambil di empat kota besar di Indonesia,
yaitu : Jakarta, Surabaya, Makassar dan Medan,
dengan pertimbangan bahwa pada keempat kota
tersebut terdapat banyak aktifitas perkantoran
pemerintah. Selain itu, keempat kota besar
tersebut masing-masing juga merupakan ibukota
provinsi.
Sampel gedung yang digunakan dalam penelitian
ini adalah gedung kantor pemerintah pusat dan
daerah. Pemilihan sampel dilakukan secara acak,
dengan mempertimbangkan kemudahan akses
dalam melakukan survei lapangan. Sebelas
bangunan gedung kantor pemerintah diambil
sebagai sampel, yaitu : Gedung Manggala
Wanabhakti (Jakarta); Gedung Keuangan Negara
Sulawesi Selatan, DPRD Sulawesi Selatan, Bappeda
Sulawesi Selatan, dan Kantor Walikota Makassar
(Makassar); Kantor Walikota Medan, Kantor
Gubernur Sumatera Utara (Medan); dan Kantor
Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang Jawa Timur,
Dinas PU Pengairan Jawa Timur, dan Dinas PU Bina
Marga Jawa Timur (Surabaya).
Pemilihan sampel ruang kerja dan pegawai
didasarkan pada kedudukannya dalam organisasi
pemerintahan. Pada pemerintahan pusat, sampel
mulai dari jabatan paling tinggi hingga paling
rendah adalah Menteri/Wakil Menteri atau jabatan
yang setara Menteri/Wakil Menteri hingga staf.
Sementara itu, untuk pemerintah daerah, sampel
mulai jabatan mulai Gubernur/Walikota hingga

Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

staf. Sampel ruang kerja dan pejabat setingkat


Menteri dan Eselon 1 atau Kepala Daerah
(Gubernur/Walikota/Bupati)
tidak
diperoleh
karena kesulitan dalam akses ke ruangan serta
pejabat yang bersangkutan. Informasi tentang pola
kerja dan aktifitas pejabat yang bersangkutan
diperoleh dari Sekretaris Pribadi.
Jumlah sampel pegawai yang diambil dalam
penelitian ini mengacu pada pendapat Slovin :

= +()

(1)

di mana n = ukuran sampel; N = ukuran populasi;


dan e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena
kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat
ditolerir.
Berdasarkan data jumlah Pegawai Negeri Sipil
(PNS) di Indonesia tahun 2010, yaitu sebesar
4.732.472 orang (BKN, 2011) dan persen
kelonggaran ketidaktelitian ditentukan sebesar
5%, maka ukuran sampel minimal yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 399,99
orang (dibulatkan menjadi 400 orang responden).
Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan melalui identifikasi
fungsi ruang dalam bangunan kantor dan aktifitas
yang terjadi didalamnya. Metode yang digunakan
adalah mencatat pola dan fungsi ruang,
pengukuran ruang dan penggambaran tata ruang
dalam (layout). Kemudian, data yang diperoleh
disusun
dalam
bentuk
matrik
tabulasi.
Pertimbangan dalam menentukan aktifitas adalah
aktifitas pokok yang dilakukan sehari-hari dan
frekuensi aktifitas secara kualitatif. Data aktifitas
pokok diperoleh melalui pengisian kuesioner dan
identifikasi melalui jenis perabot yang digunakan.
Pengambilan data pola dan fungsi ruang dilakukan
dengan menggambarkan pada kertas kerja,
sementara pengukuran ukuran ruang kerja
dilakukan dengan menggunakan laser distance
meter. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian
ini memuat beberapa pertanyaan pokok, yaitu :
identitas pribadi dan kedudukannya dalam
organisasi kantor pemerintah, aktifitas pokok
dalam kantor tersebut serta frekuensi aktifitas
tersebut, peralatan dan perabot yang digunakan
dan yang dibutuhkan untuk mendukung kerja,
serta evaluasi kenyamanan aktifitas kerja
(termasuk kesehatan dan kecelakaan kerja).
Analisis Data
Analisis data menggunakan peta aktifitas yang
merupakan simulasi interaksi antara perabot
dengan pengguna dan identifikasi gerakan yang
kemungkinan besar dilakukan. Prinsip yang
digunakan
adalah
kelonggaran
(clearance

dimensions) dan jarak jangkauan (reach dimension).


Kelonggaran diperlukan untuk menentukan ruang
minimum (space) yang diperlukan orang untuk
leluasa melaksanakan aktifitas, sedangkan jarak
jangkauan diperlukan untuk menentukan ukuran
maksimum yang harus ditetapkan agar mayoritas
populasi dapat menjangkau dan mengoperasikan
peralatan atau perabot. Penentuan peta aktifitas
gerakan-gerakan yang mungkin terjadi ditentukan
berdasarkan pertimbangan perancangan yang
diperoleh dari hasil professional judgements dari
tim peneliti. Perancangan ergonomik untuk
populasi memiliki tiga pilihan yaitu; design for
extreme individuals; design for adjustable range dan
design for average (Wignjosobroto, 2000). Dari
hasil simulasi diperoleh dimensi ruang minimum
yang dibutuhkan berdasarkan antropometri nilai
besar (persentil 95) atau nilai kecil (persentil 5)
dan jenis perabot yang digunakan. Hasil simulasi
komputer divalidasi dengan simulasi fisik skala 1:1
(mock up)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kantor pemerintah adalah wadah tempat
berlangsungnya
pekerjaan
administrasi
kepemerintahan sesuai dengan tugas dan fungsi
dari suatu unit organisasi pemerintahan suatu
negara. Di Indonesia, kantor pemerintah
dikategorikan ke dalam bangunan gedung negara,
yang pengadaannya dibiayai oleh negara, sehingga
dalam perencanaan maupun perancangannya
dibutuhkan standar yang efektif dan efisien.
Standar ini diberlakukan terhadap setiap
pembangunan ruang kantor, baik di tingkat pusat
maupun daerah
Penelitian ini melibatkan 440 responden dari 11
gedung kantor pemerintah di empat kota besar di
Indonesia, yaitu Jakarta, Makassar, Medan dan
Surabaya. Berdasarkan tingkat pendidikan,
sebagian besar responden penelitian memiliki latar
belakang Sarjana (S1) sebesar 46,4% (204 orang
responden). Selanjutnya adalah berpendidikan
SMA sebesar 24,1% (106), Strata 2 sebesar 12,3%
(54), Diploma sebesar 9,3% (41), SMP sebesar
2,5% (11), dan SD sebesar 0,2% (1). Terdapat 5,2
% dari total responden (23) yang tidak
menyebutkan latar belakang pendidikannya.
Berdasarkan kedudukannya dalam organisasi,
82,5% dari total responden adalah staf, 4,8 %
adalah pejabat setingkat eselon 4 (kasubbag atau
kasubbid), dan 4,1% adalah pejabat setingkat
eselon 3 (kabid atau kabag). Sebanyak 7,3% dari
total responden menyatakan di luar jabatan di atas,
dan hanya 1,4% responden yang tidak menyatakan
posisinya. Penelitian ini tidak dilakukan terhadap
pejabat setingkat eselon 2 dan 1 serta setingkat
Menteri/Gubernur/Walikota karena keterbatasan

128

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

akses dalam penggalian informasi lebih dalam pada


ruang kerja tersebut.
Aktifitas Kerja, Ruang, Perabot dan Peralatan
Beberapa aktifitas pokok dalam perkantoran
ditunjukkan dalam Tabel 1. Aktifitas pokok
tersebut digolongkan dalam dua aktifitas utama,
yaitu aktifitas duduk dan aktifitas berdiri,
sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 1
menunjukkan bahwa rata-rata responden memiliki
lima hari kerja, kecuali beberapa responden yang
bekerja lebih dari lima hari (lembur). Waktu kerja
rata-rata setiap hari adalah 8,35 jam, dengan waktu
kerja minimal 6 jam dan maksimal 14 jam. Dari
beberapa aktifitas pokok perkantoran yang bersifat
personal, diperoleh data bahwa penggunaan
komputer (PC) merupakan aktifitas yang paling
banyak dilakukan oleh para pekerja dengan ratarata penggunaan sebesar 6,11 jam. Meskipun
demikian, tidak semua responden menggunakan
komputer, karena ternyata terdapat pula
responden yang hanya menggunakan komputer
hanya 1 jam perhari, tetapi ada yang bahkan
hingga 12 jam per hari. Demikian juga dengan
pemakaian laptop dalam aktifitas pekerjaan,
terdapat responden yang hanya menggunakannya
satu jam per hari, ada yang menggunakan hingga
12 jam per hari. Rata-rata penggunaan laptop
adalah 4,97 jam/hari.
Tabel 1 Aktifitas Kantor Responden dan Lamanya
Aktifitas
Variabel
Hari kerja (hari)
Waktu kerja (jam)
Di depan komputer
PC
(jam)
Laptop
Menggunakan printer (jam)
Duduk (jam)
Berdiri (jam)
Membaca (jam)
Telepon (jam)
Istirahat (menit)

Rata-rata
5,01
8,35
6,11
4,97
2,98
6,05
2,55
3,81
1,69
56,20

Min Max
5
6
6
14
1
12
1
10
0,5
12
1
12
1
18
1
11
0,1
9
30 120

Tabel 2 Kategorisasi Aktifitas Kantor


Aktifitas Pokok
Aktifitas Duduk
Membaca
Menulis
Menggunakan komputer
(PC/Laptop)
Menggunakan mesin ketik
Aktifitas Berdiri
Mengambil/menyimpan
berkas di lemari
Menerima telepon

Aktifitas Penunjang
Makan/Minum
Buang air besar/kecil
Ibadah/Shalat
Istirahat
Menerima tamu
Rapat

Kebutuhan akan ruang terkait erat dengan


kedudukan pegawai dalam organisasi kantor.
Semua level pegawai, dari level pimpinan hingga
staf, memiliki aktifitas pokok dalam pekerjaan
sebagaimana disebutkan dalam Tabel 2. Namun,
terdapat perbedaan ruang yang mewadahi

129

aktifitas-aktifitas
tersebut.
Pada
tingkatan
pimpinan, aktifitas menerima telepon atau fax
merupakan aktifitas duduk, karena pesawat
telepon/fax tersedia di meja kerja. Sementara
untuk staf, pesawat telepon/fax merupakan
aktifitas
yang
dilakukan
pada
ruang
publik/komunal. Untuk aktifitas menggunakan
mesin ketik, level pimpinan tidak menggunakan
mesin ketik tersebut. Sementara pada staf, mesin
ketik berada pada ruang komunal.
Selain aktifitas pokok, terdapat juga aktifitas
penunjang seperti aktifitas makan/minum, buang
air besar/kecil, ibadah/shalat, istirahat, rapat, dan
menerima tamu. Semua pegawai pada semua
tingkatan
organisasi
melakukan
aktifitas
penunjang tersebut. Baik aktifitas pokok maupun
aktifitas penunjang membutuhkan ruang untuk
mewadahinya. Perbedaannya terletak pada lokasi
dan sifat ruang tersebut. Pada level pimpinan,
semua aktifitas kantor dilakukan di ruang privat
(yang terintegrasi dengan ruang kerja). Terdapat
juga perbedaan antarlevel pimpinan dalam
mewadahi aktifitas dalam ruang kerja tersebut.
Semua aktifitas dalam pekerjaan, baik aktifitas
pokok, aktifitas penunjang, maupun aktifitas publik
pada pimpinan setingkat Menteri atau Gubernur/
Walikota diwadahi dalam ruang kerja pribadi,
sementara untuk level pimpinan di bawahnya
(setara eselon 3 dan 4) terdapat beberapa aktifitas
yang diwadahi di ruang komunal. Perbedaan
tersebut ditunjukkan dalam Tabel 3.
Rapat dilakukan oleh semua pegawai, mulai dari
pimpinan tertinggi hingga staf. Untuk melakukan
aktifitas tersebut, digunakan ruang rapat. Pada
umumnya ditemui dua jenis ruang rapat, yaitu
ruang rapat pribadi dan ruang rapat besar/
bersama. Ruang rapat pribadi umumnya dimiliki
oleh pimpinan dan menjadi bagian yang integral
dari ruang kerja pimpinan. Ruang rapat pribadi
biasanya dimiliki hingga pejabat setingkat eselon 2.
Sementara untuk pejabat setingkat eselon 3 hingga
staf menggunakan ruang rapat bersama.
Kebutuhan akan ruang rapat sangat tergantung
pada kebutuhan jumlah peserta rapat dan
frekuensi rapat yang dilakukan.
Sebagai konsekuensi dari perbedaan lokasi dan
sifat ruang kerja, peralatan dan perabot/mebeler
yang digunakan oleh pegawai juga berbeda-beda.
Tabel 4 menunjukkan perabot/mebeler yang
digunakan, sementara Tabel 5 menunjukkan
perbedaan perabot yang digunakan pada tingkatan
jabatan yang berbeda.
Selain ruang dan perabot/mebeler, peralatan
kantor juga mutlak diperlukan dalam mendukung
aktifitas
kerja
kantor.
Seiring
dengan
perkembangan teknologi, peralatan kantor yang

Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

digunakan juga semakin berkembang, terutama


peralatan teknologi komunikasi dan informasi.
Kebutuhan peralatan pendukung kantor berbedabeda menurut perbedaan aktifitas yang didasari
oleh hirarki jabatan dalam organisasi kantor
pemerintah. Kompleksitas kebutuhan peralatan
dan ini berkaitan erat dengan aktifitas kerja
masing-masing
sebagaimana
dijelaskan
sebelumnya. Kebutuhan alat kantor tersebut juga
membawa konsekuensi kebutuhan ruang untuk
mewadahi peralatan kantor tersebut. Beberapa
peralatan kantor yang diperlukan serta kebutuhan
alat berdasarkan hirarki jabatan dalam organisasi
kantor pemerintah ditunjukkan oleh Tabel 6.
Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat beberapa
peralatan yang sebenarnya dibutuhkan oleh
pimpinan tetapi pemanfaatannya didelegasikan
kepada staf, seperti misalnya mesin fotokopi,
mesin ketik, scanner, dan plotter. Tabel 6 juga
menunjukkan bahwa terdapat beberapa peralatan

yang dibutuhkan tetapi sifat penggunaannya


berbeda. Misalnya, telepon, dispenser, kulkas,
televisi pada level pimpinan bersifat personal
(pribadi) sementara pada level staf bersifat
komunal. Bahkan, terdapat pola penggunaan
peralatan di mana komputer (PC) dan semua
peralatan pendukungnya (printer, scanner, dsb)
bersifat komunal.
Selain itu, terdapat beberapa perabot yang ada
tetapi tidak fungsional untuk mewadahi aktifitas.
Perabot tersebut lebih berfungsi sebagai media
untuk mewadahi kebutuhan estetika maupun
aktualisasi diri untuk menunjukkan kelas sosial
penghuninya (Halim, 2005). Beberapa perabot
seperti lemari display (untuk souvenir), ukuran
meja yang besar serta bentuk kursi yang mewah,
adalah salah satu perabot yang lebih berfungsi
sebagai identitas sosial yang berkaitan dengan
jabatan tertentu.

Tabel 3 Tempat dan Aktifitas Pegawai Berdasarkan Kedudukannya dalam Organisasi


Ruang yang dibutuhkan
Ruang untuk aktifitas pokok
Ruang aktifitas penunjang
Baca/
PC/
Telp/ Arsip/ Sholat/
Makan/
Print
Toilet
Rapat
Terima tamu
Tulis Laptop
Fax
File
Tidur
Minum
Menteri/ Ruang Kerja
Ruang Ruang
Ruang
Ruang
R. Rapat
R. Terima Tamu,
Gub
Simpan Sholat/ Toilet
Makan
(privat & bersama R. Sekretaris
Tidur
terbatas, besar)
R. Tunggu,
R. Ajudan
R. Security
Wakil
Ruang Kerja
Ruang Ruang
Ruang
Ruang
R. Rapat (privat & R. Terima Tamu,
Menteri/
Simpan Sholat
Toilet
Makan
bersama terbatas) R. Sekretaris
Gub
R. Tunggu,
R. Ajudan
Eselon 1 Ruang Kerja
Ruang Ruang
Ruang
Ruang
R. Rapat
R. Terima Tamu,
Simpan Sholat
Toilet
Makan
(privat & bersama R. Sekretaris
terbatas)
R. Tunggu,
Eselon 2 Ruang Kerja
Ruang Ruang
Ruang
Ruang
R. Rapat
R. Terima Tamu, R.
Simpan Sholat
Toilet
Makan
(privat & bersama Sekretaris
terbatas)
R. Tunggu,
Eselon 3 Ruang Kerja
Ruang Mushola Ruang
Di luar
R. Rapat bersama
Simpan
Toilet
R. Terima Tamu
bersama
komunal
Eselon 4 Ruang Kerja
Ruang Mushola Ruang
Di luar
R. Rapat bersama Kursi hadap
Simpan
Toilet
bersama
Komunal
Staf
Gol 4
Ruang Kerja
Bersama Ruang Mushola R Toilet Di Luar R. Rapat bersama Kursi hadap
Simpan
Komunal
bersama
Gol 3
Ruang Kerja
Bersama Ruang Mushola R Toilet Di luar
R. Rapat bersama Kursi hadap
Simpan
Komunal
bersama
Gol 2
Ruang Kerja
Bersama
Mushola R Toilet Di luar
Di luar
Komunal
Gol 1
Ruang Kerja
Bersama
Mushola R Toilet Di luar
Di luar
Komunal
Jabatan

Dengan kondisi tatanan ruang, ketersediaan luas


ruang kerja, furnitur, dan alat bantu kerja yang
ditemui di lapangan, para pegawai pada umumnya
menyatakan nyaman walaupun fasilitas yang
tersedia sangat terbatas, khususnya pada staf yang
hanya ada meja dan kursi dengan rentang sirkulasi

yang sempit. Hanya sebagian kecil pegawai yang


menyatakan ketidaknyamanan beraktifitas, yang
pada umumnya karena harus menggunakan
fasilitas yang disediakan secara komunal seperti
telepon, fotokopi, printer, bahkan komputer dan
mesin ketik. Keluhan ini disebabkan karena

130

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

Tabel 4 Perabot/Furnitur yang Digunakan

sirkulasi untuk menjangkau fasilitas tersebut tidak


baik dan harus bergantian dalam penggunaannya.

No
1

Persepsi responden tentang kenyamanan tersebut


sangat subjektif, dan sangat dipengaruhi oleh
hierarki birokrasi yang secara psikologis tidak
memungkinkan mereka menolak apa yang mereka
terima untuk menyatakan ketidaknyamanannya.
Karena persepsi ini sangat subyektif, maka tidak
bisa dijadikan acuan dalam penentuan kenyamanan ruang gerak. Karena itu, dalam penentuan
luasan minimum bagi pegawai untuk mendapatkan
ruang gerak, digunakan professional judgement
melalui simulasi ruang gerak, baik simulasi
komputer maupun simulasi fisik (mock-up).

Aktifitas
Pokok

Perabot/Furnitur

Kerja

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Meja dan kursi kerja


Meja samping
Lemari buku, display
Filing cabinet
Credenza
Rak/lemari
Rak handuk
Tempat tidur
Pantry, meja dan kursi
makan
j. Meja dan kursi rapat
k. Kursi hadap, meja dan
kursi tamu

Simpan
2

Penunjang

Shalat
Toilet
Istirahat
Makan/minum
Rapat
Terima tamu

Tabel 5 Perabot yang Digunakan untuk Mendukung Aktifitas Kantor


Aktifitas Pokok

Jabatan
Kerja

Furnitur yang Dibutuhkan Pegawai/Karyawan


Aktifitas Penunjang

Simpan
(c)

(d)

Sholat
(e)

Toilet

(f)

Istirahat

(g)

Makan

(a)

(b)

Menteri

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Wakil
Menteri
Eselon 1

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Eselon 2

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Eselon 3

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada
Ada*

Ada
Tidak ada

Eselon 4

Ada

Ada

Ada*

Ada

Ada*

Ada
Tidak
ada
Tidak
ada

Ada
Ada
Ada (meja kursi Ada +
rapat pribadi)
Tidak ada
Ada +

Staf
Gol 4

Tidak
ada

Ada
Tidak
ada
Tidak
ada

Ada

Ada

Ada*

Ada

Ada*

Tidak ada

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Gol 2

Ada

Ada

Ada*

Tidak ada

Tidak ada

Gol 1

Ada

Ada

Tidak
ada
Tidak
ada
Tidak
ada
Tidak
ada

Tidak ada

Ada

Tidak
ada
Tidak
ada
Tidak
ada
Tidak
ada

Tidak ada

Gol 3

Tidak
ada
Tidak
ada

Tidak ada

Tidak ada

Ada*
Ada*
Ada*

(h)

Terima
Tamu

Rapat

(i)

Tidak ada

Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

(j)

(k)

Keterangan:
Notasi (a), (b), dst pada kolom mengacu pada Tabel 4
* Bersifat komunal
+ Berupa kursi hadap

Alat Bantu Kerja yang Dibutuhkan

131

Telepon

Dispenser

Kulkas

Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu

Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak

Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak

Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu

Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu

Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu

Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Tidak
Tidak

Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu*

Tidak
Tidak
Tidak
Tidak

Tidak
Tidak
Perlu
Perlu

Perlu
Perlu
Tidak
Tidak

Perlu
Perlu
Tidak
Tidak

Perlu*
Perlu*
Perlu*
Perlu*

Perlu*
Perlu*
Tidak
Tidak

Perlu*
Perlu*
Perlu*
Perlu*

Perlu*
Perlu*
Perlu*
Perlu*

Perlu*
Perlu*
Perlu*
Perlu*

Tidak
Tidak
Tidak
Tidak

Perlu*

Layar &
Infocus

Plotter

Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak

Scanner

Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Perlu
Perlu

Mesin
ketik

Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu
Perlu

Laptop

Fotokopi

Menteri
Tidak
Wakil Menteri Tidak
Eselon 1
Tidak
Eselon 2
Perlu
Eselon 3
Perlu
Eselon 4
Perlu
Staf
Gol 4
Perlu
Gol 3
Perlu
Gol 2
Tidak
Gol 1
Tidak
Keterangan:
* Bersifat komunal

Aktifitas Penunjang

Printer

Aktifitas Pokok

PC

Kedudukan dalam
Organisasi

Tabel 6 Peralatan Kantor yang Dibutuhkan Pegawai dalam Ruang Kerja

TV

Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

Ruang Kerja yang Ergonomis


Lingkungan kerja yang ergonomis memiliki
pengaruh yang besar terhadap kinerja pegawai
(Kusuma, 2007). Prinsip dan langkah-langkah
perancangan ruang kerja yang ergonomis sudah
banyak didiskusikan oleh beberapa penulis,
diantaranya oleh Wignjosoebroto (2000, 2007),
Liliana (2007), Sutalaksana (2006), Amali (2008),
Darlis et al (2009), dan lain sebagainya. Diskusidiskusi tersebut setidaknya menyimpulkan
beberapa aspek penting dalam perancangan ruang
yang ergonomis, yaitu : data antropometri yang
memadai,
aktifitas
dan
pola/cara
kerja,
peralatan/mesin dan perabot yang ada dan
digunakan.
Aspek penting dalam perancangan ruang yang
ergonomis adalah data antropometri yang
memadai. Data antropometri yang ada masih masih
mengacu pada data antropometri internasional,
padahal data antropometri dari standar
internasional kurang sesuai untuk digunakan pada
perancangan yang diperuntukkan bagi masyarakat
Indonesia (Hermawan, et al, 2011). Perancangan
sistem kerja yang efisien perlu dilengkapi dengan
data antropometri yang tepat dan akurat sehingga
bentuk dan geometris sistem dan fasilitas kerja
yang dirancang sesuai dengan ukuran segmensegmen bagian tubuh manusia yang nantinya akan
mengoperasikan
sistem
tersebut.
Data
antropometri
yang
paling
tepat
untuk
diimplementasikan adalah data yang diukur secara
langsung terhadap populasi manusia yang nantinya
akan mengoperasikan hasil rancangan tersebut
(Wignjosoebroto, 2000). Karena itu, data
antropometri dalam perancangan ini mengacu
pada data antropometri yang dihasilkan oleh
penelitian Pusat Litbang Permukiman tahun 2010
dan divalidasi pada tahun 2011, yang merupakan
hasil pengukuran secara langsung dimensi tubuh
manusia Indonesia.
Setelah mendapatkan data antropometri yang
memadai, tahapan perancangan ruang kerja yang
ergonomis selanjutnya antara lain : (1)
Menentukan aktifitas yang akan diwadahi dalam
kantor atau ruang kerja, (2) Menentukan peralatan
yang diperlukan untuk aktifitas tersebut, (3)
Menentukan ruang yang diperlukan untuk kegiatan
(aktifitas), (4) Mengintegrasikan ruang setiap
kegiatan untuk menetapkan ruang gabungan
semua kegiatan itu dan kemudian mewadahkan
pada ruang bangunan yang tersedia.
Visualisasi rancangan perlu memperhatikan posisi
tubuh secara normal, kelonggaran (pakaian dan
ruang) dan variasi gerak. Selanjutnya, pengaturan
tempat kerja, penyusunan perabot/mebeler dan
peralatan pendukung harus mempertimbangkan

gerakan yang efektif, efisien, nyaman dan aman,


dan disesuaikan dengan kemampuan tubuh
manusia, aktifitas kerja dan lingkungan kerja
sehingga diperoleh kinerja yang optimal.
Berdasarkan data antropometri, peta aktifitas kerja
serta peralatan dan perabot yang digunakan, maka
dilakukan simulasi komputer untuk merancang
dan merencanakan ruang kerja yang ergonomis.
Kebutuhan luas minimum berdasarkan hasil
simulasi ditunjukkan dalam Tabel 8. Tabel 8 belum
mempertimbangkan rentang toleransi kelonggaran
jarak yang pada umumnya berada pada kisaran 1015% (Neufert, 1989; Panero&Zelnik, 1979). Hasil
contoh simulasi komputer pada beberapa ruang
kerja pegawai dapat dilihat pada Gambar 1-3.
Ruang pejabat setingkat Menteri/Wakil Menteri
atau Gubernur/Wakil Gubernur, dan pejabat
setingkat Eselon 1 (Dirjen/Kepala Badan atau
Sekda) belum dapat disimulasikan karena
kekurangan data tentang aktifitas serta perabot
dan peralatan yang digunakan untuk menunjang
aktifitas kantor pejabat tersebut.
Gambar 1 memperlihatkan hasil simulasi kebutuhan ruang kerja yang menggunakan komputer
berdasarkan pada antropometri tubuh manusia
Indonesia. Simulasi memperlihatkan tinggi meja
dan kursi kerja yang sesuai dengan antropometri
tubuh manusia Indonesia sehingga posisi pegawai
mendapatkan kelonggaran (clearence dimensions)
yang sesuai. Kelonggaran dirancang dengan
menggunakan antropometri persentil 95 laki-laki,
sehingga diharapkan orang Indonesia dengan
persentil dibawahnya, baik laki-laki maupun
perempuan, memiliki kelonggaran yang cukup
untuk melakukan aktifitasnya. Sementara itu, jarak
jangkauan dirancang dengan menggunakan
antropometri persentil 5 perempuan, agar
persentil lain dapat menjangkau peralatan yang
digunakan dalam ruang kerja. Perancangan
ergonomis juga tetap mempertimbangkan aspek
design for extreme individuals, design for adjustable
range dan design for average (Wignjosoebroto,
2000)
Gambar 1 memperlihatkan posisi pegawai yang
duduk tegak, kepala dan leher serta punggung
lurus, siku bersudut 90o, dan kaki menjejak ke
lantai dalam posisi yang optimum. Tinggi kursi
dirancang berdasarkan ukuran tinggi popliteal
ekstrim, yaitu persentil 95 laki-laki (45 cm) dan
persentil 5 perempuan (34 cm). Panjang dan lebar
meja memungkinkan pegawai mendapatkan jarak
jangkauan (reach dimensions) yang sesuai.
Peralatan kantor seperti komputer, pesawat
telepon,
maupun
tempat
catatan/berkas,
diletakkan sedemikian rupa sehingga semua orang
dapat menjangkau dan mengoperasikan komputer

132

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

dengan baik menjangkau ke arah peralatan kantor


seperti pesawat telepon dan printer tanpa harus
melakukan aktifitas berdiri. Jarak jangkauan yang
digunakan adalah persentil 5 perempuan. Panjang
dan lebar ruangan dirancang berdasarkan
jangkauan rentang tangan persentil 95 laki-laki,
yaitu sekitar 170 cm. Diskusi lebih lanjut meja dan
kursi ergonomis untuk komputer dapat dilihat
lebih jauh pada studi Sundari (2010), serta
bagaimana posisi tubuh yang ergonomis dalam

mengoperasikan komputer dapat dilihat dalam


tinjauan Amali (2008).
Gambar 1 berlaku untuk pegawai laki-laki maupun
perempuan,
meskipun
pada
kenyataannya
terdapat perbedaan dimensi tubuh antara laki-laki
dan perempuan (Hermawan, et al, 2011). Sehingga,
perlu penyesuaian lebih lanjut apabila hendak
digunakan untuk pegawai dengan jenis kelamin
tertentu.

Gambar 1 Simulasi Ruang Kerja dengan Komputer (PC)

Aspek sirkulasi tidak dapat dikesampingkan dalam


perencanaan ruang kerja yang ergonomis. Lebar
sirkulasi berbeda tergantung pada penataan ruang
kerja. Gambar 2 menunjukkan model penataan
ruang kerja. Lebar ruang sirkulasi dalam ruang
kerja didasarkan pada ukuran lebar bahu persentil
95 laki-laki, yaitu 48 cm (Gambar 2.a). Dengan
demikian, ruang sirkulasi hanya cukup untuk
dilalui oleh satu orang dan harus digunakan secara
bergantian. Apabila penataan ruang kerja seperti

(a)

Gambar 3.b, maka ruang sirkulasi dihitung


berdasarkan ukuran pantat popliteal persentil 95
laki-laki, yaitu 49 cm. Sirkulasi inipun juga hanya
dapat dilalui oleh satu orang saja. Dengan kondisi
ini, pegawai mendapatkan keleluasaan dalam
bekerja dan sikap alami dalam bekerja yang sesuai
dengan ergonomi tubuh dapat terwujud, sehingga
kelelahan maupun keluhan muskuloskeletal karena
kerja dapat dicegah.

(b)

Gambar 2 Pola Penataan Ruang Kerja dan Lebar Ruang Sirkulasi

133

Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

Ruang pejabat eselon IV pada dasarnya terdiri dari


satuan ruang kerja sebagaimana disimulasikan
pada Gambar 1 dengan penambahan beberapa
perabot sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5.
Demikian juga dengan pejabat setingkat eselon II
dan III. Gambar 3 menunjukkan simulasi ruangruang tersebut. Hasil simulasi ditunjukkan dalam
Tabel 7.
Simulasi hanya mempertimbangkan aspek-aspek
ergonomis, tidak mempertimbangkan fungsi lain di
luar ergonomi (seperti misalnya fungsi estetika
dan kebutuhan aktualisasi diri yang cenderung
kepada status sosial atau kedudukannya dalam
kantor) (lihat Tabel 8). Meskipun demikian,
penelitian lapangan menunjukkan bahwa ukuran
ruang kerja serta perabot dan peralatan yang
digunakan pejabat setingkat eselon II dan III

(a)

memiliki kecenderungan lebih sebagai simbol


status sosial atau kedudukannya dalam organisasi
kantor. Sehingga, luas kantor sebagaimana
ditunjukkan dalam hasil simulasi dapat tidak
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya (Tabel
8).
Validasi dengan menggunakan simulasi fisik 1:1
(mock up) menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda dengan menggunakan simulasi komputer.
Hanya terdapat perbedaan ukuran sekitar 2-3 cm.
Tidak terlihat adanya kesulitan maupun kelonggaran dalam proses-proses aktifitas maupun sirkulasi
dalam ruangan. Bahkan, terlihat tidak terdapat
kesulitan yang berarti pada model (pegawai)
ketika melakukan skenario emergency (kondisi
darurat bahaya) (lihat Gambar 4).

(b)

Gambar 3 Contoh Pola Penataan Ruang Kerja (a) Unit Eselon III dan, (b) Ruang Kerja Pejabat Eselon II

134

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

Gambar 4 Simulasi Fisik Skala 1:1 untuk Validasi Simulasi Komputer pada Ruang Staf

Tabel 7 Hasil Simulasi Kebutuhan Ruang untuk Pegawai Kantor Pemerintah


Kedudukan dalam
Organisasi
Eselon II

Eselon III

Eselon IV

Jenis ruang

Perabot

Ruang staf

Keterangan

Meja kerja, kursi kerja, meja samping, credenza,


filing cabinet
Ruang tunggu
Sofa, meja tamu
Kapasitas 5 org
Display
Lemari
Ruang tamu pribadi
Meja dan kursi tamu
Kapasitas 7 org
Ruang rapat pribadi
Meja dan kursi rapat
Kapasitas 12 org
Ruang kerja pribadi
Meja kerja, kursi kerja,
Meja samping,
Kursi hadap, credenza,
filing cabinet
Ruang istirahat pribadi Sofa
Toilet pribadi
Shower, toilet, wastafel
Ruang rapat terbatas
Meja dan kursi rapat
Kapasitas 30 org
Total
Ruang kerja pribadi
Meja kerja,
Meja samping,
Kursi kerja,
Credenza,
File cabinet,
Lemari buku,
Kursi hadap
Ruang tamu
Meja dan kursi tamu
Total
Ruang kerja pribadi
Meja dan kursi kerja,
Meja samping,
Credenza.
Lemari buku
Kursi hadap

Luas (m2)
9,2
5,67
3,8
11,9
13,4
9,6

3,4
3,4
46,6
107,0
10,3

10,2
20,5
10,8

Staf Golongan III


dan IV

Ruang kerja pribadi

Meja kerja,
Meja samping,
Kursi kerja

2,6

Staf Gol. I dan II

Ruang kerja pribadi

Meja kerja, kursi kerja

1,9

135

Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

Tabel 8 Perbandingan Luasan Minimum Hasil Simulasi


dan Standar yang Ada
Kedudukan Dalam
Organisasi Kantor
Menteri/Gubernur/
Walikota
Wagub/Wawali
Eselon IA
Eselon IB
Eselon IIA
Eselon IIB
Eselon IIIA
Eselon IIIB
Eselon IV
Eselon V
Staf
Gol III dan IV
Gol I dan II

Kondisi
Lapangan

Hasil
Simulasi

947,3
157,9
185,8
95,6
67,7
34,3
17,3
20,9

107,0
20,5
10,8
2,6
1,9

KESIMPULAN
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
perancangan tata ruang kantor yang ergonomis
antara lain : antropometri tubuh manusia
Indonesia; aktifitas pokok maupun penunjang;
perabot/ furnitur yang digunakan, serta peralatan
kantor yang digunakan. Aspek-aspek tersebut
harus juga mampu mengakomodasi kemajuan
teknologi dalam dunia perkantoran.
Perancangan sistem kerja yang efisien perlu
dilengkapi dengan data antropometri yang tepat
dan akurat sehingga bentuk dan geometris sistem
dan fasilitas kerja yang dirancang sesuai dengan
ukuran segmen-segmen bagian tubuh manusia
yang nantinya akan mengoperasikan sistem
tersebut. Tahap perancangan ruang kerja yang
ergonomis selanjutnya adalah : (1) menentukan
aktifitas yang akan diwadahi dalam kantor atau
ruang kerja, (2) menentukan peralatan yang
diperlukan
untuk
aktifitas
tersebut,
(3)
menentukan ruang yang diperlukan untuk kegiatan
(aktifitas), dan (4) mengintegrasikan ruang setiap
kegiatan untuk menetapkan ruang gabungan
semua kegiatan itu dan kemudian mewadahkan
pada ruang bangunan yang tersedia.
Para pegawai pada umumnya menyatakan
nyaman walaupun fasilitas yang tersedia sangat
terbatas, khususnya pada staf yang hanya meja dan
kursi dengan rentang sirkulasi yang sempit. Hanya
sebagian kecil pegawai yang menyatakan
ketidaknyamanannya. Maka, penilaian profesional
(professional judgement) digunakan dalam proses
simulasi.
Simulasi komputer ruang kerja pegawai
berdasarkan kedudukannya dalam organisasi
kantor ditunjukkan dalam Gambar 1 sampai
dengan Gambar 3. Luasan minimum ruang kerja

yang dilakukan dengan penilaian profesional


melalui simulasi komputer menunjukkan bahwa
kebutuhan ruang staf golongan 1 dan 2 adalah 1,9
m2, staf golongan 3 dan 4 adalah 2,6 m 2, pejabat
setara eselon 4 adalah 10,8 m2, pejabat setara
eselon 3 adalah 20,5 m2, dan pejabat setara eselon
2 adalah 107,0 m2 (lihat Tabel 7). Hasil simulasi
menunjukkan
hasil
yang
berbeda
bila
dibandingkan
dengan
kondisi
lapangan,
sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 8.
Berdasarkan hasil simulasi mock up, luasan
minimun bagi pegawai sebagaimana dihasilkan
oleh simulasi komputer dapat divalidasi dengan
baik melalui serangkaian skenario simulasi. Tidak
terlihat adanya kesulitan maupun kelonggaran
dalam proses-proses aktifitas maupun sirkulasi
dalam ruangan. Bahkan, terlihat tidak terdapat
kesulitan yang berarti pada model (pegawai)
ketika melakukan skenario emergency (kondisi
darurat bahaya) (lihat Gambar 4).

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
Puslitbang Permukiman yang telah membiayai
penelitian ini melalui APBN Tahun 2011. Ucapan
terima kasih juga kami sampaikan kepada
narasumber : Dr. Iftikar Z. Sutalaksana (ITB) dan
Dr. Rumiati R. Tobing (Unpar) dan anggota tim
peneliti yang membantu dalam kegiatan penelitian
ini

DAFTAR PUSTAKA
---. 2010. Penelitian dan Pengembangan Kriteria
Perencanaan dan Perancangan Arsitektur,
Struktur dan Utilitas, Subkegiatan A :
Penelitian Kebutuhan Ruang Gerak Di Dalam
Bangunan Hunian. Laporan Akhir. Bandung :
Pusat Litbang Permukiman.
Amali, L.N. 2008. Pendekatan Ergonomi untuk
Mengurangi Gangguan Kesehatan Akibat
Penggunaan Komputer. Jurnal Teknik Vol. 6
(2).
Darlis, Widagdo, S., Santoso, S., dan Rozali, B. 2009.
Pertimbangan Ergonomi pada Perancangan
Stasiun Kerja. Sigma Epsilon Vol. 13 (4).
Gie, T. L. 2007. Administrasi Perkantoran Modern,
Edisi Keempat. Yogyakarta : Liberty.
Halim, D. 2005. Psikologi Arsitektur, Pengantar
Kajian Lintas Disiplin. Jakarta : Penerbit
Grasindo.
Hermawan, Y., et al. 2011. Kebutuhan Minimum
Ruang Gerak untuk Rumah Sederhana
Berdasarkan
Antropometri.
Proceeding
Kolokium 2011 Hasil Litbang Bidang
Permukiman. Bandung : Pusat Litbang
Permukiman.

136

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

Kusuma, A. 2007. Pengaruh Lingkungan Kerja


terhadap Kinerja Pegawai pada BKD
Kabupaten Lahat. Jurnal Ilmu Administrasi Vol
IV(4).
Liliana Y.P., Widagdo, S., Abtokhi, A. 2007.
Pertimbangan
Antropometri
pada
Pendisainan. Prosiding Seminar Nasional III
SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta. Hal. 183
189. Yogyakarta : Batan.
Neufert, E. 1989. Data Arsitek, Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Panero, J. dan Zelnik, M. 1979. Human Dimension
and Interior Space. London : The Architectural
Press Ltd.
Peusner, N. 1972. Office. New York : McGraw-Hill
Book Company.
Sanders, M., and Mc Cormick, E. J. 1992. Human
Factors in Engineering and Design. New York :
Mc. Graw-Hill Book Co.
Sundari, K.N. 2010. Tinjauan Ergonomi terhadap
Meja dan Kursi Kerja pada Operator

137

Komputer di UPT PSTKP Bali. Metris Vol.


11(1).
Sutalaksana, I., et al. 2006. Teknik Perancangan
Sistem Kerja. Bandung : Penerbit ITB.
Wignjosoebroto,
S.
2000.
Prinsip-prinsip
Perancangan Berbasiskan Dimensi Tubuh
(Antropometri) dan Perancangan Stasiun
Kerja. Makalah disampaikan dalam Lokakarya
IV Methods Engineering : Adaptasi ISO/TC 159
(Ergonomics)
dalam
Standar Nasional
Indonesia (SNI). 17 19 Oktober 2000.
Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Wignjosoebroto, S. 2003. Ergonomi, Studi Gerak
dan Waktu. Surabaya : Penerbit Guna Widya.
Wignjosoebroto, S. 2007. Peran dan Kontribusi
Perguruan Tinggi dalam Pembentukan SDM
ErgonomiK3 yang Siap Bersaing di Pasar
Kerja Nasional dan Internasional. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional K3 :
Revitalisasi SDM-K3 di Perusahaan dalam
Menghadapi Era Globalisasi dan Pasar Bebas. 9
10 Mei 2007. Jakarta.

Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

KAJIAN MASALAH EKOLOGIS DALAM PENATAAN PERMUKIMAN


DI KAWASAN PESISIR ZONA ATAS AIR
Study of Ecological Issues in Settlement Structuring
on the Water Coastal Zone
Aris Prihandono
Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Danau Tamblingan No. 49 Sanur, Denpasar
E-mail: arisprihandono@yahoo.com; arisprihandono@puskim.pu.go.id
Diterima : 29 September 2011; Disetujui : 17 Juli 2012

Abstrak
Masyarakat Suku Bajo yang hidup di Desa Kabalutan, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah
merupakan satu diantara 61 masyarakat Bajo yang tersebar di seluruh perairan Sulawesi. Kepadatan
bangunan yang tinggi, sanitasi dan persampahan yang belum di kelola, penggunaan terumbu karang untuk
bahan bangunan, merupakan faktor yang mengganggu persyaratan hidup ekosistem terumbu karang.
Upaya yang dapat ditempuh untuk mereduksi masalah tersebut antara lain penataan kembali permukiman
masyarakat Bajo dan penerapan teknologi perumahan yang pro lingkungan dan diterima masyarakat.
Penataan kembali permukiman secara teoritis dapat memberikan akses yang mencukupi bagi radiasi
matahari untuk menyentuh dasar laut, sirkulasi air laut dan udara yang membawa nutrien dan oksigen
serta karbon dioksida, sehingga fotosintesis biota laut dapat berjalan dengan baik. Penerapan teknologi
sanitasi dan persampahan dimaksudkan untuk menjaga kejernihan dan menghindari terjadinya
kontaminasi air laut serta substrate yang keras. Penerapan inovasi pengawetan komponen bangunan dan
perbaikan struktur dimaksudkan untuk mengurangi kebutuhan akan material organik/ kayu, sehingga
dapat menekan laju sedimentasi. Penerapan konsep rumah panggung serta jalan titian di atas air
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan sirkulasi air laut, udara, serta mobilitas masyarakat dengan
menggunakan perahu. Baik penataan kembali permukiman maupun penerapan teknologi yang inovatif
berangkat dari nilai-nilai tradisional dan kekayaan lokal sehingga diharapkan mempunyai tingkat
akseptibilitas sosial yang tinggi.
Kata Kunci : Ekologi, terumbu karang, penataan permukiman, tradisional, potensi lokal

Abstract
The community of Bajo living in Kabalutan Village, Ampana Regency, Central Sulawesi Province was one of
the 61 Bajo communities distributed over Sulawesi water. High building density, lack of managerial services
on sanitation and solid waste, usage of coral reef for building material were many factors affected fulfilment
of coral reef life requirement. The problems could be reduced among others through spatial reorganization of
settlement and application of traditional based technology which was pro environment and socially
acceptable. The spatial reorganization was aimed to give access of sun radiation to reach bottom of the sea,
circulation of sea water and air which contained nutrient, oxygen, and CO 2. This condition would push
photosynthesis of sea water biota well. Application of sanitation and solid waste technology on traditional
based would keep salt water cleaned and prevent contamination against hard substratee. Application of
preservation technology of wood and innovation building structure was intended to reduce maintenance cost
and to decrease organic material requirement. Eventually it could decline sedimentation due to deforestation
was also diminished. Application concept of stage house and wooden foot bridge had purposes to drive
circulation of salt water, air, and Bajo mobility by boat or water raft. The spatial reorganization of
settlement and the application of house technology as well departed from local value and potential. As result,
the research would have high social acceptability.
Keywords : Ecology, coral reef, spatial reorganization, traditional, local potential

PENDAHULUAN
Suku Bajo merupakan salah satu etnis di Indonesia
yang hidup dari pengelolaan sumber daya
kelautan. Mereka disebut juga suku nomaden
yang awalnya hidup berpindah dari pesisir satu ke

pesisir yang lain. Persebaran Suku Bajo mencapai


wilayah seluas lebih dari 3,25 juta kilo
meterpersegi yang terbentang dari kepulauan
Palawan sebelah timur, kepulauan Samar pantai
utara Mindanau, sepanjang kepulauan Sulu negara
138

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

Philipina, hingga ke pantai timur Kalimantan,


sekitar selat Makassar, dan ke arah timur wilayah
Indonesia. Diperkirakan bahwa sejumlah 750.000
900.000 etnis Bajo tinggal di Kawasan Asia
Tenggara. Sebesar 150.000 230.000 jiwa
diantaranya hidup di Indonesia (Zacot, Franois
Robert, 2002).
Di Sulawesi sendiri, sebanyak 25.000 jiwa etnis
Bajo tinggal di Pulau Pesisir Sulawesi dan mereka
tersebar di lebih dari 64 desa, 26 kecamatan, dan 8
kabupaten.
Pola
persebaran
permukiman
terpencar dalam kelompok kecil dan menempati
garis pantai, sehingga sepintas berpola linier.
Secara ekologis, mereka tinggal di tiga jenis
bentang lahan yakni, zona darat, zona peralihan
antara pasang surut atas dan bawah (up and low
tide zone), dan zona atas air. Konsentrasi terbesar
Suku Bajo yang menempati zona atas air adalah
Desa Kabalutan, Kecamatan Walea, Kabupaten Tojo
Una-Una (Touna). Luas lahan permukiman
perairan di desa ini mencapai lebih dari 15,15
Hektar (Pemda Kabupaten Tojo Unauna
Bappeda, 2010).
Secara fisiografi, wilayah Kabalutan dicirikan oleh
keberadaan lahan air yang mencapai 90% dan
sisanya berupa lahan darat. Lahan darat atau
disebut juga lahan kering daerah tersebut
didominasi oleh bukit-bukit karang yang
sebenarnya merupakan gundukan terumbu karang
yang sudah mati dan bermetamorfosa sebagai batu
kapur. Lahan air pada kawasan tersebut
didominasi oleh terumbu karang yang masih hidup
dengan
segala
bentuk
ekosistem
yang
menyertainya [ibid].
Kepadatan bangunan di kawasan permukiman
cukup tinggi untuk beberapa tempat khususnya
yang dekat dengan garis pantai atau bangunan
yang menempati zona atas air. Menurut hasil
observasi, jarak bangunan satu dengan yang lain
kurang lebih dua meter. Jumlah total bangunan
rumah pada kawasan tersebut 417 unit,
menempati area seluas 132.605,1 meter persegi.
Luas rata-rata bangunan rumah adalah 50 meter
persegi dan dihuni oleh 2 3 keluarga.
Beberapa prasarana seperti air bersih, listrik, jalan
lingkungan telah disediakan pemerintah dan
masyarakat secara terbatas. Fasilitas sanitasi dan
persampahan juga disediakan masyarakat secara
mandiri dalam kualitas dan kuantitas yang terbatas
pula. Namun seluruh limbah cair dan limbah padat
yang dihasilkan masyarakat dibuang ke badan air
yang berupa perairan pantai. Ahda dalam
penelitiannya juga mencatat bahwa rumah-rumah
masyarakat Bajo yang tidak dilengkapi dengan
sarana sanitasi dan persampahan yang baik
menyebabkan terjadinya lingkungan yang tidak
139

nyaman karena terdapat tumpukan sampah dan


aroma yang mengganggu (Ahda Mulyati Muluk :
2008).
Hasil observasi Tim Peneliti Balai PTPT Makassar
pada tahun 2010 ditemukan bahwa masih terjadi
eksploitasi terumbu karang untuk keperluan bahan
bangunan atau penimbunan lahan. Ahda juga
mencatat hal yang sama dalam penelitian yang
dilakukan pada tahun sebelumnya. Dalam lingkup
yang lebih luas, Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Touna menyebutkan bahwa
isu dan masalah yang dihadapi di kawasan
perairan Kabupaten Touna antara lain : erosi
pantai, eksploitasi biota laut yang merajalela,
aktivitas penangkapan ikan yang destruktif, serta
perawatan
prasarana
yang
minim,
dan
pengawasan serta penegakkan hukum yang lemah.
Dari aspek permukiman, permasalahan yang dinilai
krusial mempengaruhi ekologi pesisir umumnya
dan ekosistem terumbu karang khususnya adalah
kepadatan bangunan yang tinggi, pengelolaan
sanitasi dan persampahan yang kurang, serta
penggunaan karang sebagai bahan bangunan yang
berlebihan. Kepadatan bangunan terkait dengan
terganggunya sirkulasi air laut dan tertahannya
sinar matahari yang mestinya dapat menembus
badan air hingga kedalaman tertentu, yang menjadi
syarat tumbuhnya biota laut. Lemahnya aspek
pengelolaan sanitasi dan persampahan akan
menyebabkan terkontaminasinya air laut oleh
limbah domestik. Perusakkan terumbu karang jelas
akan mempengaruhi ekosistem pantai dan
tentunya berakibat pada terganggunya kehidupan
biota laut yang menjadi sumber penghidupan
mereka.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka
pelaksanaan penelitian dimaksudkan untuk
menemukan model penataan permukiman di atas
perairan berbasis ekologi dan kearifan lokal.
Sasaran fisik (output) penelitian yang diharapkan
adalah model fisik penataan kawasan permukiman
Suku Bajo dan rekomendasi teknologi tradisional
yang diperlukan untuk penataan kawasan tersebut.
Dalam penyusunan rencana wilayah, analisa
potensi fisik dan lingkungan beserta potensi sosial
dan potensi ekonomi harus dianalisa secara
bersama-sama agar dapat ditentukan rencana pola
dan struktur ruang pada masa yang akan datang
(Permen PU Nomor 20/PRT/M/2007). Untuk
kepentingan yang lebih detil seperti halnya
penataan permukiman, tentunya analisa tersebut
tetap
dipergunakan
untuk
pertimbangan
penentuan pola penataan rencana tapak,
penempatan prasarana dan sarana, kebutuhan
ruang terbuka, kebutuhan fasilitas ekonomi dan
sosial. Secara ilustratif, dapat digambarkan kondisi

Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

fisik dan lingkungan khususnya ekologi terumbu


karang bersama kondisi sosial ekonomi akan

menjadi pertimbangan utama dalam penataan


kawasan sebagai berikut :

Penetapan Kawasan
Penataan Permukiman

Identifikasi Masalah dan


Potensi (Pengumpulan Data)

Analisis Masalah dan Potensi


Aspek Fisik dan
Lingkungan

Aspek Ekonomi

Pola dan Struktur


Permukiman

Aspek Sosial Budaya

Sumber: Permen PU Nomor


20/PRT/M/2007 dengan
perubahan

Gambar 1 Ilustrasi Alur Penataan Kawasan

Dalam konteks penelitian ini, satu aspek yakni fisik


dan lingkungan khususnya ekosistem terumbu
karang dan ekosistem pesisir dalam cakupan yang
lebih luas menjadi fokus kajian. Aspek yang lain
yaitu aspek sosial dan ekonomi akan disinggung
dalam analisa ini, akan tetapi tidak secara
mendalam melainkan secara implisit saja sebab
memang interaksi dan interdependensi ketiga
aspek di atas sangat kuat. Interaksi aspek sosial
dan ekonomi yang lebih mendalam akan dilakukan
pada paper yang berbeda.
Secara ekologi, kawasan Kabalutan merupakan
kawasan ekologi terumbu karang yang baik dan
cukup luas, terbukti selama ini dapat menopang
masyarakat Bajo.
Secara naluriah, masyarakat Bajo yang mempunyai
sifat nomaden akan melakukan migrasi jika
kondisi ekologi tidak lagi dapat menopang
kehidupan mereka. Namun yang terjadi adalah
bahwa mereka menduduki kawasan Kabalutan
sudah cukup lama. Tidak ada catatan sejarah kapan
Suku Bajo mulai bermigrasi ke perairan Sulawesi
dari tempat asalnya yang menurut legenda adalah
Johor Malaysia. Namun menurut beberapa ahli
sejarah pada abad 17 Suku Bajo sudah ada di
perairan Sulawesi (Zacot, Franois Robert, 2002).
Dari kenyataan ini dapat dikatakan bahwa secara
ekologis daya dukung lingkungan permukiman
masyarakat Bajo dari awalnya masih dapat

menopang keberlangsungan ekosistem, khususnya


ekosistem terumbu karang. Kawasan Kabalutan
terletak di tengah-tengah ekosistem terumbu
karang yang secara alamiah mempunyai kekayaan
alam bernilai ekonomis sangat tinggi.
Menurut McAllister yang dikutip Sukmara,
terumbu karang tidak hanya mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi, tetapi juga nilai ekologi yang
sangat signifikan, yaitu sebagai tempat wisata,
tempat budidaya atau penangkapan ikan,
perlindungan pantai secara alamiah, habitat suatu
biodiversitas. Fungsi wisata terumbu karang dapat
dinikmati dari keindahan terumbu karang itu
sendiri, kekayaan biologisnya, dan kejernihan air di
sekitar terumbu karang. Sedangkan aktivitas
ikutannya dapat berupa selancar air (sky diving)
atau snorkeling, penyelaman (scuba), dan
fotografi. (Sukmara, A., AJ dan Siahainenia,C.R;
2001).
Fungsi budidaya ikan atau penangkapan ikan di
kawasan terumbu karang mempunyai nilai
ekonomi yang sangat menarik karena harga ikan
yang berhabitat pada terumbu karang mempunyai
harga jual tinggi. Menurut penulis yang sama,
produksi dunia ikan karang, berbagai jenis kerang
dan kepiting dapat mencapai 9 juta ton atau 12%
dari produksi perikanan tangkap. Bahkan jika
kondisi terumbu karang dalam level sangat baik,
produksi ikan dapat mencapai 18 ton/km 2/tahun,
dalam level baik mencapai 13 ton/km 2/tahun serta

140

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

dalam kondisi moderat mencapai 8 ton/km 2/tahun


(ibid).
Tantangan terbesar dalam menangani terumbu
karang adalah mempertahankan kondisi ekosistem
terumbu karang sehingga memenuhi syarat hidup
yang baik secara alamiah. Menurut Sukmana
(2001), persyaratan hidup terumbu karang cukup
rumit dan rentan sekali terhadap perubahan
lingkungan. Persyaratan tersebut antara lain :
temperatur air berkisar antara 18-300 C,
kedalaman air kurang dari 50 meter, salinitas air
laut mencapai 30-36 per mil (), tingkat
sedimentasi harus dalam kategori rendah, kondisi
air laut harus jernih, arus air laut mencukupi,
badan air laut harus terbebas dari kontaminasi
serta bebas dari substrate yang keras (hard
substratee) (ibid).
Potensi yang besar tersebut akan menjadi salah
satu penggerak roda ekonomi masyarakat pesisir
apabila dapat mengelolanya dengan baik. Namun
persyaratan tumbuh ekosistem terumbu karang
juga merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi dan di jaga kondisinya, sehingga potensi
besar sebagaimana diuraikan di atas tetap terjaga
kelestariannya.
Persyaratan temperatur air berkisar antara 18-30
0C sebenarnya bukan masalah yang krusial karena
tingginya temperatur tersebut terkait dengan
temperatur udara dan intensitas penyinaran
matahari. Namun jika ada gangguan yang
menghalangi intensitas penyinaran dan terjadinya
gangguan sirkulasi air laut, maka akan sedikit
terjadi perubahan temperatur secara mikro.
Kedalaman air kurang dari 50 meter seharusnya
tidak menjadi masalah selama tidak ada aktivitas
yang menyebabkan perubahan. Aktivitas reklamasi
merupakan ancaman utama dalam rangka
mempertahankan kedalaman air. Pengurugan
dasar laut secara artifisial tidak hanya merubah
keseimbangan ekosistem terumbu karang, tetapi
juga mengganggu keseimbangan gelombang yang
sudah menjadi ketetapan alam. Pengalaman negara
Jepang, Macao, Hongkong, Korea, Singapore, harus
dijadikan pelajaran bahwa reklamasi pantai akan
selalu menimbulkan dampak negatif, disamping
dampak positif juga diperoleh. Dampak negatif
yang sering muncul adalah terganggunya
keseimbangan ekologi antara lain rusaknya
biodiversitas seperti yang terjadi di Teluk Isabaya
Jepang dimana nelayan di teluk tersebut
memprotes atas menurunnya spesies ikan langka
yang merupakan mata pencaharian nelayan di sana
(http://www.kbrisingapura.com/docs/
reklamasi_bab3a.pdf).

141

Untung
rugi
kegiatan
reklamasi
harus
diperhitungkan secara cermat, eksternalitas dari
kegiatan
tersebut
seharusnya
dapat
dikompensasikan dari keuntungan lain yang
diperoleh. Artikel yang sama juga menyoroti
dampak lingkungan dan politik akibat reklamasi
yang terjadi di Singapore. Malaysia mengajukan
Singapore ke Mahkamah Internasional karena
perluasan negara tersebut akan mengubah peta
teritorial negara yang mengancam kedaulatan
negara terdekatnya, Malaysia.
Sebaliknya juga ditemukan bahwa negara penyedia
bahan reklamasi yakni pasir laut yang di datangkan
dari Riau, juga mengalami kerusakan lingkungan
yang hebat, yaitu terjadinya abrasi yang
mengancam hilangnya beberapa kepulauan.
Kadar salinitas yang merupakan bagian dari
kondisi alamiah air laut tidak menjadi masalah
karena terkait dengan sirkulasi arus laut secara
global. Namun tingkat sedimentasilah yang
menjadi ancaman kehidupan terumbu karang
karena terkait dengan aktivitas eksploitasi lahan
yang ada di daratan terdekatnya. Jika terjadi
kerusakan lahan atau terdapat lahan kritis di
daratan atasnya, maka sedimentasi pada pesisir
akan tinggi. Hal ini akan menjadi gangguan
tersendiri bagi biota laut dan perkembangan koral
di pesisir.
Konversi lahan dari kawasan lindung ke kawasan
budidaya menurut Dardak (2006) berdampak pada
rusaknya keseimbangan ekosistem dan penurunan
produktivitas. Di Pulau Jawa menunjukkan selama
periode 1979-1999 terjadi alih fungsi kawasan
lindung menjadi kawasan budidaya (industri,
perumahan, pertanian) seluas 1.002.005 Ha atau +
50.000 Ha per tahun. Sementara di Sulawesi terjadi
kerusakan seluas + 29.500 Ha per tahun dalam
periode 1998-2000. Fenomena ini merupakan
ancaman nyata walaupun tidak langsung terhadap
kehidupan ekosistem pantai secara keseluruhan
(Dardak, Hermanto; 2006).
Kondisi air laut jernih, bebas dari kontaminasi dan
substrate yang keras (hard substrate) disamping
disebabkan oleh eksploitasi lahan di daratan, juga
disebabkan oleh tingkat pengelolaan limbah padat
dan limbah cair masyarakat yang tinggal di pesisir
secara langsung. Oleh sebab itu kondisi sanitasi
masyarakat dan pengelolaan sampah di kawasan
pesisir menjadi permasalahan penting dalam
mendukung perkembangan ekosistem pantai
umumnya dan terumbu karang khususnya.
Berdasarkan data yang tersedia, akses masyarakat
secara umum terhadap fasilitas sanitasi adalah
68%. Akan tetapi, tampaknya sanitasi tidak
menjadi prioritas utama pembangunan, baik di

Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

tingkat nasional, regional, badan legislatif maupun


sektor swasta. Hal ini tampak dari relatif kecilnya
anggaran yang disediakan untuk sanitasi. Masalah
ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi upaya
konservasi ekosistem pesisir (http://www.
targetmdgs org).

konsentrasi Suku Bajo terbesar dari sejumlah 61


titik konsentrasi yang tersebar di perairan
Sulawesi. Penentuan lokasi ini dilakukan secara
purposif dengan alasan bahwa permukiman asli
masyarakat Bajo terbesar (di atas air laut) terdapat
di Desa Kabalutan.

Arus laut yang mencukupi sebenarnya sudah


tersedia secara alamiah. Tetapi pengembangan
infrastruktur permukiman atau transportasi
merupakan ancaman utama terhadap stabilitas
arus yang sudah diatur secara lamiah. Jika terjadi
perubahan garis pantai akibat reklamasi, akan
mengakibatkan perubahan arus yang mengarah ke
pantai. Kasus di Semarang membuktikan arus yang
sedianya dapat tertahan di Pantai Marina
kemudian berubah arah masing-masing ke arah
barat dan timur. Arus yang ke arah timur memiliki
energi yang relatif besar dengan tidak membawa
sedimen laut. Pada arus ini akan mengakibatkan
abrasi terhadap pantai seperti yang terjadi di
Pantai Tawang Mas dan Pantai Sayung. Demikian
juga arus yang mengarah ke barat. Arus yang
membawa sedimen laut tersebut relatif sedikit
sehingga penumpukan material laut membentuk
daratan atau akresi akan menjadi lebih sempit. Jadi
proses akresi yang terjadi tidaklah sama atau
sebagus yang terbentuk pada kondisi pantai yang
masih alami (http://syawal88.wordpress.com).

Penelitian ini bersifat multidisipliner, dimana ahli


yang terlibat terdiri atas ahli arsitektur, ahli
struktur dan konstruksi bangunan, ahli sains
bangunan, ahli sosial, ahli tata ruang, dan ahli
kehutanan. Menanggapi kondisi seperti ini, Bungin
(2008) memperlihatkan metode penelitian yang
dapat mengakomodasi penelitian multidisiplin,
yakni apa yang disebut dengan metode meta (meta
method) atau disebut juga metode ganda (mixed
method); dan metode triangulasi. Pada prinsipnya
metode ganda merupakan penggabungan dua
metode kualitatif dan kuantitatif/ positivisme,
meskipun kedua pendekatan tersebut mempunyai
epistimologi yang berbeda. Metode triangulasi
merupakan sebuah cara pengumpulan dan analisis
data dengan menggunakan beberapa metode untuk
sebuah penelitian. Penggunaan metode ini
dimaksudkan untuk mencari reliabilitas dan
validitas data. Metode ini diterapkan pada
penelitian ini dimana data yang sama dikumpulkan
dengan observasi, wawancara, pengukuran
langsung, dan sebagainya dalam waktu yang
bersamaan/ simultan, atau berbeda waktu.

Dengan kenyataan-kenyataan di atas, maka


penataan
kawasan
di
Kabalutan
harus
mempertimbangkan komponen ekosistem sebagai
berikut :
- Kecukupan sinar matahari yang masuk ke
badan air untuk aktivitas fotosintesis biota laut
- Sirkulasi air yang akan membawa nutrien biota
laut dan mekanisme purifikasi air laut
- Pengelolaan limbah cair dan padat untuk
menghindari kontaminasi dan mencegah
bertambahnya substrate yang keras
- Penggunaan bahan bangunan alternatif untuk
mengurangi penggunaan terumbu karang
sebagai bahan bangunan
- Perekayasaan
bahan
bangunan
untuk
mengurangi
tekanan
terhadap
hutan
disekitarnya dalam rangka mengurangi
sedimentasi
- Rencana Penataan Ruang Wilayah yang ada dan
peraturan-peraturan lain yang mendukung
penetapan wilayah ini sebagai wilayah taman
laut nasional

METODOLOGI
Lokasi penelitian adalah Desa Kabalutan,
Kecamatan Walea Kepulauan, Kabupaten Ampana,
Sulawesi Tengah. Menurut SIL Internasional 2007,
berdasarkan
Mapping
Indonesia
Bajo
Communities, daerah tersebut merupakan

Obyek pengukuran dan metode pengukuran


dengan demikian juga berbeda-beda. Baik obyek
fisik seperti kondisi bahan bangunan, sistem
struktur
atap,
sistem
struktur
pondasi,
kenyamanan bangunan, kedalaman tiang pondasi,
jumlah penduduk, strata penduduk, keberadaan
tokoh-tokoh masyarakat, keberadaan bencana
alam, kondisi sanitasi dan persampahan, dan lainlain pada awalnya dilakukan pendataan secara
kualitatif (wawancara dan pengamatan). Baru pada
tahap berikutnya dilakukan pengukuran secara
kuantitatif, antara lain pengukuran termal,
kelembaban udara, kedalaman dasar laut, jumlah
penduduk, luas bangunan, kekuatan struktur
komponen bangunan, dan lain-lain. Teknik
sampling juga bervariasi sesuai dengan prinsip
masing-masing disiplin ilmu. Namun demikian,
semua aktivitas penelitian
dibatasi
oleh
ketersediaan waktu dan tenaga, oleh karena itu
sampling banyak dilakukan secara purposif.
Teknik pengambilan data dilakukan dengan
beberapa cara sesuai dengan keperluan disiplin
ilmu, antara lain : wawancara terstruktur dengan
kuesioner dan data check list; wawancara non
struktur; observasi; pengukuran teresterial untuk
luas rumah, kedalaman dasar laut, temperatur dan
kelembaban.
Instrumen
pengukuran
yang

142

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

digunakan antara lain HOBO versi 5+ untuk


pengukuran komponen iklim yang meliputi
temperatur udara, kelembaban udara, dan
intensitas pencahayaan. Untuk pengukuran
kecepatan
angin
digunakan
anemometer,
sedangkan
pengukuran
elemen
bangunan
digunakan alat ukur laser meter.
Teknik analisis data yang digunakan adalah
analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dengan
menggunakan penafsiran, perbandingan dan
interpretasi. Tahap-tahap analisis yang diterapkan
meliputi
strukturisasi
data,
kategorisasi,
penyederhanaan,
manipulasi,
interpretasi,
pemaknaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Masyarakat Suku Bajo mengenal struktur sosial
yang terbagi dalam lima strata yaitu : Lolo adalah
pemimpin tertinggi sekaligus merupakan strata
sosial teratas, mereka inilah bangsawanbangsawan Suku Bajo yang dihormati, Ponggawa
adalah hulu balang segenap masyarakat sekaligus
berada setingkat di bawah Lolo. Sebanda adalah
pelaksana pemerintah yang dipimpin oleh Lolo dan
Ponggawa sekaligus sebagai penasehat. Gellarang
adalah pelaksana pemerintah di bawah Sabanda,
Ata adalah golongan rakyat biasa.
Pada masa lampau apabila seorang Lolo
berkunjung ke Istana Raja, telah menjadi tradisi
membawa persembahan berupa : biji bolo (sejenis
kulit kerang) sejumlah seratus buah, tali sako
(terbuat dari kulit kayu) seratus depa, uang satu
ringgit, biji ambe lau (sejenis kulit kerang) seratus
buah. Persembahan yang pada umumnya berasal
dari hasil laut merupakan simbol bahwa laut
dengan hasil-hasil laut yang selama ini dipanen
sangat membantu masyarakat Bajo dalam
memenuhi kebutuhan lauk pauk (Juhana; 2001).
Jumlah yang bersahaja dan ragam sajian yang

143

cukup banyak menyimbulkan bahwa eksploitasi


sumberdaya kelautan di kawasan ini hanya boleh
dilakukan secukupnya, tidak berlebihan dan tetap
memperhatikan keseimbangan biodiversitasnya.
Hampir semua masyarakat Bajo bekerja sebagai
nelayan yaitu 462 jiwa atau (22,35%), yang diikuti
oleh petani 105 jiwa (5,08%). Namun yang
mengejutkan bahwa pengangguran di kawasan ini
cukup tinggi yaitu 941 jiwa atau 45,52%. Tingginya
angka pengangguran tersebut terkait dengan
fenomena pengangguran tersembunyi, yakni
mereka yang bekerja sendiri tidak dianggap
sebagai bekerja, karena tidak mempunyai majikan
dan jam kerjanya tidak ditentukan. Kepadatan
bangunan di kawasan Kabalutan dapat dikatakan
relatif
tinggi
walaupun
tidak
merata
persebarannya.
Bangunan yang menempati kawasan yang sejajar
garis pantai atau bangunan yang menempati zona
atas air inilah yang terus berkembang dengan
cepat. Menurut hasil observasi, jarak bangunan
satu dengan yang lain kurang lebih dua meter.
Jumlah keseluruhan bangunan rumah pada
kawasan tersebut 417 unit, menempati area seluas
132.605,1m2, atau 32 unit/Ha. Rata-rata jumlah
penghuni bangunan adalah 2-3 keluarga.
Bangunan tempat tinggal masyarakat Bajo dapat
dikelompokkan ke dalam tiga tipe, yaitu tipe kecil
yang hanya mempunyai 2 3 ruangan dengan
bahan penutup atap terbuat dari daun nipah atau
rumbia, sedangkan dindingnya terbuat dari
pelepah daun silar. Tipe medium pada umumnya
mempunyai 3-4 kamar dimana dindingnya terbuat
dari papan kayu. Tipe besar secara umum
mempunyai jumlah kamar lebih dari 4, atap
terbuat dari material metal (zinc dan alluminium),
dan dinding terbuat dari kayu olahan.

Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

Gambar 2 Kepadatan Bangunan yang Tinggi

Kepadatan bangunan yang tinggi akan banyak


menimbulkan banyak masalah terkait dengan
persyaratan tumbuh ekosistem terumbu karang
dan gangguan terhadap kesehatan lingkungan.
Jarak bangunan yang hanya 2 meter dan
pengaturan tapak yang bersifat acak akan
mengganggu intensitas penyinaran matahari ke
dasar laut yang bermanfaat bagi fotosintesis biota
laut.
Proporsi terbesar nutrien yang diperlukan
pertumbuhan karang berasal dari simbiosis unik
antara karang dengan ribuan alga mikroskopis
yang dalam bahasa Latin dinamakan zooxanthellae.
Alga-alga tersebut menempel pada permukaan
tipis karang yang sering disebut tissu koral (coral
tissue). Selanjutnya algae akan menghasilkan
energi dan oksigen yang sangat diperlukan
pertumbuhan koral, dimana energi dan oksigen
tersebut dihasilkan oleh algae melalui fotosintesis.
Fotosintesis ini tentu berlangsung dengan baik
setelah mendapatkan sinar matahari yang
mencukupi. Pada saat yang sama algae
mendapatkan perlindungan koral dari serangan
dan gangguan predator, serta algae memanfaatkan
karbon dioksida yang dihasilkan koral untuk
keperluan fotosintesa. Simbiosis yang baik tersebut
sangat efektif dan efisien, oleh karena itu koral
dapat bertahan hidup dalam kondisi air laut miskin
nutrisi.
Banyak terumbu karang yang hidup bersimbiosis
dengan biota laut lainnya dalam jumlah yang
proporsional. Kalaupun terumbu karang dapat
membentuk struktur raksasa seperti atol atau

koral penahan, namun keberadaan biota yang lain,


seperti rumput laut, organisme lain juga tetap
diperlukan. Bencana alam badai, penambahan
nutrien,
peningkatan
sedimentasi
dapat
menyebabkan perubahan dominasi atas terumbu
karang oleh biota tertentu. Jika hal ini terjadi, maka
dapat dikatakan bahwa kehidupan terumbu karang
tidak sehat, jadi terumbu karang yang sehat adalah
terumbu karang yang terdiri atas berbagai ragam
biota laut (coraltrianglecenter.org | nature.org.|).
Temperatur air laut 18-36 0C dan rantai kehidupan
binatang koral dan alga yang terdapat di
lingkungan permukiman akan berjalan dengan baik
jika lingkungan perairan diproteksi secara
memadai. Kepadatan bangunan yang tinggi dan
jarak antar bangunan yang terlalu pendek akan
banyak mengganggu siklus hidup ekosistem
terumbu karang karena suplai sinar matahari
untuk fotosintesis, sirkulasi udara, dan suplai air
yang menjamin ketersediaan oksigen dan nutrien
akan terganggu. Karenanya, pengendalian dan
pengaturan pembangunan permukiman yang
menempati habitat terumbu karang harus
dilakukan dengan baik.
Kawasan permukiman Suku Bajo memperlihatkan
pola-pola yang membentuk kelompok sesuai
dengan rumpun keluarga mereka. Secara
morfologi, pola permukiman masyarakat Bajo
mengikuti jalan penghubung antar daratan bukit
sehingga berbentuk linier. Akhirnya garis linier
dari permukiman tersebut membentuk huruf U.
Keuntungan sosial pola U ini adalah bahwa
masyarakat yang berjajar dan berhadapan satu

144

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

sama lainnya terakomodasi interaksi sosial


ekonominya. Pola U memberikan ruang yang luas
dan kemudahan aksesibilitas transportasi dari
kelompok permukiman yang satu ke kelompok
lainnya.
Pola permukiman linier yang membentuk huruf U
tersebut dinamakan penduduk setempat sebagai
hal atau teluk kecil yang menurut mereka
merupakan tempat yang paling ideal karena

memiliki keuntungan alamiah, yaitu memiliki


terumbu karang yang baik, terlindung dari angin
barat (kecepatan angin yang tinggi), ombak relatif
tenang tetapi memiliki aliran air pasang surut yang
baik dan lancar, area terlindung dari badai,
memiliki akses yang baik untuk ke laut, ke area
darat, ke pulau yang cukup besar yang mereka
gunakan sebagai area untuk berkebun, serta ke
sumber air tawar (gambar 3).
Area berkebun berupa daratan pulau besar

Akses ke darat
Akses ke darat

Pulau

Area pemukiman

Hall
Akses ke laut

Kumpulan Pulau-pulau
Kecil

Area
pemukiman

Hall
Akses ke laut

Gambar 3 Hal di Pulau atau Kepulauan sebagai Kawasan Permukiman Suku Bajo

Berangkat dari masalah ekologi, kearifan lokal,


persyaratan tumbuh ekosistem terumbu karang,
serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Ampana, maka disusunlah alternatif
pengembangan
atau
penataan
kembali
permukiman dengan melakukan beberapa arahan
antara lain pengaturan jarak bangunan dengan
mempertimbangkan pergerakan udara dan cahaya
matahari sebagai salah satu upaya untuk
memberikan kemudahan sinar matahari dapat
langsung mengenai dasar laut sehingga fotosintesa
kehidupan biota laut dapat berjalan dengan
normal. Pengembangan area permukiman baru di
Desa Kabalutan digunakan pendekatan hibridisasi
disain vernakular yang diambil dari Suku Bajo
tersebut yang kemudian dipadukan dengan konsep
modern. Dalam hal ini dikembangkan pola grid
untuk penataan jalur transportasi (pejalan kaki
berupa jembatan/titian) di lingkungan pemukiman
baru.
Pola
grid
dikembangkan
dengan
pertimbangan efektifitas dan nilai ekonomis lahan.
Pola ini memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi
dan memudahkan penataan fasilitas umum dan

145

sosial pada simpul-simpul jalur transportasi


pejalan kaki, tanpa mengubah kondisi sosial dan
budaya setempat.
Untuk mengurangi kepadatan bangunan di
kawasan
tertentu
yang
mengganggu
perkembangan kehidupan biota air di bawahnya
dilakukan penataan dengan pemindahan sebagian
rumah ke cluster tertentu serta memberikan ruang
antar bangunan yang lebih baik dengan
perhitungan
jarak
1
tinggi
bangunan
berdasarkan standar penataan bangunan hunian.
Pengembangan permukiman baru merupakan
penataan permukiman yang ditempatkan pada
kawasan
perairan
dangkal
dengan
mempertimbangkan kemudahan aksesibilitas
dengan permukiman yang sudah ada sekarang.
Tingkat kedalaman air yang rendah merupakan
pertimbangan untuk memudahkan pembangunan
dan pendirian pondasi rumah. Area pengembangan
permukiman baru tidak dilakukan di atas terumbu
karang hal ini untuk mencegah efek perusakan dan
gradasi lingkungan pada ekosistem kawasan.

Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

Gambar 4 Penataan Permukiman Desa Kabalutan

Nilai
tradisional
rencana
tapak
tetap
dipertahankan sebagai dasar pembagian zona
fungsi, misalnya penetapan zona hunian, zona
publik/upacara ritual, zona adat, dan zona
pendukung (tempat berkebun, mencari ikan atau
sumber
mata
pencaharian).
Berdasarkan

pertimbangan tersebut maka penataan letak


hunian mengikuti pola hunian tradisional agar
kegiatan sosial yang telah menjadi tradisi tetap
terjaga. Pola tersebut diungkapkan dalam model
linier sebagaimana terlihat pada konsep di bawah.

Jalur transpotasi perahu

Gambar 5 Rencana Tapak dan Jalur Transportasi

146

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

Pola grid merupakan pola yang cukup universal


dalam pengaturan lingkungan, pola ini terbentuk
karena adanya kebutuhan suatu sistem yang
berbentuk segi empat (grid iron) guna memberikan
suatu bentuk geometri pada kawasan permukiman
(Kostof,1991). Pemilihan pola grid didasarkan

pada kemudahan akses bangunan yang satu


dengan yang lain. Sistem ini mengutamakan
efisiensi dan nilai ekonomis, serta memberikan
resiko yang rendah terhadap kekuatan angin dan
ombak yang dapat merusak.

Pola linier
Pengelompokkan zona
mengunakan pola grid agar
pengunaan lahan efeisien dan
ekonomis.

Pola linier yang tetap dipertahankan


dari pola pemukiman asli untuk
menjaga kelestarian sosial budaya
masyarakat

Gambar 6 Pola Linier Permukiman Suku Bajo dan Pengembangannya

Pembangunan permukiman baru terletak pada tiga


site yang didasarkan atas pertimbangan data
kedalaman air yang berkisar 5-7 m. Bentuk
struktur ruang yang digunakan ialah cluster.
Kecenderungan pola ini mengarah pada
pengelompokkan unit permukiman terhadap
simpul penting yang berfungsi sebagai pengikat

kelompok, seperti ruang terbuka komunal. Pada


permukiman baru, nantinya akan dibuatkan akses
transportasi perahu ke dalam dan ke luar kawasan
permukiman
dengan
mempertimbangkan
ketinggian air pasang-surut dan kedalaman habitat
terumbu karang yang berkembang di sekitar
permukiman tersebut (lihat Gambar 7).

SMP

BUKIT
KARANG

Jalur
sirkulasi
darat
(jembatan/titian) ditata dengan
menggunakan pola grid untuk
memberikan
aksesibilitas.
Penempatan fasum dan fasos
lebih mudah serta lebih efisien.
Penempatan
simpul-simpul
lingkungan dapat memperkuat
interaksi sosial

Gambar 7 Pola Grid Sirkulasi Jalan

147

Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

Gambar 8 Rencana Pengembangan Permukiman yang Dikaitkan dengan Pengembangan Wisata

Desa Kabalutan adalah sebuah desa yang


berkarakter unik, yaitu dihuni oleh etnis Bajo
dengan kebudayaan nelayan yang memiliki
kearifan lokal. Hunian mereka pada umumnya
berada di atas perairan atau lingkungan air
(aquatic environment) dan di sekitar bukit-bukit
karang yang dihubungkan oleh jembatan kayu, alat
transportasi utama mereka adalah perahu.
Keunikan ini merupakan aset wisata yang sangat
berharga. Namun demikian dalam perkembangan
yang terlihat selama ini, pada kawasan ini tidak
ditemukan fasilitas wisata. Jika dilihat Rencana
Tata Ruang Pengembangan Regionalnya (RTRW),
pada masa yang akan datang kawasan ini akan
dikembangkan sebagai kawasan wisata bersama
dengan taman nasional laut dan keberadaan segi
tiga terumbu karang dunia (Lauretta Burke, et al: -).
Merujuk pada RTRW di atas, maka diperlukan
bangunan yang menunjang aktivitas wisata. Salah
satu kegiatan wisata yang sesuai dengan potensi
alamnya adalah ekowisata (ecotourism) sebagai
kegiatan wisata alam yang berdampak ringan.
Ekowisata menurut The Ecotourism Society (1990)

adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area


alami
yang
dilakukan
dengan
tujuan
mengkonservasi lingkungan dan melestarikan
kehidupan dan kesejahteraan penduduk.
Arah pengelolaan ekowisata tersebut lebih
difokuskan pada aspek pertumbuhan ekonomi
daerah dan ekonomi kerakyatan, konservasi dan
preservasi
terhadap
sumber
daya
alam,
lingkungan, dan nilai budaya. Dengan demikian
ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam
mempertahankan
keutuhan
dan
keaslian
ekosistem di areal yang masih alami. Bahkan
dengan ekowisata, pelestarian alam dapat
ditingkatkan kualitasnya karena desakan dan
tuntutan dari para eco-traveller. Menurut UNEP
(1980) ekowisata harus dapat menjamin
kelestarian lingkungan, yakni :
1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis
yang tetap mendukung sistem kehidupan;
2. Melindungi keanekaragaman hayati;
3. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies
dan ekosistemnya.
Untuk mengurangi permasalahan permukiman
yang ada, akan dikembangkan sistem pemilahan

148

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

persampahan organik dan anorganik. Sampah


organik dan sampah anorganik akan dipisahkan
sesuai wadah sampah yang akan disediakan.
Sampah anorganik dapat dimanfaatkan sebagai
bahan daur ulang yang hasilnya dapat digunakan
oleh masyarakat sebagai bahan kerajinan tangan
yang diharapkan dapat menjadi aktivitas rumah
tangga. Sampah organik dapat dimanfaatkan
sebagai bahan makanan ikan di karamba yang
hampir dimiliki setiap penduduk. Untuk sistem
pembuangan limbah cair domestik baik air hasil
cucian pakaian dan air mandi (grey water) serta
buangan WC (black water) direncanakan diolah
dengan fasilitas MCK umum, sehingga proses
pencucian tidak lagi dilakukan di rumah.

sistem perpipaan. Jaringan pipa di tanam di dasar


laut dengan kedalaman laut berkisar pada 60-90 m,
dialirkan menuju reservoir dengan kapasitas
reservoir utama 30m3 dengan debit aliran 10
liter/detik. Dibangun juga kran umum sebanyak 12
buah dan reservoir pendukung (bak fiberplastik)
kapasitas 1000 liter sebanyak 6 buah. Dengan
jumlah penduduk 2.067 jiwa pada tahun 2007
seharusnya kawasan ini disediakan kran umum
sebanyak 69 kran dengan standar pelayanan 30
orang/1 kran (standar SPABP).
Sistem pemipaan air bersih di desa ini belum ditata
dengan baik, pada beberapa bagian desa pipa
tersebut diletakkan begitu saja di atas titian kayu
atau permukaan tanah (Gambar 9).

Air bersih di Desa Kabalutan dialirkan dari pulau


seberang yang berjarak kurang lebih 10 km melalui

Gambar 9 Utilitas Permukiman Suku Bajo yang Ada

Gambar 10 Rencana Penataan Utilitas Permukiman Suku Bajo

Dalam rencana pengembangan pemukiman ke


depan akan direncanakan penataan pipa air bersih
dengan membuat gelagar pada konstruksi
jembatan/titian yang berfungsi sebagai penguat
konstruksi jembatan dan sekaligus berfungsi
sebagai tempat perletakkan pipa dan pipa kabel
listrik (Gambar 10). Sistem Utilitas pada gambar di
atas sekaligus merupakan rencana penataan
utilitas secara keseluruhan antara lain jaringan
listrik, jaringan air bersih, dan jaringan pipa
pembuangan air limbah.

149

KESIMPULAN
Kondisi ekologi pesisir Desa Kabalutan harus
menjadi
pertimbangan
utama
dalam
pengembangan permukiman masyarakat Bajo saat
sekarang dan pada masa yang akan datang.
Pertimbangan ini terkait dengan kenyataan bahwa
kehidupan masyarakat Bajo sangat tergantung
pada
aktivitas
perikanan
laut
yang
produktivitasnya sangat dipengaruhi oleh kondisi
ekosistem terumbu karang. Persyaratan tumbuh
terumbu karang merupakan aspek yang harus

Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

dipahami dengan baik oleh masyarakat, perencana,


pemerintah daerah, serta pihak-pihak luar yang
berkeinginan untuk terlibat dalam aktivitas sosial
ekonomi pada kawasan tersebut. Pemahaman ini
penting karena pemeliharaan dan perbaikan
ekosistem terumbu karang akan terkait dengan
perubahan
aspek
kehidupan
baik
yang
berhubungan langsung dengan aktivitas perikanan
seperti
:
pelarangan
penangkapan
ikan
menggunakan bom, bahan kimia, penambangan
batu kapur di lautan; maupun aktivitas yang tidak
berhubungan secara langsung seperti, penebangan
liar pada hutan bakau yang ada pada zona di
atasnya, pengaturan kepadatan bangunan rumah
pada zona atas air, pengelolaan limbah domestik,
pengaturan penambatan perahu, maupun penataan
sarana dan prasarana permukiman.
Mengingat kepadatan bangunan merupakan salah
satu faktor utama yang berpengaruh pada
ekosistem terumbu karang, maka rencana
pengembangan zona permukiman baru dalam
rangka relokasi kawasan yang padat tersebut
merupakan langkah yang harus di dukung oleh
semua pihak. Penerapan inovasi berupa
pengawetan bahan bangunan, perbaikan sistem
konstruksi, perbaikan disain rumah, metode
pembuatan komponen bangunan dengan bio
material, sistem sanitasi, merupakan salah satu
upaya dari aspek ke-PU-an yang bertujuan untuk
memperbaiki ekologi terumbu karang yang juga
diharapkan dapat diterima dan dilaksanakan oleh
semua pihak.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pusat
Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian
Pekerjaan Umum dan Satuan Kerja Balai
Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional
Makassar
dalam
Pelaksanaan
Kegiatan
Pengembangan Perumahan Permukiman Suku Bajo
di Sulawesi Tengah Tahun Anggaran 2010, serta
Dinas PU Kabupaten Tojo Una-una, Para Tokoh
Masyarakat Kecamatan Kabalutan dan Pengajar
pada Fakultas Teknik Universitas Tadulako.

DAFTAR PUSTAKA
Ahda Mulyati Muluk, 2008. Tipologi Bentuk Rumah
Tinggal dan Permukiman Suku Bajo Di
Sulawesi Tengah. Jurusan Arsitektur Fakultas
Teknik
Universitas
Tadulako
ahdamulyati@gmail.com.
Bappenas. 2011. Usaha Pencapaian MDGs di
Indonesia. Diunduh 1 April 2011. http://www.
targetmdgs.org/index.php?option=com_conte
nt&task=view&id=25&Itemid=12.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian
Kualitatif.
Pemahaman
Filosofis
dan

Metodologis ke Arah Penguasaan Model


Aplikasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Dardak, Hermanto. 2006. Perencanaan Tata Ruang
Bervisi
Lingkungan
sebagai
Upaya
Mewujudkan Ruang yang Nyaman, Produktif,
dan Berkelanjutan. Disampaikan dalam
Lokakarya Revitalisasi Tata Ruang Dalam
Rangka Pengendalian Bencana Longsor dan
Banjir Yogyakarta, 28 Februari 2006) Juhana.
(2001). Arsitektur Dalam Masyarakat :
Pengaruh Bentukan Arsitektur dan Iklim
terhadap Kenyamanan Termal Rumah Tinggal
Suku Bajo di Wilayah Pesisir Bajoe Kabupaten
Bone Sulawesi Selatan. Semarang : Bendera.
Lauretta Burke, Elizabeth Selig, Mark Spalding.
Terumbu Karang yang Terancam di Asia
Tenggara Ringkasan untuk Indonesia. World
Resources Institute dengan United Nations
Environment Program-World Conservation
Monitoring Centre, World Fish Center, dan
International Coral Reef Action Network.
Pemda Kabupaten Tojo Una-una - Bappeda. 2010.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tojo
Una-una 2008-2028. Ampana: -----Pusat Litbang Permukiman. 2010. Pengembangan
Perumahan dan Permukiman Suku Bajo di
Sulawesi Tengah. Laporan Interim. Makassar: ---Permen PU Nomor 20/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan,
Ekonomi serta Sosial Budaya Dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang. Jakarta : ----Reklamasi..
http://www.kbrisingapura.com/docs/reklam
asi_bab3a.pdf . Diunduh 1 April 2011
Reklamasi Pantai Marina: http://syawal88.
wordpress.com/2009/06/19/
reklamasipantai-marina/ Diunduh 1 April 2010.
Sukmara, A., A.J. and C. Rotinsulu Siahainenia.
2001. Guide Coral Reef Monitoring for
Community-Based Method Manta Tow. CRMP.
Special Publication. University of Rhode
Island,
Coastal
Resources
Center,
Narragansett, Rhode Island, USA.
The Nature Conservancy | Coral Triangle Center |
Jalan Pengembak No. 2 | Sanur, Bali | 80228 |
Indonesia tel +62.361.287.272 | fax
+62.361.270.737
|
email
info@coraltrianglecenter.org
|
coraltrianglecenter.org
|
nature.org.|iucn.org/themes/wcpa/biome/ma
rine/seasia/seasia.html
Zacot, Franois Robert. 2002, Orang Bajo Suku
Pengembara Laut : Pengalaman Seorang
Antropolog. (translt) Paris. Ecole francaiser
Extreme Orient. Jakarta. KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia).

150

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 151-161

IDENTIFIKASI ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL NIAS SELATAN


DAN PERUBAHANNYA
Architecture Identification of South Nias Traditional Houses
and Its Transformations
Bramantyo
Loka Teknologi Permukiman Medan Pusat Litbang Permukiman,
Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Danau Tempe No. 6 Km. 18 Binjai, Medan
E-mail : bram.urbanist@gmail.com
Diterima : 15 Mei 2012; Disetujui : 06 September 2012

Abstrak
Keberadaan rumah tradisional Nias Selatan relatif lebih bertahan eksistensinya dibandingkan rumah
tradisional lainnya. Untuk mempertahankan eksistensinya, diperlukan perubahan untuk mengakomodasi
kebutuhan hunian masyarakat saat ini. Di sisi lain, perubahan tersebut berpotensi menghilangkan karakter
atau keaslian arsitektur tradisional Nias Selatan maupun kearifan lokalnya. Kajian ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan arsitektur yang terjadi dan dampaknya terhadap eksistensi dari rumah tradisional
Nias Selatan. Metodologi yang digunakan adalah metode deskriptif-interpretatif terhadap kondisi eksisting
dan perubahan pada rumah tradisional di lapangan. Hasil kajian menunjukkan bahwa eksistensi rumah
tradisional Nias masih cukup kuat pada desa-desa adat, dimana secara umum kondisinya masih relatif baik
dan masih dihuni. Sementara perubahan yang banyak terjadi adalah penambahan bangunan pada bagian
bawah rumah dan penggantian bahan bangunan. Kesimpulannya adalah perubahan yang terjadi pada
rumah tradisional Nias Selatan merupakan upaya untuk mempertahankan eksistensi, yang secara umum
tidak menghilangkan karakteristik asli arsitektur tradisional Nias Selatan, namun ikut mempengaruhi
kearifan lokal yang dimiliki terkait resistensi bangunan tersebut terhadap ancaman gempa.
Kata Kunci : Rumah tradisional, arsitektur tradisional, Nias Selatan, perubahan arsitektur, penambahan
bangunan, resistensi terhadap gempa

Abstract
The existence of South Nias traditional houses had relatively better survival than the other traditional
houses. To maintain its existence, transformation of the house was needed to accomodate the current
residential needs. On the other side, the transformation had potential to eliminate the authenticity and the
local wisdom of traditional architecture of South Nias. This study was conducted to identify the
transformation that happened and its impact to the existence of the houses. The study was conducted with
descriptive-interpretative method towards the existing conditions and the transformations that identified in
the field. The result showed that the existence of South Nias traditional houses was strong enough in
traditional villages, which in general had a good conditions and still occupied. While the most common
transformations was building addition at the bottom of the house and replacement of building materials. The
conclusion was that the transformations of South Nias traditional houses was an attempt to mantain its
existency, which generally did not eliminate the original characteristics of its traditional architecture, but
affected the local wisdom related to the building resistance from earthquake.
Keywords :

Traditional house, traditional architecture, South Nias, transformation of architecture,


resistance of earthquake

PENDAHULUAN
Secara umum, eksistensi rumah tradisional dalam
perkembangan perumahan dan permukiman saat
ini cenderung semakin terabaikan. Hal ini terjadi
tidak hanya di kawasan perkotaan, namun di
perdesaan pun rumah-rumah tradisional sudah
mulai ditinggalkan atau tidak digunakan lagi.
Keadaan ini tidak terlepas dari perubahan pola
kehidupan
masyarakat,
yang
menuntut
penyesuaian pada konsep hunian atau tempat
151

tinggal agar dapat mengakomodasi kebutuhan


manusia pada saat ini.
Secara khusus, dibandingkan dengan rumah
tradisional lainnya, keberadaan rumah tradisional
Nias Selatan relatif lebih bertahan eksistensinya.
Berdasarkan survei yang dilakukan Loka Tekkim
Medan pada tahun 2011, diketahui bahwa rumahrumah tradisional tersebut masih banyak
digunakan, terutama pada desa-desa adat di Teluk
Dalam, Kabupaten Nias Selatan. Hal ini

Identifikasi Arsitektur Rumah (Bramantyo)

diindikasikan berkaitan dengan posisi/lokasi Pulau


Nias (khususmya wilayah Teluk Dalam) yang agak
terisolir sehingga pengaruh perkembangan zaman
(moderenisasi) terkait perkembangan rumah
konvensional tidak sepesat wilayah yang memiliki
rumah tradisional lainnya (seperti misalnya Batak
dan Melayu).
Rumah tradisional Nias Selatan berbentuk persegi
panjang/kotak, berbeda dengan rumah tradisional
Nias Utara yang berbentuk oval, meski keduanya
merupakan rumah panggung berbahan utama kayu
yang dibangun di atas tiang-tiang yang besar dan
banyak (Depdikbud, 1979). Rumah tradisional Nias
dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu Omo
Sebua (rumah raja) dan Omo Hada (rumah rakyat
biasa). Bentuk arsitektural dari rumah tradisional
Nias Selatan sangat khas. Salah satu cirinya adalah
keberadaan tiang penyangga miring (diagonal) di
bagian bawah rumah. Lalu pada bagian depan
rumah terdapat jerajak yang berfungsi untuk
ventilasi udara, sementara pada atap di bagian
depan rumah terdapat jendela (lawa-lawa atau
tuwu-tuwu) yang berfungsi untuk pencahayaan
alami di dalam rumah (Siahaan, 1979).
Kearifan lokal yang dapat dipelajari dari bentuk
arsitektur rumah tradisional Nias adalah terkait
adaptasi rumah terhadap ancaman gempa dan
iklim sekitarnya (Viaro dan Ziegler, 2006).
Keunggulan ini telah terbukti secara empiris pada
saat terjadi gempa bumi berkekuatan 8,2 SR yang
melanda Nias pada tahun 2005. Sebagian besar
rumah-rumah tradisional Nias memperlihatkan
resistensinya terhadap getaran gempa. Meski tetap
mengalami dampak kerusakan, namun secara
struktur bangunan-bangunan tersebut masih
relatif kokoh.
Di sisi lain, faktor usia bangunan yang semakin tua
mempengaruhi
kondisi
bangunan
rumah
tradisional saat ini. Meski teknologi struktur dan
kualitas bahan bangunan dari rumah Nias relatif
baik, namun tetap dibutuhkan upaya perawatan
atau perbaikan. Sementara terkait dengan
perkembangan zaman, maka terjadi perubahan
pola huni dan persepsi kebutuhan akan sebuah
rumah. Kecenderungan ini menuntut adanya
perubahan arsitektur dari disain rumah tradisional
semula, mengingat kebutuhan penghuni rumah di
masa dahulu pasti berbeda dengan kebutuhan
penghuni saat ini. Persoalan yang kemudian
muncul
adalah,
upaya
perbaikan
dan
perubahan/transformasi yang dilakukan terhadap
rumah tradisional di Nias Selatan berpotensi
menghilangkan karakter atau keaslian arsitektur
tradisional Nias maupun kearifan lokal yang
terkandung oleh disain rumah tersebut, yang
diakibatkan
oleh
minimnya
pengetahuan

pemilik/penghuni rumah, keterbatasan ekonomi,


maupun ketersediaan bahan bangunan kayu.
Permasalahan yang perlu diangkat adalah,
bagaimana kondisi rumah tradisional Nias Selatan
saat ini dan perubahan arsitektur apa saja yang
terjadi. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui
sejauh mana perubahan arsitektur pada rumah
tradisional Nias Selatan serta bagaimana
dampaknya terhadap eksistensi dari rumah
tradisional tersebut. Diharapkan hasil kajian ini
dapat memberikan masukan terkait pelestarian
arsitektur tradisional nusantara, khususnya rumah
tradisional Nias Selatan melalui adaptasi terhadap
perkembangan zaman.

METODOLOGI
Kajian dilaksanakan dengan metode deskriptifeksploratif terhadap kondisi eksisting dan
perubahan pada rumah tradisional Nias Selatan
yang ditemui di lapangan. Pengumpulan data
dilakukan melalui observasi langsung dan
wawancara terhadap penghuni maupun tokoh
masyarakat. Lokasi studi dilakukan pada 5 Desa
Adat di Teluk Dalam, yaitu Desa (a) Hilisimaetano,
(b) Orahili Fau, (c) Bawomataluo, (d) Botohilitano,
dan (e) Hiliamaeta Niha. Pemilihan rumah yang
diobservasi dengan metode purpossive sampling,
dengan kriteria pemilihan antara lain keaslian
bentuk/arsitektur rumah dan rumah masih dihuni.
Aspek kondisi eksisting yang dikaji antara lain
terkait : (i) bentuk bangunan, (ii) kondisi
bangunan, (iii) bahan bangunan, (iv) struktur
bangunan, (v) pembagian ruang. Sementara untuk
aspek perubahan, yang dikaji meliputi perubahan
(i) bentuk bangunan, (ii) fungsi bangunan, (iii)
perubahan pembagian ruang, dan (iv) penggantian
material. Analisis data dilakukan melalui
pendekatan kualitatif. Aspek kondisi dianalisis
berdasarkan hasil interpretasi peneliti terhadap
kondisi eksisting rumah yang ditemukan di
lapangan. Sedangkan untuk aspek transformasi
pada rumah tradisional, analisis yang akan
dilakukan adalah menyandingkan antara hasil
survei yang ditemukan di lapangan dengan
gambaran kondisi asli arsitektur rumah tradisional
berdasarkan literatur/referensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil identifikasi terhadap kondisi eksisting dan
perubahan dari rumah tradisional Nias Selatan
pada 5 lokasi studi adalah sebagai berikut :
Desa Hilisimaetano
Pada desa ini masih terdapat sekitar 26 rumah
tradisional, yang seluruhnya bertipe omo hada
(rumah rakyat). Meski begitu, di sekitarnya telah
banyak digunakan rumah konvensional. Bentuk
152

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 151-161

rumah-rumah tradisional di desa ini relatif tipikal,


masih memperlihatkan karakter khas arsitektur
tradisional Nias.

untuk tempat menyimpan barang-barang yang


tidak terpakai.

Tambahan (di bawah)


Ruang Belakang/Frma
Ruang Depan/
Tawl
Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011

Ruang Depan/
Tawl

Gambar 1 Suasana Permukiman Desa Hilisimaetano

Observasi lebih mendalam dilakukan pada satu


rumah sebagai sampel. Secara umum bentuk
rumah ini relatif sama dengan rumah lainnya.
Kondisi bangunan cukup baik dan terawat. Meski
komponen
kayu
pada
bangunan
tidak
dicat/dipernis, sebagian besar kondisi kayunya
masih baik, hanya sedikit kayu pada dinding yang
mulai keropos. Jenis kayu yang digunakan yaitu
kayu Afoa (berwarna terang) dan Berua (berwarna
gelap/hitam). Sementara atap sudah menggunakan
seng multiroof.

Ruang Depan/
Tawl

Sumber : Penggambaran Ulang, Agustus 2011


Gambar 3 Denah dan Pembagian Ruang pada Rumah
Tradisional di Desa Hilisimaetano

Terkait aspek perubahan, terjadi pengurangan


bangunan pada rumah bagian belakang (frma)
akibat gempa pada tahun 2005, karena bagian
tersebut lapuk sehingga sebagian dihilangkan. Lalu
dilakukan penambahan bangunan/ruang baru
untuk dapur dan kamar mandi, namun berada di
tanah. Pada tahun 2009 kayu lantai rumah diganti
semua dan atap juga diganti dengan multiroof
melalui dana bantuan dari ADB. Namun secara
umum, selain atap, seluruh bahan bangunan masih
sama dengan aslinya.
Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011
Gambar 2 Tampak Depan (kiri) dan Samping (kanan) dari
Rumah Tradisional di Desa Hilisimaetano

Struktur bangunan dari rangka kayu dengan


menggunakan sambungan/sistem pasak. Pondasi
bangunan menggunakan sistem umpak dengan
menggunakan alas batu. Pada bagian tiang bawah,
ditunjang dengan struktur kolom miring/ diagonal.
Sementara terkait dengan pembagian ruang,
bentuk ruang depan masih sama seperti aslinya
dan tetap difungsikan sebagai ruang menerima
tamu (bersifat publik/terbuka), dimana masih
terdapat 3 tingkatan lantai (ahembat, bat, dan
dane-dane). Sedangkan pada ruang belakang
difungsikan sebagai ruang tidur. Untuk dapur dan
kamar mandi berada di bawah di luar rumah inti.
Bagian bawah/kolong rumah hanya digunakan

153

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 4 Penambahan Ruang di Bagian Belakang pada Rumah
Tradisional di Desa Hilisimaetano

Desa Orahili Fau


Desa Orahili Fau masih memiliki cukup banyak
rumah tradisional, yaitu sebanyak 61 rumah.
Seluruhnya adalah omo hada. Rumah-rumah
tersebut membentuk pola memanjang berderet

Identifikasi Arsitektur Rumah (Bramantyo)

yang saling berhadapan, dimana pada bagian


tengahnya terdapat ruang terbuka, yang berfungsi
sebagai jalan dan juga ruang publik. Rumah-rumah
konvensional yang ada di antara rumah tradisional
dulunya juga berbentuk rumah adat, namun
berubah karena rumah yang lama rusak dan
pemiliknya tidak mampu membangun rumah
tradisional kembali.

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 7 Jenis Sambungan (kiri) dan Pondasi Bangunan
(kanan) pada Rumah di Desa Orahili Fau

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 5 Suasana Permukiman Desa Orahili Fau

Observasi lebih mendalam dilakukan pada satu


rumah sebagai sampel. Secara umum, bentuk
rumah yang dipilih relatif tipikal dengan rumah
lainnya, masih memperlihatkan karakter khas
arsitektur tradisional Nias. Jarak rumah ini dengan
rumah di sampingnya sangat dekat, yaitu 1,17
meter (sisi bertangga) dan 30 cm (sisi satunya).
Kondisi bangunan rumah ini relatif baik, dari segi
struktur, bangunan relatif kokoh meski dengan
tiang kayu yang usianya sudah tua. Tidak terlihat
ada kayu yang keropos atau mulai lapuk. Jenis kayu
yang digunakan cukup beragam, antara lain kayu
Afoa dan Berua (untuk dinding dan rangka), kayu
Siholi (lantai, tangga, dan pintu), serta kayu Hoya
(jendela).

Untuk pembagian ruang, secara umum rumah


terbagi menjadi ruang depan dan ruang belakang.
Bentuk ruang depan relatif asli dengan 3 tingkatan
lantai (ahembat, bat, dan dane-dane) dan tetap
difungsikan sebagai ruang menerima tamu
(bersifat publik/terbuka), terutama karena rumah
ini juga difungsikan sebagai kantor Kepala Desa.
Sedangkan pada ruang belakang terdapat dua
kamar tidur, dan pada bagian tengah terdapat
dipan
tempat
tidur.
Sementara
bagian
bawah/kolong rumah difungsikan sebagai tempat
berjualan/warung.

Ruang Belakang/Frma

AHEMBAT

Ruang Depan/Tawl
BAT
DANE-DANE

Sumber : Penggambaran Ulang, Agustus 2011


Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011
Gambar 6 Tampak Depan Rumah di Desa Orahili Fau

Struktur bangunan dari rumah ini menggunakan


rangka kayu dengan menggunakan sambungan/
sistem pasak. Pondasi bangunan menggunakan
sistem umpak dengan menggunakan alas batu.
Pada bagian tiang bawah, juga terdapat struktur
kolom miring/ diagonal, namun hanya pada bagian
depan rumah saja.

Gambar 8 Denah dan Pembagian Ruang pada Rumah


Tradisional di Desa Orahili Fau

Terkait aspek perubahan, terjadi penambahan


ruang/bangunan di bagian bawah/kolong rumah.
Hal ini juga memperlihatkan perubahan fungsi
ruang dari semula kandang hewan/non-fungsi
menjadi ruang kegiatan niaga (warung) dan dapur.
Sebagai implikasi penggunaan ruang kolong

154

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 151-161

tersebut, terjadi perubahan bentuk struktur dan


penggunaan bahan konvensional, yaitu berupa
penghilangan tiang miring/diagonal di bagian
tengah rumah (hanya disisakan tiang bagian depan
saja), penggunaan pasangan bata untuk dinding
rumah bawah, serta plesteran semen untuk lantai.
Selain itu, juga terdapat perubahan bahan untuk
tangga (kayu menjadi pasangan bata) dan atap
(rumbia menjadi seng).

Terkait tangga/pintu masuk juga berbeda, dimana


untuk rumah rakyat tangganya berada di samping
rumah, sementara untuk rumah raja tangganya
berada di bagian tengah rumah (masuk dari bawah
rumah). Kondisi dari ketiga rumah tersebut secara
umum relatif baik, dan ketiganya masih dihuni.
Namun pada beberapa bagian, terdapat kayu yang
mulai lapuk.

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 9 Penambahan Ruang di Bagian Bawah pada Rumah
Tradisional di Desa Orahili Fau

Desa Bawomataluo
Desa Bawomataluo merupakan salah satu desa
adat terbesar yang terdapat di Nias Selatan. Jumlah
rumah tradisional pada desa ini juga relatif yang
paling banyak jumlahnya, yaitu sebanyak 242
rumah. Selain Omo Hada yang merupakan
mayoritas di sana, juga terdapat 1 (satu) Omo
Sebua, yang terletak di tengah-tengah desa. Secara
umum kondisi rumah-rumah di sana masih baik
dan tetap mencirikan kekhasan arsitektur
bangunan tradisional Nias. Namun begitu,
kebanyakan atap rumah telah menggunakan seng,
bukan lagi rumbia. Selain itu, karena usia bangunan
sudah tua, banyak kayu yang mulai lapuk.

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 11 Tampak Depan Rumah di Desa Bawomataluo

Jenis kayu yang digunakan sangat bervariasi,


terutama untuk rumah raja yang menggunakan
sekitar 7 jenis kayu, dengan penggunaan yang
spesifik sesuai karakteristik masing-masing jenis
kayu. Kayu-kayu tersebut antara lain kayu Kapini
(untuk bato atau tempat tidur), Simandalo, Afoa
(dinding dan lantai), Manawadane, Berua (as
panjang yang melintang ke belakang), Maeula
(tiang penyangga sampai ke atas), dan Siholi (reng
atap). Sedangkan pada rumah rakyat, kayu yang
banyak digunakan adalah kayu Afoa, Siholi, dan
Berua. Sementara untuk struktur bangunan, ketiga
rumah relatif tipikal, yaitu rangka kayu dengan
menggunakan sambungan/sistem pasak, pondasi
umpak dengan menggunakan alas batu, dan
ditunjang dengan struktur kolom miring/ diagonal.

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 10 Keberadaan Omo Sebua di Desa Bawomataluo

Observasi lebih mendalam dilakukan pada dua


rumah rakyat dan Omo Sebua. Secara umum,
bentuk bangunan antara rumah rakyat dan rumah
raja relatif sama. Perbedaannya terletak pada
dimensi/ukuran bangunan serta kompleksitas
struktur, arsitektur, dan ornamen bangunan.
155

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 12 Struktur Tiang Diagonal (kiri) dan Pondasi
Bangunan (kanan) pada Omo Sebua di Desa Bawomataluo

Untuk pembagian ruang, antara rumah rakyat


dengan rumah raja relatif tipikal, yaitu terdiri dari
ruang depan (tawl) dan ruang belakang

Identifikasi Arsitektur Rumah (Bramantyo)

(frma). Namun dimensi/ukuran ruang depan


(terutama bagian ahembat) dari rumah raja
memang relatif besar karena diindikasikan dahulu
digunakan sebagai tempat berkumpul orang
banyak. Sementara untuk ruang belakang relatif
sama fungsinya untuk ketiga rumah tersebut,
sebagai ruang yang bersifat privat (khusus
penghuni rumah). Sedangkan pada bagian bawah
tidak terdapat perubahan fungsi ruang.

Ruang Belakang/Frma

Ruang Depan/Tawl

tradisional Nias. Namun begitu, kebanyakan atap


rumah telah menggunakan seng, bukan lagi
rumbia, dan nampak adanya penambahan
bangunan pada bagian bawah/kolong rumah.

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 14 Suasana Permukiman Desa Botohilitano

Observasi lebih mendalam dilakukan pada satu


rumah sebagai sampel. Secara umum, bentuk
rumah yang dipilih masih memperlihatkan
karakter khas arsitektur tradisional Nias,
khususnya pada bagian rumah inti. Namun pada
bagian
bawah/kolong
rumah
terdapat
penambahan bangunan dengan pasangan bata
(konvensional). Kondisi rumah secara umum
masih relatif baik dan terawat. Bila ditinjau dari
segi kekuatan bangunan, rumah ini relatif kokoh
meski dengan tiang kayu yang usianya sudah tua.
Bahan kayu masih dominan digunakan pada
konstruksi rumah inti, namun untuk atap sudah
menggunakan seng multiroof.

Sumber : Penggambaran Ulang, Agustus 2011


Gambar 13 Denah dan Pembagian Ruang pada Salah Satu
Rumah Rakyat (Omo Hada) di Desa Bawomataluo

Terkait aspek perubahan, pada ketiga rumah yang


diobservasi tingkat keasliannya relatif tinggi,
dimana tidak terlalu banyak terjadi perubahan.
Pada rumah raja, perubahan bentuk, penambahan
ruang serta perubahan fungsi ruang bisa dikatakan
tidak ada, kecuali penggantian atap menjadi seng.
Demikian pula untuk kedua rumah rakyat, dimana
salah satunya masih beratap rumbia, sementara
satu lainya hanya mengalami perubahan atap dan
penyekatan ruang belakang untuk kamar tidur.
Desa Botohilitano
Desa ini masih memiliki beberapa rumah
tradisional Nias, yang mengelompok pada kawasan
desa adat. Seluruhnya rumah yang ada adalah omo
hada. Secara umum kondisi rumah-rumah
tradisional Nias di sana masih baik dan tetap
mencirikan
kekhasan
arsitektur
bangunan

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 15 Tampak Depan (kiri) dan Tambahan Bangunan
(kanan) pada Rumah di Desa Botohilitano

Struktur bangunan dari rumah inti (asli) terbuat


dari
rangka kayu
dengan
menggunakan
sambungan/sistem pasak, terutama untuk struktur
tengah dan atap. Pondasi menggunakan umpak
dari batu, namun sudah tertimbun oleh plesteran
lantai. Sementara kolom diagonal hanya tersisa
pada bagian depan, sementara pada bagian dalam
rumah sudah dihilangkan.

156

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 151-161

dan tetap mencirikan kekhasan arsitektur


bangunan tradisional Nias. Namun begitu,
kebanyakan atap rumah tradisional telah
menggunakan seng, bukan lagi rumbia, dan
nampak adanya penambahan bangunan pada
bagian bawah/kolong dari sebagian rumah
tradisional.

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 16 Jenis Sambungan (kiri) dan Tiang Rumah (kanan)
pada Rumah di Desa Botohilitano

Terkait dengan pembagian ruang, pada rumah inti


pembagiannya masih relatif asli, dimana terdapat
ruang depan (tawl) dan ruang belakang
(frma). Bentuk ruang depan masih sama seperti
aslinya dan tetap difungsikan sebagai ruang
menerima tamu (bersifat publik/terbuka), dimana
masih terdapat 3 tingkatan lantai (ahembat, bat,
dan dane-dane). Sementara pada bagian ruang
belakang, terdapat satu kamar tidur tertutup dan
semacam dipan kayu yang berfungsi sebagai ruang
tidur. Selain ruang pada rumah inti tersebut, masih
terdapat beberapa ruang seperti kamar tidur,
ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar mandi,
tempat jemuran yang terdapat pada bangunan
tambahan.
Aspek perubahan dari rumah ini dapat
dikategorikan sangat signifikan, khususnya terkait
penambahan ruang/bangunan, yang luasannya
lebih besar dibanding luas rumah inti (asli).
Penambahan ini terjadi pada bagian bawah/kolong
rumah maupun pada bagian belakang (2 lantai).
Sebagai implikasi dari penggunaan ruang kolong,
terjadi
perubahan
bentuk
struktur
dan
penggunaan bahan konvensional, yaitu berupa
penghilangan tiang miring/diagonal di bagian
tengah rumah (hanya disisakan tiang bagian depan
saja) maupun penghilangan beberapa tiang/kolom
vertikal, penggunaan pasangan bata untuk dinding
rumah bawah (pada beberapa bagian menyatu/
menempel dengan tiang/kolom kayu), serta
plesteran semen untuk lantai. Selain itu, juga
terdapat perubahan atap rumah rumbia menjadi
seng multiroof.
Desa Hiliamaeta Niha
Desa ini masih memiliki relatif banyak rumah
tradisional Nias, yaitu 90 rumah yang seluruhnya
berjenis omo hada. Rumah-rumah tersebut
membentuk pola memanjang berderet yang saling
berhadapan, dimana pada bagian tengahnya
terdapat ruang terbuka, yang berfungsi sebagai
jalan dan juga ruang publik. Secara umum kondisi
rumah-rumah tradisional Nias di sana masih baik

157

Bangunan
Tambahan

Bangunan
Tambahan

RUMAH INTI

Frma

Tawl

Sumber : Penggambaran Ulang, Agustus 2011


Gambar 17 Denah dan Pembagian Ruang pada Rumah
Tradisional di Desa Botohilitano

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 18 Penambahan Ruang di Bagian Bawah pada Rumah
Tradisional di Desa Botohilitano

Identifikasi Arsitektur Rumah (Bramantyo)

belakang yang masih mempertahankan dipan kayu.


Sedangkan pada bagian bawah/ kolong rumah
terdapat penambahan bangunan dan ruang, yang
antara lain difungsikan sebagai kamar tidur, ruang
makan, dapur, dan kamar mandi.

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 19 Beberapa Rumah yang Memiliki Penambahan
Bangunan pada Kolong Rumah di Desa Hiliamaeta Niha

Observasi lebih mendalam dilakukan pada satu


rumah sebagai sampel. Secara umum, bentuk
rumah yang dipilih masih memperlihatkan
karakter khas arsitektur tradisional Nias. Namun
pada bagian bawah/kolong rumah terdapat
penambahan bangunan dengan pasangan bata
(konvensional) dan juga pemotongan tiang/ kolom
diagonal yang sebetulnya merupakan ciri khas
arsitektur tradisional Nias. Kondisi rumah secara
umum masih relatif baik dan terawat. Bahan kayu
masih dominan digunakan pada konstruksi rumah
inti, namun untuk atap sudah menggunakan seng.

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 21 Struktur Atap (kiri) dan Tiang Rumah (kanan) pada
Rumah di Desa Hiliamaeta Niha

Bangunan
Tambahan

RUMAH INTI

Frma

Tawl
Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011
Gambar 20 Tampak Depan (kiri) dan Samping (kanan) dari
Rumah Tradisional di Desa Hiliamaeta Niha

Struktur bangunan dari rumah inti (asli) terbuat


dari
rangka kayu
dengan
menggunakan
sambungan/sistem pasak, terutama untuk struktur
tengah dan atap. Pondasi rumah menggunakan
pondasi umpak dengan alas batu. Sementara kolom
diagonal hanya tersisa pada bagian depan dan
telah dipotong sehingga tidak utuh, sementara
pada bagian dalam rumah sudah dihilangkan.
Untuk pembagian ruang, pada rumah inti
pembagiannya masih relatif asli, dimana ruang
depan/tawl merupakan ruang tamu atau ruang
keluarga (bersifat publik) sementara ruang
belakang/frma merupakan ruang untuk tidur
(bersifat prifat). Pada rumah ini, ruang depan
masih sama bentuknya seperti aslinya, dimana
masih terdapat 3 tingkatan lantai (ahembat, bat,
dan dane-dane), demikian juga dengan ruang

Sumber : Penggambaran Ulang, Agustus 2011


Gambar 22 Denah dan Pembagian Ruang pada Rumah
Tradisional di Desa Hiliamaeta Niha

Terkait aspek perubahan, pada rumah ini terjadi


penambahan bangunan di bagian bawah/kolong
rumah. Sebagai implikasi, terjadi perubahan
bentuk struktur dan penggunaan bahan
konvensional, antara lain sebagian besar
penghilangan tiang diagonal (tiang diagonal depan
sudah dipotong sehingga diindikasikan tidak
menunjang
struktur
bangunan)
maupun
penghilangan beberapa tiang/kolom vertikal, serta
penggunaan pasangan bata untuk dinding rumah
158

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 151-161

bawah (pada beberapa bagian menyatu/


menempel dengan tiang/kolom kayu) dan
plesteran semen untuk lantai. Selain itu, juga
terdapat perubahan atap rumbia menjadi seng.

Sumber : Survei Lapangan, Juni 2011


Gambar 23 Penambahan Ruang dan Pemotongan Tiang
Diagonal pada Rumah Tradisional di Desa Hiliamaeta Niha

Kondisi Eksisting Rumah Tradisional Nias


Berdasarkan identifikasi pada 5 (lima) lokasi studi,
dapat dinilai eksistensi dari rumah tradisional Nias
Selatan masih cukup kuat. Hal ini juga tidak
terlepas dari keberadaan desa-desa adat yang
masih bertahan hingga saat ini. Setidaknya masih
ada puluhan rumah tradisional pada setiap desa
adat tersebut, dan mayoritas masih dihuni oleh
pemiliknya. Pada perspektif arsitektural, hampir
seluruh rumah tradisional yang ada masih
memperlihatkan ciri atau karakteristik arsitektur
tradisional Nias yang khas, meskipun rumahrumah tersebut telah mengalami beberapa
perubahan/modifikasi.
Secara umum kondisi rumah tradisional Nias
Selatan masih relatif baik meski usia bangunan
telah sangat tua. Sebagian besar material kayu
yang digunakan pada rumah-rumah tersebut
merupakan kayu asli yang belum pernah diganti.
Hal ini memperlihatkan bahwa pemilihan kayu
yang digunakan pada rumah tradisional dilakukan
secara selektif sehingga kualitas bahannya
terjamin. Menurut Viaro dan Ziegler (2006),
keragaman jenis kayu yang digunakan pada rumah
tradisional
Nias
memperlihatkan
tingkat
pengetahuan yang tinggi pada zamannya dari para
ahli bangunan Nias terkait bahan bangunan. Hal ini
karena masing-masing jenis kayu tersebut
memiliki karakteristik dan kelebihan sehingga
memiliki
kekhususan
penggunaanya
yang
tersendiri. Seperti kayu Manawa Dan yang padat
sehingga dipilih untuk bagian rumah yang mampu
menahan tekanan/ beban vertikal yang besar, atau
kayu afoa yang lebih memiliki resistensi terhadap
panas api.
Dari segi kehandalan struktur bangunan pun
rumah-rumah tersebut masih relatif kuat dan
kokoh. Hal ini cukup terbukti dengan masih
berdirinya rumah-rumah tradisional Nias meski
159

diguncang oleh gempa pada tahun 2005. Mayoritas


rumah, terutama pada bangunan inti/asli, masih
mempertahankan sistem sambungan pasak dan
pondasi umpak.
Pembagian ruang pada mayoritas rumah
tradisional Nias, khususnya di bagian rumah inti,
relatif asli bentuk dan polanya, yaitu terbagi
menjadi ruang depan (tawl) dan ruang belakang
(frma). Keaslian tersebut paling terlihat pada
ruang depan yang terbagi menjadi 3 tingkatan
lantai yaitu ahembat, bat, dan dane-dane, dimana
seperti dikatakan oleh Saleh (1989) perbedaan
ketinggian tersebut diartikan orang yang
derajat/kedudukan/usia-nya lebih tinggi maka
berhak duduk pada lantai yang lebih atas.
Pemisahan ruang juga didasarkan pada jenis
kelamin, khususnya pada waktu tidur, dimana
ruang depan digunakan oleh penghuni laki-laki,
sementara ruang belakang digunakan oleh
penghuni perempuan. Namun secara umum,
kebanyakan rumah tradisional Nias tidak memiliki
kamar tidur khusus yang bersifat tertutup.
Beberapa faktor yang mempengaruhi bertahannya
eksistensi dari rumah tradisional Nias antara lain :
(i) Masyarakat setempat masih menghormati adat
dan tradisi dari leluhurnya. Mereka juga
berpandangan bahwa rumah tradisional Nias
memiliki nilai arsitektural yang tinggi, unik, dan
menjadi simbol kebanggan mereka. Hal ini
diperkirakan juga karena kondisi Pulau Nias
yang agak terisolir dan belum terlalu banyak
terpengaruh oleh kebudayaan luar. Karena itu,
masih banyak masyarakat, terutama yang
tinggal pada desa adat, memilih tinggal pada
rumah tradisional Nias.
(ii) Struktur dan konstruksi rumah tradisional Nias
relatif
kokoh
dan
berumur
panjang.
Kebanyakan rumah-rumah Nias yang dihuni
sekarang merupakan warisan dari orang tua
mereka, dengan kondisi yang kebanyakan
masih baik dan layak huni. Selain itu, dengan
kehandalan bangunan rumah Nias yang tahan
terhadap gempa, yang telah teruji pada gempa
2005, secara tidak langsung menjadi alasan
masyarakat untuk memilih tinggal di sana.
Namun begitu, bila ditinjau secara lebih detail,
memang terdapat beberapa komponen rumah yang
telah termakan usia dan memerlukan perbaikan.
Kendala di dalam perawatan dan perbaikan rumah
tradisional Nias berhubungan dengan tidak
adanya/sulitnya mencari bahan kayu yang sesuai
dengan kualitas kayu lama. Bila pun ada, harganya
biasanya mahal sehingga kurang terjangkau.
Terlebih kebanyakan masyarakat yang tinggal pada
rumah tradisional tersebut masih tergolong pada
kalangan masyarakat menengah ke bawah. Di

Identifikasi Arsitektur Rumah (Bramantyo)

samping itu, pembangunan rumah tradisional Nias


juga terikat oleh hukum adat dan tradisi, seperti
pengorbanan hewan dan emas, yang secara tidak
langsung membebani masyarakat yang ingin
mengembangkan rumah tradisional Nias.
Perubahan pada Rumah Tradisional Nias
Hasil identifikasi memperlihatkan bahwa sebagian
besar rumah tradisional Nias telah mengalami
perubahan, baik yang bersifat mayor seperti
penambahan bangunan, maupun yang bersifat
minor seperti penggunaan seng/ multiroof yang
menggantikan atap rumbia. Namun secara umum,
perubahan yang terjadi tidak mengubah bentuk
(karakter) asli dari rumah tradisional Nias.
Penambahan bangunan atau ruang banyak terjadi
pada bagian bawah/kolong maupun belakang
rumah. Penambahan ini kebanyakan telah
menggunakan konstruksi konvensional (struktur
beton dan pasangan bata), tidak lagi mengikuti
bentuk konstruksi asli rumah tradisional Nias.
Sementara penambahan ruang melalui penyekatan
ruang pada rumah inti sangat jarang dilakukan,
karena bentuk ruang asli kebanyakan masih
dipertahankan, baik pada tawl maupun frma
yang ditandai keberadaan dipan kayu pada masingmasing ruang.
Penambahan bangunan atau ruang pada rumah
tradisional
Nias
disebabkan
oleh
tidak
memadainya ukuran dan pola pembagian ruang
asli (tawl-frma) dalam mengakomodasi
kebutuhan dan aktivitas penghuninya pada saat ini
sesuai dengan perkembangan zaman. Semisal pada
ruang depan, perabotan biasanya hanya diletakkan
pada lantai tingkatan pertama (ahembat)
sehingga pemanfaatan ruang menjadi terbatas.
Lalu kebutuhan akan kamar tidur yang bersifat
privat/tertutup tidak terpenuhi oleh disain asli
pembagian ruang rumah Nias, sementara
masyarakat Nias yang telah terpengaruh oleh gaya
hidup modern (terutama generasi muda)
menginginkan adanya kamar tidur. Demikian pula
dengan kebutuhan akan dapur dan kamar mandi
yang tidak bisa diakomodasi, sehingga akhirnya
dilakukan penambahan bangunan/ruang tersebut.
Penambahan bangunan yang terjadi, khususnya
pada bagian bawah/kolong rumah diindikasikan
memiliki implikasi terhadap struktur bangunan
dan resistensi bangunan terhadap gempa. Salah
satu kearifan lokal yang dimiliki oleh rumah
tradisional Nias adalah adaptasi rumah terhadap
gempa. Menurut Viaro dan Ziegler (2006), adaptasi
rumah Nias terhadap gempa ditunjukkan melalui
penggunaan tiang penyangga/kolom diagonal serta
tidak menggunakan pondasi yang tertanam untuk
tiang rumah (pondasi umpak) sehingga lebih
fleksibel ketika terjadi gempa. Namun dengan

adanya penambahan bangunan tersebut, banyak


terjadi pengurangan/penghilangan tiang diagonal
maupun beberapa tiang/kolom vertikal karena
dianggap mengurangi keleluasaan ruang bawah
apabila difungsikan menjadi ruangan tertentu.
Padahal baik tiang vertikal maupun diagonal
memiliki fungsi secara struktur, sehingga
pengurangan
tiang
tersebut
berpotensi
melemahkan resistensi bangunan terhadap gempa.
Demikian pula dengan penggunaan pasangan bata
sebagai dinding rumah bawah, karena hanya
bertumpu pada kolom kayu eksisting, maka pada
saat gempa diprediksi akan mengalami kerusakan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa eksistensi rumah tradisional
Nias Selatan masih relatif kuat pada desa-desa adat
di Teluk Dalam, dimana ciri khas arsitekturnya
masih terjaga, serta secara umum kondisinya
relatif baik dan masih dihuni hingga saat ini.
Perubahan yang banyak terjadi antara lain
penambahan bangunan pada bagian bawah dan
belakang rumah, serta penggantian/ penggunaan
bahan bangunan baru. Perubahan tersebut
merupakan
salah
satu
upaya
untuk
mempertahankan eksistensi rumah tradisional
Nias untuk mengakomodasi kebutuhan hunian dan
pola hidup masyarakat Nias saat ini dan juga
menyesuaikan
dengan ketersediaan bahan
bangunan yang ada di pasaran.
Beberapa saran yang dapat dikemukakan dari hasil
kajian ini antara lain, (i) perlu dikaji lebih
mendalam mengenai dampak penambahan
bangunan terhadap kehandalan struktur dan
resistensi rumah terhadap gempa; (ii) perlu
dilakukan pengembangan teknologi tepat guna
bahan bangunan alternatif terkait penyediaan
bahan kayu yang berkualitas untuk menunjang
keberlanjutan rumah tradisional Nias.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pusat
Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian
Pekerjaan Umum dan Satuan Kerja Loka Teknologi
Permukiman Medan yang telah memberi
kesempatan dan dukungan untuk melaksanakan
penelitian dari Kegiatan Identifikasi Arsitektur
Rumah Tradisional Melayu dan Nias Selatan di
Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2011.

DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1979. Adat Istiadat Daerah Suku
Bangsa Nias-Provinsi Sumatera Utara.
Loka Teknologi Permukiman Medan. 2010.
Laporan Akhir Kegiatan Inventarisasi dan

160

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 151-161

Identifikasi Arsitektur Rumah Tradisional


Batak di Provinsi Sumatera Utara (Toba,
Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak/Dairi). Loka Teknologi Permukiman
Medan, Medan.
Loka Teknologi Permukiman Medan. 2011.
Laporan Akhir Kegiatan Inventarisasi dan
Identifikasi Arsitektur Rumah Tradisional
Melayu dan Nias di Provinsi Sumatera Utara.
Loka Teknologi Permukiman Medan, Medan.

161

Saleh, M. 1989. Rumah Adat Tradisional Nias. Dirjen


Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Siahaan, E.K. Dkk. 1979. Monografi Kebudayaan
Nias.
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan: Medan.
Viaro, A.M. dan Ziegler, A. 2006. Traditional
Architecture of Nias Island. Yayasan Pusaka
Nias : Gunung Sitoli.

Peran Kawasan Inner City Residents (Heni Suhaeni)

PERAN KAWASAN INNER CITY RESIDENTS DI KOTA BANDUNG


BAGI KELOMPOK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH
The Role of Inner City Residents in the City of Bandung
for The Low Income People
Heni Suhaeni
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393
E-mail: heni.puskim@yahoo.co.id
Diterima : 31 Juli 2012; Disetujui : 03 Oktober 2012

Abstrak
Di negara-negara sedang berkembang, bukti menunjukkan bahwa kawasan inner city residents banyak
dibutuhkan sebagai tempat tinggal dan tempat bekerja, walaupun kondisi kawasaninner city resident
tersebut padat huni dan kumuh, karena posisi geografisnya yang berdekatan dengan pusat kegiatan
ekonomi kota. Pertanyannya adalah, mengapa penduduk lebih memilih untuk bertempat tinggal di kawasan
inner city residents yang kumuh dan padat huni, dan seberapa pentingkah kawasan inner city residents
bagi mereka. Dalam makalah ini dibahas mengenai karakteristik kawasan inner city residents dan
penduduknya yang bertempat tinggal di kawasan tersebut. Pengolahan dan analisis data diproses melalui
Statistical Package for Social Sciences (SPSS). Metoda yang digunakan dalam SPSS ini adalah dimension
reduction dan korelasi. Data primer hasil penelitian ini diambil dari dokumentasi Pusat Litbang
Permukiman tahun 2010. Hasilnya menunjukkan bahwa kawasan inner city residents ini memiliki peran
penting yang signifikan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dalam hal menyediakan
berbagai pilihan tempat tinggal yang variatif dan terjangkau, dan terutama karena posisi geografis yang
strategis yang dapat dijadikan tempat tinggal dan tempat mencari nafkah di sekitar kawasan tersebut.
Kata Kunci : Area pusat kota, keterjangkauan, status hunian, masyarakat berpenghasilan rendah

Abstract
In the developing countries, the evidents show that many people need to live and work in the inner city
residents, althought these inner city residents are slum and crowded, due to its geographycal position is close
to the central activities of the city. The question is, why do people prefer to reside in the slum and crowded
residences, and how much important do this inner city residents for them. This paper elaborates the
characteristics inner city residents and the people who reside in the inner city residents. This research utilizes
a part of the raw data which were documented by The Research Center for Human Settlements in 2010. The
method of study which is used to compile and analyze data is dimension reduction and correlation. The
results of this research show that inner city residents have a significant role for the low income people in
the form of affordable and multi alternatives housing. In addition, inner city residents is a strategic location
which is useful as a place for living and working in and arround inner city.
Keywords : The core area, affordability, housing tenure, and low income people

PENDAHULUAN
Dari beberapa studi kepustakaan dijelaskan bahwa,
kawasan inner city residents dapat dipahami
sebagai kawasan perumahan yang posisi
geografisnya berdekatan atau berada di sekitar
kawasan utama (core area) pada pusat kegiatan
ekonomi kota dan merupakan bagian dari kawasan
inner city.
Dengan posisi geografis yang strategis, kawasan
Inner city resident ini seharusnya mampu
menjadi kawasan perumahan yang berperan serta
mendorong dan membangun kelangsungan
aktivitas sosial dan ekonomi perkotaan, karena
inner city resident ini merupakan tempat tinggal

sejumlah penduduk, dimana mereka merupakan


bagian dari sumber daya manusia yang tinggal dan
bekerja terkait dengan aktivitas sosial dan
ekonomi perkotaan.
Sonmez (2007) menyatakan bahwa inner city
kota Izmir di Turki dapat berperan sebagai tempat
untuk bertempat tinggal dan bekerja bagi
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,
karena kedekatan jarak antara tempat tinggal
dengan tempat bekerja. Penduduk diuntungkan
oleh biaya transportasi yang lebih murah.
Kondisi fisik kawasaninner city di kota Bandung
gambarannya hampir serupa dengan inner city
kota Izmir di Turki. Penduduk bertempat tinggal
162

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 162-169

dan bekerja di sekitar kawasan inner city dan


pada umumnya mereka adalah penduduk dari
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan
miskin. Hasil penelusuran data tahun 2010-2011
pun menunjukkan bahwa, ternyata kawasan inner
city resident di kota Bandung memiliki posisi
geografis yang strategis. Lokasi geografisnya
berdekatan dengan pusat kegiatan ekonomi kota
Bandung. Kawasan inner city residents yang
dapat diamati di beberapa kota di Indonesia pun
umumnya merupakan kawasan perumahan kumuh
dan padat huni.
Kondisi kawasan inner city resident yang padat
huni dan kumuh tersebut terbentuk dari proses
pertambahan penduduk yang terus meningkat,
tetapi tidak disertai penataan kembali kawasan
ataupun penambahan sarana dan prasarana umum,
sehingga sebagai akibatnya terjadi kepadatan
bangunan dan kekumuhan. Kondisi tersebut
terbangun dalam kurun waktu yang lama, sebagai
akibat dari laju pertambahan penduduk, baik
melalui pertambahan penduduk alami melalui
kelahiran, ataupun melalui migrasi penduduk yang
masuk ke kota Bandung.
Secara bertahap, lahan yang tersedia di kawasan
tersebut mulai terbagi-bagi (split) menjadi kapling
kapling yang lebih kecil. Pembagian ini didasarkan
pada kebutuhan dan keterjangkauan penduduk
yang membutuhkannya untuk dibangun menjadi
sebuah tempat tinggal. Kegiatan pembagian
tersebut merupakan sebuah proses alami tanpa
perencanaan formal dan atas upaya komunitas
penduduk itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan
tempat tinggal untuk keluarganya.
Laquian (2005) menjelaskan bahwa inner city
residents secara tradisional tidak dibangun
melalui sebuah perencanaan kota, tetapi secara
tradisional ditata oleh komunitas penduduknya
sendiri atas pertimbangan kebutuhan dasar hidup
untuk tempat tinggalnya, kemudian berkembang
setahap demi setahap menjadi sebuah kawasan
inner city residents (neighborhood units).
Berbeda dengan pandangan Porter (1995),
seharusnya kawasan inner city dimana pun perlu
dibangun secara terencana dengan berorientasi
pada keuntungan ekonomi kota, investasi pun
harus memperhitungkan nilai ekonomi yang
terukur, serta mampu bersaing secara adil.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa, inner city perlu
dibangun sebagai sebuah sistem yang berbasis
global, artinya kawasan inner city ini tidak hanya
dapat melayani kebutuhan lokal, tetapi juga
regional, nasional, bahkan international, sehingga
diharapkan dapat memiliki nilai kompetitif karena

163

sifatnya yang spesifik dan mampu menciptakan


peluang kerja (ibid).
Oleh sebab itu, pembangunan perumahan beserta
infrastruktur untuk pendukung lainnya harus
menjadi persyaratan utama dalam memfasilitasi
kegiatan ekonomi yang kompetitif, agar mampu
bersaing dalam jangkauan skala yang lebih luas,
contohnya tersedianya jejaring kerja dan sumber
daya manusia yang mampu bersaing dalam tingkat
global.
Sejalan dengan konsep yang dikemukakan oleh
Porter, inner city residents di kota Beijing pun
seperti yang dikemukakan oleh Fang (2006),
tujuan awal pembangunan kembali kawasan inner
city residents untuk meningkatkan kualitas hidup
penduduknya serta mempertahankan kawasan
perumahan asli, akan tetapi sejak tahun 1998 dan
seterusnya orientasi pembangunan perumahan di
negara Cina lebih difokuskan untuk memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Fang (2006), dengan
pertimbangan ekonomi dan politik, pembangunan
kembali kawasan inner city di kota Beijing lebih
didasarkan pada peran dan posisi penting di
tingkat nasional maupun international, sehingga
dapat berkembang sebagai kawasan inner city
residents yang mampu menunjang kemajuan kota
Beijing dalam skala global.
Akan tetapi, kenyataan ini berbeda dengan inner
city residents yang berada di kota-kota negara
sedang berkembang, seperti contohnya kota
Bandung. Dari beberapa sumber data dan
informasi di lapangan menunjukkan bahwa,
program urban renewal atau urban up-grading
yang bertujuan untuk memperbaiki dan
meningkatkan peran inner city residents sulit
dan gagal dilaksanakan, karena ketidak sepakatan
diantara berbagai pihak yang terkait. Ada beberapa
aspek yang terkait di dalamnya yang menimbulkan
tarik menarik diantara berbagai kepentingan,
sehingga sulit diambil sebuah keputusan, dan
akhirnya untuk sementara dibiarkan dalam kondisi
padat huni dan kumuh.
Menurut Jelili (2006), ketidak sepakatan ini
diperkirakan terjadi, karena kegiatan urban
renewal hanya memperhatikan pembangunan
fisik perumahan semata, tetapi aspek sosial dan
ekonomi penduduk yang tinggal di kawasan
tersebut terabaikan. Disamping itu, pembangunan
kembali kawasan inner city residents lebih
mempertimbangkan bertambahnya nilai ekonomi
kota untuk kepentingan pemerintahan kota.
Keberadaan inner city residents ini sebenarnya
masih sangat dibutuhkan oleh sebagian penduduk

Peran Kawasan Inner City Residents (Heni Suhaeni)

perkotaan, walaupun dalam kondisi padat huni dan


kumuh sekalipun, seperti yang dibahas dalam UNHabitat dan UN-Escap (2008) bahwa kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah sebenarnya
membutuhkan tempat tinggal yang berdekatan
dengan pusat kegiatan ekonomi kota, karena
kawasan tersebut merupakan tempat dimana
mereka dapat mencari nafkah dan bertahan hidup
di kawasan tersebut.
Dengan kondisi tersebut, menjadikan pemerintah
kota dalam posisi yang dilematis dalam memilih
dan mengambil sebuah keputusan. Pilihan-pilihan
yang perlu dipertimbangkan menyangkut ekonomi
makro kota dengan berorientasi pada keuntungan
ekonomi kota yang sebesar besarnya, seperti yang
terjadi di kota Beijing, ataukah nilai sosial dan
kemanusiaan bagi penduduk untuk tetap bertahan
hidup dan bertempat tinggal di kawasan inner city
residents,
karena
sebagian
besar
dari
penduduknya tersebut adalah masyarakat yang
berpenghasilan rendah yang mencari nafkah untuk
kehidupannya di sekitar kawasan inner city
tersebut.
Pada akhirnya, inner city resident menjadi
masalah yang serius bagi pemerintah kota, karena
sulit diperbaiki. Di satu sisi, posisi geografis
potensial dan memiliki peluang yang besar untuk
menjadi kawasan yang bernilai tinggi. Di sisi lain,
ternyata lokasi tersebut merupakan kawasan yang
dihuni oleh kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah yang seluruh kehidupannya bergantung
sepenuhnya pada lokasi tersebut.
Implikasi dari kondisi tersebut adalah, apabila
pemerintah kota memilih pembangunan kembali
kawasan
inner
city
residents
dengan
pertimbangan keuntungan ekonomi kota yang
sebesar-besarnya, maka kebutuhan tempat tinggal
bagi masyarakat berpenghasilan rendah akan
tersisihkan, sehingga harapan untuk menyediakan
tempat tinggal di perkotaan yang aman dan
terjangkau bagi seluruh penduduknya mengalami
kegagalan. Tetapi apabila pemerintah kota memilih
dengan pertimbangan sosial dan kemanusiaan agar
masyarakat berpenghasilan rendah dapat tetap
menempati kawasan inner city residents
tersebut, maka sebagian penduduk inner city
residents
dapat
mempertahankan
dan
melanjutkan kehidupan mencari nafkah di
kawasan tersebut, dengan kondisi sebagian tata
ruang kota tidak dapat dibangun atau dirancang
setara untuk setiap bagian dari tata ruang kota.
Pada dasarnya, para ahli penataan ruang perkotaan
atau ahli ekonomi pekotaan percaya bahwa Inner
city residents sangat potensial untuk dapat
berkembang menjadi kawasan penunjang pusat
kegiatan ekonomi dan perdagangan, dan juga

memiliki nilai kawasan tinggi, karena posisi


geografisnya yang berdekatan dengan pusat
kegiatan ekonomi perkotaan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh
konsep dasar dari sebuah model mengenai
seberapa pentingkah inner city residents ini bagi
penduduk yang mendiami dan tinggal serta bekerja
di kawasan tersebut.
Dengan gambaran tersebut diatas, penelitian
difokuskan pada keberadaan kawasan inner city
resident dan penduduk yang menghuninya.
Dengan pertanyaan penelitian, seberapa penting
kah kawasan inner city resident ini bagi
masyarakat yang tinggal di kawasan inner city
resident tersebut ? dan mengapa kawasan inner
city resident masih dipertahankan untuk
ditempati sebagai tempat tinggal dan bekerja
walaupun kondisi kawasan perumahan padat huni
dan kumuh ?

METODOLOGI
Pengolahan dan analisis data diproses melalui
Statistical Package for Social Sciences (SPSS).
Metoda yang digunakan adalah dimension
reduction (pengurangan dimensi), yang gunanya
untuk memperkecil dan memudahkan dalam
mengidentifikasi faktor dominan yang diasumsikan
berpengaruh. Metoda korelasi juga digunakan
untuk mengukur seberapa besar hubungan atau
pengaruh satu variabel terhadap komponen
variabel lainnya. Terakhir mengukur posisi
geografis yang strategis, yang menjadikan kawasan
ini sebagai lokasi yang disukai penduduk. Data
yang dipakai untuk mengukur lokasi strategis
diambil dari data primer, dan dilengkapi dengan
hasil pengamatan lokasi survey lapangan.
SPSS dipilih sebagai alat pengolahan dan analisis
data untuk memudahkan dan mempercepat
pengolahan dan analisis data.
Melalui pengolahan data SPSS dapat diidentifikasi
secara teliti variabel apa saja yang memiliki
signifikansi yang tinggi terhadap sejumlah variabel
yang diteliti, serta komponen apa saja yang
termasuk dalam sejumlah variabel tersebut. Pada
dasarnya manfaat mengolah data melalui SPSS
adalah hasil pengolahan dan analisis data yang
lebih cepat, efisien, dan teliti.
Data penelitian sebagian besar diambil dari data
primer
kegiatan
penelitian
Menghitung
Kebutuhan Rumah Perkotaan tahun anggaran
2010-2011, khususnya data primer Kota Bandung.
Penentuan lokasi didasarkan pada faktor
kepadatan penduduk tertinggi di kota Bandung
berdasarkan data dari Bandan Pusat Statistik Kota

164

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 162-169

Bandung (lihat tabel 1 Lima Titik Lokasi Penelitian


di bawah ini).

kedua, melakukan korelasi diantara varibelvariabel yang dominan dan berpengaruh tersebut.
Langkah ketiga, menganalisis posisi geografis
kawasan inner city residents berdasarkan hasil
pengamatan, data hasil survey lapangan, data
skunder, dan analisis statistik.
Tabel 2 Koefisien Korelasi Inner City Residents
Variabel Fasilitas
Fasilitas
Komponen
Pendidikan Umum

SMP terdekat

.932

SD terdekat

.898

SMA terdekat

.849

Pasar

.882

Tempat berobat

.848

Status
Hunian

Status Tanah

.847

Status Rumah

.781

Kemampuan
Keuangan

Jenis Pekerjaan

.852

Penghasilan

.681

Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung, 2004


Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian Inner City Residents

Tabel 1 Lima Titik Lokasi Penelitian Kawasan Inner


City Residents Kota Bandung, Tahun 2010

64

Kepadatan
Penduduk
(jiwa/ha)
406

33.955

48

250

Astanaanyar

19.195

48

248

4.

Kiara Condong

35.669

48

216

5.

Cibeunying Kidul

30.570

32

215

No.

Kecamatan

1.

Bojongloa Kaler

2.

Batununggal

3.

Jumlah
Kepala
Keluarga
33.268

Jumlah
Sampel

Sumber : Bandung Dalam Angka, 2010

Pada tabel 1 di atas, lima kecamatan tersebut


merupakan 5 besar tertinggi dalam hal kepadatan
penduduk di kota Bandung. Kriteria setiap lokasi
adalah merupakan kawasan padat huni dan
kumuh.
Pengambilan
sampel
penelitian
dilakukanan dengan cara random stratification
sampling. Jumlah pengambilan sampel penelitian
didasarkan pada ukuran standar yang sering
dilakukan oleh kantor BPS bawa setiap blok sampel
diambil 16 responden, dan pengambilan setiap
blok sampel ini dapat mewakili sebuah populasi
kawasan padat huni dan kumuh.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Seperti disebutkan dalam metoda penelitian, pada
proses analisis data dan pembahasan dilakukan
dalam 3 langkah, yaitu langkah pertama
mengidentifikasi variabel data yang dominan dan
berpengaruh dalam penelitian tersebut. Langkah
165

Hasil langkah pertama teridentifikasi sejumlah


komponen variabel yang dominan berdasarkan
analisis dimension reduction yang ditunjukan
dengan nilai koefisien yang tertinggi diantara
variabel-variabel lainnya (lihat tabel 2).
Dari tabel 2 tersebut dapat dibaca bahwa telah
teridentifikasi empat kelompok variabel, yaitu
variabel fasilitas pendidikan, fasilitas umum, status
hunian,
dan
kemampuan
finansial
(keterjangkauan).
Keempat variabel tersebut pada dasarnya
merupakan variabel yang dominan yang
berpengaruh dalam penelitian inner city
residents yang dapat dilihat dari nilai koefisien
tersebut di atas.
Pada tabel 2 diatas, fasilitas pendidikan adalah
kebutuhan dasar tertinggi bagi setiap unit
perumahan (neigbouhood) dilihat dari nilai
koefisiennya, dan berarti fasilitas pendidikan perlu
disediakan sesuai dengan kebutuhan penduduk
yang tinggal di sekitar kawasan tersebut.
Pada tabel 2 pun dapat dilihat bahwa fasilitas
umum teridentifikasi juga merupakan kebutuhan
dasar bagi setiap unit neighbourhood untuk
mencapai masyarakat yang sehat dan terpenuhi
kebutuhan pangannya. Fasilitas umum yang
teridentifikasi di sini adalah berupa pasar dan
tempat berobat.
Status tanah dan rumah pun menjadi sebuah
kebutuhan dasar. Bukan hanya dalam arti sebagai
shelter yang dapat melindungi penghuninya, tetapi
juga sebagai jaminan keamanan bagi penduduk
dan keluarganya yang dinyatakan status tinggal
dan kepemilikannya secara tertulis dan sah

Peran Kawasan Inner City Residents (Heni Suhaeni)

menurut hukum. Sementara jenis pekerjaan dan


penghasilan dapat juga disebut sebagai jaminan
bagi seseorang untuk dapat membiayai kebutuhan
hidupnya.
Langkah kedua adalah, menganalisis korelasi
diantara dua variabel penelitian, yaitu variabel
terikat dan variabel bebas. Pada variabel terikat
yang ditetapkan adalah fasilitas pendidikan,
fasilitas umum, status hunian, dan kemampuan
keuangan (keterjangkauan). Pada variabel bebas
yang ditetapkan adalah variabel lamanya tinggal di
kawasan inner city residents.
Variabel lamanya tinggal diasumsikan sebagai
variabel bebas, karena variabel lamanya tinggal
dapat mempengaruhi variabel terikat. Contohnya,
lamanya penduduk tinggal dikawasan tersebut
berpengaruh terhadap seseorang untuk dapat
bertahan dan tinggal lebih lama di kawasan
tersebut, karena penduduk sudah mengenal,
menjalani, menikmati dan beradaptasi dalam
kehidupan di kawasan perumahan inner city
residents tersebut. Pada variabel terikat
mempunyai kriteria yang jelas, contohnya seperti
jarak terhadap sekolah, jarak terhadap tempat
berobat, pasar, besarnya penghasilan, jenis
pekerjaan, dan status hunian.
Pada langkah kedua ini, hasil pengolahan dan
analisis data dengan menggunakan metoda
korelasi ditemukan bahwa dari keempat variabel
yang telah teridentifikasi, ternyata hanya 3
variabel yang mempunyai korelasi dalam analisis
statistik ini, yaitu variabel kemampuan keuangan
(keterjangkauan), status hunian, dan fasilitas
umum yang tersedia. Ketiga variabel tersebut
merupakan variabel-variabel yang signifikan
berpengaruh terhadap penduduk untuk memilih
tinggal dan berkerja di kawasan tersebut.
Sedangkan satu variabel, yaitu variabel fasilitas
pendidikan ternyata tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap penduduknya, seperti yang
dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3 Koefisien Korelasi Lamanya Tinggal terhadap 4
Variabel Perumahan
Lamanya Tinggal
Variabel Perumahan

Koefisien
Korelasi ()
.032

.608

2. Fasilitas Umum

.160

.010

3. Status Hunian

.187

.003

4. Kemampuan Keuangan

.296

.000

1. Fasilitas Pendidikan

Sig.

Sumber : Hasil Analisis Data SPSS, 2012

Pada tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa dengan


tingkat signifikansi sebesar 5%, variabel lamanya
tinggal mempunyai korelasi dengan variabel

fasilitas umum, status hunian, dan kemampuan


keuangan (keterjangkauan) dengan tingkat
kepercayaan sebesar 95%. Sedangkan variabel
fasilitas pendidikan tidak berkorelasi secara
signifikan terhadap lamanya tinggal yang
ditunjukkan dengan tingkat signifikansi yang
hanya
mencapai
6%,
artinya
tingkat
kepercayaannya kurang dari 95%.
Langkah ketiga, dari hasil pengamatan di lapangan
dan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
lima titik lokasi penelitian ini berada pada lokasi
yang strategis terhadap pusat kegiatan ekonomi
kota. Dengan posisi geografis yang strategis,
dianggap menguntungkan untuk ditata ulang, atau
dibangun kembali, agar fungsi kawasan mampu
berkembang melayani dan menunjang kebutuhan
permukiman di tingkat lokal, regional, nasional,
maupun internasional.
Dalam perspektif ekonomi makro, posisi geografis
yang strategis ini dapat menjadi modal awal untuk
memperoleh kemudahan akses dalam perdagangan
global, sehingga pada waktunya dapat mengambil
keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya.
Kawasan inner city residents ini potensial untuk
dibangun kembali menyesuaikan diri dengan
permintaan pasar global. Contoh ini dapat dilihat
pada kasus-kasus penataan kembali kawasan
inner city residents di kota Beijing negara Cina
pada periode 10 tahun terakhir ini. Kondisi ini
menjadikan negara Cina, khususnya kota Beijing
menjadi lebih terbuka sebagai kota perdagangan
yang melayani negara-negara lain, dengan
ditunjang oleh fasilitas umum yang memadai.
Akan tetapi, kondisi kawasan inner city residents
pada kota-kota negara sedang berkembang, seperti
contohnya di kota Bandung, seringkali mengalami
kesulitan untuk melakukan penataan kembali
kawasan tersebut, karena memerlukan modal
investasi yang tinggi.
Lebih jauh dapat disebutkan bahwa konsekuensi
dari pembangunan kembali kawasan inner city
residents dengan pendekatan bisnis ekonomi atau
pendekatan kapitalis, seperti yang dilakukan di
Beijing untuk mengambil keuntungan yang
sebesar-besarnya, bukan hanya memerlukan
investasi besar, tetapi juga sejumlah penduduk
yang sudah lama tinggal, berketurunan dan bekerja
pada kawasan inner city residents tersebut, akan
menghadapi berbagai masalah sosial dan finansial
keluarga. Penduduk lama yang selama ini
bergantung sepenuhnya pada kehidupan di
kawasan inner city residents bisa terpinggirkan,
karena ketidak mampuannya untuk membiayai
hidup di kawasan inner city resident yang sudah
mengalami pembangunan urban renewal.

166

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 162-169

Kenyataan tersebut sebenarnya bukan hal yang


mudah untuk dihadapi oleh penduduk. Proses
adaptasi manusia dengan perubahan baru harus
dihadapi, dan membutuhkan waktu yang lebih
lama jika dibandingkan dengan tenggang waktu
untuk proses penataan kembali secara fisik
kawasan inner city residents.
Dengan kata lain, proses adaptasi manusia
terhadap perubahan baru tidak secepat proses
penataan kembali kawasan inner city residents
yang dilakukan melalui pendekatan bisnis ekonomi
yang menguntungkan. Pemerintah kota pun
sebenarnya dituntut untuk bekerja keras merelokasi penduduk lama ke tempat baru yang
biasanya jauh dari pusat kegiatan kota.
Dalam perspektif humanistis atau kemanusiaan,
sebenarnya kawasan inner city residents adalah
tempat paling akomodatif bagi mereka untuk
bertahan hidup dan mencari nafkah di kawasan
tersebut, walaupun dengan kondisi padat huni dan
kumuh. Dari hasil analisis di atas dapat dipahami
bahwa, kawasan inner city resident menjadi
tempat yang memiliki peran penting bagi sejumlah
besar kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah, karena beberapa alasan yang mendasar,
yaitu:
Pada kawasan inner city resident tersedia
fasilitas umum yang memadai, yang ditunjukkan
oleh hasil analisis statistik dengan nilai korelasi
sebesar .16 dan tingkat signifikasi sebesar 95%.
Artinya ada korelasi yang signifikan antara
penduduk yang tinggal lama di kawasan tersebut
dengan memanfaatkan kemudahan untuk berobat,
dan kemudahan untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan pakaian. Dua aspek tersebut menjadi
hal yang penting bagi penduduk perkotaan, sebagai
penunjang dasar dalam kehidupan mereka. Mereka
dapat merasakan kemudahan akses terhadap
tempat berobat dan pasar.
Pada kawasan inner city residents juga tersedia
tempat tinggal yang memberikan pilihan-pilihan
tempat tinggal sewa atau kontrak secara bulanan
atau tahunan, atau kemungkinan dapat dibeli dan
berpindah tangan status kepemilikannya sebagai
rumah yang dapat dimilikinya. Pilihan dan status
tempat tinggal ditunjukkan dalam nilai korelasi
0.18 dengan tingkat signifikansi sebesar 95%.
Demikian juga keterjangkaun memilki korelasi
mencapai sekitar 0.3 dengan tingkat signifikansi
95%.
Tempat tinggal pada kawasan inner city resident
di lokasi penelitian ini tidak terbangun melalui
proses pembangunan perumahan formal. Kawasan
tersebut dibangun melalui proses pembangunan
yang dilakukan secara bertahap, karena terdesak

167

oleh kebutuhan masing-masing rumah tangga


dalam memenuhi tempat huniannya, serta
keterbatasan sumber daya, sehingga perumahan di
lokasi penelitian yang terbangun cenderung
variatif dalam ukuran ataupun dalam hal status
hunian / kepemilikan.
Bagi penduduk yang telah lama tinggal di kawasan
tersebut, mereka umumnya tinggal sebagai pemilik
tempat tinggal, tetapi bagi yang belum lama tinggal
di kawasan tersebut, mereka umumnya tinggal
dengan status penyewa atau kontrak. Data yang
tercatat menunjukkan bahwa 65% penduduk
tinggal di kawasan inner city residents dengan
status sebagai penyewa. Dengan dimilikinya status
tempat tinggal, walaupun sebagai penyewa adalah
hal yang mendasar dalam menjalani kehidupan di
perkotaan, karena dengan status tempat tinggal
yang jelas, dapat menjadi jaminan kepastian bahwa
mereka dapat merasa aman atau tidak aman di
inner city residents sesuai dengan status tempat
tinggal yang dimiliki.
Kondisi ini tidak akan mudah dijumpai pada
kawasan perumahan yang dibangun secara formal.
Tempat tinggal yang terbangun secara formal
merupakan bangunan tempat tinggal yang
homogen, baik dalam struktur ruangnya maupun
ukurannya, serta harga unit hunian yang mengikuti
harga pasar. Kawasan perumahan formal,
umumnya tidak memberikan pilihan yang lebih
variatif seperti halnya di kawasan inner city
resident.
Pada kawasan inner city resident, dengan
bertambahnya waktu, bukan hanya usia bangunan
yang bertambah, tetapi juga para penghuni
kawasan bertambah, sehingga pada sebagian
rumah-rumah mulai terjadi kepadatan penduduk
dan bangunan. Halaman rumah sudah semakin
mengecil, dan tidak terdapat lagi lahan kosong
yang tersisa, karena terjadi penambahan penduduk
dan bangunan.
Kondisi fisik kawasan inner city residents ini
seringkali kurang memenuhi standar untuk tempat
tinggal yang sehat. Akan tetapi, di tengah berbagai
kesulitan penduduk dalam mengelola hidupnya,
tampaknya kawasan inner city residents yang
sudah lama didiaminya adalah pilihan yang
memberikan kesempatan untuk memperoleh akses
terhadap peluang memperoleh pekerjaan.
Pada kawasan inner city residents ditemukan
peluang kerja untuk mendapatkan penghasilan di
pusat kegiatan ekonomi kota lebih besar
dibandingkan di tempat lainnya, karena
kesempatan mencari penghasilan yang sifatnya
informal lebih luas di kawasan tersebut, contohnya

Peran Kawasan Inner City Residents (Heni Suhaeni)

bekerja sebagai tukang parkir, buruh atau kuli


angkut, pengamen, atau pedagang.
Bagi semua orang, bekerja merupakan kebutuhan
dasar untuk membiayai kehidupannya, penduduk
yang sudah lama tinggal di kawasan tersebut,
melihat kawasan pusat kota tersebut adalah
tempat yang memberikan peluang besar untuk
bekerja di sektor informal. Kenyataan ini didukung
oleh
bukti
bahwa
rata-rata
pekerjaan
penduduknya bekerja di sektor informal. Data hasil
survey menunjukkan bahwa 32% penduduk
bekerja sebagai buruh lepas/kuli, 13% sebagai
buruh
industri,
30%
sebagai
pedagang,
selebihnnya bekerja tidak tetap.
Dengan kata lain, penduduk umumnya bekerja di
sektor informal dengan jenis pekerjaan yang
dominan sebagai buruh atau kuli dan pedagang.
Dengan pekerjaan yang hanya mengandalkan
tenaga fisik, pada umumnya kemampuan keuangan
pun terbatas, tetapi dengan bertempat tinggal di
kawasan inner city residents yang strategis,
ternyata berkah dari lokasi kawasan inner city
residents ini adalah beban biaya hidup sedikit
berkurang, karena kemudahan akses transportasi
terhadap tempat bekerja ataupun fasilitas umum
lainnya. Dari hasil analisis statistik menunjukan
bahwa lama tinggal penduduk di kawasan inner
city residents, memberikan pengalaman terhadap
penduduk itu sendiri untuk merasakan kemudahan
dan keuntungan bertempat tinggal di kawasan
tersebut.
Hanya satu variabel berdasarkan hasil analisis
statistik bahwa ternyata fasilitas pendidikan yang
tersedia tidak menunjukkan korelasi yang
signifikan terhadap penduduk yang sudah lama
tinggal di kawasan tersebut. Hal ini diduga karena
fasilitas pendidikan bukan menjadi prioritas yang
dibutuhkan oleh penduduk setempat dibandingkan
dengan fasilitas umum, status hunian, dan
keterjangkauan atas biaya tempat tinggal atau unit
hunian yang dibutuhkan di kawasan inner city
residents tersebut.

KESIMPULAN
Kawasan inner city residents kota Bandung
memiliki peran penting bagi kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah, karena pada kawasan
tersebut memiliki kemudahan akses terhadap
fasilitas umum yang tersedia, pilihan dan status
tempat tinggal serta keterjangkauan dengan
tingkat signifikansi 95%. Kawasan tersebut sangat
akomodatif dalam memberikan pilihan tempat
tinggal, serta memberikan kemudahan akses
terhadap kesempatan kerja yang sesuai dengan
karakteristik masyarakat yang berkerja di sektor
informal.

Kawasan inner city residents ini masih


dipertahankan untuk dijadikan tempat tinggal dan
tempat bekerja walaupun kondisi fisik tempat
tinggal yang tersedia padat huni dan kumuh,
karena hanya dengan kondisi tersebut mereka
dapat bertahan hidup di perkotaan. Dari sisi
penduduk sendiri, kawasan tersebut mempunyai
nilai tinggi, karena dapat memberikan peluang dan
kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan
penghasilan sesuai dengan kemampuan dan
keterampilan yang terbatas. Kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah, kehidupnya bergantung
sepenuhnya pada aktivitas ekonomi dan sosial dari
kehidupan di sekitar kawasan inner city tersebut,
oleh sebab itu kawasan inner city residents ini
tetap menjadi pilihan tempat tinggal walaupun
dalam kondisi padat huni dan kumuh.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dra.
Yulinda Rosa MSi., sebagai ketua tim kegiatan
penelitian dan pengumpulan data primer atas
diizinkannya menggunakan data penelitian
tersebut dan penulis adalah anggota dari tim. Data
primer dari kegiatan penelitian tersebut
merupakan data yang dikompilasi dari kegiatan
penelitian Menghitung Kebutuhan Rumah di
Perkotaan. Data tersebut telah didokumentasikan
oleh Pusat Litbang Permukiman Bandung yang
didanai oleh dana APBN tahun 2010 dan 2011.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
______(2010), Bandung Dalam Angka 2010, Badan
Pusat Statistik (BPS), kota Bandung.
______(2008), Housing the Poor in Asian Cities, UNHabitat dan UN- Escap, Thailand dan Kenya.
______(2004), Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Bandung (buku Rencana Tahun 2013),
Pemerintah Kota Bandung.
_______(2010),
Data
Penelitian
Menghitung
Kebutuhan Perumahan Perkotaan, Pusat
Litbang
Permukiman, Bandung
(tidak
diterbitkan).
Fang, Y., (2006), Residential Satisfaction, Moving
Intention and Moving Behaviour: A Study of
Redeveloped Neighbourhoods in Inner City
Beijing, Jurnal Housing Studies, vol 21, no 5,
671-694, Rouledge, Taylor and Francis.
Jelili, M.. Adedibu, A.A. and Ayinla, A.K. (2006),
Planning of Implications of Housing
Redevelopment in High Density Areas in
Ogbomso, Negeria; A Pilot Project, Journal
Hum. Ecol, 20(3) 195-1999 (2006).
Laquian, A.A., (2005), Beyong Metropolis, Johns
Hopkins University Press, Baltimore.

168

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 162-169

Porter, M., E., (1995), The Competitive Advantage


of The Inner City, Harvard Business Review,
Reprint number, p55-71, Mei-Juni 1995.

169

Snmez, I.,., (2007), Concentrated Urban Poverty:


the Case of Izmir Inner Area, Turkey,
European Planning Studies, vol 15 No. 3,
p319-338.

Pemanfaatan Abu Terbang (Dany Cahyadi, Triastuti, Anita Firmanti, Bambang Subiyanto)

PEMANFAATAN ABU TERBANG DAN SEBUK GERGAJI


UNTUK PEMBUATAN MORTAR RINGAN GEOPOLIMER
The Utilization of Fly Ash and Sawdust for the Manufacture
of Lightweight Geopolymer Mortar
1 Dany

Cahyadi, 2 Triastuti, 3 Anita Firmanti, 4 Bambang Subiyanto

1,3 Pusat

Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum


Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393
E-mail : danicahyadi@puskim.pu.go.id
E-mail : anitafirman150660@gmail.com
2 UPT Biomaterial-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jl. Raya Bogor Km.46, Cibinong-Bogor
E-mail : threeas23@gmail.com
4 Pusat Inovasi- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta Pusat
E-mail : subyanto@cbn.net.id
Diterima : 05 Desember 2011; Disetujui : 29 Mei 2012

Abstrak
Pemanasan global telah menjadi permasalahan hampir di semua negara saat ini. Salah satu penyebabnya
adalah emisi karbondioksida yang dihasilkan dari pembuatan semen. Pengurangan emisi karbondioksida
dapat dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan semen dalam pembuatan beton dan memanfaatkan
material tambahan yang mempunyai sifat seperti semen sebagai bahan penggantinya. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan abu terbang dan serbuk gergaji terhadap
sifat fisik dan mekanik mortar ringan geopolimer. Dalam penelitian ini, bahan-bahan yang digunakan
meliputi abu terbang, serbuk gergaji akasia mangium, pasir, agregat ringan, larutan Natrium hidroksida
(NaOH) dan larutan Natrium Silikat. Perbandingan semen - pasir dan abu terbang - pasir yaitu 1 : 2
(berdasarkan berat) dengan rasio air-semen sebesar 0,25; 0,3 dan 0, 35, dengan variasi kadar serbuk gergaji
yang dipakai adalah 10%; 20%, 30% dan 40%. Komposisi antara larutan Natrium hidroksida dan larutan
Natrium Silikat adalah 1 : 2 (berdasarkan volume). Pengujian dilakukan setelah benda uji berumur 7 hari
dan 28 hari untuk mortar geopolimer dan mortar kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggantian semen Portland dengan abu terbang serta penambahan larutan Natrium hidroksida dan
larutan Natrium Silikat ke dalam campuran dapat meningkatkan kuat tekannya sampai 19,7 Mpa
dibandingkan dengan kuat tekan mortar kontrol sebesar 15,3 MPa. Sedangkan penambahan kadar serbuk
gergaji ternyata menurunkan kuat tekan menjadi 8,1 MPa.
Kata Kunci : Kuat tekan, mortar ringan, geopolimer, abu terbang, serbuk gergaji

Abstract
Today global warming has become a problem in almost every country. One possible cause is carbon dioxide
emissions from the cement manufacture. Reduction of carbon dioxide emissions can be done by reducing
utilization of cement in concrete production and use additional material that has cementicious materials as
replacement material for cement. The purpose of this study was to determine the effect of addition of fly ash
and sawdust on the physical and mechanical properties of lightweight mortar geopolymer. The materials
used in this study such as fly ash, acacia mangium sawdust, sand, lightweight aggregate, a solution of sodium
hydroxide (NaOH) and Sodium Silicate. Portland cement-sand ratio and fly ash-sand ratio is 1 : 2 (by weight)
with water-cement ratio of 0,25; 0,3 and 0, 35, with variations in levels of sawdust used was 10%, 20%, 30%
and 40%. The composition of the solution of Sodium hydroxide and Sodium Silicate solution is 1 : 2 (by
volume). Tests conducted after the specimen was 7 days and 28 days for geopolymer mortar and mortar
control. The results showed that the replacement of Portland cement with fly ash and the addition of sodium
hydroxide solution and a solution of Sodium Silicate to the mix can increase compressive strength up to 19.7
MPa than mortar control which is 15.3 MPa. While the addition of sawdust content was lowered compressive
strength to 8.1 MPa.
Keywords : Compressive strength, lightweight mortar, geopolymer, fly ash, sawdust

170

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 170-175

PENDAHULUAN

METODOLOGI

Pemanasan global sebagai isu terhangat saat ini


merupakan dampak yang diakibatkan oleh efek
rumah kaca. Hal ini disebabnya oleh industri
pembuatan semen dan pembangunan gedunggedung bertingkat. Salah satu cara untuk
mengurangi emisi karbondioksida adalah dengan
dengan cara mengurangi penggunaan semen
Portland dalam pembuatan beton. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara memanfaatkan material
tambahan yang mempunyai sifat yang menyerupai
semen, contohnya abu terbang (fly ash), silica fume,
terak tanur tinggi, abu sekam padi, metakaolin dan
bahan alternatif lainnya (Wallah dan Rangan,
2006).

Dalam pembuatan benda uji, komposisi campuran


pada penelitian ini ada 2 macam yaitu 1 semen
Portland : 2 pasir dan 1 abu terbang : 2 pasir
berdasarkan perbandingan berat dengan variasi
kadar serbuk gergaji dari 0%, 10%, 20%, 30% dan
40% sebagai pengganti pasir. Pasir yang digunakan
dalam keadaan kering tanur. Serbuk gergaji
dikondisikan dengan kadar air 60% dengan cara
menyemprotkan air dan disimpan pada kantong
plastik yang kedap sehari sebelum dicampurkan.
Rasio air-semen (perbandingan antara air dan
semen) untuk mortar geopolimer yaitu 0,25; 0,3
dan 0,35. Molaritas larutan Natrium hidroksida
(NaOH) yang digunakan adalah sebesar 8 M.
Perbandingan antara larutan Natrium hidroksida
dan larutan Natrium Silikat adalah 1 : 2
berdasarkan volume. Penambahan serbuk gergaji
dilakukan setelah diketahui perbandingan rasio
air-semen pada mortar geopolimer yang
menghasilkan kuat tekan terbesar.

Serbuk gergaji merupakan partikel halus yang


dihasilkan dari penggergajian kayu dalam industri
perkayuan. Sehingga, kita dapat dengan mudah
menemukan limbah ini disekitar kita. Selama ini
serbuk gergaji hanya digunakan sebagai bahan
bakar untuk memasak, sisanya dibuang di tempat
pembuangan sampah. Sehingga pemanfaatan
limbah ini belum optimal.
Di Indonesia, abu terbang merupakan limbah
buangan yang sudah tidak digunakan lagi dan
pemanfaatan limbah abu terbang di Indonesia
belum optimal sehingga dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena
itu perlu dicarikan alternatif pemanfaatannya yang
dapat mengurangi dampak negatif terhadap
lingkungan dan menghasilkan bahan kosntruksi
yang murah, awet, hemat energi dan tidak
menghasilkan karbondioksida atau bahan-bahan
berbahaya lainnya.
Penelitian geopolimer telah banyak dilakukan
diantaranya Hardjito et al 2005; Wallah et al 2006;
Sumajouw et al 2006; Rangan 2008. Penelitian ini
menghasilkan kuat tekan beton geopolimer yang
mempunyai kuat tekan antara 40 MPa sampai 90
MPa yang besarnya sama dengan kuat tekan beton
yang menggunakan semen Portland sebagai bahan
pengikatnya. Selain itu beton geopolimer
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
dengan beton normal, diantaranya beton
geopolimer lebih ekonomis dibandingkan dengan
beton normal yang menggunakan semen Portland,
lebih tahan terhadap serangan kimia dan juga
beton geopolimer menghasilkan susut kering yang
lebih kecil daripada beton dari semen Portland
(Hardjito dan Rangan, 2005).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
sifat fisik dan mekanik mortar ringan geopolimer,
mencari komposisi optimum mortar ringan
geopolimer.

171

Pasir dan abu terbang dicampur dalam mixer


selama 3 menit. Kemudian ditambahkan campuran
larutan Natrium hidroksida dan Natrium Silikat,
dan diaduk lagi selama 1 menit. Setelah itu mortar
segar dicetak ke dalam cetakan berbentuk kubus
ukuran 5x5x5 cm dalam 3 lapisan, setiap lapisan
dipadatkan. Cetakan dilepas 1 hari setelah
pencetakan. Kemudian benda uji disimpan dalam
suhu ruang sampai hari pengujian. Sebelum
pengujian dilakukan, mortar terlebih dahulu
ditimbang dan diukur diameter dan tingginya.
Pengujian kuat tekan benda uji dilakukan dengan
Universal Testing Machine dengan kapasitas
maksimum pembebanan 10 tf. Metode pengujian
kuat tekan sesuai dengan SNI 03-1974-1990.
Pelaksanaan pengujian dilakukan pada umur
benda uji 7 hari dan 28 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kuat tekan mortar geopolimer umur 7 hari dengan
rasio air-semen 0,3 ditunjukkan pada Gambar 1
yang menghasilkan kuat tekan lebih besar
dibandingkan dengan komposisi lainnya. Dari
gambar tersebut dapat diketahui bahwa
penambahan larutan Natrium hidroksida dan
larutan Natrium Silikat dapat meningkatkan kuat
tekan pada umur 7 hari. Pengaruh rasio air-semen
terhadap sifat kuat tekan mortar geopolimer
menunjukkan kenaikkan dengan bertambahnya
rasio pada rasio 0,3 kemudian terjadi sedikit
penurunan pada nilai rasio 0,35. Dari rasio
perbandingan air dan semen 0,3 menunjukkan nilai
sifat kuat tekan mortar geopolimer yang paling
tinggi dibandingkan dengan kontrol maupun
dengan variasi yang lain dengan nilai 22,9 MPa.

Pemanfaatan Abu Terbang (Dany Cahyadi, Triastuti, Anita Firmanti, Bambang Subiyanto)

Namun kuat tekan mortar geopolimer dengan rasio


air-semen 0,25 menghasilkan kuat tekan yang lebih
kecil dibandingkan dengan kuat tekan mortar
kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
penambahan abu terbang pada mortar rasio
membutuhkan air yang cukup untuk terjadinya
proses pengerasan semen, tetapi kelebihan air juga
dapat menurunkan kekuatan mortar geopolimer.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa rasio airsemen yang optimum adalah 0,3 dimana hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Hardjito (2004).

Selanjutnya Hardjito dan Rangan (2005)


menyatakan bahwa kuat tekan mortar geopolimer
berkurang karena meningkatnya rasio berat air
dan geopolimer padat. Trend ini sama dengan
pengaruh rasio antara air dengan semen pada kuat
tekan mortar yang menggunakan semen Portland.
Hal ini sama dengan pendapat dari Khon Kaen
(2006) yang mengatakan bahwa kuat tekan beton
atau mortar geopolimer akan menurun karena
adanya penambahan air dalam campuran beton
atau mortar.

Kuat Tekan (MPa)

25
20
15
10
5
0
Kontrol

0.25

0.3

0.35

Rasio air dan semen


Keterangan : Kontrol = Mortar yang Dibuat Tanpa Menggunakan Abu Terbang (Semen Portland)

Berat Jenis (Kg/m3)

Gambar 1 Kuat Tekan Mortar Umur 7 Hari pada Beberapa Rasio Air dan Semen

2500
2000
1500
1000
500
0
Kontrol

0.25

0.3

0.35

Rasio air-semen
Gambar 2 Berat Jenis Mortar

Disamping itu penambahan larutan Natrium


hidroksida dan larutan Natrium Silikat juga
mempunyai peran dalam proses pengerasan semen
dan abu terbang. Hal ini dipertegas hasil penelitian
Palomo et all (1999) yang menyatakan bahwa
larutan alkali berperan penting dalam proses
polimerasi yang kemudian menghasilkan kuat
tekan yang lebih besar dari mortar kontrol. Hal ini
dikarenakan
pada
larutan
alkali
yang
menggunakan larutan Natrium Silikat, reaksireaksi kimia yang terjadi akan meningkatkan kuat
tekan. Kemudian diperkuat hasil penelitian Xu dan

van Deventer (2000) mengatakan bahwa


penambahan larutan Natrium Silikat pada larutan
Natrium hidroksida sebagai larutan alkali dapat
meningkatkan reaksi antara sumber bahan
geopolimer dan larutan sehingga menghasilkan
kuat tekan yang lebih tinggi daripada mortar tanpa
penambahan larutan alkali.
Gambar 2 menunjukkan bahwa perbedaan rasio
air-semen kurang signifikan mempengaruhi berat
jenis benda uji yang dihasilkan. Keempat komposisi
benda uji mempunyai berat jenis yang hampir
sama. Namun berat jenis mortar dengan rasio air172

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 170-175

semen 0,3 dan 0,35 lebih besar dari 1.860 kg/m3,


sehingga benda uji yang dihasilkan tidak
memenuhi kriteria sebagai beton ringan. Selain itu
berat jenis kedua komposisi tersebut lebih besar
dari berat jenis mortar kontrol.
Berat jenis terbesar dihasilkan oleh mortar
geopolimer dengan rasio air-semen 0,35 yaitu
sebesar 2.129,3 kg/m3. Berat jenis terkecil
dihasilkan oleh mortar geopolimer dengan faktor
air semen 0,25 yaitu sebesar 1.810 kg/m 3.
Sedangkan berat jenis mortar kontrol sebesar
2.010 kg/m3.
Gambar 3 menunjukkan sifat kuat tekan dari
geopolimer umur 7 hari dan 28 hari. Dari Gambar
tersebut dapat diketahui bahwa sifat kuat tekan
dari geopolimer menurun dengan bertambahnya
serbuk gergaji ke dalam campuran mortar. Hal
tersebut diakibatkan karena serbuk gergaji hanya
bersifat sebagai filler, sehingga tidak dapat
meningkatkan kuat tekan. Sifat kuat tekan dari
geopolimer terjadi kenaikkan yang signifikan pada
mortar geopolimer yang tidak ditambah serbuk
gergaji, sedangkan yang ditambah serbuk gergaji
peningkatannya
tidak
signifikan
dengan

bertambahnya umur mortar dari 7 hari ke 28 hari.


Penurunan sifat kuat tekan ini mungkin
disebabkan terjadinya penurunan berat jenis
mortar yang mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap sifat kuat tekan karena serbuk kayu lebih
ringan dibandingkan dengan agregat lainnya.
Disamping itu kemungkinan penyebab lainnya
adalah kandungan zat esktraktif pada serbuk
gergaji yang cukup tinggi sehingga mempengaruhi
proses pengerasan semen. Menurut Subiyanto dan
Firmanti (1998) bahwa kandungan zat ekstraktif
pada kayu dapat menghambat pengerasan semen,
terutama jenis kayu daun lebar mempunyai
kandungan zat ekstraktif lebih tinggi dibandingan
dengan kayu daun jarum yang umumnya
digunakan sebagai bahan baku papan partikel
perekat semen. Kuat tekan terbesar diperoleh pada
mortar geopolimer dengan kadar serbuk kayu
sebesar 10% pengganti semen yaitu 8,1 Mpa pada
umur 7 hari dan 9,6 MPa pada umur 28 hari.
Sedangkan kuat tekan terkecil diperoleh pada
mortar geopolimer dengan kadar serbuk gergaji
sebesar 40% yaitu 0,96 MPa pada umur 7 hari dan
0,99 MPa pada umur 28 hari.

Kuat tekan (MPa)

35
30
25
20
15
10
5
0
Kontrol

10

20

30

40

Prosentase serbuk gergaji (%)


Kuat tekan umur 7 hari

Kuat tekan umur 28 hari

Gambar 3 Kuat Tekan Mortar 7 dan 28 Hari dengan Serbuk Gergaji

Berat jenis mortar geopolimer menurun secara


signifikan dengan bertambahnya serbuk gergaji
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Penyebab
terjadinya penurunan ini adalah berat dari serbuk
gergaji ini lebih ringan dibandingkan dengan
komponen lain dari bahan mortar geopolimer ini.
Dengan terjadinya penurunan berat jenis ini yang
menyebabkan sifat kuat tekan dari geopolimer
yang dicampur dengan serbuk gergaji. Berat jenis
terkecil diperoleh dari mortar geopolimer dengan

173

kadar serbuk gergaji sebesar 40% yaitu 980 kg/m 3.


Berat jenis terbesar diperoleh dari mortar
geopolimer dengan kadar serbuk gergaji sebesar
10% yaitu 1.830 kg/m3. Dari keempat jenis mortar
ini ternyata berat jenisnya kurang dari 1.860
kg/m3 sehingga dapat memenuhi syarat sebagai
mortar ringan. Selain itu berat jenis dari semua
komposisi mortar geopolimer ini juga lebih kecil
dari mortar kontrol yaitu sebesar 2.010 kg/m 3.

Pemanfaatan Abu Terbang (Dany Cahyadi, Triastuti, Anita Firmanti, Bambang Subiyanto)

Berat Jenis (kg/m3)

2500
2000
1500
1000
500

0
Normal

10

20

30

40

Persentase serbuk kayu (%)

Strength to weight ratio (N.m/kg)

Gambar 4 Berat Jenis Mortar dengan Serbuk Gergaji

18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
Normal

10

20

30

40

Kadar penambahan serbuk kayu (%)


Gambar 5 Rasio Berat-Kuat Tekan dari Mortar dengan Variasi Penambahan Serbuk Gergaji Umur 28 Hari

Gambar 5 menunjukkan rasio berat-kuat tekan


atau specific strength (N.m/kg) dimana kuat tekan
(N/m2) dibagi oleh kerapatan (kg/m3) dari mortar.
Dari Gambar 6 terlihat bahwa specific strength dari
mortar geopolimer yaitu 16.013 N.m/kg lebih
tinggi dari mortar normal sebesar 10.123 N.m/Kg.

penambahan agregat ringan (alwa, batu apung, dan


lain-lain). Sebagai pengganti serbuk kayu yang
hanya bersifat sebagai filler dapat digunakan serat
atau partikel kayu dengan adanya perlakuan
pendahuluan sehingga dapat meningkatkan kuat
tekan mortar atau beton.

KESIMPULAN

UCAPAN TERIMA KASIH

Dapat disimpulkan bahwa kuat tekan mortar


geopolimer pada umur 7 hari dan 28 hari lebih
tinggi dari pada mortar kontrol yang terdiri dari
campuran semen, pasir dan air. Penambahan
serbuk gergaji ke dalam campuran mortar
geopolimer menyebabkan penurunan kuat
tekannya. Berat jenis mortar geopolimer dengan
penambahan serbuk gergaji memiliki berat jenis
kurang dari 1.860 kg/m3 sehingga dapat
dikategorikan kedalam mortar ringan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat


Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian
Pekerjaan Umum dari DIPA T.A. 2010 pada
kegiatan inovasi bidang perumahan permukiman,
pembimbing kegiatan dan rekan-rekan tim
kegiatan inovasi pemanfaatan abu terbang dan
serbuk gergaji untuk pembuatan mortar ringan
geopolimer.

Dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan pada


pembuatan beton ringan geopolimer dengan

Hardjito, D. dan Rangan, B.V. 2005. Development


and Properties of Low-Calcium Fly Ash-Based

DAFTAR PUSTAKA

174

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 170-175

Geopolymer Concrete. Research Report GCI.


Faculty of Engineering, Curtin University of
Technology, Perth.
Rangan, B. V. 2008. Fly Ash-Based Geopolimer
Concrete. Research Report GC 4. Engineering
Faculty Curtin University of Technology,
Perth. Australia.
Subiyanto, Bambang dan Firmanti, Anita. 1998.
Production Technology of Cement Bonded
Particle Board from Tropical Fast Growing
Species I, The Effect of Cement Content after
Pre-treatment of Particles on Cement Bonded
Particleboard Properties. Proceedings The

175

Fourth Pacific Rim Bio-Based Composites


Symposium, Bogor, 2-5 November 1998.
Sumajouw, M.D.J. dan Rangan, B.V. 2006. LowCalcium Fly Ash-Based Geopolymer Concrete :
Reinforced Beams and Columns. Research
Report GC3. Faculty of Engineering. Curtin
University of Technology, Perth.
Wallah S.E. dan Rangan, B.V. 2006. Low Calcium Fly
Ash-Based Geopolymer Concrete : Long-Term
Properties. Research Report GC 2. Engineering
Faculty Curtin University of Technology,
Perth. Australia.

Kajian Subreservoir Air (Sarbidi)

KAJIAN SUBRESERVOIR AIR HUJAN PADA RUANG TERBUKA HIJAU


DALAM MEREDUKSI GENANGAN AIR (BANJIR)
Research on Rain Water Subreservoir is in the Green Opened Space
to Reduce the Flooded Water
Sarbidi
Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kabupaten Bandung 40393
E-mail : tophisblind@yahoo.com
Diterima : 04 Juli 2012 Disetujui : 17 Oktober 2012

ABSTRAK
Perubahan fungsi lahan perkotaan sangat besar menyebabkan tanah kedap air semakin meluas, air
limpasan lebih besar, debit banjir lebih tinggi dan bencana banjir yang besar di wilyah hilir. Undang-Undang
nomor 26 tahun 2007 tetang Penataan Ruang menetapkan kota wajib menyediakan ruang terbuka hijau
(RTH) 30% dari luas wilayah. Tahun 2011 telah diteliti kriteria teknis desain subreservoir pada RTH untuk
penampungan, peresapan dan pemanfaatan air hujan. Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui kapasitas
subreservoir pada RTH dalam mereduksi genangan air (banjir). Penelitian menggunakan metoda Gumbel,
rumus Talbot, Ishiguro, Sherman dan Mononobe, rumus rasional, analisis luas kota dan RTH serta analisis
reduksi debit banjir. Data dikumpulkan di Kota Bandung, Bogor dan Jakarta. Hasil penelitian: (1) semakin
luas RTH menerapkan subreservoir air hujan, semakin besar genangan air (banjir) dapat direduksi di
permukiman kota. (2) Seluruh RTH (30% wilayah kota) dapat digunakan untuk pencegahan banjir preventif
dan mereduksi genangan hingga 48%. (3) Semakin kecil RTH kota semakin besar kecenderungan terjadi
genangan air hujan di perkotaan, (4) RTH 16% diprediksi peluang terjadi genangan banjir mencapai 74%
dan RTH eksisting sekitar 9% peluang terjadi genangan banjir mencapai 86%. (5) Subreservoir pada RTH
berpotensi menahan air limpasan mencapai 100% dan mengalirkan kelebihan air ke drainase kota hingga
nol persen atau zero runoff.
Kata Kunci : Ruang terbuka hijau, intensitas hujan, subreservoir, reduksi genangan air, zero runoff

ABSTRACT
Changes function of land in urban areas is very high having caused the land surface become watertight,
water runoff is bigger, flood rate is higher and flood disaster is higher in downstream. The Republic of
Indonesia Law No. 26 year 2007: Spatial Planning determines that every city must provide the green open
space (GOS) is 30%. In 2011 had researched the technical design criteria of the sub reservoir in the GOS is to
be rainwater reservoir, infiltration and rainwater harvesting. The aims of research are to know the capacity
of sub reservoir is in the GOS make the flood reduction. Research method used the Gumbel distribution
method, Talbot, Ishiguro, Sherman and Mononobe and rational formula, urban and GOS area analysis and
the flood rate reduction analysis. Data collected in Bandung, Bogor and Jakarta cities. Research result (1)
more and more GOS area used the rainwater sub reservoir will be more and more the flood disaster can be
reduced in the human settlements. (2) All of the GOS (30% of urban area) can be used to prohibit preventive
flood and reducing flooded area up to 48% (3) smaller citys GOS, bigger inclination happens in hold flooded
area in city (4) GOS 16% predicted to be flooded up to 74% and GOS exist approximately 9% opportunity to
be flooded up to 86% (5) Subreservoir in GOS potented to hold overflow water up to 100% and flowing
excessive water to citys drainage up to zero percent or zero runoff.
Keywords : Green opened space, rain intensity, subreservoir, reduce flooded water, zero runoff

PENDAHULUAN
Air adalah anugerah Tuhan. Jumlahnya sangat
banyak, jauh melebihi semua keperluan1. Pada
musim hujan banyak terjadi banjir, longsor, erosi.
Sebaliknya, pada musim kemarau menderita
kekurangan air. Seringkali kualitasnya buruk,
salinitas tinggi, asam, bau, mengandung lumpur,
polutan, kuman dan lain-lain2.

Tanah mempunyai kemampuan tertentu untuk


menyerap dan menyimpan air hujan. Seringkali
jumlah air hujan dalam waktu tertentu melebihi
kemampuan tanah menyerap, menyimpan dan
menampung air. Bila jumlah air yang datang besar
sedangkan kemampuan tanah menyerap air
rendah dan tidak tersedia alur agar air tersebut
dapat bergerak ke tempat lain, maka air yang tidak
terserap akan menggenangi permukaan tanah.
176

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 176-184

Apabila air yang tergenang tersebut mengalir ke


tempat lain disebut aliran permukaan (runoff).
Aliran permukaan secara alami akan berkumpul
dan menggenang di tempat yang lebih rendah
seperti danau, rawa atau masuk ke sungai dan
terus mengalir ke laut. Bila jumlah air yang masuk
ke sungai lebih besar dari pada air yang keluar ke
laut, maka air akan meluap dan menggenangi lahan
di sekitar sungai, danau dan rawa. Genangan air
yang cukup besar disebut banjir. Sebagian besar air
hujan
menjadi
aliran
permukaan
akan
menyebabkan banjir di hilir3. Peningkatan volume
aliran permukaan akan semakin besar bersamaan
dengan terjadinya alih fungsi lahan, dari sawah,
hutan, perkebunan yang porous berubah menjadi
lahan berpenutup permanen seperti lahan
perumahan, pabrik, jalan dan lain-lain menjadi
kedap air.
Alih fungsi lahan sangat besar terjadi di wilayah
kota akibat dari pertmubuhan penduduk dan
urbanisasi yang besar. Urbanisasi meningkatkan
lapisan permukaan tanah yang kedap air akibat
pembangunan pemukiman baru. Urbanisasi juga
menyebabkan terjadinya penyempitan penampang
alur sungai. Akibat yang dapat ditimbulkan karena
pembentukan lapisan kedap yaitu: (1) Sistem
penyimpanan air tanah sangat rendah sehingga
cadangan air di musim kemarau akan merosot. (2)
Kemampuan penyerapan air dan laju infiltrasi
tanah berkurang, kapasitas air limpasan lebih
besar dan lebih cepat menuju ke bagian hilir
sungai, serta debit puncak tinggi mengakibatkan
risiko banjir yang besar di hilir.
Kecenderuangan meningkatnya risiko banjir yang
disebabkan oleh alih fungsi lahan bervegetasi
(cultivated land) menjadi lahan beton/aspal (non
cultivated land) tidak saja dihadapi oleh negaranegara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga
negara-negara maju seperti Jerman, Perancis,
Inggeris, Amerika, dan Jepang4.
Kondisi permukaan tanah menjadi kedap air
(impermeable surface) dapat diprediksi dengan
nilai koefisien limpasan (C) kumulatif kawasan.
Nilai C berkisar antar 0 sampai 1 atau (0 C 1).
Semakin tinggi nilai C semakin rendah kapasitas
permukaan tanah dapat meresapakan air hujan
kedalam tanah atau menunjukan semakin besar
volume air limpasan. Gambaran kondisi
permukaan tanah dengan runoff dan infiltrasi
dapat ditampilkan pada Gambar 1.

177

Gambar 1 Hubungan antara permukaan tanah dengan aliran


permukaan (runoff), infiltrasi dan evapotranspirsai, kasus
Philadelphia, USA5

Banjir dan tanah longsor masih banyak dihadapi di


beberapa wilayah di Indonesia. Banjir terjadi setiap
tahun melanda, baik di daerah perkotaan maupun
lahan pertanian, seperti daerah Bandung Selatan,
Jakarta, Medan, Tuban, Balikpapan, dan lain-lain.
Masalah banjir di Indonesia terjadi, disatu pihak
akibat (1) meningkatnya limpasan langsung
dikarenakan kapasitas badan sungai mengecil, (2)
tempat-tempat parkir (rumah-rumah) air banjir
menghilang (dataran banjir, rawa, situ, kolam
bahkan anak-anak sungai) berubah menjadi
kawasan permukiman, industri dan perdagangan,
(3) berkurangnya kapasitas badan sungai dalam
mengalirkan debit banjir karena telah tejadi
penyempitan alur sungai oleh bangunan, yang
banyak terjadi di perkotaan serta cepatnya laju
sedimentasi sebagai akibat dari tingginya erosi
lahan dan (4) banyaknya sampah yang terbawa
aliran sungai6. Fenomena banjir berpengaruh pada
drainase kota. Setiap musim hujan, drainase tidak
mampu mengendalikan genangan air (banjir).
Penyebabnya antara lain: (1) Curah hujan di
Indonesia relatif tinggi, berkisar antara (1000
4000) mm/tahun. (2) Pemanasan global (global
warming) berdampak pada curah hujan ekstrim.
(3) Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi di
perkotaan mengakibatkan alih fungsi lahan besarbesaran dan koefisien runoff terus menigkat7.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi
risiko banjir di wilayah perkotaan, antara lain
melalui aplikasi sistem penampungan air hujan
dengan Subreservoir Air Hujan pada Ruang
Terbuka Hijau (RTH)8. Pada wilayah kota terdapat
RTH paling sedikit 30% dari luas wilayah dimana
20% adalah RTH publik dan 10% RTH privat9.
Penyediaan dan pemanfaatan RTH adalah untuk
menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi
kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis

Kajian Subreservoir Air (Sarbidi)

dan kawasan pengendalian air larian dengan


menyediakan kolam retensi10. Tersirat bahwa
kawasan RTH dapat dimanfaatkan untuk
konservasi dan penampungan air limpasan dengan
aplikasi subreservoir air hujan atau kolam retensi
untuk pengendalian genangan air (banjir).
Pada satu sisi kejadian bencana banjir, kekeringan,
dan kekurangan air baku semakin sering terjadi di
wilayah perkotaan di Indonesia dewasa ini. Pada
sisi lain, penyediaan lahan untuk menampung air
limpasan yang besar semakin sulit diperoleh.
Padahal di wilayah perkotaan masih ada aset yang
didayagunakan, yaitu curah hujan dan RTH.
Undang-Undang RI No. 6 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang menetapkan bahwa minimal 30%
wilayah kota adalah ruang terbuka hijau (RTH).
Sedangkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 05/PRT/M/2008 tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan
menjelaskan bahwa RTH dapat digunakan untuk
konservasi air dan tampungan air limpasan. Sejauh
mana kemampuan RTH dalam mewujudkan
kebijakan tersebut, tergantung pada (1) besarnya
curah hujan, (2) luas kawasan RTH kota yang
tersedia dan (3) aplikasi teknologi konservasi dan
penampungan air hujan, yang cocok dengan fungsifungsi RTH di perkotaan8.
Pada tahun 2011 dihasilkan teknologi Subreservoir
Air Hujan untuk RTH. Subreservoir adalah model
tampungan, pemanfaatan dan peresapan air hujan
dari atap rumah dan bangunan, yang akan
dibangun di bawah permukaan tanah kawasan
RTH, dan bagian atasnya tetap dapat berfungsi
sebagai RTH perkotaan. Permasalahannya, berapa
besar kemampuan RTH dapat mereduksi genangan
air (banjir) apabila dimanfaatkan untuk
pembangunan subreservoir air hujan?
Tulisan ini membahas potensi subreservoir air
hujan pada RTH kota mereduksi genangan air
(banjir) di permukiman dan menciptakan zero
runoff. Tulisan menggunakan sebagian kecil data
hasil penelitian oleh Sarbidi, et al tahun 20118.
Ruang Terbuka Hijau Perkotaan
Pada hasil KTT Bumi Rio De Jenerio tahun 1992
dan Johannesberg tahun 2002 dijelaskan bahwa
luas ruang terbuka hijau (RTH) optimal adalah
30% dari luas wilayah kota (LWK).
Di Indonesia, RTH sesuai dengan UURI No. 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang ditetapkan
RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari
luas wilayah kota dan proporsi RTH publik paling
sedikit 20% dari luas wilayah kota9.
Permen No: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan

Perkotaan menetapkan, antara lain: penyediaan


dan pemanfaatan RTH adalah untuk menjamin
tersedianya ruang yang cukup bagi, antara lain: (a)
kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis
dan (b) kawasan pengendalian air larian dengan
menyediakan kolam retensi. Dari segi kepemilikan,
RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH
privat, seperti Tabel 110.
Tabel 1 Jenis RTH berdasarkan kepemilikan10
No.
Jenis*)
Publik
1.
RTH Pekarangan
a. Pekarangan rumah tinggal
b.
Halaman
perkantoran,
pertokoan, dan tempat usaha
c. Taman atap bangunan
2.
RTH Taman dan Hutan Kota
a. Taman RT

b. Taman RW

c. Taman kelurahan

d. Taman kecamatan

e. Taman kota

f. Hutan kota

g. Sabuk hijau (green belt)

3.
RTH Jalur Hijau Jalan
a. Pulau jalan dan median jalan

b. Jalur pejalan kaki

c. Ruang di bawah jalan layang

4.
RTH Fungsi Tertentu
a. RTH sempadan rel kereta api

b. Jalur hijau listrik teg tinggi

c. RTH sempadan sungai

d. RTH sempadan pantai

e. RTH pengaman sumber air

baku/ mata air


f. Pemakaman

Sumber : Permen PU No: 05/PRT/M/2008

Privat**)

Catatan:
*) Hampir semua jenis RTH pada Tabel 1 di atas dapat
dimanfaatkan untuk pembangunan Subreservoir Air Hujan,
kecuali area pemakaman sebaiknya jangan digunakan untuk
keperluan tersebut.
**) Taman lingkungan yang merupakan RTH privat adalah taman
lingkungan yang dimiliki orang perseorangan/masyarakat
atau swasta yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas.

Kolam retensi adalah prasarana drainase yan


berfungsi untuk menampung dan meresapkan air
hujan di suatu wilayah12. Kolam retensi merupakan
pilihan yang baik bagi pembangunan perumahan
skala besar, karena ketersediaan lahan yang besar
dan kebutuhan untuk menampung limpasan air.
Kolam
Retensi
dapat
dirancang
untuk
mempertahankan level muka air tanah dan sebagai
ruang sosial, tempat wisata atau tempat berekreasi
dan olahraga bagi penghuni kawasan dan
masyarakat sekitar. Tetapi kolam retensi
mempunyai kelemahan karena sering terjadi
pendangkalan akibat lumpur atau sampah yang
masuk ke dalamnya, harus dilakukan pengerukan
berkala dan membutuhkan lahan yang cukup
besar13. Selain terpapar matahari, lahan bagian
atas kolam tidak bisa dimanfaatkan kecuali untuk
penampungan air hujan dan kualitas air

178

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 176-184

tampungan dapat terkena pencemaran dari sistem


drainase kawasan.

kawasan
dengan
penerapan
angka-angka
kemungkinan terjadinya banjir terbesar.

Koefisien Limpasan
Koefisien pengaliran (C) merupakan perbandingan
antara jumlah air yang mengalir di suatu daerah
akibat turunnya hujan dengan jumlah hujan yang
turun di daerah tersebut (Imam Subarkah, 1980).

Dalam kontek sungai, banjir rencana secara teoritis


hanya berlaku pada satu titik di suatu ruas sungai,
sehingga pada sepanjang ruas sungai akan terdapat
besaran banjir rencana yang berbeda.

Koefisien pengaliran merupakan cerminan dari


karakteristik daerah pengaliran dan dinyatakan
dengan nilai C antara (0 1). Koefisien pengaliran
bergantung pada banyak faktor, yaitu faktor
meteorologis, faktor daerah aliran dan faktor alih
fungsi lahan akibat campur tangan manusia dalam
memanfaatkan ruang permukiman dan/atau ketika
merencanakan tata guna lahan. Nilai C yang
semakin besar atau mendekati angka 1
menunjukkan bahwa kemampuan permukaan
tanah untuk meresapkan air hujan semakin rendah
dan menyebabkan laju air larian semakin besar.
Dalam desain drainase kota, jika tidak ditentukan
harga koefisien pengaliran daerah, maka besarnya
(C) dapat ditentukan dengan pendekatan Tabel 2.
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa untuk atap
rumah dan bangunan nilai C antara( 0,75 0,95).
Jalan aspal dan batu C antara 0,70 0,95. Jalan
beton C antara (0,80 0,95)14.
Tabel 2 Koefisien pengaliran14 berdasarkan jenis
permukaan tata guna tanah
Jenis Permukaan Tanah/
Tata Guna Tanah
A. Rerumputan
Tanah pasir, slope 2%
Tanah pasir, slope 2 7%
Tanah pasir, slope 7 %
Tanah gemuk, slope 2 %
Tanah gemuk, slope 2 7%
Tanah gemuk, slope 7%
B. Perkantoran
Pusat kota
Daerah pinggiran
C. Perumahan
Kepadatan 20 rumah/ha
Kepadatan 20-60 rumah/ha
Kepadatan 60-160 rumah/ha
D. Perindustrian
Industri ringan
Industri berat
E. Pertanian
F. Perkebunan
G. Pertamanan dan kuburan
H. Tempat bermain
I. Jalan
Beraspal
Beton
Batu
J. Daerah yang tidak dikerjakan

Koefisien
(C)
0.05 0.10
0.10 0.15
0.15 0.20
0.13 0.17
0.18 0.22
0.25 0.35
0.75 0.95
0.50 0.70
0.50 0.60
0.60 0.80
0.70 0.90
0.50 0.60
0.60 0.90
0.45 0.55
0.20 0.30
0.10 0.25
0.20 0.35
0.70 0.95
0.80 0.95
0.70 0.85
0.10 0.30

Sumber : Imam Subarkah, 1980

Debit Banjir Rencana


Debit banjir rencana adalah debit banjir yang
digunakan sebagai dasar untuk merencanakan
tingkat pengamanan bahaya banjir pada suatu
179

Untuk memperoleh angka-angka kemungkinan


besaran debit banjir, pada banjir yang diakibatkan
oleh luapan sungai, analisis dilakukan dengan
menggunakan data banjir terbesar tahunan atau
curah hujan terbesar tahunan yang sudah terjadi.
Salah satu metode untuk menghitung debit banjir
rencana adalah Metode Rasional11, 14. Cara ini
digunakan pertama kali oleh Mulvaney tahun 1847
di Irlandia. Rumus Rasional, rumus [6] telah
dikembangkan sangat sederhana dan memasukkan
parameter karateristik daerah tangkapan atau
daerah aliran sungai (DAS) sebagai unsur pokok
dan sifat-sifat hujan atau intensitas hujan sebagai
data masukan.
Jenis dan sifat parameter DAS secara keseluruhan
ditampilkan sebagai koefisien limpasan. Dalam
daerah perkotaan, kehilangan air relatif sedikit dan
disebabkan waktu konsentrasi yang pendek, serta
debit keseimbangan seringkali dicapai. Oleh karena
itu Metode Rasional masih layak digunakan untuk
menaksir banjir dalam wilayah kota sampai
sekarang, dengan batasan-batasan tertentu. Tetapi
untuk penaksiran besar debit banjir dalam daerah
aliran sungai yang luas 500 hektar, Metode
Rasional ini sudah kurang baik untuk digunakan.
Subreservoir Air Hujan
Tekonologi Subreservoir Air Hujan pada RTH
perkotaan, yang dihasilka pada penelitian
Penyusunan Kriteria Teknis Desain Subreservoir
Air Hujan Pada RTH Untuk Drainase Berwawasan
Lingkungan, tahun 2011 (Sarbidi, dkk) adalah
kombinasi antara tampungan, resapan dan
pemanfaatan air hujan dari talang atap rumah atau
bangunan.
Sistem inlet subreservoir dilengkapi dengan
penangkap lumpur atau kotoran dan filter kasar.
Efluen subreservoir dimasukan ke dalam tangki
eksplorasi untuk pemanfaatan air hujan. Efluen
tangki eksplorasi dimasukan ke dalam sumur
resapan air hujan untuk meresapkan kelebihan air
ke dalam tanah. Dengan cara ini maka air hujan
dari atap rumah atau bangunan dapat tertahan
hingga mencapai 100%7,8.
Subreservoir air hujan7,8 dapat dibangun dengan
kapasitas 5 m3 sampai 65 m3. Untuk keperluan
kapasitas yang besar, subreservoir dapat dibangun
dalam beberapa unit secara seri atau paralel di
bawah muka tanah pada lahan RTH kota atau lahan

Subreservoir a
Kajian Subreservoir Air (Sarbidi)

lainnya. Oleh karena itu, alat ini dapat mereduksi


genangan banjir dan konservasi air tanah.
Teknologi subreservoir air hujan merupakan
pembaharuan dari sistem yang sudah ada.
Esometrik7,8 subresevoar air hujan pada RTH
ditampilkan pada Gambar 2.

Subreservoir

Eksplorasi
Sumur Resapan

Gambar 2 Esometrik Subreservoir Air Hujan Pada RTH, tanpa


skala (Modifikasi dari Sarbidi, et al, 2011)

METODOLOGI
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan
data primer. Data sekunder dikumpulkan dari
pustaka dan data primer dari survei dan observasi
pada kawasan perumahan skala besar yang telah
menerapkan kolam penampungan air hujan di
ruang terbuka hijau (RTH). Jenis data sebagai
berikut:
Data curah hujan (I).
Data hujan runtut waktu selama (5 10) tahun.
Dalam penelitian ini digunakan curah hujan
dengan satuan menit, jam atau harian.
Data luas bidang tadah (A).
Data bidang tadah adalah luas total ruang
terbuka hijau (RTH), luas total wilayah kota dan
luas total atap rumah dan bangunan. Permukaan
tanah untuk bidang tadah diasumsikan sebagian
besar telah berubah menjadi kedapa air akibat
alih fungsi lahan.
Data koefisien runoff (C).
Kekedapan permukaan tanah di wilayah kota
bervariasi dan diasumsikan relatif kedap air,
dalam perhitungan digunakan nilai C = 0,5.
Kekedapan atap rumah dan bangunan, jalan raya
beton dan aspal mempunyai koefisien limpasan
(C) antara (0,7 0,95). Perhitungan kapasitas
subreservoir Gambar 2 dipakai nilai C = 0,8.
Metoda Analisis
1. Distribusi frekuensi hujan rencana (XT)
Analisis distribusi frekuensi hujan rencana
menggunakan Metode Distribusi Gumbel11,
yakni sesuai persamaan [1].
X T X S x K ........................................................... [1]

Keteraangan
XT = hujan rencana, periode ulang T tahun

= harga rerata sampel


S
= simpangan baku sampel
K
= faktor frekuensi
2. Intensitas hujan rencana (I)
Untuk data hujan satuan menit atau jam, maka
analisis intensitas hujan menggunakan Rumus
Talbot persamaan [2], Ishiguro persamaan [3]
dan Sherman persamaan [4], yang dipilih dari
hasil perhitungan dengan Standar Deviasi
Terkecil. Sedangkan bila data hujan dalam
satuan hari digunkan rumus Mononobe,
persamaan [5]11.
Rumus Talbot
a ......................................................... [2]
I
t b
Keterangan:
I = intensitas hujan, dalam mm/jam.
t = durasi hujan, dalam menit atau jam.
a dan b = tetapan
Rumus Ishiguro
I

a
........................................................ [3]
t b

Keterangan:
I = intensitas hujan, dalam mm/jam.
t = durasi hujan, dalam menit atau jam.
a dan b = tetapan
Rumus Sherman

a
................................................................. [4]
tn

Keterangan:
I = intensitas hujan, dalam mm/jam.
t = durasi hujan, dalam menit atau jam.
a dan n = tetapan
Rumus Mononobe

X 24 24
24
t

2/3

....................................... [5]

Keterangan:
I
= Intensitas hujan rencana, (mm/jam)
X24 = Curah hujan harian, 24 jam, (mm)
t
= lama hujan, (jam)
3. Analisis bidang tadah (A)
RTH ditetapkan dalam 3 (tiga) katagori , yaitu:
(1) RTH 30% (luas RTH maksimum sesuai
ketentuan UU No.26/2008, (2) RTH 16%

180

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 176-184

(RTH maksimal yang mungkin tersedia) dan


(3) RTH 9% (RTH eksisting pada umumnya).
Asumsi bahwa luas RTH (30% dari luas
wilayah kota) dapat dimanfaatkan seluruhnya
untuk membangun subresevoir air hujan.
4. Analisis debit banjir (Q)
Debit banjir dihitung dengan rumus rasional,
satuan metrik seperti pada rumus [6]11, 14
Q = 0,278 . C . I . A ............................................. [6]
Q
= debit banjir maksimum (m3/det)
C
= koefisien pengaliran
I
= intensitas hujan rerata selama waktu
tiba banjir (mm/jam)
A
= luas daerah pengaliran (m2).
5. Perumusan hasil
Kapsitas reduksi genangan yang dihasilkan oleh
subreservoir air hujan pada RTH dirumuskan
sebagai berikut:
Debit total genangan air hujan (puncak banjir)
yang mungkin terjadi di lokasi (kota): (QKt).
Debit total tampungan dalam subreservoir air
hujan pada RTH atau debit genangan air hujan
yang ditampung/diresapkan/ dimanfaatkan)
pada RTH: {QRTH}.
Debit reduksi (QRed) adalah debit total
tampungan dalam subresevoir pada RTH:
QRe d QRTH , m3/dt atau (%).
Debit limpasan (QLimp) dari subresevoir:
QLimp QKt QRTH , m3/dt atau (%).

Gambar 3 Luas wilayah dan RTH Kota Bandung, Bogor dan


Jakarta. (Modifikasi dari Sarbidi, et al, 2011).

Curah Hujan Maksimum


Indonesia mempunyai curah hujan tinggi, yaitu
antara (1000 4000) mm/tahun15.
Curah hujan maksimum durasi 5 menitan di Kota
Bandung, 1.715 mm/tahun (Stasiun BMKG KLS I,
Jalan Cemara, tahun 2001 2010) ditampilkan
pada grafik Gambar 4.
Curah hujan maksimum durasi 5 menitan di Kota
Bogor 2.079,6 mm/tahun (Stasiun Darmaga,
tahun 19922007) ditampilkan di grafik Gambar 5.
Curah hujan harian maksimum rata-rata dari 4
stasiun di Kota Jakarta, yaitu Stasiun BMKG Halim
Perdanakusuma, Rawa Mangun, Tanjungpriok dan
Cengkareng tahun 1994 2003, yang terendah
931 mm/tahun di Stasiun Cengkareng dan yang
terbesar 1.014 m/tahun di Stasiun Rawa Mangun.
Curah hujan ditampilkan dalam grafik Gambar 6.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Luas Kota dan Luas RTH
Luasa wilayah kota dan luas RTH dalam takaran
30% dari wilayah kota, prediksi 16% dan luas RTH
eksisting kota Bandung, Bogor dan Jakarta
ditampilkan pada Tabel 3 dan secara grafis
ditampilkan pada pada Gambar 3.
Tabel 3 Luas kota dan luas RTH
No

Luas
Kota Wilayah
( Ha)

Lua RTH Kota


Wajib
30% (
Ha)

Prediktif
% (Ha)

Eksisting
% (Ha)

16% (
2.677)
34,08%
2. Bogor
11.850
3.555
(4.038)
15,75%
3. Jakarta
64.895 19.469
(10.221)
Sumber : Modifikasi dari Sarbidi, et al, 2011

8,76%
(1.465)
15,85%
(1.878)
9,78%
(6.347)

1.

181

Bandung

16.730

5.019

Gambar 4 Curah hujan maksimum (mm/jam) Kota Bandung,


Stasiun BMKG KLS 1 di jalan Cemara. (Modifikasi dari Sarbidi, et
al, 2011)

Kajian Subreservoir Air (Sarbidi)

Gambar 5 Curah hujan maksimum (mm/jam) Kota Bogor,


Stasiun BMKG Darmaga. (Modifikasi dari Sarbidi, et al, 2011).

diresapkan dan dimanfaatkan pada RTH {QRTH},


seperti ditampilkan pada Gambar 8.

Gambar 6 Curah hujan maksimum (mm/hari) Kota Jakarta, 4


Stasiun BMKG. (Modifikasi dari Sarbidi, et al, 2011)

Intensitas Hujan Rencana


Dari data hujan maksimum Gambar 4, Gambar 5
dan Gambar 6 dianalisis dengan persamaan [2], [3],
[4] dan [5] dihasilkan intensitas hujan rencana
untuk Kota Bandung, I5,5 204 mm/jam, Kota
Bogor, I5,5 345 mm/jam dan Kota Jakarta, I 5,5
205 mm/jam, seperti ditampilkan dalam grafik
pada Gambar 7.

Gambar 8 Debit genangan air total wilayah kota dan RTH


(m3/detik) lokasi kegiatan. (Modifikasi dari Sarbidi, et al, 2011)

Reduksi genangan air (QRed) adalah total debit


seluruh subresevoir RTH, yaitu: QRed = {QRTH}.
Debit limpasan (QLimp) dari subresevoir air hujan
adalah QLimp = {QKt - QRTH}. Hasil perhitungan
(dalam satuan %) ditampilkan dalam Gambar 9.

Intensitas hujan rencana dihitung dengan


menggunakan data hujan runtut waktu selama 5
10 tahun, periode ulang 5 tahun dan durasi hujan 5
menit, koefisien air larian antara (0,75 0,95) dan
waktu konsentrasi sesuai situasi yang tersedia.
Intensitas hujan rencana digunakan untuk
menentukan debit total genangan air dan kapasitas
subreservoir air hujan.

Gambar 9 Jumlah reduksi genangan air wilayah kota dan RTH,


pada lokasi kegiatan. (Modifikasi dari Sarbidi, et al, 2011)
Keterangan:
Prediktif : Luas RTH maksimal, yang mungkin dapat tersedia
di wilayah kota (lokasi kegiatan).
Eksisting : Luas RTH yang ada di wilayh kota (lokasi kegiatan),
diperoleh saat survei lapangan.
Gambar 7 Intensitas hujan rencana (Modifikasi dari Sarbidi, et
al, 2011)

Debit Reduksi dan Debit Limpasan RTH


Kapasitas RTH Kota Mereduksi Banjir

Debit Total Genangan Air (Banjir Rencana)


Debit total genangan air atau puncak banjir
rencana (Q) dihitung dengan persaman [6].

KESIMPULAN DAN SARAN

Koefisien limpasan (C) perkotaan diambil rata-rata


0,5 dan untuk subreservoir air hujan pada RTH
diambil rata-rata 0,85. Luas daerah pengaliran (A)
menggunakan data pada Gambar 3.
Intensitas hujan rencana (I5,5,) menggunakan data
pada Gambar 7. Dengan persamaan [6] didapatkan
debit total genangan air atau debit banjir rencana
wilayah (QKt) dan debit total air yang ditampung,

Pada Gambar 8 diperoleh informasi bahwa


semakin luas RTH kota digunakan untuk
menyimpan air hujan dalam subreservoir, semakin
besar debit banjir atau genangan air dapat
direduksi di kawasan permukiman kota.
Pada Gambar 9 diketahui bahwa (1) apabila
subresevoir air hujan dibuat pada seluruh RTH
(30% dari wilayah kota), maka dapat mereduksi
debit puncak banjir atau genangan air di
permukiman kota hingga mencapai 48%
182

Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 176-184

(pencegahan banjir secara preventif), (2) semakin


kecil luas RTH kota yang tersedia, semakin besar
kecenderuangan akan terjadi genangan air hujan di
permukiman kota, (3) RTH tersedia 16%
(prediktif), peluang air hujan menjadi genangan
banjir mencapai 74% dan bila RTH yang ada hanya
9% (eksisting), maka peluang air hujan menjadi
genangan banjir mencapai lebih dari 86%.
Berdasarkan
kajian
pustaka7,8,
teknologi
subreservoir air hujan pada RTH perkotaan adalah
kombinasi antara tampungan, resapan dan
pemanfaatan air hujan dari talang atap rumah atau
bangunan. Efluen subreservoir dimasukan ke
dalam tangki eksplorasi selanjutnya dialirkan ke
dalam sumur resapan air hujan. Dengan cara ini
maka air hujan dari atap rumah atau bangunan
dapat tertahan pada RTH hingga mencapai 100%,
sehingga air larian yang menuju drainase kota
menjadi nol persen (0%) atau zero runoff.
Subreservoir air hujan diteliti dan dikembangkan
dalam bentuk Modul Subreservoir7,8 disingkat SR.
SR5 artinya subreservoir kapasitas 5 m 3, SR65
artinya subreservoir kapasitas 65 m3. Modul SR5
untuk luas atap antara 100 300 m2, SR10 untuk
luas atap antara 301 500 m2, SR15 untuk luas
atap antara 501 1000 m2, SR25 untuk luas atap
antara 1000 m2, SR50 untuk luas atap antara
1000 - 2000 m2 dan SR65 untuk luas atap antara
2000 m2. Untuk kapasitas subreservoir lebih besar
dari 65 m3 dapat dibangun kombinasi beberapa
unit secara seri atau paralel sesuai kebutuhan.
Kesimpulan
1. Kawasan RTH (30% LWK) dapat mereduksi
genangan air (puncak banjir) di permukiman
kota hingga mencapai 48%, apabila di lahan
bawahnya diterapkan subresevoir air hujan
(pencegahan banjir secara preventif).
2. Subreservoir
dapat
diterapkan
untuk
konservasi air dan pengendalian air larian,
karena dapat menampung dan memanfaatkan
air hujan dari atap rumah atau bangun serta
meresapkan ke dalam tanah, sehingga air hujan
dapat tertahan di kawasan hingga mencapai
100% dan mengalir ke drainase kota nol persen
(0%) atau zero runoff.
3. Semakin luas RTH kota yang tersedia dan
semakin maksimal pemafaatan RTH untuk
penerapan subreservoir air hujan maka
kecenderuangan pengurangan debit banjir di
permukiman semakin besar.
Saran-saran
1. Memanfaatkan RTH untuk pengendalian air
larian (runoff) dan konservasi air, termasuk
menerapkan sub-reservoir air hujan disarankan
agar tidak bertentangan dengan ketentuan
perundangan dan peratruran yang berlaku.
183

2. Bidang tadah (atap rumah/bangunan atau


lainnya) dengan luas antara (100 1.000) m2
disarankan menggunakan subreservoir modul
SR5, SR10 dan SR15 dan luas bidang tadah
(1.000 2.000) m2 menggunakan modul SR25,
SR50 dan luas bidang tadah = 2.000 m2
menggunakan modul SR65.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pusat
Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian
Pekerjaan Umum yang telah memberi kesempatan
dan dukungan untuk melaksanakan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Meinzen-Dick, R.S. and M.W. Rosegrant. 2001.
Overview. Overcoming Water Scarcity and
Quality Constraints. IFPRI. Washington, DC,
USA.
Ban Damme, H. 2001. Domestic Water Supply,
Hygiene, and Santation. Overcoming Water
Scarcity and Quality Constraints. IFPRI,
Washington, DC, USA.
Irianto, G. 2004. Bagaimana Menanggulangi Banjir
dan Kekeringan. Tabloid Sinar Tani, 28 April
2004. Balitbang Pertanian, Jakarta.
Heryani, Nani. 2008. Sistem Pemanfaatan Air Hujan
(rain water catchment system) Dalam Upaya
Pengelolaan Air Hujan di Daerah Perkotaan.
Buletin DAS Volume 4 No 4 Tahun 2008.
Liaw, C. 2003. Impacts from the use of rainwater
catchment
systems
for
stormwater
management in urban areas. International
Training Course on Rainwater Harvesting and
Utilization Gansu Research Institute for
Water Conservancy. September 8 October
22, 2003. Dalam Nani Heryani, Buletin DAS
Volume 4 No 4 Tahun 2008.
.......... 2009. 7th Ministers Forum on Infrastructure
Development in Asia-Pasific Region, Singapore,
June 21 22, 2009. Country Paper. Ditjen
Sumber Daya Air Kementerian PU. 2009.
Sarbidi. et al. 2012. Kriteria Teknis Desain
Subreservoir Air Hujan Pada Ruang Terbuka
Hijau
Untuk
Drainase
Berwawasan
Lingkungan. Prosiding Kolokium Hasil Litbang
Puslitbang Permukiman, Mei 2012.
Sarbidi. et al (Tim Pelaksana). 2011. Penyusunan
Kriteria Teknis Desain Subreservoir Air Hujan
Pada RTH Untuk Drainase Berwawasan
Lingkungan. Laporan Akhir. Satker Puslitbang
Permukiman, Bandung, Desember 2011.
.......... 2007. Undang-Undang RI No. 6 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang.
.......... 2008. Permen PU No.05/PRT/M/2008,
Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan
Perkotaan.

Kajian Subreservoir Air (Sarbidi)

Kamiana, I Made. 2011. Teknik Perhitungan Debit


Rencana Bangunan Air. Cetakan Pertama.
Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011.
........ 2011. Tata Cara Penyusunan Rencana Induk
Sistem Drainase Perkotaan. Buku Jilid IA. Dit.
PLP, Ditjen Cipta Karya, Kementerian
Pekerjaan Umum, 2011.
2011. Kolam Retensi pada Ruang Terbuka
Hijau di Kawasan Perumahan Bogor Nirwana
Residence. Slide presentasi PT. Duta Sarana

Perkasa pada Distek Penyusunan Kriteria


Teknis Desain Subrservoir Air Hujan pada
RTH Perkotaan. Bandung, 28 September 2011.
Subarkah,
Imam.
1980.
Hidrologi
Untuk
Perencanaan Bangunan Air, 1980.
Pamungkas, Putra. 2006. Pola Umum Curah Hujan
di
Indonesia.
Artikel
pada
http:/
klsdtik.wordpress.com/2006/12/03/polaumum-curah-hujan-di-indonesia.

184

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3 November 2012: 185-188

Katalog dan Abstrak


UDC
69.03.2
Alf Alfata, Muhammad Nur Fajri
s
Studi ergonomi terhadap rancangan ruang kerja kantor pemerintah berdasarkan antropometri
Indonesia / Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan dan Rani Widyahantari .--Jurnal Permukiman.-- Vol.
7 No. 3 November 2012.-- Hal. 126-137.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012.
193 hlm.
: ilus.; 30 cm
Abstrak
ISSN

: hlm. 126
: 1907-4352

I. GOVERNMENTS OFFICE

1. Hermawan, Yuri

2. Widyahantari, Rani

3. Judul

Tulisan ini membahas hasil simulasi ruang kantor pemerintah yang ergonomis berdasarkan antropometri manusia
Indonesia. Simulasi menggunakan simulasi komputer dan simulasi skala penuh 1 : 1. Survei lapangan dilakukan
untuk mengidentifikasi aktivitas pokok, perabot dan peralatan yang digunakan pada ruang kantor pemerintah.
Studi menunjukkan bahwa luasan ruang minimum untuk staf golongan I dan II adalah 1,9 m 2, staf golongan III dan
IV adalah 2,6 m2, pejabat eselon IV adalah 10,8 m2, pejabat eselon III adalah 20,5 m2, dan pejabat eselon II adalah
107 m2.
Kata kunci : antropometri, ergonomi, kantor pemerintah, luasan minimum, simulasi
UDC
69.032.2
Pri Prihandono, Aris
k
Kajian masalah ekologis dalam penataan permukiman di kawasan pesisir-zona atas air/ Aris
Prihandono.--Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 3 November 2012.-- Hal. 138-150.-- Bandung : Pusat Penelitian
dan Pengembangan Permukiman, 2012.
193 hlm.
: ilus. : 30 cm
Abstrak
ISSN

: hlm. 138
: 1907-4352

I. SPATIAL REORGANIZATION

1. Judul

Kepadatan bangunan yang tinggi dan lemahnya pengelolaan sanitasi-persampahan merupakan faktor yang
mengganggu ekosistem terumbu karang di permukiman Bajo. Penataan kembali permukiman, penerapan teknologi
struktur, bahan bangunan, sanitasi berbasis potensi lokal serta pelibatan masyarakat merupakan solusi yang dinilai
mampu mengatasi masalah tersebut.
Kata kunci : ekologi, terumbu karang, penataan permukiman, tradisional, potensi lokal
UDC
69.052.1
Bram Bramantyo
i
Identifikasi arsitektur rumah tradisional Nias Selatan dan perubahannya / Bramantyo. Jurnal
Permukiman.-- Vol. 7 No. 3 November 2012.-- Hal. 151-161.--Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Permukiman, 2012.
193 hlm.
: ilus. : 30 cm
Abstrak
ISSN

: hlm. 151
: 1907-4352

I. TRADITIONAL ARCHITECTURE

1. Judul

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan arsitektur yang terjadi dan dampaknya terhadap eksistensi dari
rumah tradisional Nias Selatan. Hasil kajian menunjukkan bahwa eksistensi rumah tradisional Nias masih cukup
kuat pada desa-desa adat, dimana secara umum kondisinya masih relatif baik dan masih dihuni. Perubahan yang
terjadi secara umum tidak menghilangkan karakteristik asli arsitektur tradisional Nias Selatan, namun ikut
mempengaruhi kearifan lokal yang dimiliki terkait resistensi bangunan tersebut terhadap ancaman gempa.
Kata kunci : rumah tradisional, arsitektur tradisional, Nias Selatan, perubahan arsitektur, penambahan bangunan,
resistensi terhadap gempa

185

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3 November 2012: 185-188

UDC
69.03.13
Suh Suhaeni, Heni
p
Peran kawasan inner city residents di Kota Bandung bagi kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah / Heni Suhaeni.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 3 November 2012.-- Hal. 162-169.-- Bandung :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012.
193 hlm.
: ilus. : 30 cm
Abstrak
ISSN

: hlm. 162
: 1907-4352

I . THE CARE AREA

1. Judul

Kawasan inner city residents banyak dibutuhkan sebagai tempat tinggal dan tempat bekerja, walaupun kondisi
kawasan tersebut padat huni dan kumuh. Pertanyaannya adalah, mengapa penduduk memilih bertempat tinggal di
kawasan inner city residents yang kumuh dan padat huni. Tulisan ini membahas mengenai kawasan inner city
residents dan penduduknya. Hasilnya menunjukkan bahwa kawasan inner city residents memiliki peran penting
yang signifikan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, karena menyediakan berbagai pilihan tempat
tinggal yang variatif dan terjangkau, dan posisi geografisnya strategis sebagai tempat mencari nafkah di sekitar
kawasan tersebut.
Kata kunci : area pusat kota, keterjangkauan, status hunian, masyarakat berpenghasilan rendah
UDC
691.11
Cah Cahyadi, Dany
p
Pemanfaatan abu terbang dan serbuk gergaji untuk pembuatan mortar ringan geopolimer / Dany
Cahyadi, Triastuti, Anita Firmanti, dan Bambang Subiyanto .-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 7 No. 3 November
2012.-- Hal. 170-175.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2012.
193 hlm.
: ilus. : 30 cm
Abstrak
ISSN

: hlm. 170
: 1907-4352

I. SAWDUST BUILDING MATERIAL


3. Subiyanto, Bambang

1. Triastuti
4. Judul

2. Firmanti, Anita

Salah satu penyebab pemanasan global saat ini adalah emisi karbondioksida. Pabrik semen adalah salah satu
penyumbang emisi karbondioksida. Dengan mengurangi penggunaan semen dalam pembuatan beton dapat
mengurangi emisi karbondioksida. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan abu
terbang dan serbuk gergaji terhadap sifat fisik dan mekanik mortar ringan geopolimer. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggantian semen Portland dan abu terbang serta penambahan larutan Natrium Hidroksida
dan larutan Natrium Silikat ke dalam campuran dapat meningkatkan kuat tekannya sampai 19,7 Mpa dibandingkan
dengan kuat tekan mortar kontrol sebesar 15,3 Mpa. Sedangkan penambahan kadar serbuk gergaji ternyata
menurunkan kuat tekan menjadi 8,1 Mpa.
Kata kunci : kuat tekan, mortar ringan, geopolimer, abu terbang, serbuk gergaji
UDC
69.58.4
Sar Sarbidi
k
Kajian subreservoir air hujan pada ruang terbuka hijau mereduksi genangan air (banjir) / Sarbidi. -Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 3 November 2012. -- Hal. 176--184. -- Bandung : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman, 2012.
193 hlm.
: ilus. : 30 cm
Abstrak
ISSN

: hlm. 176
: 1907-4352

I . GREEN OPENED SPACE

1. Judul

Tahun 2011 telah diteliti subreservoir air hujan pada ruang terbuka hijau (RTH) kota. Hasilnya : 1. Subreservoir air
hujan yang diterapkan di seluruh RTH (30 % wilayah kota) dapat mereduksi genangan banjir hingga 48 %, 2.
Subreservoir RTH berpotensi untuk menahan air limpasan hingga 100 % dan mengalirkan kelebihan air ke
drainase kota hingga nol person atau zero run-off.
Kata kunci : ruang terbuka hijau, intensitas hujan, subreservoir, reduksi genangan air, zero run off

186

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3 November 2012: 185-188

Catalogue and Abstract


UDC
69.032.2
Alf Alfata, Muhammad Nur Fajri
e
Ergonomics study of design of government offices workspace based on Indonesian anthropometry /
Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan and Rani Widyahantari .--Jurnal Permukiman. --Vol. 7 No. 3
November 2012. -- Page 126-137. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012.
193 Pages : Ilus.; 30 cm
Abstract
ISSN

: Page 126
: 1907 4352

I. GOVERNMENTS OFFICE

1. Hermawan Yuri

2. Widyahantari, Rani

3. Title

This paper presents the simulation results on government offices workspace based on Indonesian anthropometry.
Computer simulation and full scale simulation were employed in this study. Field survey was carried on to gather
information regarding to main activities. Equipments and furnitures used in workspace. This study shows that
minimum space area required for staff level I and II is 1.9 m2, for level III and IV is 2.6 m2, for echelon IV is 10.8 m2,
for echelon III is 20.5 m2, and for echelon II is 107.0 m2.
Keywords : anthropometry, ergonomics, government office, minimum area of workspace, simulation
UDC
69.03.2
Pri Prihandono, Aris
s
Study of ecological issues in settlement structuring on the water coastal zone / Aris Prihandono. -Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 3 November 2012. -- Page 138-150. -- Bandung : Research Institute for
Human Settlements, 2012.
193 Pages : Ilus.; 30 cm
Abstract
ISSN

: Page 138
: 1907 4352

I. SPATIAL REORGANIZATION

1. Title

The high density of building and sanitation service deficiency were factors disturb coral ecosystem where Bajo
ethnics settlement was situated. Spatial redevelopment, application of technology concerning with building
structure, building material, sanitation based on local potential and community involvement were among solutions
could overcome the problems.
Keywords : ecology, coral reef, spatial reorganization, traditional, local potential
UDC
69.512
Bram Bramantyo
a
Architecture identification of South Nias traditional houses and its transformations / Bramantyo.-Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 3 November 2012. - -Page 151-161. -- Bandung : Research Institute for
Human Settlements, 2012.
193 Pages : Ilus.; 30 cm
Abstract
ISSN

: Page 151
: 1907 4352

I. TRADITIONAL ARCHITECTURE

1. Title

This study was conducted to identify the transformation that happened and its impact to the existence of South
Nias traditional houses. The result showed that the existence of the houses was strong enough in traditional
villages, which in general had a good conditions and still occupied. The transformations of its houses generally did
not eliminate the original characteristics of its traditional architecture, but affected the local wisdom related to the
building resistance from earthquake.
Keywords : traditional house, traditional architecture, South Nias, transformation of architecture, building
addition, resistance of earthquake

187

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3 November 2012: 185-188

UDC
69.013.3
Suh Suhaeni, Heni
t
The role of inner city residents in the city of Bandung for the low income people / Heni Suhaeni. -- Jurnal
Permukiman. -- Vol. 7 No. 3 November 2012. -- Page 162-169. -- Bandung : Research Institute for Human
Settlements, 2012.
193 Pages : Ilus.; 30 cm
Abstract
ISSN

: Page 162
: 1907 4352

I. THE CARE AREA

1. Title

In the developing countries, the evident show that many people need to live and work in the inner city residents,
although these inner city residents are slum and crowded. The question is, why do people prefer to reside in the
slum and crowded residence. This paper elaborates the inner city residents and the inhabitants. The results of this
research show that inner city residents have a significant role for the low income people in the provision of
affordable and multi alternatives housing, and also its strategic location as a place for living and working in and
around inner city.
Keywords : the core area, affordability, housing tenure, low income people
UDC
691.11.
Cah Cahyadi, Dany
t
The utilization of fly ash and sawdust for the manufacture of lightweight geoplymer mortar / Dany
Cahyadi, Triastuti, Anita Firmanti, and Bambang Subiyanto . -- Jurnal Permukiman. --Vol. 7 No. 3 November
2012. -- Page 170-175. --Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2012.
193 Pages : Ilus.; 30 cm
Abstract
ISSN

: Page 170
: 1907 4352

I. SAWDUST BUILDING MATERIAL


3. Subiyanto, Bambang

1. Triastuti
4. Title

2. Firmanti, Anita

One of the cause of current global warming is carbon dioxide emissions. Cement plants is one of the contributors or
world carbon dioxide emissions. By reducing the use of cement in making concrete can reduce the carbon dioxide
emissions. The purpose of this study was to determine the effect of the addition of fly ash and sawdust to the
physical and mechanical properties of lightweight geopolymer mortar. The results showed that the replacement of
Portland cement with fly ash and the addition of a solution of sodium hydroxide and sodium silicate solution into
the mix can increase the compressive strength athe age of 7 days up to 19.7 Mpa, which compared to the control
mortar compressive strength of 15.3 Mpa. While the addition of sawdust levels apparently decreasing the
compressive strength to 8.1 Mpa.
Keywords : compressive strength, lightweight mortar, geopolymer, fly ash, sawdust
UDC
69.058.4.
Sar Sarbidi
r
Research on rain water subreservoir in green opened space in reducing the inundate rate (flood) /
Sarbidi. -- Jurnal Permukiman. -- Vol. 7 No. 3 November 2012. -- Page 176-184. Bandung : Research Institute
for Human Settlements, 2012.
193 Pages : Ilus.; 30 cm
Abstract
ISSN

: Page 176
: 1907 4352

I. GREEN OPENED SPACE

1. Title

In 2011 had been researched the rain water sub reservoir in urban green opened space (GOS). Research result : 1.
Rain water sub reservoir that is applicated in all of the GOS (30 % of urban area) can reduce the flooded area up to
48 %, 2. Sub reservoir in GOS patented to hold overflow water up to 100 % and flowing excessive water to citys
drainage up to zero percent or zero run-off.
Keywords : green opened space, rain intensity, sub reservoir, reduce flooded water, zero run-off

188

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3 November 2012

Indeks Subjek
A
Abu terbang = 170, 171, 172.
Antropometri = 126, 127, 128, 132, 137.
Arsitektur tradisional = 151, 152, 153, 154, 155, 156,
157.
E
Ergonomi = 126, 127, 132, 133, 134, 136, 137.
Ekologi = 138, 139, 150.
G
Geopolimer = 170, 171, 172.
I
Intensitas hujan = 176, 178, 179.
K
Kantor pemerintahan = 126, 128, 130, 135.
Kawasan/Area pusat kota = 162, 168.
Keterjangkauan = 162.
Kuat tekan = 170, 172
L
Luasan minimum = 126, 131.
M
Masyarakat berpenghasilan rendah = 162, 163, 164.
Mortar ringan = 170, 171, 173, 174.
N
Nias Selatan = 151, 152, 155.
Penambahan bangunan = 151, 153, 154, 156, 157. 160.
P
Penataan permukiman = 138, 139, 145.
Perubahan arsitektur = 151.
Potensi lokal = 138.
R
Reduksi genangan air = 176.
Resistensi terhadap gempa = 151, 160.
Ruang terbuka hijau = 176, 178, 179.
Rumah tradisional = 151, 152, 153, 154, 156, 157, 159,
160.
S
Serbuk gergaji = 170, 171, 173, 174.
Simulasi = 126, 127, 128, 131, 134, 135.
Status hunian = 162, 166, 168.
Subreservoir = 176, 178, 181, 183, 184.

A
Affordability = 162.
Anthropometry = 126, 127, 128, 132, 137.
B
Building addition = 151, 153, 154, 156, 157. 160.
C
Compressive strength = 170, 172.
Coral reef = 138, 140, 141, 144, 145, 146, 150.
E
Ecology = 138, 139, 150.
Ergonomics = 126, 127, 132, 133, 134, 136, 137.
F
Fly ash = 170, 171, 172.
G
Geopolymer = 170, 171, 172.
Governments office = 126, 128, 130, 135
Green opened space = 176, 178, 179.
H
Housing tenure = 162, 166, 168.
L
Local potential = 138.
Lightweight mortal = 170, 171, 173, 174.
Low income people = 162, 163, 164.
M
Minimum area of workspace = 126, 131.
R
Rain intensity = 176, 178, 179.
Reduce flooded water = 176.
Resistance of earthquake = 151, 160.
S
Sawdust = 170, 171, 173, 174.
Simulation = 126, 127, 128, 131, 134, 135.
South Nias = 151, 152, 155.
Spatial reorganization = 138, 139, 145.
Subreservoir = 176, 178, 181, 183, 184.

T
Terumbu karang = 138, 140, 141, 144, 145, 146, 150.
Tradisional = 138, 146.

T
The core area = 162, 168.
Traditional = 138, 146.
Traditional architecture = 151, 152, 153, 154, 155, 156,
157.
Traditional house = 151, 152, 153, 154, 156, 157, 159,
160.
Transformation of architecture = 151.

Z
Zero runoff = 176, 177, 178, 183.

Z
Zero runoff = 176, 177, 178, 183.

189

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3 November 2012: 185-188

Indeks Pengarang
Aan Sugiarto. Analisis pengembangan unit produksi conblock dan paving block berbasis limbah batubara dalam
rangka mendukung pembangunan rumah murah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal
Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 5-12.
Aan Sugiarto. Sifat fisis dan mekanis papan semen partikel kayu akasia (Acasia mangium) dan sengon (Paraserienthes
falcataria). Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012.
Hal. 95-100.
Anita Firmanti. Analisis pengembangan unit produksi conblock dan paving block berbasis limbah batubara dalam
rangka mendukung pembangunan rumah murah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal
Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 5-12.
Anita Firmanti. Pemanfaatan abu terbang dan serbuk gergaji untuk pembuatan mortar ringan geopolimer. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Hal. 170-175.
Anita Firmanti. Sifat fisis dan mekanis bambu laminasi bahan berbentuk pelupuh (zephyr) dengan penambahan
methanol sebagai pengencer perekat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman.
Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 1-4.
Anita Firmanti. Sifat fisis dan mekanis papan semen partikel kayu akasia (Acasia mangium) dan sengon
(Paraserienthes falcataria). Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No.
2 Agustus 2012. Hal. 95-100.
Arief Sabaruddin. Faktor-faktor disain rumah susun yang berpengaruh terhadap kenyamanan termal. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012. Hal. 76-87.
Aris Prihandono. Kajian masalah ekologis dalam penataan permukiman di kawasan pesisir-zona atas air. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Hal. 138-150.
Aryenti. Peningkatan fungsi tempat pengelolaan sampah terpadu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman.
Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 33-39.
Aryenti. Peran pendamping masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R (reduce, reuse, recycle) di Kota Banjar. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012. Hal. 101-109.
Aventi. Analisis pengembangan unit produksi conblock dan paving block berbasis limbah batubara dalam rangka
mendukung pembangunan rumah murah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal
Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 5-12.
Bambang Subiyanto. Analisis pengembangan unit produksi conblock dan paving block berbasis limbah batubara
dalam rangka mendukung pembangunan rumah murah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman.
Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 5-12.
Bambang Subiyanto. Pemanfaatan abu terbang dan serbuk gergaji untuk pembuatan mortar ringan geopolimer.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Hal. 170175.
Bambang Subiyanto. Sifat fisis dan mekanis bambu laminasi bahan berbentuk pelupuh (zephyr) dengan penambahan
methanol sebagai pengencer perekat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman.
Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 1-4.
Bambang Subiyanto. Sifat fisis dan mekanis papan semen partikel kayu akasia (Acasia mangium) dan sengon
(Paraserienthes falcataria). Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No.
2 Agustus 2012. Hal. 95-100.
Bambang Sugiharto. Analisis pengembangan unit produksi conblock dan paving block berbasis limbah batubara
dalam rangka mendukung pembangunan rumah murah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman.
Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 5-12.
Bramantyo. Identifikasi arsitektur rumah tradisional Nias Selatan dan perubahannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Hal. 151-161.
Dany Cahyadi. Pemanfaatan abu terbang dan serbuk gergaji untuk pembuatan mortar ringan geopolimer. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Hal. 170-175.
Dany Cahyadi. Analisis pengembangan unit produksi conblock dan paving block berbasis limbah batubara dalam
rangka mendukung pembangunan rumah murah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal
Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 5-12.
Dany Cahyadi. Sifat fisis dan mekanis bambu laminasi bahan berbentuk pelupuh (zephyr) dengan penambahan
methanol sebagai pengencer perekat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman.
Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 1-4.
Dany Cahyadi. Sifat fisis dan mekanis papan semen partikel kayu akasia (Acasia mangium) dan sengon
(Paraserienthes falcataria). Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No.
2 Agustus 2012. Hal. 95-100.
Fitrijani Anggraini. Peran komunitas dalam pengelolaan sampah berbasis pola pilah kumpul olah terhadap reduksi
sampah kota. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012.
Hal. 24-32.
Heni Suhaeni. Parameter untuk menyusun stratifikasi penghasilan, studi kasus : Kecamatan Ngampilan Kota
Yogyakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012.
Hal. 51-57.

190

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3 November 2012

Heni Suhaeni. Peran kawasan inner city residents di Kota Bandung bagi kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012.
Hal. 162-169.
I Putu Agus Wira Kasuma. Karakteristik ruang tradisional pada desa adat Penglipuran, Bali. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 40-50.
Iwan Suprijanto. Karakteristik ruang tradisional pada desa adat Penglipuran, Bali. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 40-50.
Machfud. Analisis keberlanjutan kawasan permukiman perkotaan Cisauk di daerah aliran sungai (DAS) Cisadane.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012. Hal. 88-94.
Muhammad Nur Fajri Alfata. Studi ergonomi terhadap rancangan ruang kerja kantor pemerintah berdasarkan
antropometri Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3
November 2012. Hal. 126-137.
Nanang S. Santosa. Analisis keberlanjutan kawasan permukiman perkotaan Cisauk di daerah aliran sungai (DAS)
Cisadane. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012.
Hal.88-94.
Ramalis Sobandi. Analisis keberlanjutan kawasan permukiman perkotaan Cisauk di daerah aliran sungai (DAS)
Cisadane. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012.
Hal. 88-94.
Rani Widyahantari. Studi ergonomi terhadap rancangan ruang kerja kantor pemerintah berdasarkan antropometri
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November
2012. Hal. 126-137.
Ratna Jatnika. Faktor penentu kebutuhan rumah, studi kasus Kota Cirebon. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012. Hal. 110-120.
Rumiati R. Tobing. Faktor-faktor disain rumah susun yang berpengaruh terhadap kenyamanan termal. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012. Hal. 76-87.
Santun R.P. Sitorus. Analisis keberlanjutan kawasan permukiman perkotaan Cisauk di daerah aliran sungai (DAS)
Cisadane. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012.
Hal. 88-94.
Sarbidi. Kajian subreservoir air hujan pada ruang terbuka hijau dalam mereduksi genangan air (banjir). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Hal. 176--184.
Silvia F. Herina. Pengaruh kadar kehalusan butir terhadap ketahanan geser tanah pasir vulkanik. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 13-23.
Sri Darwati. Peningkatan fungsi tempat pengelolaan sampah terpadu. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 33-39
Sri Darwati. Peran komunitas dalam pengelolaan sampah berbasis pola pilah kumpul olah terhadap reduksi sampah
kota. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Hal. 2432.
Tri Harso Karyono. Faktor-faktor disain rumah susun yang berpengaruh terhadap kenyamanan termal. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012. Hal. 76-87.
Wahyu Wuryanti. Keputusan multikriteria dalam menilai konstruksi rumah tinggal terhadap lingkungan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 Agustus 2012. Hal. 66-75.
Yulinda Rosa. Faktor penentu kebutuhan rumah, studi kasus Kota Cirebon. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol.7 No. 2 Agustus 2012. Hal. 110-120.
Yuri Hermawan. Studi ergonomi terhadap rancangan ruang kerja kantor pemerintah berdasarkan antropometri
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November
2012. Hal. 126-137.

191

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3 November 2012: 185-188

Authors Indexs
Aan Sugiarto. Analysis on the development of production unit of conblock and paving block using waste from burnt
coal to support the supply of low-cost housing. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman.
Vol. 7 No. 1. April 2012. Page 5-12.
Aan Sugiarto. Physical and mechanical properties of acasia (Acasia Mangium) and falcata (Paraserienthes falcataria)
wood cement bonded particle board. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No.
2 August 2012. Page 95-100.
Anita Firmanti. Analysis on the development of production unit of conblock and paving block using waste from burnt
coal to support the supply of low-cost housing. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman.
Vol. 7 No. 1. April 2012. Page 5-12.
Anita Firmanti. Physical and mechanical properties of acasia (Acasia Mangium) and falcata (Paraserienthes
falcataria) wood cement bonded particle board. Research Institute for Human Settlements. Jurnal
Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 95-100.
Anita Firmanti. Physical and mechanical properties of zephyr-shaped laminated bamboo with addition of methanol as
adhesives diluents. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012.
Page 1-4.
Anita Firmanti. The utilization of fly ash and sawdust for the manufacture of lightweight geoplymer mortar. Research
Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Page 170-175.
Arief Sabaruddin. The influence of design factors toward the thermal comfort in flats. Research Institute for Human
Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2. August 2012. Page 76-87.
Aris Prihandono. Study of ecological issues in settlement structuring on the water coastal zone. Research Institute for
Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Page 138-150.
Aryenti. Improved function place of integrated waste management. Research Institute for Human Settlements. Jurnal
Permukiman.Vol. 7 No.1 April 2012. Page 33-39.
Aryenti. Task field officer in waste management 3R (reduce, reuse, recycle) concept community in Banjar City. Research
Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 101-109.
Aventi. Analysis on the development of production unit of conblock and paving block using waste from burnt coal to
support the supply of low-cost housing. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7
No. 1. April 2012. Page 5-12.
Bambang Subiyanto. Analysis on the development of production unit of conblock and paving block using waste from
burnt coal to support the supply of low-cost housing. Research Institute for Human Settlements. Jurnal
Permukiman. Vol. 7 No. 1. April 2012. Page 5-12.
Bambang Subiyanto. Physical and mechanical properties of acasia (Acasia Mangium) and falcata (Paraserienthes
falcataria) wood cement bonded particle board. Research Institute for Human Settlements. Jurnal
Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 95-100.
Bambang Subiyanto. Physical and mechanical properties of zephyr-shaped laminated bamboo with addition of
methanol as adhesives diluents. : Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1
April 2012. Page 1-4.
Bambang Subiyanto. The utilization of fly ash and sawdust for the manufacture of lightweight geoplymer mortar.
Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Page 170-175.
Bambang Sugiharto. Analysis on the development of production unit of conblock and paving block using waste from
burnt coal to support the supply of low-cost housing. Research Institute for Human Settlements. Jurnal
Permukiman. Vol. 7 No. 1. April 2012. Page 5-12.
Bramantyo. Architecture identification of South Nias traditional houses and its transformations. Research Institute for
Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Page 151-161.
Dany Cahyadi. Analysis on the development of production unit of conblock and paving block using waste from burnt
coal to support the supply of low-cost housing. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman.
Vol. 7 No. 1. April 2012. Page 5-12.
Dany Cahyadi. Physical and mechanical properties of acasia (Acasia Mangium) and falcata (Paraserienthes falcataria)
wood cement bonded particle board. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No.
2 August 2012. Page 95-100.
Dany Cahyadi. Physical and mechanical properties of zephyr-shaped laminated bamboo with addition of methanol as
adhesives diluents. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012.
Page 1-4.
Dany Cahyadi. The utilization of fly ash and sawdust for the manufacture of lightweight geoplymer mortar. Research
Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Page 170-175.
Fitrijani Anggraini. The role of community in solid waste management based on pattern sorting, collecting and
treating to reduce city waste. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April
2012. Page 24-32.
Heni Suhaeni. Parameter for stratified incomes, cased study of Ngampilan Sub District, Yogyakarta City. Research
Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Page 51-57.
Heni Suhaeni. The role of inner city residents in the city of Bandung for the low income people. Research Institute for
Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Page 162-169.

192

Jurnal Permukiman, Vol. 7 No. 3 November 2012

I Putu Agus Wira Kasuma. Characteristic of traditional space in the traditional village of Penglipuran, Bali. Research
Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Page 40-50.
Iwan Suprijanto. Characteristic of traditional space in the traditional village of Penglipuran, Bali. Research Institute
for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Page 40-50.
Machfud. Sustainable analysis of Cisauk urbanized settlement at Cisadane river basin. Research Institute for Human
Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 88-94.
Muhammad Nur Fajri Alfata. Ergonomics study of design of government offices workspace based on Indonesian
Anthropometry. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012.
Page 126-137.
Nanang S. Santosa. Sustainable analysis of Cisauk urbanized settlement at Cisadane river basin. Research Institute for
Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 88-94.
Ramalis Sobandi. Sustainable analysis of Cisauk urbanized settlement at Cisadane river basin. Research Institute for
Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 88-94.
Rani Widyahantari. Ergonomics study of design of government offices workspace based on Indonesian anthropometry.
Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Page 126-137.
Ratna Jatnika. Determinants of housing needs, case study of Cirebon city. Research Institute for Human Settlements.
Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 110-120.
Rumiati R. Tobing. The influence of design factors toward the thermal comfort in flats. Research Institute for Human
Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 76-87.
Santun R. P. Sitorus. Sustainable analysis of Cisauk urbanized settlement at Cisadane river basin. Research Institute for
Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 88-94.
Sarbidi. Research on rain water subreservoir in green opened space in reducing the inundate rate (flood). Research
Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Page 185-188.
Silvia F. Herina. Effect of fine soils content of the volcanic sand shear resistance. Research Institute for Human
Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Page 13-23.
Sri Darwati. Improved function place of integrated waste management. Research Institute for Human Settlements.
Jurnal Permukiman.Vol. 7 No. 1 April 2012. Page 33-39.
Sri Darwati. The role of community in solid waste management based on pattern sorting, collecting and treating to
reduce city waste. Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 1 April 2012. Page
24-32.
Tri Harso Karyono. The influence of design factors toward the thermal comfort in flats. Research Institute for Human
Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2. August 2012. Page 76-87.
Triastuti. The utilization of fly ash and sawdust for the manufacture of lightweight geoplymer mortar. Research
Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Page 170-175.
Wahyu Wuryanti. Multicriteria decision in assess the house construction to environment. Research Institute for Human
Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 66-75.
Yulinda Rosa. Determinants of housing needs, case study of Cirebon City. Research Institute for Human Settlements.
Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 2 August 2012. Page 110-120.
Yuri Hermawan. Ergonomics study of design of government offices workspace based on Indonesian anthropometry.
Research Institute for Human Settlements. Jurnal Permukiman. Vol. 7 No. 3 November 2012. Page 126-137.

193

Anda mungkin juga menyukai