Digital 20346646 S46426 Farah Octavia
Digital 20346646 S46426 Farah Octavia
SKRIPSI
OLEH:
FARAH OCTAVIA
NPM : 1006819693
UNIVERSITAS INDONESIA
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
OLEH:
FARAH OCTAVIA
NPM : 1006819693
Nama
: Farah Octavia
NPM
: 1006819693
Tanda Tangan
Tanggal
: 3 Juli 2013
vi
SURAT PERNYATAAN
: Farah Octavia
NPM
: 1006819693
Program Studi
Kekhususan
: Kesehatan Reproduksi
Tahun Akademik
: 2010/2011
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi saya yang
berjudul :
GAMBARAN KONTROL SOSIAL KELUARGA, FAKTOR PENGUAT DAN FAKTOR
PREDISPOSISI DENGAN PERILAKU SEKSUAL BERISIKO PADA REMAJA SMK M
DI JAKARTA TAHUN 2013
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima
sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Depok, 3 Juli 2013
Farah Octavia
vii
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
: Farah Octavia
NPM
: 1008819693
Program Studi
Kekhususan
: Kesehatan Reproduksi
Tahun Akademik
: 2010/2011
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
pada Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
(..)
Penguji
(..)
Penguji
(..)
Ditetapkan di : Depok
Tanggal
: 3 Juli 2013
viii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Farah Octavia
NPM
: 1006819693
Program Studi
: Program Sarjana Kesehatan Masyarakat
Kekhususan
: Kesehatan Reproduksi
Fakultas
: Kesehatan Masyarakat
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas
Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah
saya yang berjudul:
GAMBARAN KONTROL SOSIAL KELUARGA, FAKTOR PENGUAT DAN FAKTOR
PREDISPOSISI DENGAN PERILAKU SEKSUAL BERISIKO PADA REMAJA SMK M
DI JAKARTA TAHUN 2013
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini
Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
Pada tanggal
: Depok
: 3 Juli 2013
Yang menyatakan
(Farah Octavia)
ix
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Farah Octavia
Tempat/Tanggal Lahir
Agama
: Islam
: farahquinne@yahoo.com
Riwayat Pendidikan:
1. TK Baikhtul Hikmah, lulus tahun 1996
2. SDN Curug 2 Depok, lulus tahun 2001
3. SMPN 7 Depok, lulus tahun 2004
4. SMA Islam Al-Maruf Jakarta, lulus tahun 2007
5. D3 Pariwisata FISIP Universitas Indonesia, lulus tahun 2010
6. Peminatan Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
x
KATA PENGANTAR
xi
5. Seluruh staf pengajar Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, khususnya bagian Kesehatan Reproduksi yang telah banyak memberikan
ilmunya.
6. Seluruh staf akademik dan staf perpustakaan yang telah membantu dan memfasilitasi
selama proses belajar dan penyususan skripsi ini.
7. Mama, Papa, Niyeng, Kak Sisca dan Mas Tommy serta seluruh keluarga besar atas segala
doa, pengorbanan dan dukungannya yang menjadikan motivasi bagi peneliti dalam
penyususnan skripsi ini dan untuk segera menyelesaikan pendidikan.
8. Abang Rendy Wahyudi yang telah setia dengan penuh cinta mendukung, menemani dan
membantu peneliti meyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh teman-teman satu peminatan, Kespro 2010.
10. Jomen : Ayu, Erma, Hesti, Muti, Nadya terimakasih atas multitalented kalian.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi
ini yang tidak bdapat peneliti sebutkan satu per satu
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi penulis dan pembaca di masa mendatang.
Wassalamualaikum
Penulis
xii
ABSTRAK
Nama
: Farah Octavia
Program Studi
Judul
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kontrol sosial keluarga, faktor
penguat dan faktor predisposisi dengan perilaku seksual berisiko pada remaja SMK M di
Jakarta tahun 2013. Desain penelitian menggunakan pendekatan crossectional dan Rapid
Assessment Procedures. Responden berjumlah 108 remaja dan 12 informan sebagai
anggota FGD serta informan dua orangtua dan guru kesiswaan SMK M. Hasil studi ini
menunjukan adanya hubungan jenis kelamin, sikap permisif terhadap perilaku seksual,
dan pola komunikasi orangtua dengan perilaku seksual berisiko di SMK M. Penelitian ini
merekomendasikan perlu adanya komunikasi yang terbuka dan adanya tata aturan
keluarga yang jelas dalam pencegahan perilaku seksual berisiko pada remaja.
Kata Kunci:
Pola komunikasi orangtua, kekuatan keluarga, perilaku seksual berisiko
xiii
ABSTRACT
Name
Farah Octavia
Study Program
Title
with
sexual
risk behavior
in
Keywords:
Patterns of parental communication, family strength and risky sexual behavior
xiv
DAFTAR ISI
Halaman Judul ii
Halaman Pernyataan Orisinalitas iii
Surat Pernyataan.. iv
Halaman Pengesahan.. v
Lembar Pernyataan Publikasi. vi
Riwayat Hidup vii
Kata Pengantar ix
Abstrak x
Daftar Isi.. xi
Daftar Lampiran.. xii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang 1
1.2
Rumusan Masalah... 4
1.3
Tujuan Penelitian. 5
1.4
BAB 2
1.3.1
Tujuan Umum.. 5
1.3.2
Tujuan Khusus. 5
Manfaat Penelitian... 6
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Remaja 8
2.1.1
Pengertian Remaja... 8
2.1.2
2.2
2.3
Pola Komunikasi.. 14
2.3.1
Pengertian Komunikasi 14
2.3.2
xv
2.3.3
2.4
2.5
2.4.2
2.4.3
Perilaku Seksual 21
2.5.1
2.5.2
2.5.3
2.5.4
2.5.5
2.6
2.7
BAB 3
BAB 4
Kerangka Teori. 29
31
3.1
Kerangka Konsep. 31
3.2
Definisi Operasional 32
3.3
Hipotesis. 34
METODOLOGI PENELITIAN
35
4.1
Desain Penelitian. 35
4.2
4.3
4.4
Informan Penelitian. 36
4.5
Etika Penelitian 37
4.6
38
xvi
BAB 5
4.7
Instrumen Penelitian 39
4.8
Pengolahan Data. 40
4.9
Analisis Data 42
4.10
HASIL PENELITIAN
5.1
5.2
5.3
44
5.1.2
Analisis Univariat. 45
5.2.1
Karakteristik Responden.. 45
5.2.2
5.2.3
5.2.4
5.2.5
Kekuatan Keluarga 51
5.2.6
Perilaku Seksual 53
Analisis Bivariat... 55
5.3.1
5.3.2
5.3.3
5.3.4
5.3.5
5.3.6
5.3.7
xvii
Perilaku Seksual 61
5.3.8
BAB 6
PEMBAHASAN PENELITIAN
64
6.1
Keterbatasan Penelitian. 64
6.2
Variabel Dependen 64
Variabel Independen. 66
xviii
BAB 7
77
Kesimpulan. 77
7.1.1
Variabel Dependen.
77
Variabel Independen..
77
Saran. 81
7.2.1
Saran Aplikatif. 81
7.2.2
Saran Akademik 83
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kelompok remaja merupakan kelompok penduduk dalam rentang usia 10-19
tahun (Depkes, 2009). Kelompok remaja di Indonesia memiliki proporsi kurang lebih
seperlima dari seluruh jumlah penduduk. Hal ini sesuai dengan proporsi remaja di dunia
yaitu jumlah remaja diperkirakan 1,2 milyar atau sekitar seperlima dari jumlah penduduk
dunia WHO (2003; dalam Depkes 2009).
Masa transisi merupakan faktor risiko utama timbulnya masalah kesehatan pada
usia remaja. Masa transisi pada remaja meliputi transisi emosional, transisi sosialisasi,
transisi agama, transisi hubungan keluarga dan transisi moralitas. Remaja pada umumnya
akan mengalami perubahan-perubahan dalam hal biologis dan psikologis yang sangat
pesat. Perubahan-perubahan yang terjadi memberikan dorongan yang kuat terhadap
perilaku dan kehidupan remaja yang sifatnya sangat beragam (Clemen-Stone, McGuire
dan Eigsti, 2002). Kehidupan remaja yang sangat beragam di masyarakat akan
menimbulkan masalah-masalah pada masa remaja (Hurlock, 1998).
Permasalahan yang dialami oleh remaja umumnya dikarenakan adanya krisis
identitas tanpa adanya faktor pendukung dan sumber informasi yang jelas dalam
memberikan ketersediaan layanan pada kelompok remaja (BKKBN, 2009). Permasalahan
kesehatan yang berisiko mengancam kesejahteraan remaja antara lain merokok, konsumsi
alkohol, konsumsi obat, depresi atau risiko bunuh diri, emosi, masalah fisik, problem
sekolah dan perilaku seksual (Stanhope dan Lancaster, 2004).
Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang didanai oleh
USAID, BPS, BKKBN, DEPKES SKRRI pada tahun 2007 menunjukkan hasil bahwa
usia pertama kali pacaran adalah 15-17 tahun, proporsi wanita 43% dan pria 40%. Usia
mulai pacaran sebelum usia 15 tahun pada wanita 24% dan pria 19%. Perilaku pacaran
pada wanita meliputi berpegangan tangan 62%, cium bibir 23,2%, dan meraba atau
2
merangsang 6,5% dari besar sampel 5.912. Perilaku pacaran pada pria meliputi
berpegangan tangan 60,1%, cium bibir 30,9%, dan meraba atau merangsang 19,2 % dari
besar sampel 6.578. Hasil survey yang lain juga menunjukkan terjadinya hubungan
seksual pada wanita 1,3% dan pada pria 3,7%. Enam dari sepuluh responden yang
mengalami kehamilan tidak diinginkan diketahui melakukan aborsi (termasuk aborsi
spontan, aborsi yang disengaja atau tidak) dan empat dari sepuluh melanjutkan kehamilan
mereka, termasuk mencoba menggugurkan kandungan namun gagal (USAID, et al,
2008).
Faktor penyebab lain dari perilaku seksual berisiko remaja adalah kurangnya
pengetahuan dan keterampilan, sikap dan perilaku remaja terhadap kesehatan, kurang
kepedulian orang tua dan masyarakat terhadap kesehatan dan kesejahteraan remaja serta
belum optimalnya pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan remaja (Depkes,
2005). Hasil penelitian pada 900 remaja, 180 orang tua remaja, 180 guru sekolah, 90
tokoh masyarakat dan 90 petugas kesehatan menunjukkan bahwa 60% petugas kesehatan,
65% orang tua remaja, 83,3% guru sekolah dan 77,3% remaja kurang pengetahuannya
tentang perkembangan reproduksi remaja, perubahan psikologis dan emosional remaja,
penyakit menular seksual dan bahaya kehamilah remaja serta abortus. Akibatnya remaja
sangat sedikit memperoleh informasi dari sumber yang berkompeten tentang hal-hal
tersebut. Sebagian besar remaja 45% mendapat informasi dari teman sekolah, 16,3% dari
guru, 12,8% dari petugas kesehatan, 8,7% dari orang tua dan 6,8% dari tokoh agama
(Suwandono, 2002). Upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku
seksual berisiko pada remaja merujuk pada perlunya pemberian informasi masalah
seksual.
Komunikasi efektif antara orangtua dan remaja memberikan kesempatan saling
mengungkapkan isi hati atau kekesalan yang dirasakan serta harapan yang diinginkan,
karena pada hakekatnya seorang anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya
membutuhkan
uluran
tangan
orangtua.
Orangtua
bertanggung
jawab
dalam
mengembangkan kemampuan anak termasuk kebutuhan fisik dan psikis sehingga anak
dapat tumbuh dan berkembang kearah kepribadian yang matang (Gunarsa, 2004). Remaja
yang cukup mendapat kasih sayang orangtua cenderung akan terhindar dari perilaku
3
seksual berisiko karena tidak akan mencari kasih sayang orang lain sebagai
kompensasinya.
Hasil studi penelitian lain dengan metode cross sectional dengan sampel 107
siswa SMP X, 28% memiliki risiko terhadap masalah reproduksi. Proporsi remaja yang
tidak pernah pernah berkomunikasi dengan orangtua (33,8%) memiliki risiko lebih besar
dibandingkan dengan proporsi remaja yang berkomunikasi dengan orangtua (Indarsita,
2002). Komunikasi dalam keluarga dapat diciptakan melalui diskusi bersama keluarga.
Keluarga juga bisa mendapatkan konseling dari pihak terapis keluarga untuk memberikan
informasi kesehatan yang dibutuhkan keluarga (Friedman, Bowden & Jones, 2003). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Triharningsih (2001) tentang permasalahan kesehatan
reproduksi remaja memperlihatkan bahwa remaja laki-laki berkonsultasi lebih banyak
dari pada remaja perempuan hampir di seluruh kategori permasalahan kesehatan
reproduksi. Usia remaja yang berkonsultasi terbanyak pada kategori 19-24 tahun.
Masalah seksual sebagai permasalahan kesehatan reproduksi adalah topik yang paling
banyak dikonsultasikan remaja. Konsultasi yang dilakukan oleh remaja ini merupakan
salah satu cara yang dilakukan remaja untuk memperoleh dukungan dalam menjalani
masa pubertas yang dialaminya, dukungan tersebut dapat difasilitasi oleh keluarga.
Kekuatan keluarga merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses
pembuatan keputusan sehingga anggota keluarga melaksanakan serangkaian tindakan
yang telah di tetapkan dalam rangka mencapai tujuan (Friedman, Bowen dan Jones,
2003). Keluarga dengan tahap perkembangan remaja akan mencapai suatu tingkatan yang
sehat secara psikologis apabila keluarga mampu menyesuaikan diri dengan desakan
remaja untuk kebebasan diri (Santrock, 2003). Hal ini dapat diwujudkan keluarga dengan
memperlakukan remaja lebih dewasa dan mengikutsertakan mereka dalam mengambil
keputusan keluarga. Keluarga yang tidak sehat secara psikologis sering kali dalam
kendali orang tua yang berorientasi kekuasaan, dan orangtua lebih cenderung
menggunakan otoriter dalam hubungan dengan remaja.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan terhadap beberapa literatur hasil penelitian
tentang perilaku seksual remaja, belum ditemukan hasil penelitian tentang kekuatan
keluarga berhubungan dengan perilaku seksual berisiko pada remaja di SMK M, Jakarta.
Gambaran Kontrol Sosial, Farah Octavia, FKM UI, 2013
4
Namun perilaku seksual remaja di SMK M menunjukkan semakin mengkhawatirkan
termasuk dalam hal perilaku berpacaran yang semakin bebas dan menjurus ke aktivitas
seksual sebelum menikah.
Permasalahan kesehatan reproduksi remaja di Indonesia diakibatkan belum
optimalnya komitmen dan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mengatur
tentang pendidikan seksual dan reproduksi bagi remaja pada tatanan keluarga,
masyarakat, dan sekolah. Norma adat dan nilai budaya leluhur yang masih dianut
sebagian besar masyarakat Indonesia juga masih menjadi kendala dalam penyelenggaraan
pendidikan seksual dan reproduksi berbasis keluarga terutama sekolah. Berdasarkan
permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam
mengidentifikasi bagaimana gambaran kontrol sosial keluarga, faktor penguat dan faktor
predisposisi dengan perilaku seksual berisiko pada remaja SMK M di Jakarta.
1.2
Rumusan Masalah
Masa remaja merupakan fase kedua dalam kehidupan individu yang sangat
penting. Masa remaja merupakan masa transisi dimana remaja mengalami pertumbuhan
dan perkembangan baik secara fisik maupun psikologis. Remaja selama masa transisi
merupakan faktor risiko utama timbulnya masalah kesehatan pada remaja apabila tidak
terfasilitasi dengan baik. Perubahan yang terjadi akan memberikan dorongan yang kuat
terhadap perilaku dan kehidupan remaja yang sifatnya sangat beragam (Clemen- Stone.,
McGuire, & Eigsti, 2002). Perilaku yang dimunculkan remaja dalam kehidupannya akan
menimbulkan
masalah-masalah
yang
dialami
selama
masa
remaja
sehingga
5
sebagai masa yang sulit bagi orangtua untuk berkomunikasi secara baik dengan anak
sehingga tak jarang terjadinya konflik antara orangtua dan anak.
Kekuatan keluarga merupakan kemampuan anggota keluarga untuk mengubah
perilaku anggota keluarga yang lain (Olson dan Cromwell, 1975; dalam Friedman,
Bowden dan Jones, 2003). Fokus kekuatan keluarga dengan remaja adalah pengambilan
keputusan yang diarahkan pada pencapaian persetujuan dan komitmen dari anggota
keluarga untuk melaksanakan serangkaian tindakan atau mempertahankan status quo.
Teknik interaksi yang digunakan anggota keluarga dalam upaya memperoleh kendali
dengan bernegosiasi dalam mengambil keputusan dan disepakati oleh anggota keluarga
Mc Donald (1980, dalam Friedman, Bowden dan Jones, 2003). Proses negosiasi melalui
komunikasi dengan remaja merupakan cara yang terbaik dalam melaksanakan kekuatan
keluarga. Kekuatan keluarga ini akan dapat mencegah perilaku seksual berisiko yang
dimunculkan dalam kehidupan remaja (Friedman, Bowden dan Jones, 2003).
Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana
gambaran kontrol sosial keluarga, faktor penguat dan faktor predisposisi dengan perilaku
seksual berisiko pada remaja SMK M di Jakarta.
1.3
Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran pola komunikasi dan
kekuatan keluarga dengan perilaku seksual berisiko pada remaja di SMK M, di
Jakarta.
6
1.3.2.2Melihat gambaran dan hubungan dengan perilaku seksual antara
pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja SMK M di Jakarta
1.3.2.3 Melihat gambaran dan hubungan dengan perilaku seksual antara sikap
terhadap perilaku seksual pada remaja SMK M di Jakarta
1.3.2.4Melihat gambaran dan hubungan dengan perilaku seksual antara pola
komunikasi keluarga pada remaja SMK M di Jakarta
1.3.2.5 Melihat gambaran dan hubungan dengan perilaku seksual antara kekuatan
keluarga pada remaja SMK M di Jakarta
1.3.2.6Melihat gambaran dan hubungan perilaku seksual yang dilakukan oleh
remaja SMK M di Jakarta
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
1.4.2
7
1.4.3
Bagi Remaja
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan panduan dalam
peningkatan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas bagi
remaja.
1.4.4
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Remaja
2.1.1
Pengertian Remaja
Secara etimiologi, remaja berarti tumbuh menjadi dewasa. Definisi
remaja (adolescence) menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah periode
usia antara 10 sampai 19 tahun, sedangkan menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menyebut kaum muda (youth) untuk usia antara 15 sampai 24 tahun.
Sementara itu, menurut The Health Resources and Services Administrations
Guidelines Amerika Serikat, rentang usia remaja adalah 11 sampai 21 tahun dan
terbagi menjadi tiga tahap, yaitu remaja awal (11-14 tahun); remaja menengah
(15-17 tahun); dan remaja akhir (18-21 tahun). Definisi ini kemudian disatukan
dalam terminologi kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun.
Definisi remaja sendiri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu 1)
secara kronologis, remaja adalah individu yang berusia antara 11-12 tahun sampai
20-21 tahun; 2) secara fisik, remaja ditandai oleh ciri perubahan pada penampilan
fisik dan fungsi fisiologis, terutama yang terkait dengan kelenjar seksual; 3)
secara psikologis, remaja merupakan masa di mana individu mengalami
perubahan-perubahan dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan moral di antara
masa anak-anak menuju masa dewasa. Gunarsa (1978) mengungkapkan bahwa
masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa
yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki
masa dewasa.
2.1.2
9
Perkembangan yang dialami remaja tersebut merupakan respon yang normal pada
remaja dan harus dilalui remaja untuk menuju ke fase perkembangan selanjutnya.
Menurut
Santrock
(2003:
91)
perubahan
fisik
yang
terjadi
dan berat badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang
terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh
(badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya
alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada
laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan
Sarwono, 2006: 52).
Selanjutnya, Menurut Muss (dalam Sunarto & Agung Hartono, 2002: 79)
menguraikan bahwa perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan yaitu;
perertumbuhan tulang-tulang, badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan
menjadi panjang, tumbuh payudara, tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di
kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap
tahunnya, bulu kemaluan menjadi keriting, menstruasi atau haid, tumbuh bulubulu ketiak.
Sedangkan pada anak laki-laki peubahan yang terjadi antara lain;
pertumbuhan tulang-tulang, testis (buah pelir) membesar, tumbuh bulu kemaluan
yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi (keluarnya
air mani), bulu kemaluan menjadi keriting, pertumbuhan tinggi badan mencapai
tingkat maksimum setiap tahunnya, tumbuh rambut-rambut halus diwajaah
(kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan suara, rambut-rambut
diwajah bertambah tebal dan gelap, dan tumbuh bulu dada.
Pada
dasarnya
perubahan
fisik
remaja
disebabkan
oleh
10
Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas bertanggung-jawab atas
munculnya dorongan seks (Santrock, 2010). Hasil studi penelitian di Texas pada
100 responden anak laki-laki dan perempuan berusia lebih dari 7 tahun bahwa
pertumbuhan dan perubahan fisik laki-laki maupun perempuan pada masa remaja
sama (American Psychological Association, 2011). Perubahan biologis yang
terjadi berpengaruh pada perubahan emosional remaja.
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003: 110) secara lebih nyata pemikiran
opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis. Remaja berpikir lebih
abstrak dibandingkan
dengan
menyelesaikan
persamaan aljabar abstrak. Remaja juga lebih idealistis dalam berpikir seperti
memikirkan karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja
berfikir secara logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai
rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara
pemecahan yang terpikirkan. Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas
dari lingkungan sosial. Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan
budaya dalam perkembangan kognitif remaja.
Santrock (2003: 24) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja
mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam
emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam
perkembangan. Membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya,
perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta
peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial-emosional
dalam perkembangan remaja. John Flavell (dalam Santrock, 2003: 125) juga
menyebutkan bahwa kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka
secara efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan
kompetensi sosial mereka.
Menurut Santrock (2003: 219) teman sebaya (peers) adalah anak-anak
atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Jean Piaget
dan Harry Stack Sullivan (dalam Santrock, 2003: 220) mengemukakan bahwa
anak-anak dan remaja mulai belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik
Gambaran Kontrol Sosial, Farah Octavia, FKM UI, 2013
11
dan setara dengan melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka juga belajar
untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan
untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya
yang sedang berlangsung. Sullivan beranggapan bahwa teman memainkan peran
yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan
remaja. Mengenai kesejahteraan, dia menyatakan bahwa semua orang memiliki
sejumlah kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan kasih saying (ikatan
yang aman), teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial,
keakraban, dan hubungan seksual.
Menurut
Steinberg
(dalam
Santrock,
2002:
42)
mengemukakan
bahwa masa remaja awal adalah suatu periode ketika konflik dengan orang tua
meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang
meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang
berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang
tua, dan harapan-harapan yang dilanggar oleh pihak rang tua dan remaja. Collins
(dalam Santrock, 2002: 42) menyimpulkan bahwa banyak orang tua melihat
remaja mereka berubah dari seorang anak yang selalu menjadi seseorang yang
tidak mau menurut, melawan, dan menantang standar-standar orang tua. Bila ini
terjadi, orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan memberi
lebih banyak tekanan kepada remaja agar mentaati standar-standar orang tua.
2.2
12
social risk, economic risk, life-style risk dan life-event risk. Biologic risk merupakan
faktor genetic atau ciri fisik yang berkontribusi terjadinya risiko. Social risk merupakan
faktor kehidupan yang tidak teratur, tingkat kriminal yang tinggi, lingkungan yang
terkontaminasi oleh polusi udara, kebisingan, zat kimia yang berkontribusi untuk
terjadinya masalah. Economic risk adalah tidak seimbangnya antara kebutuhan dengan
penghasilan, krisis ekonomi yang berkepanjangan sehingga berpengaruh terhadap
kebutuhan perumahan, pakaian, makanan, pendidikan, dan kesehatan. Life-style risk
merupakan kebiasaan atau gaya hidup yang dapat berdampak terjadinya risiko, termasuk
keyakinan terhadap kesehatan, kebiasaan sehat, persepsi sehat, pengaturan pola tidur,
rencana aktifitas keluarga, dan norma tentang perilaku yang berisiko. Life-event risk
adalah kejadian dalam kehidupan yang dapat berisiko terjadinya masalah kesehatan
seperti pindah tempat tinggal, adanya anggota keluarga baru, adanya anggota keluarga
yang meninggalkan rumah dan dapat berpengaruh pada pola komunikasi.
Beberapa faktor yang memberikan kontribusi populasi remaja sebagai populasi
berisiko (at risk) adalah:
2.2.1
Periode Transisi
Masa transisi remaja merupakan factor resiko utama timbulnya masalah
kesehatan pada remaja. Masa transisi tersebut antara lain transisi emosional,
transisi dalam sosialisasi, transisi dalam agama, transisi dalam hubungan
keluarga, transisi moralitas. Secara umum remaja akan mengalami perubahanperubahan dalam hal biologis maupun psikologis yang sangat pesat. Perubahanperubahan tersebut memberikan dorongan yang kuat terhadap perilaku dan
kehidupan remaja yang sifatnya sangat beragam (Hurlock, 1998).
2.2.2
Pengetahuan Keluarga
Pengetahuan keluarga terutama mengetahui dan memahami tugas dan
tanggung jawab keluarga terhadap perkembangan remaja. Tugas dan tanggung
jawab yang dimaksudkan adalah pertama, menyeimbangkan kebebasan dengan
tanggung jawab untuk mendewasakan remaja serta meningkatkan otonomi
remaja; kedua, memfokuskan kembali hubungan perkawinan; ketiga, menciptakan
Gambaran Kontrol Sosial, Farah Octavia, FKM UI, 2013
13
suasana komunikasi terbuka antara anggota keluarga; keempat, mempertahankan
standar-standar etik dan moral keluarga (Friedman, Bowden & Jones, 2003).
2.2.3
Pendidikan
Penyampaian materi pendidikan seksual seharusnya diberikan oleh orang
tua sejak dini, mengingat yang paling tahu keadaan anaknya adalah orang tua
sendiri. Sayangnya di Indonesia tidak semua orang tua mau terbuka terhadap anak
didalam membicarakan masalah seksual, dapat juga karena faktor ketidaktahuan.
Hal ini mengakibatkan remaja mencari sumber informasi yang salah terkait
dengan permasalahannya (Gunarsa, 2004).
2.2.5
Lingkungan
Lingkungan pergaulan remaja yang sudah semakin luas memberikan
pengaruh positif atau negatif bagi kehidupan remaja. Pengaruh positif melalui
interaksi teman sebaya belajar mengenai pola hubungan timbal balik dan setara.
Pengaruh lingkungan pergaulan yang negatif disertai tekanan yang kuat oleh
kelompok dan masyarakat akan dapat menjerumuskan remaja pada perilaku
negative seperti mengkonsumsi alkohol, narkotika dan obat terlarang, serta seks
bebas (Santrcok, 2003). Hasil penelitian di Pontianak pada 348 responden siswa
SMA bahwa, yang paling dominan mempengaruhi perilaku seksual remaja
adalah perilaku seksual teman sebaya sebesar 34,4% (Suwarni & Linda, 2008).
2.2.6
Kemajuan Teknologi.
Kemajuan dan modernisasi tehnologi membawa pengaruh bagi keluarga,
termasuk remaja dalam keluarga. Sarana komunikasi yang semakin canggih
Gambaran Kontrol Sosial, Farah Octavia, FKM UI, 2013
14
akibat kemajuan tehnologi menyebabkan meningkatnya arus informasi dari luar.
Remaja akan mengadopsinya tanpa memilah-milah yang selanjutnya dipraktekkan
dalam hidup kesehariannya (Santrock, 2003). Hasil studi penelitian di Medan
dengan 107 responden menunjukkan bahwa media cetak mempunyai proporsi
lebih sedikit (19,5%) dibandingkan dengan dengan media elektronik (33,3%)
dalam meningkatkan perilaku kesehatan reproduksi yang beresiko pada remaja
(Indarsita, 2002).
2.2.7
Pembangunan
Pesatnya
pembangunan
disertai
pertambahan
jumlah
penduduk,
keterbatasan sumber daya alam dan perubahan tata nilai di masyarakat akan
menyebabkan ketimpangan sosial dan individualisme meningkat yang dapat
menjadi pemicu konflik pada remaja. Seringkali membuat remaja frustrasi dan
depresi yang mendorong remaja mengambil jalan pintas dengan tindakan yang
bersifat negatif.
2.3
Pola Komunikasi
2.3.1
Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi (Bahasa Inggris communication berasal dari
bahasa Latin communicates atau communication atau communicare yang berarti
berbagi atau menjadi milik bersama. Dengan demikian, kata komunikasi
menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai
kebersamaan (Riswandi. 2009).
Beberapa pakar komunikasi Roger dan D. Lawrence Kincaid (1981; dalam
Mubarok, et al, 2009) memberikan definisi komunikasi sebagai suatu proses
dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi
dengan satu sama lainnya yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian
yang mendalam. Duldt- Betty (dalam Suryani, 2005) mendefinisikan komunikasi
sebagai sebuah proses penyesuain dan adaptasi yang dinamis antara dua orang
atau lebih dalam suatu interaksi tatap muka dan terjadi pertukaran ide, makna,
15
perasaan, dan perhatian. Harrol D. Lasswel (dalam Riswandi, 2009) menjelaskan
bahwa komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan
siapa mengatakan apa dengan saluran apa, kepada siapa, dan dengan
akibat apa atau hasil apa. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa komunikasi merupakan penyampaian informasi dalam sebuah interaksi
tatap muka yang berisi ide, perasaan, perhatian makna, serta pikiran yang
diberikan pada penerima pesan dengan harapan si penerima pesan menggunakan
informasi tersebut untuk mengubah sikap dan perilakunya. Menurut Notoatmodjo
(2007) agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak lain,
antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain,
diperlukan
keterlibatan
beberapa
unsur
komunikasi
yaitu
komunikator,
terbuka setiap
hal
yang
16
maka si anak juga belajar menyesuaikan diri (conform) dengan harapan orang
lain (Liliweri, 1997: 45).
Keluarga sebagai kelompok primer bersifat fundamental, karena di dalam
keluarga, individu diterima dalam pola-pola tertentu. Kelompok primer
merupakan persemaian di mana manusia memperoleh norma-norma, nilai-nilai
dan kepercayaan. Kelompok primer adalah badan yang melengkapi manusia
untuk kehidupan sosial (Daryanto, 1984 : 64). Selain itu, kelompok primer
bersifat fundamental karena membentuk titik pusat utama untuk memenuhi
kepuasan-kepuasan sosial, seperti mendapat kasih sayang atau afeksi, keamanan
dan kesejahteraan dan semuanya itu diwujudkan melalui komunikasi yang
dilakukan terus menerus dan membentuk sebuah pola.
Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (1986)
mengungkapkan empat pola komunikasi keluarga pada umumnya, yaitu:
2.3.4.1 Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern)
Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi
secara merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam
keluarga adalah sama. Tiap orang dianggap sederajat dan setara
kemampuannya, bebas mengemukakan ide, opini dan kepercayaan.
Komunikasi yang terjadi berjalan dengan jujur, terbuka, langsung dan
bebas dari pemisahan kekuasaan yang terjadi pada hubungan interpersonal
lainnya. Tiap anggota keluarga memiliki hak yang sama dalam
pengambilan keputusan. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai
ancaman. Perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu kurang dari
yang lain tetapi sebagai benturan yang tak terhindarkan dari ide-ide atau
perbedaan nilai dan persepsi yang merupakan bagian dari hubungan
jangka panjang.
2.3.4.2 Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern)
17
Dalam pola ini, persamaan hubungan tetap terjaga, namun dalam
pola ini tiap orang memegang kontrol atau kekuasaan dalam bidangnya
masing-masing. Tiap orang dianggap sebagai ahli dalam wilayah yang
berbeda. Sebagai contoh, dalam keluarga, biasa suami dipercaya untuk
bekerja atau mencari nafkah untuk keluarga dan istri mengurus anak dan
memasak. Dalam pola ini, bisa jadi semua anggotanya memiliki
pengetahuan yang sama mengenai agama, kesehatan, seni dan satu pihak
tidak dianggap lebih dari yang lain. Konflik yang terjadi tidak dianggap
sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri.
Sehingga sebelum konflik terjadi, sudah ditentukan siapa yang menang
atau kalah. Sebagai contoh, bila konflik terjadi dalam hal keuangan, suami
lah yang menang dan bila konflik terjadi dalam hal urusan anak, istri lah
yang memnag. Namun tidak ada pihak yang dirugikan oleh konflik
tersebut karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri-sendiri.
2.3.4.3 Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern)
Dalam pola ini satu orang mendominasi, satu orang dianggap
sebagai ahli lebih dari setengah wilayah komunikasi timbal balik. Satu
orang yang mendominasi ini sering memegang control. Dalam beberapa
kasus, orang yang mendominasi ini lebih cerdas atau berpengathuan lebih,
namun dalam kasus lain orang itu secara fisik lebih menarik atau
berpenghasilan
lebih
besar.
Pihak
yang
kurang
menarik
atau
18
2.3.4.4 Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern)
Satu orang dipandang sebagai kekuasaan. Orang ini kebih bersifat
memerintah
daripada
berkomunikasi,
member
wejangan
daripada
tidak
tahu
bagaimana
mengeluarkan
pendapat
atau
Pola komunikasi
19
dapat menunjukan peran dan kekuasaan keluarga yang dapat terlihat dalam proses
keluarga berkisar dari kegiatan rutin harian sehingga negosiasi, isu, dan konflik
yang rumit (Friedman, Bowden & Jones, 2003). Kekuatan keluarga penting dalam
membuat keputusan keluarga menghadapi dan mengatasi masalah perilaku
remaja. Kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi remaja dalam
mengambil suatu keputusan dibutuhkan suatu power keluarga, sehingga akan
didapatkan solusi terhadap suatu masalah dan mampu membatasi aktivitas remaja
yang tidak diinginkan berdasarkan aturan dalam keluarga dan masyarakat.
2.4.2
20
kemandirian remaja. Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan
otoritatif membuat suasana yang kondusif bagi remaja untuk bertingkah
laku yang mandiri. Orang tua juga memberikan informasi dan alasan
tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Gaya
pengasuhan otoritatif memiliki arti yang sama seperti pola pengasuhan
demokratis. Pola asuh demokratis memberlakukan peraturan-peraturan
yang dibuat bersama oleh anggota keluarga yang bersangkutan. Orang tua
selalu memperhatikan keinginan dan pendapat remaja, kemudian
mendiskusikannya untuk mengambil keputusan terakhir.
2.4.2.3 Gaya Permissive
Gaya pengasuhan orang tua yang memberikan kebebasansecara
penuh kepada anak untuk membuat keputusan tanpa pertimbangan orang
tua dan boleh berkelakuan menurut apa yang diinginkannya serta tanpa
adanya kontrol dari orang tua. Orang tua dengan gaya pengasuhan
permissive memberikan sedikit tuntutan dan menekankan sedikit disiplin
sehingga tidak efektif dilakukan untuk mendisiplinkan remaja. Bentuk
gaya dapat dinilai dari informasi hanya kecenderungannya karena gaya
pengasuhan orang tua tidak mutlak menggunakan satu bentuk gaya.
2.4.3
21
keputusan yang telah ditetapkan. Proses membuat keputusan dengan
konsesus disetujui melalui diskusi dan negosiasi.
2.4.3.2 Akomodasi
Pembuatan keputusan atas dasar kesepakatan semua anggota
keluarga yang terlibat tetapi keputusan dicapai tidak mencerminkan
pilihan asli dari tiap anggota, namun memiliki elemen yang dapat diterima
oleh mereka. Dalam mengambil keputusan terjadi tawar menawar satu
atau lebih anggota keluarga dalam membuat kesepakatan dengan yang
lain. Proses negosiasi terjadi pada anggota keluarga yang tidak sepakat
sehingga menghasilkan persetujuan yang tidak diinginkan oleh satu atau
lebih anggota keluarga, dimana komitmen dipastikan hanya oleh
kekuasaaan memaksa. Adanya ancaman hukuman menunjukan dominasi
dari seseorang terhadap orang lain (Friedman, Bowden & Jones, 2003).
2.4.3.3 De facto
Pembuatan keputusan de facto merupakan pembuatan keputusan
terjadi apabila sesuatu yang dibolehkan terjadi begitu saja tanpa
perencanaan. Proses pembuatan keputusan terjadi secara aktif, sukarela
dan efektif. Keputusan de facto dapat dibuat ketika terjadi argumentasi
yang tidak ada solusi atau jika permasalahan tidak diangkat dan di
diskusikan. Sehingga keputusan tersebut kemudian diberlakukan.
2.5
Perilaku Seksual
2.5.1
22
2.5.2
2.5.3
remaja.
Peningkatan
hormon
ini
menyebabkan
remaja
lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin
23
tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media
massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah
seksual secara lengkap dari orangtuanya.
e. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang
masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan
mereka tidak terbuka pada anak, sehingga cenderung membuat jarak dengan
anak dalam masalah ini.
f. Adanya kecenderungan hubungan yang makin bebas antara pria dan wanita
dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan
wanita, sehingga kedudukan wanita semakin sejajar
2.5.4
24
Menurut King, Downey, dan Camp (1991) bercumbu adalah kontak fisik
antara laki-laki dan perempuan yang mencoba menimbulkan stimulasi erotis
tanpa melakukan hubungan seksual. Berdasarkan definisi tersebut, perilaku
yang termasuk dalam bercumbu adalah berciuman biasa (dry kissing),
berciuman intim (deep/french kissing), menstimulasi payudara perempuan dan
menyentuh bagian kelamin.
Banyak peneliti saat ini yang mendefinisikan bercumbu sebagai kontak
seksual tidak berhubungan seks yang dilakukan dibawah pinggang, sedangkan
kontak fisik lainnya (diatas pinggang) dinamakan necking (King, Downey, dan
Camp 1991).
d. Masturbasi dan masturbasi bersama, masturbasi dikenal juga dengan istilah
onani atau manustrupasi, yakni melakukan rangsangan seksual, khususnya
pada alat kelamin, yang dilakukan sendiri dengan berbagai cara (selain
berhubungan seks) untuk tujuan mencapai orgasme. Istilah masturbasi berasal
dari bahasa latin yang artinya pencemaran diri (Dianawati, 2002 dalam
Ningtias, 2011).
Masturbasi bersama berarti mereka melakukan masturbasi terhadap satu
sama lain atau bermasturbasi sendiri dihadapan pasangannya, ini merupakan
salah satu ekspresi keintiman yang mendalam dan cara yang menyenangkan
untuk melepaskan ketegangan seksual (Miron & Miron, 2002 dalam Ningtias,
2011).
e. Berhubungan kelamin (sexsual intercourse), menurut Byer, Shainberg, dan
Galliano (1999) hubungan seksual adalah aktivitas memasukan alat kelamin
pria (penis) ke dalam alat kelamin wanita (vagina). Jika penis dimasukan ke
dalam vagina itu adalah hubungan seks vagina, jika dimasukan kedalam mulut
itu adalah hubungan seks oral, dan jika masuk ke dalam anus itu adalah
hubungan seks anal ( Miron & Miron, 2002). Dibawah ini diuraikan pengertian
dan risiko dari masing-masing hubungan seks baik melalui oral, anal maupun
vaginal.
25
1)
Oral seks
Oral seks adalah melakukan rangsangan dengan mulut pada organ
seks pasangan (Dianawati,2002). Jika yang melakukan oral seks itu lakilaki sebutannya adalah Cunnilingus (rangsangan oral pada klitoris dan
vulva), jika yang melakukan oral seks tersebut perempuan, sebutannya
adalah Fellatio (rangsangan oral pada alat kelamin laki-laki). Sementara
jika keduanya dilakukan secara bersamaan
disebut enam-sembilan (69), karena angka ini tampak seperti dua orang
yang sedang melakukan seks oral terhadap satu sama lain ( Miron &
Miron, 2002).
Menurut Deborah Roffnan, seorang pendidik seksualitas disekolah
Baltimore, beberapa siswi sekolah menengah menganggap oral seks
sebagai suatu tawar menawar. Mereka tetap perawan, mereka tidak
hamil dan mereka pikir tidak dapat tertular IMS. Kenyataannya, banyak
IMS yang ditularkan melalui fellatio dan cunnilingus, termasuk human
papiloma virus (HPV), herpes, hepatitis B,
Seks anal
Seks anal adalah hubungan seksual yang dilakukan dengan
memasukan penis kedalam anus atau anal (Dianawati, 2002). Aktivitas
seksual seperti ini tentu sangat berbahaya karena pelakunya dapat terpajan
infeksi yang disebabkan oleh transfer bakteri dari usus besar kedalam
vagina atau uretra. Selain itu dalam daerah anus (rectum) tidak
berpelumas, melakukan penetrasi pada bagian anus dapat merobek lapisan
dalam rectum. Seks anal juga membuat orang rentan terkena IMS
termasuk HIV dari pasangannya dan risiko terkena kanker anus ( Miron &
Miron, 2002).
26
3)
2.5.5
survey
Nasional
2003-2004
menunjukkan
24%
dari
27
b. Kehamilan remaja atau teenage pregnancy
Hasil penelitian di Selatan dan Tenggara Amerika Serikat melaporkan 4,3
juta kelahiran pada tahun 2006, sekitar 435.000 dari kelahiran adalah ibu usia
15- 19 tahun, atau meningkat 21.000 remaja memiliki bayi dari tahun 2005.
Sementara di Misisipi pada tahun 2006 melaporkan kehamilan remaja
meningkat 60% dari rata-rata nasional dan di New Mexico, dan Texas
kehamilan remaja meningkat 50% dari rata-rata nasional (Heather, 2009).
c. Abortus
Hasil penelitian di Amerika menunjukan angka abortus pada tahun 2006
sebanyak 19,3 % dari 1.000 remaja perempuan melakukan tindakan aborsi
karena kehamilan. Kondisi ini 1% lebih tinggi bila dibandingkan tahun 2005
(Institute, G, 2010).
d. Status perkawinan/kawin muda
Hasil penelitian di Mumbai tahun 2006-2007 menunjukan bahwa dari 142
remaja yang hamil, 134 (94%) pasien sudah menikah dan 8 (5,63%) pasien
belum menikah. Dari 134 yang sudah menikah 33% menikah dibawah usia 18
tahun. Pernikahan dini ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan
dan kehamilan pada remaja (Dubhashi and Wani, 2008).
e. Putus Sekolah
Jumlah remaja putus sekolah usai 13-18 tahun atau setara dengan usia
SMP dan SMU di kota Kediri di tahun 2006 telah mencapai 4.087 remaja
(Hapsari, 2009).
2.6
28
hubungan berpacaran yang merupakan proses sosialisasi hubungan heteroseksual dan
merupakan proses menyeleksi dan memilih pasangan hidup (Santrock, 2007).
Hubungan pacaran yang paling banyak terjadi pada masa remaja adalah hubungan
cinta romantis (romantic love), dimana dalam hubungan tersebut hasrat seksual sangat
kuat (Santrock, 2007).
Pengetahuan dan pengertian anak mengenai seksualitas sangat dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga dan budaya mikronya (microculture) (Duval & Miller, 1985) karena
orangtua dan teman sebaya adalah agen sosialisasi utama yang mempengaruhi perilaku
seksual remaja (Miller & Fox dalam Clawson & Weber, 2003).
Orangtua dalam mensosialisasikan pengetahuan dan pengertian mengenai
seksualitas kepada anaknya memiliki berbagai tipe pendekatan umum yang mereka
lakukan. Pendekatan umum ini menurut Davenport (1994) adalah apa yang dinamakan
dengan pola asuh. Menurut Baumrind, pola asuh dapat dibagi menjadi tiga, yaitu Otoriter,
Otoritatif dan Permessive, sedangkan Maccoby dan Martin menambahkan satu lagi
pendekatan yaitu Uninvolved. (Boyd & Bee, 2006).
Salah satu pendekatan umum orangtua kepada anaknya mengenai topok seksual
adalah dengan berdiskusi dan membahas topik-topik tersebut. Menurut Blake, Simkin,
Ledsky, Perkins, & Calabrese (dalam Strong, Devault, Sayad, & Yarber, 2005)
keterlibatan orangtua dalam diskusi mengenai seksualitas dengan anak-anak mereka
merupakan faktor utama dalam mencegah perilaku berisiko, termasuk hubungan seksual
dini (early sexual intercourse). Sedangkan pola asuh orangtua yang selalu mengkritik dan
menggunakan hukuman fisik akan mendorong remaja untuk melakukan perilaku berisiko,
yaitu menggunakan narkoba dan perilaku seks pranikah (Damayanti, 2007).
2.7
Kerangka Teori
Gambar 2.1 Teori A Sociological Approch to Understanding Human Sexuallity
oleh DeLamater, 1987.
29
POPULAR VALUE
Macro
SEXUAL IDEOLOGY/
ORIENTATION
SOCIAL
INSTITUTION
Asceticism
Procreational
Religion
Relational
Family
Recreational
Economi
Therapeutic
Medicine
INSTITUTIONAL
SOCIAL CONTROL
STRUCTURE
Scenarios
Centralitation of authority
Rewards/Punisment
Economic dependence
Evaluation Stigma
Interpersonal
SOCIALIZATION
OPPORTUNITIES
Parents
Atunomy
Peers
Partner
Individual
SEXUAL DESIRE
SEXUAL
SEXUAL SCRIPTS
PREFERENCE
30
dimana interaksi dengan orangtua, kelompok teman sebaya atau pasangan mempengaruhi
kita. Yang terakhir adalah tingkat individu, dimana masing-masing kita mempunyai
masing-masing tingkatan dorongan/hasrat seksual, orientasi seksual dan sebentuk sexual
scripts yang tersimpan di memori masing-masing.
Berdasarkan teori Lawrence Green, maka faktor-faktor predisposisi, pemungkin
dan penguat dapat digambarkan sebagai berikut:
Variabel Independen
Variabel Dependen
Faktor Predisposisi :
Karakteristik remaja (jenis
kelamin, umur dan usia pubertas)
Pengetahuan kesehatan reproduksi
remaja
Sikap terhadap perilaku seksual
remaja
Sikap terhadap keperawanan dan
keperjakaan pada remaja
Faktor Pemungkin :
Jumlah pasangan yang dimiliki
Lama pertemuan dengan pasangan
Faktor Penguat :
Komunikasi dengan orangtua
Komunikasi dengan teman sebaya
Pola asuh orangtua
Perilaku orangtua
Peran sekolah/guru
31
BAB 3
KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL
3.1
Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori menurut DeLameur dan Lawrence Green yang telah
diuraikan sebelumnya, maka untuk lebih memperjelas arah dan hubungan dari variabelvariabel dalam penelitian ini, peneliti membuat suatu kerangka konsep sebagai berikut:
Variabel Independen
Variabel Dependen
Faktor Predisposisi:
Perilaku
seksual
remaja SMK M Di
Jakarta
seksual
Faktor Penguat:
32
3.2
Definisi Operasional
Tabel 3.2 Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi Operasional
Skala
Hasil Ukur
Cara dan
alat ukur
Variabel Independen
1
Pola komunikasi
orangtua
Interaksi antara
responden dengan
orangtua tentang
masalah remaja yang
mengandung unsurunsur keterbukaan,
empati, dukungan,
kepositifan dan
kesamaan
Ordinal
Kuesioner
dan FGD
1. Pola
komunikasi
disfungsional
(nilai skor <
mean)
2. Pola
komunikasi
fungsional
(nilai skor
mean)
Kekuatan
keluarga
Proses
pengambilan
keputusan
anggota
keluarga dan
melaksana-kan
hasil
keputusan
Ordinal
Kuesioner
dan FGD
1. Kurang baik
(nilai skor <
mean)
2. Baik (nilai skor
mean)
Variabel Confounding
1
Jenis kelamin
Usia pubertas
Nominal
1. Laki-laki
2. Perempuan
1. Pubertas dini
2. Pubertas
normal
Kuesioner
dan FGD
Kuesioner
dan FGD
33
kali pada laki-laki
3
Pengetahuan
Ordinal
Kuesioner
dan FGD
1. Pengetahuan
rendah (nilai
skor < mean)
2. Pengetahuan
tinggi (nilai
skor mean)
Sikap
Ordinal
Kuesioner
dan FGD
1. Sikap negatif
(nilai skor <
mean)
2. Sikap positif
(nilai skor
mean)
Variabel Dependen
1
Perilaku seksual
remaja
Tindakan responden
untuk mendapat
kepuasan seksual
mulai dari berisiko
ringan (mengobrol,
nonton film, jalanjalan, berpelukan,
cium pipi) hingga
berisiko berat
(mencium bibir, lidah,
leher, meraba daerah
erogen, petting,
berhubungan seksual)
Ordinal
34
3.3 Hipotesis
3.3.1 Ada hubungan antara pola komunikasi orangtua dengan perilaku seksual berisiko
pada remaja kelas X SMK M, Jakarta.
3.3.2 Ada hubungan antara kekuatan keluarga dengan perilaku seksual berisiko pada
remaja kelas X SMK M, Jakarta.
3.3.3
Ada hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku seksual berisiko pada remaja
kelas X SMK M, Jakarta.
3.3.4
Ada hubungan antara usia pubertas dengan perilaku seksual berisiko pada remaja
kelas X SMK M, Jakarta.
3.3.5
Ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku seksual berisiko pada remaja
kelas X SMK M, Jakarta.
3.3.6
Ada hubungan antara sikap dengan perilaku seksual berisiko pada remaja kelas X
SMK M, Jakarta.
35
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Desain Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dan kuantitatif digunakan secara
bersama-sama. Pendekatan yang digunakan pada teknis analisis data kuantitatif adalah
crossectional yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu untuk melihat dan
menilai keadaan responden pada saat pengamatan.
Teknis analisis data kualitatif dilakukan dengan menggunakan desain penelitian
Rapid Assessment Procedures (RAP). Rapid Assesment Procedures (RAP) adalah
cara penilaian cepat yang dikenalkan oleh Schrimshaw SCM & Hurtado (1992) untuk
memperoleh informasi yang mendalam tentang hal apa saja yang melatar belakangi
perilaku kesehatan masyarakat termasuk faktor sosial budaya dalam waktu yang relatif
singkat. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada RAP adalah wawancara
mendalam (Indepth Interview) yang dilakukan pada orangtua siswa dan guru kesiswaan
SMK Malahayati serta Focus Group Discusion (FGD) yang dilakukan pada sekelompok
siswa. Melalui metode penelitian kualitatif diharapkan penelitian ini dapat menggali
informasi secara mendalam mengenai pendapat serta gambaran perilaku seksual remaja
di SMK M Jakarta tahun 2013.
4.2
36
4.3
4.4
Informan Penelitian
Moleong (2004) mengatakan bahwa sampling dalam penelitian kualitatif
bertujuan untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari sumber, merinci kekhususan
yang ada dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan teori yang
akan muncul. Sampel penelitian dipilih dengan mengikuti asas kecukupan yaitu data yang
diperoleh dari informan diharapkan dapat menggambarkan fenomena yang berkaitan
dengan topik penelitian. Sedangkan asas kesesuaian berarti informan dipilih berdasarkan
keterkaitan dengan topik penelitian. Penentuan sumber data atau informan dilakukan
secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Karena itu orang
yang dijadikan sampel atau informan sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut:
4.4.1 Informan bersedia untuk diwawancarai
4.4.2 Informan merupakan siswa kelas X SMK M, Jakarta
4.4.3 Informan siswa masih tinggal bersama orangtua
4.4.4 Informan merupakan orangtua dari siswa SMK M, Jakarta
4.4.5 Informan merupakan guru kesiswaan yang membimbing di SMK M, Jakarta
37
4.5
Etika Penelitian
Peneliti dalam melakukan penelitian sebaiknya melindungi responden dengan
memperhatikan aspek etika dan berpegang teguh pada prinsip- prinsip penelitian (Polit &
Beck, 2004). Prinsip etika yang diterapkan dalam penelitian ini adalah: Self
determination, anonymity and confidentiality, privacy, protection from discomfort and
harm.
4.5.1 Self determination
Memeberikan kebebasan responden menentukan berpartisipasi pada
penelitian atau tidak, tanpa paksaan dan sewaktu-waktu ia boleh mengundurkan
diri tanpa sanksi apapun. Pada penelitian ini responden diberikan haknya secara
bebas kesediaan sebagai responden atau tidak. Untuk mencegah terjadinya
penolakan responden pada penelitian ini sebelum diberikan kuesioner maka
peneliti terlebih dahulu melakukan pendekatan atau membina hubungan saling
percaya dengan responden serta menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian
sehingga diharapkan klien bersedia sebagai responden.
4.5.2 Anonymity and confidentiality
Penelitian ini menjaga kerahasiaan atas informasi-informasi data yang
dikumpulkan dari kuesioner yang dibagikan kepada responden sebagai
impelementasi prinsip anonymity. Peneliti tidak mencantumkan nama lengkap
responden namun hanya mencantumkan inisial dan confidentiality diartikan
bahwa peneliti tidak mempublikasikan keterikatan informasi yang diberikan
dengan identitas responden, sehingga dalam analisis dan penyajian data hanya
menggambarkan karakteristik responden.
4.5.3 Privacy
Peneliti menjamin privacy responden dan menjunjung tinggi harga diri
responden serta mengedepankan rasa hormat. Peneliti dalam berkomunikasi
dengan responden hanya menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian,
tidak menanyakan yang berkaitan privacy responden melalui persetujuan
responden. Pada penelitian ini, peneliti menanyakan, hal yang berhubungan
Gambaran Kontrol Sosial, Farah Octavia, FKM UI, 2013
38
dengan pola komunikasi, kekuatan keluarga dan resiko perilaku seksual dengan
menjaga kerahasiaan isi kuesioner, oleh karena itu pengisian kuesioner dilakukan
di luar atau tanpa pengawasan orang tua.
4.5.4 Protection from discomfort and harm
Penelitian dilakukan dengan tidak menimbulkan penderitaan baik fisik
maupun psikis bagi responden. Pada penelitian ini, peneliti memberikan
kesempatan bagi responden untuk menyampaikan ketidaknyamanan jika merasa
tidak dapat melanjutkan pengisian kuesioner.
4.5.5
Informed consent
Responden mendapat informasi yang adekuat terkait penelitian yang akan
dilakukan sehingga mampu memahami informasi, mempunyai kebebasan
memilih, memberikan persetujuan secara sukarela dan berpartisipasi dalam
penelitian atau menolak berpartisipasi dalam penelitian.
peneliti
menjelaskan
untuk bertanya dan memahami unsur yang akan diteliti. Responden menyetujui
untuk berpartisipasi maka responden menandatangani lembar persetujuan.
4.6
Wawancara
Untuk
mendapatkan
informasi
selengkap
mungkin
mengenai
39
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
terbuka. Peneliti bertanya langsung kepada informan yang dipilih, yaitu pihakpihak yang berkompeten yang dianggap mampu memberikan gambaran dan
informasi yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam
penelitian ini (Sugiyono, 2009:140). Dalam hal ini peneliti mewawancari siswa
SMK MH, Jakarta Timur, orangtua siswa dan guru bidang kesiswaan tentang
karakteristik remaja, pengetahuan, sikap, nilai keperjakaan dan keperawanan,
pola komunikasi orangtua, kekuatan keluarga dan perilaku seksual.
Pedoman
Kuesioner
Kuesioner merupakan seperangkat pertanyaan tertulis yang diberikan
kepada responden (Sugiyono, 2009:142). Melalui kuesioner dapat diperoleh data
mengenai karakteristik remaja, pengetahuan, sikap, nilai
,keperjakaan
dan
4.7
Instrumen Penelitian
Untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel berkaitan dengan karakteristik
remaja, pengetahuan, sikap, nilai keperjakaan dan keperawanan, pola komunikasi
orangtua, kekuatan keluarga dan perilaku seksual, dalam penelitian ini dipergunakan
beberapa instrumen penelitian seperti pedoman wawancara sebagai panduan wawancara,
dan kuesioner sebagai instrumen pendukung. Sebagai untuk merekam hasil wawancara
dan gambar-gambar yang ada di lapangan dipergunakan alat perekam, kamera dan buku
catatan lapangan.
40
4.8
Pengolahan Data
Setelah data dikumpulkan langkah selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan
tahapan sebagai berikut:
1. Editing data (memeriksa data)
Tahap ini merupakan penyuntingan data yang terkumpul dengan cara
memeriksa kelengkapan dan kesalahan pengertian kuesioner. Editing data
dilakukan oleh peneliti, bila terdapat ketidak lengkapan atau kesalahan
pengisian data maka kuesioner dikembalikan kepada responden untuk
dilengkapi.
2. Coding data (mengkode data)
Pada tahap ini memberikan kode pada setiap data yang telah dikumpulkan
untuk memudahkan pengolahan data.
3. Scoring data (pemberian skor atau nilai)
Dalam pemberian skor digunakan skala Gutman dan skala Likert yang
merupakan cara untuk menentukan skor. Kriteria penilaian ini digolongkan
sebagai berikut:
a. Skala Gutman
Kuesioner dengan jawaban Benar atau Salah, maka panduan
penentuan penilaian dan skoringnya adalah sebagai berikut:
Jumlah pilihan : 2
Jumlah pertanyaan : 10
41
b. Skala Likert
1) Pilihan jawaban pertanyaan kuesioner lebih dari 2 dan minimal
3, contohnya Sangat Setuju, Setuju, Kurang Setuju, Tidak
Setuju dan Sangat Tidak Setuju. Adapun panduan penentuan
penilaian dan skoringnya adalah sebagai berikut:
Jumlah pilihan : 5
Jumlah pertanyaan : 10
42
6. Tabulasi
Tabulasi adalah pembuatan tabel-tabel yang berisi data yang telah diberi
kode sesuai dengan analisis yang dibutuhkan. Dalam melakukan tabulasi
diperlukan ketelitian agar tidak terjadi kesalahan. Tabel hasil tabulasi dapat
berbentuk:
a.
b.
c.
Tabel analisis, tabel yang memuat suatu jenis informasi yang telah
dianalisa (Hasan, 2006: 20).
4.9
Analisis Data
Analisis Data menurut Hasan ( 2006: 29) adalah memperkirakan atau dengan
menentukan besarnya pengaruh secara kuantitatif dari suatu (beberapa) kejadian
terhadap
suatu
(beberapa)
kejadian
lainnya,
serta
memperkirakan/meramalkan
kejadian lainnya. Kejadian dapat dinyatakan sebagai perubahan nilai variabel. Proses
analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh baik melalui hasil
kuesioner dan bantuan wawancara.
1.
Analisis Univariat
Untuk mendapat gambaran distribusi frekuensi masing-masing
variabel
independen
(pola
komunikasi
orangtua
dan
kekuatan
43
2.
Analisis Bivariat
Untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen apakah bermakna atau tidak, uji statistik yang akan
dipakai yaitu Chi Square dengan batas kepercayaan () 0,05 dengan
estimasi confidencial interval (CI) dengan tingkat kepercayaan 95%, bila
p< maka ada hubungan yang bermakna secara signifikan antara
variabel independen dengan variabel dependen.
Analisis data kualitatif dilakukan secara manual dengan menggunakan
Sorting data, yaitu informasi atau data yang diperoleh berupa kata-kata
dibuat menjadi sistematis.
2.
3.
4.10
44
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1
5.1.2
45
salah satu dari siswa dan siswi SMK M yang ikut serta dalam proses FGD.
Kriteria sebagai informan orangtua yaitu bersedia untuk di wawancarai,
merupakan orangtua dari siswa dengan pola komunikasi dan kekuatan keluarga
fungsional dan disfungsional
5.2
Analisis Univariat
5.2.1
Karakteristik Responden
Tabel dibawah ini menyajikan karakteristik responden sesuai dengan
variabel yang diteliti.
Tabel 5.1
Distribusi Umur Remaja Kelas X SMK M Tahun 2013
Variabel
Mean
SD
Umur
15,63
0,65
Minimal-
95% CI
Maksimal
15-18
15,51-15,75
15,75 tahun.
Tabel 5.2
Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin pada Remaja
Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Jenis Kelamin
Jumlah
Persentase
Laki-laki
96
89%
Perempuan
12
11%
Total
108
100%
46
Distribusi responden kurang merata untuk masing-masing jenis kelamin.
Paling banyak jumlah responden laki-laki yaitu 96 orang (89%), sedangkan untuk
responden perempuan sebanyak 12 orang (11%).
Tabel 5.3
Distribusi Responden Menurut Usia Mimpi Basah Pertama (Laki-Laki)
pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Usia Pubertas
Jumlah
Persentase
39
40,6%
Sebelum 14 Tahun
57
59,4%
Total
96
100%
Distribusi responden menurut usia pada saat mimpi basah pertama (usia
pubertas) merata untuk masing-masing tingkatan umur. Paling banyak, responden
yang mengalami mimpi basah pertama sebelum umur 14 tahun yaitu 57 orang
(59,4%), sedangkan untuk responden yang mengalami mimpi basah pertama saat
umur 14 tahun atau lebih sebanyak 39 orang (40,6%)
Tabel 5.4
Distribusi Responden Menurut Usia Menstruasi Pertama (Perempuan)
pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Usia Pubertas
Jumlah
Persentase
58,3%
Sebelum 12 Tahun
41,7%
Total
12
100%
47
5.2.2
Jumlah
Persentase
Rendah
5,6%
Tinggi
102
94,4%
Total
108
100%
48
Bisa hamil, kena HIV AIDS, katanya sih bikin ketagihan, dosa, kalo ketauan bisa
dimarahin orangtua sama dikeluarin dari sekolah
5.2.3
Jumlah
Persentase
Negatif
30
27,8%
Positif
78
72,2%
Total
108
100%
49
Setuju.. apalagi kalo kita abis ML jadi tambah sayang banget sama pacar kak
Sedangkan
kesimpulan
yang
didapatkan
pada
kelompok
siswa
perempuan seluruh siswa bersikap negatif dengan tidak setuju untuk melakukan
perilaku seksual berisiko berat.
Kalo aku pegangan tangan sama usap-usap rambut ya gapapa lah tp kalo lebih dari
itu ya gak lah
50
5.2.4
Jumlah
Persentase
Disfungsional
37
34,3%
Fungsional
71
65,7%
Total
108
100%
51
dengan anak namun tidak dapat menerima keinginan atau pendapat anak. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban salah satu informan seperti berikut
Iya kalo ada waktu kita sering sharing sekeluarga.. ya kadang kita paham lah apa
maunya anak namanya juga masih remaja.. banyak maunya.. tapi ya kalo kemauannya
bersifat negatif biasanya kami larang.. kami kasih solusi yang lain
5.2.5
Kekuatan Keluarga
Tabel 5.8
Distribusi Responden Menurut Tingkat Kekuatan Keluarga
pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Tingkat Kekuatan
Jumlah
Persentase
Kurang Baik
27
25%
Baik
81
75%
Total
108
100%
Keluarga
52
keputusan dan ketersedian untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh
orangtua. Hal tersebut sesuai dengan jawaban informan seperti berikut
Iya gak boleh, harus minta izin dulu kalo mau ngapa-ngapain
Iya harus setuju kak.. kalo gak setuju ya bakal diomelin nanti
buat
pacaran karena masih sekolah.. anak-anak gak dibolehin pulang malem sama
orangtuanya.. ya wajarlah yah itu..
53
5.2.6
Perilaku Seksual
Tabel 5.9
Distribusi Responden Menurut Risiko Perilaku Seksual
pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Perilaku Seksual
Jumlah
Persentase
Berisiko Berat
52
48,1%
Berisiko Ringan
56
51,9%
Total
108
100%
54
Ya ngobrol aja.. pacarannya disekolahan doang
guru
55
5.3
Analisis Bivariat
5.3.1
Berat
Kelamin
Ringan
Total
OR
P
value
(95% CI)
Laki-Laki
50
52,1
46
48
96
100
5,4
Perempuan
17
10
83
12
100
1,1 26,1
Total
52
48,1
60
51,9
108
100
0,045
Interpretasi :
Tabel di atas merupakan hasil analisis hubungan jenis kelamin dengan
perilaku seksual yang menunjukkan ada sebanyak 50 orang (52,1%)
responden laki-laki dengan risiko perilaku seksual yang berat, sedangkan
diantara responden perempuan ada 2 orang (17%) yang berisiko berat.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,045 maka dapat disimpulkan ada
perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara responden laki-laki dan
perempuan. Nilai Odds Rasio yaitu 5,4 artinya responden laki-laki mempunyai
peluang 5 kali memiliki risiko perilaku seksual yang berat dibandingkan dengan
responden perempuan.
56
5.3.2
Perilaku
Mean
SD
SE
Berisiko Berat
15,75
0,71
0,1
Berisiko Ringan
15,52
0,57
0,08
Seksual
P value
0,063
N
52
56
Interpretasi :
Rata-rata umur kelompok remaja dengan risiko perilaku seksual yang
berat adalah 15,75 tahun dengan standar deviasi 0,71 tahun, sedangkan pada
kelompok remaja dengan risiko perilaku seksual yang ringan rata-rata umurnya
adalah 15,52 tahun dengan standar deviasi 0,57 tahun. Hasil uji statistik
didapatkan nilai p=0,063, berarti pada alpha 5% terlihat tidak ada perbedaan
yang signifikan pada umur antara remaja dengan risiko perilaku seksual berat
dan remaja dengan risiko perilaku ringan.
57
5.3.3
Usia
Pubertas (Laki-
Berat
Ringan
OR
Total
P
value
Laki)
(95% CI)
18
46,2
21
53,8
39
100
0,67
Sebelum 14 Tahun
32
56,1
25
43,9
57
100
0,3 1,5
Total
50
52,1
46
47,9
96
100
0,451
Interpretasi :
Tabel di atas merupakan hasil analisis hubungan usia pubertas (laki-laki)
dengan perilaku seksual yang menunjukkan ada sebanyak 18 orang (46,2%)
responden laki-laki mengalami pubertas pada usia 14 tahun atau lebih dengan
risiko perilaku seksual yang berat, sedangkan diantara responden laki-laki yang
mengalami pubertas sebelum 14 tahun, ada 32 orang (56,1%) yang berisiko berat.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,451 maka dapat disimpulkan pada alpha 5%
tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara responden yang
mengalami pubertas pada usia 14 tahun atau lebih dengan responden yang
mengalami pubertas sebelum 14 tahun.
58
5.3.4
Risiko Perilaku
(Perempuan)
Seksual
Berat
OR
value
Total
(95% CI)
Ringan
14,3
85,7
100
Sebelum 12 Tahun
20,0
80
16,7
10
83,3
12
100
Total
0,7
0,79
Interpretasi :
Tabel di atas merupakan hasil analisis hubungan usia pubertas
(perempuan) dengan perilaku seksual yang menunjukkan ada sebanyak 1 orang
(14,3%) responden perempuan mengalami pubertas pada usia 12 tahun atau lebih
dengan risiko perilaku seksual yang berat, sedangkan diantara responden
perempuan yang mengalami pubertas sebelum 12 tahun, ada 1 orang (20%) yang
berisiko berat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,79 maka dapat disimpulkan
pada alpha 5% tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara
responden yang mengalami pubertas pada usia 12 tahun atau lebih dengan
responden yang mengalami pubertas sebelum 12 tahun.
59
5.3.5
Seksual
Tabel 5.14
Distribusi Responden Menurut Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi
dengan Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Pengetahuan
tentang
Berat
Total
Ringan
OR
(95% CI)
value
Kespro
Rendah
83,3
85,7
100
5,9
Tinggi
47
46,1
55
80
102
100
0,6 51,9
Total
52
48,1
56
51,9
108
100
0,18
Interpretasi :
Tabel di atas merupakan hasil analisis hubungan pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual yang menunjukkan ada sebanyak
5 orang (83,3%) responden dengan pengetahuan rendah memiliki risiko perilaku
seksual yang berat, sedangkan diantara responden dengan tingkat pengetahuan
tinggi ada 47 orang (46,1%) yang berisiko berat. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,18 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi risiko
perilaku seksual antara responden dengan tingkat pengetahuan tinggi ataupun
rendah.
Berdasarkan hasil kesimpulan dari diskusi dengan kedua kelompok FGD
yang diambil menurut jawaban seluruh informan memiliki tingkat pengetahuan
kesehatan reproduksi yang tinggi namun tiga informan laki-laki diantaranya
memiliki perilaku seksual berisiko berat. Hal ini terlihat dari jawaban informan
seperti berikut
Iyaa perilaku yang udah megang-megang gitu deh.. mesum.. cipokan, grepegrepean trus jadi berhubungan seksual deh
60
Kalo positif ya malu gitu kalo ngeliat orang yang dia suka, salting gitu deh. Kalo negatif,
bawaannya pengen ngelobi aja, udah kena lobiannya ajak tidur terus tinggalin deh
5.3.6
dengan Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Risiko Perilaku Seksual
Berat
Sikap
Ringan
Total
OR
(95% CI)
value
Negatif
23
76,7
23,3
30
100
5,6
Positif
29
37,2
49
62,8
78
100
2,1 14,6
Total
52
48,1
56
51,9
108
100
0,001
Interpretasi :
Tabel di atas merupakan hasil analisis hubungan sikap terhadap perilaku
seksual dengan perilaku seksual yang menunjukkan ada sebanyak 23 orang
(76,7%) responden dengan sikap negatif memiliki risiko perilaku seksual yang
berat, sedangkan diantara responden dengan sikap positif ada 2 orang (17%) yang
berisiko berat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,001 maka dapat disimpulkan
ada perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara responden dengan sikap
negatif ataupun positif. Nilai Odds Rasio yaitu 5,6, artinya responden dengan
sikap negatif mempunyai peluang 6 kali memiliki risiko perilaku seksual yang
berat dibandingkan dengan responden dengan sikap positif.
Hasil yang didapatkan dari kedua kelompok FGD menyatakan bahwa
terdapat lima informan laki-laki yang bersikap permisif terhadap perilaku seksual
berisiko berat namun hanya tiga informan yang melakukan perilaku seksual
berisiko berat dan seluruh informan perempuan bersikap negatif terhadap perilaku
seksual berisiko berat.
61
5.3.7 Hubungan Pola Komunikasi Orangtua dengan Perilaku Seksual
Tabel 5.16
Distribusi Responden Menurut Pola Komunikasi Orang Tua
dengan Perilaku Seksual pada Remaja Kelas X SMK M Jakarta Tahun 2013
Risiko Perilaku Seksual
Pola
Komunikasi
Berat
Ringan
Total
OR
(95% CI)
value
Disfungsional
32
86,5
13,5
37
100
16,3
Fungsional
20
28,2
51
71,8
71
100
5,6 47,8
52
48,1
56
51,9
108
100
Total
0,0001
Interpretasi :
Tabel di atas merupakan hasil analisis hubungan pola komunikasi orang
tua dengan perilaku seksual yang menunjukkan ada sebanyak 32 orang (86,5%)
responden dengan pola komunikasi disfungsional memiliki risiko perilaku seksual
yang berat, sedangkan diantara responden dengan pola komunikasi fungsional ada
20 orang (28,2) yang berisiko berat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,0001
maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi risiko perilaku seksual antara
responden dengan pola komunikasi disfungsional ataupun fungsional. Nilai Odds
Rasio yaitu 16,3, artinya responden dengan pola komunikasi disfungsional
mempunyai peluang 16 kali memiliki risiko perilaku seksual yang berat
dibandingkan dengan responden dengan pola komunikasi fungsional.
Hasil yang dapat disimpulkan dari diskusi dengan kedua kelompok FGD
mengenai pola komunikasi terhadap perilaku seksual berisiko menyatakan bahwa
seluruh informan laki-laki tidak pernah berdiskusi mengenai kesehatan reproduksi
remaja dengan orangtua dan tiga diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko
berat. Sedangkan seluruh informan perempuan memiliki pola komunikasi
fungsional dan tidak memiliki perilaku seksual berisiko berat.
62
Kesimpulan yang didapatkan dari informan orangtua menyatakan bahwa
pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi yang dimiliki oleh orangtua dan
masih merupakan hal yang tabu untuk mendiskusikan masalah tersebut menjadi
penguat analisa pola komunikasi disfungsional terhadap responden dengan
perilaku seksual berisiko berat. Hal tersebut dapat dilihat dari jawaban informan
sebagai berikut
Hmmm mungkin karena masalah ini tabu ya buat dibicarain sama orangtua. Ya kita
jadi orangtua juga bingung mau menjelaskannya.. pengetahuan tentang masalah ini
kan juga gak banyak.. ya makanya semoga anak-anak ini bisa diajarin di sekolah.. kalo
sama guru kan mereka gak canggung
5.3.8
Berat
Ringan
Total
OR
(95% CI)
value
Kurang Baik
17
63
10
37
27
100
2,2
Baik
35
43,2
46
56,8
81
100
0,9 5,5
52
48,1
56
51,9
108
100
Total
0,12
Interpretasi :
Tabel di atas merupakan hasil analisis hubungan kekuatan keluarga
dengan perilaku seksual yang menunjukkan ada sebanyak 17 orang (63%)
responden dengan kekuatan keluarga yang kurang baik memiliki risiko perilaku
seksual yang berat, sedangkan diantara responden dengan kekuatan keluarga yang
baik ada 35 orang (43,2%) yang berisiko berat. Hasil uji statistik diperoleh nilai
63
p=0,12 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku
seksual antara responden dengan kekuatan keluarga yang baik ataupun kurang
baik.
Berdasarkan hasil diskusi dengan kedua kelompok FGD, dapat
disimpulkan bahwa terdapat empat informan laki-laki dengan kekuatan keluarga
yang baik namun tiga diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko berat. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban mengenai ketidak tersedianya peraturan mengenai
jam malam untuk anak seperti hasil jawaban berikut ini
Kalo lagi main sendiri apa lagi main sama temen sih gak pernah dicariin.. palingan kalo
lagi pergi sama pacar aja diingetin biar ga pulang malem-malem banget
64
BAB 6
PEMBAHASAN PENELITIAN
Kegiatan yang dilakukan dalam bab pembahasan adalah membandingkan antara hasil
penelitian dengan konsep teoritis dan hasil penelitian sebelumnya. Pada
Keterbatasan Penelitian
Penelitian adalah penelitian mengenai hubungan komunikasi dan kekuatan
keluarga dengan perilaku seksual yang berkaitan dengan norma dan nilai di
masyarakat sehingga memungkinkan responden tidak menjawab dengan jujur setiap
pertanyaan dalam kuesioner maupun wawancara.
Penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan-keterbatasan yang terjadi.
Penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang (cross sectional), dimana hasil
pengukuran terhadap variabel independen, variabel perancu dengan variabel dependen
hanya sebatas hubungan asosiatif.
Terdapat banyak faktor lain yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja
dan dapat dijadikan variabel bebas dalam penelitian ini, namun karena keterbatasan
yang dimiliki yaitu ruang lingkup variabel, waktu, sumber daya, dana, metode
pengambilan, pengolahan dan analisis data maka peneliti hanya meneliti beberapa
variabel saja, diantaranya karakteristik responden yang dijadikan sebagai informasi
tambahan (jenis kelamin, umur, dan usia pubertas), pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi, sikap terhadap perilaku seksual, nilai kesucian, pola komunikasi orangtua
dan kekuatan keluarga yang dijadikan variabel tidak terikat (independent), serta
perilaku seksual sebagai variabel terikat (dependent).
6.2
Variabel Dependen
65
6.2.1.1 Perilaku Seksual Berisiko Pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Perilaku seks sebelum menikah pada remaja terjadi sebagai akibat
keinginan yang muncul dari setiap remaja yang belum masanya. ketika memasuki
usia remaja terjadi perubahan fisik, emosional maupun seksual. hormon seksual di
dalam tubuh mulai berfungsi. perubahan hormon tersebut ditandai dengan
kematangan seksual, sehingga dorongan seksual yang timbul semakin meluap.
baik remaja putra maupun putri akan merasakan adanya suatu dorongan seksual
tersebut.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukarni (2011) menunjukan bahwa
dari 112 responden, perilaku yang dilakukan waktu berpacaran yaitu cium bibir
(48%), cium mulut (46%), mencium leher (40%), meraba bagian erogen (34%),
dan hubungan seksual (22%). Seperti penelitian yang dilakukan pada remaja di
SMA Patriot Bekasi tahun 2008 diperoleh bahwa 14% remaja telah melakukan
hubungan seksual. Penelitian yang serupa pada siswa SMU di Purwokerto tahun
2009, memperoleh hasil bahwa 5% laki-laki dan 1,5% perempuan telah
melakukan hubungan seksual.
Hasil analisis univariat menunjukan sebanyak 52 responden (48%) siswa
dari 108 responden kelas X SMK M di Jakarta, berperilaku seksual berisiko berat
dan sisanya sebanyak 56 responden (52%) berperilaku seksual berisiko ringan.
Dari hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa setengah dari jumlah responden
kelas X tersebut berperilaku seksual berisiko berat. Sesuai dengan definisi
operasional bahwa siswa yang termasuk dalam risiko berat yaitu siswa yang telah
melakukan cium bibir, lidah dan leher, meraba daerah erogen (sensitif) dan
berhubungan seksual.
Hasil analisis ini diperkuat dengan adanya kesimpulan dari kelompok
diskusi yakni tiga informan laki-laki yang sudah pernah melakukan hubungan
seksual pranikah.
Pernah. Tahun lalu.. waktu itu dirumah saya kak lagi pada kerja.. sama pacar yang
nomor dua
66
Ya pernah lah.. waktu kelas 3 SMP dirumah temen.. sama cewek gituan deh tapi bukan
sama pacar saya
Variabel Independent
6.2.2.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja
67
dan Patton (2007) menyatakan bahwa peningkatan hormon androgen remaja yang
memasuki masa pubertas akan meningkatkan pertumbuhan seks sekunder,
sehingga hal ini mengakibatkan anak yang mengalami masa pubertas mudah
terangsang oleh perempuan (Astuti, 2007). Remaja perempuan dalam masa
pubertasnya secara emosional mudah tertarik dengan lawan jenis dan mulai
menunjukkan perilaku seperti sering bercermin dan berdandan serta mencari
perhatian dari orang lain. Hal ini akan mengakibatkan remaja perempuan
berpeluang terhadap perilaku seksual berisiko di kehidupannya. Selain itu,
menurut Gunarsa (2004) dalam hubungan dengan lawan jenis laki-laki lebih
agresif sedangkan perempuan lebih pasif.
6.2.2.2 Hubungan Umur dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja Kelas X
SMK M di Jakarta
Penelitian telah menunjukan bahwa perilaku, sikap dan nilai-nilai pada
remaja awal berbeda dengan masa remaja akhir. Dengan demikian, secara umum
masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu remaja awal dan remaja akhir.
Garis pemisah antara awal dan akhir ini terletak kira-kira pada usia 17 tahun, usia
dimana remaja berada pada sekolah menengah tingkat atas.
Banyak penelitian yang menunjukan bahwa di masa sekarang terjadi
penurunan usia kematangan seksual yang berdampak pada meningkatnya aktivitas
seksual pada usia muda. Hal ini dibuktikan pada sebuah penelitian yang
menunjukan pada tahun 1971, rata-rata usia pertama sexual intercourse adalah
usia 16,4 tahun dan secara signifikan keadaan tersebut telah berubah dengan
ditemukannya penelitian yang mendapatkan hasil bahwa sepertiga remaja telah
melakukan hubungan seksual pertama kali sebelum usia 15 tahun.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa proporsi remaja yang berumur 15
tahun lebih besar dibandingkan dengan remaja yang berumur 15 tahun keatas,
dari kesimpulan ditemukan bahwa 95% diyakini rata-rata usia responden adalah
diantara 15,51 sampai dengan 15,75 tahun.
68
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui rata-rata
siswa yang memiliki perilaku berisiko berat berumur 15,75 dengan jumlah 52
siswa dan yang memiliki perilaku berisiko ringan berumur 15, 52 dengan jumlah
56 siswa. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,063, berarti pada alpha 5%
terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan pada umur antara remaja dengan
risiko perilaku seksual berat dan remaja dengan risiko perilaku ringan. Hal ini
dimungkinkan karena selisih umur yang tidak jauh berbeda pada responden satu
dengan lainnya dan mereka tinggal dalam lingkungan yang sama.
Hasil yang sama juga ditunjukan pada peneliti yang dilakukan oleh
Hudayanti (2013) mengenai perilaku seksual remaja di Blitar. Dengan demikian,
risiko perilaku seksual pranikah merupakan hal yang harus diperhatikan, karena
dalam masa remaja terjadi perkembangan seksualitas sehingga para remaja
umumnya memiliki dorongan seksual yang besar dimana dapat berpotensi
mendorong remaja tersebut melakukan hubungan seksual sebelum waktunya.
6.2.2.3 Hubungan Usia Pubertas dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja
Kelas X SMK M di Jakarta
Dewasa ini pubertas tidak dapat dijadikan patokan pengkategorian remaja
sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada usia 15-18 tahun sekarang menjadi
sebelum usia 11 tahun. Menurunnya usia kematangan ini disebabkan oleh
membaiknya status gizi sejak masa anak-anak dan keterpaparan remaja pada
media informasi baik media elektronik maupun cetak.
Pada analisa bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara usia pubertas dengan perilaku seksual berisiko. Hal ini dapat
dilihat dari responden laki-laki yang mengalami pubertas pada usia 14 tahun atau
lebih ada sebanyak 46% dengan perilaku seksual berisiko berat sedangkan pada
responden laki-laki yang mengalami pubertas sebelum usia 14 tahun ada 56%
yang berperilaku seksual berisiko berat dengan nilai p=0,451. Sedangkan untuk
responden perempuan yang mengalami pubertas pada usia 12 tahun atau lebih
dengan perilaku seksual berisiko berat berjumlah 14% dan yang mengalami
69
pubertas sebelum usia 12 tahun sebanyak 20% berperilaku seksual berisiko berat
dengan nilai p=0,79. Maka dapat disimpulkan antara responden dengan usia
pubertas dini dengan usia pubertas normal tidak ada perbedaan proporsi risiko
perilaku. Hal ini berarti umur tidak mempengaruhi perilaku seksual, artinya semua
remaja berisiko untuk melakukan perilaku seksual berisiko.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sukarni (2011) dan
penelitian Ika Puspita Sari (2013). Tetapi penelitian yang dilakukan Nursal (2007)
menunjukan ada hubungan antara usia pubertas dengan perilaku seksual berisiko.
penelitian yang dilakukan Nursal sejalan dengan hasil analisa WHO (2004) bahwa
pubertas dini merupakan fakto risiko perilaku seksual.
6.2.2.4 Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Seksual
Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Berdasarkan
penelitian
didapatkan
distribusi
tingkat
pengetahuan
70
Berdasarkan data tersebut memperlihatkan bahwa tidak menjamin
seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik akan berperilaku sejalan dengan
apa yang ia ketahui. Hal ini bisa saja tingkatan pengetahuan yang mereka miliki
belum mencapai tahap aplikasi merupakan urutan ketiga. Aplikasi yang dimaksud
ialah, menerapkan apa yang diketahui seseorang dalam praktek kehidupannya
sehari-hari, sehingga tidak menutup kemungkinan tingkat pengetahuan yang
dimiliki siswa dan siswi kelas X SMK M baru sekedar tahu ataupun memahami.
Hal ini sesuai dengan kesimpulan yang didapat dari hasil diskusi dengan
dua kelompok FGD, hasil menunjukan bahwa seluruh informan memiliki
pengetahuan kesehatan reproduksi yang tinggi namun tiga informan laki-laki
diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko berat.
Sedangkan rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi
dan seksualitas karena remaja kurang memiliki akses terhadap informasi
seksualitas dan kesehatan reproduksi. Aras, dkk (2007) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa banyak remaja yang tidak tahu bagaimana cara mencari
informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi, baik disekolah maupun di
rumah.
Peluang mendiskusikan masalah kesehatan reproduksi sangat terbatas.
adanya anggapan bahwa membicarakan kesehatan seksual adalah hal yang tabu di
masyarakat, membuat remaja mencari sendiri informasi yang dibutuhkan (Andisti,
2008). Menurut Sarwono (1997) pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih
berbahaya dibandingkan tidak tahu sama sekali. Pengetahuan yang hanya
setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba, tetapi juga
dapat menimbulkan persepsi yang salah.
Untuk meningkatkan pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi
atau seksualitas dilakukan dengan memberikan pendidikan seksual dimulai dari
lingkungan terdekat, yaitu orangtua dan di lingkungan sekolah, yaitu guru.
Menurut Gunarsa (2004) pendidikan seksual harus dianggap sebagai bagian dari
proses pendidikan dengan demikian pendidikan seksual mempunyai tujuan untuk
71
memperkuat dasar-dasar pengetahuan dan pengembangan kepribadian. Melalui
pendidikan seksual diusahakan timbulnya sikap emosional yang sehat dan
bertanggungjawab terhadap seksual.
Pendidikan seks akan menghilangkan pendapat-pendapat yang salah
terhadap seksualitas. Selain itu, dengan pendidikan seksual diharapkan akan
mengurangi keingintahuan remaja yang berlebihan dan dengan berkurangnya
keingintahuan yang berlebihan itu maka keinginan untuk berpetualang dalam
kegiatan seks diharapkan juga ikut berkurang.
6.2.2.5 Hubungan Sikap Terhadap Perilaku Seksual dengan Perilaku Seksual
Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap objek atau stimulus, manifestasinya tidak dapat langsung dilihat tapi
hanya mampu ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku tertutup. Sikap nyata
menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu dalam
kehidupan sehari-hari. Selain itu sikap merupakan kondisi yang konstan karena
merupakan kumpulan pemikiran, keyakinan, dan pengetahuan. Proses belajar
mengacu pada pembentukan sikap yang teradaptasi dengan lingkungan sekitarnya
(Notoadmodjo, 2003 dalam Ika, 2012).
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan
(senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).
Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana yakni: An individuals
attitude is syndrome of response consistency with regard to object. Jadi jelas,
disini dikatakan bahwa sikap itu suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam
respon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan,
perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain.
Sikap permisif adalah sifat terbuka yaitu serba membolehkan atau suka
mengizinkan (Sukma, 2012). Dalam penelitian ini sikap permisif diasumsikan
sebagai sifat terbuka, membolehkan atau toleransi terhadap jenis-jenis perilaku
Gambaran Kontrol Sosial, Farah Octavia, FKM UI, 2013
72
seksual. Kategori permisif dalam penelitian ini sesuai dengan definisi operasional,
yaitu satu saja pernyataan negatif dijawab setuju atau sangat setuju oleh
responden, maka termasuk kategori permisif.
Berdasarkan hasil uji statistik menyatakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara sikap permisif (negatif) terhadap jenis-jenis perilaku seksual
dengan perilaku seksual berisiko di SMK M kelas X. Hasil uji tersebut
memperlihatkan 76,% responden yang bersikap permisif, memiliki perilaku
seksual yang berisiko, sedangkan responden yang tidak bersikap permisif (positif)
ada sebesar 37,2% yang memiliki perilaku seksual berisiko. Berdasarkan nilai OR
responden dengan sikap negatif mempunyai peluang 6 kali memiliki risiko
perilaku seksual yang berat dibandingkan dengan responden dengan sikap positif.
Kesimpulan yang didapatkan berdasar hasil diskusi dengan kelompok
siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam FGD menunjukan bahwa lima
informan laki-laki yang bersikap permisif terhadap perilaku seksual juga
melakukan perilaku seksual berisiko sedangkan keseluruhan informan perempuan
bersikap negatif terhadap perilaku dan memiliki perilaku seksual berisiko ringan.
Sikap permisif remaja SMK M terhadap jenis-jenis perilaku seksual dapat
disebabkan karena kegiatan seksual merupakan suatu kebutuhan yang utama
dalam hidup manusia, sesuai dengan teori kebutuhan yang diungkapkan oleh
Maslow, dikutip dari Sukma (2012) membagi kebutuhan manusia menjadi lima
tingkatan, yaitu:
1.
2.
4.
5.
73
Sehingga dengan menyadari bahwa seks adalah termasuk kebutuhan utama yang
tidak terelekan, maka mereka cenderung menerima keadaan lingkungan sekitar
yang melakukan kegiatan seksual tersebut sekalipun merupakan tindakan yang
berisiko.
6.2.2.6 Hubungan Pola Komunikasi Orangtua dengan Perilaku Seksual Berisiko
pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Komunikasi antara orangtua dengan remaja tentang seksualitas merupakan
pengaruh yang penting terhadap perilaku seksual remaja. Komunikasi antara
orangtua dengan remaja diidentifikasi sebagai strategi utama dalam meningkatkan
perilaku seksual bertanggung jawab pada remaja. Melalui komunikasi, orangtua
menjadi sumber informasi dan pendidik utama tentang kesehatan reproduksi
remaja, juga tentang perencanaan kehidupan remaja di masa yang akan datang
(Wirdhana, dkk, 2011).
Hasil analisis pada penelitian ini terlihat bahwa remaja dengan perilaku
seksual berisiko berat ada sebanyak 86,5% dengan pola komunikasi disfungsional
sedangkan 28,2% dengan pola komunikasi fungsional. Hal ini sejalan dengan
sebuah penelitian (Ika, 2012) yang menunjukan bahwa kualitas komunikasi antara
orangtua dengan remaja dapat menghindari remaja dari perilaku seksual berisiko.
Hal ini karena terjadinya komunikasi yang intensif, kemungkinan terjadi share
dan diskusi di dalamnya sehingga remaja merasa permasalahan yang ia hadapi
dapat terselesaikan.
Pada analisis bivariat terdapat hubungan yang bermakna antara pola
komunikasi orangtua dengan perilaku seksual bersiko sebesar p=0,0001 dan nilai
Odds Rasio yaitu 16,3, artinya responden dengan pola komunikasi disfungsional
mempunyai peluang 16 kali memiliki risiko perilaku seksual yang berat
dibandingkan dengan responden dengan pola komunikasi fungsional. Hal ini
sejalan dengan penelitian Mutadin (2002) keengganan orang tua dalam keluarga
untuk membicarakan masalah reproduksi menyebabkan remaja mencari alternatif
sumber informasi lain seperti teman atau media massa. Remaja mendapatkan
74
informasi mengenai kesehatan reproduksi dari sumber-sumber yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan karena tidak adanya layanan dan informasi bagi remaja
serta kurangnya komunikasi antara anak remaja dan orang tua dalam keluarga.
Seluruh remaja laki-laki yang menjadi responden penelitian ini
menyatakan bahwa mereka tidak pernah bertanya mengenai kesehatan reproduksi
dan bercerita mengenai masalah pribadi dikarenakan malu, takut dimarahi dan
orangtua tidak mengerti topik pembicaraan sedangkan empat dari enam informan
perempuan menyatakan bahwa mereka terkadang mendiskusikan masalah
mengenai kesehatan reproduksi kepada ibu mereka.
Sejalan dengan hasil diskusi dengan responden remaja, hasil yang sama
menunjukan bahwa orangtua mengakui bahwa anak tidak pernah bertanya
mengenai
masalah
kesehatan
reproduksi
dikarenakan
orangtua
masih
menganggap tabu hal tersebut dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai kesehatan reproduksi remaja.
Komunikasi yang tepat dalam keluarga sangat penting untuk kehidupan
remaja. Pola komunikasi yang baik adalah pola komunikasi yang terbuka karena
akan terjalin komunikasi yang terbuka dan jujur. Diskusi yang terbuka antara
orangtua dan remaja melalui komunikasi yang efektif akan meningkatkan
pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi remaja. Hasil diskusi tersebut
akan mampu mengontrol perilaku remaja kedalam perilaku seksual berisiko
(Nurhayati, 2011).
Berdasarkan kesimpulan dari jawaban dua kelompok FGD terdapat lima
informan laki-laki yang menyatakan tidak pernah melakukan diskusi bersama
orangtua dan tiga informan tersebut memiliki perilaku seksual berisiko berat.
Hasil studi penelitian di Sidney menunjukkan bahwa komunikasi terbuka
dan kebebasan dalam menyelesaikan masalah akan mempengaruhi dalam
pengambilan keputusan secara lebih baik dibandingkan dengan orang tua yang
tidak melakukan hal tersebut (Fiona, 2008). Hal ini diasumsikan bahwa dengan
adanya diskusi yang terbuka antara orang tua dan anak remaja dalam keluarga
Gambaran Kontrol Sosial, Farah Octavia, FKM UI, 2013
75
melalui komunikasi yang efektif akan meningkatkan pemahaman remaja tentang
kesehatan reproduksi remaja. Hasil diskusi tersebut akan mampu mengontrol
perilaku remaja kedalam perilaku seksual berisiko tinggi selama masa remaja
tersebut.
6.2.2.7 Hubungan Kekuatan Keluarga dengan Perilaku Seksual Berisiko pada
Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Hasil analisis hubungan kekuatan keluarga dengan perilaku seksual yang
menunjukkan ada sebanyak 17 orang (63%) responden dengan kekuatan keluarga
yang kurang baik memiliki risiko perilaku seksual yang berat, sedangkan diantara
responden dengan kekuatan keluarga yang baik ada 35 orang (43,2%) yang
berisiko berat. Dengan nilai p=0,12 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan
proporsi risiko perilaku seksual antara responden dengan kekuatan keluarga yang
baik ataupun kurang baik.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ariani (2006) pola asuh otoriter 0,09 kali beresiko terjadi perilaku remaja
yang tidak baik untuk seksual dibandingkan dengan pola asuh permisif.
Sebaliknya pola asuh otoriter beresiko terjadi perilaku remaja yang tidak baik
untuk seksual 2,2 kali dibandingkan pola asuh demokratis.
Permasalahan
keterbatasan
kesehatan
monitoring
dari
reproduksi
keluarga
remaja
dalam
juga
mengatur
muncul
karena
remaja
dalam
76
terdapat dua informan perempuan yang selalu menyetujui keputusan yang telah
ditetapkan oleh orangtua namun seluruh informan perempuan tidak berisiko berat
dalam berperilaku seksual.
Kekuatan keluarga yang tidak baik diasumsikan bahwa remaja yang
kurang mendapatkan kontrol atau pengaturan melalui penggunaan kekuatan
keluarga seperti pola asuh yang baik maka akan meningkatkan risiko remaja
dalam perilaku seksual remaja yang berisiko selama masa pubertasnya. Namun
yang terjadi pada diskusi dengan informan laki-laki dan perempuan yang
berperilaku seksual berisiko berat, mereka tetap memiliki kekuatan keluarga yang
cukup baik dengan arti mendapat pola asuh yang baik serta masih berada dibawah
kontrol orangtua.
Hasil diskusi dengan informan remaja sejalan dengan wawancara orangtua
yang menyatakan bahwa mereka mempunyai ketetapan bagi anak mereka yaitu
penentuan batas jam keluar malam untuk menghindari anak dari pergaulan
negatif.
Iya punya.. harus udah ada dirumah paling malem jam 9.. tapi kadang tergantung dia
perginya sama siapa kemananya.. kalo sama temen-temen rumah biasanya boleh lebih
dari jam segitu
Punya lah.. jam 9 malem.. kagak sopan namu kerumah orang diatas jam 9
Hal ini sejalan dengan penelitian Purbani (2001) dan Mulyadi (2009)
bahwa harapan dan perasaan remaja saat memasuki masa pubertas menginginkan
peran orangtua dalam mengontrol diri remaja dan memberikan dukungan selama
masa transisi remaja sehingga dapat menghindari kehidupan berperilaku seksual
berisiko.
77
BAB 7
KESIMPULAN & SARAN
7.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 108 responden dan 12
informan wawancara kelas X SMK M di Jakarta tahun 2013 mengenai perilaku seksual
berisiko remaja, maka dapat disimpulkan bahwa:
7.1.1
Variabel Dependen
7.1.1.1 Perilaku Seksual Berisiko Pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Hampir separuh dari jumlah responden 48,1% (52 responden) termasuk
dalam kategori remaja berperilaku seksual berisiko berat. Perilaku seksual
berisiko berat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah apabila responden
pernah melakukan salah satu atau beberapa dari aktifitas berikut: mencium bibir,
lidah, leher, meraba daerah erogen, petting dan berhubungan seksual.
Tiga informan laki-laki memiliki perilaku seksual berisiko berat yakni
sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah semenjak usia Sekolah
Menengah Pertama dan seluruh informan perempuan berperilaku seksual berisiko
ringan.
78
seksual berisiko remaja. Remaja laki-laki cenderung melakukan perilaku seksual
berisiko lima kali lebih besar dibandingkan remaja perempuan.
7.1.2.2 Hubungan Umur dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja Kelas X
SMK M di Jakarta
Berdasarkan hasil responden diketahui umur responden berkisar antara 1517 tahun. Proporsi remaja yang telah melakukan salah satu atau lebih perilaku
seksual berisiko tinggi rata-rata berumur 16 tahun dengan jumlah 52 responden
atau hampir separuh dari seluruh jumlah responden. Tidak ada perbedaan yang
signifikan pada umur remaja yang melakukan perilaku seksual berisiko berat
dengan remaja berperilaku seksual berisiko ringan.
7.1.2.3 Hubungan Usia Pubertas dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja
Kelas X SMK M di Jakarta
Berdasarkan hasil analisa usia pubertas responden, usia pubertas dini
dengan usia pubertas normal tidak ada perbedaan proporsi risiko perilaku. Hal ini
berarti umur tidak mempengaruhi perilaku seksual, artinya semua remaja berisiko
untuk melakukan perilaku seksual berisiko. Remaja laki-laki yang mengalami
pubertas sebelum usia 14 tahun 56% pernah melakukan perilaku seksual berisiko
berat, hal yang sejalan ditemukan pada remaja laki-laki yang mengalami pubertas
pada saat berumur 14 tahun dan lebih sebanyak 46% pernah melakukan perilaku
seksual berisiko berat. Sedangkan remaja perempuan yang memiliki perilaku
seksual berisiko berat sebanyak 14% mengalami pubertas pada usia 12 tahun atau
lebih dan 20% yang mengalami pubertas dibawah usia 12 tahun.
7.1.2.4 Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Seksual
Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi berkisar pubertas,
kehamilan dan dampak perilaku seksual tergolong tinggi. Sebanyak 102
responden 94% memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang baik. Meskipun
pengetahuan remaja dibidang kesehatan reproduksi sudah baik namun 46%
79
responden dengan tingkat pengetahuan yang baik memiliki perilaku seksual
berisiko berat. Hasil penelitian menunjukan tidak adanya hubungan yang
bermakna antara pengetahuan kesehatan reproduksi yang baik dengan perilaku
seksual berisiko berat.
Seluruh informan dari kedua kelompok FGD memiliki tingkat
pengetahuan kesehatan reproduksi remaja yang tinggi namun tiga informan
diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko berat termasuk untuk melakukan
hubungan seksual pranikah. Hasil ini menguatkan data kuantitatif bahwa tingkat
pengetahuan yang tinggi tidak berhubungan dengan melakukan perilaku seksual
berisiko berat.
7.1.2.5 Hubungan Sikap Terhadap Perilaku Seksual dengan Perilaku Seksual
Berisiko pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Sikap terhadap seksualitas pada remaja menunjukkan hasil bahwa ada
hubungan yang signifikan terhadap perilaku seksual berisiko. Dari nilai OR
disimpulkan bahwa 76% remaja yang memiliki sikap permisif tinggi terhadap
seksualitas mempunyai kecenderungan melakukan perilaku seksual berisiko berat
enam kali lebih besar dibandingkan remaja yang memiliki sikap permisif rendah
terhadap seksualitas remaja.
Kesimpulan yang didapatkan dari kedua kelompok FGD terdapat lima
informan laki-laki yang bersikap permisif terhadap perilaku seksual dan tiga
diantaranya memiliki perilaku seksual berisiko berat sedangkan seluruh informan
perempuan bersikap negatif terhadap perilaku seksual berisiko berat. Hal ini
sesuai dengan hasil analisa bivariat yang menyatakan remaja yang bersikap
permisif terhadap perilaku seksual berkecendrungan untuk melakukan perilaku
seksual berisiko berat.
80
7.1.2.6 Hubungan Pola Komunikasi Orangtua dengan Perilaku Seksual Berisiko
pada Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Hasil analisa menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
pola komunikasi orangtua dengan perilaku seksual berisiko remaja. Dari nilai OR
disimpulkan bahwa 86,5% responden dengan pola komunikasi disfungsional
memiliki perilaku seksual berisiko berat dan memiliki peluang 16 kali lebih besar
melakukan perilaku seksual berisiko berat dibandingkan remaja dengan pola
komunikasi fungsional.
Kesimpulan dari hasil FGD kedua kelompok yaitu seluruh informan lakilaki memiliki pola komunikasi disfungsional dan tiga diantaranya memiliki
perilaku seksual berisiko berat sedangkan seluruh informan perempuan memiliki
pola komunikasi fungsional dan berperilaku seksual berisiko ringan. Hal ini
menguatkan hasil analisa yang menyatakan informan dengan pola komunikasi
disfungsional berisiko melakukan perilaku seksual berisiko berat.
7.1.2.7 Hubungan Kekuatan Keluarga dengan Perilaku Seksual Berisiko pada
Remaja Kelas X SMK M di Jakarta
Tidak ada hubungan yang signifikan antara kekuatan keluarga dengan
perilaku seksual berisiko berat pada remaja kelas X SMK M. Berdasarkan hasil
analisis bivariat menunjukan bahwa terdapat 43% atau 35 responden dengan
kekuatan keluarga yang baik memiliki perilaku seksual berisiko berat.
Berdasarkan hasil diskusi dengan seluruh informan terdapat empat
informan laki-laki dengan kekuatan keluarga yang baik namun tiga diantaranya
memiliki perilaku seksual berisiko berat dan seluruh informan perempuan
memiliki kekuatan keluarga yang baik dan tidak memiliki risiko berat dalam
berperilaku seksual.
81
7.2
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka perlu
dikemukakan beberapa saran sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah,
lingkungan sekolah, petugas kesehatan, masyarakat dan akademik dengan harapan
semoga menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan, memperbaiki dan
meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku seksual
berisiko pada remaja.
82
Memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi yang masih kurang
dipahami oleh remaja seperti, mengenai menstruasi, masa subur, kondisi yang
menyebabkan kehamilan, mitos tentang aborsi, dampak perilaku seksual, penyakit
menular seksual IMS dan HIV/AIDS dengan bekerjasama dengan instansi terkait
yaitu Dinas Kesehatan dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
Berencana (BPP-KB) untuk mengaktifkan program Pusat Informasi dan
Konseling-Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) bagi siswa sekolah.
Mengadakan seminar untuk orangtua mengenai pola asuh yang baik yang
diadakan pada saat pembagian raport atau pada saat penerimaan murid tahun
ajaran baru.
7.2.1.5 Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat memberikan perhatian serta solusi dari
perilaku negatif remaja dengan menggali potensi yang mereka miliki. Khusus
untuk orangtua, diharapkan untuk mampu menjalin komunikasi dan hubungan
yang baik serta meningkatkan kontrol sosial kepada anak remaja agar terhindar
dari lingkungan yang buruk dan perilaku negatif.
7.2.1.6 Bagi Remaja
Mengatasi
dorongan
seksual
dengan
mengalihkan
pikiran
dan
83
7.2.2 Saran Akademik
7.2.2.1 Bagi Peneliti Lain
Bagi peneliti lain yang tertarik pada kajian yang sama diharapkan dapat
mengembangkan dan mengkaji lebih dalam mengenai pola komunikasi dan
kekuatan keluarga dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksual
seperti, keadaan ekonomi, budaya masyarakat, kepatuhan beragama dengan riset
lebih lanjut melalui studi kuantitatif maupun studi kualitatif.
xx
DAFTAR PUSTAKA
Adnani Hariza dan Widowati Citra. 2009. Motivasi Belajar dan Sumber-Sumber Informasi
Tentang
Kesehatan Reproduksi Dengan Perilaku Seksual Remaja Di SMUN 2
Banguntapan Bantul. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta. -------- diunduh
pada tanggal 22 April 2013
AV. 2009. Rapid Assessment Procedures. Healthadvocacy1.blogspot.com ------- diunduh pada
tanggal 3 April 2013
Ekasari Fatma Mia. 2011. Studi Fenomenologi: Pengalaman Waria Remaja Dalam Menjalani
Masa PuberDi Wilayah DKI Jakarta. Tesis. Universitas Indonesia.
Gunarsa. 2004. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia
Hariyanto. 2009. Karakteristik Remaja. Belajarpsikologi.com ------- diunduh pada tanggal 11
Februari 2013
Hurlock, Elizabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta : Erlangga, hlm.207
Husna Hadianti, Nur. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Seksual Remaja
di 3 SMAN Kabupaten Blitar Tahun 2012. Skripsi. Universitas Indonesia.
Ida W. 2010. Bab III Metodologi Penelitian. Skripsi. Universitas Dipenogoro -------- diunduh
pada tanggal 18 April 2013
Kusmiran Eny. 2012. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika.
Lestari, Sukma. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual Warga Binaan
Pemasyarakatan Wanita di Rumah Tahanan Klas IIA Jakarta Timur. Skripsi. Universitas
Indonesia
Makasudede, Yenny. 2008. Gambaran Sikap Pelaksanaan Inisiasi Menyusui Dini di Puskesmas
Kecamatan Pasar Minggu. Skripsi. Universitas Indonesia.
Ningtias, Isusilawati. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pornografi dan Perilaku
Seksual pada Siswa SMAN 1 Parigi Kabupaten Ciamis. Skripsi. Universitas Indonesia
Nurhayati. 2011. Hubungan Pola Komunikasi dan Kekuatan Keluarga Dengan Perilaku Seksual
Berisiko Pada Remaja di Desa Tridaya Sakti Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten
Bekasi. Tesis. Universitas Indonesia.
xxi
NN. Panduan Penentuan Skoring Kriteria Kuesioner (Skala Pengukuran). Bukukerja.com -------Diunduh pada tanggal 18 April 2013
Puspita Sari, Ika. 2013. Hubungan Pola Komunikasi Otabgtua Dengan Perilaku Seksual Berisiko
Pada Remaja Di SMA Tunas Harapan Jakarta Tahun 2013. Skripsi. Universitas Indonesia
Rahmawati, Suci. 2008. Hubungan Antara Keadaan Keluarga Dengan Perilaku Pengguna
Narkoba Pada Siswa/I Negeri 20 Jakarta Tahun 2008. Skripsi. Universitas Indonesia.
Santrock. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja.Jakarta: Erlangga.
Sukarni.2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pada Remaja di SMK
Kesehatan Al-Ikhlas Kabupaten Bogor. Skripsi. Universitas Indonesia.
Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Bandung : PT
Setia Purna Inves, hlm. 99
Yusuf,
(FGD).
KUESIONER
HUBUNGAN POLA KOMUNIKASI ORANGTUA DAN KEKUATAN KELUARGA
DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA
Petunjuk Pengisian
1) Jawablah semua pertanyaan dengan cara memberikan tanda silang (X) pada jawaban
yang kamu anggap benar, tepat dan sesuai.
2) Isilah kuesioner dengan sejujur-jujurnya sebab jawaban kamu terjamin kerahasiaannya
dan sangat membantu saya dalam penelitian.
3) Jawaban kamu tidak akan mempengaruhi nilai kamu dan nama baik sekolah kamu.
4) Jawaban kamu hanya digunakan untuk kepentingan ilmiah penelitian saja dan tidak
akan disebarluaskan kemanapun.
5) Tidak dibenarkan bertanya kepada teman, hanya diperbolehkan pada orang yang
membagikan kuesioner.
A.Pribadi Individu
Karakteristik Informan
1. Jenis Kelamin:
a. Laki-laki
b. Perempuan
2. Usia kamu: . (berdasarkan ulang tahun terakhir)
3. Pertanyaan khusus untuk laki-laki
Pada umur berapa kamu mengalami mimpi basah pertama kali?
a. Usia 14 tahun atau lebih
b. Sebelum usia 14 tahun
4. Pertanyaan khusus untuk perempuan
Pada umur berapa kamu mengalami menstruasi (haid)?
a. Usia 12 tahun atau lebih
b. Sebelum usia 12 tahun
Pernyataan
Mimpi basah yang dialami oleh lakilaki biasanya disertai dengan keluarnya
sperma
Benar
10
11
12
13
Salah
14
Kehamilan
pada
remaja
dapat
meningkatkan risiko kematian ibu dan
bayinya
Ya
Tidak
Orangtua
Buku pelajaran / guru
Petugas Kesehatan
Televisi
Radio
Internet
Majalah
Koran
Teman
Pernyataan
16
17
18
SS
KS
TS
STS
19
20
Remaja
lebih
baik
melakukan
onani/masturbasi daripada melakukan
hubungan seksual sebelum menikah
21
22
23
24
25
26
27
Menjaga
penting
28
29
30
31
kesucian
pacar
sangatlah
B. Keluarga
Pola Komunikasi Orangtua
32. Bersama siapa kamu tinggal dalam waktu 3 bulan terakhir ini?
a. Orangtua
b. Keluarga lainnya
c. Teman
33. Seberapa sering kamu bertemu dengan orangtua kamu dalam waktu 3 bulan
terakhir ini?
a. Setiap hari
b. Tidak setiap hari
c. Tidak pernah
34. Seberapa sering kamu berkomunikasi dengan orangtua dalam waktu 3 bulan
terakhir ini?
a. Setiap hari
b. Tidak setiap hari
c. Tidak pernah
35. Dengan cara apa biasanya kamu berkomunikasi dengan orangtua dalam waktu 3
bulan terakhir ini?
a. Komunikasi langsung (tatap muka)
b. Komunikasi tidak langsung (telepon, sms atau media sosial lainnya)
c. Tidak pernah
36. Dengan siapa biasanya kamu berdiskusi mengenai masalah pribadi?
a. Ayah
b. Ibu
c. Bukan dengan orangtua
37. Seperti apa pola komunikasi yang kamu harapkan dari orangtua?
a. Dapat diajak berdiskusi
b. Berbicara seperlunya saja
Berilah tanda silang (X) pada pilihan yang kamu anggap sesuai pada tabel dibawah ini.
38. Apakah kamu pernah berdiskusi serius dengan orangtua mengenai topik dibawah
ini?
KadangNo.
Pernyataan
Pubertas
Masturbasi/onani
Hubungan seksual
Alat kontrasepsi
Tidak Pernah
kadang
Sering
39. Apakah kamu mendapatkan kesulitan untuk berdiskusi mengenai topik tersebut?
a. Ya
b. Tidak
40. Kapan terakhir kali kamu berdiskusi tentang topik diatas dengan orangtua dalam
waktu 3 bulan terakhir?
a. Kurang dari 1 minggu yang lalu
b. Lebih dari 2 minggu yang lalu
41. Mengapa kamu sulit mendiskusikan topik tersebut dengan orangtua?
a. Orangtua selalu sibuk
b. Orangtua tidak memahami topik tersebut
c. Takut dimarahi
Seberapa sering kamu melakukan hal-hal dibawah ini? Berilah tanda silang (X) pada pilihan
yang kamu anggap sesuai pada tabel dibawah ini.
No.
Pernyataan
42
43
Saya
memahami
setiap
keinginan orangtua saya
44
Orangtua
saya
tidak
menghargai
perbedaan
pendapat ketika berdiskusi
45
46
Tidak
Pernah
Sangat
Sering
Jarang
Selalu
Kekuatan Keluarga
Berilah tanda silang (X) pada pilihan yang kamu anggap sesuai pada tabel dibawah ini.
No.
Pernyataan
47
Anak-anak
bebas
menyampaikan pendapatnya
dalam musyawarah atau
diskusi
48
Anggota
keluarga
melaksanakan
hasil
musyawarah atau diskusi
49
Orangtua
membuat
keputusan yang disetujui
oleh semua anak-anak
Tidak
Pernah
Jarang
Sangat
Sering
Selalu
50
Orangtua memperbolehkan
anak-anak yang kurang
setuju untuk tawar menawar
dalam
pengambilan
keputusan
51
Orangtua
menyampaikan
pendapatnya secara aktif ke
anak-anak
sebelum
keputusan yang ditetapkan
52
53
C. Perilaku Seksual
54. Apakah kamu pernah punya pacar?
a. Ya
b. Tidak
55. Pada umur berapa kamu pertama kali pacaran? .. tahun
56. Sampai saat ini sudah berapa kali kamu memiliki pacar? (termasuk yang saat
ini). kali
57. Apakah saat ini kamu punya pacar?
a. Ya
b. Tidak
58. Berapa lama pertemuan kamu dengan pacar yang terakhir?.......... jam dalam
seminggu
59. Biasanya kamu dan pacar menghabiskan waktu bersama di :
a. Sekolah
b. Rumah kamu/pacar
c. Restoran/mall/bioskop/caf
d. Tempat wisata
e. Tempat kost
60. Apakah yang pernah kamu lakukan dengan teman lawan jenis kamu (pacar atau
bukan pacar). Berilah tanda (X) pada kolom jawaban dan 1 atau 2 pada kolom
Dengan siapa
No.
Pernyataan
Mengobrol
Jalan-jalan berdua
Berpegangan tangan
Berpelukan
Cium pipi
Cium bibir
10
11
12
Pernah
Dengan siapa
1. Pacar
2. Bukan pacar
Tidak Pernah
Pedoman Pertanyaan Focus Group Discusion dengan Informan Siswa dan Siswi SMK
Malahayati, Jakarta Timur
A. Pribadi Individu
1. Karakteristik Informan
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Kelas/jurusan
b. Bagaimana menurut kamu, jika untuk menunjukan rasa sayang dan cinta kepada
pacar/pasangan dengan melakukan:
1) Berpegangan tangan (alasannya)
2) Membelai (alasannya)
3) Berciuman (alasannya)
4) Berpelukan (alasannya)
5) Meraba/menyentuh bagian sensitif (alasannya)
6) Berhubungan seksual (alasannya)
c. Apa arti kesucian bagi kamu? (laki-laki dan perempuan) (alasannya)
d. Menurut kamu, seberapa penting kesucian pacar kamu untuk kamu? (laki-laki)
(alasannya)
B. Lingkungan
1. Pola komunikasi
a. Apakah kamu pernah bertanya mengenai kesehatan reproduksi kepada orangtua?
(alasannya)
b. Apakah kamu pernah bercerita mengenai masalah pribadi kepada orang tua? (alasannya)
c. Apakah kamu dan orangtua sering berkomunikasi langsung secara tatap muka ataupun
dengan menggunakan handphone atau internet? (alasannya)
d. Apakah keluarga kamu sering mendiskusikan suatu masalah? jika ya, apakah orang tua
dapat memahami dan menerima pendapat/keinginan kamu? Jika tidak, mengapa?
2. Kekuatan keluarga
a. Apakah kamu diizinkan oleh orangtua untuk berpacaran/memiliki pacar? (alasannya)
b. Apakah orangtua kamu memiliki batas jam malam yang harus kamu patuhi? (alasannya)
c. Apakah orangtua kamu sering melampiaskan kemarahan kepada kamu atau anak-anak
lainnya?
d. Bila terjadi suatu konflik pada keluarga apakah orangtua kamu akan menyelesaikannya
secara musyawarah?
e. Apakah kamu diizinkan oleh orangtua untuk mengambil keputusan tanpa persetujuan dari
orangtua terlebih dahulu?
f. Apakah keputusan yang orangtua kamu tetapkan harus kamu setujui? Jika ya, mengapa?
Jika tidak, mengapa?
C. Perilaku Seksual
a. Pada usia berapa kamu pertama kali pacaran?
b. Sampai pacar yang sekarang, sudah berapa pacar yang kamu miliki? (alasannya)
c. Berapa lama rata-rata bertahannya pacaran tersebut? (alasannya)
d. Apa yang kamu lakukan jika sedang berduaan dengan pacar / sedang berpacaran?
(alasan)
e. Apa yang mendorong kamu untuk melakukan hal tersebut?
f. Bagaimana perasaan kamu saat dan setelah melakukan perilaku tersebut?
g. Pada saat berpacaran, apakah ada perilaku lain yang ingin kamu lakukan lebih dari
perilaku biasanya? (probing: perilaku seksual? Alasannya?)
h. Pernahkah kamu melakukan hubungan seksual? {(kapan pertama kali, umur, dimana,
dengan siapa, akibatnya (kehamilan)}
i. Apa yang mendorong kamu melakukan hal tersebut? (alasannya)
j. Apakah kamu/pacar kamu pernah mengalami kehamilan? (jika hamil apa yang
dilakukan? : jika tidak hamil kenapa? Probing: kondom pil, dll)
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan terakhir
Pekerjaan
B. Lingkungan
1. Pola komunikasi
a. Apakah anak Bapak/Ibu pernah bertanya mengenai kesehatan reproduksi?
b. Apakah anak Bapak/Ibu pernah bercerita mengenai masalah pribadinya?
c. Apakah Bapak/Ibu sering melakukan komunikasi secara langsung maupun komunikasi
melalui telepon atau sms? (alasannya)
d. Apakah keluarga Bapak/Ibu sering mendiskusikan suatu masalah? jika ya, apakah
Bapak/Ibu dapat memahami dan menerima pendapat/keinginan anak? Jika tidak,
mengapa?
2. Kekuatan keluarga
a. Apakah Bapak/Ibu memperbolehkan anak Bapak/Ibu untuk memiliki pacar/berpacaran?
(alasannya)
b. Apakah Bapak/Ibu mempunyai batas jam malam untuk anak Bapak/Ibu? (alasannya)
c. Apakah Bapak/Ibu sering melampiaskan kemarahan kepada anak? (alasannya)
d. Bila terjadi suatu konflik pada keluarga apakah Bapak/Ibu akan menyelesaikannya secara
musyawarah?
e. Apakah Bapak/Ibu mengizinkan anak Bapak/Ibu untuk mengambil keputusan tanpa
persetujuan dari Bapak/Ibu terlebih dahulu?
f. Apakah keputusan yang Bapak/Ibu tetapkan harus disetujui oleh anak? Jika ya, mengapa?
Jika tidak, mengapa?
C. Perilaku Seksual
a. Bagaimana perilaku pacaran (berteman) anak Bapak/Ibu?
b. Menurut Bapak/Ibu, apa yang mendorong anak Bapak/Ibu melakukan perilaku tersebut?
c. Sangsi apa yang diberikan sekolah kepada siswa-siswi terhadap perilaku yang
dilakukannya tersebut? (alasannya?)
d. Jika anak Bapak/Ibu hamil atau menghamili diluar nikah, sangsi apa yang akan diberikan
kepada anak? (alasannya)
A. Pribadi Individu
1. Karakteristik Informan
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pendidikan terakhir
Lama bekerja
B. Lingkungan
1. Pola komunikasi
a. Berdasarkan pengalaman Bapak/Ibu, adakah siswa-siswi yang memiliki permasalahan
mengenai komunikasi dengan orangtua? Jika ada, bagaimana pemecahannya?
b. Adakah siswa-siswi yang lebih mempercayai Bapak/Ibu atau guru lainnya di sekolah ini
untuk menceritakan masalah pribadinya?
c. Berdasarkan pengalaman, apakah pernah Bapak/Ibu berdiskusi dengan orangtua siswasiswi di sekolah ini yang sedang mengalami suatu permasalahan? (alasannya)
2. Kekuatan keluarga
a. Berdasarkan pengalaman Bapak/Ibu, adakah siswa/siswi di sekolah ini yang mengalami
kekerasan dari orangtua? (probing: kekerasan fisik ataupun verbal)
b. Berdasarkan pengalaman Bapak/ibu, adakah siswa/siswi yang bercerita bahwa ia
dikekang oleh kedua orangtuanya? Jika ada, apa solusi yang Bapak/Ibu berikan?
C. Perilaku Seksual
a. Bagaimana perilaku pacaran siswa-siswi di sekolah ini?
b. Menurut Bapak/Ibu, apa yang mendorong siswa-siswi melakukan perilaku tersebut?
c. Sangsi apa yang diberikan sekolah kepada siswa-siswi terhadap perilaku yang
dilakukannya tersebut? (alasannya?)
d. Bagaimana jika ada siswa-siswi yang melakukan perilaku hubungan seksual diluar nikah,
sangsi apa yang diberikan sekolah terhadap siswa/siswi tersebut?
e. Jika ada siswi yang hamil sangsi, apa yang diberikan kepada sekolah terhadap siswi
tersebut? (alasan)
Jika ada siswa yang menghamili pacar/temannya, sangsi apa yang diberikan kepada sekolah
terhadap siswi tersebut?
Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Laki-Laki
96
88.9
88.9
88.9
Perempuan
12
11.1
11.1
100.0
108
100.0
100.0
Total
Cumulative
Frequency
Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
39
36.1
40.6
40.6
Sebelum 14 Tahun
57
52.8
59.4
100.0
Total
96
88.9
100.0
System
12
11.1
108
100.0
Total
Menstruasi Pertama
Cumulative
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
6.5
58.3
58.3
Sebelum 12 Tahun
4.6
41.7
100.0
12
11.1
100.0
Total
Missing
System
Total
96
88.9
108
100.0
Cumulative
Frequency
Valid
Rendah
Percent
Valid Percent
Percent
5.6
5.6
5.6
Tinggi
102
94.4
94.4
100.0
Total
108
100.0
100.0
Cumulative
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Negatif
30
27.8
27.8
27.8
Positif
78
72.2
72.2
100.0
Total
108
100.0
100.0
Cumulative
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Disfungsional
37
34.3
34.3
34.3
Fungsional
71
65.7
65.7
100.0
Cumulative
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Disfungsional
37
34.3
34.3
34.3
Fungsional
71
65.7
65.7
100.0
108
100.0
100.0
Total
Kekuatan Keluarga
Cumulative
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Kurang Baik
27
25.0
25.0
25.0
Baik
81
75.0
75.0
100.0
Total
108
100.0
100.0
Perilaku Seksual
Cumulative
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Percent
Berisiko Berat
52
48.1
48.1
48.1
Berisiko Ringan
56
51.9
51.9
100.0
108
100.0
100.0
Total
Cases
Valid
N
Missing
Percent
108
100.0%
Total
Percent
.0%
Percent
108
100.0%
Seksual
Perilaku Seksual
Berisiko Berat
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Count
Perempuan
Count
Count
% within Jenis Kelamin
Berisiko Ringan
Total
50
46
96
52.1%
47.9%
100.0%
10
12
16.7%
83.3%
100.0%
52
56
108
48.1%
51.9%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
sided)
sided)
sided)
df
a
.021
4.034
.045
5.841
.016
5.359
b
.030
Linear-by-Linear Association
5.310
N of Valid Cases
.021
108
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,78.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower
Upper
5.435
1.131
26.126
3.125
.869
11.235
.575
.414
.798
(Laki-Laki / Perempuan)
For cohort Perilaku Seksual =
Berisiko Berat
For cohort Perilaku Seksual =
Berisiko Ringan
N of Valid Cases
108
.020
Cases
Valid
N
Missing
Percent
96
88.9%
Total
Percent
12
11.1%
Percent
108
100.0%
Perilaku Seksual
Perilaku Seksual
Berisiko Berat
Count
18
46.2%
Pertama
Sebelum 14 Tahun
Count
32
56.1%
Pertama
Total
Count
% within Mimpi Basah
Pertama
50
52.1%
Perilaku Seksual
Berisiko Ringan
Count
Total
21
39
53.8%
100.0%
25
57
43.9%
100.0%
46
96
47.9%
100.0%
Pertama
Sebelum 14 Tahun
Count
Count
% within Mimpi Basah
Pertama
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
sided)
sided)
sided)
.336
.568
.451
.926
.336
.925
b
.407
Linear-by-Linear Association
.916
N of Valid Cases
.339
96
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,69.
b. Computed only for a 2x2 table
.225
Risk Estimate
Lower
Upper
.670
.295
1.518
.822
.546
1.238
1.228
.812
1.856
Berisiko Ringan
N of Valid Cases
96
Cases
Valid
N
Menstruasi Pertama *
Missing
Percent
12
11.1%
Total
Percent
96
88.9%
Perilaku Seksual
Percent
108
100.0%
Perilaku Seksual
Berisiko Berat
Menstruasi Pertama
Count
Sebelum 12 Tahun
14.3%
Count
20.0%
Count
16.7%
Perilaku Seksual
Berisiko Ringan
Menstruasi Pertama
Count
Sebelum 12 Tahun
Count
Count
% within Menstruasi Pertama
Total
85.7%
100.0%
80.0%
100.0%
10
12
83.3%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
sided)
sided)
sided)
df
a
.793
.000
1.000
.068
.795
.069
b
1.000
Linear-by-Linear Association
.063
N of Valid Cases
.802
12
a. 3 cells (75,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,83.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower
Upper
.667
.032
14.033
.714
.057
8.905
1.071
.629
1.825
Berisiko Ringan
N of Valid Cases
12
.682
Cases
Valid
N
Pengetahuan Tentang
Missing
Percent
108
100.0%
Total
Percent
Percent
.0%
108
100.0%
Perilaku Seksual
Berisiko Berat
Pengetahuan Tentang
Rendah
Count
Berisiko Ringan
83.3%
16.7%
47
55
46.1%
53.9%
52
56
48.1%
51.9%
Kespro
% within Pengetahuan
Tentang Kespro
Tinggi
Count
% within Pengetahuan
Tentang Kespro
Total
Count
% within Pengetahuan
Tentang Kespro
Total
Pengetahuan Tentang
Rendah
Count
Kespro
% within Pengetahuan
100.0%
Tentang Kespro
Tinggi
Count
102
% within Pengetahuan
100.0%
Tentang Kespro
Total
Count
108
% within Pengetahuan
100.0%
Tentang Kespro
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
sided)
sided)
sided)
.076
1.835
.176
3.391
.066
3.150
b
df
.104
Linear-by-Linear Association
3.121
N of Valid Cases
.077
108
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,89.
b. Computed only for a 2x2 table
.087
Risk Estimate
Lower
Upper
5.851
.660
51.866
1.809
1.194
2.738
.309
.051
1.866
108
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Missing
Percent
108
100.0%
Total
Percent
.0%
Percent
108
100.0%
Perilaku Seksual
Berisiko Berat
Negatif
Count
Berisiko Ringan
23
76.7%
23.3%
Seksual
% within Sikap terhadap
Perilaku Seksual
Positif
Count
29
49
37.2%
62.8%
52
56
48.1%
51.9%
Perilaku Seksual
Total
Count
% within Sikap terhadap
Perilaku Seksual
Total
Negatif
Count
30
Seksual
% within Sikap terhadap
100.0%
Perilaku Seksual
Positif
Count
78
100.0%
Perilaku Seksual
Total
Count
108
100.0%
Perilaku Seksual
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
13.532
df
a
sided)
sided)
sided)
.000
Continuity Correction
Likelihood Ratio
11.997
.001
14.030
.000
.000
Linear-by-Linear Association
13.407
N of Valid Cases
.000
.000
108
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,44.
Lower
Upper
5.552
2.120
14.538
2.062
1.454
2.925
.371
.190
.726
108
Cases
Valid
N
Percent
Missing
N
Percent
Total
N
Percent
Cases
Valid
N
Missing
Percent
108
100.0%
Total
Percent
.0%
Percent
108
100.0%
* Perilaku Seksual
Perilaku Seksual
Berisiko Berat
Count
32
86.5%
Orang Tua
Fungsional
Count
20
28.2%
Orang Tua
Total
Count
% within Pola Komunikasi
Orang Tua
52
48.1%
Perilaku Seksual
Berisiko Ringan
Count
Total
37
13.5%
100.0%
51
71
71.8%
100.0%
56
108
51.9%
100.0%
Orang Tua
Fungsional
Count
Count
% within Pola Komunikasi
Orang Tua
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
sided)
sided)
sided)
.000
30.840
.000
35.840
.000
33.135
b
df
.000
Linear-by-Linear Association
32.828
N of Valid Cases
.000
108
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,81.
b. Computed only for a 2x2 table
.000
Risk Estimate
Lower
Upper
16.320
5.570
47.820
3.070
2.073
4.547
.188
.082
.431
108
Cases
Valid
N
Missing
Percent
108
100.0%
Total
Percent
.0%
Seksual
Percent
108
100.0%
Perilaku Seksual
Berisiko Berat
Kekuatan Keluarga
Kurang Baik
Count
Baik
17
10
63.0%
37.0%
35
46
43.2%
56.8%
52
56
48.1%
51.9%
Count
Count
% within Kekuatan Keluarga
Total
Kekuatan Keluarga
Kurang Baik
Count
Baik
Count
Count
% within Kekuatan Keluarga
Berisiko Ringan
27
100.0%
81
100.0%
108
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
sided)
sided)
sided)
df
a
.075
2.423
.120
3.186
.074
3.165
b
.119
Linear-by-Linear Association
3.136
N of Valid Cases
.077
108
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Lower
Upper
2.234
.912
5.475
1.457
.994
2.135
.652
.385
1.105
Berisiko Berat
For cohort Perilaku Seksual =
Berisiko Ringan
N of Valid Cases
108
.060
Group Statistics
Perilaku Seksual
Umur
Mean
Std. Deviation
Berisiko Berat
52
15.75
.711
.099
Berisiko Ringan
56
15.52
.572
.076
Umur
Sig.
.456
.501
df
1.877
106
1.862
97.937
Std. Error
Sig. (2-tailed)
Umur
Mean Difference
Difference
.063
.232
.124
.066
.232
.125
Umur
Upper
-.013
.477
-.015
.480
MATRIKS GAMBARAN KONTROL SOSIAL KELUARGA, FAKTOR PENGUAT DAN FAKTOR PREDISPOSISI
DENGAN PERILAKU SEKSUAL BERISIKO PADA REMAJA SMK M DI JAKARTA TAHUN 2013 DENGAN
INFORMAN SISWA & SISWI
VARIABEL PERTANYAAN
JENIS INFORMAN
Informan Siswa
A. Pengetahuan Kesehatan Reproduksi
Seluruh informan mengatakan laki-laki
1. Tanda anak laki-laki dan
mengalami mimpi basah dan perempuan
anak perempuan yang
mengalami menstruasi.
memasuki masa baligh.
Informan Siswi
Empat informan mengatakan perempuan
mengalami menstruasi dan laki-laki mengalami
mimpi basah
Satu informan mengatakan perempuan
mengalami menstruasi dan laki-laki terjadi
perubahan suara
Empat informan mengatakan payudara dan
pinggul membesar pada perempuan dan
tumbuh jakun dan perubahan suara pada lakilaki
Satu informan mengatakan usia baligh
perempuan 9 tahun dan laki-laki 14/15 tahun
Satu informan mengatakan timbul jerawat
Seluruh informan mendapatkan informasi dari
teman, buku pelajaran dan pengalaman pribadi
Seluruh informan mengatakan sentuhan fisik
antara perempuan dan laki-laki
Lima informan mengatakan berupa hubungan
seksual
Seluruh informan mendapatkan informasi dari
teman.
3. Pentingnya kesucian
(keperjakaan/keperawanan)
untuk diri sendiri
4. Pentingnya kesucian
(keperjakaan/keperawanan)
untuk pacar
C. Pola Komunikasi Orangtua
1. Diskusi mengenai kesehatan
reproduksi dengan orangtua
D. Kekuatan Keluarga
1. Izin dari orangtua untuk
memiliki pacar
2. Batas jam malam yang
diberlakukan dari orangtua
3. Pelampiasan kemarahan
orangtua kepada anak
4. Penyelesaian konflik dengan
bermusyawarah bersama
keluarga
5. Pengambilan keputusan tanpa
izin orangtua
6. Mematuhi ketetapan
berpacaran
8. Melakukan hubungan seksual
(kapan pertama kali, umur,
dimana, dengan siapa)
9. Dorongan yang timbul untuk
melakukan hubungan seksual