Anda di halaman 1dari 32

10 Tahun Perang Melawan Teroris[me] di Asia Tenggara1

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
e-mail: abah.shatilla@gmail.com
Pendahuluan
Studi ini ditulis bukanlah ingin memberikan informasi mengenai studi teroris secara
komprehensif. Demikian pula, studi tidak dimaksudkan untuk menelaah secara detail bagaimana
Asia Tenggara menjadi ladang amal Jihad bagi beberapa kelompok teroris. Apa yang diinginkan
dari kajian ini setelah menganalisa sekitar 10 tahun perkembangan Islam di Asia Tenggara, yaitu
sebuah penjelajahan mengapa ideologi teror sangat subur di rantau Asia Tenggara. Tujuannya
bukan hanya ingin memahami mengapa beberapa anak muda Islam terlibat di dalam upaya teror,
namun juga ingin mencari apakah ideologi mati syahid itu murni datang dari agama Islam atau
bukan. Apakah mereka yang mendesain munculnya kelompok teroris ini juga tidak bisa dikatakan
sebagai bagian dari penebar teror.
Tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa tidak hanya 10 tahun terakhir, Indonesia
khususnya telah menjadi medan jihad, tetapi juga seolah-olah ideologi teror tidak dapat
dihentikan. Persoalan teroris di Asia Tenggara tidak dapat diketahui penyebabnya yang pasti,
kecuali beberapa analisa yang menyebutkan bahwa ada keterkaitan antara teroris di Asia
y

y
Islam di beberapa negara di Asia tenggara seperti Malaysia, ThailandL
L
N
Namun, yang selalu menjadi perdebatan adalah bahwa adanya akar ideologi radikalisme di
Indonesia sehingga gerakan-gerakan Islam garis keras tumbuh subur.2 Disamping itu, beberapa
peristiwa sejarah di Indonesia selalu melibatkan Islam di dalamnya. Jadi, tidak mengejutkan jika
kemudian Islam menjadi instrumen penting di dalam kehidupan bernegara di Indonesia.
Namun demikian, kehadiran Islam yang mulanya sebagai agama pada awal-awal abad
ke-8, lalu kemudian diubah sebagai aset politik dalam bentuk pemerintahan islami setelah itu,
tentu telah adanya pemahaman di dalam sejarah Islam Indonesia begitu dominan, dibandingkan
agama-agama lain.3 Terlebih lagi, saat Indonesia dijajah oleh koloni Eropa, Islam kemudian
diterjemahkan sebagai ideologi yang semangat jihad. Kenyataan ini tentu saja telah
mengakibatkan Islam sebagai alat pemersatu dibawah nilai-nilai nasionalisme di Indonesia.4
Namun ketika Indonesia merdeka, peran Islam mulai direduksi dan bahkan sudah dikembalikan
pada porosnya sebagai agama murni. Akan tetapi upaya untuk menarik Islam sebagai kekuatan
sosial dan politik tetap ada di tengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia. Akibatnya, muncul
beberapa ketegangan di dalam kehidupan bernegara mulai dari pemberontakan hingga gonta
ganti sistem pemerintahan. Kenyataan sejarah ini menyebabkan isu menempatkan Islam di dalam
struktur kekuasaan dan kehidupan sosial keagamaan masih diperdebatkan hingga hari ini.
1

-Politik dan Gerakan


The Aceh Institute, di Balai Senat Rektorat
L
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 18 Januari 2014.
2
Lihat misalnya, (Azra 2003) (Mansurnoor, Radicalization of Islamic Discourse among
Mulims in Southeast Asia: An Historical Reinterpretation 2003)
3
(Steenbrink 1984)
4
Baca misalnya (Maarif 1996)
1

Hal ini terlebih dipicu oleh upaya umat Islam di dalam mencari format kehidupannya
yang lebih banyak memandang Timur Tengah sebagai contoh yang utama. Posisi Timur Tengah
terhadap masyarakat di Nusantara sangat dominan, tidak hanya di dalam persoalan keimanan
dan ideologi, tetapi juga dalam persoalan cara pandang masyarakat ( world view). Hal ini terjadi
tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri-negeri Melayu di seberang Selat Melaka. 5 Karena
itu, sentuhan Islam pada masyarakat pribumi atau bumiputera ternyata mengubah cara pandang
mereka di dalam beberapa sendi. Walaupun ada yang mengatakan bahwa Islam tidak seluruhnya
mengubah masyarakat di Nusantara, karena mereka memiliki budaya kuat, namun pada
kenyataannya kehadiran Islam sedikit banyak mampu mengubah pola keyakinan mereka.
Di atas itu semua, ada serpihan demi serpihan pemahaman Islam telah menimbulkan
konflik, tidak hanya terjadi di antara sesama Muslim, tetapi juga antara Muslim dan non-Muslim.
Namun yang paling terkini mengenai masalah ini adalah persoalan teroris, dimana beberapa
gerakan Islam radikal dipandang, walaupun dianggap memiliki keterkaitan historis dengan
sejarah Islam di Indonesia, telah mengganggu kehidupan umat beragama di negeri ini 6 dan telah
mengacaukan sistem tatanan internasional. Untuk itu, studi ini ingin menjawab beberapa
pertanyaan yang terkait dengan persoalan ini, tentu saja bukan ingin memberikan jawaban salah
dan benar, namun apakah persoalan teroris ini murni karena kesalahan umat Islam memahami
agama mereka atau apakah ada pengendalian spirit untuk mematahkan argumen bahwa Islam
tidak mengenal kekerasan.7 Walaupun perilaku teroris bukan murni hanya dari Islam, namun
setelah perang dunia kedua, upaya untuk menarik Islam pada kutub kepentingan internasional
tidak dapat dinafikan. Untuk itu, telaah ini diharapkan mampu menjelaskan upaya menarik agama
pada kutub radikalisasi, sehingga dengan demikian, akan sangat mudah menempatkan kenapa
spirit teror itu berlaku pada umat Islam di Indonesia.
Di samping itu, untuk mencari jawaban atas kejadian teror selama sepuluh tahun terakhir
di Indonesia dan di Asia Tenggara pada umumnya. Dalam 10 tahun terakhir konflik beragama di
Indonesia Timur juga tidak dapat diabaikan, karena sangat terkait dengan sejumlah aksi teror.
Karena itu, selama 10 tahun terakhir pula, kita banyak disuguhkan informasi atau data mengenai
bagaimana jaringan teroris di Indonesia dan Asia Tenggara. Pada saat yang sama, beberapa
pelaku juga sudah memberikan testimoni mereka mengenai alasan mengapa mereka terlibat di
dalam jaringan teroris internasional.8 Kalau karya dari para akademisi juga tidak sedikit yang
telah menyumbang terhadap studi teroris di Indonesia dan Asia Tenggara. Karya-karya tersebut
kadang terbit karena kepentingan akademik 9 atau kepentingan pendalaman untuk suatu
kebijakan.10 Namun upaya serius untuk mendalami gerakan Islam di Indonesia juga sangat
mengemuka selama 10 tahun terakhir.11 Ini belum lagi upaya di luar Indonesia untuk mengaitkan
kejadian teroris dengan perkembangan gerakan Islam di Timur Tengah. 12
Selama 10 tahun kontribusi pada akademik dalam memberikan konsep-konsep di dalam
memahami gerakan Islam, khususnya yang dipandang sebagai radikal dan bagian dari jaringan

(Azra 1999) (M. R. Othman 2005) (M. R. Othman 1994) (M. R. Othman 1998) (Kahn

2006)
6

(Bubalo and Fealy 2005) (Fealy 2005)


(Bustamam-Ahmad 2003)
8
(Samudra 2004) (Abas 2009)
9
(Abuza 2003) (Abuza 2004) (Abuza 2003) (Gunaratna 2002) (Gunaratna 2003) (Jones
2003) (Jones 2005b) (Jones 2005) (Jones 2003b) (Jones 2003c) (Jones 2005c)
10
Lihat misalnya (Desker 2002) (Desker 2002b) (Wright-Neville 2004)
11
(Anwar 2003) (Azra 2003) (Barton 2004) (Bustamam-Ahmad 2010) (Conboy 2004)
(Damanik 2003) (Effendy 2004) (Hassan 2002) (Jamhari 2005) (Juergensmeyer 2003) (Sirozi
2005) (Umam 2006) (Jahroni and Jamhari 2004) (Wahib 2004) (Zada 2002)
12
(Dillon 2002) (Wilson 2001\2).
7

teroris.13 Di dalam kondisi ini, Islam masih dipandang sebagai objek studi yang sangat
menjanjikan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa salah satu agenda masa depan adalah
bagaimana peran ilmu sosial dalam memahami agama Islam. 14 Karena itu, tidak mengejutkan
bahwa di dalam jurnal internasional dan buku-buku di luar negeri, isu teroris dan peta gerakan
Islam masih sangat dominan, khususnya setelah peristiwa 11 September 2001.15 Inilah yang
menyebabkan studi ini ditulis karena secara akademik, akan sangat baik untuk memilah dan
memilih bagaimana Islam dipersepsikan selama 10 tahun terakhir. Di samping itu, pemaparan ini
ingin memperlihatkan bagaimana pengaruh satu peristiwa terhadap sebuah perjalanan sejarah
agama.
Perkembangan Studi Terorisme
Untuk mendalami studi terorisme atau gerakan keagamaan yang mengedepankan
kekerasan amatlah sulit. Sebab ini dipicu oleh kesusahan di dalam melakukan analisa pada setiap
lapisan unit analisis. Ini belum lagi dominasi analisis mengenai teror sudah banyak sekali,
walaupun tidak ada hal yang baru selain mereka melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam
seperti jihad, alasan historis, dan alasan ideologi.16 Karena itu terkadang analisa di dalam studi
teroris pun sudah diarahkan oleh para ahli teroris yang pada gilirannya muncul dominasi wacana
di dalam studi ini. Dalam hal ini dikutip pandangan Carlyle A. Thayer dari Australian Defence
Force Academy (ADFA) yang mengatakan:
I have grown increasingly concerned about the public discourse on global terrorism by
international terrorist specialists, regional security specialists and area studies/country
specialists. In my view international terrorist experts have succeeded in colonizing the
discourse and analysis of political terrorism in Southeast Asia. This has resulted in the
adoption of a homogenizing framework by regional security specialists. 17
Adapun kesusahan di dalam menganalisa adalah kesukaran di dalam memahami wacana teroris
baik pada skala international (Islam vs. Barat), regional (kenyataan bahwa ada konflik di
beberapa negara ASEAN yang kadang kala sangat mudah ditarik pada kasus terorisme), 18
nasional (harus diakui bahwa setiap negara memiliki sejarah tersendiri mengenai peran Islam
sebelum mereka merdeka);19 dan lokal (dimana kadang kala ada hal-hal yang unik yang terjadi
pada tingkat lokal yang direpresentasikan sebagai bagian dari pemahaman international,
regional, bahkan nasional).20 Adanya isu teroris atau Islam pada masing-masing layer tersebut
menyebabkan tertutup kemungkinan bagi Islam untuk berperan ketika masa-masa penjajahan atau
kerajaan Islam. Upaya untuk membenamkan isu teroris pada setiap layer itu pun, dipicu oleh
gerakan-gerakan Islam yang selalu menganggap aksi teror adalah jihad terbaik untuk
keberhasilan misi mereka.
Hal di atas belum lagi dipicu oleh tumpang tindih di dalam memahami studi teroris,
y
L
y
N 21
Sebagai contoh konsep-konsep Islam (mis. Jihad) dilihat dari kacamata studi keamanan, lalu
dikaitkan dengan sejarah Muslim yang pernah berperang, setelah itu muncul kesimpulan jihad
memberikan kontribusi yang amat penting di dalam penumbuhan ideologi teror. Masuknya
13

(Bayat 2005) (Juergensmeyer 2003) (Voll 2007) (Wiktorowics 2004)


(C. Smith 2008)
15
(Abu-Rabi' 2002) (Desker 2002) (Jervis 2002)
16
Lihat misalnya (Connors 2006) (Hamilton-Hart 2005)
17
(Thayer 2003)
18
Lihat (Manyin 2003) (Rabasa 2004) (Rabasa 2001) (Ruland 2005) (Simon 2002)
19
(Brown 1995) (Islam 2005)
20
(Bustamam-Ahmad 2010) (Bustamam-Ahmad 2010b) (Jones 2010) (Jones 2002).
21
(Maulani 2002) (Maulani 2003) (Maulani 2003b) (Prados 2002) (Rubin 2010).
14

beberapa disiplin ilmu khususnya studi agama atau studi Islam ke dalam wacana teroris, telah
mencampur adukkan basis epistemologi disiplin ilmu, karena semuanya berujung pada klaim
untuk mempertegas ada yang keliru dengan umat Islam. Ini belum lagi persoalan mengenai Islam,
ditulis oleh mereka yang bukan ahli Islam. 22 Kejujuran di dalam studi teroris telah dibenamkan
dengan upaya kepentingan politik global dengan menghapus rentetan sejarah mengenai apakah
teror itu bermula dari Islam. Untuk itu, essay ini ingin mendudukkan studi teroris ini secara umum
dengan menepikan beberapa pra-anggapan mengenai konflik-konflik dan kepentingan pada level
international.
Untuk itu, pengkajian ini bukan ingin mengkaji ulang tentang studi ini, melainkan ingin
mendalami bagaimana sebenarnya studi ini telah merombak tatanan ilmu, baik di Barat maupun
di Timur, ketika konflik kepentingan diarahkan pada bagaimana menempatkan agama pada objek.
Proses pengarahan ini telah berlaku selama beberapa abad, mulai menjajah demi perluasan
agama hingga membunuh karena agama. 23 Bangunan ilmu tentu saja bukan ingin mengaduk-aduk
sebuah persoalan atau menyembunyikan mana yang harus diungkapkan dan mana yang haru
disembunyikan. Jika produksi pemikiran yang merupakan bagian dari pengembangan keilmuan
ternyata menyebabkan kematian atau aksi-aksi teror, maka yang perlu dijelaskan adalah
menguraikan benang kusut ini dengan melihat persoalan secara komprehensif. Sudah pasti ini
bukan persoalan yang mudah, sebab, di dalam kajian teroris misalnya, semua cabang ilmu dan
fungsi ilmu sudah diarahkan pada: a) campur aduk antara klaim pada kenyataan bahwa di
kalangan Islam ada teroris, khususnya ketika dikaitkan dengan beberapa konsep di dalam Islam
seperti jihad dan hirabah;24 b) pemaksaan suatu konsep atau ide yang kemudian diwarnai dengan
kekerasan lalu ada pemutaran logika untuk membenarkannya, karena ada kepentingan para pihak
yang dinegosiasikan dengan ilmuwan supaya mereka menjustifikasi bahwa apapun yang mereka
lakukan adalah dapat diterima secara ilmiah. Di kalangan para teroris, tidak sedikit ilmuwan
yang sudah mencapai gelar akademik yang mampu menciptakan semangat teror. Demikian pula,
mereka yang melawan teroris yang menggunakan kekerasan juga tidak sedikit dibantu oleh para
ilmuwan. Pertanyaannya adalah apakah ilmuwan berperan aktif di dalam menciptakan suasana
teror atau sebaliknya?
Karena itu, di dalam studi teroris, agak sulit memisahkan mana sebuah penyelidikan
yang murni akademik atau penyelidikan sebagai studi kebijakan. Artinya, penggunaan metodemetode ilmiah untuk memutarbalikkan fakta atau menjadikan fakta sebagai legitimasi moral dan
agama untuk membuat kekerasan adalah fenomena yang tidak dapat dielakkan. 25 Dalam studi ini
misalnya, ada keinginan untuk tidak memakai sumber-sumber dari studi kebijakan, namun karena
dominasi kajian teroris pada arah pemikiran banyak ditelurkan dari studi kebijakan, maka hal ini
tidak memberikan pilihan untuk melakukan hal sebaliknya. Sebagaimana dilihat nanti daftar
pustaka, tidak sedikit rujukan dari studi teroris diambil dari lembaga-lembaga internasional yang
memiliki pandangan terhadap studi terorisme selama 10 tahun terakhir. Namun demikian, sebisa
mungkin akan dicari karya- y y

N 26
Ada beberapa alasan mengapa dipilih topik memperingati 10 Tahun Perang terhadap
Teror di Asia Tenggara. Pertama, selama 10 tahun lebih telah dikumpulkan bahan mengenai
teroris dan gerakan Islam di Asia Tenggara. Dalam 10 tahun terakhir telah ditempuh beberapa
perjalanan mulai dari Aceh Yogyakarta Kuala Lumpur Melbourne Davao hanya karena
keingintahuan tentang apakah benar masyarakat Islam sudah begitu mudah ditarik pada isu
teroris. Dalam perjalanan ini saya telah melihat bagaimana kondisi umat Islam dan non-Islam di
22

Lihat (Bustamam-Ahmad 2010)


(D. L. Lewis 2008) (Stern 2005)
24
(Jackson 2002) (Jackson 2001) (Cook 2005) (Peters 1996) (El-Fadl 1999).
25
Lihat misalnya (Byman 2003)
26
Untuk melihat karya-karya tentang topik ini, baca (Mitchell and Hashmi 2005)
23

dalam memperlihatkan sikap mereka terhadap isu teroris. Beberapa hasil dari perjalanan
memang telah menjadi bahan penelitian dan beberapa diantaranya sudah diterbitkan. 27 Salah satu
hal yang menarik adalah pengalaman meneliti struktur masyarakat Islam ini kemudian
menggiring pada sebuah gugatan di dalam pemikiran bahwa begitu banyak data yang telah

dikumpulkan, maka kenapa tidak ditulis review


Asia Tenggara, dengan memfokuskan diri pada Indonesia. Hal ini disebabkan selama perjalanan
tersebut selain berusaha memahami masyarakat Islam, juga berkesempatan mendapatkan datay

y N
QP
terakhir, berhasil bertemu da
terorist expert
mencoba memahami bagaimana jalan pikiran mereka di dalam menyajikan ide mengenai studi
teroris di Asia Tenggara. Jadi, studi ini bukanlah ingin memberikan informasi bagaimana
jaringan teroris di Asia Tenggara, melainkan menawarkan sebuah kajian pada bagaimana kajian
teroris dan kontruksi pemikiran umat Islam yang dijadikan sebagai bahan kajian baik dalam

N
Kedua, essai ini adalah kelanjutan dari karya penulis28 sebelumnya mengenai bagaimana
dampak pemikiran Samuel P. Huntington dengan teorinya The Clash of Civilizations terhadap
Muslim.29 Jadi, jika buku sebelumnya mencoba menganalisa 10 tahun terakhir paska-the Clash of
Civilizations, maka makalah ini mencoba menganalisa dampak satu dasawarsa dari Perang
Melawan Teror dengan lebih menyempitkan kajiannya pada Asia Tenggara. Harus diakui bahwa
selama 10 tahun terakhir karya-karya mengenai Islam teroris Islam radikal memang telah
membanjiri dunia intelektual. Beberapa sarjana menganggap studi ini sangat mendesak untuk
dilakukan, karena dianggap perlu penjelasan secara akademik mengenai bagaimana dinamika
internal masyarakat Islam hingga menyebabkan munculnya teroris di Asia Tenggara. Demikian
pula, selama 10 tahun terakhir, kita seolah-olah tidak punya ruang kajian yang lain, kecuali
melihat Islam dari isu Khilafah Islamiyyah, Negara Islam, hukum Islam, radikalisme, Wahabisme,
Salafism dan jihad. Agaknya apapun yang dilakukan oleh umat Islam, selalu dikaitkan dengan isuisu tersebut. Pada saat yang sama, isu-isu global seperti human security, non-traditional security,
kosmopolitan, HAM, gender, pluralisme, dan modernisme masih menempatkan diri mereka pada
upaya tandingan untuk menaklukkan kesadaran internal umat Islam. Perang wacana ini telah
berlangsung di kawasan ini secara sangat demonstratif. Sehingga perang ini pun membangkitkan
kesadaran sosial umat Islam untuk melihat bahwa apapun yang datang dari Barat dianggap
sebagai sesuatu yang harus ditolak dan disebarkan kepada masyarakat mereka. Dalam kondisi
ini, perilaku masyarakat Islam ini dianggap bisa membangkitkan kebencian terhadap negaranegara adi kuasa seperti Amerika Serikat dan sekutunya. 30
Berangkat dari dua alasan di atas, maka digabungkan keduanya menjadi alasan ketiga
yaitu ada keinginan kuat untuk memberi kontribusi pada studi terorisme yang sudah marak
selama 10 tahun terakhir. Walaupun isu terorisme ini muncul di Asia Tenggara selama dua
dekade terakhir, namun karya dalam bahasa Indonesia yang menjelaskan bagaimana kita
memahami terorisme sangatlah sedikit. Jika pun ada, karya-karya tersebut muncul dari
pengakuan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya31 atau menjabarkan teori konspirasi,32 sehingga
yang muncul adalah dominasi karya-karya yang berbahasa Inggris yang kadang kala, tidak
27

(Bustamam-Ahmad 2003b) (Bustamam-Ahmad 2009) (Bustamam-Ahmad 2007)


(Bustamam-Ahmad 2008)
28
(Bustamam-Ahmad 2003)
29
(Huntington 1997)
30
(Lim 2005) (Snyder 2003) (Sunstein 2005). Lihat juga (Esposito 2006) (Faath 2006)
(Fealy 2003) (Pollack 2003)
31
(Abas 2009) (Awwas 2003) (Awwas 2001) (Jones 2009)
32
(Akaha 2002) (Junaedi 2003) (Conboy 2004) (Tempo 2003). Lihat juga (Dreyfuss 2005)
(Shalih 2000)
5

sampai pada pembaca yang sulit memahami bahasa tersebut. 33 Karena itu, minat untuk
menyajikan sebuah karya yang utuh tanpa melihat dari unsur kepentingan dari pihak manapun.
Ada apa dengan isu teror di Asia Tenggara selama satu dasawarsa terakhir. 34 Dengan kata lain,

y
L y

N
Namun demikian, amat disadari jika kemudian titik tekan buku ini adalah mengenai
teroris, bukan istilah lain. Walaupun istilah ini masih mengundang sejumlah perdebatan,
sebagaimana akan dijelaskan pada bab berikutnya, namun perhatian internasional terhadap
definisi teroris pun sangat mendominasi dalam literatur studi Islam ( Islamic studies). Bahkan
karena istilah ini pula pola studi Islam pun hampir terjungkir balik. Beberapa ahli Islam
kemudian menjadi ahli teroris. Namun tidak sedikit ahli teroris yang sama sekali bukan dari ahli
Islam. Sehingga jalur untuk membangun paradigma studi teroris pun tidak jauh berbeda dengan
jalur membangun sebuah studi pertahanan, dimana Islam di dalamnya dijadikan sebagai bagian
yang terpenting. Usaha ini tentu saja dapat menyebabkan posisi ilmu menjadi tidak lagi bebas
nilai. Karena siapa yang paling berkuasa, maka dialah yang boleh menafsirkan kata-kata yang
y N
L

berubah me

y
N
L
peran ilmu sosial ternyata masih sangat penting dalam membumikan istilah teror, tidak hanya
dikalangan non-Muslim, tetapi juga umat Islam sendiri. Atas kenyataan tersebut, tertarik untuk
mengupas bagaimana permainan istilah di kalangan para ilmuwan, 35 khususnya yang
berhubungan bagaimana menempatkan Islam dalam kutub yang serba salah. 36

Studi Terorisme di Asia Tenggara


Adapun fokus studi ini adalah Asia Tenggara dimana beberapa ahli menyebutkan sebagai
surganya para teroris.37 Namun demikian, negara-negara yang paling aktif dalam menangani isu
ini adalah Indonesia, Pilipina, Malaysia, Singapore, dan Thailand. Setelah tragedi 11 September
2001, Asia Tenggara memang mendapat perhatian dunia internasional, khususnya bagaimana
Amerika membangun paradigma perang melawan teroris di setiap negara dan meyakinkan
mereka bahwa teroris memang ada di Asia Tenggara. Jadi, setelah perang melawan teror ditabuh
oleh pemerintah Amerika, maka situasi Asia Tenggara pun berubah total, khusus terkait dengan
persoalan teroris. Dengan kata lain, ukuran hubungan negara-negara di Asia Tenggara,
pemerintah Amerika lebih mengukurnya pada tingkat keseriusan di dalam menangani teroris. 38
Namun pada saat yang sama, beberapa sasaran teroris di Asia Tenggara pun selalu dikaitkan
dengan simbol-simbol Amerika dan sekutunya. Bom-bom yang meledak, khususnya di Indonesia,
terkadang menjadi pesan kepada Amerika secara simbolik untuk mengubah tingkah laku
pemerintah terhadap umat Islam.39 Hanya saja, sampai saat ini, menurut kabar resmi hanya dua
orang teroris yang ditangkap di Asia Tenggara oleh pemerintah Amerika Serikat yaitu Hambali
dan Omar al-Farouq.40 Keduanya diduga sebagai penghubungan sel al-Qaeda di Asia Tenggara.

33

(Rabasa 2001)
Lihat misalnya (Fealy and Hooker 2006)
35
Lihat misalnya (Bhatia 2005) (Derian 23-37) (Schmid 2004)
36
(B. Lewis 2002) (B. Lewis 2003)
37
(Ramakrishna and Tan, Is Southeast Asia A "Terrorist Heaven"? 2003) (Sidel 2003)
38
(Niksch 2003) (Boyce 2004) (A. L. Smith 2003) (TAF and USINDO 2002)
39
(Sunstein 2005)
40
(Conboy 2004)

34


Islamiyyah. Organisasi ini dipercayai sebagai veteran Perang di Afghanistan pada masa Perang
Dingin telah melakukan sekian aksi teror selama 10 tahun terakhir. Namun demikian, pada
tingkat negara, ada beberapa organisasi Islam juga yang diduga kuat merupakan bagian dari

yy N Studi ini tentu saja bukan lagi ingin melihat apakah gerakan ini
benar adanya, namun ingin mendalami bagaimana pengaruh veteran Perang ini di Asia Tenggara
melalui jaringan hingga mampu merekrut pengantin demi pengantin untuk melakukan aksi-aksi
teror di kawasan ini. Hal ini sekali lagi tidak ingin menyebutkan bahwa jika pada level
internasional, publik diarahkan pada gerakan Al-Qaeda, sedangkan pada level Asia Tenggara
y

yy N
-Qaeda dan

yy
Tenggara.41 Pada masing-masing negara masih ada lag

seperti KMM di Malaysia, MMI di Indonesia, 42 Moro National Liberation Front (MNLF) dan
gerakan Abu Sayyaf di Philippina,43 dan konflik di Thailand Selatan bahkan sudah ditarik pada
bagian dari gerakan teroris di Asia Tenggara.44 Adapun di Singapura, nama JI masih dipandang
y

N45
Jadi, Asia Tenggara selama 10 tahun terakhir, khususnya setelah krisis pada tahun 19971997, telah mengalami suatu sejarah perang melawan teror. Harus diakui selama tahun terakhir
juga beberapa kepala negara di kawasan ini, terutama Indoneia, Malaysia, Singapura, dan
Philippina juga telah mengalami pergantian melalui gerakan reformasi. Di dalam hal ini,
Indonesia mencontoh contoh penting bagaimana kemunculan gerakan Islam paska-reformasi,
seperti Lasykar Jihad, MMI, HTI, FPI, dan lain sebagainya. Tidak sedikit muncul gerakan sosial
keagamaan yang menuntut adanya pergantian rezim untuk mendirikan pemerintahan sendiri
dengan menuntut kemerdekaan dari negara induk, seperti di Indonesia (Aceh, Papua, dan Timur
Timor), Thailand (Pattani, Yala, Narathiwat), Filiphina (Mindanao). Demikian juga gejolak
konflik antar agama seperti di Maluku, Ambon, dan Poso ternyata tidak sedikit yang dikaitkan
dengan jaringan teroris di Asia Tenggara. Beberapa gerakan Islam menganggap ketiga kawasan

L
dengan Buddha. Sedangkan di Mindanao konflik masih terus terjadinya antara Muslim dengan
pemerintahan Manila yang mayoritas beragama Kristen.
Isu teroris di Asia Tenggara juga subur manakala ada konflik internal dan juga pengaruh
dari konflik di Timur Tengah, khususnya ketika Perang Dingin (Cold War) dan konflik negaranegara Arab dengan Israel. Akar-akar konflik ini bertemu di dalam satu kepentingan yaitu
menegakkan Khilafah Islamiyyah dan menghancurkan simbol-simbol kekuatan Barat yang
direpresentasikan oleh Amerika Serikat. Artinya perang melawan teror sendiri sudah menjadi
sebagai ajang untuk memunculkan konflik pada level internasional dengan menggabungkan
dengan isu-isu yang merupakan warisan sejarah hubungan Islam dengan Barat. 46 Karena itu,
kajian ini mencoba mengulas bagaimana pertemuan isu tersebut di dalam kerangka persoalan
teroris selama 10 tahun terakhir di Asia Tenggara. Tegasnya, studi ini ingin memilih dan memilih
pertemuan isu, mulai dari kemunculan isu teroris itu sendiri hingga pada banyaknya anak muda
41

(Abuza 2004) (Abuza 2002)


(Ahnaf 2004) (Awwas 2003) (Awwas 2001) (Zada 2002)
43
(Gutierrez and Borras 2004) (Santos, Peace Negotiations between the Philippine
Government and the Moro Islamic Liberation Front: Causes and Prescriptions 2005)
44
(Abuza 2005) (ICG 2005) (Tan-Mullins 2006) (I. Yusuf, Faces of Islam in Southern
Thailand 2007).
45
(Desker 2003) (Gee 2002) (Sebastian 2005) (Ministry of Home Affairs Republic of
Singapore 2003)
46
(Chau 2008) (Glassman 2005) (Noor 20067) (Ramakrishna 2005) (Tang and
Ramakrishna 2004) (Vaughn 2004)
42

Islam yang memiliki komitmen untuk melakukan aksi-aksi bom bunuh diri, seperti yang terjadi di
Indonesia.
Pergumulan Mencari Data dalam Studi Teroris
Selama 10 tahun terakhir penelitian ini disiapkan. Untuk mendapatkan data, maka selain
publikasi baik nasional maupun internasional, pun telah berada di beberapa kawasan untuk

N
RPPQ
teror diproklamasikan oleh pemerintah Amerika Serikat, saya berada di Yogyakarta dan
Malaysia. Setelah itu saya melanjutkan studi master di Universitas Malaya dengan konsentrasi
Politik Islam di Asia Tenggara. Selama menjadi mahasiswa di Kuala Lumpur, saya menyempatkan
diri untuk terus menggali berbagai data tentang gerakan Islam dan isu terorisme di pentas global.
Tahun 2002-2003, saya kembali ke Indonesia untuk menjadi dosen luar biasa pada Fakultas
y
H
I
N
, saya mengikuti perkembangan ini
hingga menghasilkan buku Satu Dasawarsa The Clash of Civilizations (2003).47
Tahun 2004 saya pun membelokkan studi ke dalam kajian perbandingan hukum Islam di
Asia Tenggara, sekedar untuk membuktikan apakah benar mereka yang menerapkan hukum Islam
terkait dengan isu terorisme atau radikalisme. Saat itu, saya mengambil studi kasus Aceh dan
Kelantan. Hasil penelitian ini pun kemudian diterbitkan pada tahun 2009. 48 Selama tahun-tahun
tersebut saya masih mengumpulkan bahan dari berbagai sumber untuk mendalami gerakan Islam
di Asia Tenggara. Pencarian bahan ini berlanjut hingga tahun 2005 dimana saya menjadi staf
pengajar di salah satu kampus di Thailand Selatan yaitu Universitas Walailak. 49 Disini diikuti
perkembangan gejolak di Thailand Selatan. Saya sempat berjumpa dengan beberapa peneliti
Islam dan konflik di Asia Tenggara. Dari mereka didapatkan banyak informasi bagaimana
memahami duduk perkara di kawasan konflik. Di kawasan tersebut, juga kerap mendengarkan
penuturan orang Melayu dari Asia Tenggara tentang mengapa mereka berontak terhadap
pemerintah Thailand dan kenapa mereka tidak mau dicap sebagai teroris, karena mereka
menuntut kemerdekaan. Mereka lebih merasa sebagai orang Melayu ketimbang sebagai orang
Thai.
Selama disana, sempat menyempatkan diri untuk terus membidik studi tentang gerakan
Islam di Asia Tenggara, dengan memfokuskan pada Malaysia. 50 Karena dalam asumsi saya,
Malaysia berperan penting di dalam konflik di Thailand dan isu terorisme di Indonesia. Dari
beberapa hasil interview dengan mereka yang terlibat di dalam konflik di Thailand Selatan,
hampir semua menyimpulkan bahwa Malaysia berperan aktif di dalam membangkitkan sentimen
Melayu di kawasan tersebut. Walaupun ini interview off the record, saya tidak punya alasan lain.
Beberapa personel intelijen Thailand pernah ditangkap di Malaysia, ketika mereka hendak
melaporkan bahwa ada aktivitas yang merugikan Thailand di Malaysia. Begitu juga salah
seorang dosen dari Pattani menceritakan bagaimana keterlibatan pihak-pihak keluarga yang
punya pengaruh di Malaysia terhadap konflik di Thailand Selatan. Semua data ini tentu saja tidak
bisa diverifikasi ulang kepada pemerintah Malaysia. Karena itu, saya menganggap asumsi ini
perlu pembuktian, ketimbang saling klaim satu sama lain.
Setelah berada di Thailand Selatan, tahun 2006 pindah ke Melbourne, Australia untuk
menempuh studi doktoral di Universitas La Trobe. Dalam bulan-bulan awal di kampus tersebut
menghabiskan jam-jam penelitian kepustakaan dengan membaca karya-karya tentang terorisme.
Pada saat yang sama, juga menonton beberapa rekaman liputan wartawan asing mengenai
terorisme di Asia Tenggara, khususnya di Asia Tenggara. Bahan-bahan tersebut akhirnya tidak
47

(Bustamam-Ahmad 2003)
(Bustamam-Ahmad 2009) (Bustamam-Ahmad 2007)
49
(Bustamam-Ahmad 2007)
50
(Bustamam-Ahmad 2009) (Bustamam-Ahmad 2007)
48

dapat digunakan dalam studi Asia Tenggara, karena terkendala dengan peraturan mengenai etika
penelitian di Australia, yang mengharuskan seorang peneliti tidak melakukan penelitian yang

N
L
y
y
tersimpan dalam database. Karena itu, jika dalam draft ini banyak rujukan atau jurnal-jurnal
internasional, maka itu semua didapatkan karena fasilitas perpustakaan yang diperoleh di kampus
ini. Dalam mencari data, diupayakan untuk melihat dari sumber yang sudah dipublikasikan,
bukan testimoni teroris seperti yang banyak digunakan oleh beberapa peneliti teroris atau hasilhasil investigasi intelijen di Asia Tenggara.
Untuk melengkapi studi lapangan, saya pun memadukan antara data yang didapatkan di
Yogyakarta, Jakarta, Kuala Lumpur, Thailand Selatan dengan penelitian lapangan saya selama
14 bulan. Saat itu, memang tidak mengkaji terorisme, namun dilakukan penelitian etnografi pada
sebuah organisasi transnasional Islam51 y

N
L ada beberapa
hal yang didapatkan yang kemudian menjadi bahan utama menulis laporan disertasi. Namun
demikian, data-data yang tidak terkait dengan topik disertasi yang pernah ditemukan selama
penelitian ini tersimpan rapi. Misalnya, ada sekelompok tentara khusus di Malaysia yang
purnawirawan yang pernah berlatih membuat bom di Russia. Demikian pula, saya bertemu
dengan beberapa veteran perang di Afghanistan. Disamping itu, jejaring bawah tanah beberapa
y

Pakistan.
Setelah itu, kembali ke Aceh. Secara tidak langsung menjadi penonton terhadap beberapa
peristiwa penting, baik di Jakarta seperti bom maupun di Aceh ketika terbongkarnya jaringan
terorisme dengan penyergapan di kamp pelatihan di kampung Jalin Aceh Besar pada bulan
Februari 2010. Semua peristiwa memang terkait satu sama lain, mulai dari Afghanistan ke
Mindanao, dari Pamulang dan Pemalang sampai ke Aceh. Agaknya titik terakhir isu teroris di
Indonesia berhenti di Aceh, manakala terjadi kontak tembak antara aparat keamanan dengan
kelompok teroris pada tanggal 22 Februari 2010. Dapat dikatakan, bahwa perjalanan isu teroris
di Asia Tenggara, hampir seperti perjalanan isu radikalisme hingga separatisme. Dalam situasi
ini, kadang kita menjadi penonton atau hanya sekedar melihat apakah ada penjelasan yang
komprehensif mengenai semua perjalanan isu ini di Asia Tenggara. Penjelasan yang kerap
muncul dalam studi terorisme, sejauh yang diamati, bahwa ada hubungan kuat antara Asia
Tenggara dengan Afghanistan dan Pakistan. Namun demikian, negara seperti Libya juga banyak
menyumbangkan spirit perlawanan di Asia Tenggara, khususnya ketika mereka memberikan
latihan kepada kelompok separatis, khususnya di Aceh dan Mindanao, tidak begitu dimunculkan
dalam studi teroris, tetapi lebih pada kajian tentang separatis.
Selain itu, isu terorisme tidak jauh dengan isu permainan intelijen, baik pada skala
regional maupun internasional. Proses penyusupan agen dalam tubuh gerakan Islam pun dapat
diamati dengan baik. Walaupun ini kemudian menyisakan sejumlah pertanyaan seperti bagaimana
spirit teror dibudidayakan hingga menjadi sebuah persoalan besar selama 10 tahun terakhir di
Asia Tenggara.52 Disinilah posisi yang cukup dilematis bagi peneliti gerakan Islam. Isu yang
dialami amatlah sangat menantang, namun keselamatan dan gerak gerik selalu dipantau oleh
aparat keamanan di beberapa negara. Laporan ini memang mengejutkan ketika misalnya ada
warga asing yang paham betul bagaimana sepak terjang di Asia Tenggara. Begitu juga nama
y

di Indonesia, karena saya pernah mencoba


mewawancarai beberapa pentolan GAM ketika melakukan penelitian mengenai isu separatisme di
Aceh pada tahun 1999. Karena itu, dalam melakukan penelitian yang cukup menantang ini
terkadang kita tidak tahu siapa yang kita hadapi atau wawancarai, kecuali ada informasi lain

51

Mengenai kajian mengenai transnasional Islam, baca (Mandaville 2009)


(Abduh 2003) (Junaedi 2003) (Maulani 2003) (Maulani 2003b) (Dreyfuss 2005)
(Ridwan 2008)
52

yang menyebutkan siapa mereka. Selama 10 tahun terakhir dengan bepergian di beberapa negara
membuktikan bahwa isu terorisme ini tidak boleh dipahami secara hitam dan putih.
Terkait dengan kualitas data atau data yang bisa dipercaya, saya sedikit dilematis. Hal
ini disebabkan dalam studi teroris, jika menulis terlalu detail, maka boleh jadi data yang
didapatkan hasil dari investigasi ke dalam jaringan tersebut. Selain itu, boleh jadi sang peneliti
dituduh mendapatkan data atau informasi dari dinas intelijen. Karena itu, sampai sekarang
informasi mengenai jejaring terorisme masih sangat dikuasai oleh dinas intelijen. Sangat mungkin
data tersebut diberikan kepada peneliti atau terrorist expert yang menulis mengenai jejaringan
terorisme. Demikian juga, jika terlalu banyak merujuk pada kelompok yang lebih mengedepankan
teori konspirasi, maka titik analisanya tidak akan pernah jauh dari Amerika versus Islam. Dalam
hal ini, data mengenai terorisme, khususnya beberapa pengakuan teroris selama diinterogasi
memang telah dimiliki oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Australia, dan
Singapura. S y

L
y
sudah terpublikasikan maupun tidak terpublikasikan. Dalam hal ini, saya akan banyak merujuk
pada data yang telah terpublikasikan, mulai dari buku, jurnal, hasil penelitian, majalah, koran,
dan catatan-catatan pribadi yang bisa diakses oleh publik.
Semua data di atas dijadikan sebagai alat analisa dengan mempertimbangkan bahwa
y
y

N
y L
y
paling radikal dalam menulis atau menganalisa, harus dilihat siapa yang berada dibaliknya dan
kenapa dia terlalu keras dan tidak pernah dijamah oleh aparat keamanan. Demikian pula, ada
beberapa tokoh gerakan Islam yang ternyata tidak hanya berjuang untuk agamanya, namun juga
demi kepentingan negaranya. Sebagai contoh, hasil penelitian Sidney Jones melalui ICG
(International Crisis Group) dianggap paling berkualitas oleh pihak internasional. 53 Sementara
bagi pihak yang dirugikan, mereka menganggap datay

N54 Namun
harus diakui, bahwa dalam studi terorisme di Asia Tenggara nama Sidney dan ICG tidak pernah

NW

y
y
mendapatkan informasi dari aparat keamanan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau
melalui jasa pewawancara yang ditugasi untuk melakukan investigasi tentang teroris di suatu

yy
kawasanN
L
y

dianggap sebagai pengkhianat oleh kawannya. Namun demikian, dia dianggap sebagai

N
k kawan seperjuangannya
yakni Imam Samudra. Disini data-data yang mereka tampilkan bisa jadi utuh, tetapi konteks
kepentingannya boleh jadi tidak utuh lagi.
Kaji Ulang Makna Teroris: Man of Terror Versus Man of War
Ketika tragedi 11 September 2001, majalah Times menurunkan laporan khusus mengenai
situasi kesedihan yang menimpa pemerintah Amerika Serikat. Pada edisi 24 September terlihat
George W. Bush sedang mengirim pesan kepada para teroris di seluruh dunia. Pesan inti dari
akibat tragedi ini adalah Amerika sedang berada dalam sebuah perang. Musuh utamanya adalah
Osama bin Laden yang wajahnya ditampilkan pada halaman 47 dengan gambar yang berwajah
merah darah.55 Sejak bulan September hingga hari ini, nama Osama bin Laden menjadi sangat
terkenal. Berbagai karya menyebutkan bahwa dia merupakan salah seorang Man of Terror.
Ketika orang mendengar nama Osama bin Laden, selalu dikaitkan dengan organisasi teroris yang
diburu di seluruh dunia yaitu Al-Qaeda.56
L
better than anything available from
(ICG 2003, 13).
54
(Awwas 2003, 45-47) (Junaedi 2003, 57-62).
55
(Beyer 2001, 47).
56
Tentang al-Qaeda baca misalnya (Byman 2003) (Doran 2002)

53

Menurut staf

intelligence agencies

10

Sembilan tahun kemudian tepatnya bulan Februari, majalah Times kembali menurunkan
laporan yang bertajuk Man of War yaitu Robert Gates. Dia adalah orang nomor wahid di
lingkungan pemerintahan Amerika Serikat yang telah berjasa menciptakan beberapa kebijakan
perang sejak tahun 1974 hingga pada masa pemerintahan Obama. Pada tahun 1974-1977 dia
bertugas sebagai staf di Dewan Keamanan Amerika Serikat dibawah pemerintahan Ford.
Kemudian pada era Carter, Robert Gates adalah ahli dalam bidang Uni Sovyet dalam tubuh CIA.
Sementara pada masa Reagan (1981-1989), dia menjadi wakil direktur CIA. Karir dalam bidang
intelijen kembali naik ketika dia menjadi Direktur CIA pada masa Goerge Bush (1989-1993). Lalu
pada masa George W. Bush selama 8 tahun menjadi Sekretaris Keamanan (2001-2009). Akhirnya,
pada tahun 2009 diangkat menjadi Sekretaris Keamanan pada pemerintahan Obama. 57 Sehingga
Times menetapkan Robert Gates sebagai Man of War. Artinya tidak sedikit operasi intelijen dan
keputusan perang bisa jadi muncul dari Man of War ini. Bahkan menurut para Mujahidin Afghan

N 58
Dari sosok Man of Terror dan Man of War inilah kemudian muncul slogan dari Bush
yaitu War Against Terror paska 11 September 2001.59 Jadi, secara bahasa ini adalah perang
antara sosok seperti Osama bin Laden dengan Robert Gates. Titik pertemuan mereka adalah
ketika perang dingin (Cold War) dimana Amerika melatih Mujahidin untuk melawan tentara Uni
: As deputy director
Sovyet. Dalam laporan mengenai Robert Gates sebagai Man of War

of intelligence at the CIA in the 1980s, he signed off on the decision to ramp up U.S. aid to the
mujahedin, including the supply of Stinger anti air craft missiles.60 Tentu saja hal-hal seperti ini
tidak akan dijumpai dalam kajian teroris di Asia Tenggara, khususnya kajian kebijakan mengenai
teroris, yaitu adanya perang antara Man of Terror dan Man of War yang disatukan menjadi War
Againts Teror. Sosok Osama bin Laden sampai hari ini masih misterius, walaupun sudah
meninggal dunia di Pakistan.61 Semua orang yang dekat dengannya ditangkap atas nama jaringan
teroris al-Qaeda. Khususnya untuk Asia Tenggara, jaringan yang selalu dikaitkan dengan alQaeda adalah Jemaah Islamiyyah. Lebih dari itu, berbagai operasi intelijen dilakukan untuk

roris dari masyarakat umum yang kemudian ditahan di Guantamo. 62 Jika Robert
Gates mengatur strategi perang di gedung yang dipenuhi dengan alat-alat yang super canggih,

y L
y y

N
L
semuanya berujung pada kematian demi kematian atas nama ideologi yang diyakini oleh masingmasing pihak yang berada di belakang Man of Terror (MoT) dan Man of War (MoW.63
Untuk membuktikan bagaimana peran dan pengaruh dari MoT dan MoW, maka dapat
dihubungkan dengan salah satu program yang dikenal dengan istilah the Project for a New
American Century (PNAC), sebuah lembaga think tank yang menyusun bagaimana perang harus
terjadi, khususnya di Iraq dan kaitannya dengan 9/11. 64 Lembaga ini memang didesain bagaimana
MoW mampu menciptakan keputusan-keputusan penting dalam menjalankan misi perang. 65
Disebutkan bahwa PNAC beranggotakan pegawai pemerintahan dan juga para penerbit dan
orang-orang yang mengendalikan berita media massa. Mereka juga mampu mengakses sumbersumber berita yang punya kaitan dengan PNAC. Selain itu, mereka adanya perhatian yang sama
57

(Rubin 2010, 23).


(Rubin 2010, 22).
59
Lihat misalnya (Bush 2001)
60
(Rubin 2010, 22).
61
Lihat misalnya proses perburuan Osama dalam beberapa operasi intelijen Amerika
dalam (Miniter 2003)
62

L
(Ayres 2005) (Yin 2005)
63
(Phillips 2006)
64
(Altheide and Grimes 2005, 617)
65
Lihat misalnya pengalaman Robert Gates ketika berada dalam keputusan penting dalam
sebuah peperangan di Amerika Serikat dalam (Gates 2008).
58

11

di kalangan pemimpin politik dan jurnlis mengenai 9/11 dan pemahaman yang sama juga
terhadap kerja sama untuk melindungi Amerika Serikat. 66 Tentu saja MoW akan berada di pihak
ini. Sedangkan MoT akan menjadi musuh dalam permainan perang ini.
Salah satu kawan saya dari Arab Saudi pernah berkelakar dengan saya bahwa di Timur
y y
L
: I kill me then kill youA
tidak paham dengan kalimat ini. Namun sang teman hanya tersenyum dan tidak mau menjelaskan
apa makna ungkapan tersebut. Lalu saya pun mencoba menerjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia yang berarti : saya bunuh saya kemudian bunuh kamu! Setelah agak lama memikirkan,
saya pun dapat menangkap makna dibalik ungkapan itu. Teman saya menyebutkan ini adalah kata
lain dari bom bunuh diri. Tentara asing di Timur Tengah paham betul akan arti dari ungkapan
atau bahasa tubuh. Ketika saat konflik di Aceh ada ungkapan di kalangan aparat keamanan
y :
y L
N
-lagi
ada makna tersembunyi mengenai pesan kekerasan yang dibalik ungkapan-ungkapan tersebut.
Candaan yang membawa maut memang bisa menjadi bahan tertawaan, namun sangat mengerikan
jika kemudian tidak sedikit bom bunuh diri yang dilakukan oleh para teroris, tidak hanya dari
Islam, tetapi juga dari non-Islam. Ketika beberapa aktor bom bunuh diri di Indonesia, mereka
malah dipanggil dengan nama pengantin. Jadi, saat mereka meledakkan diri dan beberapa orang
di sekitarnya tewas, maka dia sedang melakukan pesta perkawinan. Apakah mereka kawin dengan
y
y

maut? Tentu saja disitu ada proses yang tidak begitu singkat ketika seseorang dijadikan
pengantin.
Namun demikian, dalam majalah Times edisi 24 Maret 2003 terdapat laporan dengan
judul An American Family Goes to War.67 Dalam laporan ini ditunjukkan sikap patriotik sebuah
keluarga Amerika yang mengabdikan diri mereka terhadap bangsanya untuk berperang di Iraq
pada masa pemerintahan Bush. Sang istri dan suami meninggalkan anak mereka yang bernama
Lauren, konon disebutkan mereka selalu tidak bisa menikmati momen-momen terbaik di dalam
keluarga mereka, karena perang di Perang Teluk. Disini tentu saja keduanya bukan pengantin
yang rela menyumbangkan nyawanya seperti teroris. Sebab mereka datang ke Teluk bukan
berpelisiran, melainkan mengatur siaat perang bagaimana menghabisi sebanyak mungkin musuh
di medan tempur. Selama orang tuanya berperang di Iraq, anaknya menuturka : I like sleeping
[Saya lebih suka tidur di rumah kawan

selama satu bulan. Tetapi ini bukan rumah]. 68 Sekarang mari kita bandingkan dengan keluarga
teroris yang melakukan hal serupa, meninggalkan anak dan istri demi jihad. Sang istri terkadang
harus banting tulang untuk menghidupi keluarga. Bahkan tidak jarang ketika suaminya tertangkap
atau tewas di medan jihad, mereka pun harus berurusan dengan aparat keamanan. 69 Pengalaman
keluarga Richardsons tentu sama dengan keluarga para teroris, yaitu selama mengabdikan diri
untuk negara dan agama, keluarga seolah-olah hilang momen terpenting. Ini belum lagi jika
anggota keluarga mereka gugur atau tewas di dalam misi seperti Victor Lu yang berasal dari
Vietnam pindah ke Amerika dan anak mereka tewas di dalam medan pertempuran. 70
Pertanyaannya adalah apakah kita bisa menukar posisi keluarga teroris dengan keluarga
Richardson dan Victor Lu di Amerika Serikat?
Tentu saja tidak, karena masing-masing identitas sudah dibangun sesuai dengan ideologi.
Kepiawaan keluarga Richardson dalam ilmu infanteri sama dengan kepiawaan para teroris
termasuk membaca peta. Pada intinya perilaku mereka sama, namun berbeda cara pandang
66

(Altheide and Grimes 2005, 619)


(Gibbs 2003)
68
(Gibbs 2003, 34).
69
"Akta Keselamatan Dalam Negeri: Suami Jadi Mangsa, Isteri Menderita," SIASAH,
September 2001.
70
(Powell 2005)
67

12

masyarakat terhadap aksi mereka. Keluarga Richardson akan dimasukkan dalam barisan
pahlawan jika mereka gugur, namun dikalangan orang Islam, mereka adalah kafir. Keluarga
teroris akan dianggap sebagai syuhada oleh beberapa umat Islam, namun mereka dianggap
sebagai penyebar maut oleh para pemburu teroris. 71 Hal ini belum lagi jika aksi-aksi teror harus
diperlihatkan di dalam media massa. Tentu saja pengaruhnya cukup luar biasa, tidak hanya
pendukung terorisme, tetapi juga bagi penentangnya yang kemudian melegalkan upaya mereka
untuk melakukan hal-hal yang bersifat teror. Namun ketika berbicara mengenai kemanusiaan atau
kemaslahatan, tidak jarang pengikuti MoW and MoT tidak bisa berbuat banyak, selain
mengatakan itu adalah bagian dari sebuah perjuangan demi agama atau bangsa. Ketika 9/11
2001 terjadi, Amerika Serikat memproklamirkan dengan statemen yang cukup mengejutkan yaitu:
We are at war (Kita dalam sebuah peperangan). 72 Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh
MoT ketika mempublikasikan perintah jihad untuk membunuh Amerika dan sekutunya dimana pun
di seluruh dunia.73
Di kalangan MoW, perang dilakukan untuk membasmi teroris. Di kalangan MoT, teror
dilakukan untuk membasmi kafir yang telah menganggu kehidupan mereka. Jejaring di MoT
ditangkap di seluruh dunia, kecuali MoT itu sendiri. Jejaring MoW dianggap sebagai pahlawan
dan bagi mereka perang adalah seni mempertahankan diri dari musuh. Perang wajib dilakukan.
Susan Bassnett dari Univerity of Warwick juga memulai kajiannya ketika menerjemahkan
kata teror dengan cara mengingatkan pembaca pada pesan al: the cars of death will not
(mobil [yang membawa] kematian tidak akan pernah berhenti). 74 Adapun maksud dari
mobil tersebut adalah kenderaan yang digunakan oleh teroris untuk melakukan bom bunuh diri
atau meledak target dengan menggunakan mobil. Di Indonesia para teroris yang menggunakan
mobil sebagai alat untuk melakukan teror memang sudah muncul, seperti saat bom Bali I pada 12
Oktober 2002 dan Bom JW Marriott pada 5 Agustus 2003. Namun sebelum itu, ketika teroris
menyerang WTC (World Trade Centre) di New York pada 11 September 2001, mereka malah
menggunakan dua pesawat, bukan mobil seperti yang dipaparkan oleh Susan. Karena itu, alat
atau media teroris di dalam menyerang sangat menarik untuk dianalisa lebih lanjut. Karena itu,
dari media tersebut, kita bisa membayangkan apa sebenarnya yang mereka bayangkan ketika
melakukan aksinya. Di dalam perang terbuka, seperti perang di Timur Tengah, mobil tank
digunakann secara bebas untuk membunuh siapapun di depan mereka, walaupun ini bukan
dikatakan teror, tetapi sebuah perang (war). Demikian pula, pesawat tempur yang memuntahkan
bom atau roket, mereka tidak dikatakan sebagai teror, melainkan perang yang membolehkan
untuk membunuh siapapun.
Dalam hal ini, teror tidak sama dengan perang. Namun, di kalangan teroris, khususnya
dari Islam, klaim teror oleh musuh mereka dipandang sebagai jihad atau hirabah. Perbedaan
persepsi ini pun bisa ditelisik dari alasan. Jika musuh menganggap teror, sedangkan jihadis
menganggap ini perintah agama, maka disitu akan muncul pemikiran apakah kedua model
pembunuhan tersebut bisa diizinkan. Dalam tradisi Islam, hanya dikenal dua model perang yaitu
harb al-bu (perang melawan Muslim) dan harb al-kuffar (perang melawan kafir).75 Ada
perbedaan peraturan di dalam dua model perang tersebut. Pada konsep pertama dapat diartikan
ini semacam perang untuk menghapuskan pemberontakan. Adapun peraturannya adalah tawanan
tidak boleh disakiti. Anak-anak dan perempuan tidak boleh dibunuh dan dipenjarakan. Tawanan
Muslim harus dilepas kalau pertempuran atau bahaya yang menghadang sudah tidak ada lagi.
Harta-harta orang Islam tidak boleh diambil. 76 Adapun perang melawan non-Muslim sering
71

Lihat penjelasan definisi teroris seperti ini dalam (Stillman 2003)


(Elliott 2001)
73
(Beyer 2001)
74
(Bassnett 2005, 393)
75
(El-Fadl 1999, 144)
76
(El-Fadl 1999, 144)
72

13

dianggap sebagai jihad. Ini memang sangat kontroversi, sebab sering wacana teror di dalam
Islam dikaitkan pada model perang yang kedua ini. Di dalam Islam mereka yang hendak dijadikan
target perang, lebih dulu dianjurkan untuk menerima Islam. Jika mereka menolak menerima
Islam, maka mereka dikehendaki untuk menerima kedaulatan dan supremasi Islam dengan cara
membayar jizya.77
Untuk memberikan pemahaman bagaimana definisi teroris di kalangan para sarjana,
saya akan mengutip beberapa pandangan mereka: Peter G. Stillman memberikan definisi
: Terrorism is violence, usually indiscriminate but sometimes exemplary, used for

symbolic or for political, religious, or ideological purposes, aimed at civilians, designed to create
fear and dread, and committed by state or non-state actorsN78 Adapun menurut Konrad Kellen:
A terrorist is a person, first of all, commits acts that are designed to terrorize, to

L
from doing certain things. The terrorist acts in this manner for ends that are, broadly
speaking, political. He or she spreads terror by committing and/or threatening acs of
violence against human beings or material property as signals that he or she exists and

N79
The terrorist, finally, is a person who does not consider himself a terrorist. He may
consider himself an ex-terrorist if he ever leaves the fold, but while he is pursuing his
cause he does not consider himself as anything but a fighter for the cause. In other words,

we
N
yL y y
y

N 80
Dari Konflik Etno-Nasionalis dan Etno-Relijius ke Teroris di Asia Tenggara
Asia Tenggara merupakan satu kawasan yang terdiri dari beberapa negara, yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Disebutkan bahwa batas Asia Tenggara dari Barat
adalah sub-benua India dan daratan Cina dari bagian Utara. 81 Kawasan Asia Tenggara juga
dikenal dengan kawasan Melayu. Di dalam hal ini, Islam dan Melayu menjadi dua mata koin
untuk menjelaskan bagaimana sosio-keagamaan penduduk ini. Azyumardi Azra menyebutkan

H
-Melayu) merupakan salah satu dari tujuh wilayah kebudayaan
atau peradaban Islam, yang tegasnya terdiri dari wilayah kebudayaan-kebudayaan Islam-Arab,
Islam-Persia, Islam Turki, Islam Afrika ..., Islam Anak Benua India, Islam Indo-Melayu dan
y
Western hemisphere NNN82 Di bawah puak Melayu,
muncul negara-bangsa yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.83 Adapun
jumlah umat Islam di Asia Tenggara yaitu 534,309,000 juta. Paling banyak adalah Indonesia
(189,195,000), kemudian diikuti oleh Malaysia (14,371,000), Philippina (4,393,000), dan
Thailand (3,010,000), Burma (1,716,000), Cambodia (700,000), Singapura (663,900), Brunei
Darussalam (245,000), Vietnam (65,000), dan Laos (400). 84 Untuk kawasan yang mayoritas
Z (Zona Muslim). Dia
L
N
y
y

77

(El-Fadl 1999, 151)


(Stillman 2003, 83).
79
(Kellen 1982, 8).
80
(Kellen 1982, 8)
81
(King and Wilder 2006)
82
(Azra 1999, 20).
83
(Kahn 2006) (Kim, Abdullah and Hao 2006) (Nasir, Pereira and Turner 2010.)
84
(Fealy and Hooker 2006, 7). Mengenai jumlah penduduk masing-masing negara di Asia
Tenggara, lihat (King 2008, xvii) ( Pew Research Center 2011b) .
78

14

menulis bahwa fenomena yang dapat dilihat dari Zona Muslim ini yakni adanya kesamaan jumlah
penduduk yang cukup besar di dalam lembaga-lembaga, ajaran, dan nilai-nilai agama.85
Di samping empat negara pertama, terdapat etnik Melayu yang memiliki akar historis
yang amat kuat yakni Thailand Selatan dan Mindanao. Sehingga perkawinan antara Melayu dan
Islam di kedua kawasan ini selalu menyebabkan konflik yang berkepanjangan hingga hari ini.
Selain kelima negara tersebut, terdapat juga negara-negara lain yang tidak didominasi oleh
Melayu dan Islam seperti Myanmar, Burma, Laos, Kamboja dan Vietnam. Negara-negara ini
lebih banyak dikuasai oleh agama Buddha. 86 Harus diakui, bahwa di kawasan Asia Tenggara
memang telah mengalami pertemuan budaya seperti Cina, India, Eropa, dan Islam. Sehingga
sebelum perang dunia pertama dan kedua, dimana munculnya negara bangsa di rantau ini,
pertemuan budaya ini telah menciptakan sebuah proses blenderisasi peradaban. Bahkan, barubaru ini disebutkan bahwa pengaruh Amerika Serikat dan Jepang sudah begitu menguat di Asia
Tenggara.87
Asia Tenggara dapat dikatakan sebagai kawasan untuk melebarkan pengaruh dari
negara-negara yang pernah menjajah disini. Pengaruh yang paling dominan adalah agama,
karena mampu menciptakan stabilitas politik, seperti peran yang dimainkan oleh agama
Kongfuchu, Budhha, dan Islam. Lalu diikuti oleh kepentingan ekonomi 88. Setelah itu, dalam
bidang sosial politik. Karenanya, sejarah Asia Tenggara, selain sejarah para raja-raja, juga
sejarah perang selama berabad-abad, baik sesama warga di Asia Tenggara, 89 atau dengan
penjajah yang mayoritas berasal dari Eropa dan Amerika. Dalam sejarah Asia Tenggara,
y
y
y

Pajajaran, serang Birma terhadap Ayuthia, lalu perang antara Trunojoyo dengan Mataram,
jatuhnya Malaka di tangan Portugis, kemudian serangan Sultan Iskandar Muda ke semenanjung
y N90 Jadi, di dalam sejarah Asia Tenggara, perang baik sesama maupun dengan pendatang
telah berlangsung selama berabad-abad lebih.
Di dalam hal ini, Islam yang paling dominan di dalam struktur sejarah Asia Tenggara, 91
khususnya di Tanah Melayu atau Nusantara. Islam tidak hanya sebagai agama pribadi, tetapi
juga sebuah agama yang menyatukan berbagai kepentingan lokal dalam sebuah bingkai kekuatan
politik. Karena itu, hingga menjelang keruntuhan Khilafah Islamiyyah pada kerajaan Turki
Ustmani, di Asia Tenggara masih terdapat kekuatan-kekuatan politik yang terstruktur dengan baik
dalam bentuk kerajaan. Dengan begitu tidak mengejutkan kalau kemudian Islam menempati
urutan pertama sebagai keyakinan penduduk di Asia Tenggara. Sebagai contoh, ketika perang
antara Melaka dengan Portugis, Sultan Ahmad mengajak penduduknya untuk berperang dengan
membawa Hikayat Muhammad Hanafiah.92 Pada pertengahan abad ke-19, umat Islam di Moro
Filiphina Selatan berjuang mempertahankan negeri dan agama mereka dari kolonialisasi
Spanyol. Sementara itu pada abad 17-18 M pemimpin Islam di Thailand Selatan berjuang matimatian untuk menghadapi serangan Raja-Raja Thai yaitu dinasti Ayuthia dan Chakri. Ini belum
lagi bagaimana sejarah peperangan di beberapa daerah di Indonesia ketika mereka melawan
Belanda.93 Saat itu, mereka menggunakan Islam sebagai spirit perjuangan, bukan dalam kategori
aset nasionalisme. Konflik yang muncul untuk menempatkan Islam secara politik ini pun berlanjut
hingga sekarang, dengan berbagai variasi motif dan pengaruhnya.
85

(Federspiel 2007, 3).


Lihat misalnya (Taylor 2007).
87
(King 2008, 4)
88
(Reid 1990) (Reid 1982, 1-30)
89
(Riana 2009)
90
(Onghokham 1992, xxiiii)
91
(Reid 1993)
92
Tentang hikayat ini, baca (Brakel 1988)
93
(Mansurnoor 2005, 16)
86

15

Di Indonesia, upaya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negar tetap bergema paskakemerdekaan, mulai dari perdebatan di parlemen hingga kemunculan kelompok pemberontak
yang kecewa terhadap pemerintah di Jakarta. Adapun di Thailand konflik untuk menarik diri dari
pemerintah Thailand di Bangkok (Krueng Thep) tetap bergejolak. Di Pilipphina kekuatan untuk
tidak ingin menjadi bagian pemerintah di Manila tetap bergema. Sedangkan di Malaysia,
kekuatan Islam dengan pertarungan identitas juga telah memunculkan gejolak, walaupun bukan
dalam kategori separatis.94 Di Thailand konflik yang muncul dipicu ketidakinginan masyarakat
Muslim tunduk di bawah pemerintah Budhha. Sementara di Selatan Philipina, kekuatan
Bangsamoro sama sekali tidak mau diakui sebagai bagian pemerintah Kristen di Manila. 95 Dapat
dikatakan bahwa semua kejadian yang terkait dengan Islam selalu dikaitkan dengan etnisitas.
Bahkan dalam konflik-konflik tersebut istilah yang digunakan bukanlah teroris, melainkan
separatis.
Lantas, bagaimana kita memahami kasus konflik ethno-relijius ini ditarik secara paksa
dengan kajian teroris. Bagaimana sebenarnya pergeseran konsep di Asia Tenggara, hingga
bertemu dengan konsep nasionalisme yang bukan berasal dari kawasan tersebut. Dengan
memahami ini, akan didapatkan bahwa pertarungan di Asia Tenggara, khususnya yang
melibatkan Islam, lebih dari pertarungan konsep yang muncul dari dalam Asia Tenggara dengan
yang datang dari luar Asia Tenggara. Harus diakui bahwa kasus yang muncul di Mindanao dan
Thailand Selatan pada awalnya tidak berhubungan sama sekali dengan studi teroris. Adapun
kasus di Indonesia sudah selesai tepat sebelum Indonesia dilanda tragedi 30 S/PKI pada tahun
1965. Sedangkan di Malaysia, keinginan untuk menempatkan hak-hak orang Melayu meledak
pada tanggal 13 Mei 1969. Kasus yang melibatkan isu-isu yang berkenaan dengan Islam juga
pernah terjadi di Singapura pada 11 Desember 1950. 96
Untuk memudahkan kita memahami persoalan bagaimana tarik menarik konsep yang
terkait dengan konflik yang melibatkan Islam, maka akan disajikan beberapa kasus di beberapa
negara di Asia Tenggara. Untuk ini, akan dipilih kasus di Filipina Selatan, Thailand Selatan,
Malaysia, dan Indonesia.
Mindanao. Konflik yang melibatkan Islam di Filipina Selatan ini melibatkan kelompok
etnik group yang dikenal dengan istilah Bangsamoro. Mereka mendiami di Mindanao, Sulu, dan
Palawan. Secara etnik, Bangsamoro terdiri dari 13 sub-etnik yaitu: Badjao, Iranum atau Ilanum),
Jama-mapun, Kalagan, Kalibugan, Manguindanao, Marano, Molbog (Melebugnon), Palawani,
Samal, Sangil, Tausug, dan Yakan. 97 Terkait dengan identitas Bangsamoro, Renato T Oliveros
y
their indigenous expression of Islam in Mindanao is their soul N98 Jadi,
untuk memahami Bangsamoro, maka ada dua perbaduan disitu yaitu: keislaman dan ke-Melayuan. Keislaman berarti terkait erat dengan kedatangan Islam di kawasan ini. Menurut sejarah,
pedagang dan pendakwah Islam datang ke Mindanao melalui Malaysia, Borneo, Sumatra. 99 Disini
salah satu kerajaan Melayu-Islam yang paling dikenal dalam sejarah Bangsamoro adalah
Kerarajaan Sulut yang didirikan pada 1450. Adapun raja yang pertama adalah Seyyed Abubakar,
yang dianggap oleh masyarakat disitu sebagai keturunan Nabi Muhammad. Saat itu, Seyyed
Abubakar menggunakan gelar Sharif Hashim.100 Semasa kejayaannya, kerajaan ini mampu
menguasai Kepulauan Sulu (termasuk Sulu dan Tawi-Tawi), Borneo Utara (sekarang negeri

94

(Abdullah 2004)
(Tuminez 2007) (Kamlian 2004)
96
(Aljunied 2009, 106).
97
(Kamlian 2004, 93).
98
(Renato T. Oliveros 2007, 18).
99
(Jubair 1999) (Renato T. Oliveros 2007, 6)
100
(Jubair 1999, 7)
95

16

Sabah, Malaysia, Basilan, Palawan, Sambowangan (sekarang kota Zamboanga dan propinsi
Zamboanga del Sur dan Norte).101
Namun demikian kerajaan Sulu ini mendapat serangan dari Spanyol pada tahun 1578.
Menurut sejarah, Spanyol hanya bisa menguasai Jolo, namun mereka tidak berhasil menduduki
Kerajaan Sulu.102 Tentu saja kedatangan Spanyol telah membawa juga selain kekuatan senjata
dan kebudayaannya juga agama yang diusung yaitu Kristen. Dalam waktu yang singkat mereka
berhasil menguasai Selatan Luzon hingga ke Visayas. Namun pertempuran antara orang Spanyol
dengan Muslim di Selatan berlangsung hingga akhir abad ke-19.103 Selain Spanyol yang pernah
mencoba menguasai Mindanao, Amerika Serikat juga pernah berusaha selama bertahun-tahun
untuk mengambil sebanyak mungkin dari pulau ini. Menurut sejarah, tentara Amerika menguasai
propinsi Moro ini dimulai pada tahun 1900-1913.104 Orang Amerika menganggap Muslim di
Mindanao ini seperti menganggap penduduk asli Amerika (bangsa Indian) yang baru saja
dikuasai mereka.105 Akhirnya, pada tahun 1913 tentara Amerika berhasil menundukkan kekuatan
orang Moro.106 Walaupun Philipphina merdeka pada tahun 1946, namun keberadaan Amerik di
negara ini tetap begitu dominan dan bernilai strategis. Dalam hal ini, Joseph Gerson menulis:
As the last 100 years of Philippine history testify, military organization, foreign military bases,
and unequal alliances have been essential to the United States Asia-Pacific empireN107
Setelah itu, sejak Filiphina merdeka pada tahun 1946, Bangsamoro meminta kepada
Amerika Serikat, supaya mereka tetap tidak dimasukkan ke dalam pemerintah di Manila. 108
Konflik antara Bangsamoro dengan pemerintah Filipina dimulai sejak tahun 1970-an. Salah satu
gerakan yang menentang pemerintah pusat di Manila adalah Moro National Liberation Front
H
IN

-hak bangsa
tersebut. Lalu pada tahun 1996, perjuangan mereka dilanjutkan oleh Moro Islamic Liberation
Front (MILF)109 Tujuan awal tersebut dapat disimpulkan untuk mempertahankan tiga hal: bangsa
(nation), tanah air, dan Islam.110
Thailand Selatan. Kasus yang terjadi di negara Thailand sudah berlangsung selama
puluhan tahun. Inti dari konflik ini adalah etnik Melayu yang mayoritas beragama Islam tidak
mau menggabungkan diri di bawah pemerintahan Thailand yang mayoritas beragama Budhha.
Hanya saja, konflik di Thailand Selatan tidak lagi hanya memperjuangkan hak-hak kaum
Melayu,111 melainkan ada isu-isu nasional dan internasional yang telah bercampur di dalamnya.
Sebagaimana kasus di Filiphina Selatan, di kawasan ini juga telah muncul kerajaan Pattani
Darussalam, yang sangat terkenal dalam sejarah Asia Tenggara. Sejarah kemegahan ini dipicu
oleh adanya aktivitas perdagangan yang menyebabkan tidak hanya kerajaan Thai yang ingin
menguasainya, tetapi juga Belanda, Inggris, Perancis, dan Portugis. 112 Raja Rama I mencoba
menguasai kawasan ini pada tahun 1785 sampai dengan Kesultanan Kedah, Kesultanan Kelantan
dan Terengganu. Menurut sejarah, orang Siam menganggap aneksasi ini adalah sebuah regulasi
karena mereka menyebutkan Kesultanan Pattani sebagai wilayah mereka sejak masa awal
101

(Kamlian 2004, 97).


(Alojamiento 2007, 37)
103
(Federspiel 2007, 24) (Milligan 2003, 470)
104
(Abinales 2004, 17).
105
(Abinales 2004, 17). Mengenai pengaruh keberadaan tentara Amerika di Mindanao,
baca (Hawkins 2008)
106
(Tuminez 2007, 78)
107
(Gerson 1999, 399)
108
(Man 1995)
109
(Santos 2005, 2).
110
(Santos 2004, 164). Baca juga (Tuminez 2007)
111
(I. Yusuf 2006)
112
(Roux 1998, 225)
102

17

Kerajaan Siam menaklukkan semenanjung pada pertengahan abad ke-13. Dalam kenyataannya,
kawasan Melayu ini masih menjadi sebuah negeri yang merdeka. Namun sejak tahun 1791,
Terengganu dan Pattani dikuasai dibawah Kerajaan Songkhla. Adapun Kelantan dan Kedah
dibawah kontrol pemerintahan dari Nakhon Sri Thammarat. 113
Inilah awal babak sejarah perlawanan masyarakat Melayu di empat propinsi di Thailand
Selatan. Upaya paksa Kerajaan Siam yang menguasai Wilayah Selatan dan Utara Malaysia
menyebabkan terjadinya berbagai pertempuran dan konflik hingga hari ini. Menurut sejarah,
puncak kemarahan puak Melayu di kawasan Pattani adalah pada tahun 1902 ketika kawasan ini
secara formal diserahkan kepada Kerajaan Thai. Formalisasi ini sering dirujuk pada AngloSiamese Treaty pada tahun 1909 dimana Thailand menyerahkan Kedah, Perlis, Kelantan, dan
Terengganu pada British.114 Keempat negeri ini kemudian menjelma menjadi bagian dari
pemerintahan Malaysia kemudian yang merdeka pada tahun 1957. Namun demikian, masih
menurut sejarah, Kerajaan Thai juga pernah memberikan kawasan Timur mereka pada 1893
kepada Perancis.115

salah satu strategi untuk mengamankan pemerintahan mereka dari penjajah Eropa.
Upaya paksa ini tentu mendapat perlawanan dari para pemimpin Islam disana. Ini terkait
dengan program Thainisasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat di KrungThep (Bangkok).
y
L
y

y
ada hubungan sejarah dengan Kerajaan Thailand. Namun demikian, persoalan ini ternyata

L
y y
L

tersebutN

y y
Kelantan dan Terengganu, ketimbang
ke Bangkok.116
Malaysia. Negara ini merupakan kumpulan kerajaan-kerajaan Islam-Melayu yang
merdeka dari Inggris pada 31 Agustus 1957. Adapun instrumen utama di dalam membangun nilainilai-nilai negaranya adalah melalui konsep Melayu dan Islam. Siapapun yang hendak melihat
pembangunan Malaysia selalu dikaitkan dengan keberadaan Islam dalam memainkan perannya
dalam strategi pembangunannya. Tidak ada yang istimewa dari negara ini, kecuali Malaysia telah
menjadi bangsa yang cukup di perhitungkan di Asia Pasifik.117 Namun demikian, negara Malaysia
tetap mengalami sejarah seperti bangsa lain di Asia Tenggara yaitu menghadapi penjajah
(Portugis dan Inggris). Namun demikian, sejarah Malaysia jika dikaitkan dengan sejarah
Nusantara, maka pada dasarnya adalah bagian dari wilayah kekuasaan beberapa kerajaan besar
di Indonesia yaitu Sriwijaya, Majapahit, dan Aceh Darussalam. 118 Karenanya, sebelum Malaysia
merdeka, terdapat beberapa kerajaan-kerajaan negeri yang telah membina Islam sebagai
kekuatan politik di Tanah Semenanjung Melayu. 119
Untuk melihat bagaimana rangkuman peran Islam di Malaysia, Kamarulnizam Abdullah
menulis sebagai berikut:
Islam in Malaysia has emerged as the dominant religion and become part of ethnic
identification for the Malays since seventeenth century when non-Malays began to flock
y

y
N
113

(Roux 1998, 225)


(Funston 2006, 78).
115
(Aphornsuvan 2008, 91)
116
(Suhrke 1977)
117
Lihat misalnya (Razak 2006)
118
(Abdullah 2003) (Andaya and Andaya 2001, 33-39).
119
(K. K. Kim 2001)
114

18

has been the center of social and cultural activities of the Malays. By the turn of twentieth
century, Islam became increasingly not only the symbol of Malay cultural dominance but
also a powerful tool of Malay eliter in Malay politics. Consequently, conflicting views
exist over what role Islam should play in Malay politic. The Malays until today are
divided through political line on this question. At one end there is a tendency to maintain
the role of Islam to private matters, but at other end, Islam has been promoted to
encompass every aspect of human life.120
Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa Islam dan Melayu memainkan peran penting di
dalam sejarah Malaysia.121 Namun, negara ini sendiri tidak mendeklarasikan sebagai Negara
Islam atau Negara Agama.122 Karena itu, akar-akar radikalisme di Malaysia lebih banyak
bertumpu pada isu-isu formalisasi agama baik dalam bentuk kekuatan sosial maupun politik. Di
samping itu, konflik yang muncul juga selalu melibatkan bagaimana peran Melayu terhadap nonMelayu seperti Melayu versus Cina123 atau Melayu versus India124 yang ingin mendefinisikan
siapa bumiputera dan konflik di antara orang Melayu sendiri seperti konflik Partai Politik seperti
UMNO versus PAS yang ingin mendirikan negara Islam. Ini belum lagi usaha pemerintah
y y

-negeri di kawasan pulau Kalimantan (Borneo) yakni


Sabah dan Serawak agar mau tetap tunduk terhadap pemerintah pusat di Kuala Lumpur.
Karena itu, berbeda dengan kasus di Mindanao dan Thailand Selatan, kompleksitas
gejala radikalisme di Malaysia lebih mencuat. 125 Di Malaysia, upaya untuk mendirikan Negara
Islam sebenarnya hampir sama dengan pengalaman Indonesia paska-1945. Hanya saja, di
Malaysia isu agama ini dicampur dengan isu etnisitas, sehingga jika pun muncul konflik tidak
serta merta membawa pada arah kekerasan atas nama agama atau membela agama dan tanah
air. Orang Melayu di Malaysia menuntut Negara Islam. Pada saat yang sama, Islam dijadikan
sebagai panduan utama dalam pembangunan, seperti yang dilakukan oleh Mahathir 126 dan
Abdullah Ahmad Badawi melalui Islam Hadhari.127 Pada saat yang lain, orang Melayu sendiri
tidak begitu suka dengan puak lain yang menurut mereka telah merampas hak-hak orang Melayu
sebagai tercermin dalam Kerusuhan 13 Mei 1969. hal ini belum lagi ditopang dengan munculnya
kebangkitan Islam di Malaysia paska-Revolusi Iran yang menyebabkan munculnya beberapa
gerakan Islam yang ingin menginstall Islam sebagai instrumen utama dalam pembangunan
Malaysia. Jadi di Malaysia, pada awalnya persoalan Islam dan gejala radikalisme agaknya tidak
terkait dengan isu-isu terorisme. Namun yang sudah pasti adalah konflik di Malaysia dapat
dipetakan sebagai berikut: konflik Melayu dengan Melayu untuk mendirikan negara Islam; 128
konflik Melayu dengan Cina untuk membatasi keterlibatan puak ini dalam mendominasi kegiatan
ekonomi negara Malaysia; dan konflik antara orang Melayu dengan orang Asli. Dalam hal ini,
Cina sama sekali tidak akan bersatu dengan Melayu yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar
negara.
Dalam Islam, semua puak bisa disatukan asalknya mereka masuk Melayu (baca: masuk
Islam). Sebab Melayu dalam pandangan konstitusi Malaysia adalah mereka yang berbahasa
Melayu; lahir sebelum 1957; dan beragama Islam. 129 Akan tetapi garis tepi peta identitas di
120

Abdullah, "Islamic Militancy in Malaysia."249.


(Kheng 2002)
122
Lihat analisanya dalam (Bustamam-Ahmad 2009)
123
Mengenai Cina di Malaysia baca misalnya (Suryadinata 2002) (Suryadinata 2007)
124
Mengenai India di Malaysia baca (Sandhu and Mani 2006)
125
(Ahmad 2001)
126
Lihat pemikiran dan kebijakan Mahathir Mohammad dalam (Hwang 2003)
(Mohammad 2002) (Welsh 2004)
127
(Badawi 2006)
128
Lihat misalnya (Isa 2001)
129
(Bustamam-Ahmad 2009) (Fernando 2006)
121

19

Malaysia tetap menimbulkan konflik yaitu ketika Islam dijadikan sebagai kekuatan politik untuk
menyatukan semua puak atau etnik yang bernaung di bawah negara Malaysia.
Indonesia. Negara ini merupakan Negara yang paling banyak berhubungan dengan isu
terorisme di Asia Tenggara. Karena itu, ketika kita membicarakan persoalan terorisme, maka
perlu dipahami bahwa sejak bangsa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, maka persoalan
Islam dan separatisme tidak dapat dipisahkan. Namun sebelum Indonesia merdeka, telah dijumpai
Kerajaan-Kerajaan Islam seperti Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram. 130
Adapun pengalaman kepenjajahan memang tidaklah berbeda dengan negara-negara lain di Asia
Tenggara yakni pernah dijajah oleh Portugis, Belanda, dan Jepang. Karena itu, pengalaman ini
juga telah menyebabkan persoalan bagaimana memasukkan Islam ke dalam sistem pemerintahan,
dimana tidak boleh sama sekali agama ini menjadi dasar atau asas negara. 131
Adapun suku yang paling berkuasa di Indonesia adalah suku Jawa. 132 Bahkan filosofi
pemerintahan Indonesia lebih banyak diambil dari nafas ke-Jawa-an, ketimbang suku-suku yang
lain.133 Adapun lintasan sejarah Indonesia memang banyak terjadi di Pulau Jawa. Jika ada
y

y
N
Di Indonesia, Islam telah menjadi semacam nilai-nilai kehidupan masyarakat Muslim. Pada saat
yang sama, untuk merekat kebangsaaan, Islam tidak digunakan sebagai instrumen utama,
melainkan Pancasila. Dengan kata lain, jika orang non-Jawa ingin keluar dari Indonesia
dipandang sebagai separatis. Jika orang Islam tidak menginginkan Pancasila sebagai dasar
negara dipandang sebagai pengacau keamanan. Demikian juga dominasi suku Jawa di beberapa
Pulau juga terkadang memunculkan konflik budaya yang kadang berujung pada pertumpahan
darah. Hal ini belum lagi beberapa sikap pemerintah yang menggunakan Islam sebagai instrumen
untuk mengganyang kekuatan komunis. Artinya, melihat konflik di Indonesia mulai sejak 17
Agustus 1945 hingga hari ini susah dijelaskan dengan satu perspektif.
Sebagai contoh, konflik di Aceh. Dulu ketika DI/TII dideklarasikan di Jawa Barat dan

H
IL
terhadap terhadap pemerintah pusat yang tidak ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. 134
Dalam pemberontakan yang bersifat relijius ini, telah menjadi sandaran para ahli untuk mencari
akar sejarah terorisme di Indonesia. Namun, dari embrio gerakan ini telah memunculkan gerakan
separatis lainnya seperti GAM di Aceh yang diproklamirkan oleh Hasan di Tiro pada 4 Desember
1976. Dari jalur ini, gerakan ini sama sekali walaupun menuntut kemerdekaan dari pemerintah
pusat, tidak dikatakan sebagai organisasi teroris. Akhirnya, gerakan ini dapat disimpulkan
sebagai gerakan yang bersifat etno-nasionalis.135 Namun, sebagaimana kita akan lihat bab-bab
berikut, GAM tetap ditarik pada isu terorisme dan terkadang dihubungkan dengan DI dan wacana
terorisme di Indonesia. Namun, sebagai sebuah konflik yang bersifat ethno-nasionalis,

QU
RPPUN
y
beberapa kali dilakukan upaya perdamaian, namun tetap juga mengalami kegagalan. 136
Namun, diluar Aceh, kecuali di Timor Leste dan Papua, konflik kadang kala muncul
selalu melibatkan agama Islam di dalamnya. Di Pulau Jawa, kisruh sosial politik, tidak jarang
130

Lihat misalnya (De Graaf and Pigeaud 1985)


(Abdillah 1999) (Bustamam-Ahmad 2005) (Bustamam-Ahmad 2001) (BustamamAhmad 2004) (Ismail 1999) (Maarif 1996) (Noer 1973)
132
Baca konsep kekuasaan dalam suku Jawa (Koentjaraningrat 1986)
133
Baca (Lombard 2008) (Magnis-Suseno 2003). Mengenai perkembangan Islam di Jawa,
baca (Beatty 2001) (Eiseman 1990) (Geertz 1960) (Lukens-Bull 2005) (Pranowo 2006)
134
Mengenai konteks Aceh, lihat (Jan 1975)
135
Untuk mengetahui kesinambungan ideologi DI-Aceh dengan GAM, baca juga (Adan
2005)
136
(Aspinnall 2009) (Aspinnall 2009c) (Aspinnall 2006) (Aspinnall 2005) (Aspinnall
2009c). Lihat juga (Kingsbury 2007)
131

20

menjadi ajang bagaimana menempatkan Islam dan politik di dalamnya. Sedangkan di luar Jawa,
seperti Ambon, Maluku, dan Poso, lebih banyak bersentuhan dengan isu etnisitas dan agama. 137
Namun konflik agama seperti Islam versus Kristen kerap terjadi di Indonesia, 138 namun walaupun
terjadi pembakaran gereja atau masjid, jarang disebutkan sebagai aksi terorisme, kecuali BomNatal. Hingga disini dapat disimpulkan bahwa ada persoalan internal dalam negara Indonesia
yang kemudian memicu persoalan aksi kekerasan atas nama agama yang berujung pada
terorisme. Jika pada Orde Lama, wacana perlawanan Islam terhadap negara lebih banyak
menginginkan adanya sebuah Darul Islam. Sementara pada era Orde Baru, wacana ketegangan
lebih banyak berpunca pada persoalan ideologi kebangsaan yaitu Pancasila.139 Sementara pada
140
dan mendirikan
era Orde Reformasi adanya keinginan untuk melaksanakan y
Negara Islam, yang boleh jadi berasal dari mimpi pada era Orde Lama yaitu DI/TII. Karena itu,
tidak mengherankan jika para terorrist expert lebih banyak merujuk pada persoalan internal
negara Indonesia jika mereka melihat dari perspektif historis kemunculan terorisme di
Indonesia.141 Persoalan internal ini, lalu berhubung erat dengan situasi internasional yang terjadi
di Timur Tengah dan juga sikap Amerika Serikat dan sekutunya terhadap umat Islam.
Kesimpulan
Dari kajian di atas, ada beberapa hal yang dapat digarisbawahi. Pertama, studi
terorisme di Asia Tenggara tidak dapat dipisahkan dari aktifitas gejala terorisme secara global.
Pengaruh isu dan gerakan terorisme di Timur Tengah telah memiliki dampak yang secara
berkelanjutan di rantau Asia Tenggara. Kedua, dalam studi teroris, ternyata telah terjadi
hegemoni atau pemaksaan konsep dari satu pintu pemahaman yang dihasilkan oleh para sarjana
Barat, baik mereka yang berkecimpung dalam penelitian akademik murni atau penelitian yang
bersifat kebijakan. Ketiga, ideologi membunuh, sebagaimana telah disajikan dalam kajian ini,
ternyata dimiliki oleh manusia, baik yang menggelorakan perang melawan teror, maupun mereka
yang dipandang sebagai teroris. Dalam hal ini, peran Man of War dan Man of Terror telah
memberikan pengaruh pada penyebaran spirit kebencian sesama manusia. Keempat, di dalam
kajian ini didapati bahwa gerakan terorisme di Asia Tenggara juga dipengaruhi oleh persoalan
internal yang masih terjadi yaitu bagaimana menempatkan Islam dan Muslim di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Inilah agaknya pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh negaranegara di Asia Tenggara yang mayoritas berpenduduk Muslim dan terbesar di dunia.

137

(Siregar 2002, 16-17).


Untuk daftar kerusuhan Islam versus Kristen, lihat (C. F. Yusuf 2002, 62-64).
139
(Karim 1999).
140
(Bustamam-Ahmad 2007) (Jamhari 2005) (Ramly, Ahmad and Masroer 2006)
141
(Barton 2004)
138

21

Bibliografi
Pew Research Center. The Future of the Global Muslim Population: Projections for 2010-2030.
W
L N N:

F
L RPQQ N
Abas, Nasir. Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Ketua JI. Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2009.
Abdillah, Masykuri. Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia
Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993) . Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Abduh, Umar, ed. Konspirasi Intelijen & Gerakan Islam Radikal. Jakarta: Centre for Democracy
and Social Justice Studies, 2003.
Abdullah, Kamarulnizam. "Islamic Militancy in Malaysia." In The Making of Ethnic & Religious
Conflict in Southeast Asia: Cases and Resolutions, edited by Lambang Trijono. Yogyakarta:
Center for Security and Peace Studies (CSPS) and Southeast Asian Conflict Studies Network
(SEACSN), 2004.
. The Politics of Islamic Identity in Southeast Asia . Bangi: UKM Publisher, 2003.
Abinales, Patricio N. Making Mindanao: Cotabato and Davao in the Formation of the Philippine
Nation-State . Manila: Ateneo De Manila University Press, 2004.
Abu-Rabi', Ibrahim M. "A Post-September 11 Critical Assesment of Modern Islamic History." In
11 September: Religious Perspectives on the Causes and the Consequences , edited by Ian
Markham and Ibrahim M. Abu Rabi', 21-52. Oxford: One World, 2002.
Abuza, Zachary. A Conspiracy of Silence: The Insurgency in Southern Thailand. United States
Institute of Peace and Simmons College, 2005.
___. "Funding Terrorism in Southeast Asia: The Financial Network of Al Qaeda and Jemaah
Islamiya." Contemporary Southeast Asia 25, no. 2 (2003).
___. "Learning by Doing: Al Qaeda's Allies in Southeast Asia." Current History 103, no. 672
(2004): 171-176.
. Militant Islam in Southeast Asia: Crucible of Terror. Colorado: Lynne Rienne, 2003.
___. "Muslim, Politics, and Violence in Indonesia: An Emerging Jihadist-Islamic Nexus?" NBR
Analysis 15, no. 3 (2004): 1-55.
___. "Tentacle of Terror: Al Qaeda' Southeast Asian Network." Contemporary Southeast Asia 24,
no. 3 (2002): 427-475.
Adan, Hasanuddin Yusuf. Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh: Ulama, Pemimpin dan Tokoh
Pembaharuan. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia., 2005.
Ahmad, Shukri. "Implikasi Pengaruh Ulama Terhadap Halatuju Perubahan Pemikiran Politik
Masyarakat Dalam Wilayah Utara Semenanjung Malaysia Dari 1950-an Hingga 1990-An."
Journal of Ushuluddin 14 (2001): 97-122.
Ahnaf, Muhammad Iqbal. "MMI Dan HTI; the Image of the Other." In Negara Tuhan: The
Thematic Encyclopaedia, edited by A. Maftuh Abegebriel and A. Yani, 691-725. Yogyakarta: SRIns Publishing, 2004.
Akaha, Abduh Zulfidar, ed. Terrorisme & Konspirasi Anti Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2002.

22

Aljunied, Syed Muhd Khairudin. "Rethinking Riots in Colonial South East Asia: The Case of the
Maria Hertogh Controversy in Singapore, 195054." South East Asia Research 18, no. 1 (2009):
105-131.
Alojamiento, Sheilfa B. "Armed Conflict in Sulu: A Local Perspective." Tambara 24 (2007): 3378.
Altheide, David L., and Jennifer N. Grimes. "War Programming: The Propaganda Project and the
Iraq War." The Sociological Quarterly, no. 46 (2005): 617-643.
Andaya, Barbara Watson, and Leonard Y. Andaya. A History of Malaysia. Hampshire: Palgrave,
2001.
Anwar, Zainah. "The Fundamentalist Challenge in Malaysia." Kultur: The Indonesian Journal
For Muslim Cultures 3, no. 1 (2003): 143.
Aphornsuvan, Thanet. "Origins of Malay Muslim "Separatism" In Southern Thailand." In Thai
South and Malay North: Ethnic Interaction on a Plural Peninsula, edited by Michael J. Montesano
and Patrick Jory, 91-123. Singapore: NUS Press, 2008.
Aspinnall, Edward. "Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh."
Indonesia, no. 87 (2009): 1-34.
___. "Ethnic and Religious Violence in Indonesia: A Review Essay." Australian Journal of
International Affairs 62, no. 4 (2006): 558-572.
. Islam and Nation: Separatist in Aceh, Indonesia. California: Stanford University Press, 2009c.
___. "The Construction of Grievance: Natural Resources and Identity in a Separatist Conflict."
Journal of Conflict Resolution 51, no. 6 (2007): 950-972.
___. The Helsinki Agreement:A More Promising Basis for Peace in Aceh? Policy Studies No.20,
Washington: East-West Center, 2005.
Awwas, Irfan Suryahadi. Dakwah Jihad Dan Abu Bakar Ba'asyir . Yogyakarta: Wihdah Press,
2003.
. Risalah Konggres Muhajidin I Dan Penegakan Syariah Islam . Yogyakarta: Wihdah Press,
2001.
Ayres, Thomas E. ""Six Floor" Of Detainee Operations in the Post-9/11 World." Parameters, no.
35 (2005): 33-53.
Azra, Azyumardi. "Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the Myths." In After Bali: The
Threat of Terrorism in Southeast Asia, edited by Kumar Ramakrishna and See Seng Tan.
Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies, 2003.
___. "Militant Islamic Movements in Southeast Asia: Socio-Political and Historical Contexts."
Kultur: The Indonesian Journal For Muslim Cultures 3, no. 1 (2003): 17-28.
. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Rosdakarya,
1999.
Badawi, Abdullah Ahmad. Islam Hadhari: A Model Approach for Development and Progress .
Selangor: MPH, 2006.
Barton, Greg. Indonesia's Struggle: Jemaah Islamiyah and the Soul of Islam . Sidney: University
of New South Wales Press, 2004.
Bassnett, Susan. "Translating Terror." Third World Quarterly 26, no. 3 (2005): 393-403.
Bayat, Asef. "Islamism and Social Movement Theory." Third World Quarterly 26, no. 6 (2005):
891-908.

23

Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Translated by A. F.


Saifuddin. Jakarta: Murai Kencana, 2001.
Beyer, Lisa. "Osama Bin Laden: The Most Wanted Man in the World." Time, September 2001: 2651.
Bhatia, Michael V. "Fighting Words: Naming Terrorists, Bandits, Rebels and Other Violent
Actors." Third World Quarterly 26, no. 1 (2005): 5-22.
Boyce, Ralph. "Islamic Culture and Society in Indonesia." ICIP Journal 1, no. 2 (2004): 1-5.
Brakel, L. F. Hikayat Muhammad Hanafiyyah. Translated by Junaidah Salleh, Mokgtar Ahmad
and Nor Azmah Shehidan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988.
Brown, David. The State and Ethnic Politics in Southeast Asia . London: Routledge, 1995.
Bubalo, Anthony, and Greg Fealy. "Joining the Caravan? The Middle East, Islamism and
Indonesia." Lowy Institute Paper (The Lowy Institute for International Policy) 5 (2005).
Bush, George W. "Introduction." In National Strategy for Combating Terrorism, 1-3. 2001.
Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. " The History of Jama'ah Tabligh in Southeast Asia: The Role
of Islamic Sufism in Islamic Revival." Al-Jami'ah 46, no. 2 (2008): 354-400.
___. "Aceh Bukan Target Operasi." Kontras, Maret 2010.
___. "Amerika dan Global Trends 2015." Panjimas, Oktober 2003b: 106-107.
___. "Dinamika Islam Politik Di Indonesia Pada Era Reformasi (1998-2001)." Al-Jmi'ah:
Journal of Islamic Studies 41, no. 1 (2005): 69-106.
___.. From Islamic Revivalism to Islamic Radicalism in Southeast Asia: A Study of Jama'ah
Tabligh in Sri Petaling (Malaysia) and Cot Goh (Indonesia). Ph.D. Thesis, School of Social
Sciences, Faculty of Humanities and Social Sciences, Bundoora: La Trobe University, 2010.
___. "From Islamic Revivalism to Islamic Radicalism in Southeast Asia: The Case of Malaysia
Culture." In Identity and Religion in Southeast Asia, edited by Alistair D.B. Cook, 68-87.
Newcastle, UK: Cambridge Scholars Publishing, 2007.
. Islamic Law in Southeast Asia: A Study of Its Application in Kelantan and Aceh . Chiang Mai:
Silkworm, 2009.
___. "Memahami Isu Terorisme Di Aceh." Serambi Indonesia, Maret 2010b.
___. "Putra Aceh Di Nanggroe Budha." Aceh Magazine, Juli 2007: 34-45.
. Relasi Islam Dan Negara Dalam Perspektif Modernisme Dan Fundamentalisme . Magelang:
Indonesia Tera, 2001.
___. Respons Islam Politik Dalam Gerakan Reformasi Di Indonesia (1998-2001). M.A. Thesis,
Akademi Pengajian Islam, Kuala Lumpur: University of Malaya, 2004.
. Satu Dasawarsa the Clash of Civilizations: Membongkar Politik Amerika Di Pentas Dunia.
Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003.
___. "The Application of Islamic Law in Indonesia: The Case Study of Aceh." Journal of
Indonesian Islam 1, no. 1 (2007): 135-180.
___. "The Discourse of the Islamic State and Islamic Law in Malaysia." In Asian Transformations
in Action, by Yohei Sasakawa, 16-25. Tokyo: The Nippon Foundation, 2009.
Byman, Daniel L. "Al-Qaeda as an Adversary: Do We Understand Our Enemy." World Politics
56, no. 1 (2003): 139-163.

24

Chau, Andrew. "Security Community and Southeast Asia: Australia, the U.S., and ASEAN''s
Counter-Terror Strategy." Asian Survey 48, no. 4 (2008): 626-649.
Conboy, Ken. Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service . Jakarta: Equinox, 2004.
Connors, Michael K. "War on Error and the Southern Fire: How Terrorism Analysts Get It
Wrong." Critical Asian Studies 38, no. 1 (2006): 151-175.
Cook, David. Understanding Jihad . Berkeley: University of California Press, 2005.
Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah Di
Indonesia. Bandung: Teraju, 2003.
De Graaf, H.J., and G. Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Kajian Sejarah
Politik Abad Ke-15 Dan Ke-16. Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Derian, James Der. "Imaging Terror: Logos, Patho and Ethos." Third World Quarterly 26, no. 1
(23-37).
Desker, Barry. "Islam and Society in South-East Asia after 11 September." Australian Journal of
International Affairs 56, no. 3 (2002): 383-394.
___. "The Jemaah Islamiyah (JI) Phenomenon in Singapore." Contemporary Southeast Asia 25,
no. 3 (2003): 489-506.
. "Islam and Society in Southeast Asia after September 11." Working Paper Series, 2002b.
Dillon, Dana R. "The Shape of Anti-Terrorit Coalition in Southeast Asia." Heritage Lectures (The
Heritage Foundation), 2002: 1-5.
Doran, Michael. "The Pragmatism Fanatics of Al Qaeda: An Anatomy of Extremism in Middle
Eastern Politics." Political Science Quarterly 117, no. 2 (2002): 177-190.
Dreyfuss, Robert. Devil's Game: How the United States Helped Unleash Fundamentalist Islam.
New York: Metropolitan Books Henry Holt and Company, 2005.
Effendy, Bahtiar. "Islamic Militant Movements in Indonesia: A Preliminary Account for Its SocioReligious and Political Aspects." Studia Islamika 11, no. 3 (2004): 393-428.
Eiseman, Fred B. Bali, Sekala and Niskala. Singapore: Perilplus, 1990.
El-Fadl, Khaled Aboue. "The Rules of Killing at War: An Inquiry into Classical Sources." The
Muslim World 89, no. 2 (1999): 144-157.
Elliott, Michael. "'We're at War." Time, September 2001: 38-43.
Esposito, John L. "Islamists and Us Foreign Policy." ISIM Review, no. 18 (2006): 6-7.
Faath, Sigrid, ed. Anti-Americanisn the Muslim World. London: C. Hurst & Company, 2006.
Fealy, Greg. "Half a Century of Violent Jihad in Indonesia: A Historical and Ideological
Comparison of Darul Islam and Jema'ah Islamiyah." In Islamic Terrorism in Indonesia: Myths
and Realities, edited by Marika Vicziany and David Wright-Neville. Clayton: Monash Asia
Institute, 2005.
___. "Hating Americans: Jemaah and the Bali Bombings." IIAS Newsletter, no. 31 (2003): 3-4.
___ and Virginia Hooker, . Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook.
Singapore: ISEAS, 2006.
Federspiel, Howard M. Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia .
Chiang Mai: Silkworm, 2007.
Fernando, Joseph M. "The Position of Islam in the Constitution of Malaysia." Journal of
Southeast Asia Studies 37, no. 2 (2006): 249-266.

25

Funston, John. "Thailand." In Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook ,


edited by Greg Fealy and Virginia Hooker, 77-88. Singapore: ISEAS, 2006.
Gates, Robert. "Reflection on Leadership." Parameres, 2008: 5-13.
Gee, John. "Alleged Al-Qaeda-Connected Groups Targetted in Malaysia and Singapore." The
Washington Report on Middle East Affairs 21, no. 1 (2002): 61-62.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago dan London: The University of Chicago Press,
1960.
Gerson, Joseph. "Architecture of U.S. Asia-Pacific Hegemony." Peace Review 11, no. 3 (1999):
399-407.
Gibbs, Nancy. "An American Family Goes to War." Time, Maret 2003: 28-35.
Glassman, Jim. "The "War on Terrorism" Comes to Southeast Asia." Journal of Contemporary
Asia 35, no. 1 (2005): 3-28.
Gunaratna, Rohan. Inside Al-Qaeda: Global Network of Terror. New York: Columbia University
Press, 2002.
___, ed. Terrorism in the Asia Pacific: Threat and Response. Singapore: Eastern University Press,
2003.
Gutierrez, Eric, and Jr. Saturnino Borras. The Moro Conflict: Landlessness and Misdirected State
Policies. Policy Studies No.8, Washington: East West Center, 2004.
Hamilton-Hart, Natasha. "Terrorism in Southeast Asia: Expert Analysis, Myopia, and Fantasy."
The Pacific Review 2, no. 2 (2005): 120-147.
Hassan, Noorhaidi. "Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in
Indonesia." Indonesia, no. 73 (2002): 149-169.
Hawkins, Michael. "Imperial Historicism and American Military Rule in the Philippines' Muslim
South." Journal of Southeast Asian Studies 39, no. 3 (2008): 411-429.
Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. London:
Touchstone Books, 1997.
Hwang, In-Wong. Personalized the Politics Malaysian State under Mahathir . Singapore: ISEAS,
2003.
ICG. . Indonesia: Jihadi Surprise in Aceh. Asia Report , Jakarta: ICG, 2010.
ICG. Annual Report 2003: Review of 2002 Plans for 2003. Brussel: ICG, 2003.
ICG. Southern Thailand: Insurgency, Not Jihad. Asia Report, Brussel: ICG, 2005.
Isa, Nasharuddin Mat. The Islamic Party of Malaysia (PAS): Ideology, Policy, Struggle and Vision
Towards the New Millenium. Kuala Lumpur: PAS, 2001.
Islam, Syed Serajul. The Politic of Islamic Identity in Southeast Asia. Singapore: Thomson, 2005.
Ismail, Faisal. Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam Dan
Pancasila . Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Jackson, Sherman A. "Domestic Terrorism in the Islamic Legal Tradition." The Muslim World ( )
91, no. 3/4 (2001): 293-310.
___. "Jihad and the Modern World." The Journal of Islamic Law and Culture 7, no. 1 (2002): 126.
Jahroni, Jajang, and Jamhari, . Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press,
2004.

26

Jamhari. "Fundamentalism and the Implementation of Shar'a." In A Portrait of Contemporary


Indonesian Islam, edited by Chaider S. Bamualim, 67-76. Jakarta: CLS dan KAS, 2005.
___. "Mapping Radical Islam in Indonesia." Studia Islamika 10, no. 3 (2003): 1-28.
Jan, Abdul Murat bin Mat. Gerakan Darul Islam Di Aceh 1953-1959. B.A. Tesis, Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 1975.
Jervis, Robert. "An Interim Assessment of September 11: What Has Changed and What Has Not?"
Political Science Quartely 117, no. 1 (2002): 37-52.
Jones, Sidney. "Beberapa Pembuat Bom Masih Buron." Tempo, Juli 2009: 39-40.
___. "Hambali Adalah Petinggi Al-Qaidah." Tempo, November 2002.
___. "Jemaah Islamiyah: A Short Description." Kultur: The Indonesian Journal For Muslim
Cultures 3, no. 1 (2003b).
___. "Konflik Aceh Dan Papua." Tempo, Mei 2003: 60.
___. "Terluka, Tapi Masih Bernyawa." Tempo, Oktober 2003c.
___. "Terorisme: Pelajaran Dari Aceh." Tempo, Maret 2010: 16-17.
___. "Terrorism and 'Radical Islam' in Indonesia." In Terrorism and Islam in Indonesia: Myths
and Realities, edited by Marika Vicziany and Wright-Nevil. Clayton: Monash Asia Institute,
2005c.
___. "Terrorism in Southeast Asia: An Update." In Regional Outlook Forum 2005 Terrorism:
International and Regional Dimensions, edited by Chin Kin Wah and Aris Ananta. Singapore:
ISEAS, 2005b.
___. "The Changing Nature of Jemaah Islamiyah." Australian Journal of International Affairs 59,
no. 2 (2005): 169-78.
Jubair, Salah. Bangsamoro: A Nation under Endless Tyranny. Kuala Lumpur: IQ Marin Sdn.
Bhd.,, 1999.
Juergensmeyer, Mark. "Understanding Militant Islamic Movement." Kultur: The Indonesian
Journal For Muslim Cultures 3, no. 1 (2003): 1-15.
Junaedi, Dedi. Konspirasi Di Balik Bom Bali. Jakarta: Bina Wawasan Press, 2003.
Junaedi, Dedi, ed. Konspirasi Di Balik Bom Bali: Skenario Membungkam Gerakan Islam.
Jakarta: Bina Wawasan Press, 2003.
Kahn, Joel S. Other Malays: Nationalism and Cosmopolitanism in the Modern Malay World .
Singapore: Singapore University Press, 2006.
Kamlian, Jamail A. "Ethnic and Religious in the Philippines: The Bangsamoro Experience." In
The Making of Ethnic & Religious Conflict in Southeast Asia: Cases and Resolutions, edited by
Lambang Trijono, 89-140. Yogyakarta: Center for Security and Peace Studies (CSPS) and
Southeast Asian Conflict Studies Network (SEACSN), 2004.
Karim, M. Rusli. Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suaru Kajian Mengenai Implikasi

Q97P-an dan 1980an. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.


Kellen, Konrad. On Terrorists and Terrorism. A Rand Note, Santa Monica: RAND, 1982.
Kheng, Cheah Boon. Malaysia: The Making of a Nation . Singapore: ISEAS, 2002.
Kim, Kay Khoo, Elinah Abdullah, and Meng Wang Hao, . Malays/Muslims in Singapore: Selected
Readings in History. Selangor: Pelanduk, 2006.

27

Kim, Khoo Kay. Malay Society Transformation and Democratisation: A Stimulating and
Discerning Study of the Evolution of Malay Society. Selangor: Pelanduk, 2001.
King, Victor T. The Sociology of Southeast Asia: Transformations in A Developing Region.
Copenhagen: NIAS, 2008.
King, Victor T., and William D. Wilder. The Modern Anthropology of South-East Asia. New York:
Routledge, 2006.
Kingsbury, Damien. "The Free Aceh Movement: Islam and Democratisation." Journal of
Contemporary Asia 37, no. 2 (2007): 166-189.
Koentjaraningrat. "Javanese Terms for God and Supernatural Beings and the Idea of Power." In
Readings on Islam in Southeast Asia, edited by Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique and Yasmin
Hussain, 286-292. Singapore: ISEAS, 1986.
Lewis, Bernard. What Went Wrong? The Clash Between Islam and Modernity in the Middle East.
New York: Oxford University Press, 2002.
. The Crisis of Islam: Holy War and Unholy War. New York: Oxford University Press, 2003.
Lewis, David Levering. God's Crucible: Islam and the Making of Europe, 570-1215. London and
New York: W.W. Norton, 2008.
Lim, Merlyna. Islamic Radicalism and Anti-Americanism in Indonesia. Policy Studies,
Washington: East West Center, 2005.
Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya. 3 vols. Jakarta: Gramedia, 2008.
Lukens-Bull, Ronald. A Peaceful Jihad: Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java . New
York: Palgrave Macmillan, 2005.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam Dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam
Konstituante . Jakarta: LP3ES, 1996.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksaan Hidup Jawa.
Jakarta: Gramedia, 2003.
Man, W. K. Che. "Moro National Liberation Front." In The Oxford Encyclopedia of the Modern
Islamic World, edited by John L. Esposito, 132-134. Oxford: Oxford University Press, 1995.
Mandaville, Peter, et.al. Transnational Islam in South and Southeast Asia Movements, Networks,
and Conflict Dynamics. NBR Project Report, Washington: The National Bureau of Asian
Research, 2009.
Mansurnoor, Iik Arifin. " Radicalization of Islamic Discourse among Mulims in Southeast Asia:
An Historical Reinterpretation." Kultur: The Indonesian Journal For Muslim Cultures 3, no. 2
(2003): 63-104.
___. "Muslims in Modern Southeast Asia: Radicalism in Historical Perspectives." Taiwan Journal
of Southeast Asian Studies 2, no. 2 (2005): 3-54.
Manyin, Mark. "Terrorism in Southeast Asia." In CRS Report for Conggres, 1-38. 2003.
Maulani, ZA. "Hantu Jama'ah Islamiyah." Hidayatullah, 2003: 32-33.
Maulani, ZA. "Teror Dan Fitnah Itu Terungkap Sudah." Panjimas, September 2003b: 44-45.
Maulani, ZA. "Terorisme, Amerika, Dan Bom Bali." In Terorisme & Konspirasi Anti Islam, edited
by Abduh Zulfidar Akaha, 1-31. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.
Milligan, Jeffrey Ayala. "Teaching between the Cross and the Crescent Moon: Islamic Identity,
Postcoloniality, and Public Education in the Southern Philippines." Comparative Education
Review 47, no. 4 (2003): 467-492.

28

Ministry of Home Affairs Republic of Singapore. The Jemaah Islamiyah Arrests and the Threat
Terrorism. White Paper, Singapore: Ministry of Home Affairs Republic of Singapore, 2003.
Miniter, Richard. Losing Bin Laden: How Bill Clinton's Failures Unleashed Global Terror.
Washington: Regnery Publishing, 2003.
Mitchell, Jennifer, and Arshi Saleem Hashmi. Islamism and Islamist Movements: A Resource
Guide. The Middle East Institute, George Camp Keiser Library, 2005.
Mohammad, Mahathir. Globalisation and the New Realities . Selangor: Pelanduk, 2002.
Nasir, Kamaludeen Mohamed, Alexius A. Pereira, and Bryan S. Turner. Muslim in Singapore:
Piety, Politics and Policies. New York and London: Routledge, 2010.
Niksch, Larry A. Southeast Asian Terrorism in U.S. Policy. Asia Program Special Report ,
Woodrow Wilson International Center for Scholars, 2003.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942. London: Oxford
University Press, 1973.
L
NB
W
W

y
Impact of September 11 on the Political Terrain of South and Southeast Asia." Human
Architecture: Journal of the Sociology of Self Knowledge 1 (20067): 29-50.
Onghokham. "Ilmu Sejarah dan Kedudukan Sentralnya." In Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga
1450-1680, by Anthony Reid, xii-xxxiv. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Othman, Mohammad Redzuan. Islam dan Masyarakat Melayu: Peranan Timur Tengah. Kuala
Lumpur: UM Press, 2005.
Othman, Mohammad Redzuan. The Middle Eastern Influence on the Development of Religious and
Political Thought in Malay Society, 1880-1940. Ph.D. Thesis, The University of Edinburgh, 1994.
___. "The Role of Makka-Educated Malays in Development of Early Islamic Scholarship and
Education in Malay." Journal of Islamic Studies 9, no. 2 (1998): 147-157.
Peters, Rudolph. Jihad in Classical and Modern Islam . Princeton: Markus Wiener Publishers,
1996.
Phillips, Kevin. American Theocracy: The Peril and Politic of Radical Religion, Oil, and
Borrowed Money in the 21st Century. New York: Viking, 2006.
Pollack, Josh. "Anti-Americanism in Contemporary Saudi Arabia." Middle East Review of
International Affairs 7, no. 4 (2003): 30-43.
Powell, Bill. "A Journey from War to War." Time, Mei 2005: 26-28.
Prados, John. "Note on the CIA's Secret War in Afghanistan." the Journal of American History 89,
no. 2 (2002): 446-471.
Pranowo, M. Bambang. "Perkembangan Islam Di Jawa." In Menjadi Indonesia: 13 Abad
Eksistenasi Islam Di Bumi Nusantara, 406-443. Bandung: Mizan, 2006.
Rabasa, Angel M. Southeast Asian after 9/11: Regional Trends and U.S. Interests. Santa Monica:
RAND, 2001.
___. "Southeast Asia: Moderate Tradition and Radical Challenge." In The Muslim World after
9/11 . Santa Monica: RAND, 2004.
Ramakrishna, Kumar. "Delegitimizing Global Jihadi Ideology in Southeast Asia." Contemporary
Southeast Asia 27, no. 3 (2005): 343-369.

29

Ramakrishna, Kumar, and See Seng Tan. "Is Southeast Asia A "Terrorist Heaven"?" In After Bali:
The Threat of Terrorism in Southeast Asia, 1-35. Singapore: Institute of Defence and Strategic
Studies, 2003.
Ramly, Andi Muawiyah, Abdul Kadir Ahmad, and Masroer Ch. Jb. Demi Ayat Tuhan: Upaya
Kppsi Menegakkan Syariat Islam. Jakarta: Open Society Institute, 2006.
Razak, Mohd Najib Abdul. Globalising Malaysia Towards Building a Development Nation .
Selangor: MPH, 2006.
Reid, Anthony. "An 'Age of Commerce' in Southeast Asian History." Modern Asian Studies 24, no.
1 (1990): 1-30.
. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Vol. I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1982.
___, ed. The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia. Monash Papers on
Southeast Asia - No. 27 . Monash: CSEAS, Monash University,, 1993.
Renato T. Oliveros, SJ. "The Sulu Sultanate: A Historical Encounter of Islam and Malay Culture."
Tambara 24 (2007): 17-32.
Riana, I Ketut. Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit .
Jakarta: Kompas, 2009.
Ridwan, Nur Khalik. Regenerasi NII: Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia. Jakarta:
Erlangga, 2008.
Roux, Pierre Le. "To Be or Not to Be ... The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)." Asian
Folklore Studies 57, no. 2 (1998): 223-255.
Rubin, Elizabeth. "The Survivor." TIMES, Februari 2010: 18-27.
Ruland, Jurgen. "The Nature of Southeast Asian Security Challenges." The Third Europe Southeast Asian Forum: "Southeast Asian Security: Challenges and Structures. Berlin, 2005.
Samudra, Imam. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazera, 2004.
Sandhu, K.S., and A. Mani, . Indian Communities in Southeast Asia. Singapore: ISEAS, 2006.
Santos, Jr Soliman M. "In Search of Commonalities between Muslim and Christian Filipinos:
Political Values, Beliefs and Practices." In The Making of Ethnic & Religious Conflict in
Southeast Asia: Cases and Resolutions, edited by Lambang Trijono. Yogyakarta: Center for
Security and Peace Studies (CSPS) and Southeast Asian Conflict Studies Network (SEACSN),
2004.
Santos, Jr Soliman M. Peace Negotiations between the Philippine Government and the Moro
Islamic Liberation Front: Causes and Prescriptions. Working Papers, Washington: East West
Center, 2005.
Schmid, Alex. "Terrorism - the Definitional Problem." Case Western Reserve Journal of
International Law 36, no. 2/3 (2004): 375-419.
Sebastian, Leonard C. "The Singapore Experience in Combating Terrorism: What Role for
Education-Based Strategies." ICIP Journal 2, no. 1 (2005): 1-14.
Shalih, Sa'aduddin As-Sayyid. Jaringan Konspirasi Menentang Islam. Translated by Muhammad
Thalib. Yogyakarta: Wihdah Press, 2000.
Sidel, John T. "Others School, Other Pilgrimages, Other Dreams: The Making and Unmaking of
Jihad in Southeast Asia." In In Southeast Asia Over Three Generations: Essays Presented to
Benedict R. O'G. Anderson, edited by J.T. Siegel and A.R. Kahin. Ithaca: Cornell University Press,
2003.

30

Simon, Sheldon W. "Managing Security Challenge in Southeast Asia." NBR Analysis 13, no. 4
(2002).
Siregar, Darwan. "Peta Daerah Kekerasan Konflik Di Indonesia: Akar Masalah Dan Pola
Penanggulangannya." Harmoni: Jurnal Multikultural & Multirelijius 1, no. 3 (2002): 13-22.
Sirozi, Muhammad. "The Intellectual Roots of Islamic Radicalism in Indonesia." Muslim World
95, no. 1 (2005): 81-120.
Smith, Anthony L. "U.S.-Indonesia Relations: Searching for Cooperation in the War against
Terrorism." Asia-Pacific Security Studies 2, no. 2 (2003): 1-5.
Smith, Christian. "Future Directions in the Sociology of Religion." Social Forces 86, no. 4 (2008):
1561-1589.
Snyder, Robert S. "Hating America: Bin Laden as a Civilizational Revolutionary." The Review of
Politics 65, no. 4 (2003): 325-349.
Steenbrink, Karel. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan
Bintang, 1984.
Stern, Jessica. Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill. New York: Harper
Collins, 2005.
Stillman, Peter G. "The Changing Meanings of Terrorism." Perspectives on Evil and Human
Wickedness 1, no. 2 (2003): 81-89.
Suhrke, Astri. "Loyalists and Separatists: The Muslim in Southern Thailand." Asian Survey 17, no.
3 (1977): 237-250.
Sunstein, Cass R. "Why They Hate Us: The Role of Social Dynamics." Harvard Journal of Law
and Public Policy 25, no. 2 (2005): 429-440.
Suryadinata, Leo, ed. Ethnic Chinese in Singapore and Malaysia: A Dialogue between Tradition
and Modernity. Singapore: Times Academic Press, 2002.
. Understanding the Ethnic Chinese in Southeast Asia . Singapore: ISEAS, 2007.
TAF and USINDO. "Islam in Modern Indonesia." the A joint USINDO-Asia Foundation
Conference. Washington, 2002.
L
L
NB
y

War on Terror." XXIV, no. 1 (2004): 91-105." SAIS Review, 2004: 91-105.
Tan-Mullins, May. "Voices from Pattani: Fears, Suspicion, and Confusion." Critical Asian Studies
38, no. 1 (2006): 145-150.
Taylor, Philip, ed. Modernity and Re-enchantment: Religion in Post-revolutionary Vietnam.
Singapore, ISEAS, 2007.
Tempo. "JI: Hantu Tanpa Bentuk." Tempo, Januari 2003: 58-59.
Thayer, Carlyle A. "Political Terrorism and Militants Islam in Southeast Asia." Trends in
Southeast Asia Series: Security, Political Terrorism and Militant Islam in Southeast Asia, 2003.
Tuminez, Astrid S. "This Land Is Our Land: Moro Ancestral Domain and It Implications for Peace
and Development in the Southern Philippines." SAIS Review XXVII, no. 2 (2007): 77-91.
Umam, Saiful. "Radical Muslim in Indonesia: The Case of Ja'far Umar Thalib and the Laskar
Jihad." Explorations in Southeast Asia Studies 6, no. 1 (2006): 1-16.
Vaughn, Bruce R. "Australia's Strategy Identity Post-September 11 in Context Implications for the
War against Terror in Southeast Asia." Contemporary Southeast Asia 26, no. 1 (2004): 94-115.

31

Voll, John O. "Contemporary Sufism and Current Social Theory." In Sufism and the 'Modern' in
Islam, edited by Martin van Bruinessen, Julia Day Howell and ., 281-298. New York: I.B. Tauris,,
2007.
Wahib, Ahmad Bunyan. "Save Indonesian by And From Shar'a: A Debate on the Implementation
of Shar'a." Al-Jami'ah 42, no. 2 (2004): 319-341.
Welsh, Bridget, ed. Reflections the Mahathir Years. Washington, DC: Southeast Asia Studies
Program, The Paul H. Nitze School of Advanced International Studies (SAIS), Jonhs Hopkins
University, 2004.
Wiktorowics, Quintan, ed. Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach. Indianapolis:
Indian University Press, 2004.
Wilson, Chris. "Indonesia and Transnational Terrorism." In Current Issues Brief, 1-12.
Department of the Parliamentary Library, 2001\2.
Wright-Neville, David. "Losing Democratic Moment? Southeast Asia and the War on Terror."
Working Paper, 2004.
Yin, Tung. "Ending War on Terrorism One Terrorist One Time: A Noncriminal Detention Model
for Holding and Releasing Guantanamo Bay Detainees." Harvard Journal of Law and Public
Policy 29, no. 1 (2005): 150-212.
Yusuf, Choirul Fuad. "Konflik Sosial Dan Rekonsiliasi Nasional: Sebuah Glosari." Harmoni:
Jurnal Multikultural & Multirelijius 1, no. 3 (2002): 55-64.
Yusuf, Imtiyaz. Faces of Islam in Southern Thailand. Working Paper, Washington: East West
Center, 2007, 1-50.
Yusuf, Imtiyaz. "The Ethno-Religious Dimension of the Conflict in Southern Thailand." In
Understanting Conflict and Approaching Peace in Southern Thailand, edited by Imtiyaz Yusuf and
Lars Peter Schmidt, 169-190. Bangkok: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2006.
Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia.
Bandung: Teraju, 2002.

32

Anda mungkin juga menyukai