Anda di halaman 1dari 1

STOP diskriminasi ODHA

Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah mungkin yang bisa menggambarkan orang
dengan HIV AIDS (ODHA). Pasalnya, beban penderitaan ODHA bukan hanya pada
pengobatan penyakitnya namun juga stigma dan diskriminasi yang kerap terjadi di
lingkungannya dan bahkan oleh orang-orang terdekatnya. Hal itu mengingat HIV/AIDS
sering diasosiasikan dengan seks bebas, penggunaan narkoba dan kematian. Jangan seolaholah penderita HIV itu digambarkan berprilaku usil dan jahat.Mereka juga berhak hidup
layaknya manusia biasa yang membutuhkan kenyamanan dan rasa aman. Perhatian dan
dukungan keluarga ataupun lingkungannya merupakan factor penentu keberlangsungan
perawatan.
Adanya Dikriminasi yang baru-baru ini hangat dibicarakan adalah mengenai
penolakan siswa yang orang tuanya menderita HIV. Tidak ada risiko penularan bagi
seseorang bila berkomunikasi atau belajar sekelas dengan orang yang terinfeksi HIV, konon
lagi yang terinfeksi HIV itu orang tuanya.
Hal-hal semacam itu merupakan cerita-cerita yang sering kita temui dan
keluarganyapun tidak luput dikucilkan. Walaupun kata STOP diskriminasi ODHA sering
didengungkan tapi masih juga sering terjadi hal seperti ini bahkan sampai ke tenaga
kesehatan itu sendiri yang seharusnya membantu pasien juga memperlakukan hal yang tidak
mengenakkan.
ODHA bukanlah monster yang harus dijauhi. Penelitian menyebut sekitar 80 persen
orang dengan HIV/AIDS meninggal justru karena depresi, bukan karena virusnya. Dengan
obat antiretroviral yang didapat secara gratis, maka ODHA masih bisa terus bertahan.
Adanya cibiran dari masyarakat dan lingkungannya akan membuat ODHA semakin menutup
diri yang akan mempersulit pengendalian dan penanganan HIV AIDS. Komunikasi dan
edukasi sangat diperlukan untuk mencegah penyebaran HIV AIDS dan juga perilaku
diskriminasi. Dan ingatlah kalimat singkat ini Dont do it,if you do dont get it,if you
get,dont spread it.

Anda mungkin juga menyukai