Anda di halaman 1dari 15

Nama Dosen

Mata Kuliah

: Mahsyar Idris
: Al Islam Kemuhammadiyahan VIII

AL - ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN
IJMA DAN QIYAS

Oleh Kelompok IV:

HARIANTO
YUZRI YUSUF
WIWIK SYAM

211 280 175


211 280 170
211 280 179

PROGRAM STUDY INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE
TAHUN AKADEMIK 2014/2015

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Ijma dan Qiyas Ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna untuk
memperoleh nilai dalam mata kuliah Al Islam Kemuhammadiyahan VIII.
Melalui kesempatan yang sangat berharga ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan jadi kritik dan saran sanggat kami butuhkan dalam penyempurnaan
makalah kami, Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam
kesempatan ini, yang telah memberikan bantuan moral dan materil dalam proses
penyelesaian makalah ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang setimpal atas
segala bantuan yang telah diberikan.

Parepare, 10 Maret 2015

Kelompok V

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ii

BAB I

A. PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang

2.

Rumusan Masalah

3.

Tujuan

6.

Manfaat

BAB II

B. PEMBAHASAN

A. IJMA

1.

Pengertian Ijma

2.

Macam-macam Ijma

3.

Syarat-syarat dan rukun Ijma

4.

Kedudukan ijma

5.

Dasar Hukum Ijma

B. QIYAS

1.

Pengertian Qiyas

2.

Rukun dan Syarat Qiyas

3.

Macam-macam Qiyas

BAB III

11

C. PENUTUP

11

A. Kesimpulan

11

B. Saran

11

DAFTAR ISI

12

BAB I
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Quran dan Hadits) ia merupakan
dalil pertama setelah Al-Quran dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman
dalam menggali hukum-hukum syara. Namun ada komunitas umat islam
tidak mengakui dengan adanya ijma itu sendiri yang mana mereka hanya
berpedoman pada Al-Quran dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan
sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Quran dan
Hadits).
Ijma muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan
ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka
hadapi. Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan
para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan
hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan
pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
Pada masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa
ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah AlQur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya
kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan
langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau
Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam
memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak
ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan
yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma dan
Qiyas.
2. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Ijma dan Qiyas?
2. Rukun-rukun Ijma dan Qiyas
3. Dasar hukum Ijma
1

4. Macam-macam Ijma dan Qiyas


5. Syarat-syarat Ijma dan Qiyas
6. Kedudukan Ijma
3. Tujuan
1. Mengetahui Apakah pengertian Ijma dan Qiyas?
2. Mengetahui Rukun-rukun Ijma dan Qiyas
3. Mengetahui Dasar hukum Ijma
4. Mengetahui Macam-macam Ijma dan Qiyas
5. Mengetahui Syarat-syarat Ijma dan Qiyas
6. Mengetahui kedudukan ijma
7. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah supaya mahasiswa lebih
memahami dan mendapat pengetahuan serta wawasan yang lebih
mendalam mengenai Ijma dan Qiyas sehingga diharapkan mampu
menerapkannya dalam dunia perkuliahan

BAB II
B. PEMBAHASAN
A. IJMA
1. Pengertian Ijma
Ijma menurut para ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para
mujtahid di kalangan ummat islam pada suatu masa setelah Rasulullah
saw. Wafat atas hukum syara mengenai suatu kajadian.
Apabila terjadi suatu kejadian yang dihadapkan kepada semua mujtahid
dari ummat islam pada waktu kejadian itu terjadi dan mereka sepakat atas
hukum mengenainya, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma.
Kesepakatan mereka atas satu hukum mengenainya dianggap
sebagai dalil, bahwasanya hokum tersebut merupakan hokum syara
mengenai kejadian itu. Dalam defenisi itu hanyalah disebutkan sesudah
wafat Rasulullah saw., karena pada masa hidup Rasulullah, beliau
merupakan rujukan pembentukan hukum islam satu-satunya, sehingga
tidak terbayangkan adanya perbedaan dalam hokum syari, dan tidak pula
terbanyangkan adanya kesepakatan, karena kesepakatan tidak akan
terwujud kecuali dari beberapa orang.
2. Macam-macam Ijma
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi,
namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam
ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan
tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
1. ljma`bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas
dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga
ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi.
2. Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam
diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum
yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma'
seperti ini disebut juga ijma` `itibari.
3. Syarat-syarat dan rukun Ijma
2

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat kita pahami bahwa ijma
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak
dianggap ijma. Belum juga kesepakatan Islam yang belum mencapai
derajat mujtahid fiqih, meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam
disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-perkara syariat
Islam.
2. Ijma harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid meskipun
negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh
seorang mujtahid pun. Maka jika ada sebagian mereka yang berbeda
pendapat dengan pendapat mayoritas, meskipun seorang saja yang berbeda
pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan Ijma.
3. Hendaklah kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada
pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh
karena itu, tidak diisyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang
ada pada masa berikutnya.
4. Kesepakatan para mujtahid itu hendaklah harus terjadi sesudah Rasulullah
SAW wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam
hukum suatu perkara, ketika Nabi SAW masih hidup, maka kesepakatan
mereka itu tidak bisa dinamakan ijma syari.
5. Kesepakatan itu hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengan
terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun
berkelompok dalam satu tempat, di mana sebelumnya juga terjadi
perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi berakhir dengan
diperolehnya satu pendapat bulat.
6. Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu, benarbenar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi
kebulatan pendapat.
Jika semua persyaratan di atas terpenuhi dan disepakati para
mujtahid atas hukum syara yang amali, seperti wajib, haram, sah, maka
terjadilah ijma.
Adapun rukun ijma adalah sebagai berikut:

1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara melalui ijma


tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid
yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang
dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah
seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai
belahan dunia Islam.
3. Kesepakatan itu diawali

setelah

masing-masing

mujtahid

mengemukakan pandangannya.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara yang bersifat
aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Quran
5. Sandaran hukum ijma tersebut secara haruslah Al-Quan dan atau
hadis Rasulullah SAW.
4. Kedudukan ijma
Jumhur ulama ushul Fiqh berpendapat, apabila rukun-rukun
ijmatelah terpenuhi , maka ijma tersebut menjadi hujjah yang qathI
(pasti), wajibdiamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang
yangmengingkarinya dianggap kafir, disamping itu permasalahan yang
telahditetapkan hukumnya melalui ijma menurut para ahli ushul fiqh tidak
bolehlagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya. Karena hukum
yangditetapkan melalui ijma merupakan hukum syara yang qathI dan
menempatiurutan ketiga sebagai dalil syara setelah alquran dan sunnah.
Akan tetapi, Ibrahim bin Siyar al Nazzam (tokoh Mutazilah)
ulamaKhawarij dan ulama Syiah, berpendapat bahwa ijma tidak dapat
dijadikanhujjah. Menurut al Nazzam, ijma yang digambarkan jumhur
ulamatersebuttidak mungkin terjadi, karena tidak mungkin menghadirkan
seluruh mujtahidpada satu masa, dan menyepakatinya bersama. Selain itu,
masing-masingdaerah mempunyai struktur soaial dan budaya yang
berbeda.
Adapun bagi kalangan Syiah, ijma tidak mereka terima sebagaihujjah,
karena pembuatan hukum menurut keyakinan merekaadalah imamyang
mereka anggap masum (terhindar dari dosa). Ulama Khawarij

dapatmenerima ijma sahabat sebelum terjadinya perpecahan politik di


kalangansahabat.
5. Dasar Hukum Ijma
1) Ijma merupakan hujjah, dengan dalil-dalil diantaranya :
Firman Allah :

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia." [QS. Al-Baqoroh : 143]
Maka firmanNya : "Saksi atas manusia", mencakup persaksian
terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan hukum-hukum dari
perbuatan mereka, dan seorang saksi perkataannya diterima.
2) Firman Allah :

"Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul-Nya." [QS. An-Nisa' : 59]
Menunjukkan atas bahwasanya apa-apa yang telah mereka sepakati
adalah benar.
3) Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Umatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan"


4) Akal pikiran
Setiap ijma` yang dilakukan atas hukum syara`, hendaklah dilakukan
dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap
mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok
ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta
hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam
berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh
melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash
itu.
B. QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut

istilah

ahli

ilmu

ushul

fiqh

adalah

mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu
kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena
5

persamaan kedua itu dalam illat hukumnya. Maka apabila suatu nash telah
menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah
diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum,
kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu
dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka
hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya,
berdasarkan atas persamaan illatnya karena sesungguhnya hukum itu ada
di mana illat hukum ada.
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan
sesuatu yang serupa karena prinsip persamaanillat akan melahirkan
hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara
analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan
tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus
sama pula dengan hukum yang ditetapkan.
A1-Quran menjelaskan perbedaan hukum karena tidak adanya
persamaan sifat dan perbuatan yaitu firman Allah :

Artinya : Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di


muka bumi ini sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan
orang-orang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas
mereka dan orang-orang kafir akan menerima akibat-akibat seperti itu.
Yang kedua adalah analogi beda sifat, beda hukum.

(21 : )
Artinya : Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka
bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal sholeh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian
mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.
Dan Firman Allah yang berbunyi.
)
(28 :

Artinya : Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman


dan mengerjakan amal sho!eh samadengan orang-orang yang berbuat
kerusakan di muka bumi? Patutkah kami menganggap orang-orang yang
bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?
Dengan ketiga dalil Al-Quran tersebut di atas sangat sesuai dengan
prinsip berfikir rasional yaitu menyamakan sesuatu karena adanya
persamaan dan membedakan sesuatu karena adanya faktor perbedaan.
Menurut pendapat Imam Al-Muzani seorang sahabat Imam Syafii
menyimpulkan pandangan beliau tentang qiyas yaitu : Para ahli hukum dan
masa Rasulullah hingga sekarang selalu mempergunakannya dalam setiap
masalah agama. Sesuatu yang setara dengan hak adalah hak dan yang
dengan setara bathil ya bathil pula. Ibnu Qoyyim sependapat dengan hal
tersebut.
2. Rukun dan Syarat Qiyas
Setiap qiyas terdiri dari empat rukun yaitu :
1) Al-ashlu, yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya. ia disebut juga
al-maqis alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul alaih (yang
dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan
dengannya).
2) Al-faru, yaitu : Sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. ia juga
disebut

al-maqis

(yang

diqiyaskan),

al-mahmul

(yang

dipertanggungkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).


3) Hukum Ashl, yaitu : Hukum syara yang ada nashnya pada al-ashl
(pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada alfaru (cabangnya).
4) Al-illat, yaitu : Suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk
hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada
cabang (faru), maka ia disamakandengan pokoknya dari segi
hukumnya.
Di atas telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1) Syarat-syarat ashal (soal-soal pokok)
7

a. Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada


pokoknya
b. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara
c. Hukum pokok tidak merupakan huku pengecualian,
seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan
minum
2) Syarat-syarat fara (cabang)
a. Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum
pokok,

misalnya

mengqiayaskan

wudlu

dengan

tayamun
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang
menurut ulama ushul berkata, apabila datang nash,
qiyas menjadi batal
c. Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat
yang terdapat pada pokok
3) Syarat-syarat illat
a. Illat harus tetap berlaku
b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus
terwujud ketika terdapatnya illat tanpa mengganggu
sesuatu yang lain. sebab adanya illat tersebut adalah demi
kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat
wajibnya qishas
c. Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan
maka nash yang didahulukan
d. Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu.
3. Macam-macam Qiyas
a. Qiyas aula
Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang
disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada
tempat menyamakannya (mulhaq bih), misanya memukul kedua orang
tua dengan mengatakan ah kepadanya
b. Qiyas musaw, i
Yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum yang
terdapat pada mulhaq nya sama dengan illat hukum yang terdapat dalam
mulhaq bih. Misalnya merusak harta benda anak yatim mempunyai illat

hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama
sama merusakkan harta
c. Qiyas dalalah
Yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan
hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan
harta milik anak kecil pada harta orang dewasa dalam kewajibannya
mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda
yang mempunyai sifat dapat bertambah
d. Qiyas syibhi
Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua
mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung
banyak persamaaannya dengan mulhaq. Misanya seorang hamba sahaya
yang dirusakkan oleh seseorang.

BAB III
C. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Ijma adalah kesepakatan dari umat Islam pada hukum
Syari, dalam hal ini adalah para mujtahid dalam suatu masa, sesudah
wafat Rasulullah SAW, akan suatu hukum syariat yang amali.
Adapun Syaratnya harus berupa kesepakatan para mujtahid Islam.
meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, yang ada pada masa
terjadinya masalah fiqihyah dan harus terjadi sesudah Rasulullah SAW
wafat. Kehujjahannya dari Firman Allah surah An-Nisa ayat 115 dan 59.
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu IjmaSarih
(tegas) dan IjmaSukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya
sebagian ulama).
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan
sesuatu yang serupa karena prinsip persamaanillat akan melahirkan
hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara
analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan
tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus
sama pula dengan hukum yang ditetapkan
Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku
sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.
B. Saran
Semoga penulisan makalah ini adalah supaya mahasiswa lebih
memahami dan mendapat pengetahuan serta wawasan yang lebih
mendalam mengenai Ijma dan Qiyas sehingga diharapkan mampu
menerapkannya dalam dunia mahasiswa.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
2. Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.
3. Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1997.
4. Zahrah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.

11

Anda mungkin juga menyukai