Aik Viii Ijma Qiyas
Aik Viii Ijma Qiyas
Mata Kuliah
: Mahsyar Idris
: Al Islam Kemuhammadiyahan VIII
AL - ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN
IJMA DAN QIYAS
HARIANTO
YUZRI YUSUF
WIWIK SYAM
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Ijma dan Qiyas Ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna untuk
memperoleh nilai dalam mata kuliah Al Islam Kemuhammadiyahan VIII.
Melalui kesempatan yang sangat berharga ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan jadi kritik dan saran sanggat kami butuhkan dalam penyempurnaan
makalah kami, Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam
kesempatan ini, yang telah memberikan bantuan moral dan materil dalam proses
penyelesaian makalah ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang setimpal atas
segala bantuan yang telah diberikan.
Kelompok V
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ii
BAB I
A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
2.
Rumusan Masalah
3.
Tujuan
6.
Manfaat
BAB II
B. PEMBAHASAN
A. IJMA
1.
Pengertian Ijma
2.
Macam-macam Ijma
3.
4.
Kedudukan ijma
5.
B. QIYAS
1.
Pengertian Qiyas
2.
3.
Macam-macam Qiyas
BAB III
11
C. PENUTUP
11
A. Kesimpulan
11
B. Saran
11
DAFTAR ISI
12
BAB I
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Quran dan Hadits) ia merupakan
dalil pertama setelah Al-Quran dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman
dalam menggali hukum-hukum syara. Namun ada komunitas umat islam
tidak mengakui dengan adanya ijma itu sendiri yang mana mereka hanya
berpedoman pada Al-Quran dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan
sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Quran dan
Hadits).
Ijma muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan
ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka
hadapi. Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan
para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan
hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan
pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
Pada masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa
ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah AlQur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya
kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan
langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau
Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam
memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak
ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan
yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma dan
Qiyas.
2. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Ijma dan Qiyas?
2. Rukun-rukun Ijma dan Qiyas
3. Dasar hukum Ijma
1
BAB II
B. PEMBAHASAN
A. IJMA
1. Pengertian Ijma
Ijma menurut para ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para
mujtahid di kalangan ummat islam pada suatu masa setelah Rasulullah
saw. Wafat atas hukum syara mengenai suatu kajadian.
Apabila terjadi suatu kejadian yang dihadapkan kepada semua mujtahid
dari ummat islam pada waktu kejadian itu terjadi dan mereka sepakat atas
hukum mengenainya, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma.
Kesepakatan mereka atas satu hukum mengenainya dianggap
sebagai dalil, bahwasanya hokum tersebut merupakan hokum syara
mengenai kejadian itu. Dalam defenisi itu hanyalah disebutkan sesudah
wafat Rasulullah saw., karena pada masa hidup Rasulullah, beliau
merupakan rujukan pembentukan hukum islam satu-satunya, sehingga
tidak terbayangkan adanya perbedaan dalam hokum syari, dan tidak pula
terbanyangkan adanya kesepakatan, karena kesepakatan tidak akan
terwujud kecuali dari beberapa orang.
2. Macam-macam Ijma
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi,
namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam
ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan
tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
1. ljma`bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas
dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga
ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi.
2. Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak
menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam
diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum
yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma'
seperti ini disebut juga ijma` `itibari.
3. Syarat-syarat dan rukun Ijma
2
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat kita pahami bahwa ijma
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak
dianggap ijma. Belum juga kesepakatan Islam yang belum mencapai
derajat mujtahid fiqih, meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam
disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-perkara syariat
Islam.
2. Ijma harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid meskipun
negara dan kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh
seorang mujtahid pun. Maka jika ada sebagian mereka yang berbeda
pendapat dengan pendapat mayoritas, meskipun seorang saja yang berbeda
pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan Ijma.
3. Hendaklah kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada
pada masa terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh
karena itu, tidak diisyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang
ada pada masa berikutnya.
4. Kesepakatan para mujtahid itu hendaklah harus terjadi sesudah Rasulullah
SAW wafat. Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam
hukum suatu perkara, ketika Nabi SAW masih hidup, maka kesepakatan
mereka itu tidak bisa dinamakan ijma syari.
5. Kesepakatan itu hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengan
terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun
berkelompok dalam satu tempat, di mana sebelumnya juga terjadi
perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi berakhir dengan
diperolehnya satu pendapat bulat.
6. Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu, benarbenar sepakat lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi
kebulatan pendapat.
Jika semua persyaratan di atas terpenuhi dan disepakati para
mujtahid atas hukum syara yang amali, seperti wajib, haram, sah, maka
terjadilah ijma.
Adapun rukun ijma adalah sebagai berikut:
setelah
masing-masing
mujtahid
mengemukakan pandangannya.
4. Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara yang bersifat
aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Quran
5. Sandaran hukum ijma tersebut secara haruslah Al-Quan dan atau
hadis Rasulullah SAW.
4. Kedudukan ijma
Jumhur ulama ushul Fiqh berpendapat, apabila rukun-rukun
ijmatelah terpenuhi , maka ijma tersebut menjadi hujjah yang qathI
(pasti), wajibdiamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang
yangmengingkarinya dianggap kafir, disamping itu permasalahan yang
telahditetapkan hukumnya melalui ijma menurut para ahli ushul fiqh tidak
bolehlagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya. Karena hukum
yangditetapkan melalui ijma merupakan hukum syara yang qathI dan
menempatiurutan ketiga sebagai dalil syara setelah alquran dan sunnah.
Akan tetapi, Ibrahim bin Siyar al Nazzam (tokoh Mutazilah)
ulamaKhawarij dan ulama Syiah, berpendapat bahwa ijma tidak dapat
dijadikanhujjah. Menurut al Nazzam, ijma yang digambarkan jumhur
ulamatersebuttidak mungkin terjadi, karena tidak mungkin menghadirkan
seluruh mujtahidpada satu masa, dan menyepakatinya bersama. Selain itu,
masing-masingdaerah mempunyai struktur soaial dan budaya yang
berbeda.
Adapun bagi kalangan Syiah, ijma tidak mereka terima sebagaihujjah,
karena pembuatan hukum menurut keyakinan merekaadalah imamyang
mereka anggap masum (terhindar dari dosa). Ulama Khawarij
istilah
ahli
ilmu
ushul
fiqh
adalah
mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu
kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena
5
persamaan kedua itu dalam illat hukumnya. Maka apabila suatu nash telah
menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah
diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui illat hukum,
kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu
dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka
hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya,
berdasarkan atas persamaan illatnya karena sesungguhnya hukum itu ada
di mana illat hukum ada.
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan
sesuatu yang serupa karena prinsip persamaanillat akan melahirkan
hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara
analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan
tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus
sama pula dengan hukum yang ditetapkan.
A1-Quran menjelaskan perbedaan hukum karena tidak adanya
persamaan sifat dan perbuatan yaitu firman Allah :
al-maqis
(yang
diqiyaskan),
al-mahmul
(yang
misalnya
mengqiayaskan
wudlu
dengan
tayamun
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang
menurut ulama ushul berkata, apabila datang nash,
qiyas menjadi batal
c. Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat
yang terdapat pada pokok
3) Syarat-syarat illat
a. Illat harus tetap berlaku
b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus
terwujud ketika terdapatnya illat tanpa mengganggu
sesuatu yang lain. sebab adanya illat tersebut adalah demi
kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat
wajibnya qishas
c. Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan
maka nash yang didahulukan
d. Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu.
3. Macam-macam Qiyas
a. Qiyas aula
Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang
disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama daripada
tempat menyamakannya (mulhaq bih), misanya memukul kedua orang
tua dengan mengatakan ah kepadanya
b. Qiyas musaw, i
Yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum yang
terdapat pada mulhaq nya sama dengan illat hukum yang terdapat dalam
mulhaq bih. Misalnya merusak harta benda anak yatim mempunyai illat
hukum yang sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama
sama merusakkan harta
c. Qiyas dalalah
Yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan
hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan
harta milik anak kecil pada harta orang dewasa dalam kewajibannya
mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa seluruhnya adalah harta benda
yang mempunyai sifat dapat bertambah
d. Qiyas syibhi
Yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua
mulhaq bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung
banyak persamaaannya dengan mulhaq. Misanya seorang hamba sahaya
yang dirusakkan oleh seseorang.
BAB III
C. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Ijma adalah kesepakatan dari umat Islam pada hukum
Syari, dalam hal ini adalah para mujtahid dalam suatu masa, sesudah
wafat Rasulullah SAW, akan suatu hukum syariat yang amali.
Adapun Syaratnya harus berupa kesepakatan para mujtahid Islam.
meskipun negara dan kebangsaan mereka berbeda, yang ada pada masa
terjadinya masalah fiqihyah dan harus terjadi sesudah Rasulullah SAW
wafat. Kehujjahannya dari Firman Allah surah An-Nisa ayat 115 dan 59.
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu IjmaSarih
(tegas) dan IjmaSukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya
sebagian ulama).
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan
sesuatu yang serupa karena prinsip persamaanillat akan melahirkan
hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara
analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan
tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus
sama pula dengan hukum yang ditetapkan
Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku
sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.
B. Saran
Semoga penulisan makalah ini adalah supaya mahasiswa lebih
memahami dan mendapat pengetahuan serta wawasan yang lebih
mendalam mengenai Ijma dan Qiyas sehingga diharapkan mampu
menerapkannya dalam dunia mahasiswa.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
2. Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.
3. Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1997.
4. Zahrah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus.
11