Anda di halaman 1dari 9

I.

PENDAHULUAN
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Quran, hadits Nabi memiliki
fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena pembukuan hadits baru
dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah
kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas
hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah
tersebut juga sering dijadikan celah dan starting point oleh musuh-musuh Islam untuk
merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui
bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Karena
itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi untuk
melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Hal itu dimaksudkan
untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan
mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode.
Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama
belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman
yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk
mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah itu tampaknya
juga belum menjamin para pengkaji hadits akan mampu meneliti dan memahami hadits
secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas permasalahannya memang sangat
beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam meneliti dan memahami hadits, maka ulama
hadits, sesuai dengan keahlian masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat
ilmu. Cabang-cabang pengetahuan itu ada yang berhubungan dengan sanad, ada yang
berhubungan dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan matan.Karena
berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan yang berkaitan dengan hadits begitu banyak,
maka dengan sendirinya jumlah dan jenis kitab yang membahas hadits Nabi juga begitu
banyak.

II. PEMBAHASAN
A.

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits


Ilmu ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi
ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat, terutama sekali ketika umat Islam

memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan,
sudah barang tentu secara langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi
periwayatan

hadits.

Pada

perkembangan

berikutnya

kaidah-kaidah

itu

semakin

disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik
mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang
lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri[18].
Dalam sejarah dan perkembangannya para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadits
dalam beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadits berbeda-beda dalam
membagi periode sejarah hadits. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode dan
tujuh periode[19].
Mohammad Mustafa Azmi, yang secara garis besar hanya berkonsentrasi pada
pengumpulan dan penulisan hadits pada abad pertama dan kedua hijriah yang
dinamainya Pre-Classical Hadits Literature ( masa sebelum puncak kematangan
pengkodifikasian hadits), membagi periodisasi penghimpunan hadits menjadi empat
fase[20].
Sedangakan M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya membagi perkembangan hadits
menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi Muhammad SAW hingga sekarang[21].
Urain berikut akan menitikberatkan pada proses penghimpunan hadits pada abad
pertama, kedua dan ketiga Hijriah, yaitu sampai pada fase dibukukan dan diklasifikasinya
hadits-hadits Nabi Muhammad SAW kepada yang Shahih dan yang tidak Shahih, yang
diterima dan yang ditolak, hingga masa kekinian.
1. Hadits pada Abad Pertama Hijriah
a. Hadits pada Masa Nabi Muhammad SAW
Hadits-hadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang
adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW
dahulu. Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka
kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya
kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi
terakhir yang melakukan kodifikasi hadits.
Cara penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di
masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat
dekat beliau, seperti Khulafa al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat
Nabi mempunyi minat yang besar untuk memperoleh hadits Nabi SAW, oleh karenanya

mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat
mereka terima atau lihat secara langsung. Apabila diantara mereka ada yang berhalangan,
maka mereka mencari sahabat yang kebetulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW
ketika itu untuk meminta apa yang mereka peroleh dari beliau[22].
Ada beberapa cara yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadits Nabi
Muhammad SAW, yaitu:
1. Majlis-majlis Nabi Muhammad SAW
Seluruh majlis Nabi SAW, merupakan majlis ilmu dan fungsi lainya. Bahwa Nabi SAW
memberikan waktu-waktu khusus untuk memberikan pengajaran kepada sahabat. Para
sahabat juga mempelajari ulang apa yang mereka dengar dari Nabi Muhammad SAW. Dalam
hal ini, Anas bin Malik berkata: kami berada disisi Nabi SAW, lalu kami dengar hadits dari
beliau. Bila kami beranjak, maka kami akan mempelajarinya kembali di antara kami sehingga
bisa menghafalnya.
Di samping itu, ada juga yang sengaja menghafal hadits dan mengulang-ulanginya.
Salah satu buktinya adalah riwayat al-Khathib al-Baghdadiy dari Abu Hurairah ra, bahwa
beliau berkata: waktu malam menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk salat, sepertiga untuk tidur
dan sepertiga lagi untuk mempelajari kembali hadits Nabi Muhammad SAW.
2. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW
Berkenaan dengan hal ini, beliau menjelaskan hukumnya dan kemudian hukum itu
tersebar di kalangan kaum muslimin lantaran orang-orang yang mendengarnya dari beliau.
Namun terkadang Nabi SAW melihat atau mendengar seorang sahabat melakukan kesalahan.
Kemudian beliau meluruskan kesalahannya dan menunjukkannya kepada yang benar.
3. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum Muslimin
Berkenaan dengan hal ini, mereka menanyakan kepada Nabi muhammad SAW. Beliau
kemudian memberikan fatwa dan memberi jawabannya kepada mereka, menjelaskan hukum
yang mereka tanyakan.
4. Berbagai peristiwa dan kejadian yang disaksikan oleh sahabat, bagaimana Nabi SAW
melaksanakan
Jenis ini sangat banyak jumlahnya, misalnya tentang salat, puasa, haji, saat bepergian,
saat dirumah dan hal-hal lain yang beliau kerjakan. Sebagai contoh riwayat Abdullah ibn
Umar, bahwa beliau melihat Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar berjalan di depan
jenazah[23].
b. Hadits pada Masa Sahabat dan Tabiin

Periode sahabat ini disebut Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah (masa
pematerian dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidupnya, yaitu al-Quran dan hadits
(al-Sunnah) yang harus dipegangi bagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat.
Para khalifah sejak Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula dengan khalifahkhalifah sesudahnya menjunjung tinggi amanat tersebut. Adapun perhatian khulafa alrasyidin terhadap hadits pada dasarya adalah:
1. Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri, maka
setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping al-Quran yang
menjadi dasar hukum umat Islam.
2. Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun periwayatan hadits dpermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar
dan Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat
pelajaran.
Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka
hafal benar lafazh dari Nabi.
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya
karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar mengalami
pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para
sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:
1. Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan
primer dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
2. Menapis dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup
adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadits
yang diragukan, para sahabat meminta saksi keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
3. Melarang meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum.
Adapun penulisan hadits masih tetap terbatas belum dilakukan secara resmi dengan berbagai
petimbangan-pertimbangan diantaranya:
1. Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Quran. Perhatian sahabat
masa khulafa al-rasyidin adalah pada al-Quran seperti tampak pada urusan pengumpulan dan
pembukuannya hingga menjadi Mush-haf.
2. Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits[24].

Berbeda dengan masa sahabat, masa tabiin ini disebut Ashr Intisyar al-Riwayah ila
Al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits). Pada masa ini, daerah
Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H,
meluas sampai ke Spayol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat kedaerahdaerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintah dan penyebaran
ilmu hadits.
Karena meningkatnya periwayatan hadits, muncullah bendaharawan dan lembagalembaga (Centrum perkembangan) hadits di berbagai daerah di seluruh negeri. Di antara
bendaharawan hadits yang banyak menerima, menghafal dan mengembangkan atau
meriwayatkan hadits adalah:
1. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan menurut
Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadits.
2. Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadits
3. Aisyah, istri Rasul SAW, meriwayatkan 2,276 hadits
4. Abdullah Ibn Abbas meriwayatkan 1.660 hadits
5. Jabir Ibn Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits
6. Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadits
Adapun lembaga-lembaga hadits yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan dan
pengembangan hadits terdapat di:
1. Madinah, dengan tokoh-tokoh diantaraya; Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Ibn
Umar, Said Al-Khudri, Zaid Ibn Tsabit (dari kalangan sahabat), Urwah, Said Az-Zuhri,
Abdullah Ibn Umar (dari kalangan tabiin)
2. Mekah, dengan tokoh-tokohnya seperti: Ali, Abdullah Ibn Masud, Saad Ibn Abi Waqas
(sahabat), Masruq, Ubaididah, Al-Aswad, (tabiin)
3. Bashrah, dengan tokoh-tokohnya: Anas Ibn Malik, Utbah, Imran Ibn Husain, Abu Barzah,
Maqil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Jariyah Ibn Qudamah (sahabat), Abu al-Aliyah, Al-Hasan AlBisri, Qatadah, Abu Bardah Raja Ibn Abi Musa (tabiin)
4. Saym, dengan tokohnya: Muadz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn Tsamit, Abu Darda (sahabat), Abu
Idris al-Khaulani, Qasibah Ibn Dzuaib, Makhul, Raja Ibn Haiwah (tabiin)
5. Mesir, tokoh-tokohnya: Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir, Kharijah Ibn Hudzaifah, Abu
Basyrah, Abu Saad al-Khair, Yazid Ibn Abi Habib (tabiin).
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali ra. pada saat Islam terpecah menjadi
beberapa golongan diataranya golongan pendukung Ali yang disebut golongan Syiah,

golongan penentang Ali yang disebut golongan Khawarij, golongan Muawiyah dan golong
Jumhur (golongan pemerintah pada masa itu). Dengan perpecahan tersebut, memacu orangorang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang
berasal dari Rasulullah SAW, untuk mendukung golongan-golongan mereka, oleh karena itu
mereka membauat hadits palsu dan menyebarkannya pada masyarakat[25]
2. Hadits pada Abad Ke-2 Hijriah (masa penulisan dan pembukuan Hadits secara resmi)
Pada periode ini Hadits-Hadits Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi.
Umar Ibn Abd al-Aziz, salah satu khalifah dari dinasti Umayyah yang mulai memerintahkan
untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan penulisan hadits Nabi SAW
secara resmi yang selama ini berserakan di dalam catatan dan hafalan para sahabat dan
tabiin[26].
Pembukuan hadits kemudian mengalami perubahan-perubahan yang sesuai dengan
perkembangan kemajuan dan sesuai pula dengan keadaan-keadaan dan suasana. Mula-mula
ulama membukukan hadits bercampur dengan perkataan para sahabat dan perkataanperkataan para sahabat dan tabiin.
Di dalam periode ini para ulama memilih hadits-hadits Nabi SAW dari perkataanperkataan sahabat dan tabiin. Adapun jalan-jalan yang ditempuh para ulama dalam usaha
membukukan hadits ada tiga jalan:
1. Jalan Pertama, yaitu pengumpulan segala kritik-kritik yang dihadapkan oleh ahlul kalam
kepada ahlul hadits, baik mengenai pribadi-pribadi ahlul hadits , maupun mengenai matan
hadits itu sendiri. Mereka menolak tuduhan-tuduhan itu dan membersihkan pribadi-pribadi
ulama hadits dari kritik-kritik tajam yang dilemparkan oleh ahlul kalam. Sebagai contoh
seperti Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Tawilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ala Ada-il
hadits.
2. Jalan kedua, jalan mengumpulkan hadits dibawah nama seseorang sahabat, baik hadits itu
shahih, ataupun tidak, walaupun hadits-hadits itu bermacam-macam dan berlainan-lainan
maudlunya.
Musnad-musnad yang disusun diantaranya; Musnad Ubaidullah ibn Musa (wafat 213 H),
Musnad al-Humaidy (wafat 219), Musnad Ishaq ibn Rahawaih (wafat 239) dan masih banyak
lainnya.
3. Jalan ketiga, menurut kitab fiqih dengan diberi bab-babnya. Maka hadits-hadits yang
mengenai suatu masalah, ditulis dalam suatu bab dan yang mengenai masalah lain ditulis
dalam bab yang lain. Ulama-ulama yang menempuh jalan ini ada yang menerangkan hadits-

hadits sahih saja seperti al-Bukhari dan Muslim, dan ada pula yang tidak demikian seperti
Abu Daud, at-Turmudzy dan an-Nasai[27].
3. Hadits pada Abad Ke-3 Hijriah (masa pemurnian dan Penyempurnaannya)
Abad ke-3 H merupakan puncak pembukuan Hadits, yang mulai tersebar dimasyarakat
kitab-kitab hadits, seperti kitab Muwaththa- Al Malik yang telah disambut dengan gembira
bagi masyarakat. Kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya semakin
meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ketempat lain dari sebuah
negeri ke negeri lain untuk mencari hadits.
Keadaan ini mulanya diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan
daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei,
Baghdad, Bashrah, kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, Asqalani dan
Himsh.
Imam Bukhari membuat trobosan dengan mengumpulkan hadits yang tersebar diberbagai
daerah. Enam tahun lamanya Al Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab sahihnya[28].
4. Hadits pada Abad Ke-4 sampai Ke-7 Hijriah (masa pembersihan, penyusunan,
penambahan dan pengumpulannya)
Periode ini disebut Ashr al-Tahdzib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-jamii (masa
pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan), berlangsung sejak abad ke-4 H
sampai 656 H. Sedangkan periode ketujuh berlangsung mulai tahun 656 H sampai
berakhirnya Daulah Bani Abbas (Abbasyiyah) sampai masa-masa seterusnya.
Ulama yang hidup mulai abad ke-4 H, disebut ulama Mutaakhirin. Sedangkan ulama
yang hidup sebelumnya disebut ulama Mutaqaddimin. Corak periwayatan hadits pada
masa mutaqaddimin dengan

penukilan

langsung

dari

para

penghafal.

Maka

pada

masa mutaakhirin para ulama mencukupkan periwayatan dengan menukil dan mengutip dari
kitab-kitab hadits yang telah ditadwin[29] oleh ulama-ulama abad ke-2 dan ke-3 H.
Bertolak dari tadwin itulah maka ulama-ulama di abad ke-4 H memeperluas sistem dan
corak tadwin. Aktivitas tadwin hadits pada abad ke-4 H dan selanjutnya disebut
aktivitas Tadwin Bada Tadwin[30].
5. Keadaan Hadits pada Pertengahan Abad ke-7 Hijriah sampai Sekarang (masa
pensyarahan, pengumpulan, pen-takhrij-an dan pembahasan)

Masa ini disebut, Ashr al-Syarh wa al-Jami wa al-Takhriji wa al-Bahts(masa


pensyarahan, pengumpulan, pentakhrijan dan pembahasan).
Pada periode ini, umumnya para ulama hadits mempelajari kitab-kitab hadits yang ada
dan selanjutnya mengembangkannya atau meringkasnya sehingga menghasilkan jenis karya
sebagai berikut:
1. Kitab Syarah, yaitu jenis kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadits dari
kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang berseumber dari al-Quran atau
kaidah-kaidah syara lainnya. Contohnya:Fath al-bari oleh Ibn Hajar al-Asqalani yang
mensyarahkan kitab Shahih AL-Bukhari, Al-Minhaj oleh Al-Nawawi yang mensyarahkan
kitab Shahih

Muslim dan Aun

al-Mabud oleh

Syams

al-Haq

al-Azhim

al-Abadi,

mensyarahkan kitab Sunan Abu Dawud.


2. Kitab Mukhtashar yaitu kitab yang berisi ringkasan suatu kitab hadits, sepertiMukhtashar
Shahih Muslim, oleh M. Fuad Abd al-Baqi.
3. Kitab Zawaid yaitu kitab yang menghimpun hadits-hadits dari kitab-kitab tertentu yang
tidak dimuat oleh kitab tertentu lainnya. Seperti kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra, oleh AlBushiri.
4. Kitab penunjuk (kode indeks) hadits, seperti kitab Miftah Kunuz al-Sunnaholeh A.j.
Wensinck yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh M. Fuad Abd al-Baqi.
5. Kitab Takhrij yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadits-hadits yang
dimuat dlam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Seperti kitab Takhrij Ahadits alIhya oleh Al-Iraqi.
6. Kitab jami yaitu kitab yang menghimpun hadits-hadits dari berbagai kitab hadits tertentu.
Seperti kitab Al-Lulu wa al-Marjan oleh M. Fuad al-Baqi, kitab ini menghimpun haditshadits Bukhari dan Muslim.
7. Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum dalam kitabBulugh alMaram min Adillah al-Ahkam oleh Ibn Hajar al-Asqalani[31].
III. KESIMPULAN
Ilmu hadits ialah ilmu yang mempelajari cara-cara persambungan hadits sampai kepada
Rasul SAW. dari segi hal ikhwal para perawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-adilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.

Setiap orang yang mempelajari ilmu hadits ini harus mengetahui bahwasannya semua
landasan dan aturan mendasar dari ilmu riwayat dan penukilan kabar itu sudah termaktub
dalam Al-Qur`an dan sunnah. Di dalam Al-Qur`an Allah Taala berfirman yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita,
Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu. (QS. Al-Hujuraat:: 6).
Dalam ayat di atas terdapat landasan awal dari kewajiban meneliti dan memeriksa
sebuah kabar sebelum kabar tersebut diterima. Juga menjadi landasan dalam hal bagaimana
cara

memeriksanya,

memperhatikannya,

menghafalnya,

dan

berhati-hati

dalam

menyampaikan kabar tersebut kepada orang lain. Dan sebagai perwujudan dari perintah Allah
dan Rasul-Nya ini, para sahabat senantiasa melakukan tatsabbut (mengecek kebenaran)
dalam menukil dan menerima sebuah kabar, terlebih lagi jika mereka meragukan kejujuran
orang yang membawa kabar tersebut. Maka dari sisi inilah muncul pembahasan mengenai
sanad sebuah kabar dan bagaimana pentingnya kedudukan sanad dalam menerima atau
menolak suatu kabar.

Anda mungkin juga menyukai