Anda di halaman 1dari 20

JURNAL PRAKTIKUM

KIMIA FISIK II

KESETIMBANGAN UAP-CAIR PADA SISTEM BINER

Nama
NIM
Kelompok / Kelas
Nama Asisten

: Lailatul Badriyah
: 121810301036
:5
: Siti Rofiqoh

LABORATORIUM KIMIA FISIK


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2014

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Larutan dapat didefinisikan sebagai suatu sistem homogen yang terdiri dari dua
komponen atau lebih. Istilah pelarut dan zat terlarut sebenarnya biasa dipertukarkan, tetapi
istilah pelarut biasanya digunakan untuk cairan, bila larutan terdiri dari padatan atau gas
dalam cairan. Istilah ini untuk jenis larutan lain biasa digunakan untuk menyatakan zat
yang terdapat dalam jumlah yang lebih banyak. Komponenkomponen yang terdapat
dalam jumlah yang lebih sedikit biasanya dinamakan zat terlarut . Larutan biner yaitu
larutan yg mengandung dua atau lebih zat yg dapat melarut dengan baik (Bird,1993).
Kesetimbangan memberikan pengertian bahwa suatu keadaan dimana tidak terjadi
perubahan sifat makroskopis dari sistem terhadap waktu untuk material tersebut dengan
waktu, keadaan setimbang sebenarnya tidak pernah tercapai. Semakin dekat keadaan
sistem dengan titik kesetimbangan maka semakin kecil gaya penggerak proses, semakin
kecil pula laju proses dan ahkirnya sama dengan 0 bila titik kesetimbangan sudah tercapai.
Jadi titik kesetimbangan hanya bisa tercapai secara teoritis dalam waktu yang tak
terhingga. Seperti pada kesetimbangan umumnya, kesetimbangan uap-cair dapat
ditentukan ketika ada variabel yang tetap (konstan) pada suatu waktu tertentu. Saat
kesetimbangan model ini, kecepatan antara molekul-molekul campuran yang membentuk
fase uap sama dengan kecepatan molekul-molekulnya membentuk cairan kembali. Data
kesetimbangan uap cair merupakan data termodinamika yang diperlukan dalam
perancangan dan pengoperasian kolom-kolom distilasi. Pekerjaan ilmiah suatu
kesetimbangan dalam prakteknya dianggap tercapai bila tidak ada lagi perubahan
sifat/keadaan seperti yang ditunjukkan oleh praktek sama dengan sifat yang dihitung
berdasarkan metoda yang menggunakan anggapan kesetimbangan.
Contoh nyata penggunaan data termodinamika kesetimbangan uap-cair dalam berbagai
metoda perancangan kolom distilasi packed coloum dan try coloum. Percobaan langsung
yang betul-betul lengkap baru dapat diperoleh dari serangkaian metoda pengukuran. Selain
itu percobaan langsung seperti itu memerlukan waktu yang banyak dan biaya yang besar.
Sehingga cara yang umum ditempuh adalah mengukur data tersebut pada beberapa kondisi
kemudian meringkasnya dalam bentuk model-model matematik yang relatif mudah
diterapkan dalam perhitungan-perhitungan komputer. Prinsip distilasi yang digunakan
sangat penting dipelajari oleh mahasiswa oleh karena dengan begitu praktikan akan

memperoleh nilai dari densitas dan fraksi mol dari larutan biner dan pengaruhnya antar
satu sama lain. Salah satu contoh aplikasi dari percobaan tersebut adalah pembuatan
tabung gas LPG. Proses pembuatan tabung gas LPG ini merupakan prinsip distilasi yaitu
tekanan uap dalam tabung bila semakin besar akan mengubah gas didalam tabung menjadi
cair.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari percobaan ini adalah mempelajari sifat larutan biner dengan
membuat diagram temperatur versus komposisi.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MSDS (Material Safety Data Sheet)


2.1.1

Akuades
Akuades adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O, satu molekul air tersusun

atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen. Air memiliki kemampuan untuk
melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam, gula, asam, beberapa jenis gas, dan
banyak macam molekul organik. Nama lain dari air adalah dihidrogen monoksida atau
hidrogen hidroksida. Air merupakan jenis senyawa liquid yang tidak berwarna, tidak
berasa, dan tidak berbau pada keadaan standar. Massa molar dari air adalah 18,01528
g/mol. Titik didih air sebesar 100 C sedangkan ttik lelehnya 0 C. Massa jenis air sebesar
1000 kg/cm3 dan viskositasnya 0,001 Pa/s (20 C) (Anonim, 2014). Sifat dari bahan ini
adalah non-korosif untuk kulit, non-iritasi untuk kulit, tidak be untuk kurbahaya untuk
kulit, non-permeator oleh kulit, tidak berbahaya dalam kasus konsumsi. Bahan ini juga
tidak berbahaya dalam kasus inhalasi. Identifikasi yang lainnya yaitu non-iritasi untuk
paru-paru dan non-korosif terhadap mata (Anonim, 2014).

2.1.2 Etanol
Etanol merupakan senyawa alkohol yang berwujud cair dan tidak berwarna. Etanol
memiliki berat molekul sebesar 46,08 g mol-1. Kontak langsung pada mata maupun kulit
dengan senyawa ini berbahaya. Cara mengatasi bila terjadi kontak langsung dengan etanol
yaitu mata segera dibasuh dengan air selama 15 menit dengan mata terbuka. Titik didih
alkohol pada suhu 78o C sedangkan titik lelehnya adalah suhu -117o C. Etanol mudah larut
dalam air, baik air dingin maupun air panas. Kontak langsung dengan kulit dapat diatasi
dengan segera menyiram bagian kulit yang terkena cairan dengan air yang banyak dan
segera menutupi bagian kulit, serta melepaskan pakaian dan sepatu yang terkontaminasi.
Penanganan bila terhirup yaitu segera pindah ke tempat dengan udara yang lebih segar, bila
tidak bernapas maka diberi napas buatan atau bantuan oksigen. Penanganan bila tertelan
yaitu jangan memberikan apapun melalui mulut kepada orang yang tidak sadar dan segera
hubungi dokter (Anonim, 2014).

2.2 Dasar Teori


Suatu komponen (pelarut) yang mendekati murni, menunjukkan bahwa komponen

itu berperilaku sesuai dengan hukum Roult dan mempunyai tekanan uap yang sebanding
dengan fraksi mol. Beberapa larutan menyimpang jauh dari Hukum Roult walaupun
demikian, dalam hal ini hukum itu semakin dipatuhi jika komponennya berlebih (sebagai
pelarut) sehingga mendekati kemurnian. Bisa dikatakan, bahwa hukum ini menerangkan
pendekatan yang baik untuk pelarut selama larutan yang digunakan bersifat encer
(Atkins, 1994).
Semua komponen (pelarut dan zat terlarut) dalam larutan ideal mengikuti Hukum
Roult pada seluruh selang konsentrasi. Semua larutan encer yang tak mempunyai interaksi
kimia di antara komponen-komponennya. Hukum Roult berlaku bagi pelarut, baik ideal
maupun tak ideal tetapi Hukum Roult tak berlaku pada zat terlarut pada larutan tak ideal
encer. Hal ini menyebabkan lingkungan molekul terlarut sangat berbeda dalam lingkungan
pelarut murni. Zat terlarut dalam larutan tak ideal encer mengikuti Hukum Henry, bukan
Hukum Roult (Petrucci, 1992).
Komponen yang mempunyai tekanan uap lebih tinggi akan terkonsentrasi pada fase
uapnya ketika larutan biner diuapkan secara parsial, sehingga terjadi perbedaan komposisi
antara cairan dengan uap yang setimbang. Uap tersebut dapat diembunkan sebagai
kondensat. Uap yang diperoleh dengan menguapkan secara parsial kondensat itu akan
mempunyai komposisi yang lebih kaya lagi akan komponen yang mudah menguap
(Alberty, 1987).
Diagram fase suatu zat memperlihatkan daerah-daerah tekanan dan temperatur dimana
berbagai fase bersifat stabil secara termodinamis. Batas-batas antara daerah-daerah itu,
yaitu batas-batas fase memperlihatkan nilai P dan T dimana dua fase berada dalam
kesetimbangan. Jika suatu komponen pelarut mendekati murni, komponen itu berperilaku
sesuai dengan hukum Roult dan mempunyai tekanan uap yang sebanding dengan fraksi
mol. Beberapa larutan menyimpang jauh dari hukum Roult walaupun demikian, dalam hal
ini hukum itu semakin dipatuhi jika komponen berlebihan (sebagai pelarut) sehingga
mendekati kemurnian. Bisa dikatakan bahwa hukum Roult ini menerangkan pendekatan
yang baik untuk pelarut selama larutan itu encer. Kimia memberi notasi kuantitatif yang
berhubungan dengan zat murni dengan superskrip, sehingga potensial kimia campuran A
adalah A, karena tekanan uap cairan murni pada kesetimbangan kedua potensial kimiawi
sama besar, sehingga keduanya dapat dieliminasi. Adapun diagram fase campuran ideal
adalah :

Gambar 1. Diagram fase campuran campuran ideal


(Atkins, 1999).
Larutan dikatakan ideal jika larutan tersebut mengikuti hukum Roult pada seluruh
kisaran komposisi sistem. Hukum Roult dalam bentuknya yang lebih umum didefinisikan
sebagai fugasitas dari tiap komponen dalam larutan yang sama dengan keadaan serta fraksi
molnya dalam larutan tersebut, yakni :
f1 = X1 . f1*
Sedangkan hubungan antara tekanan parsial dan komposisinya dalam larutan merupakan
pendekatan dalam hal larutan yang mempunyai komponen tekanan parsial kecil.
P1 = X1 . P1o
Dimana :

p1

= tekanan uap larutan

po

= tekanan uap larutan murni

X1

= mol fraksi larutan

Potensial kimia dari tiap komponen dalam larutan didefinisikan sebagai :


1 = 1o + R T ln X1
(Dogra, 1990).
Secara umum hanya sedikit larutan yang memenuhi hukum Raoult. Larutan yang
tidak memenuhi hukum Raoult disebut larutan non ideal. Pada larutan ideal dari zat pelarut
A dan zat pelarut B, tarikan A-B sama dengan tarikan A-A dan B-B, sedangkan kalor
pelarutan, H(l) = 0. Jika tarikan antara A-B lebih besar dari tarikan A-A dan B-B, maka
proses pelarutan adalah eksoterm dan H(l) < 0. Misalnya pada campuran antara aseton
(C3H6O) dan kloroform (CHCl3) terjadi ikatan hidrogen antara aseton dan kloroform
sehingga tekanan uap larutan lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang dihitung

dengan hukum Raoult. Penyimpangan dari hukum Raoult ini disebut dengan
penyimpangan negatif (Hiskia, 1996).
Larutan dikatakan sebagai larutan ideal apabila memenuhi syarat di bawah ini :
1. Homogen pada seluruh sistem mulai dari fraksi mol 0 1.
2. Tidak ada entalpi pencampuran pada waktu komponen komponen dicampur
membentuk larutan dengan entalpi pencampuran = 0.
3. Tidak ada beda volume pencampuran artinya volume larutan sama dengan jumlah
komponen yang dicampurkan (V pencampuran = 0).
4. Memenuhi hukum Raoult sebagai berikut;
P1 = X1 . Po
Dimana P1

= Tekanan Uap Larutan

Po

= Tekanan Uap Sovent Murni

X1

= Mol fraksi larutan

(Tim Kimia Fisik, 2014).


Komposisi larutan dalam percobaan ini merupakan harga mol fraksi larutan untuk
membuat diagram T X maka harga X ditentukan pada tiap tiap titik didih dengan
mengukur indeks biasnya pada beberapa komposisi tertentu dari larutan. hal ini dapat
dilakukan dengan membuat grafik standar komposisi vs indeks bias terlebih dahulu.
Komposisi dihitung sbb; Misalnya mencampurkan a ml aseton dengan berat jenis 1
dengan b ml. Chloroform dengan berat jenis 2, maka komposisinya :
X1 = (a 1/M1) / (a1/ M1) + (b2/M2)}
Dimana :

M1 = berat molekul Aseton = 58


M2 = Berat molekul chloroform = 119,5

(Tim Kimia Fisik, 2014).

BAB 3. METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Alat destilasi
2. Thermometer
3. Pemanas(lampu/kompor)
4. Tempat destilat
5. Tempat residu
6. Piknometer
7. Labu ukur
8. Labu leher tiga
9. Pipet mohr
10. Beaker gelas
3.1.2 Bahan
1. Etanol
2. Air
3.2 Skema Kerja
Etanol 70 %
-

diencerkan dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50, 60 % dalam 25 ml

diambil 9,735ml dan ditentukan berat jenis zat dengan Piknometer

ditentukan fraksi mol masing-masing larutan

diambil 15 ml untuk didestilasi

dicatat titik didihnya saat tetesan pertama distilat untuk setiap larutan
dengan variasi konsentrasi

diambil destilat dan residu masing-masing diuji dengan sensor


alkohol

dibuat grafik standar suhu lawan konsentrasi, grafik fraksi mol lawan
kadar alkohol distilat, dan grafik fraksi mol lawan kadar alkohol
residu

Hasil

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Kadar Alkohol
No

[M]

Fraksi

mol
Destilat(%) Residu(%)

10%

0.829

20%

0.900

30%

0.867

40%

0.775

50%

0,7980

60%

0,744

70%

0,673

Akuades

0,800

85

24.322

0.204

0.0613

83

43.927

1.426

0.149

80

29.629

7.326

0.838

75

24.78

21.877

0.721

74

34.462

14.777

0.491

70

36.429

33.291

0.684

67

43.438

4.2 Pembahasan
Percobaan ketiga membahas tentang kestimbangan uap-cair pada sistem biner.
Larutan biner merupakan larutan yang terdiri dari dua komponen yang tercampur dengan
baik dimana x1 + x2 = 1 dan dalam keadaan mudah menguap. Percobaan ini bertujuan
untuk mempelajari sifat dari larutan biner dengan membuat diagram temperatur versus
komposisi. Sifat dari larutan biner adalah campuran yang hampir ideal sebab saat dicampur
aquades dan etanol akan membentuk ikatan hidrogen. Ikatan yang terbentuk ini akan saling
mempengaruhi sehingga terbentuklah larutan yang homogen pada seluruh sistem, tidak ada
entalpi pencampuran (H pencampuran = 0).
Proses awal yang dilakukan pada percobaan ini adalah membuat larutan etanol
dengan konsentrasi 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60 %, dan 70 % masing-masing 25
mL. Pembuatan konsentrasi larutan yang berbeda berfungsi untuk mengetahui kandungan
alkohol pada setiap konsentrasi. Larutan yang divariasikan konsentrasinya kemudian
diambil 9,735 mL untuk ditentukan massa jenisnya. Massa jenis larutan ini dapat
ditentukan dengan menggunakan piknometer. Berdasarkan literatur semakin tinggi
konsentrasi suatu zat maka semakin besar pula massa jenis suatu zat tersebut. Berbeda
halnya dengan literatur, hasil praktikum menunjukkan nilai yang cenderung naik turun.
Massa jenis larutan dari konsentrasi 10 % hingga 70 % secara berturut-turut yaitu sebesar

0,829; 0,900; 0,867; 0,775; 0,798; 0,7444; 0,673. Penyebab ketidaksesuaian hasil dengan
literatur dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain piknometer yang digunakan tidak
ditutup pada saat proses penimbangan sehingga tidak memenuhi standar. Hasil dari
perhitungan massa jenis ini berpengaruh terhadap nilai fraksi mol etanol. Fraksi mol
merupakan satuan konsentrasi yang menyatakan perbandingan antara jumlah mol salah
satu komponen larutan (jumlah mol zat pelarut atau jumlah mol zat terlarut) dengan jumlah
mol total larutan. Fraksi mol larutan etanol konsentrasi 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, 50 %, 60
%, dan 70 % adalah 0,0613, 0,149, 0,838, 0,721, 0,491, 0,684, dan 1,00. Berdasarkan
literatur seharusnya semakin besar konsentrasi larutan etanol maka semakin besar pula
fraksi molnya. Hal ini dikarenakan konsentrasi menunjukkan banyaknya jumlah etanol
dalam larutan etanol dimana larutan etanol merupakan campuran etanol murni dengan air,
sehingga konsentrasinya berbanding lurus dengan fraksi mol. Kesalahan penentuan fraksi
mol ini dapat disebabkan kesalahan data perhitungan massa jenis pada tahap awal.
Proses selanjutnya yaitu proses distilasi. Larutan etanol sebanyak 15 mL dimasukkan
ke dalam labu leher tiga untuk dilakukan proses distilasi. Proses distilasi bertujuan untuk
mengetahui kesetimbangan uap cair antara aquades dan etanol. Prinsip dari distilasi yaitu
perbedaan tekanan uap dan titik didih serta berat jenis suatu pelarut/zat yang dimana saat
titik didih terjadi akan dapat kembali menjadi cair setelah menguap serta ketetapan saat
larutan itu menguap sama dengan kecepatan pada saat zat/larutan itu kembali ke fase
cairan.

Proses distilasi kali ini dilengkapi dengan termometer sehingga pada tetesan

pertama suhu larutan yang disitilasi dapat terukur. Cairan pertama yang jatuh diukur
suhunya, hal tersebut menunjukkan titik didih dari larutan etanol:air. Semakin besar
komposisi/ konsentrasi alkohol maka suhu yang dibutuhkan untuk cairan pertama jatuh
semakin rendah. Hasil praktikum menunjukkan hasil yang sesuai yaitu dalam larutan
konsentrasi 10 % hingga 70 % secara berturut-turut suhunya sebesar 85 oC, 83 oC, 80 oC, 75
o

C, 74 oC; 70 oC , 67 oC. Cairan yang jatuh dalam labu distilat pada saat proses distilasi

disebut distilat yang berupa larutan etanol karena memiliki titik didih yang lebih rendah
dibandingkan akuades sedangkan cairan yang masih tertinggal di dalam labu leher tiga
dinamakan residu yang berupa akuades. Adapun grafik hubungan antara konsentrasi
dengan temperatur adalah sebagai berikut:

temperatur

Hubungan fraksi mol dengan temperatur


90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

y = -14.95x + 84.71
R = 0.614

1
(1)

0.5

1.5

Fraksi mol
Gambar 1. grafik hubungan fraksi mol dengan temperatur
Berdasarkan grafik 1 terlihat bahwa hubungan fraksi mol dengan temperatur tidak
linear, seharusnya keduanya membentuk garis lineaar karena fraksi mol berbanding
terbalik dengan temperatur yaitu semakin besar fraksi mol etanol maka semakin rendah
titik didihnya. Hal ini dikarenakan titik didih etanol lebih rendah dibandingkan dengan
akuades atau air, sehingga apabila komposisi etanol dalam suatu larutan semakin besar,
maka titik didih larutan akan menjadi semakin rendah.
Destilat dan residu dari masing-masing konsentrasi yang diperoleh kemudian
dimasukkan ke dalam suatu tempat khusus untuk dilakukan uji kandungan alkoholnya.
Destilat yang telah diperoleh didinginkan terlebih dahulu kemudian dimasukkan ke dalam
alat sensor kandungan alkohol. Berdasarkan literatur semakin besar fraksi mol etanol maka
kadar alkohol dalam distilat juga makin besar karena titik didihnya makin rendah. Adapun
hasil percobaan dari masing-masing konsentrasi secara berurutan adalah 24,322; 43,927;
29,629; 24,780; 34,462; 36,429; 43,438 dan berikut ini adalah grafik hubungan antara
fraksi mol dengan komposisi destilat:

%alkohol destilat

Hubungan fraksi mol dengan destilat


50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

y = 3.366x + 31.95
R = 0.021

1
(1)

0.2

0.4

0.6

0.8

1.2

Fraksi mol

Gambar 1. grafik hubungan fraksi mol dengan residu


Berdasarkan literatur kadar alkohol pada residu akan menurun seiring dengan
semakin besarnya fraksi mol etanol dikarenakan semakin besar fraksi mol etanol maka
semakin banyak etanol yang berubah. Hasil dari percobaan menunjukkan ketidaksesuaian
engan literatur, hal ini dapat disebabkan proses distilasi yang belum selesai, sehingga
mengakibatkan masih tersisa etanol yang tidak menguap dan terkandung dalam labu leher
tiga. Berdasarkan hasil praktikum diperoleh kadar alkohol pada tiap konsentrasi secara
berurutan adalah 0,204; 1,426; 7,326; 21,877; 14,777; 33,291; 0. Berdasarkan hasil ini
maka dapat dibuat grafik. Grafik residu memberikan informasi tentang kadar alkohol hasil
destilasi. Berikut adalah kurva hubungan fraksi mol dengan residu:
Hubungan fraksi mol dengan residu
y = 10.49x + 5.360
R = 0.083

35

%alkohol residu

30
25
20
15

10

(1)

5
0

0.5

1.5

Fraksi mol
Gambar 1. grafik hubungan fraksi mol dengan residu

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
-

Berdasarkan diagram temperatur versus konsentrasi atau komposisi diperoleh sifat


larutan biner yaitu semakin tinggi komposisi atau konsentrasi etanol maka titik didih
suatu larutan biner semakin menurun dan massa jenis dari campuran itu semakin
meningkat sedangkan fraksi molnya semakin meningkat pula .

5.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum ini adalah seharusnya praktikan menggunakan
piknometer yang sesuai standar agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan sesuai dengan
literatur yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Alberty, A. R.1987. Kimia Fisika Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Erlangga.


Anonim. 2014. MSDS Akuades [serial online]. www.sciencelab.com [diakses tanggal 20
September 2014].
Anonim. 2014. MSDS Etanol 70% [serial online]. www.sciencelab.com [diakses tanggal
20 September 2014].
Atkins, PW. 1994. Kimia Fisika. Jakarta : Erlangga.
Dogra, SK. 1990. Kimia Fisik dan soal soal. Jakarta : Universitas Indonesia.
Hiskia, Ahmad. 1996. Kimia Larutan. Bandung : PT Citra Aditya Bhakti.
Petrucci, Ralph H. 1992. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta: Erlangga.
Tim Penyusun. 2014. Penuntun Praktikum Kimia Fisik II. Jember : FMIPA UNEJ.

LAMPIRAN
LAMPIRAN
1.PENGENCERAN
a. 10% etanol
M1 . V1 = M2 . V2
70 . V1 = 10 . 25
10 25
V1 = 70
V1 = 3,6 mL
b. 20% etanol
M1 . V1 = M2 . V2
70 . V1 = 20 . 25
20 25
V1 = 70
V1 = 7,1 mL
c. 30% etanol
M1 . V1 = M2 . V2
70 . V1 = 30 . 25
30 25
V1 = 70
V1 = 10,7 mL
d. 40% etanol
M1 . V1 = M2 . V2
70 . V1 = 40 . 25

MASSA JENIS
a. 10% etanol

=
=

8,067

9,735

40 25

V1 = 70
V1 = 14,1 mL
e. 50% etanol
M1 . V1 = M2 . V2
70 . V1 = 50 . 25
50 25
V1 = 70
V1 = 17,8 mL
f. 60% etanol
M1 . V1 = M2 . V2
70 . V1 = 60 . 25
60 25
V1 = 70
V1 = 21,4 mL
g. 70% etanol
M1 . V1 = M2 . V2
70 . V1 = 70 . 25
70 25
V1 = 70
V1 = 25 mL

=
=

7,5444
9,735

= 0,775 /

= 0,829 /
b. 20% etanol

=
=

8,762

9,735

= 0,900 /
c. 30% etanol

=
=

8,444

9,735

= 0,867 /
d. 40% etanol

e. 50% etanol

=
=

7,773

9,735

= 0,798 /
f. 60% etanol

=
=

7,238

9,735

= 0,744 /
g. 70% etanol

=
=

6,55

9,735

7,789
9,735

= 0,800 /

= 0,673 /
h. Akuades

C. Fraksi Mol
Konsentrasi
(10%)

Volume alkohol yang


ditambahkan (mL)

Volume akuades

10
20
30
40
50
60
70

3,6
7,1
10,7
14,1
17,8
21,4
25

21,4
17,9
14,3
10,9
7,2
3,6
0

a. Etanol (alkohol) 10%


. .

. =
. . . .
+

3,6 0,829 /
46 /
=
3,6 0,829 / 21,4 0,800 /
+
46 /
18 /
0,065
=
1,061
= 0,0613
b. Etanol (alkohol) 20%
. .

. =
. . . .
+

7,1 0,900 /
46 /
=
7,1 0,900 / 17,9 0,800 /
+
46 /
18 /
0,139
=
0,934
= 0,149
c. Etanol (alkohol) 30%
. .

. =
. . . .
+

10,7 0,867 /
46 /
=
10,7 0,867 / 14,3 0,800 /
+
46 /
18 /
0,202
=
0,994
= 0,838
d. Etanol (alkohol) 40%
. .

. =
. . . .
+

14,1 0,775 /
46 /
=
14,1 0,775 / 10,9 0,800 /
+
46 /
18 /
0,237
=
0,875
= 0,721
e. Etanol (alkohol) 50%
. .

. =
. . . .
+

17,8 0,798 /
46 /
=
17,8 0,798 / 7,2 0,800 /
+
46 /
18 /
0,309
=
0,629
= 0,491

f. Etanol (alkohol) 60%


. .

. =
. . . .
+

21,4 0,744 /
46 /
=
21,4 0,744/ 3,6 0,800 /
+
46 /
18 /
0,346
=
0,506
= 0,684
g. Etanol (alkohol) 70%

. .

. =
. . . .
+

25 0,673 /
46 /
25 0,673 / 0 0,800 /
+
46 /
18 /

0,366
0,366
=1

Uji kadar alkohol


Komposi
Komposisi alkohol
si etanol
destilat
(%)
10
24,322
20
43,927
30
29,629
40
24,780
50
34,462
60
36,429
70
43,438

Komposisi alkohol
residu
0,204
1,426
7,326
21,877
14,777
33,291
0

Grafik:

%alkohol destilat

Hubungan fraksi mol dengan destilat


50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

y = 3.366x + 31.95
R = 0.021

1
(1)

0.5

1.5

Fraksi mol

Hubungan fraksi mol dengan residu


y = 10.49x + 5.360
R = 0.083

35

%alkohol residu

30
25
20
15

10

(1)

5
0
0

0.5

Fraksi mol

1.5

temperatur

Hubungan fraksi mol dengan temperatur


90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

y = -14.95x + 84.71
R = 0.614

1
(1)

0.5

Fraksi mol

1.5

Anda mungkin juga menyukai