Anda di halaman 1dari 6

Menengok Undang-Undang

Tentang Desa
Setelah tujuh tahun berada dalam penggodogan RUU (Rancangan Undang-Undang) Tentang
Desa akhirnya disetujui mejadi sebuah undang-undang pada tanggal 18 Desember 2013 dan
kemudian disahkan pada tanggal 15 Januari 2014. Dengan disahkannya RUU tersebut
menjadi sebuah perundang-undangan, kini desa bersiap memulai babak barunya untuk
melangkah kedepan dengan berbagai pembaharuan yang telah diatur dalam UU tersebut.
Mungkin kini desa tampak lebih istimewa dengan adanya UU Tentang Desa
tersebut. Mengingat sebelumnya permasalahan tentang desa masih digabungkan dengan UU
No. 32 Tahun 2004, dan kini telah dipisahkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan
sendiri. Adanya UU Tentang Desa lebih mempertegaskan status desa sebagai sebuah
pemerintahan yang otonom. Setelah sekian lama terjadi berbagai dinamika terkait posisi desa
akibat berbagai kebijakan yang selalu berubah-ubah, kini kedudukan desa dirasa lebih terang
setelah munculnya UU Tentang Desa. Posisi desa sebagai daerah otonom kini menjadi
semakin jelas. Hal tersebut diharapkan desa dapat benar-benar dapat mencapai tahap
kemandiriannya dan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
Gagasan Otonomi Desa
Perdebatan mengenai bentuk desa sebagai sebuah pemerintahan yang otonom
sudah ada sejak awal kemerdekaan. Konsep otonomi daerah merupakan sebuah bentuk
perwujudan dari adanya desentralisasi. Desentralisasi dirasa perlu untuk diterapkan sebagai
buah perwujudan dari sistem demokrasi konstitusional. Konsep-konsep kunci yang terekam
di masa awal kemerdekaan adalah otonomi desa merupakan perwujudan dari sintesa
pemaknaan para perumus kebijakan terhadap desentralisasi dengan mengingat asal usul desa
serta pasal 18 UUD 1945.[1] Di masa Orde Lama ide tentang otonomi desa sebenarnya telah
diatur oleh pemerintah. Bahkan beberapa kebijakan tentang otonomi desa telah dikelurkan
oleh pemerintah pada waktu itu bahkan desa juga telah ditetapkan sebagai daerah otonomi
tingkat III . Namun, berbagai kebijakan tersebut dalam prakteknya selalu gagal
diimplementasikan karena berbagai kedala. Terakhir, pemerintah Orde Lama menetapkan
hak-hak otonomi desa melalui UU No. 19 tahun 1965. Namun, lagi-lagi undang-undang
tersebut gagal dilaksanakan, kali ini karena jatuhnya rezim Orde Lama.

Memasuki masa Orde Baru, nampaknya pemerintah memangkas gagasan mengenai


otonomi desa. Pemerintah Orde Baru, sebenarnya juga menerapkan pola desentralisasi yang
diatur dalam UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Namun, apa
yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1974 tidaklah mencerminkan sebuah otonomi yang
sesungguhnya. Secara praktis politik desentralisasi dilaksanakan dengan mengkombinasikan
azas desentralisasi, dekonsentrasi, medebewind (tugas pembantuan) dan keserasian
otonomi daerah dengan politik pembangunan.[2]
Penekanan terhadap desa kemudian dilakukan dengan menetapkan UU No. 5 Tahun
1979. Pada masa orde baru desa dijadikan sebagai alat bagi pemeritah guna menstabilkan
keaadaan, desa merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Desa difungsikan sebagai alat
bagi pemerintah guna mendukung pembangunan. Di masa ini hak-hak otonomi desa banyak
dikebiri oleh pemerintah. Struktur politik dan praktik ditata sedemikian rupa sehingga
membentuk struktur vertikal garis lurus komando dalam aspek kebijakan, politik, dan
administrasi.[3]
Setalah tumbangnya Orde Baru yang kemudian memasuki Orde Reformasi,
penataan-penataan di dalam pemerintahan kembali dilakukan. Diantaranya adalah, adanya
otonomi daerah yang diatur dalam UU No.22 Tahun 1999. Dengan adanya otonomi daerah
tersebut tiap-tiap daerah berhak mengurus rumah tangganya sendiri selama tidak
bertentangan dengan undang-undang. Di masa ini, aturan tentang desa kemudian dimasukan
kedalam UU No.22 Tahun 1999 Tentang Otonimi Daerah. Otonomi desa begitu terlihat
dimasa ini, kepala desa kini tak lagi menjadi penguasa tunggal di desa seperti apa yang terjadi
pada masa Orde Baru. Badan Perwakilan desa (BPD) kini tampil sebagai penyeimbang
kekuatan kepala desa.
Munculnya BPD sebagai penyeimbang kekuatan kepala desa diharapkan dapat
menjadi check and balancesterhadap jalanya pemerintahan desa. Namun, dalam
prakteknya yang terjadi adalah gejala legisative heavy dan pada akhirnya sering
menjadikan pemerintah desa sendiri kurang stabil. Hal tersebut terjadi akibat pada masa Orde
Baru, pemerintah menjadikan kepala desa hanya sebagai kepanjangan tangannya atau hanya
menjadi alat bagi pemerintah. Pada masa Orde Baru kepala desa menjadi kekuatan sentral
dalam pemerintahan desa, sedang kan legislatif pada masa ini dikebiri oleh pemerintah.
Perubahan drastis dalam UU No.22 Tahun 1999 mungkin telah membuat proses
pemerintahan didesa menjadi tidak stabil.
UU No.22 Tahun 1999 Tentang Otonimi Daerah kemudian digantikan dengan UU
No. 32 Tahun 2004. Munculnya undang-undang ini nampaknya membendung adanya

otonomi yang dianggap terlalu luas oleh pemerintah. Seperti dalam UU No. 32 Tahun 2004
posisi BPD (Badan Permusyawaratan Desa) sebagai badan legisltif dikurangi kewenanganya,
akibat perubahan aturan tersebut kedudukan kepala desa menjadi lebih kuat. BPD telah kebiri
fungsinya sebagai badan legislatif. Menurut Miriam Budiaro, legislatif memiliki fungsi
legislasi dan fungsi kontrol. Namun, dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 209, disebutkan
bahwa badan legislatif desa hanya berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala
desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Jadi dalam UU No. 32 Tahun 2004,
BPD kehilangan fungsi kontrolnya. Padahal, badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi
aktifitas badan eksekutif, agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkanya.[4]
Posisi otonomi desa dalam UU No.22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004
sebetulnya masih kurang jelas. Terlebih dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang cenderung
mengurangi otonomi desa. Hal tersebut lah yang kemudian menjadi salah satu pemicu
munculnya wacana tentang Undang-Undang Tentang Desa. Selain itu permasalahan desa
dalam kedua undang-undang tersebut seolah-olah menjadi menempatkan masalah desa
sebagai isu sampingan. Sampai akhirnya munculah UU Tentang Desa Pada tahun 2014.
Undang-Undang Tentang Desa
Terdapat berbagai sikap yang berbeda dalam menyikapi UU Tentang Desa, yang
belum lama disahkan ini. Ada yang menyambut optimis terhadap adanya undang-undang
tersebut, dan ada pula yang menyikapinya secara negatif terhadap implementasi dari undangundang tersebut. Memang sangat wajar jika sebuah kebijakan kemudian mejadi arena
perdebatan dari berbagai kalangan, dan mungkin yang demikian mungkin lebih baik karena
menunjukan derajat partisipasi politik yang semakin tinggi.
Ada beberapa poin dalam UU Tentang Desa yang biasanya menjadi sorotan. Saya
rasa permasalahn utama yang paling sering menjadi sorotan adalah desa meperoleh alokasi
dana dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dalam pasal 72 ayat
(1) huruf d, disebutkan bahwa pendapatan desa berasal dari alokasi dana desa yang
merupakan bagian dari dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang
diterima kabupaten/kota. Kemudian dalam pasal selanjutnya (pasal 4) disebuatkan bahwa
desa mendapat minimal 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, setelah
dikurangi dana alokasi khusus. Berbagai prediksi tentang berapa jumlah total dana yang akan
diterima desa per-tahun masih terdapat berbagai versi. Menurut Budiman, dana sekitar Rp
104, triliun ini dibagi sekitar 72.000 desa, sehingga total Rp 1,4 milyar per tahun per desa.

[5] Jumlah tersebut tentunya bukanlah jumlah yang sedikit, jika memang jumlah yang
diterima setiap desa pertahun sebanyak itu.
Hal tersebut tentunya akan menjadikan posisi sebagai kepala desa menjadi semakin
tinggi dan akan lebih diperubutkan lagi. Terlebih dalam pasal 66 ayat (1) disebutkan bahwa
seorang kepala desa mendapatkan gaji setiap bulan. Desa nantinya akan menjadi sebuah
arena pertarungan politik yang lebih keras. Dalam keadaan yang demikian itu tentunya akan
lebih memperbesar potensi persaingan yang semakin tidak sehat dalam perebutan jabatan
kepala desa. Berbagai kecurangan seperti money politic dipastikan akan lebih merebah
lagi saat adanyaa suksesi kepala desa.
Selanjutnya permasalahan kucuran dana dalam jumalah besar dan dibarengi dengan
otonomi daerah juga menimbulkan dua kemungkinan. Dalam bingkai otonomi, dimana desa
dapat melakukan perancangan dan menentukan sendiri kebutuhan desanya, akan
memungkinkan desa akan mengunakan dan mebelanjakan uangnya secara tepat, sehingga
dapat medorong pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya. Desetralisasi (otonomi)
diyakini akan mendorong efisiensi dimana permintaan (demands) untuk pelayanan publik
yang bersifat lokal bisa terpenuhi secara optimal akan terpenuhi.[6]
Namun, hal tersebut juga memungkinkan adanya korupsi yang turun sampai pada
tataran desa. Adanya otonomi daerah, menjadikan para penguasa daerah memiliki wewenang
yang luas. Adanya kewenangan yang begitu luas dalam berbagai bidang sangat
memungkinkan bagi para penguasa lokal untuk menyalah gunakan kekuasaanya tersebut
terlebih ditambah dengan adanya dana yang besar. Menurut Hadiz, demokrasi lokal yang
dilaksanakan pasca tumbangnya kekuasaan Orde Baru menjadi lahan baru bagi para
penjahat politik yang berusaha mengendalikan arah demokrasi.kecenderungan ini dapat
dilihat dari gejala otoriter yang dipraktikan penguasa-penguasa lokal, maraknya korupsi,
kolusi dan nepotisme sama seperti yang terjadi dalam kekuasaan Orde Baru.[7]
Dalam konteks desa, eksekutif dipegang oleh kepala desa sedangkan legislatif
dipegang oleh BPD. Dalam jalanya pemerintahan, sangat diperlukan keseimbangan diantara
keduanya. Peran BPD dalam UU Tentang Desa telah lebih diperluas. Menurut pasal 55 UU
Desa yang baru, Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
a. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c. melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Dengan fungsinya tersebut diharapkan BPD mampu berperan sebagai check and
balances dalam jalannya pemerintahan desa. Namun, perlu diperhatikan juga apakah peran

nantinya akan menjadi sangat agresif, serperti sebelum munculnya UU No. 32 Tahun 2004,
ataukah justru BPD nantinya memilih untuk bergandengan dengan kepala desa untuk samasama mencari keuntungan. Sangat memungkinkan jika para elit desa ini dalam menjalankan
pemerintahannya menggunakan pilihan-pilihan rasionalnya guna memperoleh keuntungan
peribadinya.
Peranan masyarakat tentunya sangat dibutuhkan dalam mengawasi jalanya
pemerintahan desa. Dalam pasal 68 ayat (1), disebutkan bahwa masyarkat berhak meminta
dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa serta mengawasi kegiatan pemerintahan
desa. Masyarakat tentunya harus mampu menjadi pengawas dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa. Otonomi desa tentunnya menuntut partisipasi politik hingga ke
tingkat grass roots. Ramlan

Surbakti

mendifinisikan

partisipasi

politik

sebagai

keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau
mempengaruhi kehidupannya.[8] Lalu ia menyatakan bahwa masyarakat dapat melakukan
partisipasi politik melalui dua jalur, yaitu secara prosedural, yaitu saat mengikuti pemilihan
umum dan non prosedural, diluar diluar pemilihan. Dalam hal ini, masyarakat sangat
ditekankan untuk dapat berpartisipasi politik dalam tahapan non prosedural, yaitu dalam
bentuk mengkontrol dan mengawasi serta mampu memberi asprsi dalam berjalannya
pemerintahan

desa.

Akan

sangat

disayangkan

ketiaka

suatu

kebijakan

tengah

berjalan partisipasi politik masyarakat masih sangat rendahdalam merespon kebijakan


tersebut.
Belum ditutup
Munculnya UU Tentang Desa menimbulkan berbagai macam perdebatan pro dan
konrta. Saya rasa perdebatan tentang UU ini masih panjang. Silakan kawan-kawan turut
menyikapi permasalahan tersebut.
Daftar Pustaka
A, Asrinaldi, dan Mohammad Agus Yusoff. Otonomi Negara Dan Konsolidasi Demokrasi di
Indonesia: Implementasi Politik Kekuasaan Pusat Dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah, Swara Politika: Jurnal Politik dan Pembangunan 11, No.4 (April
2010): 293-312.
Budiarjo,Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 2008.

Hanif, Hasrul. Daulat rakyat ataukah Daulat Pasar?: Neo Liberalisme dalam
Kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Swara Politika: Jurnal Politik dan
Pembangunan 11, No.3 (April 2010): 199-212.
Kusumanegara, Solahuddin. Dari Otonomi Desa ke Ide Otonomi Desa. Dalam Dinamika
Politik & Pembangunan Pedesaan dalam Demokratisasi, editor, Solahuddin Kusumanegara 129. Purwokerto: UPT Percetakan dan Penerbitan Universitas Jendral Soedirman Purwokerto,
2011.
Prambudi, Ngatiyat. Keistimewaan Undang-Undang Desa Terbaru. Diakses pada 9 Maret
2014.http://kartonmedia.blogspot.com/2014/02/keistimewaan-undang-undang-desaterbaru.html
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo:1992.

Anda mungkin juga menyukai