PENDAHULUAN
dapat menimbulkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Encopresis menurut ICD-10 (World Health Organization, WHO, 2008)
dan DSM-IV-TR (American Psychiatric Association, APA, 2000) adalah
pengeluaran kotoran (tinja) secara sengaja atau tidak sengaja di tempat-tempat
yang tidak pantas dalam anak berusia empat tahun atau lebih, setelah penyebab
organik dikesampingkan. Meskipun memiliki kesamaan utama antara dua sistem,
ICD-10 dan DSM-IV-TR berbeda mengenai poin penting, terutama definisi
subtipe. Dalam ICD-10 satu episode per bulan selama setidaknya tiga bulan
diperlukan. ICD-10 tidak mendefinisikan subtipe atau membedakan jelas antara
encopresis dengan dan tanpa konstipasi. Durasi yang diperlukan untuk diagnosis
dalam DSM-IV-TR (2000) adalah sama tetapi juga turut membedakan antara
encopresis dengan dan tanpa konstipasi (5).
Pengertian lain dari encopresis adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan anak-anak tanpa sengaja atau sengaja lewat tinja di lokasi yang
tidak dapat diterima (misalnya, di pakaian atau lantai) minimal satu kali per bulan
selama tiga bulan pada anak lebih empat tahun secara kronologis dan / atau
perkembangan. Kondisi ini jarang terjadi dalam isolasi tapi lebih sering menyertai
konstipasi kronis dengan retensi, kesulitan dengan buang air besar secara sukarela,
dan akhirnya inkontinensia fekal (1).
mengalami hilangnya kontrol defekasi, tetapi hanya 1,4% sekali atau lebih per
Minggu. Encopresis dapat bertahan sampai remaja dan bahkan samapai dewasa
muda. Tiga sampai empat kali encopresis lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Encopresis terjadi hampir selalu pada siang hari.
nocturnal encopresis lebih sering dikaitkan dengan penyebab organik dan
membutuhkan lebih rinci penilaian somatik (4,7).
C. Faktor Resiko
Kebanyakan anak-anak dengan encopresis adalah akibat dari suatu
peristiwa yang membuat proses defekasinya menjadi tidak nyaman atau
menakutkan. Peristiwa tersebut dapat berkisar dari konstipasi dengan rasa sakit
pada saat buang air besar, rasa takut (fobia) pada toilet atau bahkan akibat dari
pelecehan seksual berulang. Perlu dicatat bahwa kebanyakan anak yang sedang
menderita encopresis tidak menjadi korban dari pelecehan seksual, hanya saja
pada anak dengan riwayat pelecehan seksual mempunyai resiko yang lebih tinggi
mengalami encopresis (8).
dipicu oleh berbagai macam faktor psikologis seperti peristiwa stress kehidupan,
konflik keluarga, serta faktor somatik seperti anal fissures, perubahan diet,
pelatihan toilet intensif dan obat-obatan. Terlepas dari pemicu awal, urutan retensi
tinja kronis dapat mengikuti. Konstipasi akut dapat menyebabkan buang air besar
terasa menyakitkan sehingga anak akan cenderung menghindari buang air besar.
Hal itu dapat merangsang kontraksi paradoks dari eksternal sfingter anal yang
nantinya dapat menjadi kebiasaan (5).
1.2 Non Retensi Fecal Inkontinensia
Berbeda dengan konstipasi fungsional yang jelas, etiologi inkontinensia
fecal non retensi tidak jelas diketahui. Ini tidak bisa disebabkan oleh faktor
psikologis saja, karena tingkat komorbiditas dari kedua jenis encopresis adalah
sama; 30%-50% dari kasus (9,10).
E. Komorbid
Secara keseluruhan, 30-50% dari semua anak dengan encopresis memiliki
komorbiditas emosional atau gangguan perilaku. Ini berarti, bahwa tiga sampai
lima kali lebih banyak anak dengan encopresis mengalami gangguan tambahan
dibandingkan dengan anak-anak normal. Dalam sebuah studi berbasis populasi
besar anak-anak berusia 7 tahun. Anak dengan encopresis
mempunyai resiko
subtipe, anak-anak dengan encopresis memiliki tingkat yang sama dari nilai
perilaku dalam kisaran klinis sebagai anak-anak tanpa sembelit sehingga mereka
tidak bisa dibedakan menurut komorbiditas perilaku.
F. Manifestasi Klinis
Gejala umumnya encopresis mengikuti pola yang berhubungan dengan
pemotongan tinja dari waktu ke waktu, mulai selama atau segera setelah toilet
training. Dimulai dari pembuangan fekal baik secara sadar ataupun tidak sadar di
temoat yang tidak wajar (seperti pakaian kotor, tempat lain selain toilet) Gejala
dapat bersifat primer, yang terjadi di anak yang tidak pernah mendapat kontrol
buang air besar atau sesuai dengan usia perilaku, atau sekunder, terjadi di seorang
anak yang memiliki kontrol buang air besar dan perilaku yang diharapkan pada
satu waktu untuk lebih dari enam bulan tapi kemudian hilang kontrol. Gejala yang
paling umum termasuk:
Menghindari atau takut menggunakan kamar mandi
Menyembunyikan pakaian kotor.
Memiliki tinja yang keras dan frekuensi BAB setiap 3 sampai 7 hari.
Perlu untuk buang air besar dengan sedikit atau tanpa peringatan.
memasukkan kronis toilet berikut buang air besar.
Buang air besar di tidak diterima secara sosial tempat, seperti di pakaian
atau di luar toilet.
Memiliki longgar, kecil, tinja berair.
Pewarnaan mencret di celana.
bau tinja.
Ciri diagnostik yang menentukan ialah pengeluaran tinja secara tak layak.
Kondisi ini dapat timbul dengan berbagai cara:
a. Mungkin menggambarkan kurang adekuatnya latiahan kebersihan
(toilet training) atau kurang responsifnya anak terhadap latihan itu,
dengan riwayat kegagalan terus menerus untuk memperoleh
kemampuan mengendalikan gerakan usus.
b. Mungkin
mencerminkan
suatu
gangguan
psikologis
dengan
Encopresis dan enuresis tidak jarang saling berhubungan dan bila hal ini
terjadi, pemberian kode diagnosis encopresis haruslah diutamakan.
Encopresis ada kalanya timbul menyusul suatu kondisi organik seperti fissura
ani atau infeksi gastrointestinal; maka kondisi organik itu harus dijadikan
kode diagnosis yang utama bila kondisi itu merupakan alasan yang cukup
bagi pengeluaran tinja itu. Tetapi bila kondisi organik itu hanya merupakan
suatu akibat bukan sebagai penyebab yang cukup memadai, perlu diberi kode
encopresis (disamping kondisi organiknya).
Pedoman diagnosis lain yang juga dapat dianut adalah berasal dari
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM-IV).