Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kontrol buang air besar merupakan tonggak perkembangan penting bagi
anak-anak. Kegagalan untuk mencapai atau hilangnya kontrol dalam buang air
besar dapat mengancam kesehatan fisik dan mental. Dalam faktor fisik hal
tersebut dapat meningkatan risiko untuk terjadinya infeksi kulit dan kandung
kemih serta nyeri perut. Sedangkan dari faktor mental kegagalan kontrol dalam
buang air besar

dapat menimbulkan

rasa malu sosial yang dapat berakibat

penolakan di lingkungan sosial anak (1).


Sebagian besar anak pada umumnya berhasil mencapai kontrol dalam
buang air besar pada usia 4 tahun. Namun, sekitar 3% dari anak dibawah usia 12
tahun menderita suatu kondisi yang dikenal sebagai encopresis. Encopresis adalah
istilah medis yang digunakan untuk menggambarkan pola menahan tinja dan
mengabaikan stimulus untuk buang air besar sehingga menyababkan kebocoran
tinja sekitar impaksi. Anak pada awalnya mengabaikan stimulus untuk buang air
besar dan akhirnya kehilangan kemampuan untuk mengenali kebutuhan untuk
buang air besar atau merasakan kebocoran sekitar impaksi tersebut (2).
Beberapa dokter berusaha memisahkan encopresis menjadi dua yaitu
dengan atau tanpa retensi dan konstipasi. Namun encopresis tanpa retensi dan
konstipasi sangatlah jarang. Sekitar 90% sampai 95% anak-anak dengan
encopresis juga mengalami retensi dan konstipasi (3).

Encopresis lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan


perempuan dengan ratio 2:1 dan lebih sering terjadi pada anak-anak yang
mengalami penyiksaan ataupun kurang perhatian. Insidensi yang tepat dari
encopresis sulit untuk ditentukan karena buruknya pedoman pelaporan,
inkonsistensi dalam kriteria diagnosis dan perbedaan geografis dan budaya yang
ada (1).
Pada kejadian encopresis, bahkan dengan pengobatan sebanyak 30% dari
anak-anak ini akan terus berjuang dengan konstipasi kronis dan gejala terkait
hingga dewasa. Kebanyakan dari anak tersebut tidak teridentifikasi sampai
dewasa karena mereka dan anggota keluarganya mencoba untuk memahami dan
mengobati masalah ini sendiri. Perkiraan terbaru menunjukkan kurang dari 40%
dari anak-anak penderita encopresis dengan atau tanpa retensi mencari nasihat
kepada dokter kejiwaan (4).
B. Tujuan
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat lebih memberikan informasi
yang bermanfaat bagi dunia ilmu kedokteran khususnya ilmu kedokteran jiwa
dalam hal hilangnya pengontrolan terhadap buang air besar atau yang lebih
dikenal sebagai encopresis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Encopresis menurut ICD-10 (World Health Organization, WHO, 2008)
dan DSM-IV-TR (American Psychiatric Association, APA, 2000) adalah
pengeluaran kotoran (tinja) secara sengaja atau tidak sengaja di tempat-tempat
yang tidak pantas dalam anak berusia empat tahun atau lebih, setelah penyebab
organik dikesampingkan. Meskipun memiliki kesamaan utama antara dua sistem,
ICD-10 dan DSM-IV-TR berbeda mengenai poin penting, terutama definisi
subtipe. Dalam ICD-10 satu episode per bulan selama setidaknya tiga bulan
diperlukan. ICD-10 tidak mendefinisikan subtipe atau membedakan jelas antara
encopresis dengan dan tanpa konstipasi. Durasi yang diperlukan untuk diagnosis
dalam DSM-IV-TR (2000) adalah sama tetapi juga turut membedakan antara
encopresis dengan dan tanpa konstipasi (5).
Pengertian lain dari encopresis adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan anak-anak tanpa sengaja atau sengaja lewat tinja di lokasi yang
tidak dapat diterima (misalnya, di pakaian atau lantai) minimal satu kali per bulan
selama tiga bulan pada anak lebih empat tahun secara kronologis dan / atau
perkembangan. Kondisi ini jarang terjadi dalam isolasi tapi lebih sering menyertai
konstipasi kronis dengan retensi, kesulitan dengan buang air besar secara sukarela,
dan akhirnya inkontinensia fekal (1).

Gambar 2.1 Kriteria Diagnostik Konstipasi Fungsional dan Non Retensi


Inkontinensia (6).
B. Epidemiologi
Encopresis adalah gangguan defekasi yang umumnya mempengaruhi 1%
hingga 3% dari anak-anak yang berusia lebih dari empat tahun. Tiga lintasan yang
berbeda dapat didefinisikan (7):
Anak-anak dengan encopresis kronis selama bertahun-tahun
Mereka yang kambuh, dan
Sebuah kelompok dengan kecenderungan untuk remisi spontan.
Dalam sebuah penelitian di Belanda, 4,1% dari anak usia 5-6 tahun dan
1,6% dari anak usia 11-12 tahun yang terpengaruh. Prevalensi tergantung pada
definisi yang digunakan; untuk misalnya, 5,4% dari anak-anak berusia 7 tahun

mengalami hilangnya kontrol defekasi, tetapi hanya 1,4% sekali atau lebih per
Minggu. Encopresis dapat bertahan sampai remaja dan bahkan samapai dewasa
muda. Tiga sampai empat kali encopresis lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Encopresis terjadi hampir selalu pada siang hari.
nocturnal encopresis lebih sering dikaitkan dengan penyebab organik dan
membutuhkan lebih rinci penilaian somatik (4,7).
C. Faktor Resiko
Kebanyakan anak-anak dengan encopresis adalah akibat dari suatu
peristiwa yang membuat proses defekasinya menjadi tidak nyaman atau
menakutkan. Peristiwa tersebut dapat berkisar dari konstipasi dengan rasa sakit
pada saat buang air besar, rasa takut (fobia) pada toilet atau bahkan akibat dari
pelecehan seksual berulang. Perlu dicatat bahwa kebanyakan anak yang sedang
menderita encopresis tidak menjadi korban dari pelecehan seksual, hanya saja
pada anak dengan riwayat pelecehan seksual mempunyai resiko yang lebih tinggi
mengalami encopresis (8).

Gambar 2.2 Faktor Resiko Encopresis.


D. Etiologi
Penyebab encopresis biasanya dapat ditelusuri kembali ke suatu peristiwa
atau kejadian yang terjadi selama periode toilet training dalam kehidupan seorang
anak yang menyebabkan buang air besar menjadi menyakitkan atau tidak
menyenangkan (5).
1.1 Fungsional konstipasi.
Faktor genetik yang berperan dalam konstipasi tidak terlalu berperan
dalam encopresis. Tingkat konkordansi untuk konstipasi kembar monozigot
adalah 70%, untuk dizigotik kembar 18%. Resiko kejadian adalah 26% jika salah
satu orang tua terkena. Sebanyak 46% jika kedua orang tua, 40% jika ayah, dan
19% jika ibu yang terkena. Konstipasi fungsional sering berkembang setelah
konstipasi akut yang mempengaruhi 16%-22% dari anak-anak. Hal ini dapat

dipicu oleh berbagai macam faktor psikologis seperti peristiwa stress kehidupan,
konflik keluarga, serta faktor somatik seperti anal fissures, perubahan diet,
pelatihan toilet intensif dan obat-obatan. Terlepas dari pemicu awal, urutan retensi
tinja kronis dapat mengikuti. Konstipasi akut dapat menyebabkan buang air besar
terasa menyakitkan sehingga anak akan cenderung menghindari buang air besar.
Hal itu dapat merangsang kontraksi paradoks dari eksternal sfingter anal yang
nantinya dapat menjadi kebiasaan (5).
1.2 Non Retensi Fecal Inkontinensia
Berbeda dengan konstipasi fungsional yang jelas, etiologi inkontinensia
fecal non retensi tidak jelas diketahui. Ini tidak bisa disebabkan oleh faktor
psikologis saja, karena tingkat komorbiditas dari kedua jenis encopresis adalah
sama; 30%-50% dari kasus (9,10).
E. Komorbid
Secara keseluruhan, 30-50% dari semua anak dengan encopresis memiliki
komorbiditas emosional atau gangguan perilaku. Ini berarti, bahwa tiga sampai
lima kali lebih banyak anak dengan encopresis mengalami gangguan tambahan
dibandingkan dengan anak-anak normal. Dalam sebuah studi berbasis populasi
besar anak-anak berusia 7 tahun. Anak dengan encopresis

mempunyai resiko

tinggi mengalami kecemasan terpisah (4,3%), fobia khusus(4,3%), kecemasan


umum (3,4%), ADHD (9,2%) dan oposisi gangguan pemberontak (11,9%)
(Joinson et al, 2006).
Dengan kata lain, anak-anak dengan encopresis menunjukkan pola
heterogen baik internalisasi dan eksternalisasi gangguan komorbiditas. Mengenai

subtipe, anak-anak dengan encopresis memiliki tingkat yang sama dari nilai
perilaku dalam kisaran klinis sebagai anak-anak tanpa sembelit sehingga mereka
tidak bisa dibedakan menurut komorbiditas perilaku.
F. Manifestasi Klinis
Gejala umumnya encopresis mengikuti pola yang berhubungan dengan
pemotongan tinja dari waktu ke waktu, mulai selama atau segera setelah toilet
training. Dimulai dari pembuangan fekal baik secara sadar ataupun tidak sadar di
temoat yang tidak wajar (seperti pakaian kotor, tempat lain selain toilet) Gejala
dapat bersifat primer, yang terjadi di anak yang tidak pernah mendapat kontrol
buang air besar atau sesuai dengan usia perilaku, atau sekunder, terjadi di seorang
anak yang memiliki kontrol buang air besar dan perilaku yang diharapkan pada
satu waktu untuk lebih dari enam bulan tapi kemudian hilang kontrol. Gejala yang
paling umum termasuk:
Menghindari atau takut menggunakan kamar mandi
Menyembunyikan pakaian kotor.
Memiliki tinja yang keras dan frekuensi BAB setiap 3 sampai 7 hari.
Perlu untuk buang air besar dengan sedikit atau tanpa peringatan.
memasukkan kronis toilet berikut buang air besar.
Buang air besar di tidak diterima secara sosial tempat, seperti di pakaian
atau di luar toilet.
Memiliki longgar, kecil, tinja berair.
Pewarnaan mencret di celana.
bau tinja.

Soiled pakaian dengan besar, keras tinja.


Distensi abdomen atau kembung dan nyeri.
Sering infeksi kandung kemih.
Kurangnya teman dan sering rekan/saudara menggoda mengenai bau anak.
Smearing tinja pada dinding atau permukaan lain pada anak-anak dengan
perkembangan kognitif normal. Anak-anak ini sering memiliki kemarahan
dan penolakan sosial, dan memiliki tingkat tertinggi kegagalan pengobatan.
Eneuresis.
G. Diagnosis
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia edisi ke III yang diterbitkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI pedoman untuk
pendiagnosisan encopresis adalah sebagai berikut:

Ciri diagnostik yang menentukan ialah pengeluaran tinja secara tak layak.
Kondisi ini dapat timbul dengan berbagai cara:
a. Mungkin menggambarkan kurang adekuatnya latiahan kebersihan
(toilet training) atau kurang responsifnya anak terhadap latihan itu,
dengan riwayat kegagalan terus menerus untuk memperoleh
kemampuan mengendalikan gerakan usus.
b. Mungkin

mencerminkan

suatu

gangguan

psikologis

dengan

pengendalian fisiologis buang air besar normal, tetapi karena suatu


alasan, terdapat keengganan, perlawan atau kegagalan untuk

menyesuaikan diri dengan norma sosial untuk buang air besar


ditempat yang layak.
c. Mungkin akibat retensi fisiologis yang bertumpuk pada peletakan
tinja ditempat yang tidak layak. Retensi seperti itu mungkin timbul
sebagai akibat pertentangan antara orang tua dan anak mengenai
latihan buang air besar, atau akibat menahan tinja karena nyeri saat
buang air besar (misalnya akibat fissura ani), atau karena sebab lain.

Pada beberapa peristiwa, enkopresis mungkin disertai ulah memoleskan tinja


pada tubuh sendiri atau lingkungan sekitar dan yang agak jarang ulah
mencongkel dubur dengan jari atau masturbasi anal. Tidak terdapat garis
pemisah yang jelas antara enkopresis yang disertai dengan gangguan
emosional/perilaku dan gangguan psikiatrik lain dengan encopresis sebagai
gejala sampingan. Pedoman yang digariskan ialah untuk memberi kode
diagnosis encopresis bila hal tersebut merupakan fenomena yang predominan,
dan kode diagnosis gangguan lain apabila encopresis ukan merupakan
fenomena yang predominan (atau bila encopresis itu hanya terjadi kurang dari
sekali dalam sebulan).

Encopresis dan enuresis tidak jarang saling berhubungan dan bila hal ini
terjadi, pemberian kode diagnosis encopresis haruslah diutamakan.

Encopresis ada kalanya timbul menyusul suatu kondisi organik seperti fissura
ani atau infeksi gastrointestinal; maka kondisi organik itu harus dijadikan
kode diagnosis yang utama bila kondisi itu merupakan alasan yang cukup
bagi pengeluaran tinja itu. Tetapi bila kondisi organik itu hanya merupakan

suatu akibat bukan sebagai penyebab yang cukup memadai, perlu diberi kode
encopresis (disamping kondisi organiknya).
Pedoman diagnosis lain yang juga dapat dianut adalah berasal dari
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM-IV).

Gambar 2.3 Kriteria Diagnosis Encopresis menurut DSM-IV

Anda mungkin juga menyukai