Anda di halaman 1dari 20

Pengembangan Formulasi Salep dan Pengujian Ekstrak Etanolik

Kulit Pisang Ambon( Musa paradisiaca L. ) Terhadap Luka Terbuka

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Metodologi dan Desain Penelitian
OLEH :
Diany Mawardah
260110120098

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015

ABSTRAK

Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Penggunaan kulit pisang ambon sebagai penyembuh
luka di masyarakat dengan cara ditempelkan langsung dikulit sangat tidak praktis dan
tidak nyaman. Oleh karena itu perlu dibuat suatu bentuk sediaan penyembuh luka
yang nyaman, aman, dan efektif. Salah satunya adalah sediaan salep.
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk membuat formulasi salep dari ekstrak kulit
pisang Ambon (Musa paradisiaca L.) dan uji daya penyembuhan luka terbuka.
Pembuatan formulasi salep menggunakan ekstrak kulit pisang Ambon dengan
menggunakan hewan uji sebanyak 18 ekor dengan 6 kelompok perlakuan, yaitu luka
tanpa perlakuan, kontrol negatif, kontrol positif, salep kulit pisang ambon 10%, salep
kulit pisang ambon 15% dan salep kulit pisang ambon 20%. Semua tikus dilukai
sepanjang 1.5 cm. Luka diolesi tiga kali sehari dengan salep yang diuji. Pengamatan
luka dilakukan setiap hari (hari ke-0 sampai ke-8). Semua data kuantitatif diuji secara
statistic menggunakan ANOVA (Analysis Of Variant) dan dilanjutkan dengan uji LSD
(Least Significant Different) sedangkan data kualitatif disajikan secara deskriptif.
Kata Kunci : Penyembuh luka, kulit pisang ambon, Ekstrak etanolik kulit pisang
ambon, salep.

Outline:

I.

Pengertian luka, upaya penyembuhan luka dan pemanfaatan obat tradisional

dalam menyembuhkan luka


Kulit pisang ambon dan kandungan nya yang dapat menyembuhkan luka
Pemanfaatan kulit pisang ambon sudah sampai sejauh apa di Indonesia
LATAR BELAKANG

Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses
patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ tertentu.
Penyakit yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah seperti luka sering terjadi
di masyarakat di kehidupan sehari hari. Pendarahan ini tidak dapat dianggap remeh
karena jika dibiarkan dapat menyebabkan infeksi dan jika dibiarkan dapat
menyebabkan kematian. hal inilah yang menjadi alasan para peneliti melakukan
penelitian untuk mencari obat alternatif yang dapat menyembuhkan tanpa harus
mengeluarkan biaya yang mahal .
Penggunaan obat luka yang banyak di pasaran adalah obat obat yang
kandungannya berasal dari bahan bahan kimia yang besar kemungkinannya
menyebabkan gejala-gejala toksik seperti reaksikulit, hipersensitivitas, dan lainnya.
Oleh sebab itu, perlu dipikirkan penggunaan tanaman obat tradisional dalam
penyembuhan luka. Obat tradisional memiliki sifat yang alamiah sehingga lebih aman
dan baik digunakan karena memiliki efek samping yang minimal.
Kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) merupakan salah satu tanaman
yang berpotensi sebagai penyembuh luka. Kulit pisang mengandung flavonoid, tanin,
saponin, dan steroid. Flavonoid dipercaya sebagai salah satu komponen penting
dalam proses penyembuhan luka karena dapat menginhibisi pertumbuhan fibroblast
sehingga memberikan keuntungan pada perawatan luka (Khan, 2012). Tanin memiliki
kemampuan sebagai antimikroba serta dapat meningkatkan epitelialisasi. Steroid
bersifat sebagai antiinflamasi (Akpuaka and Ezem,2011). Saponin dapat
mempercepat proses penyembuhan luka akibat adanyaaktivitas antimikroba
(Khan,2012).
Menurut penelitian yang dilakukan Supriadi (2012), ekstrak etanol kulit pisang
ambon memiliki efek mempercepat durasi penyembuhan luka. Kandungan senyawa
dalam ekstrak kulit pisang adalah flavonoid dan saponin.
Penggunaan kulit pisang ambon sebagai penyembuh luka belum banyak
didokumentasikan. Penggunakan kulit pisang untuk penyembuhan luka sudah pernah

dilakukan namun tidak diekstraksi, melainkan dibuat dalam bentuk gel. (Atzingen,
2011).
Sediaan topikal dalam bentuk salep memiliki stabilitas yang baik, berupa sediaan
halus, mudah digunakan, mampu menjaga kelembapan kulit, tidak mengiritasi kulit
dan mempunyai tampilan yang lebih menarik (Ansel, 2005).
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
ektrak etanolik kulit pisang ambon dapat juga menyembuhkan luka terbuka dan untuk
mengetahui efektivitas penggunaan ekstrak kulit pisang ambon dalam sediaan topical
dalam bentuk salep.
II.

RUMUSAN MASALAH
1. Apakah ekstrak etanol kulit pisang ambon memiliki kemampuan
dalam penyembuhan luka terbuka
2. Bagaimana efektifitas ekstrak etanolik kulit pisang ambon dalam
sediaan salep

III.

TUJUAN
Mengetahui bagaimana aktifitas ekstrak etanolik kulit pisang ambon
dalam penyembuhan luka terbuka dan mengetahui efektifitasnya dalam
sediaan salep. Menjadikan kulit pisang ambon sebagai alternatif obat
penyembuh luka.

IV.

MANFAAT
adalah memperkenalkan kepada masyarakat luas mengenai kulit Pisang
Ambon sebagai alternatif yang dapat digunakan untuk mempercepat
penyembuhan dan dasar pengembangan formulasi penyembuh luka dalam
bentuk sediaan salep karena dapat digunakan dengan nyaman, aman, dan

V.

efektif
Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini ialah eksperimen deskriptif laboratorium. Dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu 6 (enam) perlakuan
dan masing-masing perlakuan diulangi sebanyak 3 (tiga) kali. Dengan

demikian jumlah tikus putih jantan yang digunakan yaitu sebanyak 6


perlakuan x 3 ulangan = 18 ekor tikus putih jantan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KULIT
2.1.1 Definisi Kulit
kulit merupakan lapisan permukaan tubuh yang memiliki
fungsi sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan ataupun
rangsangan dari luar. Perlindungan yang dilakukan terjadi dengan cara
seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus, respirasi

dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat,


pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari sinar
ultraviolet matahari, serta pertahanan tekanan dan infeksi dari luar.
(Tranggono, 2007)
2.1.2 Anatomi Kulit
Luas kulit pada manusia rata-rata 2 meter persegi. Kulit
terbagi atas dua lapisan yaitu:
1. Epidermis(kulit ari),sebagai lapisan yang paling luar
2. Dermis (Korium, kutis)
Dibawah dermis terdapat subkutis atau jaringan lemak bawah kulit.
2.1.2.1. Epidermis
Para ahli histologi membagi epidermis dari bagian terluar hingga ke
dalam menjadi 5 lapisan, yakni:
a. Lapisan Tanduk (Stratum corneum)
Merupakan lapisan yang paling atas yang terdiri atas sel-sel
yang mati, tidak berinti, dan keratin (Djuanda, 2003)
b. Lapisan jernih (Stratum lucidum),
Lapisan ini disebut juga lapisan barrier merupakan lapisan
sel-sel tanpa inti dengan protoplasma yang telah menjadi protein
yang disebut eleidin. (Djuanda, 2003)
c. Lapisan Berbutir butir (Stratum granulosum).
Memiliki dua atau tiga lapis sel-sel dengan sitoplasma butir
kasar dan berinti diantaranya. Butir ini terdiri ata keratohialin.
(Djuanda, 2003)
d. Lapisan Malphigi (Stratum spinosum)
Memiliki sel seperti berduri terdiri atas beberapa lapis sel yang
berbentuk poligonal dengan besar yang berbeda akibat adanya
proses mitosis. Protoplasmanya mengandung glikogen dan
memiliki inti ditengah-tengah. Di antara sel-sel stratum spinosun
terdapat jembatan-jembatan antar sel yang terdiri atas protoplasma

dan tonofibril atau keratin. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula


sel Langerhans. (Djuanda, 2003)
e. Lapisan Basal (Stratum germinativum)
tersusun hanya oleh satu lapisan sel- sel basal yang berbentuk
kubus (kolumnar) yang tersusun verikal dan berbaris seperti pagar
(palisade). Lapisan ini berada pada lapisan yang paling bawah dan
bermitosis sehingga berfungsi sebagai reproduktif. Memiliki dua
jenis sel sel yang dihubungkan dengan jembatan sel. Sel pada
lapisan ini berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik yang
memiliki inti lonjong dan lebar. Lapisan basal memiliki sel
pembentuk melanin. (Djuanda, 2003)
2.1.2.2. Dermis
Lapisan dermis terletak dibawah lapisan epidermis yang memiliki
lapisan yang jauh lebih tebal. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan
fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut.
(Djuanda, 2003)
Lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis adalah lapisan
dermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri
atas lapisan elastis dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular
dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian yakni
pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah, dan pars retikulare yaitu bagian
bawahnya yang menonjol kea rah subkutan, bagian ini terdiri atas
serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan
retikulin. Dasar lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat
dan kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblast,
membentuk ikatan yang mengandung hidrksiprolin dan hidroksisilin.
Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang
larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut

elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah


mengembang serta lebih elastis (Djuanda, 2003).
2.2 LUKA
2.2.1. Definisi Luka
Luka adalah terdapatnya kerusakan struktur dan fungsi anatomis
pada kulit akibat proses patologis yang berasal dari internal dan
eksternal. Luka adalah kerusakan kontiyuitas pada kulit dan mukosa
membrane. Ketika terjadi luka, beberapa efek akan muncul seperti
hilanya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stress sipatis,
pendarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, dan kematian
sel (Kozier, 1995)

2.2.2 Jenis Luka


Berdasarkan lama waktu penyembuhannya, luka dibagi menjadi 2
jenis, yaitu:
a. Luka Akut
Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi
komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan
penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Contohnya
adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk.(Briant, 2007)
b. Luka Kronik

Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering


timbul kembali (rekuren) atau terjadi gangguan pada proses
penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multi faktor
dari penderita. Pada luka kronik luka gagal sembuh pada waktu yang
diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi
untuk timbul kembali. Contohnya adalah ulkus tungkai, ulkus vena,
ulkus arteri (iskemi), penyakit vaskular perifer ulkus dekubitus,
neuropati perifer ulkus dekubitus (Briant, 2007).

2.3 PENYEMBUH LUKA


Proses fisiologis Penyembuhan Luka dapat dibagi ke dalam 4 fase
utama, yaitu:
a. Hemostasis
Hemostatis : Pada fase ini terjadi peningkatan perlekatan platelet.
Platelet akan bekerja untuk menutup kerusakan pembuluh darah.
Jaringan yang rusak akan merangsang adenosin diphosphat (ADP)
membentuk

platelet.

Platelet

yang

dibentuk

berfungsi

untuk

merekatkan kolagen dan mensekresi faktor yang merangsang


pembekuan darah. Pembekuan darah diawali dengan produksi trombin
yang akan membentuk fibrin dari fibrinogen. Hubungan fibrin
diperkuat oleh agregasi platelet menjadi hemostatik yang stabil.
Platelet juga mensekresi platelet yang terkait dengan faktor
pertumbuhan jaringan (platelet-associated growth factor). Hemostatis
terjadi dalam waktu beberapa menit setelah injuri kecuali ada
gangguan faktor pembekuan. (Suryadi, 2010)
b. Inflamasi
Pada proses penyembuhan ini biasanya terjadi proses pembersihan
debris. Respon jaringan yang rusak : jaringan yang rusak dan sel mast

melepaskan plasma dan polimorfonuklear ke sekitar jaringan.


Neutropil memfagositosis mikroorganisme dan berperan sebagai
pertahanan awal terhadap infeksi. Jaringan yang rusak juga akan
menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah sekeliling yang masih
utuh serta meningkatkan penyediaan darah ke daerah tersebut,
sehingga menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler-kapiler
darah meningkat dan cairan yang kaya akan protein mengalir kedalam
spasium intertisial, menyebabkan edema lokal dan mungkin hilangnya
fungsi di atas sendi tersebut. Makrofag mengadakan migrasi ke luar
dari kapiler dan masuk ke dalam darah yang rusak sebagai reaksi
terhadap agens kemotaktik yang dipacu oleh adanya cedera. Makrofag
mampu memfagosit bakteri. Makrofag juga mensekresi faktor
pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan fibrobalas (FGF), faktor
pertumbuhan epidermal (EGF), faktor pertumbuhan beta trasformasi
(tgf) dan interleukin-1 (IL-1). (Suryadi, 2010)
c. Fase Poliferas
Fibroblas meletakkan subtansi dasar dan serabut-serabut kolagen
serta pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka. Begitu kolagen
diletakkan, maka terjadi peningkatan yang cepat pada kekuatan
regangan luka. Kapiler-kapiler dibentuk oleh tunas endothelial, suatu
proses yang disebut angiogenesis. Bekuan fibrin yang dihasilkan pada
fase I dikeluarkan begitu kapiler baru menyediakan enzim yang
diperlukan. Tanda tanda inflamasi mulai berkurang. Jaringan yang
dibentuk dari gelung kapiler baru, yang menopang kolagen dan
substansi dasar, disebut jaringan granulasi karena penampakannya
yang yang granuler dan warnanya merah terang. Fase ini berlangsung
selama 3-24 hari. (Suryadi, 2010)
d. Maturasi (Remodelling)
Maturasi (Remodelling)

Pada tahap maturasi terjadi proses epitelisasi, kontraksi dan


reorganisasi jaringan ikat. Setiap cedera yang mengakibatkan
hilangnya kulit, sel epitel pada pinggir luka dan sisa-sisa folikel
rambut, serta glandula sebasea dan glandula sudorivera membelah dan
mulai bermigrasi diatas jaringan glandula baru. Karena jaringan
tersebut hanya dapat bergerak diatas jaringan yang hidup, maka
mereka hidup dibawah eskar atau dermis yang mengering. Apabila
jaringan tersebut bertemu dengan sel-sel epitel lain, yang juga
mengalami migrasi, maka mitosis berhenti, akibat inhibisi kontak.
Kontraksi luka disebabkan karena miofibroblas kontraktil membantu
menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat suatu penurunan progresif alam
vaskularitas jaringan parut, yang berubah dalam penampilannya dari
merah kehitaman menjadi putih. Serabut- serabut kolagen mengadakan
reorganisasi dan kekuatan regangan meningkat (Suryadi, 2010)
2.3.1. Faktor-Faktor yang dapat Penghambat Penyembuhan Luka
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, ada
banyak faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka, yaitu
(Morrison, 2004):
a. Faktor intrinsik
Faktor intrinstik meliputi faktor- faktor patofisiologi umum (misalnya,
gangguan kardiovaskuler, malnutrisi, gangguan metabolik dan endokrin,
penurunan daya tahan terhadap infeksi) dan faktor fisiologi normal yang
berkaitan dengan usia dan kondisi lokal yang merugikan pada tempat luka
(misalnya, eksudat yang berlebihan, dehidrasi, infeksi luka, trauma
kambuhan, penurunan suhu luka, pasokan darah yang buruk, edema,
hipoksia lokal, jaringan nekrotik, pengelupasan jaringan yang luas,
produk metabolik yang berlebihan, dan benda asing).
b. Faktor ekstrinsik

Faktor ekstrinsik meliputi penatalaksanaan luka yang tidak tepat


(misalnya, pengkajian luka yang tidak tepat, penggunaan bahan
perawatan luka primer yang tidak sesuai, dan teknik penggantian balutan
yang ceroboh).(Potter &Perry, 2006)
2.4 PISANG AMBON (Musa paradisiaca var. Sapientum)
Pisang Ambon tumbuh dan berkembang subur di daerah tropis (30 LU- 30LS)
suhu optimum untuk tumbuh 27-30C dan suhu maksimum 38C. Curah hujan
antara 1400-2450 mm pertahun dengan penyebaran yang merata. Tanaman
pisang memerlukan pengairan di daerah dengan musim kering yang panjang.

Gambar 1. Pisang ambon (Musa paradisiaca L.)

V.4.1. Taksonomi Pisang Ambon


Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta ( Tumbuhan berbunga)
Sub divisi : Angiosperma
Kelas : Monocotyledone
Sub kelas : Commilinidae
Ordo : Zingiberales

Keluarga : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiaca
Varietas : Sapientum

(Imam dan Akhera, 2011; Warintek, 2011).

Kandungan gizi buah Pisang Ambon antara lain kaya akan mineral seperti
kalium, magnesium, fosfor, besi dan kalsium. Pisang Ambon juga mengandung
vitamin yaitu, B6, B kompleks, vitamin C, dan serotonin yang aktif sebagai
neurotransmitter dalam kelancaran fungsi otak (Sunarjono, 2002).

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan ialah batang pengaduk, blender, cawan penguap,
erlenmeyer, gelas ukur, kapas, kandang, lumpang&alu, penangas air, pencukur
bulu, penggaris, surgical blade sterile, pot salep, maserator, rotary evaporator,
termometer, timbangan analitik, timbangan hewan, sarung tangan, masker, oven,
pisau, aluminium foil, kertas saring, kamera, pinset, label, soklet, water bath dan
cawan petri.
Sedangkan bahan yang digunakan ialah Ekstrak kulit pisang Ambon, adeps
lanae, vaselin album, alkohol 70%, Betadine salep, tikus putih jantan galur wistar
dan aquades.
3.2. Prosedur Kerja
3.2.1. Preparasi dan Ekstraksi
Kulit pisang ambon sebanyak 300 gram dihaluskan dengan blender
sehingga terbentuk bubur. Bubur kulit pisang raja dimasukkan dalam wadah

dan diekstraksi dengan cara maserasi. Maserasi dilakukan dengan pelarut


etanol (3x200 mL) selama 4 hari.

Filtrat yang diperoleh disaring dan

dipekatkan dengan rotary evaporator hingga didapatkan ekstrak kental.


Ekstrak yang dihasilkan selanjutnya disimpan dan digunakan untuk
perlakuan. Setelah didapatkan ektrak kental maka dihitung hasil rendemen
ekstrak (hasil perolehan kembali) dengan rumus:

% Rendemen =

bobot ekstrak yang didapat


x 100
bobot simplisia yang diekstraksi

3.2.2 Pengujian Parameter Non Spesifik


3.2.2.1. Ekstrak Susut Pengeringan dan Kadar Air
Ekstrak ditimbang dengan seksama sebanyak 1 gram dan dimasukan ke
dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan
pada suhu 105oC selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang,
ekstrak diratakan dalam botol timbang dengan menggoyang-goyangkan
botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm,
kemudian dimasukan ke dalam oven, buka tutupnya. Pengeringan dilakukan
pada suhu penetapan yaitu 105oC hingga diperoleh bobot tetap lalu
ditimbang. Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan dalam keadaan
tertutup mendingin dalam eksikator hingga suhu kamar.
3.2.2.2. Kadar Abu
Lebih kurang 2 g ekstrak yang telah digerus dan ditimbang seksama,
dimasukan kedalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan dan
ditara, lalu ekstrak diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,
didinginkan, ditimbang. Jika arang tidak dapat hilang, ditambahkan air
panas, disaring dengan menggunakan kertas saring bebas abu. Dipijarkan
sisa abu dan kertas saring dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke

dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang. Kadar abu
dihitung terhadap berat ekstrak dan dinyatakan dalam % b/b (Depkes RI,
2000).
3.2.3. Identifikasi Kandungan Fitokimia
Dilakukan tiga uji fitokimia, yaitu uji alkaloid, uji flavonoid, dan uji saponin.
3.2.3.1. Uji Alkaloid
Contoh tumbuhan sebanyak 2-4 gram digerus dalam lumpang, ditambah
sedikit kloroform dan pasir. Kemudian ditambahkan 10 mL larutan 0,05 N
ammonia dalam kloroform. Campuran dikocok selama 1 menit, kemudian
disaring ke dalam tabung reaksi. Kedalam filtrate tambahkan H2SO4 2 N
dan dikocok dengan teratur, biarkan sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan
atas dipisahkan dan diuji dengan pereaksi Mayer, Wagner dan Dragendorft.
Adanya senyawa alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan putih
dengan pereaksi Mayer, endapan kuning kecoklatan dengan pereaksi
Wagner, dan endapan jingga dengan pereaksi Dragendorf.
3.2.3.2.Uji Flavonoid
Identifikasi flavonoid dilakukan dengan dua cara yaitu :
a. Uji dengan pereaksi Shinoda (Logam Mg + HCl). Contoh sebanyak 0,5
gram yang telah dihaluskan diekstrak dengan 5 mL etanol panas selama 5
menit didalam tabung reaksi. Selanjutnya hasil ekstraksi disaring dan kepada
filtratnya ditambahkan beberapa tetes HCl pekat. Setelah itu dimasukkan
kurang lebih 0,2 mg logam Mg. Bila timbul warna merah tua menandakan
contoh positif flavonoid.
b. Uji dengan NaOH 10%. Kedalam ekstrak etanol yang diperoleh dengan
cara diatas, ditambahkan 2 tetes NaOH 10%. Adanya flavonoid ditandai
dengan perubahan warna kuning-orange-merah.
3.2.3.3. Uji Saponin (Uji Busa)

Kulit pisang ditambahkan air suling sehingga seluruh bagian terendam dan

didihkan selama 2 menit. Setelah itu didinginkan dan kocok kuat-kuat. Bila
timbul buih/busa yang stabil menunjukkan adanya saponin.
3.2.4. Pembuatan Salep Ekstrak Kulit Pisang Ambon
Formula standar dasar salep menurut Goeswin Agoes (2006) ialah :
R/ Adeps lanae

15 g

Vaselin album

85 g

m.f. salep

100 g

Sediaan salep yang akan dibuat dalam penelitian ini memiliki konsentrasi
ekstrak Kulit pisang Ambon yang berbeda-beda, yaitu 10%, 15% dan 20%
sebanyak 20 g untuk 3 kali pemakaian dalam sehari selama 8 hari pengamatan.
1) Formulasi salep ekstrak kulit pisang Ambon 10%
R/ Ekstrak kulit pisang Ambon 2 g
Adeps Lanae 2.7 g
Vaselin Album 15.3 g
Aquades 0.05 ml
m.f. salep 20 g
2) Formulasi salep ekstrak kulit pisang Ambon 15%
R/ Ekstrak kulit pisang Ambon 3 g
Adeps Lanae 2.55 g
Vaselin Album 14.45 g
Aquades 0.05 ml
m.f. salep 20 g
3) Formulasi salep ekstrak kulit pisang Ambon 20%
R/ Ekstrak kulit pisang Ambon 4 g
Adeps Lanae 2.4 g
Vaselin Album 13.6 g

Aquades 0.05 ml
m.f. salep 20 g
3.2.5. Penyiapan Hewan Uji dan Pembuatan Luka
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini ialah tikus putih jantan galur
wistar sebanyak 18 ekor dengan berat badan 260-280 g. Sebelum pembuatan
luka, tikus diaklimatisasi selama 5 hari. Sehari sebelum pembuatan luka, hewan
uji dicukur bulunya didaerah punggung sampai licin kemudian dibersihkan
dengan alkohol 70%. Selanjutnya dibuat luka sayatan dengan ukuran panjang
1.5 cm.
3.2.6. Perlakuan dan Pengamatan atau Pengumpulan Data
Perlakuan dan pengamatan atau pengumpulan data pada penelitian ialah
sebagai
berikut :
a. Sebelum perlakuan, ditentukan tikus putih jantan dengan cara pengacakan.
b. Setelah tikus putih jantan dibuat luka, kemudian diukur luas luka awal
sebelum dilakukan perlakuan.
c. Masing-masing tikus putih jantan diberi perlakuan sebagai berikut :
Perlakuan A : Luka tanpa perlakuan
Perlakuan B : Luka diberi dasar salep
Perlakuan C : Luka diberi Betadine salep
Perlakuan D : Luka diberi salep ekstrak kulit pisang Ambon 10%
Perlakuan E : Luka diberi salep ekstrak kulit pisang Ambon 15%
Perlakuan F: Luka diberi salep ekstrak kulit pisang Ambon 20%
d. Kemudian dilakukan pengamatan selama 8 hari untuk melihat diameter
penutup luka.
e. Sediaan salep diberikan dengan cara mengoleskan secara merata pada daerah
luka tiga kali sehari.

f. Pengamatan pada luka dilakukan sebelum pemberian dan sesudah perlakuan


sampai menunjukkan adanya tanda-tanda kesembuhan dengan cara mengukur
diameter luka.
3.2.7. Analisis Data
Pengukuran rata-rata diameter luka terbuka dilakukan dengan dx (1,2,3) yaitu
diameter luka terbuka setiap ulangan perlakuan. Dihitung dengan rumus :
dx =

dx ( 1 ) +dx ( 2 )+ dx (3)
3

untuk rata-rata diameter luka terbuka (cm).


Secara statistik data dianalisis dengan metode ANOVA (Analysis Of Variant)
dengan 0,05 atau 5%, dengan rumus :
P% =

dodx
x 100
do

dimana P % untuk persentase penyembuhan luka. Jika ada perbedaan yang


signifikan maka dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Different)
melihat perlakuan mana yang memberikan efek yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Bryant, Ruth. 2007. Acute & Chronic Wounds; Current Manangement Concept.
Philadelphia : Mosby Elsevier.
Djuanda, Adhi. 2003. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FK UI. Jakarta
Kozier, 1995. Fundamental of Nursing. New York: Addison Wesley.
Pane, Elfira Rosa. Uji Aktivitas Senyawa Antioksidan dari Ekstrak Metanol Kulit
Pisang Raja (Musa paradisiaca Sapientum).ISSN. 2013. 3: 76-81
Pongsipulung Grace Riani; Paulina V. Y. Y, Yos Banne. FORMULASI dan
PENGUJIAN SALEP EKSTRAK BONGGOL PISANG AMBON (Musa
paradisiaca var. sapientum (L.)) TERHADAP LUKA TERBUKA PADA KULIT
TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus).Unsrat.Manado
Suryadi, Antara Iwan; AAGN Asmarajaya, Sri Maliawan. 2010.
Penyembuhan dan Penanganan Luka.

Proses

Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana. Denpasar
Tranggono. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengantar Kosmetik. Jakarta: PT. Gramedia

Anda mungkin juga menyukai