Anda di halaman 1dari 70

Undang Undang Desa dan Permasalahan Sosial Budaya

Oleh:
Dr. Didik Sukriono, SH., M.Hum.1
Pendahuluan
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dikenal dengan sebutan UU Desa telah
disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dinggap sebagai babak baru dalam pembagian
kekuasaan, penataan dan desentralisasi Desa. Terbitnya UU Desa ini dianggap sebagai
pengakuan negara atas eksistensi Desa sebagai sebuah wilayah otonom, baik desa sebagai sebuah
kesatuan hukum maupun desa sebagai kesatuan adat di Nusantara. Selanjutnya sebagai dasar dan
petunjuk hukum implementasi UU Desa, Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa.
UU Desa ini oleh banyak kalangan dikatakan sebagai UU Desa terlengkap dibanding UU
Desa sebelumnya. UU ini telah mengakomodasi banyak hal yang muaranya untuk melindungi dan
memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dalam UU ini
kedudukan desa ditempatkan pada posisi lebih terhormat dan diakui sebagai subyek yang
berprakarsa. Selanjutnya di dalam Penjelasan UU ini juga disebutkan, bahwa Mengingat
kedudukan, kewenangan, dan keuangan desa yang semakin kuat, penyelenggaraan pemerintahan
desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung oleh sistem pengawasan dan keseimbangan
antara pemerintah desa dan lembaga desa. Artinya secara substantif UU ini, memberikan
kepercayaan, amanah dan tanggung jawab kepada berbagai pihak, yaitu jajaran pemerintahan
nasional, daerah, lokal, terutama para pemangku kepentingan di desa-desa.2
Salah satu kekuatan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah adanya komitmen negara
untuk mengakui atau rekognisi dan melindungi desa-desa atau nama lain di seluruh Indonesia
guna melaksanakan konstitusi pasal 18 B UUD 1945. Desa-desa tersebut tidak saja diakui secara
legal formal oleh negara, tetapi juga diberikan jaminan sumber pendapatan yang pasti yang
berasal dari APBN, APBD, dan sumber pendapatan asli desa itu sendiri.
Mencermati ketentuan-ketentuan dalam UU Desa di atas, sekilas terlihat sangat indah dan
mulia, tetapi jika melihat proses kelahirannya yang tidak lepas dari desakan Parade
Nusantara atau kalangan LSM sebagai kelompok penekan (pressure group) yang
memobilisasi perangkat desa, maka UU tersebut cenderung bersifat segmented, artinya hanya
menguntungkan segmen-segmen tertentu, khususnya kepala desa dan perangkat desa, LSM dan
parpol-parpol. Masyarakat desa dalam UU itu tetap hanya dijadikan obyek katimbang subyek.

1. Dosen Hukum dan Kewarganegaraan (HKn) Universitas Negeri Malang, Anggota Dewan Pembina
Malang Corruption Watch (MCW), Anggota Asosiasi Pengajar HTN dan HAN, Anggota Asosiasi
Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jl. Klayatan Gg. I No. 12 Malang, Email:
didik_sukriono@yahoo.com, Hp. 0816552682.
2 Penjelasan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia
Bandung, 2014, Hlm. 79.

Pendekatan kapitalistik dengan menebar uang ke desa dalam UU tersebut, dapat dikatakan mirip
dengan politik uang (money politics) yang dilegalkan oleh negara.3
Oleh karena itu kajian terhadap UU Desa merupakan keharusan dan bukan tidak mungkin
UU Desa ini juga berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial budaya baru serta
cenderung bersifat counter-productive terhadap cita-cita membangun desa dan kesejahteraan
warga perdesaan. Salah satu indikatornya adalah UU Desa ini bukan affirmative policy yang
memposisikan seluruh rakyat desa sebagai pihak pertama yang akan dibela dan diberdayakan.
Seharusnya UU ini menentukan angka minimal, misalnya 50% dari total anggaran desa,
diwajibkan dialokasikan untuk membangun infrastruktur publik pedesaan (jalan-jalan
desa/kampung, pemeliharaan parit-parit, kuburan-kuburan desa, perpustakaan desa, membangun
gedung-gedung sekolah TK/SD/SMP, puskesmas, merawat saluran irigasi desa, meningkatkan
sanitasi kampung-kampung nelayan, dsb.).
Ketidakmunculan angka afirmatif dalam UU Desa ini, maka hal negatif yang perlu
diantisipasi adalah penyimpangan keuangan desa oleh aparatur pemerintahan desa (kepala desa,
perangkat desa dan anggota-anggota Badan Permusyawaratan Desa) atau pihak ketiga (rentseekers/para pemburu rente). Dengan demikian salah satu kelemahan pokok UU desa ini adalah
anggaran desa dihabiskan atau dihambur-hamburkan, misalnya untuk upacara-upacara adat yang
terlalu sering dilakukan, dikorupsi aparatur desa, untuk diboroskan dengan membeli mobil atau
sepeda motor dinas; untuk studi banding, atau untuk foya-foya.
Refleksi Pengaturan Desa di Era Orde Baru
Sebelum terbentuknya negara modern, desa merupakan entitas sosial yang memiliki
identitas dan kelengkapan budaya asli, tradisi atau pranata lokal yang beragam, sebuah
pemerintahan yang demokratis, dan pernah memiliki otonomi khas (asli) dalam mengatur
kehidupannya sendiri (self governing community).4 Antara desa, kerajaan, ataupun negara
merupakan sama-sama bentuk organisasi yang berbeda kawasannya, namun sama obyek dan
subyek pelakunya, yaitu rakyat.5
Realitas desa di atas, telah mengalami perubahan, yakni kemiskinan, keterisoliran dan
ketidakberdayaan. Tetapi ironisnya, pada masa Orde Lama dan Orde Baru justru diklaim
memberikan kontribusi signifikan terhadap bidang ekonomi dan politik. Reforma
Agraria (di Jawa masa Orde Lama), program pembangunan, transmigrasi, Keluarga
Berencana, kerja bakti, ABRI Masuk Desa (AMD), aktivitas inovasi pertanian (padi varietas
unggul) dan intensifikasi pertanian; semuanya berlangsung di desa. Bahkan dalam
pemilihan umum, para kandidat partai politik mengandalkan dukungan masa yang
berasal dari rakyat desa. Gambaran tersebut sekaligus menunjukkan kecenderungan
obyektifikasi desa oleh tekanan politik dan ekonomi yang umumnya berasal dari luar desa.6

3 Internet
4 Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: LPFE UI,1984), hlm. 1-18. Lihat juga. Prof.
Sayogjo, "Pengantar" dalam Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa,
(Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001), hlm. xiv-xv.

5 Francis Wahono, Bersekongkol atau Saling Kontrol, dalam Duto Sosialismanto, Ibid, hlm. Xxi.

Obyektifikasi desa dalam bentuk regulasi jika ditarik garis waktu sejak zaman Orde Baru
sampai dengan reformasi, pemerintah telah empat kali melakukan pergantian undang-undang
untuk mengatur tentang desa, yaitu UU No. 5 Tahun 1979, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32
Tahun 2004, dan terakhir adalah UU No. 6 Tahun 2014. Keempat undang-undang tersebut,
konsep desa diberi definisi secara beragam, meskipun secara subtansial keempat definisi tersebut
tidak jauh berbeda. Konsekuensi perbedaan definisi desa, secara normatif sangat berpengaruh
pada wewenang yang dimiliki oleh desa.
UU No. 5 Tahun 1979 memberikan definsi desa sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
UU No. 22 Tahun 1999 definisi desa atau nama lain sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Sedang UU No. 32 Tahun 2014 memberikan definisi desa sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui
dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan UU No. 6 Tahun 2014 desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus pemerintahan
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.7
Perbedaan definisi yang terlihat kontras adalah UU No. 5 Tahun 1979, di mana desa
dianggap sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk. Desa hanya diposisikan
hanya sebagai sebuah tempat masyarakat tinggal dan hidup. Sedang UU UU No. 6 Tahun 2014
terdapat penambahan menjadi desa adat sebagai bentuk akomodasi oleh pemerintah terhadap
beberapa desa di daerah yang memiliki keunikan dan berbeda dari desa pada umumnya (desa
adat). UU No. 5 Tahun 1979, desa tidak diberikan hak penuh dalam mengelola pemerintahannya,
namun berada di bawah Camat. Sedang UU berikutnya, desa diberikan kewenangan lebih luas
(otonomi) utuk mengurus daerahnya berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Kata
asal-usul tersebut dianggap menutup pintu partisipasi masyarakat, sehingga kata tersebut
diubah menjadi prakarsa dalam UU terbaru. Dengan menggunakan kata prakarsa diharapkan
dapat mampu membuka partisipasi seluas-luasnya terhadap masyarakat.8
Politik hukum UU No. 5 Tahun 1979 adalah menyeragamkan desa, yakni ada
semangat campur tangan pemerintah pusat terhadap desa. Artinya desa tidak diberikan akses
untuk mewadahi dan memfasilitasi keanekaragaman yang dimiliki. Implikasinya desa tidak lagi
diimajinasikan memiliki keistimewaan dan orisinalitasnya yang beragam, melainkan
6 Irene Heraswati Gayatri, Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh, LIPI,
2007, hlm. 2.
7 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, Undang Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

diperlakukan secara seragam (diseragamkan). Hal tersebut berdampak pada hilangnya hak ulayat
dan hak atas sumber kehidupan, seperti hak atas hutan yang dimiliki desa menjadi milik negara
dan pungutan atas kekayaan alam yang diambil alih oleh pemerintah daerah tingkat I dan II.
Sebagai gantinya pemerintah desa mendapatkan Uang Pembangunan Desa (Bangdes) dari
pemerintah pusat. Di samping itu muncul pula Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai
penampung aspirasi masyarakat. Namun, pimpinan lembaga tersebut dirangkap oleh Kepala
Desa dan Sekertaris Desa.9
Selanjutnya dalam UU No. 22 Tahun 1999 terdapat pergeseran atas posisi dan kewenangan
desa dengan unit pemerintahan di atasnya (negara). Pergeseran itu terutama pada bagaimana otonomi
desa mulai ditekankan kembali setelah sekian lama di bawah sentralisme politik dan penyeragaman desa.
Landasan pemikiran dalam UU ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan
pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Desa dan
menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. Badan Perwakilan Desa (BPD)
mempunyai posisi sangat kuat dan berfungsi sebagai lembaga legislasi, pengawasan dalam pelaksanaan
Peraturan Desa (Perdes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan Keputusan Kepala
Desa. Kepada desa diberikan kewenangan eksplisit yang mencakup: (a) kewenangan yang sudah ada
berdasarkan hak asal-usul desa, (b) kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku
belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, serta (c) tugas pembantuan yang diberikan oleh
pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten. Ruang kosong kewenangan
pemerintahan yang belum diisi oleh pemerintah daerah dan oleh pemerintah pusat, menurut UU ini
sebenarnya boleh diambil oleh desa, tetapi realitasnya tidak mudah diisi.10
Kemudian dalam UU No. 32 Tahun 2014 menempatkan desa bukan sekadar sebagai komunitas
yang memerintah sendiri (self-governing community), melainkan juga pemerintahan lokal yang
mandiri (local self government). Namun demikian, pada saat yang sama UU ini memperkenalkan
konsep urusan pemerintahan. UU ini hanya membagi urusan pemerintahan dan pada saat yang sama
tidak membagi kewenangan pemerintahan. Artinya kewenangan desa mengikuti urusan yang diberikan
oleh pemerintah di atasnya. Istilah otonomi desa dalam UU ini didefinisikan secara terbatas, yakni
dilaksanakan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab yang diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian dan perimbangan keuangan.11
8 Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Urgensi UU No. 6 Tahun 2014 Dalam Konteks Desa-Desa Di Jawa Timur,
Disampaikan pada Sosialisasi dan Bintek Pengembangan Kapasitas Camat dan Kepala Desa Untuk Menunjang Tatakelola Desa
Mandiri, Sejahtera dan Partisipatoris Berbasiskan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, September-Nopember 2014, Hlm. 12.

9 Ibid, Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Hlm. 12.


10 Ibid, Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Hlm. 13.
11 Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah/desa diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Daerah/Desa memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah/desa untuk memberi pelayanan, peningkatan
peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,

Terdapat dua prinsip utama pembagian kewenangan dalam UU ini, yaitu: (1) kewenangan
pemerintah yang secara absolut tidak dapat dilimpahkan kepada daerah/desa karena menyangkut
kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara, antara lain meliputi politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama; dan (2) tidak ada urusan pemerintah yang
sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah/desa. Sedangkan bagian-bagian kewenangan pemerintahan
yang diserahkan kepada daerah/desa hanya kewenangan yang menyangkut kepentingan masyarakat
setempat, dan atas dasar prinsip ini kewenangam yang dimiliki desa secara otonom hanya akan terjadi
pada kewenangan asal-usul saja sebagaimana dalam pasal 206 huruf a.
Otonomi desa yang dikandung dalam semangat UU No. 32 Tahun 2004 bersifat pemberian
dan bukannya bawaan, yaitu kewenangan yang diperoleh atas dasar pemberian oleh unit
pemerintahan yang lebih tinggi. Sedangkan hak bawaan merupakan serangkaian hak yang muncul
dari suatu proses sosial, ekonomi, politik dan budaya dari suatu masyarakat hukum tertentu, termasuk
hasil dari proses interaksi dengan persekutuan-persekutuan masyarakat hukum lainnya. 12 Otonomi
sebagai hak berian itu secara implisit masih menggambarkan bahwa desa pada dasarnya masih belum
otonom sejauh tidak diberikan otonomi oleh pemerintahan di atasnya (negara). Semangat otonomi
terbatas (pemberian) dijelaskan secara lebih detail dalam PP No. 72 Tahun 2005. Pasal 7 PP itu
menyatakan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: (a) urusan pemerintahan
yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; (b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan (d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh
peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Dalam hal pemerintahan desa, UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan pemerintahan desa terdiri
dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban
untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memberikan
laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada masyarakat. Kepala Desa tidak lagi bertanggung jawab kepada BPD
sebagaimana ketentuan pada UU sebelumnya. Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di
tingakt desa, ditegaskan bahwa sekretaris desa (Sekdes) diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang
artinya seorang pejabat/pegawai karier
Politik Hukum Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Jika merunut ke belakang, landasan yuridis politik hukum pemerintahan desa dapat
digambarkan sebagai berikut:13

wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah/Desa. Sedangkan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah/Desa termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian
utama dari tujuan nasional.
12 Taliziduhu Ndraha, Desa Masa Depan, Garis Depan Demokrasi, dalam Angger Jati Wijaya, et.al., Reformasi
Tata Pemerintahan Desa menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekejasama dengan YAPPIKA dan
Forum LSM DIY, 2000.

No
.
1.

2.

Perundangan

Desa

Regeringsreglement (RR) Mengatur tentang pengesahan dan pemilihan Kepala Desa


Pasal 71, Tahun 1854.
dan Pemerintah Desa, serta hak Desa untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.
Osamu Seirei No. 7
Pemilihan dan pemberhentian kepala desa, dan sebutan
tahun 2604 (1944)
kepala desa sebagai Kuco.

3.

UU No. 1 Tahun 1945

Tidak ada pengaturan tentang desa secara eksplisit

UU No. 22 Tahun 1948

UU No. 1 Tahun 1957

UU No. 19 Tahun 1965

7.

UU No. 5 Tahun 1974

8.

Ketetapan MPR Nomor


IV/MPR/1978 tentang
GBHN

9.

UU 5 Tahun 1979

10.

UU 22 Tahun 1999

11.

UU 32 Tahun 2004

Kemungkinan atau mengarahkan desa sebagai Daerah


Otonom Tingkat III
Kemungkinan dibentuk Daerah Otonom Tingkat III,
namun harus hati-hati
Desa ditempatkan sebagai Daerah Tingkat
III dengan tata dan sebutan Desapraja
Mengaturan tentang pemerintahan Desa yang berdasar
perundang-undangan tersendiri.
Berisi: memperkuat pemerintahan desa agar makin
mampu menggerakkan masyarakat datam partisipasinya
dalam pembangunandan penyelenggaraan administrasi
desa yang makin meluas dan efektif. Untuk itu perlu
disusun Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa.
Desa berkedudukan langsung di bawah Camat, dimana
Camat merupakan Kepala Wilayah yang menjalankan
satuan pemerintahan vertikal (dekonsentrasi).
Desadiatur
dalam suatu undang-undang
dengan
Pemerintahan Daerah. Desa merupakan subsistem dari
pemerintahan yang pengaturannya lebih lanjut
diserahkan
kepada daerah Kabupaten
dengan
membentuk Perda. Tanpa ada penjelasan lanjut
mengenai subsistem, maka posisi desa berada di dalam
atau di luar rumah tangga kabupaten.
Desa kembali ditempatkan dalam
undang-undang
mengenai Pemerintahan Daerah, yang menempatkan
desa di dalam pemerintahan Kabupaten/Kota.

13 Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis dan
Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Universitas Warmadewa Denpasar, Volume 17 No.
2, Juli 2011, Hlm. 170.

Selanjutnya arah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana telah disahkan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 15 januari 2014, bertujuan: (1) Memberikan
pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan
sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Memberikan kejelasan status
dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; (3) Mmelestarikan dan memajukan adat,
tradisi, dan budaya masyarakat desa; (4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi
masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama; (5)
Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung
jawab; (6) Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum; (7) Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa
guna mewujudkan masyarakat desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari
ketahanan nasional; (8) Memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional; dan (9) Memperkua tmasyarakat desa sebagai subjek pembangunan.14
Sedangkan asas pengaturan dalam UU Desa ini adalah: (1) Rekognisi, yaitu pengakuan
terhadap hak asal usul; (2) Subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan
pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa; (3) Keberagaman, yaitu
pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, tetapi
dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (4)
Kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling
menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur masyarakat desa dalam membangun
desa; (5) Kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun
desa; (6) Kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu kesatuan
keluarga besar masyarakat desa; (7) Musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang
berkepentingan; (8) Demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu
sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan masyarakat
desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa diakui,
ditata, dan dijamin; (9) Kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa
dan masyarakat desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya
dengan kemampuan sendiri.15
Pertimbangan disahkannya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 adalah: (1) Bahwa desa
memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Bahwa dalam perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga
perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga
dapat menciptakan landasan yang kuat dalammelaksanakanpemerintahan dan pembangunan
menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera; (3) Bahwa desa dalam susunan dan tata
cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undangundang.16
14 Pasal 4 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia, Bandung, 2014, Hlm. 5-6.
15 Pasal 3 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia, Bandung, 2014, Hlm. 5.

Konsideran di atas, didasarkan atas landasan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu
pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam
susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan
kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan
perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Lebih lanjut juga disebutkan, dengan konstruksi
menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan
masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa
menjadi Desa dan Desa Adat.
UU ini memberikan posisi yang kuat kepada kepala desa dan memperkenalkan lembaga baru
yang disebut musyawarah desa yang merupakan sebuah forum permusyawaratan yang diikuti oleh BPD,
Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis.
Artinya, setiap desa harus menghidupkan sebuah forum politik yang inklusif di mana persoalan strategis
dimusyawarahkan bersama. Dengan demikian diharapkan masyarakat desa akan berkembang menjadi
komunitas yang kohesif.
Dalam pengelolaan pembangunan, UU ini menggunakan dua pendekatan, yaitu Desa
membangun dan membangun Desa. Penggabungan pendekatan itu dimaksudkan agar pembangunan
desa efektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan
prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan
secara berkelanjutan. Untuk itu, desa harus menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan
kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Dokumen rencana
pembangunan desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di desa dan sebagai dasar
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Perencanaan pembangunan desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat desa
melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa, yang menetapkan prioritas, program, kegiatan,
dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya
masyarakat desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Pembangunan
desa dilaksanakan dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya
alam desa. Sementara itu, pelaksanaan program sektor yang masuk ke desa diinformasikan kepada
pemerintah desa dan diintegrasikan dengan rencana pembangunan desa.
Kebersamaan dan kohesivitas akan lebih mudah direalisasikan jika ditegakkan tanpa transparansi.
Masyarakat desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai rencana dan
pelaksanaan pembangunan desa. Menyadari sangat pentingnya tranparansi, UU ini mengharuskan
dikembangkannya sistem informasi desa yang bisa diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku
kepentingan.
Potensi Permasalahan Sosial Budaya
Banyak sekali perubahan mendasar dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, mulai dari
pengelolaan keuangan desa, pembagian kekuasaan politik desa, pengelolaan sumber daya dan
strategi pembangunan desa-desa di Indonesia. Perubahan-perubahan itu nampaknya tidak mudah
untuk disinkronisasikan dengan realitas masyarakat pedesaan terkini dan berpotensi
menimbulkan permasalahan baru dalam kehidupan sosial budaya. Potensi permasalahanpermasalahan sosial budaya dalam UU ini, dapat dipetakan sebagai berikut:

16 Konsideran Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fukusmedia, Bandung, 2014, Hlm.1

1. Konsep desa dan desa adat


Pengertian desa adat berbeda antara sebelum terbitnya UU Desa ini dengan sesudah
terbitnya UU ini. Di Bali. Pengertian desa adat adalah tempat pelaksanaan ajaran agama dalam
sepirit takwa, etika, dan upacara yang bertalian pada wilayah pawongan (warga/krama desa),
palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan dalam UU ini, desa
adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat. Perbedaan konsep desa adat ini dapat diapstikan menimbulkan gejolak di
kemudian hari.
Ketentuan Pasal (6) UU Desa, bahwa desa terdiri dari desa dan desa adat, tetapi
penjelasan pasal 6 dinyatakan bahwa dalam satu wilayah hanya terdapat desa atau desa adat dan
untuk daerah yang sudah terjadi tumpang tindih antara desa dan desa adat dalam satu wilayah
harus dipilih salah satu jenis sesuai dengan ketentuan UU Desa itu. Implikasi dari ketentuan ini
akan menyebabkan desa adat (Desa Pakraman) di Bali akan hilang, karena semata-mata ingin
mendapatkan dana bantuan Rp. 1 miliar dari APBN. Nama Desa Pakraman mungkin masih ada,
tetapi ruhnya akan hilang karena harus dilantik dan diatur kepengurusannya oleh pemerintah.
Padahal keberadaan desa dinas dan desa adat di Bali sudah berjalan baik dan mempunyai
fungsinya berbeda, yaitu desa dinas mengurusi pemerintahan dan desa pakraman mengurusi
adat.17
Hal yang sama adalah ketentuan Pasal 37 ayat (1), bahwa kepala desa dan perangkat desa
diberikan penghasilan tetap setiap bulannya dan atau tunjangan. Penggajian terhadap kepala
desa, sekretaris desa, dan perangkat desa, merupakan tindakan yang kontra-produktif dengan
prinsip otonomi desa masa lalu yang tidak mengenal penggajian karena kerja mereka dianggap
pengabdian. Artinya penggajian ini tidak memiliki alasan filosofis-sosiologis desa sebagai
entitas otonom. Sepetinya penggajian ini hanya didasarkan pada alasan hak sebagai orang yang
sudah bekerja, orang yang sudah mendapatkan SK (Surat Keputusan) pengangkatan sebagai
kepala desa, sekretaris desa, dan atau perangkat desa. Dan implikasi sosiologis-strukturalnya
adalah sangat mungkin para perangkat desa itu tetap dan memiliki kecenderungan besar
mengabdi kepada negara, bukan kepada rakyat meski di pasa-pasal lain diatur peran dan tugas
mereka sebagai pamong rakyat.
2. Alokasi Dana Desa
Setiap desa akan mendapatkan dana alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) paling sedikit 10 persen setiap tahunnya. Maka, dapat diperkirakan setiap desa
akan mendapatkan dana sekitar 1.2 hingga 1.4 Miliar setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan
17 Pastika, Implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6),
seperti dikutip Antara.

dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10 persen dari dana transfer daerah menurut APBN untuk
perangkat desa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen
sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah Rp. 104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72
ribu desa se-Indonesia.
UU Desa ini ingin mendelegasikan secara penuh kekuasaan mengelola anggaran desa
(rata-rata 1,4 Milyar/Desa) setiap tahun. Padahal selama ini desa belum berpengalaman
mengelola anggaran sebesar itu. Di sisi lain pada otonomi daerah di level lebih tinggi
(provinsi/kabupaten/kota) menunjukkan banyak sekali kepala daerah yang terjerat masalah
hukum akibat korupsi. Artinya dengan total dana sebanyak itu, tidak mustahil akan
diselewengkan oleh perangkat desa yang tidak bertanggungjawab.
Sebenarnya inilah titik paling kritis ketentuan dalam UU Desa 2014 dibanding
substansi materi undang-undangnya, yaitu gejala-gejala negatif yang tidak mampu diduga
dengan diberikannya dana sebesar 1 Milyar kepada desa. Ekses-ekses negatif dengan adanya
dana 1 Milyar tersebut akan terjadi jauh lebih cepat dibanding kemampuan desa untuk
mengorganisir dan menginternalisasi pengetahuan dan pranata-pranata baru di dalam
masyarakat. Uang akan menumbuhkan inkonsistensi dan inkoherensi pranata dan relasi sosial
desa yang kontraproduktif dengan ide-ide kebaikan dalam UU Desa 2014. Logika ontologisnya
adalah akibat masuknya UU Desa 2014 justru menguatkan kesadaran realitas masyarakat
bahwa penguasa semakin berkuasa dan yang tidak berkuasa tetap dalam kondisi lemah dan
uang menjadi tidak punya makna.18
3. Masa Jabatan Kepala Desa
UU Desa ingin membumikan praktek demokrasi elektoral di tingkat terbawah melalui
pemilihan kepala desa secara serentak di sebuah kota/kabupaten sebagaimana pemilu legislatif
dan presiden, padahal saat ini masyarakat menyaksikan bagaimana politik itu dinodai oleh
praktek politik uang, intimidasi dan oligarkhi kekuasaan yang akut.
Masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali dalam 3 periode,
boleh berturut-turut atau tidak. Masa jabatan yang tergolong lama ini, ditakutkan akan lahir
raja-raja kecil di desa. Terlebih lagi dengan kewenangan yang diberikan pada setiap kepala
desa cukup bebas dan keuntungan-keuntungan menjadi kepala desa yang dapat menggiurkan
bagi setiap orang, memungkinkan seseorang dengan segala cara agar dapat menduduki jabatan
sebagai kepala desa. Untuk itu, masyarakat desa harus jeli memilih kepala desa yang memang
berkompeten dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan yang ada di desanya. Dengan
menggunakan pemilihan secara langsung, masyarakat desa diharapkan mampu menempatkan
orang-orang terbaik di desanya pada setiap posisi di perangkat desanya, terlebih pada posisi
kepala desa. Tingkat kepedulian masyarakat desa dalam berdemokrasi, secara tidak langsung,
juga akan berpengaruh dalam pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penempatan orang
baik dan memang mampu mengatasi permasalahan desa pada tingkat kepala desa, dipastikan
18 Emil E. Elip, Desa, UU Desa 2014 dan Perubahan Sosial,
tp://sosbud.kompasiana.com/2014/03/12/desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial-641031.html

akan berdampak positif dalam perubahan-perubahan yang terjadi ke depannya. Sebaliknya, jika
salah memilih, bukan malah mengatasi permasalahan tetapi akan menimbulkan permasalahan
baru yang mungkin lebih besar lagi.
Masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih untuk tiga periode masa jabatan, sebenarnya belum
cukup bagi Kepala Desa untuk memaksimalkan program kerja dan visi misinya. Apalagi dengan
diperbolehkan menjabat selama tiga periode, akan dapat menghambat kaderisasi kepemimipinan
di tingkat desa. Disamping itu, masa jabatan yang enam tahun akan mendorong stabilitas politik
desa terguncang kembali setiap enam tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa pemilihan
kepala desa sering menorehkan luka, dendam berkepanjangan dan menimbulkan konflik
horizontal/vertikal bagi para pihak terkait yang sulit dihilangkan dalam beberapa tahun. Acapkali
pihak-pihak yang kalah/dirugikan menjegal program-program kepala desa terpilih, sehingga
menghambat kelancaran peyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Apalagi
sesuai UU Desa yang baru, biaya pemilihan kepala desa menjadi beban APBD Kabupaten/Kota,
sehingga dengan periode jabatan yang singkat, biaya Pilkades akan membebani APBD.
4. Kedudukan Desa Dalam Ketatanegaran
Kedudukan Desa (atau nama lainnya), dalam UUD 1945 Pasal 18B (2) Negara
memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap desa sebagai kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan UndangUndang.19
Landasan ini memisahkan antara satuan pemerintahan daerah yang diberi otonomi
dengan kesatuan masyarakat hukum. Urusan yang dikelola oleh satuan pemerintahan daerah
menunjukkan pemencaran kekuasaan, sementara, sepanjang masih ada, urusan yang dikelola
oleh Desa merupakan pengakuan. Tentunya tetap dimungkinkan terdapat tugas pembantuan yang
diberikan oleh Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat.
Dalam (Pasal 1) UU ini, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedang kedudukan desa tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut,
yaitu: Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan dalam pasal 5, Desa berkedudukan di wilayah
Kabupaten/Kota .
Ketentuan di atas menegaskan kedudukan Desa sebagai bagian dari Pemerintahan
Daerah. Hal ini pula yang menjadikan Peraturan Desa atas dasar Ketetapan MPR No. III/MPR/
19 Rosjidi Ranggawidjaja, "Pasal 18B ayat (2), dalam Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN FH Unpad, 2013.

2000 (vide Pasal 3 ayat (7) huruf c) dan UU No. 10 Tahun 2004 (vide Pasal 7 ayat (2) huruf c)
sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari peraturan daerah.
Tetapi dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Praturan Perundang-undangan,
Peraturan Desa tidak dikategorikan sebagai peraturan daerah, walaupun undang-undang tersebut
mengakui keberadaan peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa atau pejabat yang
setingkat (vide Pasal 8 ayat (1)).
Dengan demikian pemerintahan desa yang ada sekarang adalah kelanjutan dari
pemerintahan desa jaman dahulu, hanya saja pemerintahan desa sekarang sudah kehilangan
rohnya sebagai desa yang mandiri. Desa yang ada sekarang bukan lagi sebagai inlandsche
gemeenten, yaitu sebagai pemerintahan asli bangsa Indonesia. Pemerintahan Desa sekarang
lebih tepat disebut pemerintahan semu atau bayang-bayang (quasi government organization).20
Sedangankan kedudukan Kepala Desa, sejak UU No. 5 Tahun 1979 sampai dengan UU No. 6
Tahun 2014, melakukan penyeragaman terhadap kedudukan dan pengsian jabatan kepala desa
serta penghasilan pemerintah desa. Konkritnya adalah: (1) kedudukan Kepala Desa adalah
sebagai pimpinan Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain dan dibantu oleh
perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain (Pasal 25 UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun
Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa (Pasal 34 (1)), pengesahan (Pasal 37 (5)) dan
pelantikan (Pasal 38 (1)) Kepala Desa dilaksanakan oleh Bupati/Walikota; dan (2) pelantikan
tersebut linier dengan penghasilan Kepala Desa. Pasal 66 (1) melegitimasi bahwa Kepala Desa
dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan ditambah dengan jaminan
kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah (ayat (4)). Penghasilan tetap
Kepala Desa dan perangkat Desa bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 66 ayat (2)).
Selain penghasilan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 66 ayat (3)). Skema sumber
pendapatan Kepala Desa tersebut menunjukkan ketergantungan keuangan yang cukup besar bagi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Gerusan terhadap otonomi Desa pun diperkuat lagi dalam
pembentukan Desa. Walaupun belum tentu sifat asal-usul dan hak-hak tradisional masyarakat
Desa serta merta hilang karena kebijakan pemekaran Desa, keberadaan Desa secara formal tidak
lagi merupakan komunitas sosial yang tumbuh melalui ikatan sosiologis.
UU ini juga tidak melakukan perubahan status kepala desa menjadi pejabat negara. Hal
ini disebabkan kepala desa sejak dahulu, walaupun memimpin satuan pemerintahan yang bersifat
otonom (desa) tidak bertindak untuk dan atas nama negara sebagaimana karakter yang melekat
pada pejabat negara.Namun tetap sebagai pejabat pemerintahan karena merupakan salah satu
penyelenggara pemerintahan desa.
5. Kedudukan Camat
Secara sosiologis hubungan antara kecamatan dengan desa adalah bersifat sistemik,
artinya saling ketergantungan, saling mempengaruhi dan berinteraksi secara langsung dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan desa. Praktek interaksi sistemik kecamatan dan desa
didasarkan pada pandangan bahwa desa memiliki beragam keterbatasan, yaitu: keterbatasan
kapasitas aparatur, keterbatasan sarana-prasarana dan keterbatasan manajemen pemerintahan
20 Ibid, Rosjidi Ranggawidjaja, 2013.

desa. Artinya potret keterbatasan desa di atas, pemerintahan desa membutuhkan pembinaan
langsung dari kecamatan. Hanya permasalahannya UU Desa ini tidak memberikan legitimasi
kewenangan kepada Camat terhadap desa selaku atasan Kepala Desa.21
Pola hubungan kecamatan dan desa seperti itu, seharusnya diatur dengan kewenangan yang
jelas, walaupun secara formal Camat tidak ditempatkan sebagai atasan langsung Kepala Desa
atau sejajar. Padahal secara empiris Camat adalah atasan riil Kepala Desa, artinya Camat
yang sehari-hari memberikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa
dan tempat kades dan perangkat desa berkonsultasi menyangkut pelaksanaan tugas dan
kewajiban.
Di dalam UU Desa yang terdiri 122 pasal, hanya dua ayat yang memberikan
kewenangan kepada Camat dan itupun bukan kewenangan substantif, yaitu Pasal 49 ayat 3 dan
Pasal 53 (3) Kepala Desa akan mengangkat/memberhentikan perangkat desa terlebih dahulu
berkonsultasi dengan Camat An. Bupati/Walkota. Namun demikian masih ada peluang bagi
kewenangan Camat, yaitu Pasal 112 (2), bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan
pengawasan kepada desa, Bupati/Walikota dapat mendelegasikan kepada perangkat daerah.
Sehinga kuncinya ada di tangan Bupati/Walikota untuk memberikan delegasi kepada Camat
untuk memaksimalkan tugas dan kontribusinya bagi praktek penyelenggaran pemerintahan,
tugas-tugas pembangunan, pembinanan serta pemberdayaan masyarakat.
Tiga alasan perlunya keterlibatan Camat dalam pembinaan dan pengawasan jalannya
pemerintahan desa, yaitu: (1) Karena dimungkinkan atau diberi pelung oleh peraturan
perundang-udangan; (2) Untuk efektifitas dan efisiensi pembinaan dan pengawasan, karena
Camat dan jajarannya yang beriteraksi dan berhubungan langsung dengan Kepala Desa dan
perangkat desa; dan (3) Dalam konteks sistem pemerintahan Republik Indonesia dalam peraturan
perundangan yang berlaku, desa disamping sebagai entitas yang mempunyai hak otonomi, desa
juga diberi peran sebagai bagian dari entitas administrasi negara dengan tugas-tugas pelayanan
publik dan tugas-tugas birokrasi. Oleh karena itu menjadi relevan kalau Desa mendapat
pembinaan dan pengawasan dari aparatur birokrasi (Camat).22
Penutup
Filosofis keanekaragaman, perlindungan, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan
pemberdayaan masyarakat, sebenarnya sudah menjadi cita hukum politik hukum pemerintahan
desa dalam UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan). Tetapi i de dasar pluralisme hukum
dengan penempatan desa sebagai desa adat (self governing community) atau desa otonom (local
self government), maupun desa administratif (local state government), secara bergantian
berubah-ubah seiring dengan keberlakuan UU organiknya.
Sebagai UU organik, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mencantumkan
kebijakan-kebijakan yang progresif dan strategis bagi kemajuan dan perkembangan
desa. UU ini juga menghargai eksistensi desa dan peranan aparatur desa dan secara
tegasa memberikan ancaman pemberian sanksi kepada kepala desa yang tidak
21 Irawan Rumekso, Makalah Telaah Kritis Terhadap Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa.
22 Ibid, Irawan Rumekso.

menjalankan kewajibannya. Sanksinya bisa teguran tertulis, pemberhentian sementara


dan pemberhentian tetap. Hal ini tentu positif untuk mendorong kinerja dan disiplin
pemerintah desa.
Sedang kelemahan dari UU ini adalah terletak pada pengertian desa adat yang berbeda
dengan pengertian masyarakat desa adat itu sendiri. Perbedaan ini mungkin saja akan
menimbulkan dampak dikemudian hari jika tidak ditanggulangi sejak diri. Dana alokasi yang
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong cukup besar
terhadap setiap desa per tahunnya, juga bisa menjadi permasalahan jika tidak diawasi secara
maksimal dan berkala. Kemudian, tidak adanya pembahasan secara khusus pada UU Desa
tentang penempatan perempuan minimal 30 persen pada perangkat desa. Dan yang terpenting
adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa untuk menjalankan UU
Desa ini dan tentunya akan berdampak terhadap tata kelola pemerintahan desa itu sendiri.

Daftar Bacaan

Anwar, Chairul, Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri,
1999.
Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta : Asosiasi Advokat Indonesia, 2009.
Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis,
Yuridis dan Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Universitas
Warmadewa Denpasar, Volume 17 No. 2, Juli 2011

Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, Yogyakarta:


LAPERA Pustaka Utama. 2001.
Emil E. Elip, Desa, UU Desa 2014, dan Perubahan Sosial, htp://sosbud.kompasiana .com/2014 /
03/12/ desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial-641031.html
Francis Wahono, Bersekongkol atau Saling Kontrol, dalam Duto Sosialismanto, Hegemoni
Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, Yogyakarta: LAPERA Pustaka
Utama. 2001.
Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Urgensi UU No. 6 Tahun 2014 Dalam Konteks DesaDesa Di Jawa Timur, Disampaikan pada Sosialisasi dan Bintek Pengembangan Kapasitas
Camat dan Kepala Desa Untuk Menunjang Tatakelola Desa Mandiri, Sejahtera dan
Partisipatoris Berbasiskan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, September-Nopember 2014.
Heraswati Gayatri, Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh, LIPI,
2007.
Irawan Rumekso, Makalah Telaah Kritis Terhadap Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa.
Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: LPFE UI,1984.
Pastika, Implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), seperti
dikutip Antara.

Rosjidi Ranggawidjaja, "Pasal 18B ayat (2), dalam Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN
FH Unpad, 2013.
Taliziduhu Ndraha, Desa Masa Depan, Garis Depan Demokrasi, dalam Angger Jati Wijaya, et.al.,
Reformasi Tata Pemerintahan Desa menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
bekejasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY, 2000.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang Undan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa
Undang Undan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tentang Dana Desa

Sebagai contoh, UU Desa ingin mengembalikan egalitarianisme dan semangat gotong


royong (solidaritas) yang khas masyarakat desa, padahal mereka saat ini sudah cenderung
menjadi komunitas yang terbuka dan bergerak ke arah individualisme serta komersialisme
hubungan sosial maupun ekonomi yang masif. UU Desa ingin mendelegasikan secara penuh
kekuasaan mengelola anggaran desa (rata-rata 1,4 Milyar/Desa) padahal otonomi daerah di level

lebih tinggi (provinsi/kabupaten/kota) menunjukkan banyak sekali kepala daerah yang terjerat
masalah hukum akibat korupsi. UU Desa ingin membumikan praktek demokrasi elektoral di
tingkat terbawah melalui pemilihan kepala desa secara serentak di sebuah kota/kabupaten
sebagaimana pemilu legislatif dan presiden, padahal saat ini masyarakat menyaksikan bagaimana
politik itu dinodai oleh praktek politik uang, intimidasi dan oligarkhi kekuasaan yang akut. UU
Desa ingin mengakui hak adat dan ulayat pribumi asli termasuk tata kelola pemerintahannya
padahal banyak sekali komunitas Adat yang sudah terlanjur lenyap dan kalaupun tersisa tidak
lagi dihayati oleh anggota masyarakatnya karena hanya menjadi desa dinas yang lebih taat
kepada aturan nasional daripada hukum adat. UU Desa ingin mengembalikan penguasaan
terhadap sumber daya dan aset desa kepada masyarakat setempat, padahal saat ini sumber daya
itu sudah banyak yang terlanjur dikuasai oleh kapitalis akibat liberalisasi ekonomi tanpa kendali.
Bahkan, beberapa Kepala Daerah dan tokoh masyarakat, semisal dari Bali, sudah berencana akan
melakukan judical review terhadap beberapa pasal dalam UU Desa ini yang dianggap akan
mengganggu keberlanjutan desa adat (pakraman) dan kesinambungan sosial budaya di Bali.
Bukan hanya Bali, Sumatera Barat dan sebagian besar masyarakat Adat di Sumatera juga merasa
penyeragaman pemilihan kepala desa secara langsung oleh masyarakat sebagaimana tercantum
dalam UU Desa ini dianggap akan menghilangkan peran adat Ninik Mamak yang selama ini
berperan memilih wali nagari. Kekhawatiran terhadap beragam konflik atas ide pembentukan

desa-desa baru atau penghapusan dan penggabungan beberapa desa sebagai upaya
penataan desa agar sesuai dengan persyaratan UU Desa juga bermunculan. Artinya, percepatan
pebangunan desa yang diharapkan melalui implementasi UU Desa ini bisa saja terhambat oleh
berbagai kendala multidimensi diatas. Disini peran sosiologi sangat penting untuk memberikan
perspektif dan pendekatan selain dari kaca mata administrasi pemerintahan maupun ilmu politik.
Sosiologi harus mampu memberikan penjelasan secara komprehensif terkait kondisi historis
maupun potret desa hari ini beserta dampaknya jika UU Desa ini diimplementasikan. Desa di
Indonesia telah demikian lama diposisikan sebagai secara marginal oleh negara. Desa juga
diposisikan sebagai objek karena dianggap sebagai wilayah tertinggal dengan sumber daya
manusia yang berkualitas dan berpendidikan rendah. Desa ramai-ramai ditinggalkan oleh
penduduk dan tenaga kerjanya akibat dari pembangunan yang timpang di perkotaan. Lahan
pertanian di desa dikonversi menjadi pemukiman, pabrik-pabrik dan saluran irigasi sebagai
jantung pertaniannya hampir tidak pernah tersentuh oleh perbaikan. Hubungan kekerabatan dan
solidaritas antar warga desa yang dulu menonjol kini makin tergerus dengan hubungan-hubungan
kontraktual berbasis kepentingan ekonomi. Tanah atau lahan yang identik menjadi milik orang
desa kini juga tidak lagi sepenuhnya dikuasai, sebaliknya malah banyak yang berpindah tangan
dan orang desa kehilangan sebagian besar tanahnya. Desa mau tidak mau harus ikut berkompetisi
dan bersaing dengan modal yang demikian minim. Spirit UU Desa ini salah satunya adalah
mendorong percepatan pembangunan di desa sekaligus mendorong desa-desa agar mandiri
secara ekonomi dengan kebebasan merencanakan arah pembangunan yang dianggap penting bagi

mereka. Sebagai contoh, desa memiiki kewenangan untuk memanfaatkan teknologi tepat guna,
melakukan investasi, menyisihkan dana desa untuk membeli aset-aset strategis di desa dan lain
sebagainya. Disinilah kemudian dilema sosial itu muncul, di satu sisi warga desa ingin
menikmati kesejahteraan yang setara dengan desa-desa lain bahkan dengan perkotaan, namun di
sisi lain desa juga belum rela jika adat dan tradisi yang telah bertahan ratusan tahun itu lenyap
akibat pola penyeragaman pengaturan desa-desa ini. Melihat dilema UU Desa - baik secara
substansi filosofis, historis maupun sosiologis di atas, diperlukan sebuah tinjauan dan
pembacaan ulang secara lebih komprehensif, terutama dari sudut pandang warga desa sebagai
subjek pembangunan itu sendiri. Selama ini, mereka yang memperjuangkan UU Desa adalah
para elit desa yang berusaha mencari jalan keluar dari dilema peran dan kekuasaan politiknya
masing-masing. Perlu dibangun model implementasi UU Desa yang mampu mengintegrasikan
faktor-faktor kearifan lokal (Adat), potensi Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia,
Teknologi Tepat Guna dan Infrastruktur fisik maupun sosial ekonomi lainnya agar menjadi satu
kesatuan yang saling mengisi dalam mengartikulasikan UU Desa agar dapat bermanfaat seluasluasnya bagi keberlanjutan desa dengan segala isinya.
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Provinsi Bali akan menyiapkan tim dan
bahan untuk melakukan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa karena keberadaan desa di provinsi itu berbeda dengan di daerah lain.
"Memang langkah berikutnya menurut saya harus `judicial review`. Jadi saya minta tim
mempersiapkan itu. Harus, tidak bisa tidak, supaya Indonesia tahu bahwa Bali ini lain. Kita tidak
bisa disamakan begitu saja. Makanya Bali itu harus menjadi daerah otonomi khusus atau daerah
istimewa dan kesempatan ini sebenarnya menjadi pintu masuk," kata Gubernur Bali, Made
Mangku Pastika, saat mengadakan rapat koordinasi dengan bupati/wali kota se-Bali terkait
Permasalahan-Permasalahan Sosial Budaya
implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), seperti dikutip Antara.

Dalam Pasal 6 UU Desa disebutkan bahwa desa terdiri dari desa dan desa adat. Namun
penjelasan pasal 6 itu menyatakan bahwa dalam satu wilayah hanya terdapat desa atau desa adat.
Dalam penjelasan pasal itu juga menyebutkan untuk daerah yang sudah terjadi tumpang tindih
antara desa dan desa adat dalam satu wilayah harus dipilih salah satu jenis sesuai dengan
ketentuan UU Desa itu.
Pastika mengkhawatirkan implikasi dari pemberlakukan UU Desa itu akan menyebabkan desa
adat (desa pakraman) di Bali akan hilang, karena semata-mata ingin mendapatkan dana bantuan
Rp1 miliar dari APBN. Mungkin juga namanya tetap desa pakraman namun ruhnya hilang
karena nantinya harus dilantik dan diatur kepengurusannya oleh pemerintah. Padahal selama ini
keberadaan desa adat bersifat otonom.

"Sebenarnya selama ini keberadaan desa dinas dan desa adat di Bali sudah berjalan baik-baik
saja, karena fungsinya berbeda. Desa dinas mengurusi pemerintahan dan desa pakraman
mengurusi adat," kata dia.
Namun, menurut dia, justru aturan yang baru dalam UU Desa untuk menyeragamkan keberadaan
desa telah memicu timbulnya masalah di Bali. Hal itu akibat yang menyusun UU tersebut tidak
paham dengan pembagian desa di Pulau Dewata serta tidak mengonsultasikan terlebih dahulu.
"Tetapi karena sudah terjadi berarti memang langkah berikutnya menurut saya harus `judicial
review`," tegas Pastika.
Mantan Kapolda Bali itu meminta para bupati/wali kota se-Bali turut memikirkan secara serius
persoalan tersebut dan turut menyosialisasikan supaya para bendesa (pimpinan desa adat)
mengerti dan tidak hanya mengarahkan pikiran untuk mendapatkan dana bantuan pemerintah
sebesar Rp1 miliar.
Pihaknya juga tidak percaya kalau desa adat yang satu bisa digabungkan dengan desa adat yang
lain, karena masing-masing memiliki kuburan dan Pura Kahyangan Tiga.
Potensi Degradasi
Sementara itu, Kepala Biro Hukum Pemprov Bali, I Wayan Sugiada, mengemukakan beberapa
permasalahan yang akan muncul apabila desa adat yang ditetapkan, di antaranya terdapat
beberapa wilayah desa adat terletak di kecamatan atau kabupaten yang berbeda (saling seluk). Di
Bali ada 716 desa dinas dan 1.488 desa adat sehingga rentan menimbulkan konflik besar, apalagi
kalau sampai terjadi penggabungan desa adat.
"Dengan adanya bantuan dana, maka dimungkinkan desa adat akan membentuk desa adat baru.
Belum lagi masalah kependudukan bagi penduduk yang tinggal di desa adatnya sekarang.
Konsep `ngayah` atau gotong-royong secara ikhlas dari warga desa adat pun akan mengalami
degradasi karena akan berlaku sistem pemerintahan desa yang mengacu pada aturan nasional.
Demikian juga independensi desa adat akan terdegradasi karena harus tunduk pada UU negara,"
kata dia.
Permasalahan lainnya, kata Sugiada, kalau 1.488 desa adat yang didaftarkan, maka jumlah ini
belum tentu juga disetujui oleh pemerintah pusat, serta banyak desa adat yang jumlah warganya
sangat sedikit dan tidak sesuai dengan jumlah minimum yang dipersyaratkan UU.
Sedangkan kalau desa dinas yang ditetapkan atau didaftarkan, maka konsekuensinya desa adat
belum diakui sebagai subjek hukum. Desa adat juga tidak akan hilang karena dijamin oleh UUD
1945 pasal 18B ayat 2. Desa dinas dapat mengadopsi desa adat termasuk mengalokasikan
anggaran yang diperoleh dari pusat sesuai dengan pasal 95 UU Desa.

Soal Anggaran
"Memang desa adat tidak dapat mengakses anggaran pusat secara langsung, tetapi tetap bisa
mendapatkan anggaran dari pemerintah daerah seperti saat ini dan bisa diperkuat dengan perda
dan kemungkinan konflik lebih kecil. Di sisi lain, desa adat akan tetap merasa kurang dihargai
seperti halnya desa dinas padahal beban kerja perangkat desa adat sangat besar termasuk urusan
negara misalnya KB sistem banjar, keamanan lingkungan dan sebagainya," ujarnya.
Bupati Badung, Anak Agung Gde Agung, dalam kesempatan pertemuan itu berpendapat bahwa
desa adat dan desa dinas semestinya harus tetap eksis. "Adat tetap eksis untuk menunjang rohnya
Bali ini karena dasarnya Tri Hita Karana, tetapi di lain pihak desa dinas menjadi perpanjangan
tangan pemerintah," kata dia.
Dia pun tidak setuju kalau desa adat harus tunduk pada aturan, dilantik bupati, dan diatur
kepengurusan oleh bupati. Desa adat, menurut dia, harus tetap otonom.
Lain lagi dengan Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, yang mengajak para pemangku
kepentingan terkait untuk melihat persoalan itu secara menyeluruh, tidak hanya menekankan
pada bantuan, tetapi seharusnya pengembangan makro dan mikro ekonomi.
Sejarawan yang juga akademisi Universitas Udayana, Prof Parimartha, juga mengungkapkan
bagaimana sejarah eksisnya desa adat di Bali mulai sejak Pemerintahan Kolonial Belanda. Dia
mengungkapkan hanya di Bali saja desa adat masih bisa eksis dan di tempat lain sudah punah
menjadi desa dinas. Dia sependapat dengan Gubernur Pastika bahwa perlunya mengajukan
"judicial review".
Penetapan UU Desa ini tak lepas dari penolakan. Di samping, ribuan kepala desa di
seluruh Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan penuh dengan sukacita,
daerah Sumatera Barat menolak UU tersebut. Hal tersebut dikarenakan, menurut
Lembaga

Kerapatan

Adat

Alam

Minangkabau

(LKAAM)

se-Sumatera

Barat,

beranggapan bahwa UU Desa akan melemahkan eksistensi nagari di Sumbar sebagai


satu kesatuan adat, budaya dan sosial ekonomi.
Terlepas dari penolakan dari LKAAM Sumbar, UU ini secara umum mengatur
materi mengenai asas pengaturan, kedudukan dan jenis desa, penataan desa,
kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan
masyarakat desa, peraturan desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan
pembangunan kawasan perdesaan, badan usaha milik desa, kerja sama desa, lembaga

kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, serta pembinaan dan pengawasan. Selain
itu, UU ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa
Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.
Salah satu poin yang paling krusial dalam pembahasan RUU Desa, adalah terkait
alokasi anggaran untuk desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan
Desa. Jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen
dari dan di luar dana transfer daerah. kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk,
angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi. Ini dalam rangka meningkatkan
masyarakat desa. Selain itu, poin-poin lain yang disepakati adalah terkait masa jabatan
kepala desa. Kemudian diatur juga terkait kesejahteraan kepala desa dan perangkat
desa. Baik kepala desa, maupun perangkat desa mendapat penghasilan tetap setiap
bulan dan mendapat jaminan kesehatan.
Di sisi lain, UU Desa juga mengandung kekurangan. Kekurangan pertama,
adanya perbedaan pengertian desa adat menurut UU Desa dengan pengertian desa adat
menurut masyarakat desa adat itu sendiri. Kekurangan kedua, tereletak pada dana
alokasi kepada setiap desa per tahun yang dapat saja disalahgunakan. Kemudian, tidak
menjelaskan secara khusus tentang penempatan perempuan minimal 3o persen pada
perangkat desa. Selain itu, tingkat kesiapan tata kelola yang masih rendah dan
kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa, juga dapat menghambat
tujuan-tujuan yang hendak dicapai setelah pengesahan UU Desa.
Maka dari itu, makalah ini akan menganalisa kelebihan dan kekurangan dari UU
Desa dan juf dalam hal kesiapan tata kelola serta SDM yang ada di desa.

ANALISA
Setiap produk hukum, seperti Undang-Undang, tidak terlepas dari kelebihan dan
kekurangan setelah disahkan. Begitupula dengan UU Desa. Pada bab pendahuluan,
sudah diterangkan secara singkat kelebihan dan kekurangan yang ada di UU Desa. Pada
bab analisa ini, penulis akan menganalisa kelebihan dan kekurangan tersebut.
Kelebihan

Pada UU Desa ini, terdapat poin yang memang sudah dicanangkan sekitar 7
tahun lamanya. Yaitu, adanya aturan yang membahas terkait alokasi anggaran untuk
desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang keuangan desa. Jumlah alokasi
anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana
transfer daerah dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas
wilayah, kesulitan geografi.
Dengan adanya dana alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) tersebut, tentu diharapkan pembangunan di desa semakin baik dan mampu
menyejahterakan masyarakat desa dengan pemanfaatan dana alokasi secara maksimal.
Jika mampu mengelola dengan baik dan bijaksana, maka bukan hal yang mustahil jika
masyarakat desa yang berada di garis kemiskinan dapat berkurang dan mungkin saja
dapat bersaing dengan masyarakat desa lainnya atau bahkan masyarakat global secara
umumnya.
Pada perangkat desa seperti kepala desa juga tidak luput dari pembahasan dalam
UU Desa. kepala desa menurut UU Desa pasal 26 ayat 1, bertugas menyelenggarakan
pemerintahan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat
desa. Pada pasal yang sama di ayat 3 huruf c, dijelaskan bahwa kepala desa menerima
penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta
mendapat jaminan kesehatan. Selain itu, segala hal yang berhubungan dengan kepala
desa, baik itu tugas, wewenang, larangan, hingga masa jabatan seorang kepala desa,
juga tertuang di UU Desa. Pada jajaran perangkat desa lainnya, seperti Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) juga diberikan penjelasan-penjelasan terhadap seperti
apa fungsi BPD, tugas-tugasnya, wewenang, kewajiban, hingga larangan-larangan yang
tidak boleh dilakukan oleh BPD.
Secara umum, UU Desa telah menjabarkan secara sistematis dan mampu
memberikan hak-hak pada setiap desa di Indonesia untuk mengembangkan potensipotensi yang ada di desanya. Dengan adanya UU ini, maka setiap desa dapat
menyejahterakan masyarakatnya sesuai dengan prakarsanya pada masing-masing desa.
Adanya UU ini juga menjadi dasar hukum yang sangat berarti bagi setiap desa, karena
UU ini bisa dijadikan sebagai dasar pijakan dalam menjalankan pembangunan-

pembangunan di desa. Maka, kelebihan UU Desa yang paling terlihat adalah telah
adanya dasar hukum yang jelas bagi setiap desa di Indonesia.
Kekurangan
Di balik kelebihan, tentu terdapat pula kekurangan. Begitupula pada UU Desa.
Ada berbagai kekurangan yang terdapat dalam UU Desa. Tidak hanya dalam segi isi,
namun juga dalam hal penerapannya.
Dari segi isi, terdapat kekurangan terutama dalam pengertian desa adat. Sebelum
terbitnya UU ini, setiap wilayah memiliki pengertian desa adat yang berbeda-beda. Sebagai
contohnya, di Bali. Pengertian desa adat adalah tempat pelaksanaan ajaran agama dalam sprit
takwa, etika, dan upacara yang bertalian pada wilayah pawongan (warga/krama desa), palemahan
(wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan menurut UU Desa, desa adat
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat. Maka dari itu, harus ada penyeragaman pengertian arti desa adat, agar tidak
ada gelojak dikemudian hari.
Masih dalam segi isi UU Desa, dikatakan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana
alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling sedikit 10 persen setiap
tahunnya. Maka, dapat diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1.2 hingga 1.4
miliar setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10 persen dari
dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah
dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah
Rp. 104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia.
Dengan total dana sebanyak itu, tidak mustahil akan diselewengkan oleh perangkat desa
yang tidak bertanggungjawab. Maka, penting adanya pengawasan, dalam hal ini adalah
tugas BPD dan pemerintah daerah setempat, yang dilakuan secara berkala terhadap
setiap desa agar pembangunan desa lebih tepat sasaran. Masalah lainnya juga akan
ditimbul, yaitu adanya perbedaan-perbedaan keadaan atau kondisi desa yang ada di
Indonesia. Ada desa yang memang sudah mandiri dan sudah mampu menyejahterakan
masyarakatnya dengan berbagai cara sebelum adanya lahirnya UU Desa. Akan tetapi,
ada pula desa yang tertinggal dan masih belum belum bisa meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Jika nantinya akan dikucurkan dana alokasi tersebut, dikhawatirkan
akan mubazir bagi desa maju dan akan tetap merasa kekurangan bagi desa tertinggal.
Sekali lagi, peran pengawasan sangat diharapkan mampu mengawasi penggunaan dana
alokasi tersebut agar dana alokasi tersebut tepat sasaran sesuai kebutuhan dan
keperluan masing-masing desa.
Masa jabatan kepala desa juga mungkin saja akan menjadi permasalahan. Pada UU Desa,
dijelaskan masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali dalam 3 periode,
boleh berturut-turut atau tidak. Masa jabatan yang tergolong lama ini, ditakutkan akan lahir
raja-raja kecil di desa. Terlebih lagi, dengan kewenangan yang diberikan pada setiap kepala
desa cukup bebas dan keuntungan-keuntungan menjadi kepala desa yang dapat mengiurkan bagi
setiap orang, memungkinkan seseorang dengan segala cara agar dapat menduduki jabatan
sebagai kepala desa. Untuk itu, masyarakat desa harus jeli memilih kepala desa yang memang

berkompeten dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan yang ada di desanya. Dengan


menggunakan pemilihan secara langsung, masyarakat desa diharapkan mampu menepatkan
orang-orang terbaik di desanya pada setiap posisi di perangkat desanya, terlebih pada posisi
kepala desa. Tingkatan kepedulian masyarakat desa dalam berdemokrasi, secara tidak langsung,
juga akan berpengaruh dalam pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penepatan orang baik
dan memang mampu mengatasi permasalahan desa pada tingkat kepala desa, pastilah akan
berdampak positif dalam perubahan-perubahan yang terjadi ke depannya. Sebaliknya, jika salah
memilih, bukan malah mengatasi permasalahan tetapi akan menimbulkan permasalahan baru
yang mungkin lebih besar lagi.
Masih berkaitan dengan pentingnya masyarakat desa memahami demokrasi,
maka masyarakat desa mau tidak mau harus memiliki pemahaman berdemokrasi itu
sendiri. Salah satu caranya adalah dengan jalur pendidikan. Dengan pendidikan yang
baik dan benar, akan menghasilkan masyarakat desa yang melek berdemokrasi dan juga
dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan-pembangunan di desanya. Ini
berkaitannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda-beda ada pada setiap
desa. Peran pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, juga harus
mampu turun tangan dalam meningkatkan SDM masyarakat desa ini. Mengenai SDM,
juga berkaitan erat dengan tata kelola yang akan dikerjakan oleh perangkat desa. Maka
dari itu, dengan meningkatnya SDM di suatu desa, juga akan berdampak baik terhadap
tata kelola pemerintahan desanya.
Lalu, pada penempatan perangkat desa itu sendiri, UU Desa tidak secara khusus
menjelaskan tentang keberadaan perempuan minimal 30 persen di perangkat desa. Hal
tersebut dianggap penting, karena jangan sampai perempuan-perempuan di desa hanya
akan dijadikan obyek pengaturan, bukan sebagai subyek. Dengan adanya perempuan di
perangkat desa, diharapkan dapat menyalurkan aspirasi perempuan-perempuan
lainnya di desa tersebut.
Dari sekian kelebihan dan kekurangan yang telah disampaikan, UU Desa ini
harus diapresiasikan. UU ini memberikan pengakuan terhadap setiap desa yang ada di
Indonesia sebagai ujung tombak pemerintahan. UU ini juga memberikan keleluasaan
pada setiap desa untuk mengatur pembangunan di desanya yang bertujuan sebesarbesarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat desa.
UU Desa akan berfungsi baik jika semua pihak saling mendukung dan saling
membantu dalam menjalankan amanah UU tersebut. Jika semua pihak mampu
menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan yang diamanahkan, maka bukan tidak

mungkin pembangunan di desa akan semakin baik dan dapat menyejahterakan


masyarakat desa itu sendiri serta membantu pembangunan nasional secara
keseluruhan.

PENUTUP
Kesimpulan
Setiap produk hukum, seperti Undang-Undang , tidak terlepas dari kelebihan dan
kekurangan setelah disahkan. Begitupula UU Desa. Adapun kelebihan UU Desa yang paling
terlihat adalah pemanfaatan UU Desa sebagai dasar pijakan dan dasar hukum yang jelas bagi
setiap desa di Indonesia. Sedangkan, kekurangan UU Desa terletak pada pengertian desa adat
yang berbeda dengan pengertian masyarakat desa adat itu sendiri. Perbedaan ini mungkin saja
akan menimbulkan dampak dikemudian hari jika tidak ditanggulangi sejak diri. Dana alokasi
yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong cukup besar
terhadap setiap desa per tahunnya, juga bisa menjadi permasalahan jika tidak diawasi secara
maksimal dan berkala. Kemudian, tidak adanya pembahasan secara khusus pada UU Desa
tentang penempatan perempuan minimal 30 persen pada perangkat desa. Dan yang terpenting
adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa untuk menjalankan UU
Desa ini dan tentunya akan berdampak terhadap tata kelola pemerintahan desa itu sendiri.
Saran

UNDANG-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah disahkan Pemerintah pada 15
Januari 2014 lalu, secara kebetulan atau tidak, lahirnya hampir bersamaan dengan masa-masa
pemilu legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014. UU tersebut juga dapat
dikatakan merupakan hasil tekanan, demo-demo ke Jakarta dari elite-elit aparat desa (antara lain
yang tergabung dalam Parade Nusantara). Beberapa aktivis LSM ikut membidani konsep
akademis/draf RUU Desa. Sehingga tidak mengherankan bila kelompok-kelompok mereka pula
yang pertama-tama potensial akan mendapatkan keuntungan, baik langsung maupun tidak, dari
UU No. 6 Tahun 2014 tersebut. Selanjutnya yang potensial diuntungkan oleh UU ini adalah
parpol-parpol dan para anggota Dewan yang mengharap dukungan dari para kepala desa dan
warga desa dalam pemilihan umum 2014. UU No.6 tadi tidak mungkin disahkan oleh
Pemerintah tanpa persetujuan DPR-RI yang anggota merupakan orang-orang parpol.
Terlepas dari siapa saja yang terlibat dalam pembuatan naskah UU yang cukup banyak memiliki
kelemahan tersebut, dan apa saja kepentingan yang diusung para pengusung UU No.6 tadi, saya
berpendapat bahwa ada beberapa hal dari UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa dapat diapresiasi.

Kekuatan dan Kelemahan


Salah satu kekuatan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah terlihatnya komitmen Negara
untuk mengakui (rekognisi) dan melindungi desa-desa atau nama lain (sesuai adat masingmasing di daerah-daerah yang sangat beragam) di seluruh Indonesia guna melaksanakan
konstitusi pasal 18 B UUD 1945. Bukan saja desa-desa tersebut diakui secara legal formal oleh
Negara, namun juga diberikan jaminan sumber pendapatan yang pasti yang berasal dari APBN,
dari APBD, serta dari sumber pendapatan asli desa itu sendiri.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU Desa sekilas terlihat sangat indah dan mulia!
Namun bila kita perhatikan proses kelahiran UU No.6 Tahun 2014 yang antara lain adalah
karena desakan-desakan dari Parade Nusantara atau kalangan LSM sebagai kelompok
penekan (pressure group) yang memobilisasi perangkat desa, maka UU tersebut cenderung
bersifat segmented, hanya menguntungkan segmen-segmen tertentu, khususnya kepala desa dan
perangkat desa, LSM dan parpol-parpol. Masyarakat desa dalam UU itu tetap hanya dijadikan
obyek katimbang obyek. Pendekatan kapitalistik dengan menebar uang ke desa dalam UU
tersebut, menurut saya, mirip dengan politik uang (money politics) yang dilegalkan oleh Negara.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa UU tersebut potensial mengandung kelemahankelemahan yang cenderung bersifat counter-productive terhadap cita-cita membangun desa dan
kesejahteraan warga perdesaan. Mengapa? Salah satu faktornya adalah karena UU tersebut
bukan affirmative policy yang memposisikan seluruh rakyat desa sebagai pihak pertama yang
akan mereka bela dan berdayakan. Seharusnya UU ini menentukan angka minimal, misalnya
50% dari total anggaran desa, diwajibkan dialokasikan untuk membangun infrastruktur publik
pedesaan (jalan-jalan desa/kampung, pemeliharaan parit-parit, kuburan-kuburan desa,
perpustakaan desa, membangun gedung-gedung sekolah TK/SD/SMP, puskesmas, merawat
saluran irigasi desa, meningkatkan sanitasi kampung-kampung nelayan, dsb.).
Karena angka afirmatif tersebut tidak dimunculkan dalam UU No.6 Tahun 2014, maka hal
negatif yang perlu diantisipasi adalah penyimpangan keuangan Desa oleh aparatur pemerintahan
desa (kepala desa, perangkat desa dan anggota-anggota Badan Permusyawaratan Desa) atau
pihak ketiga (rent-seekers/para pemburu rente). Jadi itulah salah satu kelemahan pokok UU
tersebut menurut pendapat saya. Jangan sampai anggaran desa dihabiskan atau dihamburhamburkan, misalnya untuk upacara-upacara adat yang terlalu sering dilakukan, dikorupsi
aparatur desa, untuk diboroskan dengan membeli mobil atau sepeda motor dinas; untuk studi
banding, atau untuk foya-foya (termasuk untuk melakukan womanizing.).
Kelemahan kedua UU No. 6 Tahun 2014 adalah tidak adanya affirmative policy agar minimal
30% perempuan ada dalam struktur pemerintah desa dan BPD. Peluang tersebut tetap perlu
dibuka dalam PP/Perda-perda Provinsi/Kabupaten/Kota yang akan menindaklanjuti pelaksanaan
UU No. 6 Tahun 2014. Jangan sampai kaum perempuan perdesaan hanya akan dijadikan obyek
pengaturan, bukannya subyek. Hendaknya penguatan atau revitalisasi adat-istiadat di desa akibat
lahirnya UU tersebut, justru akan semakin memberikan pengayoman dan mendukung kemajuan
kaum wanita perdesaan. Hal tersebut perlu didukung dengan pembiayaan yang memadai yang
dialokasikan dalam Anggaran Desa.

Kelemahan ketiga UU No. 6 Tahun 2014 yaitu mengabaikan pentingnya peran Babinsa dan
babinkamtibmas dalam mendukung ketahanan nasional desa dan warga pedesaan. Babinsa dan
aparat keamanan yang dekat dengan rakyat dan mengayomi rakyat, akan dicintai rakyat.
Babinsa dapat diambilkan dari militer yang menguasai ketrampilan sipil, seperti tutur kata yang
halus, sikap yang bijak tapi tegas, pantang melakukan hal-hal buruk seperti korupsi, pungli,
gratifikasi, kekerasan, pelecehan seksual, dll.. Babinsa dan babinkamtibmas yang kasar dan
melukai hati rakyat harus segera ditindak oleh komandannya.
Sehubungan dengan itu perlu PP, Kemendagri dan Perda yang mengakomodasi peran Babinsa
dan babinkamtibmas, selain perwakilan LSM yang berintegritas, untuk dilibatkan secara terbatas
(agar tidak melanggar peraturan perundangan) dalam Musyawarah Desa dan dalam kegiatankegiatan pendampingan di desa.
Pengakuan Negara terhadap eksistensi desa dan desa adat dalam UU No.6 Tahun 2014 tidak
berarti desa dan desa adat menjadi merdeka, atau tidak mau diatur atau diawasi pemerintah
atasan. Dalam konsep self-governing community di mana pun di dunia, baik dalam Negara
Kesatuan maupun Negara federal, Pemerintah Pusat/pemerintah atasan tetap mempunyai hak
dan kewajiban mengawasi rakyat dalam rangka melindungi keutuhan dan keselamatan Negara
dan Bangsa. Namun, pengawasan tersebut harus luwes tetapi efektif dan tidak boleh
mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat.
Dalam kerangka pemerintahan lokal saat ini, pengawasan tersebut dapat didelegasikan oleh
Pemerintah Pusat kepada Gubernur selaku alat Pusat. Namun, karena kabupaten lebih dekat
kepada desa, maka pengawasan yang lebih efektif terhadap desa-desa sebenarnya ada pada
bupati. Sehubungan dengan itu saya mengusulkan kepada Pemerintah/Kemendagri dan DPR,
agar Revisi UU Pemerintahan Daerah yang saat ini sedang dikerjakan, merubah posisi bupati
yang saat ini sebagai alat daerah saja, menjadi bupati sebagai alat daerah sekaligus alat Pusat
(sebagaimana gubernur). Model peran ganda kepala daerah sebagai alat daerah dan sekaligus
alat Pusat, atau ada yang menyebutnya integrated prefectoral system, saya duga lebih tepat
untuk Indonesia yang menurut saya akan semakin banyak memiliki daerah-daerah otonom baru
dan desa-desa pemekaran baru di masa datang. Saat ini Pemerintah Pusat sangat lemah karena
hampir-hampir tidak mempunyai kepanjangan tangan di daerah-daerah. Buruknya kinerja
otonomi daerah dalam menyejahterakan rakyat selama reformasi ini, menurut dugaan saya, salah
satunya adalah karena kebijakan otonomi daerah yang kurang tepat, di samping karena karena
lemahnya pengawasan dan pendampingan Pusat (khususnya Kemendagri) terhadap pemdapemda.
Terkait dengan masalah tersebut, maka pemilihan kepala daerah secara langsung atau pemilihan
kepala daerah melalui DPRD, kedua-duanya perlu dikaji kembali oleh Pusat, mana yang lebih
tepat untuk membangun nation-state (Negara Bangsa) Indonesia yang kokoh yang mampu
mempercepat terwujudnya cita-cita alinea IV Pembukaan UUD 1945. Selanjutnya saya
berpendapat, bahwa UU N Tahun 2014 sulit untuk dapat mempercepat pembangunan desa dan
mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi perdesaan apabila masalah tata niaga
pertanian dan perdagangan yang cenderung menguntungkan para tengkulak, pemodal menengah
dan besar --sebaliknya sangat merugikan para petani kecil-- tidak dibongkar dan diperbaiki oleh
Pemerintah. Pasar-pasar swalayan modern hendaknya dilarang Pemerintah dan Pemda untuk

masuk ke kecamatan dan desa-desa karena meminggirkan warung-warung, toko-toko para


pedagang kecil (tradisional).
Demikian juga masalah penguasaan tanah yang berlebihan pada pihak-pihak tertentu (misalnya
kelompok pemodal/investor), perlu menjadi prioritas pertama bagi pemerintahan baru nanti
untuk meninjau kembali dan melakukan perbaikan-perbaikan yang signifikan terhadap kebijakan
pertanahan agar tidak menguntungkan hanya pada segelintir pemilik modal besar atau tuan-tuan
tanah tertentu. Reformasi agraria dan pelaksanaan UU Agraria seperti yang sering diusulkan
oleh kalangan LSM dan sejumlah akademisi, hendaknya lebih diperhatikan oleh pemerintah
baru nanti.
UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa harus ditinjau kembali/direvisi karena UU tersebut
cenderung berpotensi merobohkan bangunan Negara Republik Indonesia berbentuk Kesatuan
yang diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Mengapa? Karena Indonesia
bukanlah hanya sekedar bekas wilayah jajahan Belanda yang disebut Hindia Belanda.
Sebelum penjajah datang Barat datang, telah ada Nusantara yang terdiri atas kerajaaankerajaan kecil dan besar, di samping kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat seperti desa,
huta, kuria, marga, negeri, nagari, dan sebagainya. dengan tanah-tanah ulayat mereka.
Karena UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan pengakuan akan eksistensi desa-desa
adat dan masyarakat adat (seperti antara lain pemilihan kepala desa adat tidak harus dengan
pilkades langsung yang berlaku untuk kades-kades non-adat), maka UU ini berpotensi
membangkitkan kembali feodalisme di desa-desa adat serta dapat meningkatkan klaim-klaim
masyarakat adat terhadap tanah (baik tanah adat maupun tanah publik). Oleh karena itu saya
merekomendasikan kepada Pemerintah (Presiden dan DPR) hasil pemilu 2014 untuk SEGERA
merevisi UU No. 6 T ahun 2014 tentang Desa. Semangat dasar UU Desa ini adalah
mendemokratisasi desa, bukannya mengembalikan feodalisme lama atau memfasilitasi neotradisionalisme.
Sebagai penutup, saya mengajukan beberapa usulan/saran kepada Pemerintahan Baru hasil
pemilu 2014 :
1. Presiden dan DPR hasil pemilu 2014 agar merevisi secara mendasar UU No. 6 Tahun
2014 tentang Desa. Revisi tersebut perlu mengatur baik kepala desa maupun kepala desa
adat wajib dipilih melalui pemilihan secara langsung oleh warga desa. Sejak tahun1979
semua kepala desa dan kepala desa adat telah dipilih melalui pilkades. Terjadi
kemunduran (setback) bila kepala desa adat dipilih/ditunjuk berdasar keturunan/darah
berdasar UU No.6 Tahun 2014. Semangat UU No 6 Tahun 2014 adalah demokrasi,
bukan feodalisme atau neo-tradisionalisme. Pengakuan (rekognisi) Negara kepada desa
adat haruslah bersifat tertentu/terbatas/dirinci secara jelas batas-batasnya dalam PP.
2.

Revisi selanjutnya perlu dilakukan untuk mencabut pasal perubahan status desa/desa
adat/kelurahan. Pasal tersebut sangat potensial menimbulkan konflik bila desadesa/kelurahan menuntut menjadi desa adat dan mengkapling-kapling tanah-tanah
publik sebagai tanah ulayat mereka. Jangan sampai UU Desa (dan peraturan pemekaran
daerah) menjadi pintu masuk pihak-pihak tertentu (baik dari internal maupun eksternal

Negara Indonesia ) untuk memecah-belah dan merobohkan NKRI. Mahkamah Konstitusi


hendaknya bijaksana dalam mengambil keputusan-keputusan dengan menyeimbangkan
antara pasal 18 UUD 1945 dan pasal 33 UU 1945 (UUD amandemen).
3. Pemerintah perlu melakukan inventarisasi tanah-tanah ulayat yang saat ini dikuasai
investor swasta maupun Pemerintah sendiri. Bila ternyata ada kerugian-kerugian yang
diderita oleh masyarakat adat di wilayah tertentu akibat penguasaan tanah ulayat oleh
negara/swasta, sebaiknya Pemerintah segera memperbaiki kebijakan yang ada, termasuk
dengan memberikan kompensasi-kompensasi atau ganti-untung yang memadai.
Selebihnya Pemerintah perlu melakukan pengaturan ulang mengenai tanah ulayat
sehingga menguntungkan baik Negara/Pemerintah maupun masyarakat adat , demi
keutuhan NKRI. Artinya, kedua pihak harus sama-sama memiliki nasionalisme yang
tinggi. Kebijakan-kebijakan Pusat di bidang investasi, pertambangan, kehutanan,
perkebunan, pertanahan dan perdagangan perlu dikaji ulang oleh Pemerintah sehingga
dapat menguntungkan, bukan mengorbankan, kepentingan rakyat kecil, di Indonesia.
(Penulis adalahAlumni Sarjana S1 dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, S3 dari The
Flinders University of South Australia Department of Asian Studies and Languages, dan alumni
dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/(LIPI) di Jakarta. Saat ini
bekerja sebagai peneliti tamu pada Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3)
Institut Pertanian Bogor-IPB).
- See more at: http://m.jurnas.com/news/133227/Antisipasi-Permasalahan-dan-Usulan-RevisiUU-Desa-2014/1/Nasional/Opini/#sthash.sQ8OZPEE.dpuf
Desa, UU Desa 2014, dan Perubahan Sosial
Oleh: Emil E. Elip
Sudah ratusan tahun sejak jaman penjajahan Belanda, desa menjadi ajang
pemikiran, arena eksplorasi dan eksploitasi, ajang perebutan, pergolakan politik, dll.
Sebagian para ahli resah tidak rela jika desa dianggap replikasi dan bagian dari
kekuasaan negara, sebagian ahli lain terutama ahli teknokrasi pembangunan sangat
bersemangat bahwa desa merupakan bagian dari negara NKRI.
Sebagian ahli yang tidak rela jika desa dianggap bagian dari negara secara
struktural mengambil alasan bahwa pada jaman Belanda desa-desa sudah diakui
otonominya oleh Belanda, bahkan adat istiadatnya dibiarkan berkembang. Kita
harus akui bahwa para birokrat Belanda yang dikirimkan ke Indonesia pada
penjajahan dulu adalah para sarjana yang sangat ahli dalam studi-studi sosial.
Mereka paham betul dan sangat tepat memotret secara antropologis maupun
sosiologis sendi-sendi kebudayaan masyarakat Indonesia di desa-desa, dan karena
itu mereka tahu betul bagaimana caranya melemahkan dan memecah belah
antara rakyat jelata, para priyayi keraton/raja, serta para elit adat dan agama.

Agar kehausan para penjajah Belanda menguasai aset-aset di tingkat grassroot ini
bisa terjadi secara langsung, dan tidak direcoki oleh para raja yang kekuasaannya
tidak terbatas, maka desa harus sungguh-sungguh mereka pahami dan
nampaknya mereka bisa menemukan kekuatan entitas desa sebagai teritorial
maupun otonomi. Oleh karena itu kemudian dihembuskan desa sebagai entitas
otonom dan bermartabat, agar memiliki kekuatan melawan raja mereka. Jika
sebuah desa tak mampu ditahklukkan secara sosiologis, maka yang dilakukan
adalah sebaliknya yaitu pusat kekuasaan raja yang didekati agar para raja lokal
menekan desa dan rakyatnya sendiri. Ini bisa dilakukan karena para sarjana
Belanda tersebut pun sangat paham kultur para priyayi kerajaan beserta simbolsimbol budaya kekuasaannya.
Kepongahan kita adalah apa yang sudah ditemukan oleh Belanda itu kita anggap
bagai pahlawan bahwa Belanda-pun menghormati adat istiadat dan otonomi desa.
Para sarjana pongah ini kemudian membayangkan suatu kondisi dimana negara
dan pemerintah dewasa ini seyogyanya dapat meniru sikap pemerintah Belanda
atas otonomi dan kekhasan desa.
Memberhentikan Sejarah Desa
Membayangkan desa-desa saat ini seperti desa-desa di jaman penjajahan Belanda
350 sampai 400 tahun yang lalu sungguh sebuah kecenderungan yang
menghentikan sejarah. Hal yang tidak bisa dihentikan adalah bahwa sejarah terus
berjalan, seiring perubahan yang cepat ataupun lambat datang dari luar sebuah
komunitas maupun desa. Kebudayaan sebuah komunitas hanya memiliki dua
pilihan, yaitu menghindari sejarah atau mengikuti sejarah perubahan yang
dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Nampaknya sangat sedikit komunitas
yang menyurutkan diri dari pertahutan relasi dengan dunia luar yang lebih luas.
Komunitas-komunitas adat tersebut yang menjauhkan diri dari arus sejarah modern,
misalnya saja komunitas Badui (dalam), sekali lagi hanya sangat sedikit.
Eksklusifisme mereka justru sama sekali tidak bersinggungan dengan negara dalam
urusan yang disebut desa baik secara teritori maupun tatakelolanya. Komunitaskomunitas adat yang tidak eksklusif, yang sudah bertautan dengan komunitaskomunitas terorganisir dalam sebuah sistem yang disebut desa, inilah yang sering
menjadi perdebatan yang pelik seakan-akan menumbuhkan banyak persoalan.
Bagaimanapun sebuah komunitas masyarakat tentu memiliki eksistensi kultural
yang mereka yakini. Berhadapan dengan komunitas dunia luar maka tumbuh dua
persoalan, Pertama, masyarakat dunia luar tidak mengetahui cara menghormati
adat-budaya mereka dan disisi lain komunitas adat tersebut tetap ingin dihormati
eksistensinya. Sesungguhnya ini hanya masalah pendidikan atas keberagaman
yang sayang pemerintah sama sekali gagal mendidik masyarakatnya mengenai
penghormatan atas keberagaman. Sementara itu para pengembara dunia

politik yang kebanyakan pongah juga, memanfaatkan sentimen etnis, kelompok,


dan golongan tersebut untuk mengais-ngais suara menggalanag kekuatan masa.
Bagi saya konflik antar komunitas adat dan komunitas masyarakat disekitarnya
adalah hal biasa. Dia merupakan bagian dari sintesa dan antitesa sosiologis.
Konflik merupakan perjalanan sejarah suatu komunitas untuk meng-ada dan
melakukan kompromi-kompromi solutif, asalkan tidak ada pihak ketiga yang mau
memanfaatkannya. Setiap komunitas akan membangun pandangan-nya sendiri
atas perbedaan, kemudian membangun pembelajarannya sendiri atas kejadiankejadian yang dialaminya, selanjutnya dari pembelajaran itu akan membangun
konstruksi solusi dalam bentuk tata nilai baru termasuk tata nilai dalam relasinya
dengan dunia luar.
Jika setiap komunitas masyarakat tidak memiliki kemampun mengkonstruksikan
sejarah pengalaman hidupnya, maka komunitas-komunitas tersebuta akan punah
dengan sendirinya saling membunuh. Setiap individu pada prinsipnya ingin hidup
aman dan damai, begitu pula setiap komunitas yang merupakan kumpulan dari
individu yang membangun pandangan hidup yang sama.
Konflik yang berkepanjangan dan semakin tajam dikarenakan adanya pihak ketiga
yang berupaya mengambil keuntungan dari komunitas-komunitas yang sedang
berkonflik, entah konflik berbau agama, berlatar belakang etnis, konflik tapal batas,
dll. Ranah konflik tersebut termasuk juga pada level para cendekiawan yang
pongah, cendekiawan yang berfikir konvensional-romantis dengan penganut paham
modern-absolut, yang ingin menghormati adat dengan cara menghentikan
sejarahnya, dan macam-macam lain. Perubahan-perubahan kebijakan yang paling
ideal biasanya menjadi sasaran arena perdebatan itu, sehingga belum sampai
sebuah kebijakan tuntas dilaksanakan dan dikaji lessons-learned-nya arus
perdebatan sudah bergulir sebegitu rupa seakan-akan perdebatan itulah solusi
terbaik.
Desa Dalam Teori-Teori Perubahan Sosial
Sesungguhnya yang sedang kita upayakan dengan pembuatan udang-undang
adalah untuk sebuah perubahan. Tentu saja dengan maksud untuk menuju
perubahan yang lebih baik. Namun sebelumnya mari kita menelusuri apa makna
perubahan itu, teori-teori apa yang telah menjelaskan tentang perubahan yang
sudah terjadi dan atau diprediksikan akan terjadi di dalam masyarakat. Ada dua
ranah besar perubahan yang akan dibahas di sini, yaitu perubahan sosial (social
change) dan perubahan kebudayaan (cultural change). Apa hubungan antar
keduanya, apa dimensi pada masing-masing perubahan tersebut, dan akhirnya
mari kota coba menghubungan antara perubahan yang diharapkan melalui UU no 6
Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa 2014) yang baru dengan kedua jenis perubahan
tersebut.

Apakah Masyarakat (Society) Itu?


Dampak yang diharapkan dari diberlakukannya UU Desa 2014 adalah suatu
perubahan yang lebih baik di dalam masyarakat, dalam hal ini masyarakat di level
grassroots, desa. Oleh karena itu perlu didiskusikan di awal apa makna
masyarakat yang dibayangkan oleh UU Desa 2014 tersebut tentu dalam hal ini
adalah persepsi yang dianut oleh para penyusun UU Desa 2014 tersebut tentang
konsep masyarakat. Secara umum para ahli sosial dan perubahan masyarakat
menganut dua jenis konsepsi tentang masyarakat, yaitu static perspective dan
dynamic perspective. Static perspective mengasumsikan bahwa masyarakat itu
bergerak atau berubah secara statis (pelan) sesuai dengan struktur sosial yang
dimiliki. Sementara perpective dynamic berasumsi bahwa masyarakat akan selalu
bergerak atau berubah secara dinamis, tergantung besar kecilnya faktor eksternal
yang ber-relasi dengan masyarakat bersangkutan.
Masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling ber-relasi melalui seperangkat
tata-nilai yang disepakati dan dipahami bersama, sebagai ikatan kehidupan.
Sebagai sebuah sekumpulan orang-orang maka bisa dibedakan dengan jelas
antara masyarakat (society) dengan kumpulan massa (group of mass), dan
komunitas (community). Dua peristilah yang terakhir muncul untuk merujuk kepada
budaya pop (pop-culture) yang berkembang dewasa ini. Maka segera bisa kita
bedakan antara masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan, dimana
masyarakat perkotaan jelas lebih menyerupai group of mass dan atau community.
Kumpulan massa sesungguhnya bukan kumpulan manusia (human) dalam
pengertian konsepsi masyarakat. Di dalam kumpulan massa atau komunitaskomunitas populer tidak terbentuk civilization seperti yang terjadi dalam society.
Berbasis pada tiga pemberdaan terpapar di atas, maka dalam konteks masyarakat
millenium dewasa ini jelaslah kita tidak bisa lagi menyamaratakan apa yang disebut
desa sebagai kumpulan manusia. Apa yang saya maksudkan adalah bahwa saat
ini ada desa-desa yang masih memiliki roh civilization, namun ada banyak desa
(bahakan cenderung makin bertambah dari waktu ke waktu) yang sudah sangat
tipis roh civilization-nya. Desa-desa diperkotaan atau yang saat ini banyak beralih
fungsi disebut kelurahan, dan desa-desa yang terletak dipinggiran perkotaan
dimana sendi-sendiri kehidupan perkotaan serta budaya populer telah merasuk,
lebih cenderung ke aras mass-community.
Di dalam UU Desa 2014 disebutkan Desa atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya
masyarakat setempat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. (BAB 1 KETENTUAN
UMUM, Pasal 1 ayat 5). Istilah-istilah seperti kesatuan masyarakat hukum, hak asal-

usul, adat istiadat dan sosial budaya, merupakan sebuah bangunan cultutal yang
terejawantahkan dalam sub socio-cultural yang disebut civilization.
Merupakan pekerjaan rumah yang amat besar, yang menurut saya mau tidak mau
harus dilakukan, adalah menganalisa dan memilah-milah dari puluhan ribu desa di
Indonesia kedalam mana desa yang masih bercirikan society-village civilization,
desa yang bercirikan antara society-village civilization dan village masscommunity serta desa-desa yang sungguh sudah menjadi village masscommunity. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka sesungguhnya UU Desa 2014
yang baru disahkan tidak dilandasi dengan social and cultural theory yang sungguh
dipersiapkan dengan matang untuk menjawab perubahan sosial. Tentu UU Desa
2014 tersebut diawali dengan Naskah Akademik yang menjadi bangunan
pemikirannya, namun semua jalinan pemikiran yang ada didalamnya bersumber
utama dari teori-teori berbasis developmentalist.
Apa yang secara lebih luas sedang kita perbincangkan di atas adalah tentang desa
yang sudah berbeda-beda sendi-sendi sosialnya satu sama lain, serta alasan-alasan
teoritis yang mengasumsikannya, adalah suatu hal yang sudah disinggung di awal,
yaitu tentang konsepsi perubahan sosial (social-change) yang akan kita bahas
berikut ini.
Antara Gemeinschaft dan Gesellsfschaft
Sebuah konsepsi yang mirip dengan konsep community dan society, dan yang
cukup akrab di telinga masyarakat akademis di Indonesia mengenai teori-teori
klasik tentang masyarakat adalah konsep Gesellschaft (society) dan Gemeinsshaft
(community). Kedua konsep ini berbasis pada premis-premis adaptasi masyarakat
terhadap lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan dalam arti
lebih luas seperti lingkungan ekologi, konflik yang terjadi didalam masyarakat
sendiri, relasi-relasi dengan dunia luas masyarakat, dll.
Berdasarkan premis kemampuan adaptasi itu maka di dalam masyarakat
Gesellschaft (society) diidentifikasi dimana segala perubahan masyarakat dan
pembangunan yang terjadi dari proses adaptasi hanya pada level individu.
Sementara berlawanan dengan itu, di dalam masyarakat Gemeinsshaft
(community) perubahan masyarakat dan pembangunan terjadi pada level kultural
(dalam pengertian tidak hanya terjadi langsung dalam level individu saja). Itu
sebabnya maka Gesellschaft lebih bercirikan individualistic, condong ke bentuk
mastyarakat perkotaan, dimana relasi internalnya diikat oleh apa yang disebut
peraturan dan bukan perangkat pandangan tata-nilai nilai tertentu. Berbeda
dengan hal tersebut, Gemeinsshaft lebih condong kepada masyarakat yang
komunal. Deferensiasi mungkin tetap ada dalam cara hidup masyarakatnya,
namun mereka masih terikat dengan sebuah kode-kode tata-nilai yang dianut
bersama pada level ideologi yang disebut kebudayaan (culture).

Dari segi konsep adaptasi perubahan masyarakat Gesellschaft cenderung lebih


cepat menerima kemungkinan ide perubahan asalkan individu di dalam masyarakat
tersebut dapat mentolerer bahwa perubahan tersebut dipandang memiliki
justification cost menguntungkan. Sebaliknya tidak serta merta demikian proses
perubahan di dalam Gemeinsscaht. Ide perubahan baru mungkin bisa diterima
secara positif oleh seorang individu di dalam masyarakat Gemeinscahft, namun
belum tentu dengan sendirinya akan di-recognizing menjadi peraturan bersama
yang disepakati karena ide-ide tersebut harus berhadapan dengan bangunan
cultural tata-nilai yang ada.
Jadi apa maknanya jika konsepsi Gemeinschaft, Society-Village Civilization, Village
Mass-Community, dan Gesellschaft yang sudah dipaparkan di atas dikaitkan dengan
introdusir UU Desa 2014 yang baru? Yang Pertama, jelas, bahwa UU Desa 2014
tersebut
mau
tidak
mau
berimplikasikan
menyamaratakan
konsepsi
Gemeinschaft, Community, Gesellscaft, dan Society.
Kedua, konsep Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat
(seperti tertuang di dalam UU Desa 2014), sangat memikin kerancuan karena pada
kenyataannya tidak semua desa di Indonesia bisa didefinisikan semacam itu. Atau
dengan kata lain, konsep tersebut sungguh menutup mata terhadap kenyataan
bahwa di masyarakat kita terdeferiansi seperti Gemeinschaft, Society-Village
Civilization, Village Mass-Community, dan Gesellschaft. Konsep desa seperti
tertuang di UU Desa 2014 tersebut dilandasi pandangan romantik-konvensional.
Premis-Premis Perubahan Sosial
Pertanyaan intinya jika dikaitkan dengan UU Desa 2014 yang baru saja disahkan
Desember 2013 lalu adalah, teori-teori perubahan sosial apa yang dipakai
melandasi diluncurkan UU Desa 2014 dan teori perubahan sosial seperti apa yang
menjadi potulat perubahan sosial di masa datang dengan diberlakukannya UU Desa
2014 tersebut.
Dengan diterbitkannya UU Desa 2014 sesungguhnya yang sedang dikerjakan
adalah melakukan perubahan untuk desa khususnya untuk kemakmuran
masyarakat desa. Bahwa untuk kemakmuran masyarakat desa tersebut perlu
dirancang sistem organisasi desa yang lebih baik, peraturan pemelihan kepala dan
perangkat desa yang lebih baik, pendekatan pembangunan tentang desa secara
lebih baik, pengaturan relasi antara desa dengan supra desa lebih baik,
penganggaran budget untuk desa secara lebih baik, semuanya memang benar
harus diatur. Meskipun demikian, dalam artian bahwa semuanya itu ditujukan untuk
hal yang lebih baik tentang desa, bisa saja perubahan yang diharapkan meleset

dari yang diperkirakan karena latar belakang pemikiran teoritis yang kurang matang
apalagi hanya didorong oleh ketergesa-gesaan.
Secara teoritis-epistemologi ada dua konsep yang dibayangkan mengenai model
perubahan, yaitu model perubahan statis dan model perubahan dinamis. Perubahan
masyarakat yang statis tidak berarti bahwa masyarakat tersebut tidak mengalamai
perubahan. Model perubahan masyarakat statis bermula dari para ilmuwan yang
menganggap bahwa masyarakat akan berubah dengan sendirinya karena memang
begitulah filosofi dasar kehidupan manusia. Cepat atau lambat manusia, begitu
juga masyarakat, akan berubah sesuai berkembangan kehidupan dan sosialitasnya.
Sementara model perubahan dinamis berasumsi bahwa masyarakat bisa
dikondisikan untuk cepat berubah asalkan akses-akses untuk perubahan disediakan
sedemian rupa, baik dari sudut ekonomi, keorganisasiannya, dan nilai-nilai yang
ditawarkan kepada suatu masyarakat.
Model perubahan (social change) yang statis diasumsikan oleh karena perubahan
tersebut akan berhadapan dengan bangunan kultur yang biasanya lamban untuk
berubah. Sementara model perubahan dinamis diasumsi bahwa perubahan tersebut
akan mempengaruhi level sosial (relasi kesepakatan-kesepatan antar individu atau
kelompok), dan tidak pada level kultural.

Bagaimana sebuah materi perubahan atau ide-ide perubahan -misalnya dalam hal ini adalah
ide-ide yang ada di dalam substansi UU Desa 2014 yang baru berproses dalam mendorong
perubahan di masyarakat? Salah satu teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan hal tersebut
beserta implikasi-impliksinya dalam konteks social-change dan cultural-change adalah teori
tentang Justificfation-Cost, External Dissonance, dan Internal Dissonance, yang diungkapkan
oleh Franois Facchini dan Mickal Melki.
Kebudayaan, oleh Franois Facchini dan Mickal Melki, dedefinisikan sebagai is a set of
customary beliefs and values that ethnic, religious, and social groups transmit fairly unchanged
from generation to generation and that is organized by an ideology. Ideology is the intellectual
dimension of culture. It justifies its set of beliefs, values and norms. Agar bisa terjadi perubahan
sosial dan atau perubahan kebudayaan, Facchini dan Melki menganjurkan sebuah analisa terkait
dengan Internal Dissonance, External Dissonance, dan Justification Cost oleh karena adanya
kondisi dissonance tersebut.
Internal Dissonance adalah situasi atau kondisi di dalam internal masyarakat itu sendiri yang
memunculkan potensi-potensi untuk terjadinya perubahan. Beberapa contohnya antara lain
adalah perubahan sosioekomomi-demografi, yang diakibatkan dari bertambahnya jumlah
penduduk dalam masyarakat bersangkutan. Contoh berikutnya adalah tentang inkonsistensi nilainilai akibat perubahan sosio-ekonomi demografi. Perubahan sosial dan kemudian selanjutnya
adalah perubahan kebudayaam, hanya bisa terjadi jika terjadi inkonsistensi nilai secara komunal

di dalam masyarakat. Apa yang dirasakan di dalam hidup realitas sehari-hari sudah tidak cocok
lagi dengan nilai-nilai yang dianut atau dianjurkan dalam instrumen kebudayaannya.
Pada sisi yang lain, External Dissonance adalah kondisi-kondisi dari luar masyarakat yang
mempengaruhi terjadinya inkonsistensi nilai bagi masyarakat bersangkutan. Misalnya saja
pengaruh teknologi, sistem informasi yang semakin terbuka, perang, nilai-nilai demokratisasi,
pola konsumsi, dll. Aspek-aspek Internal dan Eksternal Dissonance tidak bisa dengan sendiri
gampang mendorong sebuah perubahan sosial dan atau perubahan kebudayaan di suatu
masyarakat.
Facchini dan Melki menelaah adanya apa yang disebut justification cost yang harus
dipertimbangkan oleh individu-individu di dalam masyarakat tersebut dalam menyerap kondisi
pengaruh internal maupun eksternal dissonance tersebut. Mengenai justification cost tersebut
Facchini dan Melki menjelaskan sebagai berikut when culture becomes problematic that it will
be tested, otherwise stated, that individuals will seek to get rid of it because it doesn t seem to
be sufficiently justified to be acceptable. Prohibitive justification costs explain deviant
behaviour, e.g. changes of ideology
Ketika kondisi-kondisi internal and eksternal dissonance datang bertubi-tubi maka
akan (bisa saja) menumbuhkan inkonsistensi berbagai perangkat nilai-nilai
kesepakatan yang sudah ada di dalam masyarakat. Inkonsistensi tersebut bisa
ditemukan oleh sebagian kecil individu atau oleh sebagian besar individu di dalam
masyarakat bersangkuta. Jika hanya sedikit individu yang mengalami inkonsistensi
nilai maka sangat sedikit atau kecil justification cost-nya untuk mendorong
terjadinya sebuah perubahan sosial apalagi perubahan kebudayaan. Jika sebagian
besar dari masyarakat tersebut menemukan kondisi inkonsistensi maka besar
justification cost-nya bahwa masyarakat (secara bersama-sama dalam jumlah
memadai) mencari nilai-nilai baru yang lebih mampu menjawab kondisi mereka.
Kondisi inkonsistensi yang selanjutnya menumbuhkan kondisi inkoherensi nilai-nilai
di dalam masyarakat tersebut adalah masalah mental. Seperti kata Facchini dan
Melki, Incoherence and the life of thoughts are mental events. These events are
not visible but prepare the ideological change. They do not necessarily lead to
concrete deviant actions but participate in the formation of a larger and larger gap
between the constructed social reality and individual reality, imagination and logic
of each individual.
Jika dikaitkan dengan UU Desa 2014 yang baru, maka UU Desa 2014 tersebut
merupakan bagian dari kondisi external dissonance, sebuah kondisi dari luar yang
dipersiapankan oleh para ahli sosial, akademisi, dan atau para teknokrat
pembangunan. Mampukah substansi-substansi di dalam UU Desa 2014 tersebut
mampu menumbuhkan kondisi inkonsistensi dan inkoherensi nilai di dalam
masyarakat desa itu sendiri tentang konsepsi desa. Jika oleh karena introdusir UU

Desa 2014 tersebut mampu menumbuhkan harapan baru bagi masyarakat pada
saat masyarakat mengalami inkonsistensi dan inkoherensi nilai, maka substansisubstansi UU Desa 2014 tentu akan mendorong perubahan sosial yang mendasar di
desa, dan bahkan tidak mungkin akan menjadi budaya baru tentang desa di masa
datang.
Persoalannya bisa saja UU Desa 2014 yang baru tersebut terlaksana di desa tidak
lebih sebagai perubahan peraturan baru, yang sama sekali tidak menyentuh
gerakana-gerakan ide untuk perubahan sosial. Jika introdusir UU Desa 2014
tersebut hanya dipahami dan apalagi hanya menguntungkan para perangkat desa
dan elit desa, maka sesungguhnya dia tidak menumbuhkan gejala inkonsistensi
dan inkoherensi nilai di dalam masyarakat. Jika demikian maka terlalu kecil
justification cost-nya dipertimbangkan oleh sebagian besar individu masyarakat
(sebagian besar anggota masyarakat) disetujui sebagai awal gerakan perubahan
sosial. Disinilah letak institutionalize aspect dari sebuah perubahan sosial.
Hebatnya UU Desa 2014 tersebut akan diikuti dengan sebuah kucuran dana yang
sangat besar, yang katakanlah disebut dana pembangunan desa, yang besarnya
bisa mencapai 1 Milyar per desa. Bisakah dia mendorong justification cost agar
masyarakat (sebagian besar masyarakat) mampu dan mau mempertimbangkannya
sebagai tahap-tahap dalam perubahan sosial desa? Jawabannya adalah belum
tentu. Model serupa dengan UU Desa 2014 dan uang sesungguhnya sudah
dimulai dengan program PPK (program pengembangan kecamatan) yang kemudian
dilanjutkan PNPM Mandiri. Sudah sekitar 15 tahun PPK dikembangkan diikuti dengan
kucuran dana yang tidak sedikit untuk desa. Sebuah konsep institusional
kelembagaan pembangunan diperkenalkan melalui konsep yang disebut
pembangunan partisipatif. Hasilnya secara garis besar, tidak ada perubahan
sosial apalagi perubahan kebudayaan yang signifikan di desa-desa sasaran program
tersebut di dalam beberapa konsep penting seperti pemberdayaan, partisipasi,
dan kemandirian.
Dengan demikian yang ingin dikatakan di sini adalah UU Desa 2014 yang baru
beserta services-lips yang menyertainya dengan dana pembangunan desa hampir
mencapai 1 Milyar, tidak menjamin akan terjadinya kemandirian desa dan otonomi
desa. Asumsi saya secara filosofi-perubahan adalah, karena sesunggunya kucuran
uang itu yang ditawarkan agar ide perubahan sosial desa bisa berjalan. Kita tidak
pernah merancang filosofi yang sebaliknya dari itu untuk pembangunan di rakyat
kita. Uang yang besar yang selalu menyertai policy-policy untuk pembangunan
dan kemandirian rakyat telah menjadi justification cost yang kontradiktif untuk
perubahan sosial dan kebudayaan.

Bangsa Yang Cerewet

Indonesia disinyalir merupakan negara dengan jumlah perundang-undangan


terbanyak didunia. Para teknokrat pembangunan dan birokrat mungkin berbangga
hati dengan itu. Bahwa seakan-akan kita amat pandai mengurus tatakelola bangsa,
masyarakat, dan pembangunan. Beragama saja diatur. Perkawinan diatur.
Memberikan santunan diatur. Namun disisi lain hal itu bisa diintepretasikan bahwa
kita adalah negara yang amat keropos dalam ideologi berbangsa, bermasyarakat,
berbhineka, dan bermasyarakat.

Dan tentang desa kita telah membuat peraturan lebih banyak sejak pertama kali Belanda
mengatur tentang desa. Pada zaman penjajahan Belanda terdapat peraturan perundang-undangan
mengenai desa yaitu Inlandshe Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura serta
Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten yang berlaku untuk daerah-daerah di luar
Jawa dan Madura. Lama setelah itu baru pada tahun 1965 terbit UU No. 19 Tahun 1965 tentang
Desa Praja. Orde Baru kembali mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai desa
yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Peraturan ini
kemudian berubah lagi seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hanya dalam 10 tahun kemudian perundangan
tentang desa ini dirubah lagi dengan disahkannya UU Desa 2014 oleh DPR akhir tahun 2014
lalu.
Jadi, sejak 1965 sampai 2014 telah dibuat 5 kali perundangan tentang desa, yang rata-rata satu
perundangan yang sama berumur tidak lebih dari 15 tahu. Artinya apa: memang kita terlalu
cerewet!. Arti lain lagi adalah, kita tidak mampu mengenali dan memahami secara benar gerak
sosiologis dan antropologis kondisi pedesaan kita. Kita jelas tidak mampu mengenali karena
terlalu banyak dan tamak bangsa dan negara kita ingin mengatur desa. Terlalu banyak hal
tentang kehidupan masyarakat desa yang ingin kita atur, karena disisi lain kita terlalu takut
bahwa masyarakat desa kita menjadi berubah. Terlalu banyak alasan ideal bersifat teoritis dan
moral-ideologis yang ingin kita bayangkan terjadi dengan desa. Sementara sebagai kumpulan
manusia, komunitas desa terus berjalan ke depan menerjang modernitas, berelasi dengan
wacana kehidupan lebih luas, mengadopsi teknologi, dll.
Akhirnya sudah menjadi jelas bahwa yang namanya adat kita salah mempersepsikannya.
Akhirnya tentang adat itu mau kita atur-atur, sebisa mungkin dimasukkan dalam model susunan
logis peraturan negara. Dan nampak jelas sekali bahwa ketika dinamika adat itu didudukkan
dalam tata-peraturan negara maka sangat sedikit yang bisa kita atur. Sampai kapanpun kita tidak
pernah bisa mengaur adat dalam peraturan negara secara memuaskan. Sebab secara filosofis adat
itu adalah kehidupan. Dia dinamis bergerak menyejarah sesuai perkembangan dan kebutuhan
masyarakat. Akhirnya tohjika sidang pembaca menyimak dan meresapi pasal-pasal di dalam
UU Desa 2014 yang disyahkan Desember 2013 lalu, sesungguhnya kita hanya mengatur desa

menjadi memiliki arah desa yang organisatoris-modern. Tentang adat tidak disinggung banyak
dalam perundangan itu, dan sekedar disublimasi menjadi lembaga adat.
Dinegara seperti Jepang, tidak pernah adat diatur dalam lembaran negara. Negera hanya
menghormat adat sejauh dia masih dibutuhkan oleh para komunitas-komunitas yang masih
menjaga adatnya. Hal ini tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa negara Jepang dan
masyarakatnya tidak menghormati adat yang berlaku dikomunitas-komunitas masyarakat yang
berbhineka-ragamnya juga. Yang dilakukan oleh negara Jepang bersama para cendekiawan
sosialnya mencoba melakukan reservasi adat dan kebudayaannya dengan merekonstruksi nilainilai adatnya dan menstransformasikannya dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan kehidupan
modern. Dan itu nampaknya berhasil sejak Restorasi Meiji. Akibatnya sampai sekarang wacana
tentang adat harus dijaga melalui perundangan negara tidak perlu dijadikan wacana cerewet
yang dibahas kesana-kemari di Jepang.
Mereplikasi Negara di Desa
Sistem birokrasi desa berbeda dengan sistem birokrasi negara, seperti ditegaskan
di dalam Naskah Akademik UU Desa 2014. Birokrasi negara didisain dan dikelola
teknokratis dan modern dari sisi rekrutmen, pembinaan, penggajian (remunerasi),
organisasi, tatakerja, tupoksi, dan lain-lain. Birokrasi Desa didisain dan dikelola
dengan sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan
modern (teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara
maksimal antara lain karena gangguan pendekatan tradisonal.
Penjelasan-penjelasan di Naskah Akademik UU Desa 2014 tersebut membuktikan
ada perbedaan yang bermula dari sejarah, bahwa desa memang berbeda dari
negara. Sistem teknokrasi pengelolaan negara tidak bisa diterapkan dalam sistem
sosial birokrasi desa. Jika ditelaah UU Desa 2014 dalam sistem tatapemerintahan
desa terlihat dengan jelas bahwa desa mau dibentuk menyerupai sistem teknokrasi
negara. Berikut ini pernyataan-pernyataan di dalam UU Desa 2014 yang mengarah
ke teknokrasi tatanegara tersebut:
Isu 1: Perangkat desa digaji oleh negara

Pasal 34 ayat (1): Sekretaris desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) diisi
dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan
Pasal 37 ayat (1): Kepala desa dan perangkat desa diberikan penghasilan tretap setiap
bulannya dan atau tunjangan.
Penggajian terhadap kepala desa, sekretaris desa, dan perangkat desa (yang dahulu
disebut pamong desa) adalah sesuatu yang baik untuk memberikan kepastian penghasilan atas
kerja mereka. Tetapi harus disadari bahwa penggajian itu merupakan tindakan yang kontra-

produktif dengan prinsip otonomi desa masa lalu yang tidak mengenal penggajian karena kerja
mereka dianggap pengabdian.
Yang ingin dikatakan disini bahwa penggajian terhadap perangkat desa tersebut tidak
memiliki alasan filosofis-sosiologis desa sebagai entitas otonom. Sepetinya penggajian ini
hanya didasarkan pada alasan hak sebagai orang yang sudah bekerja, orang yang sudah
mendapatkan SK (Surat Keputusan) pengangkatan sebagai kepala desa, sekretaris desa, dan
atau perangkat desa. Dia tidak ubahnya seperti pegawai-pegawai lain disebuah instansi
pemerintah dan swasta.
Sekali lagi ingin ditegaskan disini bahwa UU Desa 2014 yang baru telah, katakanlah,
mengijinkan bahwa mereka diberi imbalan oleh negara. Implikasi sosiologis-strukturalnya
adalah sangat mungkin para perangkat desa itu tetap dan memiliki kecenderungan besar
mengabdi kepada negara, bukan kepada rakyat meski di pasa-pasal lain diatur peran dan tugas
mereka sebagai pamong rakyat.
Isu 2: Atribut dan Rekrutment Perangkat Seperti Negara

Paragraf 8, Pasal 38: Kepala desa dan perangkat desa dalam melaksanakan tugasnya
menggunakan atribut dan pakaian dinas.
BAB VI Pemilihan Kepala Desa, Pasal 41 sampai Pasal 47menjelaskan bahwa prosedur
rekrutmen kepala desa mirip dengan pemilihan gunernur dan bupati.
Menarik untuk disimak bahwa UU Desa 2014 menganjurkan, atau mungkin
setengah mewajibkan yang akan diatur oleh regulasi daerah masing-masing,
bahwa perangkat desa harus memakai atribut dan pakaian dinas sebagai
perangkat desa. Maka sudah relatif 50% bahwa jiwa mereka tidak
terpisahkan dari neragara: digaji oleh negara, dan memakai atribut dan
pakaian dinas. Dengan demikian tegas pula dikatakan bahwa dalam hal
atribut ini UU Desa 2014 yang baru sama saja dengan UU Desa 2014
sebelumnya.
Mengenai arena pemilihan kepala desa bisa dipastikan akan mirip-mirip saja
dengan pemilihan kepala desa sebelumnya yang diatur dalam perundangan
desa yang lama, yang telah membuktikan sebagai arena tempur partaipartai politik, arena tempur kelompok-kelompok tertentu, yang ujungujungnya rakyat sesungguhnya sumir memaknai apa arti leadership di desa.
Model lama yang diberi baju baru dalam rekrutmen kepala dan perangkat
desa ini, membuka peluang pemborosan atas nama pendidikan politikdemokratisasi di desa. Faksi-faksi dan kelompok yang terpecah belah masih
akan terjadi. Demo-demo kontra-produktif atas nama pemilihan yang
demokratis tentu diyakini tetap berlangsung. Kepala desa tumbuh dengan

modal awal mengutang yang sangat besar, yang harus dibayar sepanjang
dia menjadi penguasa desa meski harus dikemas dalam model kekuasaan
terbagi (Trias Politika Desa-Pemerintah Desa, BPD, Masyarakat).
Dengan kasus-kasus empiris semacam ini, sesungguhnya tidak ada hal baru
melalui UU Desa 2014 baru ini, karena akan terulang kembali. Artinya kita
sedang memperumit diri dengan formula-verbal peraturan/perundangan,
yang disisi lain kita tidak sadar bahwa permasalahan utama adalah
lemahnya pendidikan demokratisasi dan tatakelola pemerintahan desa.
Selalu saja kita mudah melayangkan pendapat jikalau desa mau otonomi,
demokratis, transparan, partisipatif maka perundangannya harus dirubah!
Isu 3: Tidak Ada Kekuasaan Tunggal-Tiga Pilar Kekuasaan

BAB VII Badan Permusyawaratan Desa, Pasal 48 sampai Pasal 54 yang mengatur peran
dan fungsi BPD.
BAB VII Musyawarah Desa, Pasal 55, ayat (1) sampai ayat (5) tentang musyawarah desa.
Bagian Kedua Lembaga Adat, Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2): pemerintah daerah dapat
menetapkan berbagai kebiajakansebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat.
Tidak ada kekuasaan tunggal di desa. Pemerintahan desa akan dibagi dalam
3 pembagian kekuasaan yaitu Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan
Desa, dan Masyarakat. Model ini mirip dengan sistem negara:
Pemerintah/Eksekutif, DPR/Legislatif, dan Rakyat. Tentu semua dengan
tingkat peran dan kerumitan yang berbeda tetapi prinsipnya sama saja.
Dengan kata lain sesungguhnya sedang diproses Model Desa-Negara. Agak
aneh, dan merupakan cara berpkir yang tidak konsisten, jika ada orang yang
menyangkal bahwa kita sedang memperoses model desa-negara melalui
UU Desa 2014 yang baru ini ataupun UU Desa 2014 sebelumnya.
Di Bali sampai dengan NTT dikenal dua entitas desa, yaitu Desa Adat dan
Desa Dinas. Desa adat adalah desa yang digerakkan dengan entitas filofis
ahak asal-usul yang telah lama ada, sementara desa dinas menggambarkan
desan sebagai entitas baru bentukan Orde Baru lengkap dengan perangkat
kepala desa. Banyak kasus pembangunan menggambarkan bahwa partisipasi
masyarakat tidak bergerak jika tidak melalui restu dan perintah kepalakepala adat.
UU Desa 2014 yang baru nampaknya ambigu mensikapi dua problematika
antropologis-sosiologis terhadap dua bentuk desa tersebut. Ingin ditegaskan
disini bahwa di UU Desa 2014 baru, di dalam pasal-pasal yang mengaturnya,
tidak sekalipun mencantumkan kata Desa Adat, yang ada adalah
Lembaga Adat. Dengan pernyataan semacam ini maka sesungguhnya
perdebatan eksistensi desa adat dan desa harus sudah selesai. Maka
konsekuensinya adalah (1) Jika ada desa adat yang mempu dan memiliki

instrumen mirip dengan desa (desa modern seperti dihenbuskan melalui UU


Desa 2014 baru), maka desa adat tersebut bisa dipakai sebagai desa; dan (2)
Jika desa adat yang ada tidak memenuhi pelaksanaan sebagai instrumen
desa modern, maka desa adat yang ada diakui saja sebagai lembaga adat
yang dikuatkan dengan peraturan darah untuk dihormati adat istiadat yang
ada yang secara entitas tidak boleh bersandingan dengan desa
sebagaimana dimaksud dalam UU Desa 2014 baru.
Jangan Jauhkan Desa Dari Negara
Membuat desa lebih otonom dalm mengurus dan mengelola pembangunan dan
sendi kehidupan sosial termasuk menghormatan-penghormatan terhadap adat yang
ada, adalah merupakan kebijakan yang baik. Tetapi segala upaya untuk
memasukkan ideologi untuk membebas-jauhkan desa dari kehidupan tatakelola
negara (NKRI), merupakan kegiatan kelblinger baik dalam ranah praktis maupun
ranah teoritis.
Yang salah sejak jaman Orde Baru dalam praktik-praktik tata kelola negara dalam
relasinya dengan desa adalah cara-cara kita mengisi substansi pembangunan yang
berkaitan
dengan
desa,
baik
dari
sudut
siapa
sesungguhnya
yang
bertanggungjawab membina pembangunan desa, siapa sesunggunya yang
bertanggungjawab membina pengembangan kapasitas pemerintah desa, lemahnya
pengawasan terhadap dana-dana yang sesungguhnya diperuntukkan bagi desa,
korupsi yang meraja lela, dsb.
Sementara pemerintah yang sebelum-sebelumnya bebal untuk belajar
memperbaiki diri dalam relasi mengisi substansi pembangunan bagi desa, wacanawacana idealitik oposisi terlanjur berkembang begitu rupa seakan-akan telah
tersusun perundangan baru yang lebih ces-pleng untuk membangun desa. Dan
sayangnya, terus saja begitu terjadi berulang-ulang. Lalu berkembanglah wacana
ekstrim-kritis yang menganjurkan desa dibuat semi-absolut-otonom yang
dijauhkan dari urusan tata birokratis negara. Desa hendak dibuat semacam
teritorial-steril dari tatakelola negara yang sudah dianggap bobrok. Desa ingin
dianggap self-governing community, mengurus dirinya sendiri, otonom,
berhadapan dengan negara, menjadi seperti negara di dalam negara.
Alasan idelogi-teoritisnya yaitu: (1) desa lebih dahulu ada dibanding negara
(Republik Indonesia); (2) desa sejak dahulu kala telah mempu memerankan selfgoverning community; (3) Desa lebih dulu mempunyai teritorial, dan negara hanya
mengklaim saja atas nama sistem ketatanegaraan; (4) Desa terbungkus kehidupan
adat, dan bagaikan agama dia adalah hak pribadi (private) masyarakat desa yang
harus dihormati. Wajah desa bagaikan mulut besar yang menganga semi-otonom
diseluruh wilayah Indonesia, yang saya rasa tak ada perundangan manapun yang
mampu dibuat untuk cukup kuat menghadapi globalisasi.

Di dalam negara yang belum dewasa benar mengatur tatakelola pemerintahan


antara daerah, di dalam negara yang rapur sentimen pembangunan antar daerah,
didalam negara yang mudah sekali dipicu konflik lantara konsolidasi sosiologisnya
belum matang benar, di dalam negara yang mungkin masih imajiner tentang
kebhinekaan-persatuan-dan kebangsaannya ini, maka mulut besar desa semiotonom itu akan mudah minta suap gurita multinasional globalisasi.
Maka yang ingin ditegaskan disini adalah, jangan mengadu kepada mamakmu
dan menyesal, mengapa ideologi desa semi otonom itu terlanjur digulirkan dan kini
cepat atau lembat menjadi makanan empuk kapitalisme-global. Sayapun yakin
tidak akan mampu negara mengaturnya lagi, memproteksi desa-desa kita agar
tanggung menghadapi globalisasi. Negara, yang didalamnya berisi birokrat-birokrat
yang sebagian besar masih tamak ini, mungkin justru berkong-kalikong dengan
korporasi-global untuk mengunyah-unyah desa. UU Desa 2014 yang baru memang
mengatur dan menganjurkan agar NKRI menaungi desa-desa tersebut. Apa itu
artinya! Bayangkan bagaimana negara mampu mengatur ratusan ribu desa di
Indonesia yang di pantatnya sudah terlalu tergesa-geda dipasang bom waktu
melaju semi-otonom. Para cendekiawan pongah yang pernah disebutkan seblumnya
tadi sangat fasih membahas dan menganjurkan konsolidasi partai demi menata
demokratisasi, tetapi nampaknya agak kedodoran untu merumuskan maknanya
konsolidasi desa-desa. Sudah lebih dari setengah abad kita sisip-pikir
membangun tata kelola negara, dan kini bagai gelombang Tusunami datang dengan
ratusan ribu desa yang siap menganga semi-otonom. Saya tidak habis pikir, model
negara mana yang sedang ditiru-kembangkan oleh para sarjana-sarjana pongah itu.
Ataukan mereka sedang membuat laboratorium oplosan percobaan ngotak-atik
tatakelola negara sampai desa yang hanya berlandaskan atas rasa kecewa, dengan
campuran macam-macam formula ideologi.
Jangan-jangan hanyalah Desa Oplosan nanti yang terbentuk. Lagu instans asal
rame dan hingar bingar, yang tidak tahu lagi akar kesejarahannya dimana.
Membagi Kue Yang Disebut APBN
Alokasi Dana Desa (ADD) besarannya sekitar 100 juta sampai 250 juta yang
diberikan kepada desa untuk kegiatan pembangunan. Besarnya memang bervariasi
antar desa yang satu dengan desa yang lain tergantung kekuatan anggaran daerah.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ADD itu peruntukannya amburadul,
tidak terarah, dan bahkan tidak banyak kepala desa yang menilep lenyap uang
itu. Dibalik masalah ADD itu sebenarnya ada masalah yang lebih banyak baik
secara praktis, sampai masalah idealisme pembangunan, serta masalah kekeliuran
berasumsi tentang desa.
Pertama, kapasitas pemerintah desa masih rendah untuk diberi tanggungjawab
mengelola ADD menjadi instrumen support pembangunan desa. Apa makna

uang bagi kaum miskin, apa arti pembangunan di desa, apa arti partisipasi, apa
arti keberpihakan terhadap kaum miskin, ketampilan mengelola uang, dan macammacam lain tidak ada di dalam diri para perangkat desa. Lalu mengapa dikeluarkan
perundangan mengenai ADD?! Para cendekiawan pongah menelorkan gagasan: dari
pada uang itu dikorupsi di tingkat pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten lebih
baik diberikan ke desa supaya aparat desa belajar mengelola uang dan
pembangunan.
Itu alur pikir utamanya. Tentu saja sebelum diputuskan perundangan ADD itu
didahului dengan seminar, lokakarya, ajang perdebatan teoritis di hotel-hotel dan
dengan dakik-dakik argumentasi teoritis hak-hak kaum miskin. Dibayangkan bahwa
kapasitas pemerintah desa dan masyarakat desa itu perkara gampang, yang
penting uang sudah ada di desa. Ternyata uang itu yang semakin membodohkan
desa dan justru menumbuhkan problematikan yang meluas.
Kedua, Indonesia memiliki puluhan ribu desa. Luas teriorial desa jauh berbedabeda. Jumlah penduduk berbeda-beda antara desa satu dengan desa lain.
Perkembangan kebutuhan masyarakat desanya secara sosiologis sangat
beragam. Sementara itu di dalam tata kelola birokrasinya semua sibuk dengan
negosiasi anggaran, dan hanya bisa dihitung dengan jari para birokrat yang peduli
dengan desa. Ada GAP yang menganga luas antara desa sebagai institusi di tingkar
grassroots dengan pemerintah level kabupaten, apalagi provinsi dan negara. Maka
jika sebuah perundang disusun secara tergesa-gesa, apalagi ketergesaan itu
dilandasi dengan sikap emosional karena sakit hati atau terlalu jengkel melihat
keburukan sistem tatakelola birokrasi pemerintahan, maka niatan bagus apapun
untuk membuat perundangan itu hasilnya tetap akan tidak maksimal. Yang
dimaksud tidak maksimal adalah bahwa ranah pemikiran yang tertuang didalam
perundangan tidak akan mampu menangkap semua sudut dinamika yang akan
berkembang di persoalan sosiak yang sedang atau akan diatur.
Ketiga, yang sifatnya ideologis berbangsa dan bernegara, di seantero Indonesia
masih keddodoran untuk tidak mengatakan sangat lemah. Memang secara historis
bangsa kita pernah disatukan melalui pernahklukkan oleh Gajah Mada-Majapahit
dan kemudian dia mengangkat sumpah Palapa. Tetapi yang disebut persatuan
ataupun kesatuan waktu ajaman Majapahit itu sepertinya imajiner sifanta.
Bersatu karena dalam tekanan kekuatan kemiliteran Majapahit.
Sampai dengan penjajah Belanda masuk, kesatuan yang pernah disebut pada
sumpah Palapa itu tidak membuktikan wujud yang serius: persatuan itu secara
histiris tidak pernah mengada. Masuknya Belanda mengkocar-kacirkan lagi sumir
makna persatuan bangsa Nusantara itu. Hanya sampai ketika Soekarno-Hatta
membacakan Proklamasi atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945,
benarkah kita sesungguhnya telah bersatu secara ideologis dan praktik-praktik
sebagai bangsa yang satu? Persatuan ini kiranya amat sumir, amat lemah. Hanya

dalam ranah persepsi, ranah komsepsi, ranah keinginan-imajinatif, sesungguhnya


persatuan itu bekerja. Secara praktik tatapemerintahan Pusat daerah, kerja sama
antar daerah, dalam ranah sistem organisasi pembangunan sebagai bangsa yang
satu maka pengalaman kita masih sangat sedikit. Itu sebabnya bangsa ini rentan
dan teramat sangat mudah digoyang konflik, apapaun jenis konfliknya.
Isu-isu yang muncul seputar dana yang akan dikucurkan untuk desa akibat dari
disyahkannya UU Desa 2014 pada Desember 2013 lalu, jumlahnya fantastis karena
akan diambil prosentase tertentu dari APBN dan dari prosentase itu akan dibagikan
kepada desa. Kira-kira satu desa bisa memperoleh alokasi 1 Milyar rupiah lebih.
Bisakah kita menjamin bahwa kasus-kasus seperti yang terjadi didalam ADD tidak
terulang kembali? Tidakkah itu berarti kita sedang memanjakan desa dengan uang?
Jika pikiran para ahli, sarja, dan cendekiawan pongah itu memakai alasan tidak
apa-apalah dari pada uang itu dikorupsi oleh birokrat?lantas kapan lagi kita akan
memberikan hak masyarakat atas pembangunan, maka sesungguhnya kita sedang
berhadapan dengan para sarjana yang hanya sakit hati, lebih buruk lagi kita
sedang menghadapi sarjana-sarjana pongah yang tidak paham phylosopy of social
change.
Ooo.gampang diatasi. Akan diberikan pengembangan kapasitas kepada
perangkat desa untuk mengelola dana itu. Orang yang membangun program
atau kebiajakan dengan sakit hati, digerakkan oleh nafsu tertentu yang berorientasi
agar idealismenya tercapai. Dan nafsu itu mengakibatkan kelemahan-kelemahan
realistik yang ada di dalam masyarakat harus dianggap hal sepele, dan tidak perlu
ditanggapi. Sepintar apapaun, atau bahkan para sarjana itu alumnus dari
universitas-universitas ternama di luar negeri, nafsu-ideologis akan tetap menjadi
kelemahan dasar inherent pada diri individu manusia (sang sarjana). Tentu saja
kekuatan pemikran para sarjana pongah ini kian hari kian banyak lantaran jumlah
mereka semakin bertambah. Salah satu kelemahan lagi di dalam karakteristik
masyarakat kita adalah, kebenaran itu adalah dibentuk oleh kekuatan terbesar,
penganut pemikiran terbanyak, bahkan tentu pemberi uang terbanyak. Bahwa
kebenaran yang sesungguhnya terkadang hanya ada pada segelintir orang, sudah
tidak dipercaya lagi.
Sistematika ontologis para sarjana yang pongah itu tak mampu lagi membayangkan
sedalam apa kerusakan yang akan terjadi di desa dengan memagang uang satu
Milyar rupiah dan seberapa cepat pengembangan kapasitas mampu menutupi lukaluka kerusakan itu. Mari kita pikirkan dalam linier waktu, jika UU Desa 2014 yang
disahkan Desember 2013 itu efektif dilaksanakan pada katakanlah tahun 2016,
maka uang 1 Milyar untuk setiap desa itu kemungkinan besar akan terkucurkan di
2017. Lalu seberapa cepat kita mampu memberikan pengembangan kapasitas
kepada puluhan ribu desa di Indonesia? Pengembangan kapasitas pada tahap 1
pasti belum bisa efektif mampu diterapkan, dan itupun satu pemerintahan desa
mungkin hanya terwakili satu atau dua orang saja. Disisi lain seberapa banyak

pelatih dan institusi pelatihan tersedia untuk melatih ratusan ribu perangkat desa
agar desa relatif secara dasar sacara mampu mengelola uang satu Milyar?
Jika dibayangkan saja baru dalam kurun 4 atau 5 tahun sejumlah perangkat desa di
seluruh pulahan ribu desa di Indonesia baru secara relatif efektif mampu mengelola
dana desa satu Milyar tersebut, pertanyaannya kita tidak pernah bisa
membayangkan seberapa besar kerusakan, kekacauan, konflik kepentingan, dan
berbagai persoalan lain yang tumbuh di desa akibat adanya uang satu Milyar
tersebut. Berbagai permasalahan tersebut bisa saja justru menjadi amat kontraproduktif dari bayangan semula tentang otonomi dan dan kesejahteraan. Siapa
yang akan bertanggungjawab memperbaiki persoalan-persoalan sebagai sisa-sisa
di piring akibat diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013 itu? Mari kita lihat
sejauh manakah dan siapakah yang berwenang membina desa dalam jajaran
tatakelola institusi negara kita selama ini? Jakawannya adalah tidak jelas!
Penutup
Saya ingin menutup paper kecil ini dengan nuansa yang lebih optimis dibanding
paparan-paparan saya di atas yang cenderung skeptis. Tentu saja dengan maksud
bahwa saya juga ingin melihat masyarakat desa menjadi lebih otonom, mandiri,
memiliki partisipasi murni dalam menjalankan pembangunan lokal maupun regional,
serta jangan sampai masyarakat desa hanya menjadi ajang para petualang
idealisme yang tidak mempertimbangkan hancurnya bangunan-bangunan sosial
masyarkat desa.
Pertama, saya berharap para sidang pembaca meyakini bahwa masyarakat adalah
bangunan sosial yang menyejarah. Mereka adalah kelompok sosial yang hanya
bisa belajar baik dari proses sejarah yang tepat dan kontinum. Mereka
membutuhkan internalisasi yang cukup dan matang agar menjadi potensi
perubahan sosial mendasar. Berdasarkan itu maka saya ingin, UU Desa 2014 yang
baru saja diintrodusir ini tidak berubah dalam 10 tahun mendatang oleh para
petualang idealisme baru. Segala kebijakan yang ditujukan kepada desa, yang
selalu berubah dalam setiap 10 tahun, tidak akan memberikan perubahan apa-apa
di desa, selain juga kebijakan-kebijakan seperti itu hanya menghabiskan uang
negara.
Kedua, titik paling kritis tentang UU Desa 2014 tersebut bukan terletak pada substansi materi

undang-undangnya, tetapi justru pada gejala-gejala negatif yang tidak mampu kita duga dengan
diberikannya dana sebesar 1 Milyar kepada desa, sebagai implikasi dari pasal-pasal di dalam
undang-undang tersebut. Persiapan antisipatif sosial seperti apa yang bisa kita siapkan untuk
salah satu desa di kabupaten baru pemekaran dan kecamatan baru pemekaran di ujung
Halmahera Utara nun jauh di sana, ketika nanti mereka menerima dana sebesar 1 Milyar. Yang
saya maksudkan adalah ekses-ekses negatif dengan adanya dana 1 Milyar tersebut terjadi jauh

lebih cepat dibanding kemampuan UU Desa 2014 mengorganisir dan menginternalisasi


pengetahuan dan pranata-pranata baru di dalam masyarakat. Kita dengan mudah mengatakan:
ooo tentu saja pelatihan-pelatihan tentang tatakelola desa yg demokratis, penataan
keuangan desa, transparansi dan akuntabilitas akan dilatihkan. Uang akan menumbuhkan
inkonsistensi dan inkoherensi pranata dan relasi sosial desa yang kontraproduktif dengan ide-ide
kebaikan dalam UU Desa 2014. Logika ontologisnya adalah akibat masuknya UU Desa 2014
justru menguatkan kesadaran realitas masyarakat bahwa penguasa semakin berkuasa dan yang
tidak berkuasa tetap dalam kondisi lemah. Uang menjadi tidak punya makna.
Ketiga, perubahan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat desa terkait dengan
diberlakukannya UU Desa 2014 harus menjadi agenda utama kegiatan.
Pengucuran besaran dana harus dilakukan secara bertahap (mulai dari sedikit
menuju lebih banyak) sesuai dengan perkembangan kapasitas dan ukuran
justification cost yang terjadi di dalam masyarakat desa bersangkutan. Samarata
tentang dana desa merupakan pendekatan dan pemikiran paling bodoh dalam
konteks merancang sebuah perubahan sosial dan kebudayaan di desa. Jika prinsip
sama rata yang dikedepankan, diiringi kemampuan peningkatan kapasitas yang
lamban, maka sesungguhnya tidak lain sedang dilaksanakan Proyek UU Desa
2014. Semuanya tidak akan menghasilkan apa-apa selain keterpurukan desa
menjadi lebih tidak berdaya dan tidak mandiri. []
Refferensi Bacaan:
Evolutionary Theories of Cultural Change: An Empirical Perspective,
Richard R. Nelson. Columbia University, Version: January18, 2005
Gandhis Theory of Society and Our Times, By: A. K. Saran Source: Studies in
Comparative Religion, Vol. 3, No. 4. World Wisdom, Inc.
www.studiesincomparativereligion.com
Ideology and Cultural Change: A Theoritical Approach, Franois Facchini, Mickal
Melki -Centre dEconomie de la Sorbonne, Paris 1, France; 2011.
Linking Social Change and Developmental Change: Shifting Pathways of Human
Development, Patricia M. Greenfield. University of California, Los Angeles.
Theories of Social Change, Diana Leat, January 2005: International Network on
Strategic Planning (INSP): Bertelsmann Foundation, Germany.
The Evolutionary Theories of Marx and Engels, Stephen K. Sandorson, March
1998. Working Paper Series no. 38, Institute of Social Studies. Indiana University of
Pennsylvania.

UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.


Tentang Penulis:
Penulis adalah alumnus Antropologi UGM. Pendiri dan Board of Advisory di Lembaga
Nawakamal (Yogyakarta), sebuah LSM yang bergerak di penguatan livelihood
perdesaan, sejak 1993. Sering terlibat dalam berbagai penelitian sosial dan budaya
di berbagai wilayah di Indonesia. Pernah bekerja di Program Pemberdayaan
Masyarakat Adat (IRE, Yogyakarta: 2004-2006); Capacity Building-Aceh Local
Government Program (GTZ, 2007-2010), Tenaga Ahli Monev di National
Management Consultant (NMC)-P2DTK (2011), dan Tenaga Ahli Monev & Analisa
Program di Sekretariat Project Implementing Unit (PIU) KPDT (Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal), 2012-2014. Kontak: emilianuselip@gmail.com

Gandhis Theory of Society and Our Times, By: A. K. Saran Source: Studies in Comparative
Religion, Vol. 3, No. 4. World Wisdom, Inc. www.studiesincomparativereligion.com
Lingking Social Change and Development Change: Shifting Pathway in Development
Change: Patricia M. Greenfield, University of California-Los Angeles: 2009 American
Psychological Association/ 2009, Vol. 45, No. 2, 401418.
Menganalisis teori-teori sosial yang dipakai menjadi penting sebab teori-teori yang tepat
berguna untuk memprediksi kearah mana dan seperti apa kondisi sosial yang diharapkan
akan terjadi di masa depan dengan diterapkannya UU Desa 2014. Jelas atau tidaknya
asumsi teoritik sesungguhnya kita akan tahu apakah UU Desa 2014 ini diluncurkan oleh
karena dorongan tertentu yang tidak terarah (untuk tidak mengtatakan emosional):
dorongan kekecewaan, dorongan political akseptabilitas, atau juga dorongan kekecewaan
atas lemahnya rezim-burokrasi yang sedang berjalan.

Lihat Ideology and Cultural Change: A Theoritical Approach, oleh Franois Facchini, Mickal
Melki -Centre dEconomie de la Sorbonne, Paris 1, France; 2011. SEMINAR SEPIO JUNE 21,
MSE (PARIS 1, FRANCE) and Association for the Study of Religion, Economics & Culture,
ASREC Annual Meeting, April 7 10, 2011 Hyatt Regency, Crystal City (Washington DC).
berbagai kejadian yang mengesankan. Tak terkecuali di gedung DPR (baca : Senayan). Bisa jadi,
ini adalah hari termanis bagi proses pembangunan Indonesia. RUU Desa yang selama beberapa
tahun mangkrak pembahasannya, akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang. Ini merupakan
tonggak baru bagi sebuah negara dengan sistem pembangunan bottom-up, yang sebelumnya
pembangunan menganut sistem up-bottom.
Di zaman orde baru, sistem pembangunan sangat tersentralisasi, dimana daerah hanya bisa
menerima apa yang pusat putuskan. Namun, pasca reformasi, paradigma ini nampaknya mulai
dirubah. Pemerintah sadar bahwa sentralisasi hanya menciptakan pembangunan semu semata,
tidak menyentuh pada akar permasalahan. Desentralisasi menjadi sebuah paradigma baru dalam

pembangunan Indonesia saat ini. Untuk mengefektifkan sistem pembangunan ini, senayan
meloloskan UU Desa sebagai payung hukum membangun Indonesia dari bawah.
Ada beberapa hal yang menarik tentang UU Desa ini, dilihat dari isi, prosesnya, serta efek sosial
politiknya kedepan. Saya tidak akan membahas secara mendalam mengenai isi perpasal dari
Undang-Undang ini. Tulisan ini coba berbicara dari sudut pandang dampak sosial yang mungkin
terjadi. Saya bukanlah ahli sarjana pemerintahan atau tata negara, pun saya juga bukan seorang
ahli hukum. Kaitannya dengan UU Desa, saya berusaha menempatkan diri sebagai masyarakat
yang tinggal di pelosok pedesaan yang dalam UU ini dijadikan sebagai objek utamanya. Saya
akan coba memaparkan masalah-masalahnya terlebih dahulu sebelum kemudian mencoba
menawarkan apa yang sekiranya bisa dijadikan solusi akan permasalahan yang ada.

Salah satu klausul yang ada di UU


Desa adalah tentang adanya dana 10 % dari APBN dan APBD bagi setiap desa. Ini menjadi
menarik karena jika ditotal maka setiap desa akan memperoleh dana sekitar 1 milyar rupiah.
Angka yang cukup besar, dilihat dari anggaran yang selama ini dikucurkan untuk setiap desa dari
pemerintah. Perlu diingat bahwa jumlah desa yang ada di Indonesia adalah 81.253 desa /
kelurahan (data terbaru dari Kemendagri). Persoalannya bukan pada jumlah desanya, namun
lebih pada bagaimana pengelolaan anggaran tersebut. Selama ini di desa-desa, pengelolaan
anggaran selalu diserahkan kepada Kepala Kampung atau Ketua Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Kampung (LPMK). Anggaran ini rawan untuk kemudian diselewengkan, mengingat
besarnya anggaran yang diberikan. Fenomena yang terjadi di tingkat bawah adalah kebiasaan
bagi-bagi jatah. Salah satu penyebab mengapa adanya bagi-bagi jatah ini adalah karena kecilnya
gaji yang diterima oleh perangkat desa. Sehingga dengan adanya anggaran ini, maka boleh jadi
ini adalah aji mumpung bagi perangkat-perangkat desa. Namun itu bisa kemudian kita siasati
dengan pengawasan.
Pengawasan di tingkat desa dilakukan oleh Badan Permusyawaran Desa (BPD). Lembaga ini
merupakan perwujudan perwakilan dari masyarakat di tingkat desa. Namun lagi-lagi BPD di
berbagai daerah mengalami stagnanisasi lembaga. BPD hanya menjadi lembaga formalitas tanpa
memiliki progress yang menggembirakan. Alasan klasik yang selalu muncul ketika ditanyakan

mengapa BPD tidak bergerak adalah ketidaktahuan anggota mengenai mekanisme kerja serta
pembagian kerja di BPD itu sendiri. Apabila kemudian BPD tidak dicarikan solusinya, maka
proses pengawasan akan mati serta potensi terjadinya penyelewengan anggaran pembangunan
yang diamanatkan oleh UU Desa akan semakin besar. Itu adalah masalah yang pertama.
Permasalahan yang sekiranya berpotensi terjadi di lapangan berikutnya adalah mengenai
mekanisme penganggaran. Di penjelasan UU Desa tertera bahwa mekanisme penganggaran akan
melalui daerah. Titik rawannya sendiri berada pada penyalurnya. Melihat dari kejadian-kejadian
yang hampir serupa, contohnya ketika penganggaran sertifikasi guru, dana yang turun dari pusat
diendapkan dulu di rekening daerah sampai beberapa bulan. Endapan ini bukan untuk kemudian
dikorupsi, melainkan mencari bunga dari endapan dana di bank. Coba saja dihitung, jika satu
kabupaten terdapat 450 desa, artinya adalah dalam satu tahun akan ada dana segar sekitar 450
miliyar rupiah. Kalau bunga bank tiap bulannya mencapai 2 persen, sudah berapa dana yang bisa
diperoleh dari endapan ini.
Dalam hal realisasi di lapangan, UU Desa juga mengamanatkan harus dilakukan melalui
Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrembang Desa). Masalahnya kemudian, apakah
musrembang ini cukup efektif untuk membuat rencana kerja selama setahun mengingat SDM
berkualitas yang sangat terbatas di pedesaan. Pengalaman selama ini, Musrembang hanya
menjadi sebuah forum formal untuk pengesahan saja. Rencana-rencana yang diajukan semuanya
dibuat oleh beberapa orang saja, itupun ketika ditawarkan di forum, masyarakat maupun
perwakilan yang hadir, hanya memberi label persetujuan saja tanpa urun rembug maupun
mengkritisinya. Tentunya ini menjadi preseden yang kurang baik dalam proses pembangunan.
Keikutsertaan masyarakat dalam menggali rencana pembangunan mutlak dibutuhkan agar
pembangunan bisa selaras dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Kemudian, masalah yang berpotensi muncul adalah tingginya politik uang dalam pemilihan
kepala desa. Hingga saat ini, tidak ada payung hukum yang melegalisasi adanya pemberian biaya
pemilihan kepala desa dari pemerintah. Selama ini, biaya pemilihan kepala desa selalu
dibayarkan dengan cara patungan antar calon. Tak heran kemudian, satu calon kepala desa bisa
menghabiskan dana puluhan juta rupiah. Dana tersebut diperuntukkan bagi biaya
penyelenggaraan, pesta, sosialisasi, serta hal-hal lain yang terkait dengan pemilihan maupun
konstituen. Ini menjadi sandungan tersendiri bagi penerapan UU Desa, karena dalam UU Desa
tercantum bahwa periodisasi jabatan kepala desa adalah selama 2 periode dengan masing-masing
periode selama 6 tahun. Fatalnya adalah dalam UU Desa ini tidak termaktub adanya dana dari
pemerintah untuk proses pemilihan kepala desa. Apabila ini tidak segera dicarikan solusinya,
maka dana perimbangan yang jumlahnya fantastis itu bisa menjadi bancakan untuk
mengembalikan modal yang sudah dihabiskan oleh kepala desa dalam pemilihan.
Dari beberapa masalah yang potensial tersebut, saya mencoba menarik sebuah benang merah
antara fakta di lapangan dengan opsi yang ada di UU Desa. Pertama, tentang mekanisme

pengawasan serta penganggaran program, BPD harus menjadi watchdog yang bertaring. Satu hal
yang harus dilakukan sebelum pelaksanaan UU Desa ini diterapkan sepenuhnya adalah
adanya maintenance SDM di BPD itu sendiri. Untuk informasi, UU Desa akan resmi
diberlakukan mulai awal tahun 2015, sekaligus menunggu Peraturan Pemerintah untuk teknis
pelaksanaannya. Guna mengefektifkan aktor-aktor yang ada, maka pemerintah harus
meningkatkan SDM di dalam BPD. Ini bisa dilakukan dengan membuat semacam pelatihan
maupun workshop secara bertahap. Legislator-lagislator desa ini harapannya mampu
mengimbangi power yang dimiliki oleh kepala desa sebagai decision maker. Selain itu, adanya
korespondensi antara BPD dengan DPRD juga bisa menjadi solusi meningkatkan efektifitas
kerja BPD. Setidaknya ini mampu menjadi akselarator proses check and balance di tingkat desa.
Kemudian dalam kaitannya dengan hambatan distribusi dana perimbangan di tingkat daerah,
peran serta lembaga-lembaga dari pusat penting untuk dihadirkan. Sistem otonomi daerah tidak
membatasi adanya campur tangan dari pusat, sehingga proses distribusi ini harus mendapatkan
pengawasan ketat dari pusat. Pengalaman di dana sertifikasi guru, ketiadaan pengawasan dari
pusat menjadi lubang mengapa dana tersebut bisa ditahan di daerah. Apabila dana perimbangan
pembangunan desa ini tertahan, pastinya pembangunan akan terganggu, padahal semangat yang
ada dalam UU Desa jelas menyebutkan bahwa ujung tombak pembangunan Indonesia saat ini
terletak di desa.
Beranjak ke permasalahan berikutnya, solusi yang bisa kita tarik adalah adanya seorang
fasilitator di setiap desa. Fasilitator ini fungsinya sebagai akselarator lembaga-lembaga yang ada
di desa maupun proses-proses yang ada di dalamnya. Inisiator UU Desa sudah sering
memberikan pernyataannya bahwa kedepan memang akan ada fasilitator di tiap desa dan ini
rencananya akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Namun dalam pernyataannya, tidak
dijelaskan secara rinci bagaimana proses rekrutmen fasilitator ini, apakah mereka ini adalah staff
kementerian dari pusat atau fasilitator independen yang selama ini ada di program PNPM. Saya
melihat apabila fasilitator ini berasal dari pusat, maka tentu akan ada banyak uang yang
dikeluarkan. Jalan keluar alternatif yang bisa dipakai adalah memanfaatkan mahasiswamahasiswa yang ada di daerah melalui program KKN. Tentu akan ada banyak polemik jika benar
fasilitator adalah mahasiswa. Tapi tidak ada salahnya pemerintah memberikan kesempatan bagi
calon-calon intelektual muda ini mengaplikasikan ilmunya langsung di masyarakat.
Yang terakhir adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat mencari solusi untuk menekan
adanya biaya politik yang tinggi dari proses demokrasi di tingkat desa guna menghindari
bancakan dana perimbangan. Ini sebenarnya juga masih menjadi perdebatan di kalangan
legislatif daerah maupun pusat. Bagi saya, anggaran dari pemerintah mutlak diperlukan. Saya
sendiri setuju apabila pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD. Nah, anggaran yang
sedianya untuk pilkada, bisa dialihkan ke desa-desa. Saya memiliki alasan sendiri mengapa saya
mendukung kebijakan ini. Gubernur menurut saya adalah representasi dari pemeritah pusat. Kita
sendiri melihat bagaimana setelah kran otonomi daerah dibuka, peran gubernur jauh berkurang

dibanding Bupati maupun Presiden. Pemilihan langsung digunakan untuk memilih pemimpin
yang memiliki kaitan langsung dengan masyarakat. Salah satunya adalah kepala desa. Oleh
karena itu, saya sepakat bahwa dana pemilihan gubernur bisa dialihkan sebagai dana bantuan
operasional pemilihan kepala desa. Ini penting, karena saya melihat tingginya modal yang
dikeluarkan oleh kepala desa berbanding lurus dengan efektifitas kerja kepala desa.

Semua hal yang saya paparkan diatas, tidak mutlak terjadi di setiap desa yang ada di Indonesia.
Bahkan mungkin apa yang saya tulis diatas hanya sebuah kasuistik di daerah saya. Namun, tentu
apa yang terjadi ini bukan kemudian kita akan tutup mata. Semangat pembangunan yang ada
dalam UU Desa serta bagaimana euphorianya tentu tidak akan terlaksana apabila pemerintah
sendiri tidak mau melaksanakan UU Desa ini. Jangan sampai UU Desa ini hanya menjadi naskah
pelengkap kerja DPR semata. Sebagai masyarakat, tentu kita memiliki kewajiban untuk
senantiasa berkontribusi bagi pembangunan yang memang sedang digalakkan, salah satunya
melalui UU Desa ini. Kita jangan psimis dengan ikhtiar yang sudah dilakukan oleh pemerintah
maupun DPR. Walaupun nantinya akan banyak kendala yang dihadapi di lapangan, tidak lantas
membuat kita berhenti untuk terus mewujudkan masyarakat yang adil-makmur serta
berkemajuan. Setiap hambatan tentu memiliki pemecahan masalahnya, pertanyaannya kemudian
adalah apakah kita mau berkontribusi untuk mencari solusi itu. Silahkan kita bertanya kepada
diri kita masing-masing. Wallahualam bishowab

TELAAH KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA


-----------------------------------------------------------Oleh : Drs. IRAWAN RUMEKSO, MM

ABSTRAK
Faktor posisioning terhadap desa yang belum tepat merupakan faktor dominan yang menjadi penyebab
ketertinggalan desa. Desa selama ini lebih ditempatkan sebagai obyek daripada subyek.

Setelah melalui perjalanan yang panjang, pemerintah dan DPRRI pada tanggal 19 Desember 2013 mengesahkan
berlakunaya UU Desa yang baru. UU Desa yang baru menjadi tonggak sejarah yang penting bagi pemerintahan desa, karena
adanya political will dari negara untuk memberdayakan desa dan meningkatkan kesejahteraan seluruh perangkat desanya.
Pengaturan masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih untuk tiga periode masa jabatan kurang tepat, karena masa
jabatan enam tahun sebenarnya belum cukup bagi Kepala Desa untuk memaksimalkan program kerjanya dan dapat
menghambat kaderisasi kepemimipinan di tingkat desa serta akan mendorong stabilitas politik desa terguncang kembali
setiap enam tahun.
Satu hal hal lagi yang perlu dikritisi adalah bahwa UU Desa tidak memberikan legitimasi kewenangan kepada
Camat terhadap desa selaku atasan Kepala Desa, padahal desa sangat membutuhkan pembinaan langsung dari kecamatan.
Namun UU Desa ini patut diapresiasi karena mencantumkan kebijakan-kebijakan yang progresif dan strategis bagi
kemajuan dan perkembangan desa.
Kata kunci : UU Desa, otonomi desa, pemerintahan desa, pemberdayaan desa, masa jabatan Kades dan peranan
Camat.

PENDAHULUAN

Setelah melalui perjuangan panjang yang melelahkan melalui demonstrasi yang hiruk
pikuk memenuhi ruang-ruang publik serta diwarnai dengan ancaman boikot terhadap
pelaksanaan program-program strategis pemerintahan, pemerintah dan DPRRI akhirnya
mengabulkan tuntutan para kades dan perangkat desa dengan mengesahkan berlakunya Undangundang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa), menggantikan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang tidak memuaskan bagi para
Kepala Desa dan aparatur desa.
Pertimbangan disahkannya UU Desa adalah : Pertama, bahwa Desa memiliki hak asal
usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan
berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik
Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan
diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan
landasan yang kuat dalammelaksanakanpemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat
yang adil, makmur, dan sejahtera. Ketiga, bahwa Desa dalam susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang.
EKSISTENSI DESA
Keberadaan desa menarik minat berbagai kalangan untuk membahas, mengkaji dan
memanfaatkannya. Para pakar banyak yang telah melaksanakan penelitian tentang desa,
penguasa telah memproyekkan desa, para politisi telah mempolitisir desa dan para pengusaha
telah mengksploitasi desa. Desa, penduduk desa, sistem sosial dan kekerabatan, dinamika politik
dan penyelenggaran pemerintahannya telah menjadi obyek bahasan dalam berbagai seminar dan
forum-forum ilmiah lainnya. Namun ironis, itu semua belum mampu memberikan solusi yang
manjur untuk perkembangan dan kemajuan desa. Desa tetap saja masih harus bergelut dengan

masalah-masalah mendasar, baik itu masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan,


ketenagakerjaan dan masalah infrastruktur. Padahal desa memiliki segalanya : sumber daya
manusia, sumber daya alam, semangat kegotong-royongan, sistem sosial yang penuh
kekerabatan dan toleransi.
Demikian juga dengan kelembagaan pemerintahan desa, ternyata masih terbatas
kapasitasnya untuk melaksanakan pelayanan publik, membangkitkan potensi dan
memberdayakan masyarakat. Banyak faktor yang menjadi penyebab itu semua, baik faktor
internal maupun eksternal, namun ternyata faktor posisioning terhadap desa yang belum tepat
merupakan faktor dominan yang menjadi penyebabnya.
Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, desa selama ini lebih ditempatkan
sebagai obyek daripada subyek. Sudah sejak jaman dahulu, desa dijadikan sebagai : bahan
kajian, pilot project kebijakan, sumber dukungan politik, sumber legitimasi para penguasa dan
eksploitasi para pengusaha.
Desa yang pada mulanya mampu berkembang dengan segala piranti dan kelembagaan asli
sesuai kekhasan masing-masing yang dimiliki dan diciptakan sendiri baik di bidang politik,
ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan, mulai kehilangan otonominya ketika
diintervensi oleh otoritas yang lebih besar. Pada jaman kerajaan, desa diminta mengakui, patuh
dan tunduk terhadap otoritas kerajaan sambil menjalankan otonomi asli. Memasuki era
kemerdekaan, terutama era orde baru, otonomi desa direnggut dan penyelenggaraan
pemerintahan desa diseragamkan melalui implementasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Sejak saat itu, desa kehilangan kekhasan dan keasliannya,
pemerintahan desa diformat sesuai main stream kekuasaan dan selera penguasa pada saat itu.
MENGEMBALIKAN OTONOMI DESA
Walaupun masih saja menjadi obyek eksploitasi politik dan ekonomi, desa yang telah
tumbuh dalam sejarah yang sangat panjang berabad-abad lalu, terus mengalami pertumbuhan
dan perkembangan yang dinamis. Karena pertumbuhan dan perkembangannya itulah maka desa
tetap eksis sampai hari ini. Menyadari akan eksistensi desa yang perlu terus dijaga dan diberi
ruang untuk tumbuh dan berkembang, perlahan-lahan orientasi kebijakan tentang desa juga
mengalami perubahan. Pemerintah mulai mencoba mengembalikan kedaulatan desa, dengan
mencabut UU 5 Tahun 1979 dan menggantinya dengan peraturan perundangan yang baru.
Namun sayang, di era reformasi, pengaturan tentang desa justru turun tahta, karena pengaturan
tentang pemerintahan desa diatur dalam peraturan teknis di bawah undang-undang, undangundang sebagai induknya, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan pemerintahan desa dalam pasal-pasal yang singkat.
Namun UU 22/1999 dan UU 32/2004 mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat dengan hak-hak asal-usul dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu, desa bisa disebut dengan
nama lain yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Namun sayang, kewenangan desa
dalam UU 32/2004 menjadi tidak mempunyai arti apa-apa karena urusan berdasarkan hak asal-

usul dan adat istiadat tidak diidentifikasi dan dikategorisasi dengan jelas. Demikian pula urusan
yang berasal dari kabupaten/kota, ternyata banyak yang belum didelegasikan.

PEMBERDAYAAN DESA
Pengesahan UU Desa menjadi tonggak sejarah yang penting bagi pemerintahan desa,
karena baru kali ini ada UU Desa yang menunjukkan komitmen yang nyata dan adanya political
will dari negara untuk memberdayakan desa dan meningkatkan kesejahteraan seluruh perangkat
desanya. Komitmen dan political will itu antara lain bisa dilihat pada :
1.

Adanya alokasi anggaran dari APBN untuk pembangunan desa. Kebijakan ini
dituangkan dalam Pasal 71, setiap desa akan mendapatkan alokasi dana dari APBN
sebesar sepuluh persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam
APBD setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK). Nilainya disesuaikan dengan
kondisi geografis desa, jumlah penduduk dan angka kemiskinan. Selama ini
pendapatan asli desa bersumber dari pendapatan asli desa yang terdiri dari : hasil usaha, hasil
aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa, bagian dari
hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan
bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerahkabupaten/kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; danlainlain pendapatan desa yang sah. Adanya pendapatan yang bersumber dari alokasi dana APBN
tentu saja merupakan kebijakan baru yang positif dan merupakan poin penting bagi
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Desa menghadapi banyak masalah, antara
lain kemiskinan, derajat kesehatan masyarakat yang memprihatinkan, tingkat pendidikan
yang rendah, angka pengangguran yang cukup tinggi, rendahnya kapasitas penyelenggara
pemerintahan desa, kerusakan lingkungan alam, kerusakan infrastruktur dll. Dengan adanya
tambahan pendapatan desa yang signifikan maka persoalan-persoalan tersebut akan terus
ditangani dan dicarikan solusinya sesuai dengan prioritas dan kewenangan desa. Apalagi
perencaaan, alokasi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban penggunaan dana dilaksanakan
oleh desa itu sendiri, tentu saja ini merupakan aksi yang nyata untuk pemberdayaan
masyarakat. Namun konsekwensi dari penyerahan dan pendelegasian pengelolaan keuangan
ini harus diikuti dengan peningkatan kapasitas pengelola melalui pelatihan, pembinaan
penatausahaan keuangan desa disertai dengan pengawasan yang kontinyu agar dana dapat
dikelola secara akuntabel, transparan, tepat waktu, tepat mutu, tepat administrasi dan tepat
sasaran.
2.
Adanya penghasilan tetap, tunjangan dan pemeliharaan kesehatan untuk kepala desa dan
perangkat desa.
Kepala Desa dan perangkat desa pada hakekatnya adalah penyelenggara negara di tingkat
desa. Keberadaannya sangat strategis dalam sistem penyelenggaraan negara, karena desa
adalah muara dari semua program pemerintahan dan pembangunan, disamping itu desa
adalah basis data sebagi sumber informasi dan pembuatan kebijakan nasional dan daerah,
sehingga untuk kelancaran dan kesuksesan program-program pemerintahan dan
pembangunan, sudah semestinya kalau desa diperkuat baik dari sisi kelembagaan, kapasitas

aparatur dan kewenangannya. Hal yang sangat signifikan berpengaruh terhadap peningkatan
kinerja aparatur desa adalah peningkatan kesejahteraan. Walaupun sudah ada perhatian
pemerintah, secara umum tingkat pendapatan aparatur desa masih rendah, sehingga perlu
terus ditingkatkan. Kebijakan yang pemberian penghasilan tetap, tunjangan dan pemberian
jaminan kesehatan dari negara merupakan kebijakan penting yang akan dapat menciptakan
iklim kerja yang baik dalam menjalankan tugas dan kewajiban aparatur desa.
MASA JABATAN KEPALA DESA
UU Desa merupakan UU yang bagus, namun masa jabatan Kepala Desa merupakan satu
hal yang perlu dikritisi. UU Desa mengatur jabatan Kepala Desa 6 tahun dan dapat dipilih untuk
tiga kali masa jabatan baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Hal ini tentu saja berbeda
apabila dibandingkan dengan UU 32/2004 yang mengatur masa jabatan Kepala Desa adalah 6
tahun dan dapat dipilih untuk dua periode masa jabatan. Pengaturan masa jabatan ini juga
berbeda dengan tuntutan para Kepala Desa yang mengusulkan masa jabatan menjadi dua belas
tahun dan dapat menjabat untuk dua periode masa jabatan.
Masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih untuk tiga periode masa jabatan menurut penulis
kurang tepat, karena masa jabatan enam tahun sebenarnya belum cukup bagi Kepala Desa untuk
memaksimalkan program kerja dan visi misnya. Apalagi dengan diperbolehkan menjabat selama
tiga periode, akan dapat menghambat kaderisasi kepemimipinan di tingkat desa. Disamping itu,
masa jabatan yang enam tahun akan mendorong stabilitas politik desa terguncang kembali
setiap enam tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa Pemilihan Kepala Desa sering menorehkan
luka, dendam berkepanjangan dan menimbulkan konflik horizontal/vertikal bagi para pihak
terkait yang sulit dihilangkan dalam beberapa tahun. Acapkali pihak-pihak yang kalah/dirugikan
menjegal program-program Kepala Desa terpilih, sehingga menghambat kelancaran
peyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Apalagi sesuai UU Desa yang
baru, biaya pemilihan Kepala Desa menjadi beban APBD Kabupaten/Kota, sehingga dengan
periode jabatan yang singkat, biaya Pilkades akan membebani APBD. Menurut penulis masa
jabatan yang ideal untuk Kepala Desa adalah sepuluh tahun dan cukup menjabat satu periode
saja untuk mendorong kaderisasi kepemimpinan di tingkat desa.
PERANAN CAMAT
Secara sosiologis hubungan antara kecamatan dengan desa adalah bersifat sistemik, artinya
saling ketergantungan, saling mempengaruhi dan berinteraksi secara langsung dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan desa. Praktek interaksi sistemik kecamatan dan desa didasarkan
pada pandangan bahwa desa memiliki beragam keterbatasan, yaitu: keterbatasan kapasitas
aparatur, keterbatasan sarana-prasarana dan keterbatasan manajemen pemerintahan desa. Artinya
potret keterbatasan desa di atas, pemerintahan desa membutuhkan pembinaan langsung dari
kecamatan. Hanya permasalahannya UU Desa ini tidak memberikan legitimasi kewenangan
kepada Camat terhadap desa selaku atasan Kepala Desa.
Pola hubungan kecamatan dan desa seperti itu, seharusnya diatur dengan kewenangan yang
jelas, walaupun secara formal Camat tidak ditempatkan sebagai atasan langsung Kepala Desa
atau sejajar. Padahal secara empiris Camat adalah atasan riil Kepala Desa, artinya Camat
yang sehari-hari memberikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa
dan tempat kades dan perangkat desa berkonsultasi menyangkut pelaksanaan tugas dan
kewajiban.

Di dalam UU Desa yang terdiri 122 pasal, hanya dua ayat yang memberikan
kewenangan kepada Camat dan itupun bukan kewenangan substantif, yaitu Pasal 49 ayat 3 dan
Pasal 53 (3) Kepala Desa akan mengangkat/memberhentikan perangkat desa terlebih dahulu
berkonsultasi dengan Camat An. Bupati/Walkota. Namun demikian masih ada peluang bagi
kewenangan Camat, yaitu Pasal 112 (2), bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan
pengawasan kepada desa, Bupati/Walikota dapat mendelegasikan kepada perangkat daerah.
Sehinga kuncinya ada di tangan Bupati/Walikota untuk memberikan delegasi kepada Camat
untuk memaksimalkan tugas dan kontribusinya bagi praktek penyelenggaran pemerintahan,
tugas-tugas pembangunan, pembinanan serta pemberdayaan masyarakat.
Tiga alasan perlunya keterlibatan Camat dalam pembinaan dan pengawasan jalannya
pemerintahan desa, yaitu: (1) Karena dimungkinkan atau diberi pelung oleh peraturan
perundang-udangan; (2) Untuk efektifitas dan efisiensi pembinaan dan pengawasan, karena
Camat dan jajarannya yang beriteraksi dan berhubungan langsung dengan Kepala Desa dan
perangkat desa; dan (3) Dalam konteks sistem pemerintahan Republik Indonesia dalam peraturan
perundangan yang berlaku, desa disamping sebagai entitas yang mempunyai hak otonomi, desa
juga diberi peran sebagai bagian dari entitas administrasi negara dengan tugas-tugas pelayanan
publik dan tugas-tugas birokrasi. Oleh karena itu menjadi relevan kalau Desa mendapat
pembinaan dan pengawasan dari aparatur birokrasi (Camat).
PENUTUP
Disahkannya UU Desa patut disambut dengan perasaan bangga dan gembira. UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa mencantumkan kebijakan-kebijakan yang progresif dan
strategis bagi kemajuan dan perkembangan desa. UU ini juga menghargai eksistensi
desa dan peranan aparatur desa dan secara tegasa memberikan ancaman pemberian
sanksi kepada kepala desa yang tidak menjalankan kewajibannya. Sanksinya bisa
teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Ini tentu positif
untuk mendorong kinerja dan disiplin pemerintah desa.
Kesimpulannya adalah UU Desa yang baru merupakan terobosan yang fenomenal dari
pemerintah dan DPRRI yang akan menjadi tonggak sejarah bagi perkembangan dan kemajuan
desa dan akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA :
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
[MAKALAH] Analisa Penerapan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa

PENDAHULUAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan


Undang-Undang yang telah dinantikan oleh segenap masyarakat desa tak terkecuali perangkat
desa selama 7 tahun. Tepatnya, Rabu 18 desember 2013, Rancangan Undang-Undang (RUU)
Tentang Desa disahkan menjadi UU Desa. Kemudian pada 15 januari 2014, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani guna mengesahkan UU tersebut.
Adapun tujuan dari disahkannya UU Desa ini antara lain:
1. 1memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan
keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
2.

memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia;

3. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa;


4. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan
potensi dan aset desa guna kesejahteraan bersama;
5. membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab;
6. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum;
7. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat
desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8. memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional; dan
9. memperkuatmasyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Sedangkan asas pengaturan dalam UU Desa ini adalah:
1. rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
2. subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan
secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa;
3. keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di
masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara;

4. kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip
saling menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur masyarakat desa
dalam membangun desa;
5. kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun desa;
6. kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu kesatuan
keluarga besar masyarakat desa;
7. musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
8. demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem
pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan
masyarakat desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk tuhan
yang maha esa diakui, ditata, dan dijamin;
9. kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat
desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan
kemampuan sendiri;
Penetapan UU Desa ini tak lepas dari penolakan. Di samping, ribuan kepala desa di seluruh
Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan penuh dengan sukacita, daerah Sumatera
Barat menolak UU tersebut. Hal tersebut dikarenakan, menurut Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM) se-Sumatera Barat, beranggapan bahwa UU Desa akan melemahkan
eksistensi nagari di Sumbar sebagai satu kesatuan adat, budaya dan sosial ekonomi.
Terlepas dari penolakan dari LKAAM Sumbar, UU ini secara umum mengatur materi
mengenai asas pengaturan, kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa,
penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, peraturan
desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan,
badan usaha milik desa, kerja sama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa,
serta pembinaan dan pengawasan. Selain itu, UU ini juga mengatur dengan ketentuan khusus
yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.
Salah satu poin yang paling krusial dalam pembahasan RUU Desa, adalah terkait alokasi
anggaran untuk desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa. Jumlah
alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana
transfer daerah. kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah,
kesulitan geografi. Ini dalam rangka meningkatkan masyarakat desa. Selain itu, poin-poin lain
yang disepakati adalah terkait masa jabatan kepala desa. Kemudian diatur juga terkait

kesejahteraan kepala desa dan perangkat desa. Baik kepala desa, maupun perangkat desa
mendapat penghasilan tetap setiap bulan dan mendapat jaminan kesehatan.
Di sisi lain, UU Desa juga mengandung kekurangan. Kekurangan pertama, adanya
perbedaan pengertian desa adat menurut UU Desa dengan pengertian desa adat menurut
masyarakat desa adat itu sendiri. Kekurangan kedua, tereletak pada dana alokasi kepada setiap
desa per tahun yang dapat saja disalahgunakan. Kemudian, tidak menjelaskan secara khusus
tentang penempatan perempuan minimal 3o persen pada perangkat desa. Selain itu, tingkat
kesiapan tata kelola yang masih rendah dan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada
di desa, juga dapat menghambat tujuan-tujuan yang hendak dicapai setelah pengesahan UU
Desa.
Maka dari itu, makalah ini akan menganalisa kelebihan dan kekurangan dari UU Desa
dan juga dalam hal kesiapan tata kelola serta SDM yang ada di desa.

ANALISA
Setiap produk hukum, seperti Undang-Undang, tidak terlepas dari kelebihan dan
kekurangan setelah disahkan. Begitupula dengan UU Desa. Pada bab pendahuluan, sudah
diterangkan secara singkat kelebihan dan kekurangan yang ada di UU Desa. Pada bab analisa
ini, penulis akan menganalisa kelebihan dan kekurangan tersebut.

Kelebihan
Pada UU Desa ini, terdapat poin yang memang sudah dicanangkan sekitar 7 tahun
lamanya. Yaitu, adanya aturan yang membahas terkait alokasi anggaran untuk desa. Di dalam
penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang keuangan desa. Jumlah alokasi anggaran yang langsung ke
desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah dengan
mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi.
Dengan adanya dana alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
tersebut, tentu diharapkan pembangunan di desa semakin baik dan mampu menyejahterakan
masyarakat desa dengan pemanfaatan dana alokasi secara maksimal. Jika mampu mengelola
dengan baik dan bijaksana, maka bukan hal yang mustahil jika masyarakat desa yang berada di

garis kemiskinan dapat berkurang dan mungkin saja dapat bersaing dengan masyarakat desa
lainnya atau bahkan masyarakat global secara umumnya.
Pada perangkat desa seperti kepala desa juga tidak luput dari pembahasan dalam UU
Desa. kepala desa menurut UU Desa pasal 26 ayat 1, bertugas menyelenggarakan pemerintahan
desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Pada pasal yang
sama di ayat 3 huruf c, dijelaskan bahwa kepala desa menerima penghasilan tetap setiap bulan,
tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan. Selain itu,
segala hal yang berhubungan dengan kepala desa, baik itu tugas, wewenang, larangan, hingga
masa jabatan seorang kepala desa, juga tertuang di UU Desa. Pada jajaran perangkat desa
lainnya, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga diberikan penjelasan-penjelasan
terhadap seperti apa fungsi BPD, tugas-tugasnya, wewenang, kewajiban, hingga laranganlarangan yang tidak boleh dilakukan oleh BPD.
Secara umum, UU Desa telah menjabarkan secara sistematis dan mampu memberikan
hak-hak pada setiap desa di Indonesia untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di
desanya. Dengan adanya UU ini, maka setiap desa dapat menyejahterakan masyarakatnya
sesuai dengan prakarsanya pada masing-masing desa. Adanya UU ini juga menjadi dasar
hukum yang sangat berarti bagi setiap desa, karena UU ini bisa dijadikan sebagai dasar pijakan
dalam menjalankan pembangunan-pembangunan di desa. Maka, kelebihan UU Desa yang
paling terlihat adalah telah adanya dasar hukum yang jelas bagi setiap desa di Indonesia.

Kekurangan
Di balik kelebihan, tentu terdapat pula kekurangan. Begitupula pada UU Desa. Ada
berbagai kekurangan yang terdapat dalam UU Desa. Tidak hanya dalam segi isi, namun juga
dalam hal penerapannya.
Dari segi isi, terdapat kekurangan terutama dalam pengertian desa adat. Sebelum
terbitnya UU ini, setiap wilayah memiliki pengertian desa adat yang berbeda-beda. Sebagai
contohnya, di Bali. Pengertian desa adat adalah tempat pelaksanaan ajaran agama dalam sprit
takwa, etika, dan upacara yang bertalian pada wilayah pawongan (warga/krama desa),
palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan menurut UU Desa,
desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat. Maka dari itu, harus ada penyeragaman pengertian arti desa
adat, agar tidak ada gelojak dikemudian hari.
Masih dalam segi isi UU Desa, dikatakan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana
alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling sedikit 10 persen setiap
tahunnya. Maka, dapat diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1.2 hingga 1.4
miliar setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10 persen
dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59, 2 triliun,
ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk
desa adalah Rp. 104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia.
Dengan total dana sebanyak itu, tidak mustahil akan diselewengkan oleh perangkat desa
yang tidak bertanggungjawab. Maka, penting adanya pengawasan, dalam hal ini adalah tugas
BPD dan pemerintah daerah setempat, yang dilakuan secara berkala terhadap setiap desa agar
pembangunan desa lebih tepat sasaran. Masalah lainnya juga akan ditimbul, yaitu adanya
perbedaan-perbedaan keadaan atau kondisi desa yang ada di Indonesia. Ada desa yang memang
sudah mandiri dan sudah mampu menyejahterakan masyarakatnya dengan berbagai cara
sebelum adanya lahirnya UU Desa. Akan tetapi, ada pula desa yang tertinggal dan masih belum
belum bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Jika nantinya akan dikucurkan dana
alokasi tersebut, dikhawatirkan akan mubazir bagi desa maju dan akan tetap merasa
kekurangan bagi desa tertinggal. Sekali lagi, peran pengawasan sangat diharapkan mampu
mengawasi penggunaan dana alokasi tersebut agar dana alokasi tersebut tepat sasaran sesuai
kebutuhan dan keperluan masing-masing desa.
Masa jabatan kepala desa juga mungkin saja akan menjadi permasalahan. Pada UU
Desa, dijelaskan masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali dalam 3
periode, boleh berturut-turut atau tidak. Masa jabatan yang tergolong lama ini, ditakutkan akan
lahir raja-raja kecil di desa. Terlebih lagi, dengan kewenangan yang diberikan pada setiap
kepala desa cukup bebas dan keuntungan-keuntungan menjadi kepala desa yang dapat
mengiurkan bagi setiap orang, memungkinkan seseorang dengan segala cara agar dapat
menduduki jabatan sebagai kepala desa. Untuk itu, masyarakat desa harus jeli memilih kepala
desa yang memang berkompeten dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan yang ada
di desanya. Dengan menggunakan pemilihan secara langsung, masyarakat desa diharapkan
mampu menepatkan orang-orang terbaik di desanya pada setiap posisi di perangkat desanya,
terlebih pada posisi kepala desa. Tingkatan kepedulian masyarakat desa dalam berdemokrasi,
secara tidak langsung, juga akan berpengaruh dalam pembangunan-pembangunan di

wilayahnya. Penepatan orang baik dan memang mampu mengatasi permasalahan desa pada
tingkat kepala desa, pastilah akan berdampak positif dalam perubahan-perubahan yang terjadi
ke depannya. Sebaliknya, jika salah memilih, bukan malah mengatasi permasalahan tetapi akan
menimbulkan permasalahan baru yang mungkin lebih besar lagi.
Masih berkaitan dengan pentingnya masyarakat desa memahami demokrasi, maka
masyarakat desa mau tidak mau harus memiliki pemahaman berdemokrasi itu sendiri. Salah
satu caranya adalah dengan jalur pendidikan. Dengan pendidikan yang baik dan benar, akan
menghasilkan masyarakat desa yang melek berdemokrasi dan juga dapat memberikan
kontribusi terhadap pembangunan-pembangunan di desanya. Ini berkaitannya dengan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berbeda-beda ada pada setiap desa. Peran pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, juga harus mampu turun tangan dalam
meningkatkan SDM masyarakat desa ini. Mengenai SDM, juga berkaitan erat dengan tata kelola
yang akan dikerjakan oleh perangkat desa. Maka dari itu, dengan meningkatnya SDM di suatu
desa, juga akan berdampak baik terhadap tata kelola pemerintahan desanya.
Lalu, pada penempatan perangkat desa itu sendiri, UU Desa tidak secara khusus
menjelaskan tentang keberadaan perempuan minimal 30 persen di perangkat desa. Hal tersebut
dianggap penting, karena jangan sampai perempuan-perempuan di desa hanya akan dijadikan
obyek pengaturan, bukan sebagai subyek. Dengan adanya perempuan di perangkat desa,
diharapkan dapat menyalurkan aspirasi perempuan-perempuan lainnya di desa tersebut.
Dari sekian kelebihan dan kekurangan yang telah disampaikan, UU Desa ini harus
diapresiasikan. UU ini memberikan pengakuan terhadap setiap desa yang ada di Indonesia
sebagai ujung tombak pemerintahan. UU ini juga memberikan keleluasaan pada setiap desa
untuk mengatur pembangunan di desanya yang bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat desa.
UU Desa akan berfungsi baik jika semua pihak saling mendukung dan saling membantu
dalam menjalankan amanah UU tersebut. Jika semua pihak mampu menjalankan tugas dan
fungsinya sesuai dengan yang diamanahkan, maka bukan tidak mungkin pembangunan di desa
akan semakin baik dan dapat menyejahterakan masyarakat desa itu sendiri serta membantu
pembangunan nasional secara keseluruhan.

PENUTUP

Kesimpulan
Setiap produk hukum, seperti Undang-Undang , tidak terlepas dari kelebihan dan
kekurangan setelah disahkan. Begitupula UU Desa. Adapun kelebihan UU Desa yang paling
terlihat adalah pemanfaatan UU Desa sebagai dasar pijakan dan dasar hukum yang jelas bagi
setiap desa di Indonesia. Sedangkan, kekurangan UU Desa terletak pada pengertian desa adat
yang berbeda dengan pengertian masyarakat desa adat itu sendiri. Perbedaan ini mungkin saja
akan menimbulkan dampak dikemudian hari jika tidak ditanggulangi sejak diri. Dana alokasi
yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong cukup besar
terhadap setiap desa per tahunnya, juga bisa menjadi permasalahan jika tidak diawasi secara
maksimal dan berkala. Kemudian, tidak adanya pembahasan secara khusus pada UU Desa
tentang penempatan perempuan minimal 30 persen pada perangkat desa. Dan yang terpenting
adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di desa untuk menjalankan UU
Desa ini dan tentunya akan berdampak terhadap tata kelola pemerintahan desa itu sendiri.
Saran
Saran dari penulisan ini adalah harus adanya pengawasan yang intens dan berkala untuk
bisa mengawal UU Desa ini dalam menjalankan amanah-amanahnya. Terutama, dalam
pengawasan penggunaan dana alokasi terhadap setiap desa per tahunnya yang rawan
dimanfaatkan oleh segelintir orang yang tidak bertanggungjawab. Pengawasan ini sendiri, bisa
dari Badan Permusyawaran Desa (BPD) setempat, pemerintah daerah setempat dan juga bisa
dari masyarakat desa itu sendiri. Dengan adanya pengawasan dalam penggunaan dana alokasi
tersebut, diharapkan penggunaan dana alokasi dapat tepat sasaran dan dapat digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat desa.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
http://setkab.go.id/berita-11923-presiden-teken-uu-desa-kepala-desa-kini-dapat-gaji-dantunjangantetap.html (diakses tanggal 15 juni 2014).
http://www.jurnas.com/news/133227/Antisipasi-Permasalahan-dan-Usulan-Revisi-UU-Desa2014/1/Nasional/Opini (diakses tanggal 15 juni 2014).
http://kartonmedia.blogspot.com/2014/02/keistimewaan-undang-undang-desa-terbaru.html
(diakses tanggal 15 juni 2014).

http://www.yipd.or.id/en/articles/tentang-undang-undang-desa (diakses tanggal 15 juni 2014).


http://hariansinggalang.co.id/lkaam-se-sumbar-kukuh-tolak-uu-desa/ (diakses tanggal 15 juni
2014).
http://metrobali.com/2014/04/19/bali-dalam-dilema-uu-desa/ (diakses tanggal 15 juni 2014).

Pertanyaan pertama sebenarnya terkait dengan kedudukan Desa dalam konteks pembentuk
peraturan perundang-undangan (peraturan desa) pada masa Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000
yang berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 sudah tidak berlaku pada saat telah diatur
dengan undang-undang (semenjak diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Untuk memahami hal tersebut, perlu diketahui
terlebih dahulu perkembangan kedudukan desa secara umum.

Memosisikan kedudukan desa dan Kepala Desa dalam ketatanegaraan Indonesia perlu dipahami
sebagai penyelenggaraan urusan yang dilaksanakan dalam rangka pemerintahan dalam arti luas,
untuk melayani masyarakat. Perlekatan mengenai ketatanegaraan tampaknya lebih baik
dikesampingkan terlebih dahulu karena beberapa alasan. Faktor utama yaitu bahwa persepsi
mengenai urusan dan kelembagaan ketatanegaraan berbeda dengan urusan dan kelembagaan
pemerintahan. Hal ini dapat dikuatkan oleh penjelasan Bagir Manan bahwa karena
konstitusi/Undang-Undang Dasar merupakan kaidah dasar bagi semua bidang hukum, belum
tentu kaidah yang diatur merupakan kaidah ketatanegaraan. Begitu pula lembaga-lembaga yang
terdapat dalam Undang-Undang Dasar belum tentu merupakan lembaga yang bersifat
ketatanegaraan (Manan: 2009).

Adapun di dalamnya terdapat distribusi kekuasaan secara vertikal (kekuasaan pemerintah Pusat
dan Daerah), terbatas pada satuan pemerintahan mana yang diberikan kekuasaan dalam
konstitusi (Anwar: 1999). UUD 1945 sendiri secara eksplist mengatur satuan pemerintahan yang
mempunyai pemerintahan daerah hanya Provinsi, Kabupaten, dan Kota (vide Pasal 18 ayat (1)
UUD 1945 Perubahan Kedua). Dengan demikian, kerangka ketatanegaraan perlu dibatasi sebatas
pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah, selain tentu saja struktur ketatanegaraan secara
fundamental, pembagian wewenang di antara struktur ketatanegaraan secara fundamental, dan
jaminan hak asasi manusia (Sri Soemantri: 2006).

Kedudukan Desa (atau nama lainnya), dalam UUD 1945 Pasal 18B (2) Negara
memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap desa sebagai kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan UndangUndang (Ranggawidjaja: 2013).
Landasan ini memisahkan antara satuan pemerintahan daerah yang diberi otonomi
dengan kesatuan masyarakat hukum. Urusan yang dikelola oleh satuan pemerintahan daerah
menunjukkan pemencaran kekuasaan, sementara, sepanjang masih ada, urusan yang dikelola
oleh Desa merupakan pengakuan. Tentunya tetap dimungkinkan terdapat tugas pembantuan yang
diberikan oleh Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat.
Dalam UU ini, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1).
Sedang kedudukan desa tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut,
yaitu: Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan dalam pasal 5, Desa berkedudukan di wilayah
Kabupaten/Kota (Pasal 5).
Ketentuan di atas menegaskan kedudukan Desa sebagai bagian dari Pemerintahan
Daerah. Hal ini pula yang menjadikan Peraturan Desa atas dasar Ketetapan MPR No. III/MPR/
2000 (vide Pasal 3 ayat (7) huruf c) dan UU No. 10 Tahun 2004 (vide Pasal 7 ayat (2) huruf c)
sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari peraturan daerah.
Tetapi dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Praturan Perundang-undangan,
Peraturan Desa tidak dikategorikan sebagai peraturan daerah berdasarkan walaupun undangundang tersebut mengakui keberadaan peraturan yang ditetapkan oleh kepala desa atau
pejabat yang setingkat (vide Pasal 8 ayat (1)).
Dengan demikian pemerintahan desa yang ada sekarang adalah kelanjutan dari
pemerintahan desa jaman dahulu, hanya saja pemerintahan desa sekarang sudah kehilangan
rohnya sebagai desa yang mandiri. Desa yang ada sekarang bukan lagi sebagai inlandsche
gemeenten, yaitu sebagai pemerintahan asli bangsa Indonesia. Pemerintahan Desa sekarang
lebih tepat disebut pemerintahan semu atau bayang-bayang (quasi government organization)
(Ranggawidjaja: 2013).
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah masih mengakui keberadaan pemerintahan
desa tetapi juga tidak bermaksud untuk tetap mempertahankan sistem pemerintahan desa ini

dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini menurut Rosjidi Ranggawdjaja (2013)
dapat dilihat dari adanya kebolehan untuk mengubah status desa menjadi kelurahan (Pasal 200
Ayat (3)), yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota dan menjalankan
fungsi dekonsentrasi. Sayangnya, undang-undang ini seolah-olah menempatkan kedudukan
kelurahan seolah-olah lebih baik dari desa yang menjalankan desentralisasi dengan adanya syarat
tertentu berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah dll apabila suatu desa hendak diubah
statusnya menjadi kelurahan. Hal ini menurut Rosjidi Ranggawdjaja (2013) mengarah kepada
kehendak untuk dilaksanakannya dekonsentrasi atau sentralisasi.

Kebijakan penyeragaman yang telah dibangun sejak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desaberlanjut hingga UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, terutama dilihat
dari kedudukan serta pengisian jabatan Kepala Desa dan penghasilan Pemerintah Desa. Pertama,
kedudukan Kepala Desa adalah sebagai pimpinan Pemerintah Desa atau yang disebut dengan
nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain (Pasal 25
UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa (Pasal 34
(1)), pengesahan (Pasal 37 (5)) dan pelantikan (Pasal 38 (1)) Kepala Desa dilaksanakan oleh
Bupati/Walikota.

Kedua, pelantikan tersebut linier dengan penghasilan Kepala Desa. Pasal 66 (1) melegitimasi
bahwa Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan ditambah
dengan jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah (ayat (4)).
Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa bersumber dari dana perimbangan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 66 ayat (2)).

Selain penghasilan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 66 ayat (3)). Skema sumber pendapatan
Kepala Desa tersebut menunjukkan ketergantungan keuangan yang cukup besar bagi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Gerusan terhadap otonomi Desa pun diperkuat lagi dalam
pembentukan Desa. Walaupun belum tentu sifat asal-usul dan hak-hak tradisional masyarakat
Desa serta merta hilang karena kebijakan pemekaran Desa, keberadaan Desa secara formal tidak
lagi merupakan komunitas sosial yang tumbuh melalui ikatan sosiologis.

Pengaturan baru tentang Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 tidak berimplikasi pada perubahan
status kepala desa menjadi pejabat negara. Hal ini disebabkan kepala desa sejak dahulu,
walaupun memimpin satuan pemerintahan yang bersifat otonom (desa) tidak bertindak untuk dan
atas nama negara sebagaimana karakter yang melekat pada pejabat negara.Namun tetap
sebagai pejabat pemerintahan karena merupakan salah satu penyelenggara pemerintahan desa.
Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan antara pejabat negara dan pejabat pemerintahan
dapat merujuk artikel Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan. Semoga bermanfaat.

Dasar Hukum
1.

Undang-Undang Dasar 1945

2.

Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000

3.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan


Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik
Indonesia

4.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

5.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

6.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan

7.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Referensi:
1.

Anwar, Chairul. 1999. Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Jakarta: CV. Novindo
Pustaka Mandiri.

2.

Manan, Bagir. 2009. Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta : Asosiasi Advokat
Indonesia.

3.

Ranggawidjaja, Rosjidi. 2013. "Pasal 18B ayat (2), dalam Abdurahman, Ali et al (ed),
Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum
Unpad-PSKN FH Unpad.

4.

Soemantri, Sri. 2006. Sistem dan Prosedur Konstitusi. Bandung: Alumni.

Anda mungkin juga menyukai