Anda di halaman 1dari 5

Kalau Dulu Copet, Sekarang Saya Ini Rampok

Berawal dari seorang jurnalis tangguh, kini Sukarni Ilyaslebih ngetop dengan sebutan Karni
Ilyasdikenal sebagai pengelola media bertangan dingin. Kemana pun Karni hinggap dan
mengelola sebuah media, hampir bisa dipastikan media itu tumbuh, maju dan
berkembang.
Lebih jauh, Karni kemudian dikenal sebagai jaminan ekslusivitas berita. Masih
ingat peristiwa penggerebekan rumah yang menjadi markas kelompok teroris Dr
Azhari di Malang dan Wonosobo, Jawa Timur beberapa tahun lalu? Saat itu, hanya
satu stasiun televisi swasta yang menyiarkannya untuk pemirsa. Stasiun tv yang
saat itu, belum lagi dua bulan Karni bergabung di dalamnya.
Itu hanya contoh kecil dari sederet berita ekslusif yang sempat dilaporkan pria kelahiran Bukit
Tinggi, Sumatra Barat, yang sempat bergabung bersama Suara Karya, Majalah Tempo dan
Forum Keadilan, itu sebelum merambah dunia televisi. Saat di Tempo, Karni jualah satu-satunya
wartawan yang berhasil menguak kasus korupsi di Pertamina, yang melibatkan tokoh Pertamina
saat itu, Ibnu Sutowo.
Dengan rekam jejak yang nyaris paripurnakoran, majalah, hingga televisi, wajar jika Karni
menjadi incaran banyak stasiun tv. Kepada Rahmad Budi Harto dan pewarta foto Amin Madani
dari Republika, direktur pemberitaan TVOne, televisi baru pengganti Lativi yang menjadikan
berita sebagai menu utama, itu membuka banyak sisi dirinya.
Bisa menceritakan pengalaman Anda di dunia pers?
Panjang sekali. Sejak duduk di bangku SMA saya sudah jadi wartawan. Bayangkan, dari tahun
1972 tuh. Pertama saya berkiprah di Harian Suara Karya, koran Partai Golkar yang paling
berpengaruh waktu itu. Enam tahun saya di Suara Karya, lalu pindah ke Majalah Tempo di tahun
1978. Terus sampai Tempo dibredel pada 1994. Saya di sana meniti mulai dari reporter,
redaktur senior, sampai redaktur pelaksana.
Tahun 1992, saya sudah ditugaskan Tempo memimpin Majalah Forum. Majalah Tempo saya
pimpin sejak 1992 sampai Tempo mati, 1994. Jabatan saya dua waktu itu, redaktur pelaksana
Tempo dan pemimpin redaksi Forum. Tempo mati, Forum jalan sendiri. Oplah Forum tertinggi di
Indonesia waktu itu, 140 ribu eksemplar.
Pada 1999 saya keluar dari Forum dan pindah ke SCTV, langsung menjadi pemimpin redaksi.
Forum sendiri sudah dijual Tempo ke orang lain. Saya di SCTV sampai 2005.
Dari pengalaman Anda, apa perbedaan antara jurnalisme di media cetak dengan jurnalisme
televisi?
Dari sisi cara menyampaikan pikiran, aspirasi yang hendak kita sampaikan dan membentuk
opini, media cetak itu lebih dalam. Kita bikin laporan utama berpuluh-puluh halaman. Puasnya
itu, wah, batin kita bisa puas sekali. Saya bisa bekerja dari pagi sampai pagi lagi.

Cuma, media cetak itu kan lebih lambat. Kejadian hari ini baru bisa kita laporkan besok. Majalah
bahkan lebih parah lagi, baru pekan berikutnya. Jadi kita perlu pendalaman. Sementara televisi
itu lebih cepat, eye catching. Kepuasan dari orang yang menerima pesan itu jauh lebih massal.
Itu kepuasannya.
Saat Anda pimpin, SCTV sempat menjadi salah satu televisi dengan siaran berita terbaik. Apakah
resep dari media cetak yang Anda bawa ke TV?
Benar. Itu bahkan dapat kita pertahankan selama enam tahun. Resep dari media cetak ikut
masuk, tetapi media visualnya kan juga harus dikuatkan. Media visual itu yang dilihat, yang
menarik orang itu kan gambarnya. Jadi intinya bagaimana kita bisa mendapatkan gambar yang
lebih bagus daripada stasiun televisi lain.
Televisi atau media elektronik lain itu keunggulannya kecepatan. Bagaimana kita bisa lebih cepat
daripada orang lain. Moto SCTV saat itu, aktual, tajam, terpercaya. Jadi dalam soal aktualitas itu,
kita tidak boleh sama sekali kalah, bahkan satu detik pun.
Tahun 2005 Anda pindah ke ANTV. Bagaimana Anda bisa memutuskan pindah, padahal di
SCTV sendiri sudah mapan?
Waktu itu kan ada kabar bahwa ANTV akan bekerja sama dengan asing. Saya ingin tahu
bagaimana sih cara asing mengelola televisi? Di SCTV sendiri, waktu itu saya sudah merasa
akan lebih nyaman kalau pindah ke ANTV. Persoalannya, di SCTV yang awalnya punya teman
saya, dia jual. Persis seperti saat Tempo menjual Forum.
Benar, pemilik baru juga menginginkan saya tetap di SCTV. Tapi saya tak begitu kenal.
Sementara di ANTV, saya cukup mengenal dekat keluarga Bakrie. Maka itulah saya pindah ke
ANTV, dengan harapan bisa membangun ANTV menjadi lebih baik.
Sebagian, dalam hal news, minimal orang sudah melihat News AN. Dulu orang tidak pernah mau
menonton berita AN, tetapi setelah kita bangun dalam dua tahun, sistemnya kita perbaiki, orang
kita tambah, kemudian awareness publik pun kita tingkatkan. Banyak berita ekslusif kita
tayangkan. Orang kemudian mulai memonitor berita AN yang sebelumnya tidak mereka lirik.
Di ANTV Anda bekerja sama dengan investor asing. Apa bedanya cara asing dengan orang
dalam negeri dalam mengelola televisi?
Kebetulan saya itu Divisi News. Jadi lebih independen dari manajemen perusahaan. Mereka itu
lebih memperhatikan entertainment. Juga dia nggak ngerti berita kita, karena kan pakai Bahasa
Indonesia. Mereka yang masuk ke Indonesia itu juga tidak berpengalaman dalam news. Star TV
Hong Kong lebih ke entertainment. Ternyata saya tidak mendapatkan apa-apa. Tidak ada yang
baru.
Lalu Anda merasa di TVONe ini mendapatkan sesuatu, atau tantangan baru?
Jelas. Ini tantangan baru. Televisi yang sajian utamanya adalah news. Porsi berita di TVOne itu
60-70 persen. Jadi porsi newsnya bisa 3-4 kali dibanding kalau saya berkiprah di televisi
entertain atau family tv seperti SCTV. Saya ditantang untuk membikin yang lebih besar lagi.
Jadi, kalau dulu saya hanya tukang copet sekarang saya jadi rampoknya.

Kalau Anda lihat televisi saat ini, berita bukan menjadi porsi utama. Apakah nanti TVOne masih
bisa konsisten menjadi televisi berita, sementara televisi lain meraih keuntungan dengan format
hiburan?
TVone akan menyasar pemirsa kelas A dan B, bukan D dan E seperti yang selama ini disasar
Lativi. Memang kelas A,B, dan C itu populasinya lebih sedikit, sehingga rating akan turun.
Tetapi ingat, jualan utama TVOne memang bukan rating, tapi image, citra.
Image bisa dijual tidak? Saya sudah membuktikan ketika di SCTV. Dalam enam tahun, tahun
pertama Divisi News masih rugi. Tahun kedua mencapai BEP. Tahun ketiga sampai keenam kita
untung tidak tanggung-tanggung, Rp 120 miliar per tahun. Itu net profit, sudah dikurangi gaji
karyawan dan lain-lain.
Saya melihat, ternyata berita itu kalau ditekuni bukan sesuatu yang kalah dari entertain atau
sinetron. Divisi lain seperti entertainment tak bisa sebesar itu. Walau dari rating memang news
tidak akan menang, kita tidak mencari rating. Yang kita cari itu image. Rating Liputan 6 SCTV
paling 2-3, dibanding rating Inul yang bisa sampai 16. Sinetron bisa ratingnya 20. News kecil
sekali, tetapi nyatanya, uang yang dihasilkan oleh Divisi News SCTV itu luar biasa. Jadi salah
kalau kita pandang hanya rating yang bisa dijual. Image justru lebih mahal.
Artinya, Anda melihat pemasang iklan tidak selalu melihat rating?
Ya. kalau saya mau mengiklankan Nokia, saya tidak mungkin beriklan di tayangan dangdut. Saya
akan tayangkan di program berita. Kalau saya mau mengiklankan Kijang Innova, apalagi Mercy
atau BMW, jelas tak mungkin saya tayangkan di televisi sinetron. Tv berita tempatnya. Bahkan
shampo-shampo berkelas yang cukup mahal, tempatnya di program berita.
Ketika Anda di SCTV, Anda diberi tambahan porsi waktu untuk berita?
Ya, tambah-tambah sedikit. Jadi sekitar 20-25 persen. Tetapi memag tak bisa menambah lebih
banyak lagi karena memang patokan dari awal, SCTV itu lebih kepada hiburan.
Ok, masyarakat banyak mengeluhkan tayangan televisi yang umumnya tidak bermutu.
Saya berharap TVOne merupakan jawaban dari keluhan-keluhan itu. Apa yang diinginkan
publik, kita coba tampilkan. Kita berharap publik betul-betul menonton sesuai aspirasinya
selama ini. Mereka mengeluh soal sinetron yang murahan, tayangan tuyul.
Publik juga sudah muak dengan tayangan yang hanya jual paha, takhayul yang bertentangan
dengan agama. TVOne mencoba menjawab aspirasi itu. Keinginan publik Indonesia itu kami
serap dari berbagai media cetak, seminar, dan debat.
Kami kini ingin melihat, apakah benar masyarakat ingin melihat tayangan yang berbeda?
Tayangan informasi yang berguna sebagai tuntunan? Porsi olah raga juga lebih banyak daripada
stasiun televisi yang lain. Kami ingin menampilkan bagaimana seorang atlet bisa berprestasi, dari
bawah, sehingga bisa menjadi inspirasi.
Kalau berita menjadi jawaban, bukankah masyarakat juga resah dengan berita yang
menghadirkan kekerasan?
Ketika berita-berita kriminal kita jadikan satu paket berita, itulah kekerasan. Tapi ketika masuk

jadi berita biasa, itu jadi netral. IPDN berita kekerasan atau tidak? Menurut Anda layak
diberitakan tidak? Itu kekerasan. Orang ditendang-tendang seperti itu Terus polisi menendangi
mahasiswa di UMI Makassar. Itu kekerasan atau bukan?
Jadi tidak semua berita (tentang) kekerasan harus dimusuhi. Justru itu, sosial kontrol kita ada di
situ. Kalau tidak begitu, dalam kasus IPDN, misalnya, tidak akan ada perhatian ke situ. Kita
siarkan bagaimana seorang senior memukuli yuniornya. Tapi kalau satu jam tayangan isinya
hanya kekerasan demi kekerasan, ya tentu saja publik juga muak. Jadi, saya berharap TVOne
bisa menjadi monumen media Republik ini sampai kapan pun.
Ada contoh konsep seperti ini di luar negeri?
Ada Foxnews di Amerika Serikat, milik Rupert Murdoch. Newsnya ada, hiburannya juga ada.
Fox kan saingan langsung CNN
Ya, kami ingin menuju seperti Fox. Formulanya Fox.
Ada yang menganggap kedekatan Anda dengan para petinggi Polri yang memungkinkan
didapatnya berbagai berita eksklusif. (ANTV beberapa kali mendapatkan tayangan eksklusif
penangkapan kelompok teroris Dr Azhari, bahkan Karni Ilyas sendiri terjun langsung sebagai
reporter). Bagaimana menurut Anda?
Wartawan itu harus dekat dengan siapa saja. Dengan Kejaksaan, Kepolisian, saya dekat. Dengan
politisi juga saya dekat. Kewajiban wartawan itu, menurut saya, bekerja di mana pun harus
menciptakan berita-berita eksklusif. Ketika di Majalah Tempo, berita saya eksklusif-eksklusif.
Yang bertemu Kartika Thahir di Swiss, ya saya. Benny Moerdani pun mencoba mengejar-ngerjar
dia, nggak dapat. Itu tak ada hubungan dengan (kedekatan dengan) polisi. Minimal saya harus
berusaha eksklusif.
Karni kemudian bercerita tentang Kartika Thahir, istri seorang pejabat Pertamina yang menjadi
tangan kanan Ibnu Sutowo, HA Thahir, di era 1980-an. Ibnu Sutowo sendiri merupakan direktur
utama Pertamina yang ditengarai terlibat dalam megakorupsi di perusahaan minyak itu.
Kartika kemudian bersembunyi di luar negeri, dan berperang melawan Pertamina di pengadilan
negeri Singapura selama 15 tahun (11 Maret 1980 s.d 3 Desember 1992. Kartika berkeras
mempertahankan uang sogokan dari dua maskapai Jerman Siemens dan Klockner kepada
almarhum suaminya. Dana itulah yang dituntut kembali Pertamina. Uang suap senilai 15 juta
DM dari Siemens dan 35 juta DM dari Klockner itu dianggap Kartika sebagai jasa HA Thahir
atas pembelian mesin-mesin Jerman untuk pembangunan pabrik baja Krakatau Steel.
Karni juga bercerita tentang pengalamannya menyusup ke sebuah lapangan tembak tempat
seorang terpidana hukuman mati dieksekusi. Ia bahkan sempat berteriak,Dor! dan melukiskan
mimik wajah sang terpidana saat peluru mengantarkannya menuju elmaut.
TVOne akan membuka biro luar negeri, terutama regional?
Itu memang ambisi kita. Tak hanya soal jangkauan. Membuat jangkauan luas itu gampang.
Semua orang yang mengirim berita kita anggap saja kontributor. Tapi kita serius ingin membuka

biro-biro di berbagai daerah. Rencana kita ada biro di Malaysia, Hong Kong, mungkin juga di
Shanghai, Cina.
Ada yang menganggap media nasional terlalu Jakarta-centris
News tak pernah Jakarta-centris. Berita itu setiap hari datang dari berbagai daerah. Berarti
tsunami, yang kita tayangkan berhari-hari itu kan berita Aceh. Tak benar itu pendapat soal
Jakarta-centris.
Tapi soal angle, yang menentukan kan Jakarta
Angle memang ditentukan Jakarta. Tapi kalau ada kejadian, angle apa pun, ya angle apa yang
terjadi di daerah. dsy
Republika online

Anda mungkin juga menyukai