Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Warna kulit kita adalah penting, dan banyak prosa dan puisi yang ditulis tentang kulit.
Warna kulit merupakan salah satu hal yang kita ingat dalam tahap awal pengenalan seseorang.
Selain itu, warna kulit juga telah dipakai untuk menjustifikasi berbagai macam ketidakadilan.
Pelanggaran apapun atas norma yang berlaku dapat memberikan dampak psikologis yang serius
dan implikasi-implikasi dalam praktek.
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi warna kulit, antara lain hemoglobin, pigmenn
eksogen di dalam atau pada permukaan kulit, pigmen endogen (dibuat oleh tubuh sendiri,
misalnya bilirubin), melanin dan feomelanin. Dua factor yang terakhir merupakan factor paling
penting dalam menentukan warna dasar kulit manusia.
Kebanyakan pigmen kulit manusia terdapat di dalam keratinosit, setelah dibuat dalam
melanosit dan ditransfer dalam melanosom. Ada perbedaan antarras dalam hal produksi,
distribusi, dan degradasi melanosom, tetapi tidak dalam hal jumlah melanosit. Akan tetapi, ada
perbedaan genetic yang penting dalam hal kemampuan merespons terhadap radiasi ultraviolet,
yang biasanya disebut dengan tipe-tipe kulit
1. Tipe I selalu terbakar, tak pernah menjadi coklat
2. Tipe II mudah terbakar, sulit menjadi coklat
3. Tipe III kadang-kadang terbakar, mudah menjadi coklat
4. Tipe IV tidak pernah terbakar, mudah menjadi coklat
5. Tipe V secara genetic coklat (misalnya India) atau Mongoloid
6. Tipe VI secara genetic hitam (misalnya Kongoid atau Negroid)
Respons pertama terhadap radiasi UV adalah peningkatan distribusi melanosom. Hal ini
dengan cepat dapat meningkatkan pigmentasi pada lapisan basal (stratum basale) yaitu
berubahnya warna kulit menjadi coklat karena sinar matahari (sun tan). Bila stimulasi dihentikan,
sebagaimana yang biasanya terjadi setelah menghabiskan waktu 2 minggu di daerah Mediterania,
warna coklat itu cepat menghilang seiring pergantian normal epidermis. Bila paparan terjadi
lebih lama lagi, maka produksi melanin meningkat secara lebih permanen. Proses sun tan
menunjukkan adanya upaya kulit untuk memberikan perlindungan terhadap efek-efek yang
berbahaya akibat radiasi UV, misalnya terjadinya penuaan dini dan kanker.
Ada beberapa keadaan di mana mekanisme pigmentasi berubah menjadi abnormal, baik
yang menyebabkan penurunan (hipopigmentasi) atau peningkatan (hiperpigmentasi). Pada
masing-masing gangguan tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab yaitu congenital
dan yang didapat (acquired).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan pigmentasi
kulit.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan dengan kasus vitiligo
2. Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan dengan kasus albino
3. Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan dengan kasus melasma

4. Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan dengan kasus gangguan pigmentasi


pascainflamasi

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vitiligo
2.1.1 Definisi
Vitiligo adalah suatu kelainan didapat yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Kelainan ini berupa macula berwarna putih(hipopigmentasi), mengenai 1% penduduk dunia
tanpa membedakan ras dan jenis kelamin.Frekuensi pada kedua jenis kelamin sama.Hanya
saja,penelitian epidemiologic menunjukkan bahwa penderita yang berobat lebih banyak wanita.
Hal ini mudah dimengerti karena masalah utamanya adalah kosmetika. Ternyata 30-40% kasus
mempunyau riwayat familial.(menurut siapa??)
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik di dapat ditandai dengan adanya macula putih
yang dapat meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit,
misalnya rambut dan mata (Lily Soepardiman).
2.1.2 Etiologi
Etilogi penyakit ini masih belum jelas, namun ada beberapa teori yang berusaha
menerangkan patogenesisnya :
a. Teori neurogenik. teori ini didasarkan atas beberapa pengamatan. Lesi vitiligo bersifat
unilateral, tidak melewati garis median dan terletak pada satu atau dua dermatom. Pada
pengamatan lain, vitiligo ini disertai oleh penyakit-penyakit lain misalnya
siringomieli,neurofibromatosis,dan menyerang daerah inervasi suatu saraf perifer yang
terkena trauma. Juga pada polyneuritis diabetika, sering dijumpai vitiligo pada daerah
yang mengalami neuropati. Menurut teori ini suatu mediator neurokemik dilepaskan dan
senyawa tersebut dapat menghambat melanogenesis serta dapat menyebabkan efek toksik
pada melanosit.
b. Teori rusak diri (self destruction theory). Teori ini menyebutkan bahwa metabolit yang
timbul dalam sintesis melanin menyebabkan destruksi melanosit. Metabolit tersebut
misalnya kuinon. Di dalam praktek, dapat kita lihat bahwa hidrokuinon maupun
monobenzileter hidrokuinon (MBEH) dipakai dalam pengobatan melasma dan obat-obat
ini dapat pula menyebabkan lesi-lesi semacam vitiligo (vitiligo-like). Yang menyokong
teori ini adalah bahwa lesi-lesi vitiligo banyak didapatkan di daerah-daerah kulit yang
lebih gelap.Pada tepi lesi terlihat hiperpigmentasi.
c. Teori otoimun. Teori ini menganggap bahwa kelainan system imun menyebabkan
terjadinya kerusakan pada melanosit. Beberapa penyakit otoimun yang sering
dihubungkan dengan vitiligo antara lain adalah tiroiditis (hashimoto), anmia
pernisiosa,penyakit Addison, alopesia areata, dan sebagainya. Antibodi humoral terhadap
tiroid, sel parietal dan adrenal meningkat secara bermakana, tetapi antibody spesifik
terhadap melanosit tidak dijumpai. Vitiligo juga sering didapatkan pada penderita dengan
melanoma, halonevus, dan juga pada sindroma Vogt-Koyanagi-Harada (uveitis dan
vitiligo). Pada ketiga penyakit tersebut, dapat pula dijumpai antibody spesifik beredar
dalam darah, namun tidak dijumpai antibody spesifik terhadap pure vitiligo.

Patofisiologi/WOC

Hipotesis
autoimun

autositotoksik

Idiopatik

Hipotesis
neurohormonal

Faktor pencetus

Terjadi kerusakan krn


bahan toksik, tirosin, dopa,
dan dopakrom terhadap
melanosit

Trauma fisis
dan krisis
emosi

Tiroiditis hashimoto,
anemia pernisiosa, dan
hipoparatiroid melanosit

Adanya pajanan
terhadap bahan
kimia

Depigmentasi kulit

hipomelanosis

VITILIG
O

Terdapat lesi berupa


makula yang
hi omelanosis

MK: Gangguan
body image

Rasa panas
pada lesi

MK: Kerusakan
integritas kulit

2.1.3 Klasifikasi
Ada dua bentuk vitiligo :
1. Lokalisata yang dapat dibagi lagi :
a. fokal : satu atau lebih macula pada satu area, tetapi tidak segmental.
b. segmental : satu atau lebih macula pada satu area, dengan distribusi menurut
dermatom, misalnya satu tungkai.
c. hanya terdapat pada membrane mukosa
2. Generalisata
Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya simetris. Vitiligo generalisata
dapat dibagi lagi menjadi :
a. Akrofasial : depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka,
merupakan stadium mula vitiligo yang generalisata.
b. Vulgaris : macula tanpa pola tertentu di banyak tempat
c. Campuran : depigmentasi terjadi menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan
vitiligo total.

Gambar 2. Klasifikasi Vitiligo.


Dikutip dari textbook Dermatology volume one, Jean L.Bolognia
2.1.4 Manifestasi klinik
Vitiligo dapat dimulai pada setiap tingkatan usia, tetapi 50% kasus timbul sebelum
umur 20 tahun. Insidens kira-kira 1%. Biasanya pada pertaman kali, didapatkan lesi
macula yang hipomelanotik di daerah terbuka,misalnya muka, punggung tangan. Trauma
dan stress dikatakan sebagai factor presipitasi. Makula yang amelanotasi, misalkan aksila,
inguinal, areola, dan genitalia. Di daerah daerah yang sering terkena gesekan, misalnya
punggung, tangan , kaki, siku,lutut,tumir, juga banyak dijumpai lesi vitiligo. Distribusi
lesi biasanya simetrik, meskipun dada pula yang unilateral, yang merupakan susunan
dermatom. Makula mempunyai gambaran konveks dan bertambah secara teratur. Rambut
pada lesi tersebut sering mempunyai pigmen yang normal, tetapi pada lesi yang sudah
lama, rambut sering amelanotik.
Gejala subjektif tak ada, tetapi dapat timbul rasa panas pada lesi. Keluhan umum
terutama adalah masalah kosmetika. Repigmentasi pernah dilaporkan pada sekitar 10%
kasus.
Distribusi makula
Vitiligo mempunyai beberapa pola distribusi yang khas: fokal.segmental, generalisata,
dan universal.

- Vitiligo fokal (localized): satu macula yang terisolasi atau beberapa macula yang
terbatas baik jumlah maupun ukurannya ( terdapat pada satu atau dua tempat di
bagian tubuh.)
- Vitiligo segmental : distribusinya khas, dengan lesi vitiligo yang unilateral dalam
suatu distribusi dermatom atau quasidermatom. Tipe ini dikatakan sebagai suatu jenis
vitiligo yang bersifat stabil.
- Vitiligo generalisata : merupakan jenis vitiligo yang banyak dijumpai, khas dengan
beberapa atau banyak macula yang tersebar. Makula ini seringkali bersifat simetris
dan menyerang daerah permukaan ekstensor , terbanyak didapatkan pada sendi
interfalangeal , sendi interfalangeal metacarpal/metatarsal, siku, dan lutut. Daerah
ekstensor lain yang terkena dalah pergelangan tangan, maleolus, umbilicus,
lumbosakral, tibia anterior, dan aksila. Makula vitiligo dapat bersifat periorifisial dan
menyerang daerah sekitar mata, hidung, telinga, mulut, dan anus. Vitiligo periungual
dapat pula terjadi baik berdiri sendiri atau bersamaan dengan lesi mucosal( bibir,
penis distal, putting susu). Yang terakhir ini disebut vitiligo lip tip.
2.1.5 Pemeriksaan diagnostic
Kriteria diagnosis bias didasarkan atas pemerikasaan klinis ( anamnesis, pemeriksaan
fisik), uji diagnostic ( untuk membedakan denga penyakit lain yang menyerupai ) dan
pemeriksaan laboratorium ( untuk membantu mencari adanya kaitan dengan penyakit
sistemik, seperti diabetes melits, insufisiensi adrenal, anemia pernisiosa, penyakit tiroid, dan
lain-lain.)
Dari anamnesis , perlu diketahui kapan lesi itu Nampak, perjalanan penyakit ( stabil
atau progresif) , riwayat adanya inflamasi, iritasi, atau hal lain menjelang timbulnya
depigmentasi, riwayat fotosensivitas, disfungsi telinga atau mata,bentuk-bentuk pengobatan
sebelunbya ( termasuk dosis,efekm dan atau toksisitas), hobi,riwayat keluargam riwayat
keluarga atau diri sendiri tentang penyakit (tiroid, alopesia areata, diabetes , penyakit kolagen
vaskuler, anemia pernisiosa, penyakit Addison), stress emosional akibat kehilangan pigmen,
dll
Pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan pemeriksaan umum, adanya depigmentasi
yang asimptomatik, tanpa gejala inflamasi, ada tidaknya batas inflamasi sekitar lesi, tempat
lesi pertama kali muncul ( tangan,lengan, kaki,muka, dan bibir) , pola vitiligo
(fokal,segmental,universal, atau akral/akrofasial). Pemeriksaan lain antara lain perlu dicari
adanya poliosis, perubahan pigmentasi pada choroid dan epitel pigmen retina , uveitis.
Tes diagnostik, dilakukan untuk membedakan dengan penyakit yang menyerupai,
misalnya limfoma kutan sel-T, LED/LES, lepra, pinta, nevus anemikus, depigmentosus,
piebaldisme, pityriasis alba, hipopigmentasi pasca inflamasi, arkoidosis, scleroderma, tinea
cersikolor dan lain-lain.
Tes laboratorium dilakukan untuk mendeteksi penyakit-penyakit sistemik yang
menyertai, misalnya insufisiensi
2.1.6 Penatalaksanaan
a. Psoralen photochemotherapy
Fototerapi dengan psoralen baik topical maupun sistemik, ataupun keduanya
dikatakan merupakan cara yang cukup efektif
Mekanisme : reservoir melanosit yang mengadakan migrasi ke dalam kulit yang
mengalami depigmentasi datang dari kulit yang bersebelahan dengan kulit yang
berpigmen (melanosit mengalami migrasi kira-kira 2-3mm ke dalam kulit yang
mengalami depigmentasi), dan juga datang dari folikel rambut karena tidak adanya

reservoar , maka pada kulit berambut pada daerah lengan bawah atau tungkai dimana
rambut terminal mengalami depigmentasi, kurang respon terhadap pengobatan medic,
seperti juga kulit daerah glabrosa, seperti telapak tangan, jari-jari dan dorsum pedis
b. Fototerapi psoralen topical
Fototerapi psoralen topical dilakukan apabila lesi terbatas (kurang dari 20%
permukaan tubuh) atau pada anak lebih dari 5 tahun dengan vitiligo fokal.
Preparat dioleskan pada daerah vitiligo 15-30 menit sebelum penyinaran UVA. Dosis
permulaan biasanya 0,12-0,25 J/cm2 kemudian ditambah sampai muncul eritema
ringan (tergantung dari tipe kulit pasien)
c. Psoralen
Bentuk aktif yang sering digunakan adalah trimetoksi psoralen (TPM) dan 8-metoksi
psoralen. Bahan ini bersifat photosensitizer. Cara pemberian : obat psoralen 20-30 mg
(0,6 mg/kg BB) dimakan 2 jam sebelum penyinaran. Lama penyinaran : mula-mula
sebentar, kemudian setiap hari dinaikkan perlahan-lahan (antara sampai 4 menit).
Ada yang menganjurkan pengobatan dihentikan seminggu setiap bulan. Belum ada
kesepakatan mengenai pengobatan psoralen topical. Sebagian mengatakan berbahaya,
apalagi bila lesinya luas karena bisa timbul eritem atau bula. Namun sebagian masih
ada yang menggunakan terrapin topical ini. Larutan yang digunakan adalah larutan
metoksalen 1% dengan cara dioleskan secara hati-hati. Olesan jaringan jangan sampai
ke batas tepi,tetapi beberapa millimeter sebelum tepi, karena diharapkan akan terjadi
difusi intradermal. Setelah diolesi kemudian kulit disinari selama beberapa menit.
Kontraindikasi : hipertensi, gangguan hati, kegagaln ginjal dan jantung. Kecepatan
repigmentasi tidak sama. Umumnya daerah muka lebih cepat, kemudian daerah leher,
badan.
d. Helioterapi
Helioterapi merupakan salah satu bentuk fotokemoterapi yang merupakan gabungan
antara trisoralen dan sinar matahari.
e. Kortikosteroid
Beberapa kasus menunjukkan respons terhadap pengobatan kortikosteroid. Obat ini
digunakan baik dalam bentuk topical, misalnya betametason valerat 0,1% maupun
suntikan intradermal. Pemakaian kortikosterid ini kemungkinan didasarkan atas teori
rusak diri maupun teori autoimiun. Dalam hal ini, kortikosteroid dapat memperkuat
mekanisme pertahanan tubuh pada auto-destruksi melanosit atau menekan perubahan
imunologik.
Penggunaan kortikosteroid topical dapat dilakukan dengna prosedur Drake dkk :
1. Krim kortikosteroid dioleskan pada lesi sekali sehari selama 3-4 bulan.
2. Setiap minggu sekali dilakukan evaluasi dengan menggunakan lampu Wood
3. Pengobatan diteruskan apabila ada repigmentasi, namun harus segera
dihentikan apabila tidak ada respon dalam waktu 3 bulan.
4. Fotografi dapat membantu mengevaluasi kemajuan
5. Kemungkinan adanya efek samping, antara lain : teleangiektasi, atrofi, striae
dll
f. Depigmentasi
Jika lesi vitiligo sangat luas, jauh lebih luas dari kulit normalnya (lebih dari 50%), ada
yang menganjurkan untuk memberikan monobenzil hidrokuinon 20% 2x sehari pada
kulit normal, sehingga terjadi bleaching dan diharapkan warna kulit menjadi sama.
Percobaan pada area yang kecil perlu dilakukan, sebelum terapi dilakukan pada area
yang lebih luas
Tindakan Bedah

Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah autologous skin graft, yakni
memindahkan kulit normal (2-4mm) ke ruam vitiligo. Efek samping yang mungkin
timbul antara lain jaringan parut, repigmentasi yang tidak teratur, koebnerisasi, dan
infeksi.
2.1.7 Komplikasi
Vitiligo cenderung meningkat sesuai usia dianggap sebagai akibat respon autoimun.
vitiligo tidak mengganggu struktur kulit sehingga hampir seluruh fungsi kulit masi dapat
bekerja dengan baik. Fungsi pengeluaran keringat masih berjalan, fungsi melindungi tubuh
dari kuman masih baik, organ di dalamnya juga masih bisa dilindungi, pengeturan suhu
masih baik, dan kulit masih bisa dilindungi, pengaturan suhu masih baik dan kulit masih bisa
menyerap bahan dari luar seperti obat. Bahkan, jika bagian bercak putih mengalami luka
maka proses penyembuhannya sama dengan kulit normal.
2.1.8 Prognosis
Perkembangan penyakit vitiligo sulit diramalkan, dimana lesi depigmentasi
dapatmenetap, meluas atau bahkan mengalami repigmentasi. Biasanya perkembangan
penyakitvitiligo bertahap dan pengobatan dapat mencegah menetapnya lesi seumur hidup
pada penderita. Perkembangan lesi depigmentasi sering kali responsif pada masa awal
pengobatan. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% penderita walaupun secarakosmetik
hasilnya kurang memuaskan.
2.2 Albino
2.2.1 Definisi
Albino (dari bahasa Latin albus yang berarti putih), disebut juga hypomelanism atau
hypomelanosis, adalah salah satu bentuk dari hypopigmentary congenital disorder. Ciri
khasnya adalah hilangnya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut (atau lebih jarang
hanya pada mata). Albino timbul dari perpaduan gen resesif. Ciri-ciri seorang albino adalah
mempunyai kulit dan rambut secara abnormal putih susu atau putih pucat dan memiliki iris
merah muda atau biru dengan pupil merah (tidak semua).
2.2.2 Etiologi
Albino adalah kelainan genetik, bukan penyakit infeksi dan tidak dapat ditransmisi
melalui kontak, tranfusi darah, dsb. Gen albino menyebabkan tubuh tidak dapat membuat
pigmen melanin. Sebagian besar bentuk albino adalah hasil dari kelainan biologi dari gen-gen
resesif yang diturunkan dari orang tua, walaupun dalam kasus-kasus yang jarang dapat
diturunkan dari ayah/ibu saja. Ada mutasi genetik lain yang dikaitkan dengan albino, tetapi
semuanya menuju pada perubahan dari produksi melanin dalam tubuh.
Albino dikategorikan dengan tirosinase -positif atau -negatif. Dalam kasus dari albino
tirosinase positif, enzim tirosinase ada, namun melanosit (sel pigmen) tidak mampu untuk
memproduksi melanin karena alasan tertentu yang secara tidak langsung melibatkan enzim
tirosinase. Dalam kasus tirosinase negatif, enzim tirosinase tidak diproduksi atau versi
nonfungsional diproduksi.

Gb.1 Enzim Tirosinase


Albino tidak terpengaruh gender, kecuali ocular albino (terkait dengan kromosom X),
sehingga pria lebih sering terkena ocular albino. Karena penderita albino tidak mempunyai
pigmen melanin (berfungsi melindungi kulit dari radiasi ultraviolet yang datang dari
matahari), mereka menderita karena sengatan sinar matahari, yang bukan merupakan masalah
bagi orang biasa.
2.2.3 Klasifikasi
A. Secara klinis, Albinisme dapat dibagi mencadi dua :
1. Oculo cutaneous albinism (OCA) (berarti albino pada mata dan kulit),
kehilangan pigmen pada mata, kulit, dan rambut.

Gb.2 Oculocutaneous Albinism


2. Ocular albinism (OA), hanya kehilangan pigmen pada mata. Orang-orang
dengan oculocutaneous albinism bisa tidak mempunyai pigmen dimana saja
sampai ke tingkat hampir normal. Orang-orang dengan ocular albinism
mempunyai warna rambut dan kulit yang normal, dan banyak dari mereka
mempunyai penampilan mata yang normal.
Gb.3 Ocular Albinism

Tipe lain

Recessive Total Albinism


Albinism black lock cell migration
disorder syndrome (ABCD)

Albinism deafness syndrome (ADFN)


Hanya tes genetik satu-satunya cara untuk mengetahui seorang albino menderita
kategori yang mana, walaupun beberapa dapat diketahui dari penampilannya.
B. Untuk bidang dermatologi, yang terpenting adalah jenis OCA. Ada dua tipe OCA
yang paling banyak, yaitu Tyrosinase Positive OCA (TPOCA) dan Tyrosine
Negative OCA (TNOCA).. keduanya dapat dibedakan berdasarkan pemeriksaan
genetik, klinik, dan histokimia. Dua tipe lain yang jarang adalah Yellow Mutant
(YM) dan Syndroma Herman-Pudlak (SHP). Pernah dilaporkan suatu tipe lain yang
otosomal dominan.
Pada pemeriksaan histokimia, TPOC dan TNOCA dibedakan dengan tes hair bulb
:
Pada TPOCA: pada inkubasi in vitro dengan tirosin dan dopa, rambut
cepat menjadi gelap
TNOCA: tidak mampu untuk menjadi gelap
Pada pemeriksaan ultrastruktur:
TPOCA: ada melanisasi dan, pada inkubasi dengan DOPA dan tirosin,
terjadi melanisasi penuh
TNOCA: tidak ada melanisasi san hanya ada melanosom stadium I dan II.
2.2.4 Manifestasi klinis
Dengan test genetik, dapat diketahui apa seseorang itu albino berikut variasinya, tetapi
tidak ada keuntungan medis kecuali pada kasus non-OCA disorders yang dapat menyebabkan
albino disertai dengan masalah medis lain yang dapat diobati. Umumnya kelainan mata pada
penderita albino adalah sebagai berikut :

Anda mungkin juga menyukai