paru kronik
dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
2.2. Epidemiologi
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk,
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita
PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan
PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto
dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai
April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan
tertua adalah
81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok
yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas
(Survei Sosial
sebanyak
Ekonomi
Nasional)
tahun
2001
menunjukkan
bahwa
2000-2002 menunjukkan bahwa dari 132 penderita yang paling banyak adalah
proporsi penderita pada kelompok umur lebih dari 55 tahun sebanyak 121 penderita
(91,67%). Menurut penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang dari bulan
Januari sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK tertinggi pada kelompok
usia
60 tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2% dan perempuan 14,4%. Proporsi
gejala pasien tertinggi adalah batuk berdahak dan sesak napas (100%), disusul nyeri
dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%), dan terendah mual sebanyak 11
pasien (8%). Menurut Ilhamd (2000) dalam Parhusip (2008), penderita PPOK
menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru yang
dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan pada
periode Januari hingga Desember 1999 dari keseluruhan penyakit paru yang ada.
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang
menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor
risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor
lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan
pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin,
yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi
akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa
kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru
akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan
PPOK (Helmersen, 2002).
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi
tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada
perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita
PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok
pasif
dan
perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada
orang muda yang bukan perokok (Helmersen, 2002). Hubungan antara rokok
dengan PPOK menunjukkan
hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari
dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan
akan lebih besar. Hubungan
Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari
lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika
seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis
kronik minimal setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan
(outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan,
dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas
beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan
faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih
belum jelas tapi lebih kecil dibandingka n asap rokok. Polusi dalam ruangan
(indoor polution) yang disebabkan oleh
digunakan
untuk
keperluan
rumah
bahan
bakar
biomassa
yang
Parameter
yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital
(KV), sedangkan untuk
pertama
(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas
vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia
yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit
dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak strukturstruktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya
alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi
karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif
setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara
akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama
eksaserbasi
akut,
terjadi
perburukan
pertukaran
gas
dengan
adanya
2.5. Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks
dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri
akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.
2.5.1. Anamnesis
a. Ada faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan
adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi
tempat
kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam
pencatatan
riwayat
merokok
perlu
diperhatikan
apakah
pasien
perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang
(200-600), dan berat ( >600) (PDPI, 2003).
b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Kadang- kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa
disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan
pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas
terhadap kualitas hidup digunakan
menurut British Medical Research Council (MRC) (Tabel 2.1) (GOLD, 2009).
Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
Skala
Sesak
1
2
3
4
5
meniup),
terlihat
penggunaan
dan
hipertrofi
otot-otot
bantu
napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
distensi vena jugularis
ditemukan
dan
edema
tungkai.
Pada
perkusi
biasanya
ditemukan
atau
hiperlusen,
diafragma
mendatar,
corakan
Gejala Klinis
Spirometri
-VEP1 80% prediksi
(nilai normal spirometri)
-VEP1/KVP < 70%
-VEP1/KVP < 70%
-50% VEP1 < 80%
prediksi
-VEP1/KVP < 70%
-30% VEP1 < 50%
prediksi
-VEP1/KVP <70%
-VEP1 < 30% prediksi,
atau
-VEP1 < 50% dengan
gagal napas kronik
perubahan basal sesak napas, batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal
dalam variasi hari ke hari (GOLD, 2009).
Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya
karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru,
pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obatobatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes
melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan memburuk atau polusi
udara,
aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot
respirasi) (PDPI, 2003).
Selain
itu,
terdapat
faktor-faktor
risiko
yang
menyebabkan
pasien
sering menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler dkk.
(1999) terdapat faktor prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap.
Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20
2
kg/m ) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas
(kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran
gas dan perburukan hemodinamik
paru, yaitu
PaO265 mmHg,
PaCO2>44
mmHg, dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18
mmHg.
Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi. Iglesia dkk. (2002) mendapatkan
faktor prediktif pasien dirawat inap lebih dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat
akhir minggu, adanya kor pulmonale, dan laju pernapasan yang tinggi.
Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum
meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum.
Menurut
Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I
(eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang)
apabila hanya memiliki
2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama
ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab
lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >
20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo, 2006).
2.7. Penatalaksanaan
Akut
PPOK
Eksaserbasi
sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di
poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI,
2003).
2.7.1. Bronkodilator
Bronkodilator yang
adalah short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum
tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti
ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun penggunaan
klinisnya yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih
kontroversial. Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan
sebagai terapi lini kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari
penggunaan short-acting inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang
mengevaluasi penggunaan long-acting
inhaled
B2-agonists
dengan/tanpa
harus diberikan
dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan
cara yang tepat, nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif.
Hati-hati dengan penggunaan nebulizer yang memakai oksigen sebagai
kompresor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat
menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama
dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara
intravena dan nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat
terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003).
2.7.2. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi
pada penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan tidak
diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang
bermakna. Dosis prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari
adalah efekt if dan aman (GOLD, 2009).
kortikosteroid tidak
Kloramfeniko l,
Eritromisin,
kombinasi
Kloramfenikol
kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan
apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan
PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat,
harus digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).
2.7.5. Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat
adalah
mengurangi
mortalitas
dan
morbiditas,
serta
memperbaiki
gejala. Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV),
baik yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi
mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan
penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan
intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized
Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten
menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini
menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan
frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD,
2009).
2.8. Komplikasi
Komplikasi yang
gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.
Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60
mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal
napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum
bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK
produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas
tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan
dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).