Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian PPOK


Penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit

paru kronik

dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
2.2. Epidemiologi
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk,
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita
PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan
PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto
dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai
April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan
tertua adalah
81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok
yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas
(Survei Sosial
sebanyak

Ekonomi

Nasional)

tahun

2001

menunjukkan

bahwa

62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3%

perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya


merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan
demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.
Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun
2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak adalah
penderita pada kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita (84,8%),
dan penderita yang merokok sebanyak 29 penderita dengan proporsi 63,0%.
Menurut hasil penelitian Manik (2004) dalam Rahmatika (2009) di RS. Haji
Medan pada tahun

Universitas Sumatera Utara

2000-2002 menunjukkan bahwa dari 132 penderita yang paling banyak adalah
proporsi penderita pada kelompok umur lebih dari 55 tahun sebanyak 121 penderita
(91,67%). Menurut penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang dari bulan
Januari sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK tertinggi pada kelompok
usia
60 tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2% dan perempuan 14,4%. Proporsi
gejala pasien tertinggi adalah batuk berdahak dan sesak napas (100%), disusul nyeri
dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%), dan terendah mual sebanyak 11
pasien (8%). Menurut Ilhamd (2000) dalam Parhusip (2008), penderita PPOK
menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru yang
dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan pada
periode Januari hingga Desember 1999 dari keseluruhan penyakit paru yang ada.
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang
menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor
risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor
lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan
pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin,
yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi
akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa
kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru
akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan
PPOK (Helmersen, 2002).
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi
tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada
perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita
PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok
pasif

dan

merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada

perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada

orang muda yang bukan perokok (Helmersen, 2002). Hubungan antara rokok
dengan PPOK menunjukkan

hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari
dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan
akan lebih besar. Hubungan

dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks

Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari
lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika
seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis
kronik minimal setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan
(outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan,
dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas
beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan
faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih
belum jelas tapi lebih kecil dibandingka n asap rokok. Polusi dalam ruangan
(indoor polution) yang disebabkan oleh
digunakan

untuk

keperluan

rumah

bahan

bakar

biomassa

yang

tangga merupakan faktor risiko lainnya.

Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan


berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk
atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi (Helmersen, 2002).
2.4. Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi
dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara

alveolus dan pembuluh darah,

sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan


ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas.

Parameter

yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital
(KV), sedangkan untuk

gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik

pertama

(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas
vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia
yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit
dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak strukturstruktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya
alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi
karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif
setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara
akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama
eksaserbasi

akut,

terjadi

perburukan

pertukaran

gas

dengan

adanya

ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya


inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan
perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).

2.5. Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks
dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri
akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.
2.5.1. Anamnesis
a. Ada faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan
adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi
tempat

kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab

kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam
pencatatan

riwayat

merokok

perlu

diperhatikan

apakah

pasien

merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.


Penentuan

derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu

perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang
(200-600), dan berat ( >600) (PDPI, 2003).
b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Kadang- kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa
disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan
pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas
terhadap kualitas hidup digunakan

ukuran sesak napas sesuai skala sesak

menurut British Medical Research Council (MRC) (Tabel 2.1) (GOLD, 2009).

Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
Skala
Sesak
1
2

Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat


Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga
1 tingkat
Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah
beberapa menit
Sesak bila mandi atau berpakaian

3
4
5

2.5.2. Pemeriksaan Fisik


Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada
seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti
orang

meniup),

terlihat

penggunaan

dan

hipertrofi

otot-otot

bantu

napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
distensi vena jugularis
ditemukan

dan

edema

tungkai.

Pada

perkusi

adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat

biasanya
ditemukan

fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi


memanjang, ronki, dan mengi (PDPI, 2003).
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak
tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat,
dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%.
b. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa
hiperinflasi
bronkovaskuler

atau

hiperlusen,

diafragma

mendatar,

corakan

meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun


kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK
ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari
keluhan pasien (GOLD, 2009).
c. Laboratorium darah
rutin d. Analisa gas darah
e. Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat
ditentukan klasifikasi (derajat) PPOK, yaitu (GOLD, 2009):
Tabel 2.2. Klasifikasi PPOK
Klasifikasi
Penyakit
PPOK Ringan

Gejala Klinis

-Dengan atau tanpa batuk


-Dengan atau tanpa produksi
sputum
-Sesak napas derajat sesak 1
sampai derajat sesak 2
PPOK Sedang
-Dengan atau tanpa batuk
-Dengan atau tanpa produksi
sputum
-Sesak napas derajat 3
PPOK Berat
-Sesak napas derajat sesak 4
dan 5
-Eksaserbasi lebih sering
terjadi
PPOK Sangat Berat -Sesak napas derajat sesak
4 dan 5 dengan gagal napas
kronik
-Eksaserbasi lebih sering
terjadi
-Disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal
jantung kanan

Spirometri
-VEP1 80% prediksi
(nilai normal spirometri)
-VEP1/KVP < 70%
-VEP1/KVP < 70%
-50% VEP1 < 80%
prediksi
-VEP1/KVP < 70%
-30% VEP1 < 50%
prediksi
-VEP1/KVP <70%
-VEP1 < 30% prediksi,
atau
-VEP1 < 50% dengan
gagal napas kronik

2.5.4. Diagnosis Banding


PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca
TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau
gagal jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung
kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PDPI, 2003).
Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri
pada PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik
PPOK
Asma Bronkial Gagal Jantung Kronik
Onset usia
> 45 tahun
Segala usia
Segala usia
Riwayat
Tidak ada
Ada
Tidak ada
keluarga
Pola sesak
Terus menerus,
Hilang timbul
Timbul pada waktu
napas
bertambah berat
aktivitas
dengan akt ivitas
Ronki
Kada ng-kadang
+
++
Mengi
Kada ng-kadang
++
+
Vesiku lar
Melemah
Norma l
Meningkat
Spirometri
Obstruksi ++
Obstruksi ++
Obstruksi +
Restrik si +
Restrik si ++
Reversibilitas <
++
+
Pencetus
Partikel toksik
Partikel sensitif
Penyakit jantung
kongestif
2.6. PPOK Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah
kejadian

akut dalam perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya

perubahan basal sesak napas, batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal
dalam variasi hari ke hari (GOLD, 2009).
Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya
karena virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru,
pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obatobatan (obat antidepresan, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes
melitus, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkungan memburuk atau polusi
udara,

aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot
respirasi) (PDPI, 2003).
Selain

itu,

terdapat

faktor-faktor

risiko

yang

menyebabkan

pasien

sering menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler dkk.
(1999) terdapat faktor prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap.
Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20
2

kg/m ) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas
(kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran
gas dan perburukan hemodinamik

paru, yaitu

PaO265 mmHg,

PaCO2>44

mmHg, dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18
mmHg.
Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi. Iglesia dkk. (2002) mendapatkan
faktor prediktif pasien dirawat inap lebih dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat
akhir minggu, adanya kor pulmonale, dan laju pernapasan yang tinggi.
Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum
meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum.

Menurut

Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I
(eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang)
apabila hanya memiliki
2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama
ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab
lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan >
20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo, 2006).
2.7. Penatalaksanaan
Akut

PPOK

Eksaserbasi

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera


eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian
dari eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya
komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi (GOLD, 2009). Penanganan eksaserbasi
akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah
sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut di
rumah

sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di
poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI,
2003).
2.7.1. Bronkodilator
Bronkodilator yang

lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK

adalah short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum
tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti
ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun penggunaan
klinisnya yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih
kontroversial. Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan
sebagai terapi lini kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari
penggunaan short-acting inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang
mengevaluasi penggunaan long-acting

inhaled

B2-agonists

dengan/tanpa

inhalasi glukokortikosteroid selama eksaserbasi (GOLD, 2009).


Bila rawat

jalan B2-agonis dan antikolinergik

harus diberikan

dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan
cara yang tepat, nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif.
Hati-hati dengan penggunaan nebulizer yang memakai oksigen sebagai
kompresor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat
menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama
dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara
intravena dan nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat
terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003).
2.7.2. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi
pada penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan tidak
diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang
bermakna. Dosis prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari
adalah efekt if dan aman (GOLD, 2009).
kortikosteroid tidak

Menurut PDPI (2003),

selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat


sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat
berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan
efek samping.
2.7.3. Antibiotik
Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada
(GOLD, 2009):
a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu
peningkatan volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan
peningkatan sesak
b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika
peningkatan purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut
c.
Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi
mekanik.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah
sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila
eksaserbasi sedang sebaiknya diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila
ringan dapat diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas
yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II: Ampisilin
kombinasi

Kloramfeniko l,

Eritromisin,

kombinasi

Kloramfenikol

dengan Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid (PDPI,


2003).
2.7.4. Terapi Oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama
dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan
yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau
di ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg
atau SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi,
tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala

yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup


dengan

kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan
apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan
PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat,
harus digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).
2.7.5. Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat
adalah

mengurangi

mortalitas

dan

morbiditas,

serta

memperbaiki

gejala. Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV),
baik yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi
mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan
penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan
intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized
Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten
menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini
menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan
frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD,
2009).
2.8. Komplikasi
Komplikasi yang

dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,

gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.
Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60
mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal
napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum
bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK
produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas
tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan
dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).

Anda mungkin juga menyukai