Anda di halaman 1dari 36

Imam Bukhari

Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadith itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya seperti
yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas
adalah Amirul-Mu'minin fil-Hadith (pemimpin orang mukmin dalam hadith), suatu gelar ahli hadith
tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn
Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di
Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya,
Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam
di bawah bimbingan al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya.
Kerana itulah ia dikatakan "al-Mughirah al-Jafi." Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang
menjelaskan. Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadith. Ia belajar hadith dari
Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab AsSiqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at-Tarikh al-Kabir. Ayah Bukhari
disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan
haram) dan taqwa. Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang
kumiliki tidak terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah
bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara'.
Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu. Ia dilahirkan di Bukhara setelah
salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan
penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke
hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu
bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata: "Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit
putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya."
Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan
meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang
baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian. Keunggulan dan
kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang
cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith.
Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan
abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokohtokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka.
Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapatpendapat ahli ra'yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya. Rasyid ibn Ismail, abangnya
yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan
ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah.
Ia dicela membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada
suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawankawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua kerana Bukhari ternyata hapal di
luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Pengembaraannya

Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan
saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia
sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang
penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebahagian
karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami'as-Shahih dan pendahuluannya. Ia menulis
Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang
bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari
kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya
bemberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam
tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya. Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16
tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke
seluruh Asia Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan
Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama
enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk
menemui ulama-ulama ahli hadith." Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan
gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia
mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya kerana menetap di negeri Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadith-hadith
dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya,
menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan
kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadith dari 80.000 perawi,
dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap
dengan sumbernya.
Kemasyhuran Imam Bukhari

Kemasyhuran Imam Bukhari segera mencapai bahagian dunia Islam yang jauh, dan ke mana pun ia pergi
selalu di alu-alukan. Masyarakat hairan dan kagum akan ingatannya yang luar biasa. Pada tahun 250 H.
Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh
gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya. Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih Muslim
menceritakan: "Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang
kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka
berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (
100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: "Barang siapa hendak menyambut
kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.
Esok paginya Muhammad bin Yahya az-Zihli, sebahagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong
kedatangan Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan
orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadith secara tetap. Sementara itu,
az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang
diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan
pengajiannya."
Imam Bukhari Difitnah

Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan orang-orang yang iri dengki.
Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahawa "AlQur'an adalah makhluk." Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli
kepadanya, sehingga ia berkata: "Barang siapa berpendapat lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, maka
ia adalah ahli bidahh. Ia tidak boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa
masih mengunjungi majlisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai
menjauhinya. Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu.
Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda
tentang lafaz-lafaz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau
menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus mendesaknya,
maka ia menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia
adalah makhluk dan fitnah merupakan bidah." Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah
bacaan dan ucapan mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan
antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan
ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa
Bukhari perbah berkata: "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. AlQur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama adalah Abu
Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan keimanan inilah aku hidup,
aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa
menuduhku berpendapat bahawa lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta." Az-Zahli
benar-benar telah murka kepadanya, sehingga ia berkata: "Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal
bersamaku di negeri ini." Oleh kerana Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari negeri itu lebih
baik, demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia
pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut. Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang
ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk
keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu
farsakh ( 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi
kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majlis
pengajian dan pengajaran hadith. Tetapi kemudian badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari
penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam
Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan
utusan kepada Imam Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami' alShahih dan Tarikh. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada
utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahawa "Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan
membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa, maka
keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majlis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai
alas an di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahawa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu."
Mendapat jawaban seperti itu, sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar
melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alas an
untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri,
Bukhara. Imam Bukhari, kemudian mendo'akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara
tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman,

dipermalukan di depan umum dengan menungang himar betina. Maka hidup sang penguasa yang
dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara.
Kewafatannya

Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar biasa itu pada
karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan
kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo'a sebelum menulis buku itu. Sebahagian buku tersebut ditulisnya
di samping makan Nabi di Madinah. Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan
hadith muridnya ini: "Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling
bijaksana." Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya
meminta ia supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan
mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak dua farsakh sebelum
Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk
mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya. Ia wafat
pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum
meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain,
tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat
setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan
hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan
ridha-Nya.
Guru-gurunya

Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang
berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahawa dia
menyatakan: "Aku menulis hadith yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli
hadith dan berpendirian bahawa iman adalah ucapan dan perbuatan." Di antara guru-guru besar itu
adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn
Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang hadithnya
diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya sebanyak 289 orang guru.
Keutamaan dan Keistimewaan Imam Bukhari

Kerana kemasyhurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar
dan mendengar langsung hadithnya dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang
meriwayatkan hadith dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahawa kitab Shahih Bukhari
didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari,
jilid 22, hal. 204). Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj,

Tirmidzi, Nasa'i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma'qil alNasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir
ini merupakan yang paling masyhur sebagai perawi kitab Shahih Bukhari. Dalam bidang kekuatan
hafalan, ketazaman pikiran dan pengetahuan para perawi hadith, juga dalam bidang ilat-ilat hadith,
Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah
telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadith lainnya, untuk
menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahawa Imam Bukhari
berkata: "Saya hafal hadith di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadith shahih, dan 200.000 hadith
yang tidak shahih." Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia
tiba di Baghdad, ahli-ahli hadith di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya.
Mereka mengambil 100 buah hadith, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar
balikkan), matan hadith ini diberi sanad hadith lain dan sanad hadith lain dinbuat untuk matan hadith
yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10
pertanyaan tentang hadith yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang pertama tampil dengan
mengajukan sepuluh buah hadith kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah
hadith, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: "Saya tidak tahu hadith yang Anda sebutkan ini." Ia tetap
memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing
mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahawa Imam
Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan
para ulama berkata satu kepada yang lainnya: "Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya." Setelah 10
orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi,
kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: "Hadith pertama yang
anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadith kedua isnadnya yang benar adalah beginii"
Begitulah Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan
sepuluh hadith. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan selesai
kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai
sampai pada penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadithhadith yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang salah dengan
jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para
ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan
kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya sebagai "Imam" dalam bidang
hadith. Sebahagian hadirin memberikan komentar terhadap "uji cuba kemampuan" yang menegangkan
ini, ia berkata: "Yang mengagumkan, bukanlah kerana Bukhari mampu memberikan jawaban secara
benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua
hadith yang sudah diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10
orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu
kali."Jadi banyak pemirsa yang hairan dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah
hadith secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau
hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan,
ini sungguh luar biasa. Imam Bukhari pernah berkata: "Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadith
pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi'in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran
sebahagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan
hadith sahabat dan tabi'in, yakni hadith-hadith mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari
Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW." Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya
Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan dan generasi sesudahnya

memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa'id tentang Imam Bukhari,
ketika menyatakan : "Wahai para penenya, saya sudah banyak mempelajari hadith dan pendapat, juga
sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum
pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma'il al-Bukhari." Imam alA'immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam
Bukhari dengan mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadith, yang
melebihi Muhammad bin Isma'il." Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim arRazi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadith melebihi Muhammad
bin Isma'il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Iraq yang melebihi
kealimannya." Al-Hakim menceritakan, dengan sanad lengkap. Bahawa Muslim (pengarang kitab
Shahih), datang kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: "Biarkan saya
mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadith dan dokter ahli penyakit (ilat) hadith."
Mengenai sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn
Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi
generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi." Imam
Bukhari adalah seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak
pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu namun ramah, dermawan,
menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara
sembunyi maupun terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Kepada
para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar. Diceritakan ia pernah berkata: "Setiap
bulan, saya berpenghasilan 500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab,
apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal." Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan
dalam berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap
perawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: "Perlu dipertimbangkan, para
ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya." Perkataan yang tegas tentang para
perawi yang tercela ialah: "Hadithnya diingkari." Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik para
perawi, namun ia banyak meninggalkan hadith yang diriwayatkan seseorang hanya kerana orang itu
diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahawa ia berkata: "Saya meninggalkan 10.000 hadith
yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama
atau lebih, yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan." Selain dikenal
sebagai ahli hadith, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan
fatwa, ia telah sampai pada darjat mujtahid mustaqiil (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhabmadzhab tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapatpendapat hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan dengan madzhab
Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi'i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya.
Selain itu pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan
'Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah seorang ahli hadith yang ulung
dan ahli fiqh yg berijtihad sendiri, kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya sebagai ahli
hadith, bukan sebagai ahli fiqh. Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan
kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Dinul Islam. Imam Bukhari sering belajar
memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahawa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam
memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong
dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.
Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan
mereka.

Karya-karya Imam Bukhari

Di antara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut : Al-Jami' as-Shahih (Shahih Bukhari).
Al-Adab al-Mufrad. At-Tarikh as-Sagir. At-Tarikh al-Awsat. At-Tarikh al-Kabir. At-Tafsir alKabir. Al-Musnad al-Kabir. Kitab al-'Ilal. Raf'ul-Yadain fis-Salah. Birril-Walidain. Kitab alAsyribah. Al-Qira'ah Khalf al-Imam. Kitab ad-Du'afa. Asami as-Sahabah. Kitab al-Kuna.

Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI' AS-SHAHIH (Shahih Bukhari)

Diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.; seolah-olah aku berdiri di
hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan
mimpi itu kepada sebahagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahawa aku akan menghancurkan dan mengikis
habis kebohongan dari hadith Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk
melahirkan kitab Al-Jami' as-Shahih." Dalam menghimpun hadith-hadith shahih dalam kitabnya, Imam
Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan
hadith-hadithnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti keshahihan hadith-hadith
yang diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadith-hadith yang diriwayatkan,
satu dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga
kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadith-hadith tersebut. Hal ini tercermin dari
perkataannya: "Aku susun kitab Al-Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadith selama 16 tahun." Dan
beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama alFirbari menjelaskan bahawa ia mendengar Muhammad bin Isma'il al-Bukhari berkata: "Aku susun kitab
Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadith pun,
kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan
sesudah aku meyakini betul bahawa hadith itu benar-benar shahih." Maksud pernyataan itu ialah
bahawa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara
sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara
makan Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadith-hadith dan menempatkannya pada
bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat,
menyusunnya selama 16 tahun. Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala
faktor yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain.
Kerananya tidak menghairankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para ulama.
Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai "Buku Hadith Nabi yang Paling Shahih."
Diriwayatkan bahawa Imam Bukhari berkata: "Tidaklah ku masukkan ke dalam kitab Al-Jami' as-Shahih

ini kecuali hadith-hadith yang shahih; dan ku tinggalkan banyak hadith shahih kerana khawatir
membosankan." Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat
terhadap kitabnya, menyatakan bahawa Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya selalu berpegang teguh
pada tingkat keshahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa
hadith yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadith mutabi dan hadith syahid,
dan hadith-hadith yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi'in.
Jumlah Hadith Kitab Al-Jami'as-Shahih (Shahih Bukhari)

Al-'Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahawa jumlah hadith Shahih Bukhari
sebanyak 7.275 buah hadith, termasuk hadith-hadith yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000
hadith tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-"Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam
kitabnya, At-Taqrib. Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab
syarah Shahih Bukhari, menyebutkan, bahawa semua hadith shahih mawsil yang termuat dalam Shahih
Bukhari tanpa hadith yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadith. Sedangkan matan hadith
yang mu'alaq namun marfu', yakni hadith shahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya
secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadith. Semua hadith Shahih Bukhari
termasuk hadith yang disebutkan berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu'alaq sejumlah 1.341
buah, dan yang mutabi' sebanyak 344 buah hadith. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang
berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadith. Jumlah ini diluar haits yang mauquf
kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi'in dan ulama-ulama sesudahnya. Sumber:
Kitab Hadith Shahih yg Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah

Imam Muslim
Penghimpun dan penyusun hadith terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama
lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia
juga mengarang kitab As-Shahih (terkenal dengan Shahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang
namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang shahih
sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya 'Ulama'ul-Amsar.
Kehidupan dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu

Ia belajar hadith sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan
negara-negara lainnya. Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk
berguru hadith kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di

Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar hadith kepada Ahmad bin
Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir
berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadith yang lain. Muslim
berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadith, dan kunjungannya yang
terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk
berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan
Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli.
Muslim dalam Shahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadith-hadith yang diterima dari AzZihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadith dalam
Shahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim,
yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalan Shahihnya hadith-hadith yang diterima dari kedua gurunya
itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Wafatnya

Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar
Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.
Guru-gurunya

Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di
antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri,
Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa'id al-Ayli,
Qutaibah bin Sa'id dan lain sebagainya.
Keahlian dalam Hadith

Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadith shahih, berpengetahuan luas mengenai
ilat-ilat dan seluk beluk hadith, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam
Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya. Imam Muslim
banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadith maupun ulama lainnya. Al-Khatib alBaghdadi berketa, "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang
dilaluinya." Pernyataan ini tidak bererti bahawa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai ciri
khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan
orang sebelumnya. Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahawa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di
bidang hadith hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150).
Maksud perkataan tersebut adalah ahli-ahli hadith terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli
hadith itu cukup banyak jumlahnya.

Karya-karya Imam Muslim

Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :

Al-Jami' as-Shahih

(Shahih Muslim).

Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadith).

Asma' wal-Kuna.

Kitab al-'Ilal.

Uhubis-Siba'.

Kitabul-Aqran.

Kitabul-Muhadramin.

Kitabu Su'alatihi Ahmad bin Hambal.

Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.

Kitabul-

Kitabul-Intifa' bi

Kitab Auladis-Sahabah.

Kitab Awhamil-Muhadditsin.
Kitab Shahih Muslim

Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga
kini ialah Al-Jami' as-Shahih, terkenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab
yang paling shahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Shahih ini diterima baik oleh segenap umat
Islam. Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para
perawi, menyaring hadith-hadith yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim
sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya
perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Shahihnya. Bukti
konkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari
ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahawa ia pernah berkata: "Aku susun kitab Shahih ini
yang disaring dari 300.000 hadith." Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : "Aku menulis
bersama Muslim untuk menyusun kitab Shahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadith.
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahawa jumlah hadith Shahih Muslim itu
sebanyak 4.000 buah hadith. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahawa perhitungan
pertama memasukkan hadith-hadith yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua
hanya menghitung hadith-hadith yang tidak disebutkan berulang. Imam Muslim berkata di dalam Shahihnya:
"Tidak setiap hadith yang shahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Shahihnya. Aku hanya
mencantumkan hadith-hadith yang telah disepakati oleh para ulama hadith." Imam Muslim pernah berkata,
sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: "Apabila penduduk bumi ini menulis hadith
selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini." Ketelitian dan
kehati-hatian Muslim terhadap hadith yang diriwayatkan dalam Shahihnya dapat dilihat dari perkataannya
sebagai berikut : "Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadith dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan;
juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadith daripadanya melainkan dengan alas an pula." Imam Muslim di
dalam penulisan Shahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab
yang kita dapati pada sebahagian naskah Shahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para
pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan
sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya. Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam,
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.

Imam Abu Dawud


Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan
ahli hadith pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini. Abu
Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi asSijistani, seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah dua imam hadith
Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
Perkembangan dan Perlawatannya

Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat
mereguk dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk
mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadith dari para ulama yang tidak sedikit
jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain.
Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadith,
kemudian hadith-hadith yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab AsSunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadith dan fiqh kepada para
penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya
kepada tokoh ulama hadith, Ahmad bin Hanbal. Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang
sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang
menghendaki supaya Basrah menjadi "Ka'bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadith.
Guru-gurunya

Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling
terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa'nabi, Abu 'Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja',
Abu'l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam
Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa'id.
Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Hadithnya)

Ulama-ulama yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu 'Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur
Rahman an-Nasa'i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa'id al-A'rabi, Abu Ali alLu'lu'i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa'id al-Jaldawi dan lain-lain. Cukuplah sebagai bukti
pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis
sebuah hadith yang diterima dari padanya. Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,
dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma'syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: "Rasulullah SAW.
ditanya tentang 'atirah, maka ia menilainya baik."

Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji

Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam
ibadah, kesucian diri, wara' dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani
perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian
ulama yang menyatakan: Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan
kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki', Waki
menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha'i, Ibrahim
menyerupai 'Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn Mas'ud sendiri menyerupai Nabi SAW
dalam sifat-sifat tersebut. Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan
keberagamaan, tingkah laku dan akhlak. Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara
berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang
melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab: "Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk
membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebihlebihan.
Pujian Para Ulama Kepadanya

Abu Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan
berpengetahuan luas terhadap hadith dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama,
terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:
"Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadith, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang
lebih utama melebihi dia." Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu
dikatakan kepadanya: "Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan." Abu Dawud pun menyambutnya
dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: "Wahai Abu Dawud, saya ada
keperluan keadamu." Ia bertanya: "Keperluan apa?" "Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji
akan memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu," tandan
Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadith
dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang
kemudian dicium oleh Sahal. Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli
hadith berkata: "Hadith telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud."
Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan
keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang
jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik. Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqh terkemuka yang
bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as, imam
terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui
tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu
Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana
ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada
siapa pun pada masanya.

Madzhab Fiqh Abu Dawud

Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud
ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu'l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu
Ya'la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad
merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi'i. Menurut
pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika
Sunan-nya. Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadith
pada masa-masa awal.
Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu dan Ulama

Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah
berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir,
pembantu Abu Dawud. Ia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika
kami selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu pintu aku buka dan seorang
pelayan melaporkan bahawa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor
kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama
kemudian Abu Dawud menemuinya seraya berkata: "Gerangan apakah yang membawamu datang ke sini
pada saat seperti ini?" "Tiga kepentingan," jawab Amir. "Kepentingan apa?" tanyanya. Amir menjelaskan,
"Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru
dunia datang belajar kepada tuan; dengan demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahawa
Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji." Abu Dawud berkata: "Itu yang pertama,
sebutkan yang kedua!" "Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku," kata
Amir. "Ya, ketiga?" Tanya Abu Dawud kembali. Amir menerangkan: "Hendaknya tuan mengadakan majlis
tersendiri untuk mengajarkan hadith kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk bersamasama dengan orang umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab
manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama." Ibn Jabir menjelaskan:
"Maka sejak itu putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majlis taklim; hanya saja di antara mereka
dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar bersama-sama." Maka hendaknya
para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus datang kepada para
ulama. Dan kesamaan darjat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah dikembangkan apa yang telah
dilakukan Abu Dawud tersebut.
Tanggal Wafatnya

Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan
menyebarluaskan hadith, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal

atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga
Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.
Karya-karyanya

Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:


Marasil.
Nubuwah.

Kitab Al-Qadar.

An-Nasikh wal-Mansukh.

Ibtida' al-Wahyu.

Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).


Fada'il al-A'mal.

Kitab Az-Zuhd.

Kitab AlDala'il an-

Ahbar al-Khawarij. Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi

dan masih tetap beredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan
Abi Dawud.
Kitab Sunan Karya Abu Dawud

Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya

Karya-karya di bidang hadith, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping berisi hadith-hadith hukum,
juga memuat hadith-hadith yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada'il a'mal) kisah-kisah, nasehatnasehat (mawa'iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu
Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut
hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya
sebagai kitab yang indah dan baik. Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadith-hadith
shahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula
kedalamnya hadith shahih, hadith hasan, hadith dha'if yang tidak terlalu lemah dan hadith yang tidak disepakati
oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadith-hadith yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya. Cara
yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah
sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:
"Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi
sebanyak 4.800 hadith yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun
hadith-hadith shahih, semi shahih dan yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan
sebuah hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadith yang
mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadith macam ini ada hadith yang tidak shahih
sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadith tersebut bernilai salih (bias
dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadith yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain.
Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur'an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat
buah hadith saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadith tersebut
adalah, yang ertinya: Pertama: "Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa
yang ia niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya

kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana
perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."
Kedua: "Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya." Ketiga:
"Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia
rela untuk dirinya." Keempat: "Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara
keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa
menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa
terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang
menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu
mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya.
Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika
rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati." Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam
suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Hadith pertama adalah ajaran tentang
niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah. Hadith
kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat
bagi agama dan dunia. Hadith ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam
pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari
hati masing-masing. Hadith keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta
cara memperoleh atau mencapai sifat wara', yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan
masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, kerana untuk menganggap enteng melakukan
haram. Dengan hadith ini nyatalah bahawa keempat hadith di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa
dan menciptakan kebahagiaan.
Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud

Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: "Sunan
Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam." Demikian juga dua imam
besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau
menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.
Hadith-hadith Sunan Abu Dawud yang Dikritik

Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam
Sunannya dan memandangnya sebagai hadith-hadith maudhu (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak 9
buah hadith. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah
memvonis "palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadith,
seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka
sebenarnya hadith-hadith yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya
terhadap ribuan hadith yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa
hadith-hadith yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama
yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.

Jumlah Hadith Sunan Abu Dawud

Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadith sebanyak 4.800 buah hadith.
Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadith. Perbedaan jumlah ini
disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadith yang diulang-ulang
sebagai satu hadith, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan
hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith. Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi
beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di
antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.
Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
Imam Tirmidzi
Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh
ahli hadith dan penghimpun hadith yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab Al-Jami (Jami AtTirmidzi). Ia juga tergolonga salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia
hadith terkenal. Imam al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika
Serikat-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadith kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur
lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
Perkembangan dan Lawatannya

Kakek Abu Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota
inilah cucunya bernama Abu Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan
mencari hadith. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Iraq, Khurasan dan lain-lain.
Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadith untuk mendengar
hadith yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak
pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju
Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut. Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat,
berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan
beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi
meninggaol dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya

Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari,
kepadanya ia mempelajari hadith dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan
Tirmidzi belajar pula hadith dari sebahagian guru mereka. Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabiaid,

Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, Ali bin Hajar, Ahmad
bin Muni, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya

Hadith-hadith dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul
ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, alHaisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi,
yang meriwayatkan kitab Al-Jami daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya

Abu Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadith, kesalehan dan ketaqwaannya. Ia
terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan
cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya,
dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata: Saya mendengar Abu Isa at-Tirmidzi berkata: Pada
suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadith-hadith
yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai
dia, mereka menjawab bahawa dialah orang yang ku maksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya
mengira bahawa dua jilid kitab itu ada padaku. Ternyata yang ku bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan
dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk
mendengar hadith, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadith yang dihafalnya. Di
sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahawa kertas yang ku pegang masih putih bersih
tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: Tidakkah engkau malu kepadaku?
Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahawa apa yang ia bacakan itu telah ku hafal semuanya.
Cuba bacakan! suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: Apakah
telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku? Tidak, jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia
meriwayatkan hadith yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadith yang tergolong hadithhadith yang sulit atau garib, lalu berkata: Cuba ulangi apa yang ku bacakan tadi, Lalu aku membacakannya
dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.
Pandangan Para Kritikus Hadith Terhadapnya

Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. AlHafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadith, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok Tsiqah
atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata: "Tirmidzi adalah salah seorang
ulama yang mengumpulkan hadith, menyusun kitab, menghafal hadith dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan
para ulama. Abu Yala al-Khalili dalam kitabnya Ulumul Hadith menerangkan; Muhammad bin Isa at-Tirmidzi
adalah seorang penghafal dan ahli hadith yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan

dan kitab Al-Jarh wat-Tadil. Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia
terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang
berilmu luas. Kitabnya Al-Jamius Shahih sebagai bukti atas keagungan darjatnya, keluasan hafalannya,
banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadith yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya

Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadith yang mengetahui kelemahan-kelemahan
dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang
siapa mempelajari kitab Jaminya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya
terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai
ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu
contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith mengenai penangguhan membayar piutang yang
dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan
kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi
SAW, bersabda: Penangguhan membayar hutang yang dilakukan oleh si berhutang) yang mampu adalah
suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain yang mampu
membayar, hendaklah pemindahan hutang itu diterimanya. Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai
berikut: Sebahagian ahli ilmu berkata: Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang
mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan
bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil. Diktum ini adalah
pendapat Syafii, Ahmad dan Ishaq. Sebahagian ahli ilmu yang lain berkata: Apabila harta seseorang (muhtal)
menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang
pertama (muhil). Mereka memakai ala an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: Tidak ada
kerugian atas harta benda seorang Muslim. Menurut Ishak, maka perkataan Tidak ada kerugian atas harta
benda seorang Muslim ini adalah Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang
dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang
Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu. Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahawa
betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal
pandangannya itu.
Karya-karyanya

Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:


at-Tirmidzi.

Kitab Al-Ilal.

Kitab At-Tarikh.

Kitab Al-Jami, terkenal dengan sebutan Sunan

Kitab Asy-Syamail an-Nabawiyyah.

Kitab Az-Zuhd.

Kitab Al-Asma wal-kuna. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas
adalah Al-Jami.
Sekilas tentang Al-Jami

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga
salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal. Al-Jami ini
terkenal dengan nama Jami Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan
Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular. Sebahagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar
as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Shahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian
nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah. Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan
kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: Setelah
selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasa, dan
mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara. Imam Tirmidzi
di dalam Al-Jami-nya tidak hanya meriwayatkan hadith shahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadith-hadith
hasan, daif, garib dan muallal dengan menerangkan kelemahannya. Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan
dalam kitabnya itu, kecuali hadith-hadith yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode
demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh kerananya, ia meriwayatkan semua hadith yang
memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih. Hanya saja ia selalu
memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadith. Diriwayatkan, bahawa ia pernah berkata:
Semua hadith yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan. Oleh kerana itu, sebahagian besar ahli
ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadith, yaitu: Sesungguhnya Rasulullah SAW
menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab takut dan dalam
perjalanan. Jika ia peminum khamar minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia. Hadith ini
adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadith di
atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebahagian besar ulama
berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan.
Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadith juga Ibn
Munzir. Hadith-hadith daif dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut
fadhail al-amal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti kerana
persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadith semacam ini lebih longgar
dibandingkan dengan persyaratan bagi hadith-hadith tentang halal dan haram. Sumber: Kitab Hadith Shahih
yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
Imam Nasa'i
Imam Nasa'i juga merupakan tokoh ulama kenamaan ahli hadith pada masanya. Selain Shahih Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami' At-Tirmidzi, juga karya besar Imam Nasa'i, Sunan us-Sughra
termasuk jajaran kitab hadith pokok yang dapat dipercayai dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus
hadith. Ia adalah seorang imam ahli hadith syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan az-Zahabi dalam
Tazkirah-nya Abu 'Abdurrahman Ahmad bin 'Ali bin Syu'aib 'Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi,
pengarang kitab Sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadith yang jadi ikutan
dan ulama terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada zamannya. Dilahirkan di sebuah tempat bernama
Nasa' pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada tahun 214 H.
Pengembaraannya

Ia lahir dan tumbuh berkembang di Nasa', sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama
dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur'an dan dari guru-guru
negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia senang
mengembara untuk mendapatkan hadith. Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju
Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar hadith, sehingga ia
menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith yang mempunyai sanad yang 'Ali (sedikit
sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith. Nasa'i merasa cocok tinggal di Mesir. Kerananya,
ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun
menjelang wafatnya. Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia mengalami suatu
peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid. Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan
Mu'awiyyah r.a. Tindakan ini seakan-akan mereka minta kepada Nasa'i agar menulis sebuah buku tentang
keutamaan Mu'awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a. Oleh kerana itu ia
menjawab kepada penanya tersebut dengan "Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan darjat
(antara Mu'awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?" Mendapat
jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan
menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui kematiannya.
Wafatnya

Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni menjelaskan, bahawa
di saat mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia meminta supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini
dikabulkan dan ia meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah.
Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-'Uqbi al-Misri dan ulama
yang lain. Imam az-Zahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah bahawa
Nasa'i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini,
demikian juga Abu Ja'far at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan bahawa ia
meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.
Sifat-sifatnya

Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian garis-garis buatan
Yaman. Ia adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu
beribadah haji dan berjihad.Ia sering ikut bertempur bersama-sama dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui
kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam
menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan demikian ia dikenal senantiasa
"menjaga jarak" dengan majlis sang Amir, padahal ia tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah.
Maka, hendaklah para ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan. Namun ada panggilan
untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa'i telah mengikuti jejak Nabi
Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.
Fiqh Nasa'i

Ia tidak saja ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadith yang
diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.Imam Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa'i
bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling
mengetahui tentang hadith dan perawi-perawi. Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami'ul
Usul-nya, bahawa Nasa'i bermazhab Syafi'i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab
Safi'i, rahimahullah.
Karya-karyanya

Imam Nasa'i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
Kuba.

As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.

Al-Khasa'is.

As-Sunan ul-

Fada'ilus-Sahabah.

Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.
Sekilas tentang Sunan An-Nasa'i

Nasa'i menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka. Di antaranya ialah Qutaibah Imam Nasa'i Sa'id.
Ia mengunjungi kutaibah ketika berusia 15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru
lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, al-Haris bin Miskin, 'Ali bin Khasyram dan Abu Dawud penulis as-Sunan,
serta Tirmidzi, penulis al-Jami'. Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh para ulama yang tidak sedikit jumlahnya.
Antara lain Abul Qasim at-Tabarani, penulis tiga buah Mu'jam, Abu Ja'far at-Tahawi, al-Hasan bin al-Khadir asSuyuti, Muhammad bin Mu'awiyyah bin al-Ahmar al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni, perawi
Sunan Nasa'i. Ketika Imam Nasa'i selesai menyusun kitabnya, As-Sunan ul-Kubra, ia lalu menghadiahkannya
kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya: "Apakah isi kitab ini shahih seluruhnya?" "Ada yang shahih, ada
yang hasan dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya," jawabnya. "Kalau demikian," kata sang
Amir, "Pisahkan hadith-hadith yang shahih saja." Atas permintaan Amir ini maka Nasa'i berusaha
menyeleksinya, memilih yang shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang dinamakan
As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain.
Imam Nasa'i sangat teliti dalam menyususn kitab Sunan us-Sughra. Kerananya ulama berkata: "Kedudukan
kitab Sunan Sughra ini di bawah darjat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, kerana sedikit sekali hadith dha'if
yang tedapat di dalamnya." Oleh kerana itu, kita dapatkan bahawa hadith-hadith Sunan Sughra yang dikritik
oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi dan dinilainya sebagai hadith maudhu kepada hadith-hadith tersebut tidak
sepenuhnya dapat diterima. As-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan yang berbeda
dengannya mengenai sebahagian besar hadith yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa'i terdapat hadith-hadith
shahih, hasan, dan dha'if, hanya saja hadith yang dha'if sedikit sekali jumlahnya. Adapun pendapat sebahagian
ulama yang menyatakan bahawa isi kitab Sunan ini shahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu
sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Atau maksud pernyataan itu adalah bahawa sebahagian
besar ini Sunan adalah hadith shahih. Sunan us-Sughra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab

hadith pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith. Sedangkan Sunan
ul-Kubra, metode yang ditempuh Nasa'i dalam penyusunannya adalah tidak meriwayatkan sesuatu hadith yang
telah disepakati oleh ulama kritik hadith untuk ditinggalkan. Apabila sesuatu hadith yang dinisbahkan kepada
Nasa'i, misalnya dikatakan, "hadith riwayat Nasa'i", maka yang dimaksudkan ialah "riwayat yang di dalam
Sunan us-Sughra, bukan Sunan ul-Kubra", kecuali yang dilakukan oleh sebahagian kecil para penulis. Hal itu
sebagaimana telah diterangkan oleh penulis kitab 'Aunul-Ma'bud Syarhu Sunan Abi Dawud pada bahagian
akhir huraiannya: "Ketahuilah, pekataan al-Munziri dalam Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam AlAtraf-nya, hadith ini diriwayatkan oleh Nasa'i", maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam As-Sunan ulKubra, bukan Sunan us-Sughra yang kini beredar di hampir seluruh negeri, seperti India, Arabia, dan negerinegeri lain. Sunan us-Sughra ini merupakan ringkasan dari Sunan ul-Kubra dan kitab ini hampir-hampir sulit
ditemukan. Oleh kerana itu hadith-hadith yang dikatakan oleh al-Munziri dan al-Mizzi, "diriwayatkan oleh
Nasa'i" adalah tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan tiadanya kitab ini, sebab setiap
hadith yang tedapat dalam Sunan us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-Kubra dan tidak sebaliknya.
Mengakhiri pengkajian ini, perlu ditegaskan kembali, bahawa Sunan Nasa'i adalah salah satu kitab hadith
pokok yang menjadi pegangan. Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu
Syuhbah.
Imam Ibn Majah
Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan
argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith. Imam
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi'i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab
bemanfaat lainnya. Kata "Majah" dalam nama beliau adalah dengan huruf "ha" yang dibaca sukun; inilah
pendapat yang shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan "ta" (majat) sebagaimana pendapat
sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis
Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52. Imam Ibn Majah dilahirkan di
Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh
saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan
Abdullah serta putranya, Abdullah.
Pengembaraannya

Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan,
teristimewa mengenai hadith dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan
mengumpulkan hadith, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak,
Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru
hadith kepada ulama-ulama hadith. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah,
sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia
ini.
Aktivitas Periwayatannya

Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair,
Hisyam bin 'Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar
lain.Sedangkan hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad bin 'Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan,
Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
Penghargaan Para Ulama Kepadanya

Abu Ya'la al-Khalili al-Qazwini berkata: "Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati
tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas
dan banyak menghafal hadith." Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli hadith
besarm mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadith kenamaan negerinya.Ibn Kasir, seorang
ahli hadith dan kritikus hadith berkata dalam Bidayah-nya: "Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah
pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan
pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadith dan usul dan furu'."
Karya-karyanya

Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:


satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadith yang Pokok).
manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.

Kitab As-Sunan, yang merupakan salah

Kitab Tafsir Al-Qur'an, sebuah kitab tafsir yang besar

Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn

Majah.

Sekilas Tentang Sunan Ibn Majah

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang.
Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi terkenal. Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan
beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedan jumlah hadithnya sebanyak 4.000 buah
hadith.Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah
memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam bab ini ia
menguraikan hadith-hadith yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadith

Sebahagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok "Kitab Hadith Pokok" mengingat
darjat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadith yang lima.

Sebahagian ulama yang lain menetapkan, bahawa kitab-kitab hadith yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus
Sittah/Enam Kitab Hadith Pokok), yaitu:
Imam Muslim.

Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.

Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.

Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.

Shahih Muslim, karya

Sunan Nasa'i, karya Imam Nasa'i.

Sunan

Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah. Ulama pertama yang memandang

Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat
pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul 'A'immatis Sittah. Pendapat
itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz 'Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi
Asma' ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebahagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak
mengkategorikan kitab Al-Muwatta' karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih shahih
daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahawa Sunan Ibn Majah banyak zawa'idnya (tambahannya)
atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta', yang hadith-hadith itu kecuali sedikit sekali, hampir
seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah. Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta'
susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usul us-Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah.
Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat
sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam'i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa'adat
Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi'i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi'i (wafat 944 H)
dalam kitabnya Taysirul Wusul.
Nilai Hadith-hadith Sunan Ibn Majah

Sunan Ibn Majah memuat hadith-hadith shahih, hasan, dan da'if (lemah), bahkan hadith-hadith munkar dan
maudhu meskipun dalam jumlah sedikit. Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul
Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini kerana kitab sunan ini yang paling banyaknya hadith-hadith da'if di
dalamnya. Oleh kerana itu tidak sayugianya kita menjadikan hadith-hadith yang dinilai lemah atau palsu dalam
Sunan Ibn Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai keadaan
hadith-hadith tersebut. Bila ternyata hadith dimaksud itu shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan.
Jika tidak demikian adanya, maka hadith tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Imam Malik
BIODATA

Imam Malik Rahimahullah atau nama sebenar beliau Malik bin Anas bin Malik Amir

Al-Harith dilahirkan di Kota Madinah pada 93 Hijrah bersamaan dengan tahun 713 Masihi, iaitu pada zaman
pemerintahan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik daripada kerajaan Bani Umaiyah.

Beliau berasal dari keturunan Arab yang terhormat dan dimuliakan oleh masyarakat kerana datuknya Amir bin
Al-Harith banyak berkorban bersama Nabi Muhammad s.a.w. dalam menegakkan agama Islam. Kehidupan
keluarganya yang susah tidak memadamkan cita-citanya untuk menjadi orang yang berilmu. Berkat usahanya
yang gigih dan bersungguh-sungguh, akhirnya beliau muncul sebagai seorang ulama, hartawan, dermawan,
dan berjaya memegang jawatan Mufti Besar di Madinah.

Sejarah keluarganya juga ada hubung-kait dengan ilmu Islam dengan datuknya sendiri seorang perawi dan
penghafal hadis yang terkemuka. Pakciknya juga, Abu Suhail Nafi adalah seorang tokoh hadis kota Madinah
pada ketika itu dan dengan beliaulah Malik bin Anas mula mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya hadis. Abu
Suhail Nafi ialah seorang tabiin yang sempat menghafal hadis daripada Abdullah ibn Umar, A'isyah binti Abu
Bakar, Umm Salamah, Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudri radhiallahu anhum

Beliau pernah menjadi guru sedari usia 17 tahun dan dapat mengajar dengan baik walaupun masih muda.
Majlis pengajian beliau dilakukan di Masjid Nabawi. Beliau yang juga dikenali sebagai pengasas Mazhab Maliki
telah meninggal dunia pada 10 Rabiulawal 179 Hijrah bersamaan 798 Masihi ketika berusia 86 tahun dengan
meninggalkan tiga orang putera dan seorang puteri. Mazhab Maliki berkembang di beberapa tempat di dunia
seperti Maghribi, Algeria, Libya, Iraq dan Palestin.

SIFAT PERIBADI

Sepanjang hidupnya, Imam Malik terkenal dengan kecerdasan akal fikirannya yang tinggi sehinggakan mampu
menghafal al-Quran dalam usia yang masih muda. Beliau juga terkenal dengan sifat mulia, bersopan-santun,
suka memakai pakaian yang bersih, kemas serta bau-bauan yang harum selaras dengan tuntutan agama
supaya menjadi orang yang pembersih.

Walau bagaimanapun, beliau yang terkenal dengan keramahan dan bergaul dengan semua lapisan
masyarakat merupakan seorang yang pendiam dan hanya berkata-kata apabila perlu dan menganggap benda
yang akan diucapkan adalah perkara-perkara yang berfaedah sahaja. Beliau juga seorang hartawan yang tidak
lokek membelanjakan hartanya ke jalan Allah. Sebagai contoh, beliau pernah membantu Imam as-Syafie
sehingga berjaya menjadi ulama terkenal.

Beliau seorang yang sangat menghormati hadis-hadis Rasulullah sendiri dan diri baginda sendiri walaupun
baginda telah wafat. Beliau dikatakan tidak pernah menunggang sebarang jenis kenderaan di Madinah sebagai
tanda menghormati jasad baginda yang tertanam di dalam kubur.

Suasana kehidupan Imam Malik bin Anas di Madinah yang ketika itu dipenuhi dengan para tabiin amatlah
menguntungkannya. Para tabiin ini adalah mereka yang sempat hidup bersama sahabat-sahabat Rasulullah
s.a.w. Mereka sempat belajar, mendengar hadis dan mengamalkan perbuatan para sahabat secara terus.
Imam Malik bin Anas kemudiannya mengambil alih sebagai tokoh agama di Masjid Nabawi. Ajarannya menarik
sejumlah orang ramai daripada pelbagai daerah dunia Islam. Beliau juga bertindak sebagai mufti Madinah
pada ketika itu. Imam Malik juga ialah antara tokoh yang terawal dalam mengumpul dan membukukan hadishadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Ketika Imam Malik berusia 54 tahun, pemerintahan berada di tangan baginda Al-Mansur yang berpusat di
Bagdad. Ketika itu di Madinah dipimpin oleh seorang gabenor bernama Jaafar bin Sulaiman Al-Hasymi.
Sementara itu Imam Malik juga menjabat sebagai mufti di Madinah. Di saat timbulnya masalah penceraian
atau talak, maka Imam Malik telah menyampaikan fatwanya, bahawa talak yang dipaksakan tidak sah, ertinya
talak suami terhadap isteri tidak jatuh. Fatwa ini sungguh berlawanan dengan kehendak gabenor, kerana ia
tidak mahu hadith yang disampaikan oleh Imam Malik tersebut diketahui oleh masyarakat, sehingga akhirnya
Imam Malik dipanggil untuk mengadap kepada gabenor.
Kemudian gabenor meminta agar fatwa tersebut dicabut kembali, dan jangan sampai orang ramai mengetahui
akan hal itu. Walaupun demikian Imam Malik tidak mahu mencabutnya. Fatwa tersebut tetap disiarkan kepada
orang ramai. Talak yang dipaksanya tidak sah. Bahkan Imam Malik sengaja menyiarkan fatwanya itu ketika
beliau mengadakan ceramah-ceramah agama, kerana fatwa tersebut berdasarkan hadith Rasulullah SAW
yang harus diketahui oleh umat manusia.
Akhirnya Imam Malik ditangkap oleh pihak kerajaan, namun ia masih tetap dengan pendiriannya. Gabenor
memberi peringatan keras supaya fatwa tersebut dicabut dengan segera Kemudian Imam Malik dihukum
dengan dera dan diikat dengan tali dan dinaikkan ke atas punggung unta, lalu diarak keliling Kota Madinah.
Kemudian Imam Malik dipaksa supaya menarik kembali fatwanya itu.
Mereka mengarak Imam Malik supaya Imam merasa malu dan hilang pendiriannya. Tetapi Imam Malik masih
tetap dengan pendiriannya itu. Kerana ketegasannya itu, dia dihukum dengan sebat sebanyak 70 kali, yang
menyebabkan tulang belakangnya hampir patah. Kemudian ia berkata kepada sahabat-sahabatnya:
Aku dihukum dera begitu berat lantaran fatwa ku. Demikian Said Al-Musayyid, Muhamad Al-Munkadir dan
Rabiah telah dijatuhi hukuman demikian lantaran fatwanya juga. Ada yang mengatakan di didera sedemikian
kerana fatwanya terhadap golongan pelampau yang cuba menjatuhkan kerajaan. Imam Malik berpendapat,
seandainya Pemimpin yang ingin dijatuhkan itu seperti Umar bin Abd Aziz, wajib dibunuh pelampau
berkenaan. Jika tidak, Imam Malik berpendapat biarkan Allah balas kezaliman dengan kezaliman.
Bagi Imam Malik hukuman semacam itu, bukanlah mengurangi pendiriannya, bahkan semakin bertambah
teguh jiwanya. Ia tidak pernah takut menerima hukuman asalkan ia berada pada jalan kebenaran. Kerana

memang setiap perjuangan itu memerlukan pengorbanan. Imam Al-Laits, seorang alim menjadi mufti Mesir
ketika itu, saat mendengar bahawa Imam Malik dihukum lantaran fatwanya ia berkata: Aku mengharap
semoga Allah mengangkat darjat Imam Malik atas setiap pukulan yang dijatuhkan kepadanya, menjadikan satu
tingkat baginya masuk ke syurga.
Insya Allah.
Prinsip hidup beliau mengenai ilmu ialah orang yang ingin belajar ilmu hendaklah berusaha mencarinya, bukan
ilmu yang datang mencarinya. Beliau tidak pernah merungut apabila memberi pendidikan kepada anak-anak
muridnya. Beliau akan bersusah-payah memberi kefaham kepada anak-anak muridnya tentang sesuatu
masalah ilmu. Beliau pernah mengatakan : Aku tidak keluar berfatwa dan mengajar hadith melainkan setelah
bertemu 70 Syeikh yang mempersaksikan kemampuanku.

PENDIDIKAN

Sejak kecil lagi minatnya terhadap ilmu sudah disemai dalam jiwanya. Beliau telah menghafal ayat-ayat alQuran dan hadis semenjak kecil dan mendapat pendidikan di Kota Madinah daripada beberapa orang ulama
terkenal di sana. Guru pertama beliau adalah Abdul Rahman bin Harman iaitu seorang ulama besar Madinah
yang telah memberi pendidikan kepada beliau selama lapan tahun.

Selain Imam Nafi, Imam Malik bin Anas juga duduk berguru dengan Imam Ja'afar al-Siddiq, cucu kepada alHasan R.A , cucu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Imam Malik juga duduk belajar di Masjid
Nabawi berguru dengan Imam Muhammad Yahya al-Ansari, Imam Abu Hazim Salmah al-Dinar, Imam Yahya
bin Sa'ad dan Imam Hisham bin Urwah. Mereka ini semua ialah anak murid kepada sahabat-sahabat
Rasulullah SAW. Inilah antara sebab kenapa Malik bin Anas tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali
apabila pergi menunaikan ibadat hajinya.

Antara tokoh besar yang duduk belajar bersama Ima Malik ialah Imam Abu Hanifah dari Kufah. Selain itu
diriwayatkan bahawa sebanyak 1300 tokoh-tokoh lain yang duduk bersama menuntut ilmu bersama imam
Malik di Masjid Nabawi. Antaranya termasuklah Muhammad bin Idris, yang kemudiannya terkenal dengan
gelaran Imam al-Syafie. Ketinggian ilmu Imam Malik bin Anas pernah diungkap oleh Imam Ahmad bin Hanbal
sebagai:

Imam Malik adalah penghulu dari para penghulu ahli ilmu dan dia pula seorang imam dalam bidang hadis dan
fiqh. Siapakah gerangan yang dapat menyerupai Imam Malik?

Akibat dari kecerdasan akalnya yang luar biasa, beliau pernah menghafal 29 buah hadis daripada 30 buah
hadis yang dibacakan oleh gurunya dalam satu hari sahaja. Beliau pernah belajar daripada 900 orang guru dari
kalangan tabiin dan tabi tabiin. Imam Malik banyak menimba ilmu pengetahuan di Kota Madinah yang pada
masa itu menjadi pusat pengajian ilmu, khususnya ilmu agama.

KITAB AL-MUWATTO

Al-Muwatto bererti yang disepakati atau tunjang atau panduan tentang ilmu dan hukum-hukum agama. AlMuwatto merupakan sebuah kitab yang mengandungi hadis-hadis hukum yang dikumpulkan oleh Imam Malik
serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan pelbagai masalah agama yang
merangkumi ilmu hadis, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadis di dalam kitab ini adalah sahih kerana Imam
Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan hadis tertentu.

Beliau sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang
meragukan. Daripada 100,000 buah hadis yang dihafal beliau, hanya 10,000 sahaja diakui sah dan daripada
10,000 hadis itu, hanya 5,000 sahaja yang disahkan sahih oleh beliau setelah disiasat dan dipadankan dengan
al-Quran.

Menurut satu riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis hadis-hadis yang
diterima daripada guru-gurunya. Imam Syafie pernah berkata,

Tiada sebuah kitab di muka bumi ini yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain daripada kitab AlMuwatto karangan Imam Malik.

KEWAFATAN

Imam Malik kemudiannya dibebaskan dan beliau kembali mengajar di Madinah sehinggalah beliau meninggal
dunia pada 11 Rabiul-Awal tahun 179H/796M. Di antara anak-anak murid beliau yang masyhur ialah Abd al-

Rahman bin al-Qasim al-Tasyri (191H/807M), Ibn Wahhab Abu Muhammad al-Masri (199H/815M) dan Yahya
bin Yahya al-Masmudi (234H/849M).

PERBEZAAN UTAMA MAZHAB MALIKI DENGAN MAZHAB YANG LAIN.

1. Mengguna pakai amalan penduduk Madinah di dahulukan daripada qias.


.
2. Masoleh Mursalah Iaitu mengutamakan kemaslahatan di dalam memelihara hukuman dan ia bukanlah
merupakan hukum yang disebutkan di dalam Nas. Sebagai contohnya :
.
i. Memukul tertuduh kes curi supa mengakui perbuatan mencuri.
ii. Orang perempuan yang ditalakkan dan mempunyai waktu suci yang panjang . Maka Imam Malik
berpandangan dikira dengan 3 bulan seandainya telah melebihi tempoh kebiasaanya perempuan hamil.
.
3. Kata-kata sahabat, seandainya sanadnya sah. Dan didahulukan sebelum Qias.
Imam Ahmad
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin
Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsalabah adz-Dzuhli
asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Mad bin Adnan. Yang berarti
bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.

Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke
kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabiul Awwal -menurut pendapat yang paling
masyhur- tahun 164 H.

Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek
beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani
Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani Abbasiyah dan karenanya ikut
merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.

MASA MENUNTUT ILMU

Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti Abdul
Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah
meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri,
sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan
beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafii, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai
semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan
kemuliaan.

Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat
peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya,
serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari, ahli hadits, para sufi, ahli
bahasa, filosof, dan sebagainya.

Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun,
beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi
dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa
dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan.
Tentang hal itu beliau pernah bercerita, Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil
(periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, Bersabarlah dulu. Tunggu sampai
adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.

Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya.
Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf,
murid/rekan Imam Abu Hanifah.

Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota
Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah
kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183.
Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.

Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman,
dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama
perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafii. Beliau banyak mengambil hadits dan
faedah ilmu darinya. Imam Syafii sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan
dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah
Sufyan bin Uyainah, Ismail bin Ulayyah, Waki bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lainlain. Beliau berkata, Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku
dengan Sufyan bin Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah
menggantikannya dengan Ismail bin Ulayyah.

Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain
sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang
berkata kepada beliau, Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin. Beliau menjawab, Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap
menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur. Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau:
menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin.
Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya.
Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan
Shalih, Abu Zur ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.

Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu
sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab
tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar
dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir
dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan
Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara wa al-Iman, kitab al-Ilal wa ar-Rijal, kitab alAsyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadhail ash-Shahabah.

PUJIAN DAN PENGHORMATAN ULAMA' KEPADANYA

Imam Syafii pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah
tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan
berkata kepada Imam Syafii, Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah
menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka. Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafii mengusulkan hal yang
sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.

Suatu hari, Imam Syafii masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, Engkau lebih tahu tentang hadits dan
perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika
(perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih. Ini menunjukkan
kesempurnaan agama dan akal Imam Syafii karena mahu mengembalikan ilmu kepada ahlinya.

Imam Syafii juga berkata, Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota
tersebut orang yang lebih wara, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.

Abdul Wahhab al-Warraq berkata, Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal. Orangorang bertanya kepadanya, Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia
melebihi yang lain? Al-Warraq menjawab, Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan

menjawabnya dengan berkata, Telah dikabarkan kepada kami, atau, Telah disampaikan hadits kepada
kami.Ahmad bin Syaiban berkata, Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada
seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika
menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.
Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal
sebagai salah seorang imam huffazh.

KETEGEUHAN DI MASA PENUH CABARAN

Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih
lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya.
Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.

Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa
menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah alMakmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mutashim memilih
orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada
masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan
India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bidah merasuk
menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di
tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asyariyah, Rafidhah, Mutashilah, dan lain-lain.

Kelompok Mutashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun.
Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan
menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk
sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian
memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.

Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang
kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu
sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, Telah
sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan
kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara
yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun. Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke
tangan al-Amin, kelompok Mutazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu
melakukannya.

Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan
ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan
bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun
yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri
Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari
mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap
konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.

Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin
Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan
terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam
Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian alMakmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.

Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mutashim. Dia telah mendapat wasiat
dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal
tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan
Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau
mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai
tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan
atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.

Selama itu pula, setiap harinya al-Mutashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau
tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mutashim kepada beliau. Dia mengancam
dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di
kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang
menjulang dengan kokohnya.

SAKIT DAN WAFATNYA

Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu
berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaranpelajarannya di masjid sampai al-Mutashim wafat.

Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mutashim, al-Watsiq pun
melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi
Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq
melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di
rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu
dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.

Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya,
ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian
tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan
Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada
para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang
pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan
melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut
bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.

Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun
berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan
menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabiul
Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum
muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai
beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang,
bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan
bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan
mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, Katakan kepada ahlu bidah bahwa
perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami.

Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau
yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu
justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang
Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar
dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, Allah
telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq
pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad
bin Hanbal pada Yaumul Mihnah.

Anda mungkin juga menyukai