Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
I.1. Gangguan Mental Organik
Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu
patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya
tumor otak. penyakit
cerebrovaskuler,intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan
otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya
Skizofrenia. Depresi) Dari sejarahnya, bidang neurologi telah dihubungkan dengan
pengobatan gangguan yang disebut organik dan Psikiatri dihubungkan dengan
pengobatan gangguan yang disebut fungsional. Didalam DSM IV diputusakan bahwa
perbedaan lama antara gangguan organik dan fungsional telah ketinggalan jaman dan
dikeluarkan dari tata nama. Bagian yang disebut Gangguan Mental Organik dalam
DSM III-R sekarang disebut sebagai Delirium, Demensia, Gangguan Amnestik
Gangguan Kognitif lain, dan Gangguan Mental karena suatu kondisi medis umum yang
tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain
Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa
yang dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya
penyakit, cedera atau ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak, disfungsi ini dapat
primer seperti pada penyakit, cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga
mengenai otak, atau sekunder, seperti pada gangguan dan penyakit sistemik yang
menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau sistem tubuh. PPDGJ III
membedakan antara Sindroma Otak Organik dengan Gangguan Mental Organik.
Sindrom Otak Organik dipakai untuk menyatakan sindrom (gejala) psikologik atau
perilaku tanpa kaitan dengan etiologi. Gangguan Mental Organik dipakai untuk
Sindrom Otak Organik yang etiolognnya (diduga) jelas Sindrom Otak Organik
dikatakan akut atau menahun berdasarkan dapat atau tidak dapat kembalinya
(reversibilitas) gangguan jaringan otak atau Sindrom Otak Organik itu dan akan
berdasarkan penyebabnya, permulaan gejala atau lamanya penyakit yang
menyebabkannya. Gejala utama Sindrom Otak Organik akut ialah kesadaran yang
menurun (delirium )dan sesudahnya terdapat amnesia, pada Sindrom Otak Organik
menahun (kronik) ialah demensia.

I.2. PERBANDINGAN PENGGOLONGAN DIAGNOSIS GANGGUAN


MENTAL ORGANIK
Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut :
1. Demensia pada penyakit Alzheimer
1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini
1.2 Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat.
1.3 Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran.
1.4 Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan ( YTT).
2. Demensia Vaskular
2.1 Demensia Vaskular onset akut.
2.2 Demensia multi-infark
2.3 Demensia Vaskular subkortikal.
2.4 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
2.5 Demensia Vaskular lainnya
2.6 Demensia Vaskular YTT
3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK)
3.1 Demensia pada penyakit Pick.
3.2 Demensia pada penyakit Creutzfeldt Jakob.
3.3 Demensia pada penyakit huntington.
3.4 Demensia pada penyakit Parkinson.
3.5 Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV).
3.6 Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK
4. Demensia YTT.
5. Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
6. Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lain nya
6.1 Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
6.2 Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
6.3 Delirium lainya.
6.4 DeliriumYTT.
7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik.
7.1 Halusinosis organik.
7.2 Gangguan katatonik organik.
7.3 Gangguan waham organik (lir-skizofrenia)
7.4 Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik.
7.4.1 Gangguan manik organik.
7.4.2 Gangguan bipolar organik.
7.4.3 Gangguan depresif organik.
7.4.4 Gangguan afektif organik campuran.

7.5 Gangguan anxietas organik


7.6 Gangguan disosiatif organik.
7.7 Gangguan astenik organik.
7.8 Gangguan kopnitif ringan.
7.9 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik lain
YDT.
7.10 Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik
YTT.
8. Gangguan keperibadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak
8.1 Gangguan keperibadian organik
8.2 Sindrom pasca-ensefalitis
8.3 Sindrom pasca-kontusio
8.4 Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan
disfungsi otak lainnya.
8.5 Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan
disfungsi otak YTT.
9. Gangguan mental organik atau simtomatik YTT
Menurut Maramis, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut:
1. Demensia dan Delirium
2. Sindrom otak organik karena rudapaksa kepala.
3. Aterosklerosis otak
4. Demensia senilis
5. Demensia presenilis.
6. Demensia paralitika.
7. Sindrom otak organik karena epilepsi.
8. Sindrom otak organik karena defisiensi vitamin, gangguan metabolisme dan
intoksikasi.
9. Sindrom otak organik karena tumor intra kranial.
Menurut DSM IV, klasifikasi gangguan mental organik sebagai berikut:
1. Delirium
1.1 Delirium karena kondisi medis umum.
1.2 Delirium akibat zat.
1.3 Delirium yang tidak ditentukan (YTT)
2. Demensia.
2.1 Demensia tipe Alzheimer.
2.2 Demensia vaskular.
2.3 Demensia karena kondisi umum.
2.3.1 Demensia karena penyakit HIV.

2.3.2 Demensia karena penyakit trauma kepala.


2.3.3 Demensia karena penyakit Parkinson.
2.3.4 Demensia karena penyakit Huntington.
2.3.5 Demensia karena penyakit Pick
2.3.6 Demensia karena penyakit Creutzfeldt Jakob
2.4 Demensia menetap akibat zat
2.5 Demensia karena penyebab multipel
2.6 Demensia yang tidak ditentukan (YTT)
3. Gangguan amnestik
3.1 Gangguan amnestik karena kondisi medis umum.
3.2 Gangguan amnestik menetap akibat zat
3.3 Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT )
4. Gangguan kognitif yang tidak ditentukan.
I.3. MASALAH NARKOBA
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika
dan Bahan/ Obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang
memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan
secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi
sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari
tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data
yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 1524 tahun.
Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40%
penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa
substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti
menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku.
Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum
ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan
primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat
berhubungan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. GANGGUAN MENTAL ORGANIK
DELIRIUM (F09)
Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya terlihat
bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi,
dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum. Tremor, asteriksis, nistagmus,
inkoordinasi dan inkontinensia urine merupakan gejala neurologis yang umum.
Biasanya, delirium mempunyai onset yang mendadak (bebrapa jam atau hari),
perjalanan yang singkat dan berfluktuasi, dan perbaikan yang cepat jika factor penyebab
diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi, masing-masing dari ciri karakteristikk tersebut
dapat bervariasi pada pasien individual. Delirium merupakan suatu sindrom, bukan
suatu penyakit. Delirium diketahui mempunyai banyak sebab, semuanya menyebabkan
pola gejala yang sama yang berhubungan dengan tingkat kesadaran pasien dan
gangguan kognitif. Sebagian besar penyebab delirium terletak di luar system saraf
pusat- sebagian contoh, gagal ginjal atau hati.
Delirium adalah gangguan yang umum. Usia lanjut adalah factor risiko untuk
perkembangan delirium. Kira-kira 30 sampai 40 persen pasien rawat di rumah sakit
yang berusia lebih dari 65 tahun mempunyai suatu episode delirium. Faktor predisposisi
lainnya untuk perkembangan delirium adalah usia muda, cedera otak yang telah ada
sebelumnya, riwayat delirium, ketergantungan alcohol, diabetes, kanker, gangguan
sensoris dan malnutrisi. Adanya delirium merupakan tanda prognostic yang buruk.
2.1.1. Penyebab Delirium
Penyebab utama dari delirium adalah penyakit sistem saraf pusat dan intoksikasi
maupun putus dari agen farmakologis atau toksik. Neurotransmitter utama yang
dihipotesiskan berperan pada delirium adalah asetilkolin, dan daerah neuroanatomis
utama adalah formasio retikularis. Beberapa jenis penelitian telah melaporkan bahwa
berbagai factor yang menginduksi delirium menyebabkan penurunan aktifitas asetilkolin
di otak. Juga, satu penyebab delirium yang paling sering adalah toksisitas dari banyak
sekali medikasi yang diresepkan yang mempunyai aktivitas kolinergik. Formasi
retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur perhatian dan kesadaran,
dan jalur utama yang berperan dalam delirium adalah jalur tegmental dorsalis, yang
keluar dari formasi retikularis mesensefalik ke tektum dan thalamus. Mekanisme
patologi lain telah diajukan untuk delirium. Khususnya, delirium yang berhubungan
dengan putus alcohol telah dihubungkan dengan hiperaktivitas lokus sereleus dan
neuron nonadrenergiknya. Neurotransmiter lain yang berperan adalah serotonin dan
glutamate.

Penyebab Delirium:
Penyakit intrakranial
1. Epilepsi atau keadaan pasca kejang
2. Trauma otak (terutama gegar otak)
3. Infeksi (meningitis.ensetalitis).
4. Neoplasma.
5. Gangguan vaskular
Penyebab ekstrakranial
1. Obat-obatan (di telan atau putus),
Obat antikolinergik, Antikonvulsan, Obat antihipertensi, Obat antiparkinson. Obat
antipsikotik, Cimetidine, Klonidine. Disulfiram, Insulin, Opiat, Fensiklidine,
Fenitoin, Ranitidin, Sedatif(termasuk alkohol) dan hipnotik, Steroid.
2. Racun
Karbon monoksida, Logam berat dan racun industri lain.
3. Disfungsi endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi)
Hipofisis, Pankreas, Adrenal, Paratiroid, tiroid
4. Penyakit organ nonendokrin.
Hati (ensefalopati hepatik), Ginjal dan saluran kemih (ensefalopati uremik), Paruparu (narkosis karbon dioksida, hipoksia), Sistem kardiovaskular (gagal jantung,
aritmia, hipotensi).
5. Penyakit defisiensi (defisiensi tiamin, asam nikotinik, B12 atau asam folat)
6. Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis.
7. Ketidakseimbangan elektrolit dengan penyebab apapun
8. Keadaan pasca operatif
9. Trauma (kepala atau seluruh tubuh)
10. Karbohidrat: hipoglikemi.
2.2. HUBUNGAN NARKOBA DAN GANGGUAN MENTAL
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama
otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan
fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA.
Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang
menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan
sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada
otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan
menjadi tiga golongan :
6

1. Golongan Depresan (Downer)


Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis
ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur
dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw,
kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas)
dan lain-lain.
2. Golongan Stimulan(Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan
bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi),
Kafein, Kokain
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat
merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang
berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan
dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.
2.2.1. Cara kerja narkoba
Narkoba bekerja pada dinding sel saraf pada susunan saraf pusat. Narkoba
paling cepat diserap melalui paru. Pada umumnya, narkoba mempunyai onset yang
cepat. narkoba dimetabolisme di hati dan dieksresikan melalui ginjal dan paru, sebagian
dalam bentuk utuh. narkoba bekerja pada sistem dopaminergik dan GABAnergik.
Toleransi terhadap narkoba terjadi dengan cepat. Menyebabkan ketergantungan psikis
secara jelas sedangkan ketergantungan fisik tidak jelas.
Afinitas terhadap lemak sangat tinggi sehingga banyak terdapat pada otak,
medula spinalis dan hati karena jaringan tersebut mengandung banyak lemak.
2.2.2. Pengaruh narkoba terhadap pengguna
Narkoba mempunyai sifat menghambat aktivitas susunan saraf pusat ssperti
sedatif hipnotik dan alkohol. Pengaruh penggunaan narkoba terhadap pengguna sulit
diuraikan secara umum karena terdapat berbagai jenis narkoba.Namun demikian,
terdapat gejala umum, seperti pada gejala intoksikasi akut.
Intoksikasi akut narkoba ditandai dengan adanya euforia, perasaan melayang,
iritasi pada mata, melihat objek manjadi ganda (double vision), suara berdenging di
telinga, berbangkis, hidung basah, batuk, disekitar mulut berbekas (rash), mual, muntah,
diare, kehilangan nafsu makan, nyeri di dada, gangguan koordinasi motorik (bicara
cadel, jalan sempoyongan), letargi, hiporefleksi, gangguan irama jantung, nyeri otot dan

sendi, halusinasi, ilusi, waham, daya nilai realitas terganggu, mudah tersinggung,
impulsif, kesadaran berkabut dan perilaku aneh (bizare).
Kematian secara mendadak disebabkan oleh aritmia jantung atau laringospasme.
Kematian pada penggunaan narkoba bisa disebabkan oleh hambatan pada sistem
pernapasan. Kematian dapat juga disebabkan karena hiperpireksia.
Akhirnya, kematian bisa disebakan oleh kecelakaan akibat adanya ilusi,
halusinasi atau waham.
2.2.3. Konsekuensi penggunaan narkoba
Penggunaan narkoba berkaitan dengan sejumlah besar efek samping dan efek
psikososial.
Efek akut
keracunan narkoba menghasilkan sindrom mirip dengan keracunan alkohol,
terdiri dari pusing, inkoordinasi, bicara cadel, euforia, lesu, memperlambat refleks,
memperlambat pemikiran dan gerakan, tremor, penglihatan kabur, pingsan atau koma,
kelemahan otot umum, dan gerakan mata yang involunter (APA , 2000).
Efek neurologis dan kognitif
Studi pada pekerja yang pekerjaannya terekspos narkoba menjadi dasar untuk
diketahui tentang hubungan narkoba dengan deficit fungsi kognitif. Morrow dan rekan
(1997) menemukan gangguan memori dan belajar yang signifikan pada pelukis
dibanding dengan sampel control, membuktikan bahwa pasien dengan masalah
gangguan kognitif akibat narkoba lebih lambat untuk diselesaikan. (Morrow, Steinhauer,
dan Condray, 1996; 1998). Pajanan tunggal menyebabkan keracunan narkoba dapat
menghasilkan masalah memori jangka panjang dan gangguan kecepatan pengolahan
informasi (Stollery, 1996). Temuan penting mengingat bahwa penyalahgunaan narkoba
ditandai dengan paparan neurotoksin di tingkat yang jauh lebih tinggi daripada yang
biasanya terjadi dalam pajanan pekerjaan (Bowen, Wiley, dan Balster, 1996). Penelitian
sebelumnya hasil pada penggunaan rekreasi narkoba tercatat mirip dengan temuan hasil
pada pajanan narkoba pada pekerja yaitu memiliki deficit pada ingatan, perhatian, dan
pengambilan keputusan dibandingkan dengan kontrol dan pengguna polydrug (Hormes,
Filley, dan Rosenberg, 1986; Korman, Trimboli, dan Semler, 1980). Tenebein dan Pillay
(1993) menemukan aktivitas otak berkurang dalam menanggapi peristiwa visual dan
auditori yang merupakan penanda adanya disfungsi neurologis pada 8 dari 15 pengguna
narkoba berusia 9 hingga 17 tahun, walaupun yang lebih muda tidak memiliki bukti
klinis dari abnormalitas neurologi.
Penelitian selanjutnya telah diungkapkan bahwa keracunan narkoba berulang
dapat menyebabkan gangguan neurologis, termasuk Parkinsonisme, gangguan kognisi
karena degradasi sel-sel otak (ensefalopati) atau hilangnya sel-sel otak (cerebral atrofi),

dan hilangnya kekuatan otot dan koordinasi karena kerusakan otak kecil (serebelum
ataksia) (misalnya, Finch dan Lobo, 2005; Gautschi, Cadosch, dan Zellweger,
2007).Hasil Imaging study pada pelaku narkoba terdapat penipisan corpus callosum
(ikatan dari serabut saraf ke hemisfer serebri) dan lesi pada white matter yang
memfasilitasi komunikasi antara sel-sel otak (Finch dan Lobo, 2005; Gautschi,
Cadosch, dan Zellweger, 2007 ). Pengurangan daerah dalam aliran darah otak yang
diamati dengan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) terdapat setelah 1
tahun penggunaan narkoba (Okada et al, 1999;.. Yamanouchi et al, 1998). Kelainan
radiologis lain yang ditemukan pada pengguna narkoba meliputi wilayah berkurang
kekuatan sinyal MRI (hypointensities) di thalamus dan ganglia basal (Lubman, Ycel,
dan Lawrence, 2008) dan serapan ireguler obat-obatan radiolabeled di single-photon
computed tomography emisi (SPECT) studi (Kk et al., 2000).
Lubman dan rekan (2008) meninjau studi klinis dan neuroimaging terbaru
pelaku narkoba kronis, mendokumentasikan defisit kognitif yang signifikan, kelainan
struktural di daerah otak tertentu (misalnya, periventrikular, subkortikal, dan putih
materi), dan mengurangi perfusi otak dan aliran darah.

Gambar 1. Atrofi otak


Hewan percobaan telah membantu untuk mempelajari efek biobehavioral akut
dan kronis dari narkoba. Bowen dan McDonald (2009) melaporkan bahwa tikus terkena
konsentrasi tinggi toluena (3.600 dan 6.000 bagian per juta) selama 30 menit per hari
untuk 40 hari (sama dengan jumlah pelaku kronis menghirup) menunjukkan defisit
motorik yang bertahan lama pada tes waiting for reward. Hasil ini menyiratkan adanya
kerusakan otak jangka panjang, mungkin akibat kerusakan cerebellar atau hilangnya sel
kortikal.

Efek pada Organ Lain Selain Otak


Semakin terbukti bahwa narkoba dapat menyebabkan masalah kesehatan kronis
yang mempengaruhi beberapa sistem organ (Gambar 2). Penelitian pada hewan, laporan
kasus, dan investigasi klinis kecil telah membuktikan terdapatnya efek narkoba pada
hati, jantung, dan toksisitas ginjal, demineralisasi tulang, penekanan sumsum tulang,
dan mengurangi kekebalan (responsivitas sel-T) ( Karmakar dan Roxburgh, 2008;
Takaki et al., 2008). Plasma berkurang dan tingkat selenium dan seng pada sel darah
merah juga berkurang, berpotensi merusak fungsi kekebalan dan meningkatkan risiko
untuk penyakit menular (Zaidi et al., 2007).
Narkoba juga dapat menyebabkan neuropati perifer menyebabkan rasa sakit
kronis dan kerusakan saraf optik yang menurunkan visus (Twardowschy dkk., 2008).
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkoba dikaitkan
dengan disfungsi paru serius.
2.2.4. Gejala Klinis
1. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum
dapat digolongkan sebagai berikut :
- Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis
(acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga
- Bila kelebihan dosis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat,
kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.
- Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap terus
menerus,diare,rasa sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang,
kesadaran menurun.
- Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan
dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan pada lengan
atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik)
2. Perubahan Sikap dan Perilaku
- Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering membolos,
pemalas, kurang bertanggung jawab.
- Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas atau
tempat kerja.
- Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu
lebih dulu
- Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu dengan
anggota keluarga lain dirumah.

10

- Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,kemudian
menghilang
- Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik
keluarga, mencuri, terlibat tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.
- Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap bermusuhan,
pencuriga,tertutup dan penuh rahasia.
2.2.5. Tahapan terapi
Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut:
1. Fase penilaian ( assesment phase ), sering disebut dengan fase penilaian awal ( initial
intake ). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat diperoleh dari anggota
keluarga, karyawan sekantor, atau orang yang menanggung biaya. Termasuk yang
perlu dinilai adalah :
a. Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparaha gejala gejala putus
obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu setelah penggunaan
zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan lamanya penggunaan, efek subjektif dari
semua jenis zat yang digunakan.
b. Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk status
pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan ada tidaknya gangguan
komorbiditas psikiatris dan medis seperti tanda dan gejala intoksikasi atau
withdrawal. Pada beberapa kasus diindikasikan juga pemeriksaan psikologik dan
neuro psikologi
c. Riwayat terapi gangguan penggunaan zat sebelumnya, termasuk karakteristik
berikut: setting terapi, kontekstual ( volintary, non voluntary ), modalitas terapi
yang digunakan, kepatuhan terhadap program terapi, lamanya ( singkat 3 bulanan,
sedang 1 tahun dan hasil dengan program jangka panjang, berikut dengan jenis zat
yang digunakan, level fungsi sosial dan okupasional yang telah dicapai dan
variabel hasi terapi lainnya
d. Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat sosio
ekonomik lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan adanya gangguan
penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada keluarga, faktor faktor dalam
keluarga yang mengkontribusi berkembang atau penggunaan zat terus menerus,
penyesuaian sekolah dan vokasional, hubunggan dengan kelompok sebaya,
problema finansial dan hukum, pengaruh lingkungan kehidupan sekarang terhadap
kemampuannya untuk mematuhi terapi agar tetap abstinensia di komunitasnya,
karakteristik lingkungan pasien ketika menggunakan zat ( dimana, dengan siapa,
berapa kali/ banyak, bagaimana cara penggunaan. ).
11

e. Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis jenis NAPZA yang
disalahgunakan, pemerisaan pemeriksaan laboratorium lainnya terhadap
kelainan kelainan yang dikaitkan dengan penggunaan zat akut atau menahun.
f. Skrining penyakit penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering diketemukan
pada pasien / klien ketergantungan zat ( seperti HIV, tuberkulosis, hepatitis ).
2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau fase terapi
intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi :
a. Rawat inap dan rawat jalan
b. Intensive out patient treatment
c. Terapi simptomatik
d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification
e. Detoksifikasi dengan menggunakan : kodein dan ibuprofen, klonidin dan
naltrexon, buprenorfin, metadon
3. Fase terapi lanjutan. Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus ditekankan
kepada kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau menggunakan program terapi
subtitusi ( seperti antagonis naltrexon, agonis metadon, atau partial
agonisbrupenorfin. Umumnya terapi yang baik berjalan antara 24 sampai 36 bulan.
Terapi yang lamanya kurang dari jangka waktu tersebut,umumnya memiliki relaps
rate yang tinggi.

12

BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu
patologi yang dapat diidentifikasi (contohnya
tumor otak. penyakit
cerebrovaskuler,intoksifikasi obat). Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan
otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum (contohnya
Skizofrenia. Depresi)
Tanda utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya terlihat
bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi,
dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum. Tremor, asteriksis, nistagmus,
inkoordinasi dan inkontinensia urine merupakan gejala neurologis yang umum.
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama
otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan
fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA
Terapi pada gangguan akibat penyalahgunaan NAPZA itu sendiri dibagi menjadi
3 fase:
1. Fase penilaian
2. Fase terapi detoksifikasi
3. Fase terapi lanjutan

13

DAFTAR PUSTAKA
1.Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilak Psikiatri Klinis,
Edisi ketujuh, Jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 2010. hal 481-570.
2. Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam,
cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.
3. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid 1. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2008. hal 189-192.
4. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, Editor Dr, Rusdi Maslim.
Jakarta 2003. hal 3-43.
5. Maramis. W.F, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan ke VI, Airlangga University
Press, Surabaya 1992. hal 179-211.
6. Kaplan. H. I, Sadock B.J. Phsychiatry Text Book.
1.Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Substance Related Disorders. Introduction and
Overview. Dari: Kaplan & Sadock Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical
Psychiatry 9th edition, Lippingcott Williams & Wilkins, 2002, h. 380.
2. Sadock Benjamin, Sadock Virginia. Substance Related Disorders. Dari: Kaplan & Sadock
Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry 9 th edition, Lippingcott
Williams & Wilkins, 2002, h. 380-435.
3. Allen K.M. Clinical Care of the Addicted Client, Review Article on: American
Psychiatriy Journal, 2010 October 20.
4. Maslim Rusdi, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PDGJ-III,
PT. Nuh Jaya, 2001, h. 34-43.
5. The Indonesian Florence Nightingale Foundation, Kiat Penanggulangan dan
Penyalahgunaan Ketergantungan NAPZA. Dalam: www.ifnf.org/NAPZA/ <diakses
pada Selasa, 27 September 2011>
6. Klagenberg KF, Zeigelboim BS, Jurkiewicz AL, Martins-Bassetto J. Substance Related
Disorders in Teenagers. PMC Journal, 2007 May-Jun;73(3):353-8.
7. Tom, Kus, Tedi. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar , Bandung :Yayasan Al-Ghifari,2009, h.2057.
8. Morgan, Segi PraktisPsikiatri, Jakarta; Bina rupa aksara,2001, h. 110-145.
9. Stuart Sundeen, Principles and Practice of Psychiatric Nursing, St Louis: Mosby Year
Book, 2001. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/ <diakses pada Selasa, 27 September
2011>
10. Smith, CM.,Community Health Nursing; Theory and Practice .Philadelphia: W.B.
Saunders Company. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/ <diakses pada Selasa, 27
September 2011>

14

11. Warninghoff JC, Bayer O,Straube A, Ferarri U. Treatment and Rehabilitation in


Substance Related disorders, Review Article on: British Psychiatry Journal, 2009 July
7.

1. Joewana S. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat


psikoaktif.
Edisi 2. EGC: Jakarta. 2004.
2. Howard MO, Bowen SE, Garland EL, Perron BE, Vaughn MG. Inhalant
use
and inhalant use disorders in the united states. Addiction science &
clinical
practice. July 2011. 18-31. Downloaded from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3188822/
3. Drug free Australia. Inhalan abuse. Downloaded from:
www.drugfree.org.au/fileadmin/Media/Reference/ Inhalant Abuse.pdf
4. Palo Alto Medical Foundation. Inhalants (Gases, Glues and
Aerosols).
Available from : http://www.pamf.org/teen/risk/drugs/inhalants/

15

Anda mungkin juga menyukai