12 - Peatlands Utilisation in Sumatra - Handayani PDF
12 - Peatlands Utilisation in Sumatra - Handayani PDF
219
220
221
222
223
45
90
135
45
90
135
pH
N (%)
P (ppm)
3.94
3.98
3.88
3.97
3.94
3.94
4.02
2.12
2.03
2.08
2.22
2.22
2.36
2.43
44.67
38.31
58.29
78.51
41.31
59.17
95.78
K
(me/100g)
0.18
0.19
0.18
0.20
0.19
0.18
0.18
Data pada Tabel 1. menunjukkan bahwa pemberian BFA relatif kurang memberikan pengaruh
terhadap sifat-sifat kesuburan tanah gambut, sedangkan aplikasi TSP dosis 135 kg. P2O5/ha secara
tegas menampakan pengaruhnya terhadap kesuburan tanah.
Hasibuan (1999) selanjutnya melaporkan bahwa pemberian BFA dapat meningkatkan pH Histosol dari
pH 3,18 menjadi 3,32. BFA dosis 600 ppm P2O5 juga lebih meningkatkan konsentrasi P-tersedia pada
Histosol (204,5 ppm) dibandingkan apabila diaplikasikan pada tanah Inceptisol (33,50 ppm) dan tanah
Oxisol (65,5 ppm). Walaupun konsentrasi P-tersedia pada Histosol lebih tinggi dibandingkan kedua
jenis tanah lainnya, namun serapan P oleh tanaman jagung pada Histosol tergolong rendah
(46,00mg/pot), sementara pada oxisol adalah 168,39 mg/pot dan Inceptisol sebesar 110,29 mg/pot.
Fenomena tersebut terjadi karena tanah Histosol tidak memberikan lingkungan tumbuh optimal bagi
tanaman jagung, yang ditandai dengan rendahnya berat kering tanaman, akibat pH yang rendah
(3,18). Biasanya tanaman jagung akan tumbuh dengan baik apabila pH tanah berkisar antara 5,5
7,0. Fakta lain juga menunjukkan bahwa pemberian NPK + unsur mikro tidak memperbaiki
pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah gambut apabila tidak dikombinasikan dengan pemberian
kapur untuk meningkatkan pH.
Pengujian efektivitas berbagai sumber bahan ameliorasi tanah gambut juga telah dilakukan oleh
Hartatik & Nugroho (2001) dengan menggunakan gambut dari Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan.
Hasil percobaan lapang selama periode Oktober 1999 hingga Januari 2000 menunjukkan bahwa
aplikasi dolomite, abu kayu, manure dan tanah mineral pada dosis 0,5 dan 1,5 ton/ha tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Tetapi pemberian bahan ameliorasi abu
kayu pada dosis 5 dan 10 ton/ha secara nyata meningkatkan berat biji kering jagung, masing-masing
sebesar 3,9 dan 4,5 ton/ha. Tanpa aplikasi abu produksi biji kering jagung hanya mencapai 2,5
ton/ha. Pemberian bahan ameliorasi dolomite, manure dan tanah mineral pada dosis 5,10 dan 15
ton/ha tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi dan berat biomasa tanaman jagung. Hasil penelitian
ini juga memberikan indikasi bahwa efektivitas sumber-sumber bahan ameliorasi untuk lahan gambut
bervariasi tergantung jenis tanaman yang dibudidayakan serta kandungan nutrisi yang dimiliki oleh
bahan-bahan tersebut (Tabel 2.). Abu kayu lebih banyak mengandung N-total, P2O5, K,Ca dan Mg
dan unsur hara mikro, Fe,Mn,Cu dan Zn dibandingkan manure. Tanah mineral mengandung Fe,
Mn,Cu dan Zn lebih tinggi dibandingkan bahan ameliorasi yang lainnya. Tingginya konsentrasi Fe
pada tanah mineral dapat menurunkan aktivitas asam fenol. Kandungan Ca dan Mg yang tinggi pada
dolomite diharapkan dapat meningkatkan pH tanah dan menyediakan Ca lebih banyak untuk
tanaman.
Tabel 2. Komposisi unsur-unsur hara pada dolomite, abu kayu, manure dan tanah mineral.
Jenis Bahan
Ameliorasi
Dolomite
Abu
Manure
Tanah Mineral
N-total
(%)
P2O5
(%)
K
(%)
Ca
(%)
Mg
(%)
Fe
(ppm)
Mn
(ppm)
Cu
(ppm)
Zn
(ppm)
0,78
0,65
0,16
0,96
0,25
0,11
0,24
0,39
0,09
19,29
0,83
0,29
0,02
11,07
0,44
0,24
0,10
645
815
305
1164
42
420
60
850
3
18
5
114
33
86
60
302
224
225
Pertanian/Kehutanan
Subtropis
Tropis
Bahan bakar
Hortikultura
Total
Luas lahan
sebelumnya
(juta ha)
Luas lahan
yang hilang
(juta ha)
Akumulasi C yang
hilang akibat emisi
(juta ton C)
C hilang /tahun
(juta ton C)
399
20
4140-5600
63-85
44
1,76-3,8
5
5
746
590 -780
> 100
5476-7126
53-114
32-39
33
181-271
Data pada Tabel 3. memberikan gambaran bahwa proses kehilangan C menjadi sangat penting pada
saat lahan gambut mengalami perubahan dalam pola penggunaannya. Secara global, konversi lahan
menyebabkan laju emisi C lebih tinggi dibandingkan C-sequestration. Oleh karena itu perubahan tata
guna lahan berpotensi untuk menciptakan sumber C tetapi juga sebagai penyebab kehilangan sumber
C. Semakin produktif suatu lahan gambut (dalam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman) maka
kian tinggi laju emisi CH4. Tanaman juga dapat berperan dalam melepaskan CH4 melalui akar dan
batangnya (Adger & Brown, 1995). Laju produksi CH4 juga meningkat seiring dengan bertambahnya
akumulasi serasah dan bahan organik dibawah zona anaerobik. Menurut Maltby & Immirzi (1993) luas
lahan gambut selalu berkurang akibat adanya ekstensifikasi pertanian, perkebunan dan kehutanan.
Secara global kerusakan yang terjadi telah mencapai sekitar 25 juta ha. hingga tahun 1980. Luasan
lahan gambut yang kini tertinggal, baik di daerah sedang maupun tropis hanya dapat melakukan Csequestration sekitar 125 juta ton C per tahunnya.
226
Suhu
o
( C)
CO2
(ton/ha/hari)
Kehilangan C*
(kg/ton)
CH4
(ton/ha/hari)
Kehilangan C**
(kg/ton)
Total
Kehilangan C ***
(kg/ton)
20
30
20
1,527
1,825
1,248
2,4
2,9
2,0
0,298
0,344
0,295
0,47
0,54
0,47
2,87
3,44
2,47
20
30
20
1,524
1,906
1,242
2,4
3,0
2,0
0,343
0,391
0,459
0,54
0,62
0,73
2,94
3,62
2,73
20
30
20
1,527
1,849
1,217
2,4
2,9
2,0
0,456
0,325
0,345
0,73
0,52
0,56
3,13
3,42
2,76
* Pelepasan C dalam bentuk CO2, ** Pelepasan C dalam bentuk CH4, *** Pelepasan C dalam bentuk gas CO2
dan CH4.*,**,*** per hari. Satuan ha menggunakan asumsi lapisan profil 0-40 cm dengan berat volume 0.28.
Sumber data : Modifikasi dari Sabiham & Sulistyono (2000)
Pelepasan CO2 tertinggi terjadi pada inkubasi aerob suhu 30oC. Hal ini disebabkan karena pada
kondisi aerob, mikroorganisme pelaku mineralisasi lebih aktif dibandingkan suasana anaerob.
Dengan demikian hasil mineralisasi yaitu CO2 jadi lebih tinggi (Magnuson, 1993). Sebaliknya tingginya
CO2 pada kondisi anaerob disebabkan tidak tersedianya oksigen dalam lingkungan tersebut sehingga
hanya golongan bakteri anaerob yang aktif, seperti bakteri penghasil methane/methanogen. Bakteri
tersebut dapat bekerja secara aktif pada kondisi anaerob dengan redoks potensial - 200 mV. (Tsutsuki
& Ponnamperuma, 1987).
227
Suhu
(oC)
Tingkat Dekomposisi
Fibrik
Hemik
Saprik
Jenis inkubasi
Aerob
20
Aerob
30
Anaerob
20
Total
Kehilangan C**
Kehilangan C
kg/ton
*** kg/ton
CO2
(ton/ha/hari)
Kehilangan C *
(kg/ton)
CH4
(ton/ha/hari)
1,446
1,328
1,210
2,3
2,1
1,96
0,524
0,401
0,316
0,83
0,63
0,51
3,13
2,73
2,47
1,553
1,860
1,235
0,312
0,353
0,420
Sabiham & Sulistyono (2000) berpendapat bahwa kation Fe 3+ mempunyai urutan kekuatan ikatan
kation dan kestabilan kompleks logam-organik yang paling tinggi daripada kation logam lainnya.
Pemberian Fe 3+ pada gambut saprik asal Jambi sebanyak 2,5% dan 5% dari erapan maksimum,
terbukti mampu mengatasi masalah toksisitas asam fenolat pada gambut dengan membentuk
senyawa kompleks. Selanjutnya, pemberian kation tersebut dianggap paling efektif untuk reklamasi
gambut khususnya dalam rangka mengupayakan stabilisasi gambut melalui decomposition
prevention, sehingga pelepasan gas CO2 dan CH4 dapat ditekan (Sabiham, 1997).
Data pada Tabel 5. menggambarkan pengaruh kation Fe 3+ terhadap penurunan emisi gas CO2 dan
CH4. Pemberian kation Fe 3+ dalam bentuk senyawa FeCl3.6H2O dengan dosis 25 sampai 75 g./kg.
telah menurunkan pelepasan C sebesar 10-27%. Menurut Sabiham & Sulistyono (2000) penurunan
ini diduga karena telah terjadi ikatan kompleks yang stabil antara kation Fe 3+ dengan ligan-ligan
organik pada tanah gambut. Stevenson (1994) mengungkapkan bahwa kompleks yang terbentuk ini
merupakan ikatan kovalen yang lebih kuat dan cenderung stabil, sehingga lebih sulit untuk diputuskan
atau dipertukarkan. Adanya pembentukan kompleks tersebut dapat menyebakan gambut lebih tahan
terhadap proses dekomposisi, yang akhirnya dapat turut menekan pelepasan gas CO2 dan CH4 ke
atmosfir. Oleh karena itu, dari segi manfaat praktis bahan-bahan ameliorasi berbasis kation Fe 3+
dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi produksi gas CO2 dan CH4, dengan dosis anjuran sekitar
50 g./kg.
Tabel 5. Pengaruh pemberian kation Fe
Jambi
Dosis Fe 3+
Tanpa
25 g./kg.
50 g./kg.
75 g./kg.
CO2
(ton/ha/hari)
1,076
0,973
0,829
0,767
3+
terhadap laju pelepasan gas CO2 dan CH4 pada tanah gambut asal
CH4
(ton/ha/hari)
0,530
0,479
0,408
0,397
Total Emisi
(ton/ha/hari)
1,607
1,453
1,238
1,165
Hasil penelitian ini menawarkan suatu permasalahan lingkungan yang cukup mendasar sebagai
akibat aktivitas penanganan lahan gambut, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan emisi gas
rumah kaca. Fakta-fakta yang digulirkan juga menunjukkan bahwa lahan gambut dapat bersifat
sebagai C-source dan C-sink, dimana antar keduanya melibatkan berbagai input yang diberikan pada
gambut. Berpangkal dari dilema tersebut maka upaya pembenahan di dalam program pengelolaan
gambut harus bertumpu pada penyelarasan antara faktor produktivitas tanaman dan faktor keamanan
ekologis, sehingga lahan-lahan gambut dapat dijadikan sebagai wilayah pendukung stabilitas
228
229
230
1997.
Sabiham, S. 1997. Penggunaan kation terpilih untuk menurunkan asam-asam fenolat toksik dalam
tanah gambut dari Jambi. J.Il. Indon. 7(1): 19-27.
Sabiham & Sulistyiono. 2000. Kajian beberapa sifat inheren dan perilaku gambut: Kehilangan
karbondioksida dan Metana melalui proses reduksi-oksidasi. J.Tanah Tropika 5(10)127-136.
Sarno. 1996. Pemupukan batuan fosfat alam (BFA) pada tanaman padi di tanah gambut dalam
keadaan tergenang. Jurnal Tanah Tropika 2(2):19-25.
Simarmata, M. 1997. Budidaya tanpa olah tanah (TOT) dan cara pengendalian gulma pada tanaman
padi di lahan rawa Bengkulu. Jurnal Penelitian UNIB 9:23-29.
Stevenson, F.J. 1994. Humus chemistry. Genesis, composition, reaction. A Wiley-Interscience Publ.
John Wiley & Sons. 2nd ed. New York. hal 496.
231
232