Anda di halaman 1dari 55

AQIDAH

Iman Dalam Tinjauan Bahasa


Secara literal, aqidah berasal dari kata aqada yang bermakna alhabl, al-bai, al-ahd (tali, jual beli, dan perjanjian).1
Menurut istilah, kata Itiqad (keyakinan) bermakna, tashdiiq aljaazim al-muthaabiq li al-waaqi an al-daliil (pembenaran pasti yang
sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan bukti).2
Kata al-aqiidah, al-ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama.
Menurut bahasa, al-yaqiin bermakna al-ilmu.3 Menurut istilah, yaqiin
memiliki arti, menyakini sesuatu dengan keyakinan bahwa sesuatu
yang diyakininya itu tidak mungkin berbeda dengan keyakinannya.
Sebab, keyakinannya sesuai dengan kenyataan yang tidak mungkin
berubah.4
Imam Ibnu Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli bahasa Azujaj,
mendefinisikan iman dengan, Sikap ketundukan, kepatuhan, dan
kesediaan untuk menerima syari'at Islm. Sikap ini harus terefleksi
pula dalam menerima apa-apa yang disampaikan Rasulullah saw
(sunnah). Sunnah harus diyakini dan dibenarkan di dalam hati. Siapa
saja yang bersikap seperti itu, dan menyakini bahwa melaksanakan
suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa ragu-ragu lagi,
maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan muslim yang
keimanannya tidak ragu-ragu lagi. Allah swt berfirman, "....dan
kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami..."5

2
3
4
5

Mohammad Ibnu Abiy Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401
H/1971 M, hal.444. Bila dikatakan Itaqada fulaan al-amr (seseorang telah
beritiqad terhadap suatu perkara), maknanya adalah, shadaqahu, wa aqada
alaihi qalbuhu, wa dlamiiruhu, (seseorang itu telah membenarkan perkara
tersebut, hatinya telah menyakininya, dan ia telah bersandar kepada perkara
tersebut). Lihat al-Mujam al-Wasith, jilid I, bab aqada.
Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414
H/199 M , hal. 22.
Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743
Al-Jurjaniy, al-Tariifaat, hal. 113
Al-Quran, Yusuf:17.

Makna iman adalah tashdiq (pembenaran). Dalam kitab alTahdzib, disebutkan bahwa iman berasal dari kata amana - yu'minumnan, yang artinya membenarkan. Ahli bahasa sepakat bahwa iman
berarti tashdiq (pembenaran).
Lawan dari yaqin, ilmu, dan iiman adalah dzan.6 Menurut bahasa,
dzan bermakna tahammuh (prasangka/dugaan).7
Imam Zamakhsyariy berkata, bir dzannuun: la yutsaaq bi
maaiha.[Sumur yang meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa
dipercaya]; rajul dzannuun: la yutsaaq bi khabarihi [laki-laki yang
meragukan adalah laki-laki yang beritanya tidak bisa dipercaya].8
Iman Dalam Tinjauan Istilah
Imam al-Nasafiy, berpendapat, "man adalah pembenaran hati
sampai pada tingkat kepastian dan ketundukan."9
Imam Ibnu Katsir menjelaskan,"man yang telah ditentukan oleh
syara' dan diserukan kepada kaum muslimn adalah berupa itiqd
(keyakinan), ucapan, dan perbuatan. Inilah pendapat sebagian besar
Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal,dan
Abu Ubaidah menyatakan, pengertian ini sudah menjadi suatu ijma'.
(kesepakatan)".10
Imam Nawawi, menyatakan, "Ahli Sunnah dari kalangan ahli
hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa seseorang
dikategorikan muslim apabila orang tersebut tergolong sebagai ahli
kiblat (melakukan sholat). Ia tidak kekal di dalam neraka. Ini tidak
akan didapati kecuali setelah orang itu mengimani dienul Islm di
6
7

8
9
10

Al-Raghib al-Isfahaaniy, Mufradaat al-Faadz al-Quran, hal.327


Dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah, disebutkan, bahwa kata dzan kadang
digunakan dengan makna al-ilmu (yaqiin) [lihat juga Imam al-Amidiy, al-Ihkaam
fi Ushuul al-Ahkaam, hal 218]. Fathi Mohammad Salim menyatakan, bahwa kata
dzann adalah keyakinan kuat yang masih mengandung makna yang berlawanan.
Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 406. Kata dzan kadang-kadang digunakan
dengan makna yaqiin dan syakk (keraguan). [lihat Fathi Salim, al-Istidlaal bi alDzan fi al-Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 20].
Asaas al-Balaaghah, hal. 303
Imam al-Nasafiy, Al-'Aqid al-Nasafiyyah, hal. 27-43
Ibnu Katsr, Tafsir Ibnu Katsr, jilid.I, hal. 40

dalamnya hatinya, secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia


mengucapkan dua kalimat syahadat."11
Imam al-Ghazali, menyatakan,"man adalah pembenaran pasti
yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan
oleh pemeluknya."12
Keimanan harus ditetapkan dengan dalil yang bersifat qathiy
(pasti) baik tsubut (sumber) maupun dilalahnya (penunjukkannya).
Sebab, keimanan yang dituntut oleh Syaari adalah keimanan yang
menyakinkan dan tidak disusupi keraguan.

11
12

Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49


Imam Al-Ghazali, Iljm al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalm, hal. 112

AL-'ILMU WA AL-DZAN
Dua kata ini, al-ilmu dan al-dzan, merupakan terminologi yang
sering digunakan dalam pembahasan aqidah. Akan tetapi, tidak
sedikit dari kaum muslim yang belum memahami makna dari dua kata
ini. Padahal, mengetahui makna dari kedua kata ini merupakan faktor
yang sangat penting sebelum memulai pembahasan-pembahasan
aqidah.
Al-Ilmu sering diartikan dengan iman atau yakin 13. Iman sendiri
bermakna, pembenaran (tashdiiq)14 pasti yang berkesesuaian dengan
fakta dan dibangun berdasarkan dalil15. Keyakinan hati yang tidak
sampai ke derajat kepastian, tidak absah disebut sebagai iman.
Keyakinan semacam ini disebut dengan al-dzan.
Berikut ini akan kami ketengahkan ayat-ayat yang berbicara
tentang al-ilmu dan al-dzan. Allah swt berfirman;
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada
kehidupan akherat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu
dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai
pengetahuan (AL-'ILMU) tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan sedangkan sesungguhnya persangkaan itu
(AL-DZAN) tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran." (alNajm : 27-28)
"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama
da isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (Al-baqarah : 230)
"dan karena ucapan mereka:" Sesungguhnya kami telah
membunuh Al- Masih, 'Isa putera Maryam, Rasul Allah, padahal
mereka tidak membunuhnya, dan tidak pula menyalibnya, tetapi
(yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan 'Isa bagi
mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham
tentang (pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keraguan tentang
13
14
15

Imam Abu Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, bab yaqana, hal. 743
ibid, bab amana, hal. 26
Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414
H/199 M , hal. 22

yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang


siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka,
mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah
'Isa". (Al-Nisaa' : 157)
Di dalam al-Quran, kata al-'ilmu kadang-kadang bermakna alqath'iy (pasti) dan al-yaqiin (yakin). Penyebutan kata al-'ilmu dengan
makna al-dzan (prasangka kuat) sangatlah sedikit. Allah swt
berfirman,
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan (AL-'ILM) tentangnya..." (al-Isra' : 36)
"..Maka jika kamu telah mengetahui (Al-'ILM) bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. (al-Mumtahanah
: 10)
Kata al-ilmu dalam ayat-ayat ini bermakna al-dzan (prasangka
kuat).
Kata al-dzan bisa juga bermakna al-wahm (dugaan tanpa dasar).
Al-Quran telah menyatakan hal ini dalam surat Al-najm ayat 28;
"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedangkan
sesungguhnya persangkaan itu (AL-DZAN) tiada berfaedah
sedikitpun terhadap kebenaran." (Al-najm : 28)
Kadang-kadang al-dzan juga bermakna al-qath'i dan al-yaqiin.
Allah swt berfirman;
"(yaitu) Orang-orang yang menyakini (yadzunnuun), bahwa
mereka akan menemui Tuhan-Nya, dan bahwa mereka akan
kembali kepada-Nya." (al-Baqarah : 46)
Al-dzan kadang bermakna tarjiih (prasangka kuat). Allah swt
berfirman,"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami
pertama dari isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (Al-baqarah : 230)

Al-dzan dengan makna al-wahm (sangkaan ilutif) tidak boleh


dijadikan dalil dalam perkara keyakinan (al-'aqaaid), dan hukum
syara'. Orang yang mengatakan bahwa malaikat itu berjenis kelamin
perempuan, sesungguhnya, perkataan mereka itu tidak didasarkan
pada dalil, ataupun syubhah dalil.16 Mereka tidak memiliki bukti
apapun kecuali sekedar persangkaan saja. Jenis al-dzan semacam ini
(al-wahm) tidak membawa kebenaran sedikitpun baik dalam masalah
keyakinan ('aqaaid) maupun hukum syara.
Al-dzan yang berma'na tarjiih al-ra'yi (pendapat kuat) absah
digunakan dalil dalam persoalan hukum syara', namun tidak untuk
masalah 'aqidah. Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman
Allah swt ;
"..jika keduanya berpendapat (in dzanna)
menjalankan hukum-hukum Allah" [2:230].

akan

dapat

Ayat ini berbicara mengenai kasus seorang laki-laki yang


menthalaq tiga isterinya. Jika laki-laki tersebut ingin kembali kepada
isterinya kembali, maka isterinya harus nikah dengan suami yang lain
terlebih dahulu. Jjika suami kedua menceraikannya, maka ia boleh
kembali kepada isterinya yang pertama. Allah swt telah menyatakan
ketetapan ini dengan sangat jelas, "..jika keduanya berpendapat (in
dzanna) akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah" [2:230].
Suami boleh ruju kembali dengan isterinya, meskipun
pelaksanaan ruju tersebut didasarkan pada dzan (prasangka kuat).
Ruju merupakan bagian dari hukum syara. Ini menunjukkan bahwa,
dalam melaksanakan hukum-hukum syara, tidak harus didasarkan
pada al-ilm (keyakinan), akan tetapi cukup didasarkan pada al-dzan
(prasangka kuat) saja.
Walaupun dzan absah digunakan dalil dalam masalah hukum
syara, akan tetapi, ia tidak absah digunakan dalil dalam masalah

16 Syubhat dalil adalah dalil-dalil istidlal (sumber penggalian hukum) yang masih
diperbincangkan keabsahannya di kalangan 'ulama ushul, semisal al-mashlahat
al-mursalah, istihsan, syar'u man qablanaa, jalb al-mashalih wa dar`u almafaasid, dll. Dalil adalah Al-Quran, Sunnah, Ijma' Shahabat, dan Qiyas. Syubhat
dalil kadang juga digunakan untuk menyebut suatu pendapat yang lemah.

'aqidah. Ketentuan semacam ini sejalan dengan kisah diangkatnya


Nabi Isa as yang termuat dalam surat al-Nisaa':157.
Ayat itu menjelaskan bahwa orang-orang yang menyangka 'Isa as
telah tertawan, dibunuh, dan disalib, memiliki bukti yang sangat
kuat. Persangkaan mereka bukan sekedar wahm. Sebab, mereka
menyaksikan 'Isa as berada di dalam sebuah rumah bersama muridmuridnya, sedangkan para tentara telah mengepung rumah itu.
Kemudian, Allah menyerupakan salah seorang muridnya seperti beliau
as. Tanpa sepengetahuan para tentara, Allah mengangkat nabi 'Isa as
ke atas langit. Ketika para tentara memasuki rumah dan menangkap
orang yang berada di dalam rumah, mereka menyangka bahwa orang
yang diserupakan dengan Isa, adalah 'Isa as. Mereka menangkap orang
yang diserupakan 'Isa as tersebut, dan menyalibnya hingga mati.
Peristiwa ini disaksikan oleh khalayak ramai, sekaligus merupakan
bukti kuat bagi orang yang menyangka bahwa Isa as telah tersalib.
Namun, bukti yang mereka sodorkan tidak sampai kepada
keyakinan, bahkan mengandung keraguan dilihat dari dua sisi.
Pertama, penyerupaan itu tidak sempurna. Wajah orang yang
diserupakan Isa itu, adalah wajah 'Isa as, akan tetapi, tubuhnya bukan
tubuh 'Isa as. Kedua, bahwa jumlah orang yang bersama Isa as di
dalam rumah berkurang satu. Padahal, di dalam rumah itu terdapat
13 orang, 'Isa as dan 12 muridnya. Akan tetapi, tatkala para tentara
masuk ke dalam rumah, mereka tidak mendapatkan kecuali 12 orang
laki-laki. Karena ada perbedaan pada wajah dan jumlah, timbullah
keraguan. Persoalan itu akhirnya jatuh dari derajat yakin inderawiy
ke derajat dzan.
"Mereka tidak mempunyai keyakinan , tentang siapa yang
dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka". (Al-Nisaa' : 157).
Allah swt telah melarang dzan semacam ini untuk dijadikan dalil
dalam masalah 'aqidah (keyakinan), walaupun dalil tersebut rajih
(kuat). Allah telah menetapkan, 'aqidah tidak boleh dibangun di atas
dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah (persangkaan kuat ). Aqidah
harus dibangun di atas dalil-dalil yang menyakinkan (qathiy). Allah
telah menyatakan", mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka
bunuh itu adalah 'Isa" (al-Nisaa':157). Orang yang menyakini bahwa
Isa as telah terbunuh, tidak memiliki bukti yang menyakinkan.

Kenyakinan semacam ini adalah kenyakinan yang dicela oleh AlQuran.

CELAAN AL-QURAN TERHADAP KEYAKINAN YANG


DIBANGUN DENGAN DZAN
Di banyak ayat, Allah swt dengan tegas telah mencela orangorang yang mengikutkan persangkaannya dalam masalah keyakinan
(aqidah). Adanya celaan dari Allah swt, menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut mengikuti dzan dalam masalah keyakinan
(aqidah)-- terkategori perbuatan yang diharamkan Allah swt. AlQuran dengan sangat jelas, telah menunjukkan pengertian semacam
ini Allah swt berfirman,

Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak


kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu
keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini
oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang
petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.[al-Najm:23]

Sesungguhnya

orang-orang

yang

tiada

berman

kepada

kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu


dengan nama perempuan.[al-Najm:27]

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan


saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka kerjakan.[Yunus:36]

..Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang


(pembunuhan) `Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang
yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang
siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka,
mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah
`Isa.[al-Nis:157]

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka


bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).[alNis:116]

Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah


mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan
Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu
pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada
Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan
kamu tidak lain hanya berdusta.[Al-Anam:148]

Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di


langit dan semua yang ada di bumi. Dan orang-orang yang
menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu
keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka,
dan mereka hanyalah menduga-duga.[Yunus:66]
Allah swt juga berfirman,

Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata:


mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha
kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di
Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah
mengatakan
terhadap
Allah
apa
yang
tidak
ketahui?[Yunus:68]

"Allah
Kaya;
bumi.
kamu
kamu

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah
anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu
karena mereka akan masuk neraka.[Shd:27]

Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah


itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan
padanya", niscaya kamu menjawab: "Kami tidak tahu apakah hari
kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga
saja dan kami sekali-kali tidak menyakini (nya)".[al-Jtsiyyah:32]

Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu


sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan
kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang
merugi.[Fushilat:23]

Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagamana


persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekalikali tidak akan membangkitkan seorang (rasul) pun[al-Jin:7]

Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al


Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka
hanya menduga-duga.[AL-Baqarah:78].
Ayat-ayat di atas merupakan celaan yang pasti (jzim) bagi orang
yang mengikuti dzan dalam masalah aqidah, atau keyakinan.
Sedangkan dalam masalah hukum syariat tidak perlu bukti yang
menyakinkan. Allah swt berfirman,

"...maka tidak ada dosa kepada keduanya (bekas suami pertama


da isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah.." (Al-Baqarah : 230).
Ayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa untuk melaksanakan
ruju (amal) tidak perlu didasarkan pada dalil (bukti) yang
menyakinkan, akan tetapi cukup hanya didasarkan pada prasangka
kuat (dzan). Ini terlihat dengan gamblang pada pecahan ayat di atas,
in dzanna an yuqiimaa hudud al-Allah [jika keduanya berdzan
(berprasangka kuat] akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah].
Secara syariy, orang yang hendak melaksanakan ruju (syariat) tidak

harus menyakini dengan pasti bahwa ia mampu menjalankan aturan


Allah swt, akan tetapi cukup berdasarkan prasangka kuat mereka
berdua, bahwa mereka mampu menjalankan aturan Allah swt.
Ini menunjukkan bahwa, untuk mengerjakan suatu perbuatan,
Allah swt tidak mensyaratkan, harus disandarkan pada bukti-bukti
yang menyakinkan, akan tetapi cukup didasarkan pada prasangka
kuat saja (dzan).
Walhasil, aqidah harus disandarkan pada dalil yang
menyakinkan, baik tsubt maupun dillahnya. Sedangkan untuk
amal perbuatan (syariat) tidak perlu disandarkan pada dalil-dalil
yang menyakinkan.

HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH


DALAM PERKARA AQIDAH
Meskipun diskusi seputar hadits ahad (apakah menghasilkan
keyakinan atau sekedar dzan) telah menjadi bahan perdebatan di
kalangan kaum muslim dan para ulama, namun demikian perbedaan
pendapat dalam masalah ini tidak pernah menyulut pertentangan
maupun tindakan-tindakan gegabah untuk saling mengkafirkan dan
menyesatkan sesama muslim. Para ulama yang berpendapat bahwa
hadits ahad menghasilkan ilmu tidak pernah mengeluarkan sepatah
kata pengkafiran kepada ulama yang berpendapat bahwa khabar
ahad tidak menghasilkan keyakinan.
Salah seorang pakar tafsir Syaikh Mohammad Jamaluddin alQasimi dalam kitab tafsirnya, Mahasinu Tawil, telah menyatakan
bahwa mengkritik hadits ahad sudah biasa terjadi dan popular sejak
periode shahabat. Selanjutnya beliau menyebutkan penegasan alGhazali, Ibnu Taimiyyah, dan al-Fanari, bahwa yang mengkritik dan
menolak hadits ahad tidak dapat dianggap kafir atau fasik dan sesat.
Sebab, hal ini pernah terjadi dan dilakukan oleh para shahabat dan
para ulama seperti penolakan Aisyah ra terhadap hadits yang
menyebutkan bahwa seorang mayit akan disiksa karena ditangisi oleh
keluarganya, juga penolakan Umar atas riwayat dari Hafshah17.
Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa,
hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima
masalah aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan
kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok
aqidah18.
Akan tetapi, ada sebagian kaum muslim yang dengan gegabah dan
prematur telah menyesatkan sekelompok kaum muslim yang
berpendapat bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam
perkara aqidah. Padahal pendapat yang menyatakan bahwa khabar
ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan saja adalah
pendapat terkuat yang dipilih oleh jumhur ulama. Sedangkan
mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan
17
18

Syaikh Mohammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasinu Tawil, juz 17 hal.304-305


Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294

adalah pendapat rapuh yang didasarkan pada dalil-dalil yang lemah.


Bahkan orang yang berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan
ilmu (keyakinan), sungguh ia telah merendahkan akal pikirannya
sendiri.
Perhatikan komentar dari Imam Bazdawiy, Adapun siapa saja
yang menyerukan bahwa ia menghasilkan ilmu yaqin maksudnya
adalah hadits ahad--, tanpa diragukan lagi, itu adalah seruan bathil.
Sebab, setiap orang pasti menolaknya. Semua ini disebabkan karena,
khabar ahad masih mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila
masih mengandung syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak
hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat
akalnya.19
Aqidah harus dibangun berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan,
baik tsubut maupun dilalahnya. Sebab, keyakinan (aqidah) yang
dituntut oleh syara adalah aqidah yang tidak ada keraguan
sedikitpun di dalamnya. Dengan kata lain, aqidah harus menyakinkan
dan pasti kebenarannya. Oleh karena itu, dalil yang membangun
pokok-pokok aqidah haruslah dalil yang menyakinkan, baik dari sisi
tsubut maupun dilalahnya.
Hadits ahad adalah hadits yang sanadnya masih mengandung
syubhat atau kesamaran20. Oleh karena itu, dari sisi tsubut
(penetapan), hadits ahad tidak bisa menghasilkan kepastian atau
keyakinan. Karena tidak menghasilkan keyakinan, alias hanya
menghasilkan dzan saja, maka hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah
untuk perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan pasti (aqidah).
Pendapat ini dipegang dan dianggap paling kuat oleh jumhur para
ulama.
Prof. Mahmud Syaltut 21 menyatakan,Sesungguhnya jalan satusatunya untuk menetapkan masalah aqidah adalah al-Quran alKarim; yakni ayat-ayat Quran yang qathiy dilalahnya ayat yang
tidak mengandung dua makna atau lebih--, sebagaimana ayat-ayat
yang digunakan untuk menetapkan keesaan Allah, risalah, dan
19
20
21

Prof. Mahmud Syaltut, Islam, Aqidah wa Syariah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam,
hal. 63.
Ibid, hal. 63
Prof Mahmud Syaltut adalah mantan guru besar di Universitas al-Azhar .

keyakinan kepada hari akhir. Ayat-ayat yang tidak qathiy dilalahnya


mengandung dua makna atau lebih--, maka ayat-ayat semacam ini
tidak absah dijadikan dalil dalam masalah aqidahWalhasil,
apakah aqidah bisa ditetapkan dengan al-Quran atau tidak
tergantung dari dilalahnya, qathiy atau dzanniy. Jika aqidah tidak
boleh ditetapkan kecuali berdasarkan nash yang qathiy baik dari sisi
wurud (tsubut) dan dilalahnya, maka.. 22
Seluruh ulama tidak berbeda pendapat, bahwa al-Quran dan
hadits mutawatir yang qathiy dilalahnya merupakan sumber yang
menyakinkan (qathiy tsubut) untuk menetapkan pokok keyakinan.
Namun, bila dilalahnya tidak qathiy maka ia tidak boleh dijadikan
hujjah dalam perkara aqidah, meskipun dari sisi tsubut
menyakinkan. Para ulama berbeda pendapat mengenai status hadits
ahad; apakah hadits ahad dari sisi tsubut (penetapan) menghasilkan
keyakinan atau tidak.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa hadits ahad tidak
menghasilkan keyakinan. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa
hadits ahad menghasilkan keyakinan. Ada pula yang berpendapat, jika
hadits ahad diperkuat qarinah, maka ia menghasilkan keyakinan.23
Berikut ini kami ketengahkan para ulama yang berpendapat
bahwa khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan.
Imam Syaukani menyatakan, Khabar ahad adalah berita yang
dari dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak
menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan adanya
qarinah dari luarIni adalah pendapat jumhur ulama. Imam Ahmad
menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri
menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm

22
23

Ibid, hal.61-62
Haafidz Tsanaa al-Allah al-Zaahidiy ,Taujiih al-Qaariy ila al-Qawaaid wa alFawaaid al-Ushuuliyah wa al-Hadiitsiiyyah wa al-Isnaadiyyah fi Fath al-Baariy,
Daar al-Fikr, hal. 156. Penjelasan panjang lebar mengenai masalah ini dapat
dirujuk ke dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy,
Juz I, hal.217-dan seterusnya]

dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin Ali al-Karaabisiy dan al-Harits alMuhasbiy.24
Prof Mahmud Syaltut menyatakan, Adapun jika sebuah berita
diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian
thabaqat namun tidak memenuhi syarat mutawatir [pentj]maka
khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika
dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad.
Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah
saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini
tidak menghasilkan keyakinan (ilmu)25.
Beliau melanjutkan lagi, Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah
imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafiiy dan
Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad
tidak menghasilkan keyakinan.26
Imam Bazdawiy menyatakan, Adapun yang mendakwakan ilmu
yaqin maksudnya adalah hadits hadits--, maka itu adalah dakwaan
bathil tanpa ada keraguan lagi. Sebab, setiap orang pasti
menolaknya. Semua ini disebabkan karena, khabar ahad masih
mengandung syubhat. Tidak ada keyakinan bila masih mengandung
syubhat (kesamaran). Siapa saja yang menolak hal ini, sungguh ia
telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.27
Al-Ghazali berkata, Khabar ahad tidak menghasilkan keyakinan.
Masalah ini khabar ahad tidak menghasilkan keyakinanmerupakan
perkara yang sudah dimaklumi. Apa yang dinyatakan sebagian ahli
hadits bahwa ia menghasilkan ilmu, barangkali yang mereka maksud

24

25
26
27

Imam Syaukani, Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min Ilm al-Ushuul, hal.48.
Diskusi tentang hadits ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak
setidaknya bisa diikuti dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam
al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar al-Fikr,
1417 H/1996 M, hal.218-223].
Prof. Mahmud Syaltut, Islam, Aqidah wa Syariah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam,
hal. 63
Ibid. hal. 63
Ibid.hal.63

dengan menghasilkan ilmu adalah kewajiban untuk mengamalkan


hadits ahad. Sebab, dzan kadang-kadang disebut dengan ilmu.28
Imam Asnawiy menyatakan, Sedangkan sunnah, maka hadits
ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan29
Imam Bazdawiy menambahkan lagi, Khabar ahad selama tidak
menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah
itiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada
keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah
amal.30
Imam Asnawiy menyatakan, Riwayat ahad hanya menghasilkan
dzan. Namun, Allah swt membolehkan dalam masalah-masalah amal
didasarkan pada dzan.31
Al-Kasaaiy menyatakan, Jumhur fuqaha sepakat, bahwa hadits
ahad yang tsiqah bisa digunakan dalil dalam masalah amal (hukum
syara), namun tidak dalam masalah keyakinan32
Imam Al-Qaraafiy salah satu ulama terkemuka dari kalangan
Malikiyyah berkata, ..Alasannya, mutawatir berfaedah kepada ilmu
sedangkan hadits ahad tidak berfaedah kecuali hanya dzan saja.33
Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib
berkata, Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil,
dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila disertai dengan
qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan
keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat
hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun
tidak.
Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, Jumhur kaum
muslim, dari kalangan shahabat, tabiin, dan ulama-ulama
28
29
30
31
32
33

Ibid, hal.64
Ibid. hal.64
Ibid.hal.64
Ibid, hal.64
Al-Kasaaiy, Badaai al-Shanaai, juz.I, hal.20
Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.

setelahnya, baik dari kalangan fuqaha, muhadditsin, serta ulama


ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu
hujjah syariyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan
saja, tidak menghasilkan ilmu.34
Dr. Rifat Fauziy, berkata, Hadits ahad adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum
mencapai tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw. Hadits
semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya
menghasilkan dzan.akan tetapi, jumhur Ulama berpendapat
bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.35
Meskipun demikian, kita tidak pernah menjumpai bahwa para
ulama-ulama tersebut di atas dengan gegabah telah mengkafirkan
ulama-ulama lain yang berseberangan pendapat dengan mereka.
Sangat disesalkan, sebagian kaum muslim yang sedikit
pengetahuannya terlepas apa tendensinya telah menyesatkan,
bahkan mengkafirkan saudara seimannya, walaupun bisa jadi
pendapat mereka adalah pendapat yang lemah dan tidak layak untuk
diikuti.
Untuk menepis pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa,
hadits ahad wajib dijadikan hujjah dalam masalah aqidah, maka
kami akan memaparkan secara ringkas penjelasan yang dipilih oleh
jumhur ulama.
Ijma shahabat tatkala mengumpulkan al-Quran al-Kariim.
Bila anda perhatikan dengan seksama proses pengumpulan alQuran dalam mushhaf Imam, maka anda akan berkesimpulan bahwa
riwayat ahad tidak bisa digunakan hujjah dalam perkara-perkara yang
membutuhkan keyakinan (aqidah). Bahkan, menyakini bahwa khabar
ahad harus diyakini dan wajib dijadikan hujjah dalam perkara aqidah
akan berimplikasi serius bagi kesempurnaan pokok aqidah Islam.

34
35

Al-Qasaamiy, Qawaaid al-Tahdiits, hal.137,138.


Dr. Rifat Fauziy, al-Madkhal ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.

Kita telah memahami bahwa al-Quran merupakan salah satu


pokok keimanan bagi kaum muslim. Seorang mukmin tidak boleh
meragukan keotentikan dan kesempurnaan al-Quran. Al-Quran yang
dimaksud di sini adalah al-Quran yang terlembaga dalam mushhaf
Utsmaniy. Apabila ada riwayat yang dianggap al-Quran, namun tidak
diriwayatkan dengan jalan mutawatir, maka riwayat itu tidak boleh
diyakini sebagai al-Quran sebagai pokok aqidah umat Islam.
Al-Quran yang sampai ke tangan kita, seluruhnya diriwayatkan
secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai alQuran, tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran. Para shahabat sendiri
tidak pernah melembagakan riwayat-riwayat ahad yang dianggap alQuran ke dalam mushhaf Imam.
Kenyataan ini saja sudah cukup untuk menggugurkan wajibnya
menjadikan riwayat ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah.
Sebab, al-Quran adalah pokok dan sumber aqidah kaum muslim.
Sementara itu, semua yang tertulis di dalam mushhaf Imam tidak
diriwayatkan kecuali secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang
dianggap sebagai al-Quran sama sekali tidak ditulis, bahkan harus
ditolak sebagai bagian dari al-Quran.
Pakar ulumul Quran, al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan
fi Uluum al-Quran menyatakan, Tidak ada perbedaan pendapat,
bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib) mutawatir, baik
dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan uruturutannya. Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa
al-Quran harus diriwayatkan secara qathiy (mutawatir). Sebab,
biasanya sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir.
Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama
yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath almustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun
terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan
tidak mutawatir , maka secara qathiy ia bukan merupakan bagian
dari al-Quran. Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat
bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan apakah riwayat
tersebut termasuk al-Quran. 36

36

Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar alFikr, hal.79.

Sebagian besar ulama ushul, sebagaimana pendapat al-Hafidz alSuyuthiy berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat bagi itsbat
(penetapan), apakah suatu riwayat dianggap sebagai bagian dari alQuran atau tidak. Mereka berpendapat, bahwa riwayat-riwayat ahad
yang dinyatakan sebagai al-Quran tidak boleh diyakini sebagai alQuran secara pasti. Ini menunjukkan bahwa khabar ahad tidak boleh
digunakan hujjah untuk menetapkan al-Quran. Al-Quran adalah pokok
dari keyakinan kaum muslim. Mengingkari al-Quran, atau menyakini
bahwa al-Quran telah mengalami penambahan ataupun pengurangan
adalah keyakinan bathil yang harus dijauhi oleh orang-orang beriman.
Walhasil, keterangan-keterangan ini telah membuktikan bahwa,
hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah dalam perkara
aqidah (keyakinan). Al-quran adalah pokok keimanan kaum muslim,
dan ia harus ditetapkan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir.
Riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran harus ditolak
sebagai bagian dari al-Quran.
Berikut ini kami ketengahkan riwayat-riwayat ahad yang dianggap
al-Quran, akan tetapi tidak boleh diyakini sebagai al-Quran:
Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari
Hudzaifah, ia berkata, artinya Saya pernah membaca surat alAhzab pada masa Nabi saw dan tujuh puluh ayat daripadanya
saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam alQuran sekarang.[Durr al-Mantsur, jilid 5, hal. 180.]
Riwayat ini adalah riwayat ahad. Seandainya riwayat ini bisa
digunakan hujjah dalam masalah aqidah, tentu kita harus
menyakini juga bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam
mushhaf Imam, tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat dalam surat alAhzab yang telah hilang. Padahal, keyakinan semacam ini tentu
akan berakibat fatal bagi kebersihan dan keotentikan al-Quran alKarim sebagai kalamullah dan mukjizat terbesar dari Rasulullah
saw. Menyakini riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah
mengalami tahrif (perubahan).
Riwayat semacam ini juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam
al-Fadlaail dan Ibnu Mardawaih dari Aisyah, ia menyatakan,
Pada masa Nabi saw, surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus
ayat. Akan tetapi, ketika Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa

mendapatkannya kecuali sebagaimana yang ada sekarang ini.


[al-Itqan, jilid II, hal.25, lihat juga Duur al-Mantsur, jilid 5;
hal.180]
Seandainya riwayat ahad ini harus diyakini, maka lebih dari separuh
surat al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat
telah hilang dari surat al-ahzab. Sebab, surat al-Ahzab yang ada di
dalam Al-Quran hanya sampai tujuh puluh tiga ayat. Walhasil,
riwayat ini tidak boleh diyakini bahkan harus ditolak untuk
dijadikan hujjah dalam masalah aqidah. Seorang muslim dilarang
sama sekali menyakini bahwa ada ayat Quran yang tidak
terlembaga dalam mushhaf Utsmaniy.
Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan,
Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan
tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan, "Abu Bakar ra
memerintah seorang muadzin untuk mengumumkan kepada
masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar
mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul
Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah
aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...).
Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan
kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa alshalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..". 'Umar ra bertanya,
"Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar
berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang
disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya
bukti."
Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran.
Sebab, ia adalah khabar ahad. Padahal, riwayat-riwayat ahad
tidak boleh diyakini sebagai bagian al-Quran. Sebab, jika riwayat
ini diyakini sama artinya menyakini bahwa al-Quran telah
mengalami pengurangan, karena tidak mencantumkan lafadz alashr.
Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha', dan Ibnu Dawud
dalam Mashahif dari Ummul Mukminin 'Aisyah ra, ia berkata,
"Telah turun ayat tentang 10 (kali isapan) susuan yang
mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan

5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah saw meninggal,


sedangkan beliau menyatakan ia adalah al-Quran." Namun
demikian, tak seorangpun shahabat yang memperhatikan riwayat
ini. Mereka tidak menulisnya di dalam Mushhaf.
Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif, al-Haakim, dan
selain keduanya dari Mushhafnya Ubay bin Ka'ab, ia menuturkan
ayat tentang kifarah (denda) budak. Di dalam mushhafnya Ubay
tersebut disebutkan, "fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi'aat fi
kifaarat al-yamiin"[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk
kifarat al-yamin].
Akan tetapi, riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam
mushhaf imam, sebab riwayat tersebut adalah khabar ahad.
Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab,
seandainya ia harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di
dalam mushhaf Utsmaniy tidak lagi otentik, alias telah
mengalami pengurangan. Dalam masalah ini, Imam Syafiiy
menolak riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad [lihat alIhkam fi Ushul al-Ahkaam, al-Amidiy]
Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, "Adalah
Ibn al-'Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu,
sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata, "Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda, "al-Syaikh wa syaikhaat idza
zanaya [kakek dan nenek jika berzina].", 'Umar berkata,
"Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak
muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina,
dan ia muhshon, maka dirajam".
Dalam riwayat Muwatha' 'Umar berkata dalam khutbahnya,
"Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan bahwa 'Umar
bin Khaththab telah menambah Kitabullah, sungguh aku akan
menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya".
Namun demikian, riwayat ini bukanlah al-Quran dan tidak boleh
diyakini sebagai ayat yang dihapus (mansukh). Sebab, riwayat ini
adalah khabar ahad. Kita telah memahami bahwa khabar ahad
tidak menghasilkan apapun kecuali hanya sekedar dzan saja. AlQuran tidak ditetapkan kecuali dengan jalan kepastian (qath'iy),
bukan dzan. Padahal, al-Quran adalah salah satu rukun dari
rukun-rukun 'aqidah yang harus diimani baik yang global maupun

yang rinci. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam


masalah keyakinan (aqidah) tentu kita harus menyakini bahwa
mushhaf Utsmaniy tidak lagi otentik. Sebab, mereka tidak
melembagakan ayat rajam yang disampaikan oleh Umar ra di
dalam mushhaf Utsmaniy.
Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari,
Thabarani, Ibnu Mardawaih dengan jalan shahih dari Ibnu 'Abbas
dan Ibnu Mas'ud, bahwa Ibnu Masud dan Ibnu Abbas tidak
memasukkan al-Mu'awidzatain (surat al-Falaq dan al-Naas) dari
mushhafnya. Keduanya menyatakan bahwa al-Quran tidak
tercampur dengan sesuatu yang bukan dari Kitabullah. Menurut
kedua shahabat itu, al-muawidzatain bukan termasuk al-Quran,
namun hanya perintah Allah kepada Nabi saw untuk berlindung
dengan keduanya.
Imam Fakhr al-Raziy menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab
terdahulu telah menyebutkan bahwa Ibnu Masud telah
mengingkari surat al-Fatihah dan al-Muawidzatain sebagai bagian
dari al-Quran. 37
Imam Nawawiy dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan: Seluruh
kaum muslim telah bersepakat bahwa, al-Muawidzatain dan alFatihah merupakan bagian dari al-Quran. Siapa saja yang
mengingkari keduanya [sebagai bagian dari al-Quran] telah
terjatuh dalam kekafiran. Sedangkan riwayat yang dinukil dari
Ibnu Masud adalah bathil, dan sama sekali tidak shahih.
Al-Bazariy menyatakan, "Tidak ada seorangpun dari kalangan
shahabat yang mengikuti Ibnu Mas'ud. Telah disahkan dari Nabi
saw, bahwa beliau saw membaca keduanya dalam sholat, dan
mu'awidzatain ditetapkan dalam mushhaf. Walhasil, para
shahabat ra menolak khabar dari shahabat Ibnu Mas'ud ra, karena
ia adalah khabar ahad yang tidak sampai kepada derajat
mutawatir dan qath'iy.
Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Qadh al-Maaliy Tatmiim alMajaliy, berkata, Riwayat ini merupakan pendustaan atas nama

37

al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi Uluum al-Quran, hal.79

Ibnu Masud. [al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi Uluum alQuran, hal.79]


Ibnu Hajar dalam Syarh al-Bukhari menyatakan: Telah
dishahihkan dari Ibnu Masud bahwa ia telah mengingkari alMuawidzatain. Riwayat senada juga dituturkan oleh Imam
Ahmad dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Masud tidak menulis alMuawidzatain di dalam mushhafnya. [Al-Hafidz al-Suyuthiy, AlItqaan fi Uluum al-Quran, hal.79]
Lalu, apakah berdasarkan riwayat ahad ini, anda akan menarik
kesimpulan bahwa al-Muawidzatain bukanlah bagian dari alQuran? Seandainya anda menyatakan, bahwa riwayat Ibnu Masud
ini harus diyakini, tentunya al-Quran telah mengalami tahrif
(perubahan). Seandainya kita menyatakan, bahwa hadits ahad
yang diriwayatkan dari Ibnu Masud ini tidak boleh diyakini, maka
anda telah menyelamatkan al-Quran dari adanya tahrif.
Seluruh riwayat di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa,
riwayat ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk membangun pokok
keimanan. Perilaku para shahabat untuk tidak melembagakan
riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran merupakan bukti
nyata, bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam
perkara aqidah.
Para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu pada saat
melembagakan al-Quran di dalam mushhaf Imam.
Kami juga akan memaparkan riwayat-riwayat yang menyatakan,
bahwa tatkala mengumpulkan al-Quran al-Karim pada masa Abu Bakar
ra, para shahabat telah amensyaratkan jumlah tertentu, hingga
riwayat mereka dianggap sebagai al-Quran.
Ibnu Abi Dawud dalam Mashahif dari Abu Bakr, meriwayatkan,
Sesungguhnya Abu Bakar memerintahkan kepada 'Umar dan Zaid
ra agar keduanya duduk di pintu masjid, dan memerintahkan
keduanya agar siapapun yang membawa sesuatu dari al-Quran
dengan membawa dua orang saksi, maka keduanya harus
mencatatnya.

Dari jalan Ibnu Sa'ad, ia berkata, Keduanya duduk di pintu


masjid, dan tak seorangpun yang membawa sesuatu dari Al-Quran
yang disaksikan oleh dua orang, kecuali akan ditulis dan tidak
akan diingkari oleh keduanya.
Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashahif dari Yahya bin 'Abd alRahman bin Haatib berkata, 'Umar berkata, "Siapa saja yang
menyimpan sesuatu al-Quran-- dari Rasulullah, maka
serahkanlah. Sedangkan para shahabat menulis ayat-ayat Quran
dalam shuhuf, batu tulis, tulang. Umar ra tidak menerima
apapun dari seseorang, sampai orang tersebut menghadirkan dua
orang saksi.
Dari jalan Ibn Sa'ad dan Ibn Abi Dawud dan Ahmad bin Hanbal
dan selainnya, dari Khuzaimah bin Tsabit berkata, "Saya
menyampaikan ayat (laqad jaa`akum) kepada 'Umar ra dan Zaid
bin Tsabit. Zaid bertanya, siapakah orang yang menyaksikan
bersamamu.. Saya menjawab, "Demi Allah saya tidak tahu!" 'Umar
berkata, "Saya menyaksikan hal itu bersamamu".
Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan selainnya meriwayatkan dari 'Ubaid
bin 'Umair, bahwa ia berkata, "Umar tidak menerima satu ayat
dari Kitabullah sampai ada dua orang saksi yang menyaksikan".
Dalam shahih Bukhari dan Ibnu Abi Dawud dan selain keduanya
dari Zaid bin Tsabit berkata, "Ketika kami menulis Mushhaf, saya
kehilangan sebuah ayat dari kitabullah, dimana aku pernah
mendengarnya dari Rasulullah saw, dan aku menemukannya pada
Khuzaimah bin Tsabit "Minal mukminiin rijaalun.. ", sedangkan
Khuzaimah memiliki dua orang saksi. Rasulullah saw
membolehkan persaksian dengan saksi dua orang".
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan, bahwa para shahabat telah
menetapkan syarat-syarat tertentu tatkala melembagakan alQuran dalam mushhaf Utsmaniy. Seandainya, khabar ahad bisa
dijadikan hujjah dalam pelembagaan al-Quran, tentu para
shahabat tidak perlu mensyaratkan dua orang saksi. Jikalau berita
satu orang bisa digunakan sandaran untuk menetapkan pokok
aqidah (al-Quran) tentu para shahabat tidak perlu lagi
mensyaratkan dua orang saksi. Akan tetapi, para shahabat
menolak untuk melembagakan khabar yang diklaim sebagai alQuran jika tidak mendatangkan dua orang saksi dan
mendatangkan bukti otentik lainnya.

Perhatikan riwayat berikut ini:


Dalam shahih Bukhari, Zaid berkata, "Saya kehilangan satu ayat
dari surat al-Ahzab, kemudian aku mendapatkannya pada
Khuzaimah, karena ia menyimpannya. Seandainya tidak, tentu
hilanglah ayat tersebut. Kemudian ayat tersebut ditulis.
Dalam riwayat Ibnu Abi Dawud dari 'Umar, ia berkata,
"Barangsiapa mendapatkan dari Rasulullah sesuatu dari al-Quran,
maka serahkanlah. Perawi berkata, "Mereka menulis dalam
shuhuf, batu, dan tulang".
Riwayat di atas menunjukkan dengan pasti, bahwa para shahabat
ra tidak mencantumkan satupun ayat dalam mushhaf kecuali bisa
dipastikan bahwa ayat tersebut adalah al-Quran yang diturunkan
kepada Rasulullah saw.
Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan,
Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan
tentang pengumpulan Al-Quran, disana disebutkan, "Abu Bakar ra
memerintah seorang muadzin untuk mengumumkan kepada
masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar
mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul
Mukminin berkata, "Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah
aku! (Hafidzu 'ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha...).
Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan
kepada Hafshah. Hafshah berkata, "Tulislah, hafidzu...wa alshalaat al-wustha, wa al-shalaat al-'ashr..". 'Umar ra bertanya,
"Apakah kamu punya saksi?" Hafshah menjawab, "Tidak!". 'Umar
berkata, "Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang
disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya
bukti."
Berdasarkan riwayat ini, kita tidak mungkin lagi menyatakan
bolehnya membangun pokok keimanan dengan khabar ahad.
Riwayat di atas telah menunjukkan, bahwa Umar telah menolak
khabar yang disampaikan oleh Hafshah. Sebab, Hafshah tidak
memiliki saksi. Seandainya khabar ahad bisa diterima untuk
menetapkan al-Quran tentu Umar ra akan menulis khabar
Hafshah di dalam mushhaf.

Argumentasi Aqliyyah
Secara aqliy, ketika anda menyaksikan suatu peristiwa secara
langsung, dan terlibat di dalamnya, anda pasti akan menyakini
kebenaran peristiwa yang anda saksikan tersebut. Sebab, peristiwa
tersebut menyakinkan dari sisi anda. Namun, ketika anda
menyampaikan peristiwa itu kepada orang yang tidak menyaksikannya
secara langsung, tentu orang itu tidak langsung mempercayai ucapan
anda, meskipun anda sangat menyakini peristiwa itu. Peristiwa
tersebut hanya menyakinkan dari sisi anda, namun tidak bagi orang
yang tidak menyaksikan peristiwa itu secara langsung. Di sinilah
pentingnya itsbat (penetapan) terhadap apa yang anda sampaikan,
apakah berita yang anda sampaikan itu benar-benar menyakinkan
atau tidak.
Hal ini tidak ubahnya dengan kesaksian yang diberikan seorang
saksi kepada seorang qadliy. Seorang saksi harus membangun
kesaksiannya dengan bukti-bukti yang menyakinkan. Ia tidak boleh
bersaksi, kecuali jika ia menyaksikan kejadiannya secara langsung,
menyakinkan dan pasti. Sebab Rasulullah saw bersabda,
"Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka
bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah".38
Namun demikian, apa yang disaksikan oleh seorang saksi hanya
menyakinkan dari sisi saksi saja, tidak bagi qadliy. Ketika qadli
menerima kesaksian seorang saksi, tidak secara otomatis kesaksian
itu menyakinkan dari sisi qadliy -- meskipun, kesaksian itu
menyakinkan dari sisi saksi. Bahkan, seorang qadliy tidak harus
menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian seorang saksi. Perhatikan
riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw bersabda:
"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah
membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku.
Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada
yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku

38

Lihat pada Ahmad al-Daur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit

dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara
ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian
mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya
itu merupakan bagian dari api neraka"39.

Nash ini menunjukkan, bahwa Rasulullah saw memutuskan


perkara berdasarkan prasangkanya. Kesaksian yang diberikan kepada
saksi hanya menyakinkan dari sisi saksi, tidak bagi qadliy. Buktinya,
Rasulullah saw menyatakan kemungkinan adanya vonis yang salah.
Seandainya, berita yang disampaikan seorang saksi juga menyakinkan
dari sisi qadliy, tentu Rasulullah saw tidak akan menyatakan
kemungkinan adanya kesalahan dalam hal vonis.
Bahkan, Rasulullah saw telah menyatakan dengan jelas, bahwa
seorang hakim itu memutuskan sesuatu berdasarkan dzan, bukan
sekadar dengan keterangan yang disampaikan oleh seorang saksi.
Dari Amru bin al-Ash, beliau mendengar Rasulullah saw
bersabda: Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lantas ia
berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala.
Namun, jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara,
kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu
pahala.
Kenyataan seperti ini, sama persis dengan si anu yang
menyampaikan sebuah khabar kepada si fulan. Meskipun khabar itu
menyakinkan dari sisi si anu, namun dari sisi si fulan, khabar itu
tidaklah menyakinkan. Oleh karena itu, si fulan bisa menolak, atau
menerima berita dari si anu.
Namun demikian, jika berita itu telah masyhur dan menyakinkan,
maka dengan sendirinya, siapapun yang menyampaikan berita itu,
wajib kita yakini. Secara aqliy khabar yang disampaikan seseorang
atau lebih yang tidak mengantarkan kepada keyakinan, hanya akan
menghasilkan dzan belaka, tidak menyakinkan.

39

HR. Mutafaq Alaih

Seluruh keterangan di atas menunjukkan bahwa akal bisa


menetapkan bahwa berita yang disampaikan secara ahad tidak
menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan belaka.

PERSEPSI SALAH YANG HARUS DILURUSKAN


Rasulullah saw mengutus seorang utusan untuk menyampaikan
Islam baik masalah aqidah dan hukum kepada kabilah-kabilah
Arab dan para raja
Apakah diutusnya seorang atau beberapa orang shahabat di
wilayah-wilayah Islam, baik untuk mengajarkan masalah aqidah
maupun hukum syara, menunjukkan bahwa hadits ahad bisa
digunakan sebagai dalil dalam masalah aqidah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dibedakan terlebih dahulu
antara itsbat khabar (penetapan berita), khabar (berita), dengan
tabligh khabar (menyampaikan berita), syahadah (kesaksian).
Itsbat adalah penetapan suatu berita dari sisi, apakah berita itu
benar-benar qathiy (pasti) berasal dari sumber asal berita, ataukah
tidak pasti. Contohnya, dalam al-Sunan terdapat hadits yang
diriwayatkan dari Numan bin Basyir, bahwa Rasulullah saw bersabda,
Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari kurma
itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer, dari
gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa dibuat
khamer. Yang dimaksudkan itsbat khabar, adalah apakah khabar
yang dibawa oleh Numan bin Basyir benar-benar pasti (qathiy)
khabar dari Rasulullah saw, atau tidak pasti? Bila berita itu bisa
dibuktikan benar-benar berasal dari Rasulullah saw, maka dari sisi
itsbat berita tersebut adalah qathiy berasal dari Rasulullah saw.
Contoh lain adalah al-Quran al-Karim. Apakah al-Quran yang
dibukukan dalam mushhaf Utsmani itu benar-benar pasti berasal dari
Rasulullah saw, ataukah tidak pasti? Jika ia bisa dibuktikan memang
benar-benar berasal dari Rasulullah saw, maka al-Quran tersebut
adalah pasti berasal dari Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan
itsbat.
Khabar adalah, berita, informasi yang dibawa oleh seseorang.
Khabar bisa meliputi masalah aqidah ataupun hukum syara. Pada
hadits di atas, yang disebut khabar adalah matan hadits itu sendiri,
yakni, Sesungguhnya dari anggur itu bisa dibuat khamer, dan dari
kurma itu bisa dibuat khamer, dari madu itu bisa dibuat khamer,

dari gandum itu bisa dibikin khamer dan dari biji syair itupun bisa
dibuat khamer.
Kesaksian (syahadah) adalah penyampaian khabar (berita) oleh
saksi di hadapan qadliy di dalam majelis peradilan. Kesaksian ini
ditetapkan berdasarkan syarat-syarat tertentu. Kesaksian dianggap
batal bila tidak memenuhi nishab kesaksian. Misalnya, kesaksian
dalam masalah perzinaan nishabnya adalah empat orang. Jika kurang
dari empat orang saksi (laki-laki) maka kesaksiannya ditolak. Dalam
ruyatul hilal, saksi cukup satu orang saja. Untuk masalah muamalah
disyaratkan dua orang saksi.
Ini berbeda dengan masalah tabligh. Tabligh tidak disyaratkan
jumlah tertentu. Satu orang dianggap sah untuk mentablighkan Islam,
baik menyangkut masalah aqidah maupun hukum syara.
Tabligh khabar adalah menyampaikan informasi kepada orang
lain. Misalnya, ada informasi tentang kecelakaan lalu lintas.
Kemudian anda menyampaikan informasi ini kepada orang lain yang
jauh dari lokasi kecelakaan dan tidak melihat secara langsung
peristiwa kecelakaan tersebut. Aktivitas menyampaikan informasi
kepada orang lain ini disebut dengan tabligh khabar. Misalnya, Ali ra
menyampaikan surat al-Taubah kepada penduduk Yaman. Apa yang
dilakukan oleh Ali ra tersebut termasuk bagian dari tabligh khabar.
Tabligh berbeda dengan istbat khabar. Tablig adalah
menyampaikan khabar tanpa memandang shahih atau tidaknya berita
yang disampaikan, dan juga tidak disyaratkan jumlah tertentu
(sebagaimana kesaksian). Tabligh akan terjadi hingga akhir masa.
Penetapan sebuah berita (itsbat) apakah mutawatir atau tidak sudah
selesai, dan hanya terjadi pada thabaqat pertama, kedua, dan ketiga
(masa shahabat, tabiun dan tabiut tabiin).
Memang benar, Rasulullah saw telah mengutus seorang shahabat
atau beberapa orang shahabat untuk menyampaikan Islam kepada
sekelompok masyarakat, dan raja-raja. Rasulullah saw juga pernah
mengutus Ali ra untuk membacakan surat Taubah kepada
sekelompok masyarakat. Riwayat-riwayat semacam ini jumlahnya
sangatlah banyak.

Akan tetapi, riwayat ini hanya menunjukkan diterimanya khabar


ahad dalam masalah tabligh. Baik tabligh yang berhubungan dengan
aqidah maupun hukum. Akan tetapi, riwayat-riwayat semacam ini
tidak menunjukkan diterimanya khabar ahad sebagai dalil dalam
masalah aqidah. Tidak boleh dikatakan bahwa penerimaan terhadap
tabligh Islam sama juga artinya dengan menerima khabar ahad
sebagai dalil dalam masalah aqidah. Tidak bisa dinyatakan seperti
itu, sebab, penerimaan terhadap tabligh Islam berbeda dengan
penerimaan khabar ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah.
Dalilnya adalah sebagai berikut;
Muballigh (orang yang menyampaikan berita) harus bisa
membuktikan dengan akalnya bahwa apa yang ia sampaikan itu
benar-benar menyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar
menyakinkan (qathiy), muballigh harus menyakini berita yang
dibawanya itu, dan dianggap kafir jika ia tidak menyakini berita yang
telah nyata-nyata qathiy itu. Ini menunjukkan bahwa khabar yang
dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu.
Artinya dirinya harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu
sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat. Ini berbeda
dengan orang yang menerima tabligh. Ia bisa menolak khabar yang
dibawa oleh seseorang, sama saja apakah khabar itu berkaitan
dengan masalah aqidah atau hukum. Penolakan dirinya terhadap
tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran. Akan
tetapi jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil
yang pasti (qathiy), hal semacam inilah yang bisa dianggap sebagai
tindak kekufuran.
Dalilnya adalah, para shahabat ra terbiasa melakukan penelitian
terlebih dahulu terhadap berita yang mereka terima. Shahabat Umar
ra pernah menolak tabligh khabar dari Hafshah ra. Demikian juga
para shahabat yang lain.
Para ulama hadits juga telah mengamalkan hal ini. Sebagian
ulama hadits menolak riwayat yang oleh ulama hadits lainnya
dianggap sebagai hadits yang shahih. Riwayat yang dishahihkan oleh
sebagian ulama belum tentu dishahihkan oleh ulama yang lain.

Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud,


kadang-kadang dilemahkan atau ditolak oleh sebagian ahli hadits lain.
Contohnya adalah, Imam Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari
Amru bin Syuaib dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata,
Rasulullah saw bersabda, Kaum mukmin itu saling menanggung
darahnya Perawi hadits ini, Amru bin Syuaib mendapatkan hadits
ini dari bapaknya dan dari kakeknya. Sebagian ulama hadits
menerima haditsnya sebagian lagi menolaknya. Imam Tirmidziy
berkata, Mohammad Ismail berkata, Saya melihat bahwa Ahmad,
Ishaq menerima haditsnya Amru bin Syuaib sebagai hujjah. Ali bin
Abi Abdillah bin al-Madani berkata, Yahya bin Said berkata,
Menurut kami hadits Amru bin Syuaib adalah hadits yang lemah.
Contoh lain adalah, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Daud, Ahmad, al-Nasaaiy, Ibnu Majah, dan Tirmidziy dari Abu
Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
saw, Wahai Rasulullah, kami tengah berlayar di lautan, sedangkan
bekal air (tawar) kami sangat sedikit. Jika kami berwudlu dengan
bekal air kami, maka kami akan kehausan, Apakah kami boleh
berwudlu dengan air laut? Rasulullah saw menjawab, Air laut itu
suci dan bangkainya halal. Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidziy
dari Imam Bukhari, sedangkan ia menshahihkannya. Ibnu Abdi al-Barr
dan Ibnu Mundzir juga menshahihkan hadits ini. Ibnu al-Asiir dalam
Syarh al-Musnad menyatakan, Ini adalah hadits shahih dan masyhur,
dan diriwayatkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka.
Mereka menggunakan hadits ini sebagai hujjah. Rijalnya juga tsiqat
(terpercaya). Imam Syafiiy tatkala mengomentari isnad hadits ini ia
berkata, Ia termasuk orang yang tidak saya ketahui.
Dalam kitab Tanaaqudlaat, juga disebutkan, bahwa Nashiruddin
al-Albani telah menolak (melemahkan) hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sebagian ahli hadits.
Bila penolakan terhadap tabligh riwayat ahad [ telah dibuktikan
bahwa ia adalah riwayat ahad], dianggap kekufuran, betapa para
ulama sekaliber Imam Syafiiy, Abu Daud, Tirmidziy, serta ulamaulama lain telah kafir seluruhnya. Atau apakah anda akan
menyatakan bahwa Nashiruddin al-Albani telah kafir karena menolak
khabar ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, serta Imam-imam
ahli Hadits lainnya? Alasannya, karena ia telah menolak tabligh
khabar ahad dari perawi-perawi yang lain. Apakah anda berani

mengkafirkan ulama-ulama besar tersebut, hanya karena mereka


menolak riwayat-riwayat ahad!
Ini membuktikan bahwa penolakan terhadap tabligh khabar tidak
berujung kepada kekafiran. Akan tetapi menolak tabligh Islam, yang
khabarnya telah dibuktikan kepastiannya [itsbatnya qathiy],
misalnya al-Quran, dan Kenabian Mohammad saw, serta hadits-hadits
mutawatir, bisa menjatuhkan seseorang dalam kekafiran!! Orang yang
menolak al-Quran yang telah nyata-nyata dibuktikan berdasarkan
bukti-bukti yang menyakinkan, maka dirinya telah keluar dari Islam
tanpa ada khilaf. Artinya, jika sebuah berita telah ditetapkan
(berdasarkan proses itsbat (penetapan)) sebagai berita yang
menyakinkan (qathiy) berasal dari Rasulullah saw, maka menolak
berita semacam ini bisa menjatuhkan seseorang ke dalam kekafiran.
Jumhur ulama telah menetapkan bahwa hanya berita mutawatir saja
yang menghasilkan keyakinan, dari sisi itsbat. Berita ahad tidak
menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan (keraguan).
Sedangkan masalah mengambil hadits ahad sebagai dalil dalam
masalah aqidah itu adalah masalah lain. Karena aqidah harus
didasarkan kepada sesuatu yang menyakinkan, maka dalil-dalil yang
membangun aqidah pun harus qathiy dan menyakinkan. Bila aqidah
harus menyakinkan dan tidak boleh meragukan, maka dalil yang bisa
membangunnya haruslah dalil yang bersifat menyakinkan. Iman
semacam ini tidak mungkin diwujudkan dengan dalil-dalil yang
bersifat dzanniyyah seperti halnya hadits ahad.
Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Perkara Aqidah
= Tidak Pernah Dikatakan oleh Ulama Salaf
Pendapat semacam ini adalah pendapat premature yang tidak
bisa diterima akal sehat. Sebab, pembahasan semacam ini hadits
ahad menghasilkan keyakinan atau tidaktermasuk dalam
pembahasan ushul dan pondasi bagi kaedah-kaedah fiqhiyyah.
Padahal ilmu ushul fiqh, ilmu mushthalah hadits, ilmu nahwu, sharaf,
balaghah, dan seterusnya adalah ilmu yang dibuat setelah periode
ulama salaf. Lalu, apakah anda akan menolak ilmu-ilmu ini, hanya
dengan alasan karena tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf?

Kita harus memahami terlebih dahulu definisi salaf, tatkala kita


menyinggung aqidah salaf dan hal-hal yang mereka pegangi. Jika
yang dimaksudkan generasi salaf adalah sebagaimana sabda
Rasulullah saw, Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian
generasi berikutnya, dan kemudian generasi berikutnya, maka tidak
secara otomatis pendapat yang bertentangan dengan pendapat ulama
salaf, atau yang tidak pernah dikatakan oleh mereka terkategori
bidah dan sesat. Jika anda konsisten untuk memegang aqidah salaf,
dan hukum yang digali salaf, sedangkan yang lain tidak benar dan
bidah, atau tidak boleh diikuti karena tidak dikatakan ulama salaf--,
lalu bagaimana komentar anda tentang ilmu ushul fiqh yang digagas
pertama kali oleh Imam Syafiiy. Bukankah beliau adalah orang yang
pertama kali meletakkan landasan ilmu ushul fiqh pertyama kali,
melalui bukunya al-Risalah? Selain itu, bukankah beliau hidup setelah
masa tiga masa itu. Bahkan beliau tidak termasuk tabiin, maupun
tabiut tabiin. Apakah anda akan mengatyakan bahwa yang diperbuat
imam Syafii itu bidah karena tidak pernah dibicarakan oleh ulama
salaf? Kalau merujuk hanya kepada ulama salaf sebuah keharusan,
sedangkan yang lain harus ditinggalkan, mengapa anda memakai kitab
Shahih Bukhari dan Muslim?. Bukankah keduanya dibukukan setelah
periode salaf ? Apakah anda menyatakan bahwa Imam Bukhari dan
Muslim melakukan tindakan bidah?
Oleh karena itu, pertanyaannya bukan apakah telah dibicarakan
oleh ulama salaf atau belum, sesuai dengan ulama salaf atau tidak.
Yang terpenting adalah apakah sebuah pendapat sejalan dengan alQuran dan Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas? Tidak perlu kita
nyatakan siapa yang menggali hukum tersebut. Pendapat shahabat
saja bukan dalil bagi kita, bahkan bisa jadi pendapat mereka salah.
Oleh karena itu, yang menjadi tolok ukur adalah kebenarannya
sendiri, bukan dikatakan ulama salaf atau tidak. Sebab, ulama salaf
tidaklah mashum.
Di sisi yang lain, ijtihad untuk menggali hukum dari al-Quran dan
Sunnah harus dilakukan hingga akhir jaman. Padahal, ada peristiwaperistiwa maupun kejadian-kejadian yang tidak dijumpai di generasi
salaf. Namun, kita tetap harus menggali hukum berdasarkan nashnash al-Quran dan Sunnah, dan metodologi istinbath yang shahih.
Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Dalil Dalam Masalah Aqidah
= Menolak Hadits Ahad

Ini
adalah
kesimpulan
premature
ketidaktahuan dirinya mengenai ushul fiqh.

yang

menunjukkan

Hadits ahad yang tsiqat dan terpercaya wajib diamalkan, dan bisa
digunakan hujjah dalam perkara syariat (amal). Sedangkan dalam
perkara aqidah, yang membutuhkan keyakinan (ilmu) , maka hadits
ahad tidak boleh dijadikan hujjah di dalamnya. Sebab, iman
mensyaratkan harus diyakini seratus persen tanpa ada syubhat
ataupun kesamaran. Sedangkan hadits ahad masih mengandung
syubhat dan kesamaran. Walhasil, jika iman mengharuskan adanya
keyakinan, maka keimanan (aqidah) tidak mungkin dibangun dengan
hadits ahad.
Lalu mereka mengeluarkan sebuah statement, Kalau anda tidak
menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam perkara aqidah,
mengapa anda mesti mengerjakannya? Bukankah ini berarti bahwa
apa yang anda kerjakan tidak didasarkan pada keyakinan atau iman?
Padahal, bukankah kita diperintah untuk mengerjakan perbuatan
apapun atas landasan iman?
Benar, kita harus mengerjakan perbuatan apapun karena
keimanan kita. Kita tidak boleh mengerjakan perbuatan bukan karena
motivasi iman. Namun, masalah ini (perbuatan yang harus
berlandaskan motivasi iman) harus dibedakan dengan berhujjah
dengan dalil ahad dalam masalah aqidah. Dalam masalah amal
(perbuatan) Allah swt dan juga rasulNya tidak mensyaratkan harus
dibangun berdasarkan dalil yang menyakinkan. Untuk perkara amal,
Allah dan Rasulnya mencukupkan kepada kita untuk bersandar dengan
dalil-dalil yang dzan (dilalahnya dan tsubutnya (hadits ahad). Syara
tidak mensyaratkan bahwa untuk mengerjakan sebuah amal harus
dibangun berdasarkan dalil-dalil yang menyakinkan. Ini menunjukkan,
tatkala kami beramal menggunakan hadits ahad dibarengi dengan
sebuah keyakinan (keimanan) bahwa Allah membolehkan kita untuk
beramal dengan dalil-dalil dzan; misalnya hadits ahad. Namun, Allah
melarang kita untuk menggunakan dalil-dalil dzan (hadits ahad) untuk
membangun pokok aqidah.
Atas dasar itu, ketika kami beramal dengan hadits ahad sama
sekali tidak berarti bahwa, kami mengerjakan perbuatan tersebut
tidak didasarkan pada motivasi iman.

Perhatikan juga contoh berikut ini. Para ulama berbeda


pendapat dalam menafsirkan kata menyentuh pada ayat tentang
bersuci. Sebagian ulama madzhab Syafiiy berpendapat bahwa kata
menyentuh di ayat tersebut diartikan secara hakiki. Artinya, jika
orang yang telah berwudlu menyentuh wanita, maka batal
wudlunya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa kata
menyentuh di situ bermakna bersetubuh. Walhasil, seseorang tidak
batal wudlunya bila menyentuh wanita, kecuali jika ia telah
menyetubuhinya. Tentunya, bagi orang yang memegang pendapat
pertama menyandarkan perbuatannya dengan dalil yang dilalahnya
dzanniy. Dengan kata lain ia berbuat dengan bersandar kepada
prasangka kuatnya (dzan) dan tidak didasarkan pada sesuatu yang
menyakinkan. Namun demikian, tidak boleh disimpulkan bahwa kedua
orang itu beramal tanpa dengan motivasi dan landasan keimanan.
Jadi tidak benar, ketika kami mengerjakan sebuah perbuatan
yang didasarkan pada hadits ahad tidak dibarengi dengan keimanan.
Yang benar adalah, kami menyakini bahwa, tatkala kami mengerjakan
perbuatan yang disandarkan pada hadits ahad, itu memang karena
diperintahkan Allah. Sebab, Allah tidak mensyaratkan bahwa dalil
yang membangun perbuatan harus dalil yang menghasilkan keyakinan.
Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi saw
bersabda:

"Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah


membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku.
Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau dari pada
yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku
dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara
ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian
mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya
itu merupakan bagian dari api neraka"40.

40

HR. Muttafaq Alaih

Ini menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah menjatuhkan vonis,


beliau tidak menyandarkan pada dalil (bukti) yang menyakinkan.
Sebab, kesaksian yang disampaikan kepada beliau tidak menyakinkan.
Bahkan beliau menyatakan bahwa vonis beliau bisa jadi salah. Akan
tetapi, beliau tetap menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian yang
beliau anggap kuat (ghalabat dzan). Beliau menjatuhkan saksi bukan
karena dalil (bukti) yang menyakinkan. Padahal, penjatuhan vonis
termasuk bagian dari amal. Ini menunjukkan bahwa amal tidak harus
disandarkan dengan dalil yang qathiy.
Lalu, apakah anda akan mengatakan, bagaimana Rasulullah bisa
menjatuhkan vonis sedangkan dalil yang membangun vonis tersebut
tidak menyakinkan? Apakah anda akan menyimpulkan bahwa
Rasulullah saw mengerjakan suatu perbuatan namun tidak didasarkan
pada keimanannya?
Walhasil, kami tidak mengingkari atau menolak hadits ahad.
Sebab, mengingkari hadits ahad sama dengan mengingkari orang yang
adil. Akan tetapi, ada dalil lain yang menunjukkan bahwa, Al-Quran
telah melarang kita mengambil dalil-dalil dzan dalam perkara
aqidah. Sedangkan dalam perkara hukum hadits ahad wajib untuk
diamalkan dan sah digunakan sebagai hujjah.
Demikianlah, kami telah menjelaskan kepada anda dengan
penjelasan yang jelas dan gamblang. Seluruh penjelasan di atas telah
menjelaskan bahwa hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam
perkara aqidah. Pendapat ini merupakan pendapat terkuat yang
wajib untuk diikuti. Siapa saja yang menolak perkara ini sungguh ia
telah merendahkan akal pikirannya sendiri. Semoga Allah
menyadarkan orang-orang yang bebal, dan menunjukkan orang-orang
yang ragu.
Wahai kaum muslim, berhati-hatilah kalian dalam perkara aqidah
ini. Sebab, aqidah yang bersih menjadi jaminan keselamatan kita.
Aqidah bersih yang sanggup memurnikan dan mensucikan aqidah
Islam hanya akan tegak dengan hujjah yang kuat dan menyakinkan.

Di sisi yang lain, menegakkan syariat Allah dengan tertegaknya


Khilafah Islamiyyah merupakan refleksi tauhid uluhiyyah yang paling
tinggi. Mengabaikan perkara ini akan menjatuhkan siapapun ke
lembah dosa dan kehinaan. Mengapa kita tidak segera terhimpun dan
bersatu untuk menegakkan kembali Khilafah yang agung ini, agar
syariat Allah bisa diterapkan secara kaamil dan syamil; dan agar
tauhid uluhiyyah kita tidak terkotori? Mengapa kita tidak
menyibukkan diri untuk urusan ini? Sementara itu kita malah asyik
masyuk dengan masalah ikhtilaf yang sampai hari kiamat tidak akan
pernah selesai?

SIKSA KUBUR
Adanya siksa kubur banyak disebutkan di dalam sunnah. Akan
tetapi, juga banyak ayat di dalam al-Quran yang menunjukkan tidak
adanya siksa sebelum hari kiamat. Misalnya firman Allah swt, artinya,
"Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira, bahwa
Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim.
Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari
yang pada waktu itu mata mereka terbelalak." (Ibrahim:42).
"Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang
yang berdosa, "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan
sesaat saja". Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari
kebenaran)." (al-Ruum:55)
"Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan
segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka
berkata, "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan
kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan
(Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya."
(Yasiin:51-52).
Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas tidak adanya siksa
sebelum hari kiamat. Meskipun demikian, di dalam sunnah banyak
dituturkan tentang adanya siksa kubur, bahkan sebagian ahli hadits
menyatakan bahwa hadits-hadits tentang siksa kubur mencapai
derajat mutawatir maknawiy.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, ada nash yang
menyatakan adanya siksa kubur, sedangkan nash yang lain menafikan
adanya siksa sebelum hari kiamat. Bila dipandang sekilas, kedua
kelompok nash-nash ini saling bertentangan satu dengan yang lain.
Lalu, bagaimana kita mengkompromikan nash-nash yang bertentangan
tersebut?
Pada dasarnya, wahyu dari Allah swt tidak mungkin saling
bertentangan. Atas dasar itu, pertentangan-pertentangan yang
terdapat di dalam nash tidak boleh dipandang sebagai pertentangan
yang tidak mungkin dikompromikan, akan tetapi harus diupayakan

untuk dikompromikan untuk menyelamatkan nash dari pertentangan.


Allah swt telah berfirman, artinya:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau
sekiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah swt, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.[al-Nisaa:82]
Benar, banyak hadits menuturkan tentang siksa kubur. Beberapa
ayat al-Quran juga mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun
demikian, ayat-ayat tersebut dilalahnya (penunjukkannya) tidak
qath'iy. Kami akan mengetengahkan sebagian ayat tersebut. Allah swt
berfirman, artinya,
"Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang
(maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan
petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya
Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan
kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)
"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan
ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat."
(Ibrahiim:27)
"Kalau kamu melihat ketika pada malaikat mencabut jiwa orangorang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan
berkata),"Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar,"
(tentulah kamu akan merasa negeri). (al-Anfaal:50)
Ayat terakhir surat al-Anfaal ini dalalahnya qath'iy, bahwa
malaikat menyiksa orang kafir saat mencabut nyawa mereka. Ayat
seperti itu juga disebutkan dalam surat Muhammad,
"Bagaimanakah keadaan mereka apabila para malaikat (maut)
mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan
punggung mereka? (Mohammad:27). Juga dalam surat al-An'am,
"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orangorang yang dzalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul
maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, sambil
berkata, "Keluarkanlah nyawamu" (al-An'aam:93).

Ayat-ayat di atas tidak menunjukkan adanya siksa kubur, namun


menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Ayat-ayat semacam
ini tidak menunjukkan secara pasti (qathiy) tentang adanya siksa
kubur, akan tetapi hanya menunjukkan adanya siksa menjelang
kematian. Karena dilalahnya tidak qathiy, ayat-ayat ini tidak boleh
dijadikan dalil untuk menyakini adanya siksa kubur. Sebab, keyakinan
harus didasarkan kepada nash-nash yang dilalahnya pasti (qathiy)41.
Penjelasan Mengenai Surat al-Ghafir : 46 & Ibrahim:27 dan Jalan
Komprominya
Surat al-Ghafir ayat 46 dan surat Ibrahim ayat 27 adalah surat
Makkiyah. Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad
dituturkan dengan sangat jelas, bahwa Rasulullah saw tidak
mengetahui siksa kubur kecuali ketika di Medinah. Itupun pada saat
terakhir ketika terjadi gerhana matahari, dan kematian puteranya
Ibrahim. Disebutkan dalam shahih Bukhari, "Dari 'Amrah binti 'Abd alRahman dari 'Aisyah isteri Nabi saw, bahwa orang-orang Yahudi
bertanya kepada 'Aisyah. Kemudian 'Aisyah bertanya kepada mereka,
"Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa kubur? Kemudian
'Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, "Apakah manusia akan
disiksa di dalam kuburnya? Rasulullah saw menjawab, "Berlindunglah
kepada Allah dari hal itu!" (Fath al-Baariy, juz.2, hal.431).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan isnad atas syarat Bukhari
dari Sa'id bin 'Amru bin Sa'id al-Amwiy dari 'Aisyah ra, "Orang-orang
Yahudi ingin melayani 'Aisyah, akan tetapi mereka tidak mendapat
kebaikan apapun dari 'Aisyah, kecuali mereka bertanya kepada
'Aisyah, "Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa kubur?"
'Aisyah berkata, "Saya kemudian bertanya kepada Rasulullah saw,
"Wahai Rasulullah apakah di dalam kubur ada siksa? Rasul menjawab,
"Dustalah orang Yahudi!" Tidak ada siksa kecuali pada hari Kiamat.
Kemudian beliau diam. Setelah itu atas kehendak Allah tetap diam.
Kemudian pada suatu hari, yaitu ketika tengah hari, beliau menyeru
dengan suara yang tinggi, "Wahai manusia mohonlah kepada Allah
dari siksa kubur. Sesungguhnya siksa kubur adalah haq".
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Ibnu Syihaab dari
'Urwah dari 'Aisyah ra berkata, "Seorang wanita Yahudi
41

Prof Mahmud Syaltut, Islaam, Aqidah wa Syariiah, hal.61-63

mendatangiku ('Aisyah) dan bertanya, "Apakah kamu merasa bahwa


kamu akan disiksa di dalam kubur? Kemudian Aisyah datang kepada
Rasulullah saw dan berkata, "Sesungguhnya orang Yahudi disiksa (di
dalam kubur), kemudian 'Aisyah berkata, "Kemudian Rasulullah diam
selama satu malam.kemudian berkata. "Apakah kamu merasa, bahwa
telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan disiksa dalam kubur?"
'Aisyah berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw berlindung dari
siksa kubur."
Allah swt berfirman, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang
beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan
di akherat." (Ibrahiim:27). Ini adalah surat Makiyyah yang
mengisyaratkan adanya siksa kubur.
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata, "Bukhari
berkata, hadatsana....dari Bara' bin 'Aazib ra, bahwa Rasulullah saw
bersabda, "Seorang muslim bila ditanya di dalam kubur akan bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Mohammad Utusan Allah.
Ini senada dengan firman Allah, artinya, "Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam
kehidupan dunia dan di akherat." (Ibrahiim:27). Imam Muslim juga
meriwayatkan hadits, dan sebagian Jama'ah. Walhasil, sebagian
ulama tafsir telah menyatakan, bahwa surat Ibrahim ayat 27 ini
mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun, kesimpulan ini
disandarkan dari mafhum bukan manthuq ayat tersebut --Ibrahim
ayat 27.
Pada ayat lain, Allah swt telah berfirman, artinya, "Kepada
mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya
menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari
berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada
malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan kaummnya ke dalam adzab yang
sangat keras." (al-Ghafir:46)
Imam Ibnu Katsir berkata, "Ayat ini adalah ayat paling asal, yang
digunakan istidlal oleh ahlu sunnah tentang adanya siksa barzakh di
dalam kubur. Selanjutnya, Ibnu Kastir berkata,"Tidak ragu lagi
bahwa ayat ini adalah ayat Makiyyah".

Kita bisa mengajukan pertanyaan kritis atas tafsir kedua surat di


atas surat Ibrahim;27 dan al-Ghafir:46. Bagaimana mungkin dua ayat
ini bisa digunakan dalil untuk menunjukkan adanya siksa kubur,
padahal ayat-ayat ini turun di Mekah sebelum hijrah? Sedangkan
Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali setelah beliau
berada di Medinah dan saat-saat akhir beliau? Ayat itu tidak mungkin
berbicara tentang siksa kubur, sebab Rasulullah saw tatkala di Mekah
belum mengetahui tentang adanya siksa kubur. Beliau mengetahui
siksa kubur setelah berada di Medinah. Lalu, bagaimana jalan
komprominya? Para ulama berusaha memecahkan persoalan ini
dengan berbagai macam pendekatan.
Imam Ibnu Katsir berupaya untuk menjawab persoalan ini,
dengan menyatakan,Jawabnya adalah, surat al-Ghafir:46 ini,
"Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang
(maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang
sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat.",
menunjukkan, bahwa siksa neraka akan ditampakkan kepada arwah
pada saat pagi dan petang di alam barzakh. Ayat ini tidak
menunjukkan siksa atas jasadnya di dalam kubur. Sebab yang
demikian itu dikhususkan untuk ruh. Adapun yang terjadi pada jasad
di dalam barzakh dan penyiksaannya, tidak ditunjukkan oleh ayat
tersebut, namun ditunjukkan dalam sunnah. Kemudian beliau
menyambung, "Ada yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan
penyiksaan terhadap orang kafir di barzakh, akan tetapi, ayat itu
tidak berhubungan dengan siksa bagi kaum muslimin atas dosadosanya di dalam kuburnya.
Imam Ibnu Hajar juga berupaya memecahkan persoalan itu
sebagai berikut, "Sungguh hal ini sangat sulit, sebab surat Ibrahim
:27 dan al-Ghafir:46 adalah surat Makiyah. Pemecahannya adalah
sebagai berikut, Adanya siksa kubur lebih tepat diambil dari jalan
mafhum (kontekstual). Surat Makiyah itu menunjukkan, bahwa siksa
kubur adalah siksa kubur yang ditujukan bagi orang yang tidak
memiliki iman. Manthuq (tekstual) pada surat al-Ghafir:46,
menunjukkan bahwa siksa kubur tersebut akan ditujukan kepada
Fir'aun dan pengikutnya, serta bagi orang yang termasuk dalam
golongan orang-orang kafir. Sedangkan yang diingkari oleh Rasulullah
saw dalam hadits riwayat Aisyah-- adalah terjadinya siksa kubur
atas orang-orang yang mentauhidkan Allah. Selanjutnya, Rasulullah
saw mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa terjadi pada orang yang

dikehendaki oleh Allah dari golongan orang mukmin. Kemudian


Rasulullah saw menetapkannya, mengingatkan akan adanya siksa
kubur, dan menyampaikan agar berlindung dari siksa kubur, sebagai
pemberitahuan, dan petunjuk bagi umatnya. Maka selesailah ta'arudl
(pertentangan ayat tersebut) dengan pujian kepada Allah swt. Inilah
pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy.[lihat Fath al-Baariy, Juz. III,
hal. 183]
Walhasil, menurut Imam Ibnu Katsir, surat al-Ghafir:46 dan
Ibrahim:27 hanya menunjukkan tentang dinampakkannya siksa neraka
bagi para arwah di alam barzakh. Masih menurut beliau, ayat
tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya siksa atas jasad di
dalam kubur. Sebab, siksa yang terjadi di alam kubur hanya akan
menimpa pada ruh, bukan jasad. Beliau menambahkan, ayat ini tidak
menunjukkan adanya siksa atas jasad di alam barzakh.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengkompromikan pertentangan tersebut
dengan penjelasan sebagai berikut; Surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27
hanya menunjukkan adanya siksa bagi orang-orang kafir di dalam
kuburnya. Tatkala, Rasulullah saw masih di Mekah beliau telah
mengetahui adanya siksa kubur bagi orang kafir, namun beliau belum
memahami, apakah orang mukmin juga akan dikenai siksa kubur.
Setelah beliau di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa siksa
kubur itu bisa mengenai kaum mukmin. Jadi, penolakan tentang
adanya siksa kubur pada hadits riwayat Aisyah itu, hanya
berhubungan dengan penolakan beliau atas adanya siksa kubur bagi
orang mukmin, bukan penolakan adanya siksa kubur atas orang kafir.
Beliau telah memahami sejak di Mekah, bahwa siksa kubur itu akan
ditimpakan kepada orang kafir. Namun beliau belum mengetahui,
apakah siksa kubur itu bisa juga dijatuhkan kepada orang mukmin.
Setelah di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa orang mukmin
juga bisa terkena siksa kubur.
Bila dikaji secara mendalam, baik Ibnu Hajar maupun Ibnu Katsir
belum menyelesaikan secara tuntas persoalan ini. Keduanya hanya
melihat dari satu sisi belaka, dan mengesampingkan sisi yang paling
penting; yaitu, apakah boleh bagi Rasulullah saw menyampaikan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah agama-- tanpa ilmu
pengetahuan. Apakah boleh bagi rasul salah dalam tablighnya, dan
berkali-kali melakukan kesalahan?"

Permasalahan
mengenai
siksa
kubur berbeda
dengan
permasalahan penyerbukan kurma; sehingga bila Rasulullah saw salah
dalam masalah tersebut, beliau saw bisa berkata, "Kalian lebih
mengerti urusan kalian." Persoalan adanya siksa kubur menyangkut
persoalan kemurnian agama Islam. Masalah ini juga berhubungan
dengan masalah ghaib. Tak seorangpun bisa memahami alam ghaib,
kecuali ada keterangan dari Allah swt. Bila Rasulullah saw ditanya
perkara semacam ini, beliau tidak memberikan jawaban, sampai
datangnya wahyu dari Allah swt. Sebagian ulama dan ahli ilmu
menyatakan, bahwa pertentangan nash-nash ini sangat sulit untuk
dikompromikan . Mereka mengambil kesimpulan, bahwa hadits
'Aisyah dengan wanita Yahudi harus ditolak dirayahnya (dari sisi
matannya). Langkah ini mereka tempuh untuk menghindari
penakwilan-penakwilan yang justru telah menyimpang dan
bertentangan dengan nash-nash yang qathiy tsubutnya.
Walhasil, kami berpendapat bahwa nash-nash yang berbicara
tentang siksa kubur, dalalahnya tidak qath'iy, baik siksa kubur yang
berhubungan dengan ruh saja, atau ruh dan jasad. Ibnu Hajar
berkata," Pengarang (Bukhari) tidak mengingkari penjelasan
mengenai adzab kubur yang menimpa atas ruh saja, atau atas ruh
dan jasad. Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat yang
sangat masyhur di kalangan para 'ulama mutakalimin. Masalah ini
seakan-akan telah ditinggalkan. Sebab, dalalah yang ditunjukkan
tidak qath'iy (pasti). Tidak ada nash yang menunjukkan secara pasti,
yang mengarah pada salah satu dari dua penunjukkan itu (ruh saja,
atau ruh dan jasad). Walhasil, tidak satu hukum saja yang bisa
diambil dalam masalah ini. Dan cukuplah dengan adanya perbedaan
pendapat dalam masalah ini, yakni orang (yang berpendapat)
menafikan sama sekali 'adzab kubur, sebagaimana orang-orang
Khawarij dan sebagian 'ulama Mu'tazilah semisal, Dlarar bin 'Amru,
Basyar al-Marisiy; dan orang yang menerima adanya siksa kubur".
[Fath al-Baariy, juz.3, hal. 180]. Ibnu Hajar menyambung, "Ibnu
Haram dan Ibnu Habirah menyatakan bahwa persoalan ini terjadi
pada ruh saja, tidak menimpa pada jasad. Jumhur 'ulama menolak
pendapat ini dan berkata, "..terjadi pada ruh dan jasad." Kompromi
dari dua pendapat ini adalah, siksa kubur itu hanya terjadi pada ruh
saja. Adapun mengenai mayit yang bersaksi dalam kuburnya, ini
adalah masalah yang berbeda, dan (juga) tidak berhubungan dengan
diamnya mayit di kubur, atau yang lain, atau sempit atau luasnya
kubur mereka. "[hal.182].

Adapun firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka


pada pagi dan petang" (al-Ghafir:46), dalalahnya tidak pasti
(qath'iy). Ayat ini memberikan arah pengertian bahwa penyiksaan itu
ada yang terjadi sebelum hari kiamat. Namun ada pula ayat yang
memberikan arah pengertian yang bertentangan, yakni, siksa itu
hanya akan terjadi pada hari kiamat. Nash-nash seperti ini cukup
banyak. Allah swt berfirman dalam surat al-Kahfi, "..kemudian ditiup
lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya. Dan
kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir
dengan jelas." (18:99-100).
Penjelasan Tentang Surat al-Ghafir:46, Beserta Jalan Komprominya
Allah swt telah berfirman, artinya,
"Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang
(maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan
petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya
Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun dan
kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46)
Sebagian orang berpendapat bahwa kata "yaum taquumu alsaaah (hari kiamat) yang disambungkan pada kata "ghadwan wa
ghasyiyyan" (pada pagi dan petang) adalah dua hal yang terjadi pada
dua keadaan yang berbeda. Mereka menyatakan, bahwa neraka yang
ditampakkan pada pagi dan petang itu terjadi sebelum hari kiamat,
bukan terjadi pada hari kiamat. Dengan penjelasan semacam ini,
mereka ingin berdalil dengan ayat ini, bahwa siksa itu bisa saja
terjadi sebelum hari kiamat, yakni adanya siksa kubur. Pendapat ini
tidak tepat. Sebab 'athaf tidak selalu menunjukkan dua keadaan
yang berbeda (terpisah). Misalnya, Allah swt berfirman, "Dan Dialah
Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi
dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (alZukhruf:84). Seandainya wawu 'athaf selalu menetapkan bahwa
ma'thuf (yang disambung) berbeda (terpisah) sama sekali dengan
ma'thuf 'alaihi (yang menyambung), maka ayat tersebut (al-Zukhruf)
memiliki makna bahwa ilah (sesembahan) di langit berbeda (terpisah)
dengan ilah di bumi. Maha Suci Allah Tidak ada Tuhan selain Dia.

Walhasil, firman Allah swt, "Kepada mereka dinampakkan neraka


pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka
neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari
terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,"Masukkanlah Fir'aun
dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras." (al-Ghafir:46);
harus dibawa kepada pengertian, bahwa neraka akan ditampakkan
kepada mereka setelah peniupan sangkakala pada awal terjadinya
hari kiamat Pada saat itulah, awal terjadinya 'adzab (siksa).
Selanjutnya, mereka dimasukkan ke dalam siksa yang sangat pedih.
Namun demikian, hadits shahih yang meriwayatkan tentang
adanya siksa kubur jumlahnya sangat banyak. Ibnu Hajar
menyatakan, "Ada hadits-hadits yang meriwayatkan tentang siksa
kubur selain hadits-hadits ini (kemudian ia menyebut enam buah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada bab ini), sebagian
diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Abu Ayyub, Said, Zaid
bin Arqam, Ummu Khalid dalam shahih Bukhari Muslim atau di salah
satu dari keduanya; juga dari Jabir, Abu Sa'id menurut Ibnu
Mardawaih, dari 'Umar, 'Abd al-Rahman bin Hasanah, dan 'Abd alAmru menurut Abu Dawud, dan dari Ibnu Mas'ud menurut alThahawiy, dari Abu Bakrah, Asma' bin Yazid menurut al-Nasaiy, dan
dari Ibnu Mubasysyir menurut Ibnu Abi Syaibah, dan dari selain
mereka." [Fath al-Baariy; juz.III, hal.186]
Sebagian 'ulama menyatakan, bahwa hadits ini telah mencapai
derajat mutawatir. Seandainya tidak ada nash-nash yang saling
bertentangan, sungguh kami juga akan menyatakan bahwa hadits
tentang siksa kubur mutawatir. Akan tetapi nash-nash tersebut
bertentangan sehingga menurunkan derajat kemutawatirannya.
Sebab, kemutawatiran sebuah khabar tidak hanya disandarkan kepada
jumlah yang banyak saja. Namun, ada persoalan lain yang lebih
penting, yakni menyelamatkan khabar dari pertentangan.
Kemutawatiran sebuah khabar bisa diragukan, jika maknanya saling
bertentangan. Imam Al-Amidy berkata, "Para ulama berbeda
pendapat dalam menetapkan jumlah minimal yang dapat
menghasilkan 'ilmu (kepastian). Sebagian menyatakan, 5 orang.
Sebab, , jika kurang dari lima orang, misalnya, empat orang saksi
yang bersaksi dalam masalah syari'ah, maka qadli boleh menetapkan
hukum berdasarkan kesaksian empat orang yang bersepakat pada
suatu tujuan yang dzanniy. Seandainya 'ilmu (kepastian) dihasilkan
dari pendapat empat orang, mengapa bisa terjadi seperti itu (ada

kesepakatan dalam hal yang dzanniy)? Qadli Abu Bakar memutuskan


bahwa empat adalah jumlah yang kurang. Beliau juga masih
meragukan lima orang. Sebagian 'ulama menyatakan jumlah minimal
perawi adalah 12 orang, ada pula yang menyatakan paling sedikit 20.
Ada pula yang menyatakan 40, 70, 313. Ada pula yang menyatakan
bahwa jumlah minimal yang mengantarkan ilmu hanya diketahui oleh
Allah, dan kita tidak mengetahui. Dan ini yang terpilih. "[al-Amidiy,
Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz.II/39] Beliau menambahkan, "Di
samping jumlah, jaminan kemutawatiran sebuah berita adalah ilmu
yang dihasilkan oleh perkataan para pembawa berita (rawi), bukan
ilmu yang dihasilkan oleh jumlah tertentu." Kemudian beliau
menyatakan lagi, "Oleh karena itu, kami berpendapat, bahwa
jaminan mutawatir adalah ilmu yang dihasilkan dari sebuah berita.
Berita yang tidak menghasilkan ilmu tidak boleh dijadikan sandaran
untuk berdalil. Sebab, dalilnya sendiri telah jatuh ke dalam wijdaan
(persangkaan). Ini adalah syarat-syarat yang telah diakui
keabsahannya untuk menetapkan kemutawatiran sebuah berita."
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Imam
Ahmad, dll dari 'Aisyah ra, tentang perempuan Yahudi, menyatakan
dengan jelas, bahwa Rasulullah saw menafikan adanya siksa kubur
bagi manusia di alam barzakh sebelum hari kiamat. Kemudian, datang
wahyu kepada beliau dan mengabarkan bahwa siksa kubur adalah haq
(benar). Hadits ini pun, maudlu'nya masih mengandung perselisihan.
Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Tentang Penangguhan Siksa Hingga
Hari Kiamat
Al-Quran telah menyatakan,"Dan janganlah sekali-kali kamu
(Mohammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh
orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh
kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka)
terbelalak." (14:42). Ayat ini ma'udlu'nya juga masih mengandung
perselisihan. Ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Allah
swt memberi tangguh siksa atas orang-orang yang dzalim hingga hari
kiamat. Sebab, yang dimaksud dengan hari dimana mata mereka
terbelalak adalah hari kiamat. Ayat-ayat yang senada dengan ayat
tersebut, adalah,

"Jikalah Allah menghukum manusia karena kedzalimannya,


niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun
dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka
sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba
waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat
mengundurkannya
barang
sesaatpun
dan
tidak
(pula)
mendahulukannya." (al-Nahl:61).
"Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan
usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan
bumi suatu makluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan
(penyiksaan mereka) sampai waktu yang tertentu; maka apabila
datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat
(keadaan) hamba-hambaNya." [35:45]. Al-Ajal al-Musammay (waktu
yang ditentukan) adalah hari kiamat.
Secara qathiy, ayat-ayat ini menunjukkan adanya penangguhan
siksa hingga hari kiamat. Sebab, dalalah yang ditunjukkan oleh ayatayat di atas adalah qath'iy. Akan tetapi, ada hadits-hadits shahih
yang mengkhususkan pengertian ayat tersebut. Hadits-hadits tersebut
menjelaskan, bahwa Allah swt telah mendahulukan beberapa siksa,
sebagian diwujudkan di dunia, sebagian lagi diwujudkan di akherat;
dan sebagian besar lagi kelak di hari akhir. Mengkhususkan pengertian
yang ada di dalam al-Quran dengan sunnah, adalah perkara yang
telah disepakati. Walhasil, seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa
ayat-ayat tersebut yang berbicara tentang penangguhan siksa-- tidak
mungkin dikompromikan dengan hadits-hadits tentang siksa kubur.
Selain itu, hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur tidak
boleh ditolak dirayahnya, hanya karena bertentangan dengan ayatayat tersebut di atas. Akan tetapi, harus dibawa kepada takhsiish alquran bi al-Sunnah.
Penjelasan Tentang Surat Yasiin ; 51-52
Allah swt, "Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka
keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.
Mereka berkata, "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang
membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang
dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah RasulRasulNya." (Yasiin:51-52). Mau'dlu' ayat ini pun masih mengandung

keraguan. Ayat ini menggambarkan, bahwa orang-orang yang ada di


dalam kubur, berada dalam kondisi tertidur. Ayat ini tidak
menunjukkan, bahwa mereka terjaga (tidak tidur) di dalam kubur,
atau dalam kondisi terkena siksa. Walhasil, ayat ini telah menafikan
adanya siksa di dalam kubur. Mengkompromikan ayat ini dengan
hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur --dengan jalan
mentakhshih ayat ini dengan hadits-hadits tentang siksa kubur yang
telah kami sebutkan sebelumnya-- adalah perkara yang sangat sulit.
Sebab, kami tidak mendapatkan hadits shahih yang menjelaskan
adanya masa jeda barzakh yang menceritakan tentang adanya siksa
kubur dan kondisi bahwa si mayat tidak tidur di dalam kuburnya.
Sebagian shahabat dan tabi'in berdiam diri terhadap ayat ini dan
hadits-hadits tentang siksa kubur. Imam Ibnu Katsir menyatakan,
"Ubay bin Ka'ab, Mujahid, Hasan, dan Qatadah ra berkata, "Mereka
tidur sebelum hari kiamat." Qatadah berkata, "Hal itu itu terjadi
diantara dua tiupan, sehingga mereka mengatakan, "Siapakah yang
membangkitkan kami dari tidur kami." Kompromi semacam ini
dianggap sebagai jalan keluar.
Walhasil, pendapat yang menyatakan, " Pertentangan antara ayat
ini dengan hadits-hadits tentang siksa kubur, tidak mungkin
dikompromikan dengan berbagai bentuk kompromi, adalah
pendapat yang tidak tepat. Argumen semacam ini tidak bisa
diterima. Seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa hadits tentang
siksa kubur harus ditolak dirayahnya karena bertentangan dengan
ayat ini.
Penjelasan Tentang Surat al-Ruum:55
Ayat lain yang berbicara tentang penangguhan siksa sebelum hari
akhir, adalah surat al-Ruum:55. Al-Quran telah menyatakan, "Dan
pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang
berdosa, "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat
saja." (al-Ruum:55). Namun, maudlu' ayat ini juga mengandung
keraguan. Yang menjadi pertanyaan adalah, dimanakah orang-orang
yang berdosa itu tinggal pada waktu yang sangat singkat itu seperti
yang telah disampaikan oleh para pendosa itu? Sebagian ahli tafsir
berkata, Yang mereka maksud adalah tinggal di dalam kubur.

Sebagian ahli tafsir lain menyatakan, bahwa yang mereka42 maksud


adalah tinggal di dalam kehidupan dunia. Ada sebagian ahli tafsir
yang menyatakan bahwa, yang mereka maksud adalah tidur, yakni
mereka tidur diantara dua tiupan; antara tiupan yang mematikan
seluruh makhluk, dan tiupan pada saat hari kebangkitan (qiyamah).
Waktunya sekitar 40 tahun menurut sebagian atsar.
Orang yang mengambil penafsiran pertama akan menyatakan,
bahwa ketika hari kiamat orang-orang yang berdosa itu bersumpah,
bahwa mereka tinggal di dalam kuburnya dalam waktu yang sangat
singkat, yakni sejak kematiannya sampai terjadinya hari kebangkitan.
Orang yang mengambil penafsiran ini akan mendapatkan kesulitan.
Jika mereka menafsirkan seperti itu, ia justru akan membawa ke arah
pengertian, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidak mendapatkan
siksa di dalam kuburnya. Sebab orang yang dikenai siksa di dalam
kuburnya, akan merasakan waktu yang sangat panjang.43 Pendapat
semacam ini tidak berarti menerima qiyas yang ghaib (tidak nampak)
atas yang syahid (nampak); atau mengqiyaskan siksa kubur atas siksa
dunia, akan tetapi nash itu sendiri yang menunjukkan pengertian
tersebut.
Jika kita mengambil penafsiran kedua atau ketiga, bahwa orangorang yang berdosa itu tinggal di dunia (penafsiran ke dua), atau
mereka tinggal diantara dua tiupan (penafsiran ke tiga), maka hal itu
bukanlah perkara yang sulit. Akan tetapi, qarinah di dalam ayat itu
dengan jelas menunjukkan bahwa mereka berdiam di dalam kubur
mereka, sejak kematian mereka hingga hari kiamat, bukan tinggal di
dunia. Qarinah ini terdapat pada ayat sesudahnya. Allah berfirman,
"Dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan
(kepada orang-orang yang kafir):"Sesungguhnya kamu telah berdiam
(dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit;

42 Mereka di sini adalah orang-orang berdosa yang bersumpah ketika hari kiamat
bahwa mereka tidaklah berdiam diri di dalam kubur, melainkan sesaat saja.
Lihat dalam surat al-Ruum;55.
43 Sebab, pada ayat 55 surat al-Ruum, para pendosa bersumpah bahwa mereka tidak
tinggal di kuburnya kecuali sesaat saja (pendek waktunya). Jika mereka di siksa
di kuburnya dengan siksa yang pedih, maka seharusnya mereka akan merasakan
waktu yang demikian lama di kuburnya, karena mereka begitu menderita dalam
kuburnya.

maka inilah hari berbangkit itu, akan tetapi kamu selalu tidak
menyakininya." (30:56).
Berdasarkan qarinah yang ditunjukkan oleh ayat ini, kalangan ahli
'ilmu dan iman menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu
tinggal di dalam kuburnya hingga hari kiamat, bukan berdiam di
kehidupan dunia. Orang yang menafsirkan, bahwa orang-orang yang
berdosa itu tinggal di kehidupan dunia telah mengambil penafsiran
yang salah.
Penafsiran yang menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa
itu tidur diantara dua tiupan, adalah penafsiran yang tidak kuat.
Bahkan, penafsiran semacam ini tidak bisa dikompromikan. Sebab, ia
tidak didasarkan pada nash-nash syara'.
Namun, demikian agar kita keluar dari kesulitan ini, maka kami
mengambil jalan keluar, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur
diantara dua tiupan sangkakala, dan mereka tidak tinggal di dalam
kuburnya melainkan dalam waktu yang sangat singkat --sesaat di
dalam tidurnya saja.
Hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur adalah shahih.
Hadits-hadits itu masih mungkin untuk dikompromikan dengan ayatayat Quran yang maknanya terlihat kontradiksi. Seorang muslim tidak
boleh mengingkari hadits-hadits tersebut. Mengingkari hadits-hadits
itu sama artinya mengingkari hadits shahih. Ini adalah perbuatan
dosa. Sebab, mengingkari hadits shahih akan mengakibatkan tersiasianya amal.
Namun demikian, dilalah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits
siksa kubur adalah dzanniy. Keimanan seorang muslim tidak boleh
didasarkan kepada nash-nash yang tsubut dan dilalahnya dzanniy.
Sebab, iman menuntut adanya pembenaran yang bersifat pasti.
Pembenaran yang tidak sampai ke derajat pasti, tidak akan
mengantarkan kepada keyakinan, atau keimanan.
Demikianlah, anda telah dijelaskan dengan gamblang, bahwa
hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur, dilalahnya tidaklah
qathiy. Seandainya hadits-hadits tentang siksa kubur mutawatir dan
tidak ada pertentangan makna dengan riwayat-riwayat mutawatir

lainnya, tentu kita harus mengimani keberadaannya tanpa ada


keraguan sedikitpun.
Allahul Haadiy wal Muwaffiq ila Aqwaamith Thaariq

Anda mungkin juga menyukai