Anda di halaman 1dari 23

Uji Beton In-Situ

pengujian beton di lapangan.

Sebelum adukannya dicorkan ke bekisting/cetakan. Kalau di proyek-proyek antara lain termasuk pengujian
slump dan pembuatan silinder/kubus beton sesaat sebelum pengecoran. Silinder/kubus tersebut yang
selanjutnya dites di laboratorium. Untuk apa dites? Maklumlah, beton termasuk material yang sebenarnya
tidak/kurang homogen, tidak seperti baja yang kualitasnya bisa cenderung sama misal untuk satu profil dengan
lainnya. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi seperti kualitas material, pencampuran adukan, dll. Hasil
pengecoran bisa bervariasi terhadap waktu dan tempat. Sehingga, maksud dari pengujian tersebut adalah untuk
kontrol kualitas secara berkala dan menerus.
Kemudian kalau adukannya sudah menjelma menjadi beton yang mengeras, bagaimana cara mengetahui
kualitas aktual/sebenarnya? Pertanyaan semacam ini bisa muncul paling tidak umumnya karena dua hal.
Pertama, hasil pengujian kubus/silinder yang tidak memenuhi persyaratan alias kuat tekan yang terlalu rendah,
sehingga diperlukan konfirmasi terhadap kuat tekan aktual di lapangan.
Kedua, untuk keperluan evaluasi bangunan eksisting (yang telah ada/berdiri). Evaluasi biasanya dilakukan jika
ada kemungkinan adanya perubahan kualitas struktur, yang bisa terjadi karena accident (misal kebakaran,
gempa), adanya kerusakan akibat kesalahan pengerjaan atau ketidaksesuaian dengan spesifikasi teknis, maupun
karena faktor umur bangunan. Dari hasil evaluasi akan dapat diketahui berapa perkiraan kapasitas struktur dan
rekomendasi perbaikan yang diperlukan. Evaluasi juga dilakukan bila terdapat perubahan fungsi bangunan,
misal ruang kantor yang diubah menjadi ruang arsip/perpustakaan, yang nantinya akan merekomendasikan
perkuatan struktur eksisting. Intinya, diperlukan data beton aktual secara langsung, baik untuk elemen struktur
(misal pada balok/kolom tertentu) maupun secara keseluruhan.
Kembali ke pertanyaan di awal paragraf sebelumnya, pengujian beton pada struktur eksisting bisa dilakukan
secara tidak merusak (non-destrcutive) maupun merusak. Yang dimaksud struktur di sini tidak terbatas pada
bangunan gedung saja, namun bisa mencakup struktur jembatan, bendung, dll., sedangkan uji secara merusak
tidak berarti bisa merusak seenaknya lho ya tapi juga mempertimbangkan lokasinya agar tidak terlalu

mempengaruhi kekuatan struktur. Sebenarnya ada banyak metode pengujian beton eksisting, tergantung pada
tujuan dan cakupan evaluasinya. Yang akan dipaparkan di tulisan ini hanya beberapa metode yang lazim
dilakukan untuk bangunan secara umum.
Kita mulai dari uji non-destruktif (Non Destructive Test, NDT). Pengujian ini dilakukan umumnya dengan
kontak sensor peralatan detektor pada permukaan beton. Jika terdapat penutup seperti plesteran maka sebaiknya
dikupas/dibobok terlebih dahulu.

Hammer Test (Scmidht Rebound Hammer)

Pengujian in-situ ini termasuk salah satu yang cukup praktis. Alatnya tampak seperti pada gambar di atas,
dengan ukuran kira-kira sebesar botol air minum kemasan ukuran sedang 500 ml dan berat yang ringan pula.
Pencetus konsep alatnya pertama kali adalah Ernst Schmidt dari Swiss, yang kemudian menjadi nama populer
alat ini. Prinsipnya adalah dengan pantulan massa di ujung alat (jadi semacam memukulkan palu) pada
permukaan beton yang rata (lihat gambar bawah). Pada sisi luar alat terdapat skala bacaan yang akan
menunjukkan nilai pantulan/rebound tersebut.

Sumber : [1]
Operator bisa melakukan pengujian dengan alat ini baik untuk arah horizontal maupun vertikal (masing-masing
posisi akan diberikan faktor koreksi nantinya). Pengujian dapat dilakukan pada beberapa titik, dengan masingmasing titik pengujian pukulan hammer dilaksanakan beberapa kali pukulan pada suatu luasan ukuran 300mm x
300 mm sehingga didapatkan beberapa nilai bacaan untuk satu titik (masing-masing pukulan di tempat
berbeda). Nilai bacaan tersebut umumnya selanjutnya diolah untuk mendapatkan korelasi dengan perkiraan
kuat tekan elemen beton dimaksud.

Perlu diperhatikan juga bahwa sesuai prinsip kerjanya yang berupa pantulan pada permukaan beton,
maka sebenarnya nilai bacaan tersebut adalah representasi pada permukaan saja dan belumlah
mewakili sifat keseluruhan elemen betonnya. Kalibrasi terhadap sampel lab dengan sifat yang bisa
mendekati beton yang diuji di lapangan (yang tentu juga tidak mudah) juga diperlukan demi akurasi
pengukuran.
Selain itu, nilai bacaan juga akan dipengaruhi oleh beberapa faktor
a.l.: pengaruh agregat (pantulan pada daerah yang dekat dengan agregat akan memberikan nilai bacaan yang
lebih tinggi dibanding pada mortar/pasta); kemungkinan adanya keropos di dalam elemen beton yang diuji
(yang akan menunjukkan nilai bacaan rendah); kekeringan permukaan (permukaan basah memberikan nilai
yang lebih kecil); variasi campuran beton; dll. Oleh karena itu, jika pengujian ini dimaksudkan untuk
mendapatkan representasi nilai kuat tekan beton aktual, maka sebaiknya juga didampingi dengan metode
pengujian lainnya sebagai pembanding.

Microcrackmeter
Kalau yang ini sebenarnya bukan termasuk kategori pengujian, namun sebatas hanya pengamatan visual saja.
Sesuai namanya, alat ini berfungsi untuk menentukan lebar retakan (crack) pada permukaan elemen beton.

Alat ini juga cukup kecil dan ringan, prinsipnya mirip seperti mikroskop (atau mungkin lebih mirip teropong),
yaitu untuk melihat retakan yang diperbesar tampilannya dengan bantuan lensa optik. Operator cukup
menempelkan alat di lokasi sekitar crack lalu melihat lewat ujung yang lain. Pada alat ini juga tercantum garisgaris skala bacaan (seperti pada mistar atau meteran), sehingga operator juga bisa langsung
menentukan/mengukur lebar retakan yang teramati. Untuk pengamatan di tempat yang relatif gelap, alat ini
dilengkapi juga dengan lampu kecil untuk penerangan.

Retakan yang diamati di sini adalah yang berukuran kecil/lembut. Yang digaris merah pada gambar kedua di
atas itu dari spidol, bukan lebar retakannya, untuk kemudahan pencatatan saja. Pengamatan retakan bisa
bertujuan untuk keperluan evaluasi (misal perbandingan terhadap batasan ijin lebar retak) ataupun untuk
perkiraan volume injeksi pada retakan (bila nantinya diperlukan perbaikan misal dengan grouting).

UPV (Ultrasonic Pulse Velocity) Test


Prinsip kerja alat ini memanfaatkan rambatan gelombang pada medium tertentu (dalam hal ini elemen beton).

Foto di atas menampilkan alat PUNDIT (Portable Ultrasonic Non-destructive Digital Indicating Tester). Jika
Schmidt Hammer berbasis analog dan mengandalkan kinerja mekanis (pantulan massa), maka alat ini
merupakan perlatan elektronis. Foto pertama adalah unit utamanya, mencakup prosesor dan display bacaan
(unit ini yang akan membangkitkan gelombang), sedangkan foto kedua adalah unit sensor (sebagai transmitter
dan receiver gelombang) yang nantinya ditempelkan ke permukaan beton (bulatan warna biru) dan beberapa
kabel. Terlihat juga di foto kedua silinder metal panjang dan kaleng isi pelumas (grease). Apa guna dua benda
terakhir ini?

Cara kerja peralatan ini adalah dengan menempelkan unit sensor (bulatan biru, foto kedua) ke permukaan
beton, yang akan memancarkan gelombang dari transmitter dan menuju ke receiver. Waktu rambat gelombang
tersebut, akan ditampilkan dan bisa dibaca pada display (unit dalam kotak, foto pertama). Saat unit sensor
ditempelkan ke permukaan beton, harus terjadi kontak yang sempurna antara keduanya agar gelombang bisa
merambat sempurna. Karena beton dan unit sensor sama-sama bersifat padat/keras, maka kemungkinan akan
terdapat celah/rongga antara keduanya. Oleh sebab itu digunakan medium gel (misal memakai grease/vaselin)
yang nantinya menjadi perantara dan memastikan bahwa terjadi kontak sempurna antara kedua bidang
permukaan (beton dan unit sensor). Sedangkan silinder metal/besi digunakan untuk kalibrasi alat sebelum
digunakan (lihat foto di bawah ini), dengan mempertimbangkan sifat besi yang cenderung homogen
materialnya.

Penempatan unit sensor (lihat gambar di bawah) bisa secara direct ( unit sensor pada permukaan yang saling
berlawanan, a), semi-direct (unit transmiter dan receiver saling tegak lurus, b), atau indirect (sensor pada
permukaan yang sama, c). Metode direct adalah yang paling akurat, sedangkan metode lain akan membutuhkan
koreksi. Foto-foto pengujian berikut menampilkan pengujian dengan metode indirect.

Sumber : [2]

Dengan mengetahui jarak antara dua unit sensor tersebut (yang memenuhi batasan minimum) dan waktu rambat
gelombang (dari bacaan display), bisa diperoleh kecepatan rambat gelombang pada beton yang diuji/diamati.
Nah, pemanfaatan data kecepatan rambat gelombang ini bisa bervariasi. Tuntutan yang paling diinginkan
adalah korelasi dengan kekuatan beton (nilai kuat tekan). Namun ingat pula bahwa material beton sebenarnya
bersifat heterogen dalam sudut pandang medium perambatan, karena terdiri dari kerikil/agregat (bisa bervariasi
macam dan ukurannya) dan pasta semen, selain itu juga tergantung dari campurannya. Campuran beton yang

satu dengan lainnya (walaupun dengan kuat tekan relatif sama) belum tentu bisa menghasilkan bacaan yang
sama, belum lagi jika mempertimbangkan faktor kondisi lingkungan dan umur beton di lapangan. Akan lebih
baik jika terdapat sampel lab yang berfungsi sebagai kalibrasi dengan beton di lapangan namun harus dengan
campuran yang sama atau mendekati dengan keadaan in-situ, tapi ini pun pasti tidak mudah. Faktor lain adalah
adanya pengaruh tulangan (medium rambatan gelombang menjadi berubah) dan adanya crack/retakan.
Kalau yang disebut terakhir tadi (crack) justru bisa dideteksi dengan peralatan ini. Intinya, pada daerah crack
maka gelombang akan merambat melalui udara (medium berbeda), yang akan mengakibatkan perubahan waktu
tempuh dan akhirnya adalah menghasilkan kecepatan rambat yang berbeda. Dengan membandingkan dengan
kecepatan rambat di lokasi tanpa crack, maka bisa dilokalisir tempat yang diduga terdapat retakan, termasuk
pula perkiraan kedalaman crack. Namun harap diketahui pula jika retakan terisi oleh air, maka hal ini bisa
menjadi tidak akurat. Pengaruh perubahan kecepatan juga bisa difungsikan untuk mengukur tingkat
keseragaman/homogenitas material beton eksisting (terutama pada beton precast), dan juga perkiraan ketebalan
elemen misal slab serta modulus elastis material. Beberapa fungsi yang disebut dalam paragraf inilah
sebenarnya yang lebih cocok diterapkan dalam penggunaan alat ini.
Referensi :
-

Arsip foto proyek/pribadi

Pengalaman lapangan

[1] Concrete Construction Engineering Handbook, 2nd Ed., Edward G. Nawy

[2] Testing of Concrete in Structures, 3rd Ed., J.H. Bungey & S.G. Millard

mengenai beberapa macam pengujian beton in-situ. Satu metode di sini masih melanjutkan seri NonDestructive Test (NDT) dari sebelumnya yaitu Covermeter, sedangkan satu bahasan metode lainnya
(Pengambilan Core) sudah termasuk dalam kategori merusak, dengan mengambil sampel inti beton di
lapangan.
Ok, silakan langsung saja lanjutkan menyimak yang berikut ini

Rebar Locator (Covermeter)


Pengujian ini bertujuan antara lain untuk mendeteksi tulangan dalam elemen beton, dan juga ketebalan selimut
beton (concrete cover). Seperti terlihat di gambar berikut, bentuknya cukup kompak dan mudah dibawa atau
ditenteng. Ada unit display (kotak besar merah, ada judulnya Profometer 4) dan kotak di sampingnya adalah
unit sensornya.

Prinsip alat ini adalah memanfaatkan medan elektromagnetik, yang mudah terpengaruh oleh adanya
metal/logam, dalam hal ini adalah berupa tulangan baja di dalam beton. Gampangnya ya seperti detektor logam
lah

Sumber : [1] [2]


Untuk mendeteksi tulangan, unit sensor ditempelkan pada permukaan beton lalu digeser perlahan sambil
diamati bacaan di display. Arah gerakan adalah tegak lurus pada sumbu tulangan yang akan dideteksi. Khusus
pada alat tipe Profometer ini, akan terdengar nada sinyal bila sensor mendeteksi keberadaan tulangan, yang
selanjutnya posisi/titik ini ditandai. Posisi scanning bisa vertikal maupun horizontal.

Berikutya dilakukan scan serupa dari arah berlawanan, sehingga didapatkan posisi/titik berikutnya. Jarak antara
dua titik ini yang merupakan perkiraan dari diameter tulangannya. Jika scanning dilakukan dari tepi elemen,
maka jarak dari tepi ke titik pertama terdengar sinyal adalah tebal selimut betonnya.

Dari hasil beberapa scanning ini bisa dibuat gambaran perkiraan posisi tulangan dan diameternya, seperti
gambar di atas. Selain untuk mencocokkan dengan data-data gambar/laporan (bila ada), pengujian (atau lebih
tepatnya pengamatan) ini juga berfungsi sebagai pendahuluan sebelum pengambilan beton inti (core case/drill)
agar pemotongan nantinya tidak mengenai tulangan. Seperti pada peralatan lainnya, tentu alat ini juga akan
membutuhkan kalibrasi. Kalibrasi yang paling baik tentu saja bila ada pembanding langsung di lapangan, misal
sampel inti beton, sehingga bisa diketahui diameter yang ada dan tebal selimut.
Meskipun kelihatan canggih dan praktis, namun perlu diperhatikan juga keterbatasan alat ini, yaitu antara lain
dalam beberapa kondisi berikut :

Deteksi hanya bisa dilakukan sebatas tulangan teluar saja, sehingga bila terdapat beberapa lapis
tulangan, maka lapis tulangan yang dalam tidak bisa terdeteksi dengan baik, termasuk dalam hal ini
adalah pengaruh overlap/sambungan lewatan dan bundel tulangan
Jarak antar tulangan yang terlalu rapat, sehingga bisa mempengaruhi akurasi pembacaan/perkiraan
diameter tulangan
Pengaruh dari kandungan besi dalam agregat yang berlebih, atau penggunaan jenis semen yang khusus

Nah, setelah bercerita tentang NDT (Non-Destructive Test), sekarang tiba saatnya untuk membahas yang lebih
destructive. Sebenarnya makna dari destruktif sendiri belum memiliki definisi yang standar dan terdapat
beberapa pendapat. Ada pendapat asal selama pengujian tidak merubah kondisi dan properties dari beton atau
sampelnya maka itulah NDT (termasuk pengambilan core/inti yang akan dibahas berikutnya), namun sebagian
lain berpendapat bahwa coring sudah tidak tergolong NDT (pengujian yang tidak se-merusak pengambilan core
baru bisa dikategorikan sebagai NDT). Yah, terserah mau mengikut kiblat atau mahzab yang mana, yang
penting yang akan dijelaskan di sini (core) nanti sifatnya lebih merusak elemen betonnya daripada beberapa
yang terdahulu.
Lho, bangunan bagus-bagus kok malah dirusak sih Seperti yang pernah disinggung sedikit di bagian pertama,
pengujian yang ini tidak sembarangan merusak, selain itu juga kerusakan yang ada harus segera ditambal
kembali (kok kayak tambal ban ya jadinya). Kalau mau diibaratkan dengan periksa ke dokter, yang NDT dulu

hanya diperiksa pakai stetoskop atau tekanan darahnya saja, tapi kalau yang ini kira-kira seperti mengambil
sampel darah. Oh jadi ini topiknya dokter beton donk ya boleh lah biar lebih gampang dipahami hehehe

Pengambilan Sampel Core/Inti Beton

Kembali ke topik kita, salah satu pengujian secara destruktif adalah dengan mengebor elemen beton dengan alat
khusus sehingga didapatkan silinder inti (core, seperti gambar di atas) yang kemudian akan dites kuat tekannya
di laboratorium (dengan mempetimbangkan faktor koreksi dimensi). Lokasi pengujian harus dipilih sedemikian
rupa sehingga kerusakan yang ditimbulkan tidak akan terlalu banyak mempengaruhi kekuatan struktur (misal
tidak mengenai tulangan utama/pokok). Nah, di sini bisa saja digunakan bantuan dari alat covermeter seperti
yang telah diuraikan di atas, guna mengetahui perkiraan lokasi yang aman. Contoh bentuk mata/ujung bornya
seperti pada foto berikut.

Tergantung pada lokasinya, silinder inti yang diambil bisa berukuran (diameter) kecil atau besar. Untuk elemen
semacam balok dan kolom (elemen yang ukurannya relatif kecil/langsing/slender), maka penggunaan bor
ukuran kecil 40-50 mm akan lebih cocok. Pada pengambilan beton inti pada elemen seperti pelat yang cukup
luas, bisa digunakan diameter yang lebih besar (150 mm). Foto pertama di bawah judul di atas adalah hasil
pengambilan inti diameter besar, sedangkan dua foto berikut menunjukkan proses pengeboran inti untuk
diameter kecil (atas) dan besar (bawah).

Saat proses pengeboran perlu diperhatikan adanya suplai air yang kontinyu sebagai pendingin mata bor dan
juga sebagai pembersih kotoran hasil pengeboran agar tidak mengganggu putaran ujung bor. Pengambilan
sampel dilakukan setelah pengeboran mencapai kedalaman tertentu, yang tentu saja harus melebihi tebal
selimutnya/beton bagian luar alias sampai bagian dalam/inti. Kedalaman pengeboran selain menyesuaikan
dengan kebutuhan, perlu dicermati juga nilai rasio diameter terhadap tinggi sampel (alias kedalaman
pengeboran) di kisaran angka 1,0-2,0 dan juga rasio diameter inti terhadap ukuran maksimum agregat sekitar
nilai 3. Pada elemen pelat, pengeboran bisa saja dilakukan sampai menembus total, sehingga bisa teramati pula
ketebalan pelat yang sebenarnya, termasuk lapisan lain seperti aspal/overlay pada lantai jembatan atau
pavement. Selain itu, pengeboran bisa saja dilakukan sampai mengenai tulangan, asal di daerah tersebut bukan
merupakan lokasi gaya atau tegangan maksimum. Dalam hal ini maka dari hasil sampel inti juga bisa diketahui
lokasi, diameter termasuk kondisi tulangan yang ada.
Setelah pengeboran selesai, maka akan didapatkan sampel inti beton seperti pada beberapa foto berikut ini. Foto
yang atas adalah contoh inti diameter kecil, dengan lapisan hitam adalah waterproofing karena merupakan hasil

pengambilan contoh pelat dak. Foto sebelah bawah menunjukkan inti diameter besar sekaligus nampak pula
lubang hasil pengeborannya. Kalau yang ini adalah hasil pengeboran pada lantai jembatan sehingga akan
terbawa pula lapisan aspal di atasnya (seperti pada foto pertama di bawah judul).

Dokumentasi terhadap sampel (dan lubang jika diperlukan) perlu dilakukan setelah selesai pengeboran, misal
dengan pengambilan foto atau gambar sketsa terhadap bentuk sampel dan crack/retakan bila ada termasuk
detail lain yang akan membantu dalam proses analisis di laboratorium nantinya. Sketsa atau keterangan lokasi
relatif titik pengambilan sampel pada struktur keseluruhan juga diperlukan. Pada tiap sampel diberikan pula
nomor atau keterangan lain untuk keperluan identifikasi sampel. Oh ya, lubangnya jangan lupa segera ditutup
kembali, umumnya memakai mortar low atau non-shrinkage.

Sampel-sampel inti tersebut selanjutnya dibawa ke laboratorium sebagai oleh-oleh hasil jalan-jalan di lapangan.
Eh jangan lupa sampelnya juga diamati dan dites lho, jangan cuma dipajang saja

Pengujian yang dilakukan di laboratorium terhadap sampel beton inti umumnya adalah pengujian kuat tekan.
Prinsipnya sama dengan pengujian silinder beton seperti biasa, namun perlu diperhatikan juga terutama dimensi
sampelnya. Untuk sampel yang berukuran kecil, jika sampel cukup panjang atau tinggi maka bisa saja benda uji
dipotong menjadi 2 misalnya sehingga akan didapatkan 2 benda uji dari satu sampel (dengan syarat rasio
diameter : tinggi minimum 1,0). Masing-masing ujung juga perlu dipotong dan diratakan. Dengan adanya
variasi dimensi dan rasio terhadap tingginya, maka pada perhitungan perlu diberikan faktor koreksi, termasuk
bila dalam sampel ikut nimbrung juga baja tulangannya.
Sebelum dilakukan pengujian kuat tekan, akan diperlukan juga pengamatan visual terhadap sampel.
Kemungkinan adanya crack (atau malah pola retak yang ada jika pengambilan sampel memang sengaja diambil
di daerah/elemen yang mengalami retakan), kekompakan material beton berupa kerikil dan pasta semen
(kemungkinan adanya pori/lubang), ketebalan elemen (misal pada pelat) dan material lain seperti aspal bila ada,
kondisi tulangan (diameter, tingkat korosi) bila memang ada alias ikut terambil dalam sampel adalah beberapa
hal yang bisa diamati sebagai bahan pertimbangan untuk hasil uji kuat tekan. Selain pengujian kuat tekan, bisa
juga dilakukan pengamatan atau pengujian lain bila diperlukan, misal uji kimia, berat jenis, dll.
Nah, dibandingkan dengan bermacam pengujian lain yang telah diuraikan sebelumnya, memang hasil uji tekan
dari sampel beton inti inilah yang hasilnya relatif bisa lebih akurat. Namun, pengambilan sampel beton inti juga
bisa merupakan yang paling ribet alias sulit plus mahal dibanding yang lainnya (belum lagi peninggalan lubang
hasil karya pengeboran). Karena itu, sampel beton inti sebaiknya diambil pada lokasi yang memang
memerlukan peninjauan khusus saja (dibarengi kalibrasi dengan jenis pengujian lain pada lokasi tersebut),
ditambah dengan data dari pengujian NDT pada beberapa lokasi lain, sehingga biaya tidak terlalu mahal, waktu
bisa mencukupi dan akurasi data bisa tetap terjamin.
Tampaknya sudah waktunya tulisan ini dipungkasi dulu (lha bahannya memang sudah habis hehehe). Seperti
pernah diuraikan di awal tulisan bagian pertama dahulu, pembahasan pada dua tulisan berseri ini baru
merupakan sebagian kecil saja dari bermacam pengujian pada beton eksisting di lapangan yang ada dan
mungkin dilakukan. Sebagai penutup, bisa dicermati pula daftar berikut yang memuat beberapa pengujian pada
beton, tergantung pada keperluannya masing-masing. Kolom pertama adalah parameter utama yang akan
diselidiki, kolom kedua nama pengujiannya, dan terakhir adalah tipe/cara pengujian/peralatannya (elektronik,
kimia, dll). Nah, banyak sekali kan Coba cermati sendiri, yang sudah diuraikan dalam tulisan ini dan
sebelumnya tercantum di mana saja ya

Sumber : [2]
Referensi :
-

Arsip foto proyek/pribadi

Pengalaman lapangan

[1] Concrete Construction Engineering Handbook, 2nd Ed., Edward G. Nawy

[2] Testing of Concrete in Structures, 3rd Ed., J.H. Bungey & S.G. Millard

[3] Durability of Concrete Structures, G. Mays

Sumber:
http://purbolaras.wordpress.com/2011/01/22/uji-beton-in-situ-part-1/
http://purbolaras.wordpress.com/2011/04/20/uji-beton-eksisting-part-2/
edypri@kaskus

Anda mungkin juga menyukai