Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS INDIVIDU STASE MATA

UVEITIS

Oleh:
SUSANTI
201310401011014
Dokter pembimbing: dr.Kartini HIdayati, Sp.M

Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan


Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang
2013

BAB I
PENDAHULUAN
Bola Mata terdiri atas dinding bola mata dan isi bola mata,dimana dinding bola mata
terdiri atas sclera dan kornea sedangkan isi bola mata terdiri atas lensa,uvea,badan kaca dan
retina.Uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola mata setelah sclera dan tenon.Uvea
merupakan jaringan lunak,terdiri dari iris,badan siliar dan koroid.
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris,korpus siliaris,dan koroid) dengan berbagai
penyebabnya.Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami inflamasi
biasanya juga ikut mengalami inflamasi. Peradangan pada uvea dapat hanya mengenai bagian
depan jaringan uvea atau iris yang disebut iritis. Bila mengenai badan tengah disebut
siklitis.Iritis dengan siklitis disebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis anterior dan
merupakan bentuk uveitis tersering. Dan bila mengenai lapisan koroid disebut uveitis
posterior atau koroiditis.
Insidensi uveitis sekitar 15 per 100.000 orang. Sekitar 75% merupakan uveitis
anterior. Sekitar 50% pasien dengan uveitis menderita penyakit sistemik terkait. Di Amerika
Serikat, uveitis merupakan penyebab kebutaan nomor tiga setelah Retinopati Diabetik dan
Degenerasi Macular. Umur penderita biasanya bervariasi antara usia prepubertas sampai 50
tahun. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga
menimbulkan peningkatan tekanan intraokuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain itu,
dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan penanganan
uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang
menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7.1 ANATOMI UVEA
Uvea terdiri dari : iris, badan siliaris (corpus siliaria) dan koroid. Bagian ini adalah
lapisan vascular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini juga ikut
memasok darah ke retina. Iris dan badan siliaris disebut juga uvea anterior sedangkan koroid
disebut uvea posterior.
Iris adalah lanjutan dari badan siliar ke anterior dan merupakan diafragma yang
membagi bola mata menjadi 2 segmen, yaitu segmen anterior dan segmen posterior, di
tengah-tengahnya berlubang yang disebut pupil. Iris membagi bilik mata depan (camera
oculi anterior) dan bilik mata posterior (camera oculi posterior). Iris mempunyai kemampuan
mengatur secara otomatis masuknya sinar ke dalam bola mata.
Secara histologis iris terdiri dari stroma yang jarang diantaranya terdapat lekukanlekukan dipermukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan kripa. Didalam stroma
terdapat sel-sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan saraf.

Gambar 1. Anatomi uvea


Dipermukaan anterior ditutup oleh endotel terkecuali pada kripta, dimana pembuluh
darah dalam stroma, dapat berhubungan langsung dengan cairan di camera oculi anterior,

yang memungkinkan percepatan terjadinya pengaliran nutrisi ke coa dan sebaliknya.


Dibagian posterior dilapisi dengan 2 lapisan epitel, yang merupakan lanjutan dari epitel
pigmen retina, warna iris tergantung dari sel-sel pigmen yang bercabang yang terdapat di
dalam stroma yang banyaknya dapat berubah-ubah, sedangkan epitel pigmen jumlahnya
tetap.
Didalam iris terdapat otot sfingter pupil (M.Sphincter pupillae), yang berjalan
sirkuler, letaknya didalam sroma dekat pupil dan dipersarafi oleh saaraf parasimpatis, N III.
Selain itu juga terdapat otot dilatator pupil (M. Dilatator pupillae), yang berjalan radier dari
akar iris ke pupil, letaknya di bagian posterior stroma dan diurus saraf simpatis.
Pasokan darah ke iris adalah dari circulus major iris, kapiler-kapiler iris mempunyai
lapisan endotel yang tidak berlobang. Persarafan iris adalah melalui serat-serat didalam nervi
siliaris.
Badan Siliar (Corpus Ciliaris) berbentuk segitiga, terdiri dari 2 bagian yaitu: pars
korona, yang anterior bergerigi, panjangnya kira-kira 2mm dan pars plana, yang postrior
tidak bergerigi panjangnya kira-kira 4 mm. Badan siliaris berfungsi sebagai pembentuk
humor aquous. Badan siliar merupakan bagian terlemah dari mata. Trauma, peradangan,
neoplasma didaerah ini merupakan keadaan yang gawat.
Koroid merupakan bagian posterior dari uvea yang terletak antara retina dan sklera.
Terdapat tiga lapisan vaskuler koroid, yaitu vaskuler besar, sedang dan kecil. Pada bagian
interna koroid dibatasi oleh membran Bruch, sedangkan di bagian luar terdapat
suprakoroidal.

Gambar 2. Lapisan koroid


Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang berasal dari
arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri mayoris iris
yang terletak di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri
siliaris posterior longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan
brevis.
7.2 UVEITIS
7.2.1 Definisi
Uveitis merupakan peradangan pada jaringan uvea (iris, badan silisr dan
koroid) akibat infeksi, trauma, neoplasia atau proses autoimmun.
7.2.2 Epidemiologi
Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun,
angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya uveitis
diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk uveitis pada lakilaki umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus dan uveitis
nongranulomatosa anterior akut. Sedangkan pada wanita umumnya berupa uveitis
anterior kronik idiopatik dan toksoplasmosis.

7.2.3 Patofisiologi
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh defek langsung suatu
infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu trauma
tembus okuli; walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik
yang diproduksi mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh di luar mata. Uveitis yang
berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap antigen
dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam badan (antigen endogen). Dalam banyak
hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius .Sehubungan dengan hal ini peradangan
uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme
hipersensitivitas.
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrrier sehingga
terjadi peningkatan protein, fibrin dan sel-sel radang dalam humor akuos yang tampak pada
slitlamp sebagai berkas sinar yang disebuit fler (aqueous flare). Fibrin dimaksudkan untuk
menghambat gerakan kuman, akan tetapi justru mengakibatkan perlekatan-perlekatan,
misalnya perlekatan iris pada permukaan lensa (sinekia posterior).
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk
presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada permukaan endotel kornea.
Akumulasi sel-sel radang dapat pula terjadi pada tepi pupil disebut koeppe nodules, bila
dipermukaan iris disebut busacca nodules, yang bisa ditemukan juga pada permukaan lensa
dan sudut bilik mata depan. Pada iridosiklitis yang berat sel radang dapat sedemikian banyak
sehingga menimbulkan hipopion.
Otot sfingter pupil mendapat rangsangan karena radang, dan pupil akan miosis dan
dengan adanya timbunan fibrin serta sel-sel radang dapat terjadi seklusio maupun oklusio
pupil, sehingga cairan di dalam kamera okuli posterior tidak dapat mengalir sama sekali
mengakibatkan tekanan dalam dalam camera okuli posterior lebih besar dari tekanan dalam

camera okuli anterior sehingga iris tampak menggelembung kedepan yang disebut iris bombe
(Bombans).
Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar menyebabkan
tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel radang dapat berkumpul
di sudut camera okuli anterior sehingga terjadi penutupan kanal schlemm sehingga terjadi
glukoma sekunder. Pada fase akut terjadi glaucoma sekunder karena gumpalan gumpalan
pada sudut bilik depan,sedang pada fase lanjut glaucoma sekunder terjadi karena adanya
seklusio pupil. Naik turunnya bola mata disebutkan pula sebagai peran asetilkolin dan
prostaglandin.
7.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara
anatomis, klinis, etiologis dan patologis.
a.

b.
c.
d.

7.2.4.1 Klasifikasi anatomis :


Uveitis anterior
Iritis : inflamasi yang dominan pada iris
Iridosiklitis : inflamasi pada iris dan pars plicata
Uveitis intermediet : inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer
Uveitis posterior : inflamasi bagian uvea di belakang batas basis vitreus
Panuveitis : inflamasi pada seluruh uvea

Klasifikasi uveitis secara anatomis


7.2.4.2 Klasifikasi klinis :
a. Uveitis akut : onset simtomatik terjadi tiba-tiba dan berlangsung selama < 6minggu
b. Uveitis kronik : uveitis yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun,
seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik
7.2.4.3 Klasifikasi etiologis :

a. Uveitis eksogen : trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar tubuh
b. Uveitis endogen : mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh
Berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh: ankylosing spondylitis
Infeksi, yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis), virus (herpes

zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau roundworm (toksokariasis)


Uveitis spesifik idiopatik, yaitu uveitis yang tidak berhubungan dengan penyakit
sistemik, tetapi memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari bentuk

lain (sindrom uveitis Fuch)


Uveitis non-spesifik idiopatik, yaitu uveitis yang tidak termasuk ke dalam

kelompok di atas.
7.2.4.4 Klasifikasi patologis :
a. Uveitis non-granulomatosa : infiltrasi dominan limfosit pada koroid
b. Uveitis granulomatosa : koroid dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus

Gambar 4. Klasifikasi patologis uveitis: (a) non-granulomatosa; (b) granulomatosa


Perbedaan uveitis granulomatosa dan non granulomatosa
Onset
Nyeri
Fotofobia
Penglihatan Kabur
Merah Sirkum corneal
Keratic precipitates
Pupil

Non- granulomatosa
Akut
Nyata
Nyata
Sedang
Nyata
Putih halus
Kecil dan tak

Granulomatosa
Tersembunyi
Tidak ada atau ringan
Ringan
Nyata
Ringan
Kelabu besar (mutton fat)
Kecil dan tak teratur

Sinekia posterior
Noduli iris
Lokasi
Perjalanan penyakit
Kekambuhan

teratur
Kadang-kadang
Tidak ada
Uvea anterior
Akut
Sering

Kadang-kadang
Kadang-kadang
Uvea anterior, posterior, difus
Kronik
Kadang-kadang

7.2.5 Etiologi
Etiologi uveitis anterior antara lain :
Autoimun

Infeksi

Keganasan

Lain-lain

- Artritis juvenile
Idiopatik
- Sindroma Reiter
- Kolitis ulserativa
- Uveitis yang
dicetus
oleh lensa
- Sarkoidosis
- Penyakit Crohn
- Psoriasis

- Sifilis
- Tuberkulosis
- Morbus Hansen
- Herpes zooster
- Herpes simplek
- Onkosersiasis
- Leptospirosis

- Sindroma
masquarade
- Retinoblastoma
- Leukimia
- Limfoma
- Melanoma
Maligna

- Idiopatik
- Trauma
- Sindroma PosnerSchlossman
- Iridosiklitis
heterokrom Fuch
- Retinal detachment

Etiologi uveitis Posterior


Autoimun

Infeksi

Keganasan

- Penyakit Behcet
- Sindroma VogtKoyanagiHarada
- SLE
- Granulomatosis
Wegener
- Ophtalmia
simpatika
- Vaskulitis retina

- Virus : CMV,
Herpes, rubella,
robeola
- Bakteri :
Tuberkulosis, sifilis,
borellia, bakteri gram
(+)/(-)
patogen
- Jamur : Candida,
Histoplasma,
kriptokokus,
aspergilus
- Parasit :
toxoplasma,
toxocara,
sistiserkus,onkoserka

- Limfoma
intaokuler
- Melanoma
maligna
- Leukimia
- Lesi metastasis

7.2.6 Gambaran klinik


7.2.6.1 Uveitis Anterior

Gejala utama uveitis anterior akut adalah fotofobia, nyeri, merah, penglihatan
menurun, dan lakrimasi. Sedangkan pada uveitis anterior kronik mata terlihat putih
dan gejala minimal meskipun telah terjadi inflamasi yang berat.Gambaran klinis
penyakit uveitis dibagi atas gambaran klinis dan gambaran objektif. Gambaran klinis
penyakit uveitis terdiri atas :
1.
2.
3.
4.
5.

Mata merah.
Visus menurun.
Nyeri disekitar mata yang menjalar ke kapala.
Lakrimasi.
Fotofobia.

Sedangkan gambaran objektif penyakit uveitis terdiri atas :


1. Edema palpebra
2. Injeksi siliar + injeksi konjungtiva
3. Keratic presipitat
4. Sel, flare di COA +
5. Hipopion (mungkin ada)
6. Iris terlihat lebih kotor
7. Pupil miosis, irreguler
8. Sinekia posterior atau seklusio pupil
9. Lensa keruh
10. TIO bisa normal, menurun atau meningkat
Kadangkala mata akan tampak putih dan sedikit nyeri. Pemeriksaan COA dengan
mikoroskop slitlamp menampakkan white cells dan flare. Kumpulan dari white cells yang
kecil pada endotel kornea disebut sebagai keratik presipitat. Kumpulan dari sel mononuklear
akan membentuk nodul pada iris . Pupil yang irregular menunjukkan adanya perlengketan
antara tepi iris dan permukaan anterior dari lensa (sinekia posterior).Sinekia anterior atau
posterior pada uveitis akan menjadi predisposisi dari glaukoma. Sel-sel ini kadang kala akan
berada di vitreus dan kadang kala akan menimbulkan edema pada retina (disebut juga udema
makular).

(a) Iris normal (b) iris dengan sinekia anterior (c) Sinekia posterior

Uveitis anterior : (a) mutton-fat keratic precipitates, nodul Koeppe dan Busacca; (b) nodul
Busacca pada iris dan mutton-fat KP di bagian inferior

7.2.6.2 Uveitis Posterior


Dua gejala utama uveitis posterior adalah floater dan gangguan penglihatan.
Keluhan floater terjadi jika terdapat lesi inflamasi perifer. Sedangkan koroiditis aktif
pada makula atau papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan
sentral. Tanda-tanda adanya uveitis posterior adalah perubahan pada vitreus (seperti
sel, flare, opasitas, dan seringkali posterior vitreus detachment), koroditis, retinitis,
dan vaskulitis. Gambaran obyektif pasien dengan Uveitis Posterior :
1.
2.
3.
4.

Tidak nyeri
Gangguan kotoran atau bercak-bercak pada lapang pandang yang semakin banyak.
Visus menurun.
Kadang disertai fotopsia.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :


1.
2.
3.
4.

Oftalmoskop
Kekeruhan badan lensa.
Bila retina masih terlihat, akan tampak fokal pucat disertai pigmen-pimen.
Lensa kontak 3-cermin Goldman :
Terlihat adanya pars planitis sebagai fokal kepucatan dengan pigmen-pigmen.
Segmen Anterior
Tidak didapatkan kelainan yang berarti.
Hiperemi perikorneal (-)
FFA : Untuk mengetahui luas daerah radang, CME, vaskulitis retina dan
neovaskularisasi

UVEITIS ANTERIOR
Kelopak mata spasme atau disertai
edema ringan.
Hiperemi konjungtiva.
Hiperemi perikorneal, yaitu dilatasi
pembuluh darah siliar sekitar limbus.
Keratik presipitat (KPs) pada endotel
kornea, biasanya dibagian inferior.
Iris edema dan warna menjadi pucat,
bisa didapatkan nodul, atrofi,
perubahan warna (heterokromia).
Sinekia, baik itu anterior maupun
posterior.
Pupil miosis, bentuk irreguler, reflek
lambat sampai negatif.

UVEITIS POSTERIOR
Tidak nyeri
Gangguan kotoran atau bercak-bercak
pada lapang pandang yang semakin
banyak.
Visus menurun.
Kadang disertai fotopsia.

1.
2.
3.
4.

7.2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari uveitis antara lain :
Keratouveitis : didapatkan infiltrat pada kornea.
Sclerouveitis : uveitis sekunder akibat skleritis, disertai nyeri hebat.
Drug induced uveitis : rifabutin, cidofovir, sulfonamid, pamidronate.
Uveitis posterior dengan spillover ke bilik mata depan : disertai floaters yang

signifikan dan pada pemeriksaan funduskopi didapatkan gambaran uveitis posterior.


5. Posner-Schlossman syndrome : episode peningkatan TIO berulang dengan inflamasi
minimal.
6. Tumor intraokuli : retinoblastoma, limfoma intraokuli, metastasis.
7.2.8 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak diperlukan pada kasus :
a. Pendeita dengan serangan uveitis pertama kali dengan derajat ringan, unilateral,
nongranulomatosus dengan riwayat dan pemeriksaan yang tidak mengarah pada
penyakit sistemik.
b. Uveitis dengan penyebab sistemik yang sudah terdiagnosis (seperti sarcoidisis atau
akibat penggunaan obat-obatan).
c. Tanda klinis yang khas pada penyakit tertentu (misalnya herpetic keratouveitis).
Pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan non spesisfik,
kasus yang rekurens (berulang) berat, bilateral atau granulomatosus, dilakukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.

Pemeriksaan penunjang inti : darah lengkap, ESR, foto rontgen thoraks.


PA, untuk menyingkirkan kemungkinan tuberkulosis dan sarkoidosis.
Profil sifilis : VDLR, FTA-ABS.
PPD (positive protein derrivate of tuberculin).
Pada kasus dengan arthritis, psoriasis, urretritis, radang yang konsisten dan gangguan

pencernaan, dilakukan pemeriksaan HLA-B27 untuk mencari penyebab autoimun.


f. Pada dugaan kasus toksoplasmosis, dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM.
7.2.9 Penatalaksanaan
Tujuan terapi uveitis adalah mencegah komplikasi yang mengancam
penglihatan, menghilangkan keluhan pasien, dan jika mungkin mengobati
penyebabnya. Ada empat kelompok obat yang digunakan dalam terapi uveitis, yaitu

midriatikum, steroid, sitotoksik, dan siklosporin. Sedangkan uveitis akibat infeksi


harus diterapi dengan antibakteri atau antivirus yang sesuai. Penatalaksanaan uveitis
meliputi pemberian obat-obatan dan terapi operatif, yaitu :
1. Midriatika / siklopegik
- Sulfas atropin 1% : sehari 1 kali 1 tetes.
- Homatropin 2% : sehari 3 kali 1 tetes.
2. Tetes / salep mata :
- Dexamethasone 1% atau betamethasone 1%
- Prednisolone 0,5% tetes / salep.
- Diberikan sehari 3 kali.
3. Suntikan
- Suntikan periokuler :
1. Long acting :
- Methylprednisolone acetat
- Triamcinolone acetonic 40mg/cc/minggu
2. Short acting :
- Betamethasone 4mg/cc/hari.
- Dexamethasone 4mg/cc/hari.
- Suntikan subtenon anterior :
Obat yang diberikan sama dengan di atas, dosis 0,5 cc untuk kasus uveitis anterior
dan pars planitis.
- Suntikan subtenon posterior :
Obat sama, 1,5 cc / suntikan untuk kasus pars planitis dan uveitis posterior.
4. Obat sistemik
- Prednisolone : dosis awal 1-15 mg/kgBB diturunkan bertahap bila sudah ada
-

respons.
Cyclosporin dapat diberikan bila tidak ada respons dengan stteroid, setelah

pemberian 2 minggu.
Dosis awal : 5mg/hari, bila ada respons, diberi dosis maintanance

2mg/kgBB/hari. Pengawasan : faal hati dan ginjal.


5. Terapi operatif untuk evaluasi diagnostik (parasentesis, vitreus tap dan biopsi
korioretinal untuk menyingkirkan neoplasma atau proses infeksi) bila diperlukan.
6. Terapi untuk memperbaiki dan mengatasi komplikasi seperti katarak, mengontrol
glaukoma dan vitrektomi.
Midriatikum berfungsi untuk memberikan kenyamanan pada pasien, mencegah
pembentukan sinekia posterior, dan menghancurkan sinekia. Memberikan kenyamanan
dengan mengurangi spasme muskulus siliaris dan sfingter pupil dengan menggunakan

atropin. Atropin tidak diberikan lebih dari 1-2 minggu. Steroid topikal hanya digunakan pada
uveitis anterior dengan pemberian steroid kuat, seperti dexametason, betametason, dan
prednisolon. Komplikasi pemakaian steroid adalah glaukoma, posterior subcapsular
cataract, komplikasi kornea, dan efek samping sistemik.

7.2.10 Komplikasi
Komplikasi terpenting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler (TIO)
akut yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi, atau
penggunaan kortikosteroid topikal. Peningkatan TIO dapat menyebabkan atrofi nervus
optikus dan kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi lain meliputi corneal
band-shape keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula, edema diskus
optikus dan makula, edema kornea, dan retinal detachment. Pada uveitis posterior :
Sinekia posterior, Katarak komplikata, Edema makula sistoid, Vaskular dan optik
atrofi, Traction retinal detachment.
7.2.11 Follow Up
a. Setiap 1 hingga 7 hari pada fase akut, tergantung derajat keparahannya, tiap 1
hingga 6 bulan apabila stabil.
b. Pada setiap kunjungan, reaksi radang pada bilik mata depan dan TIO, harus
dievaluasi.
c. Pemeriksaan funduskopi ulang dilakukan bila derajat keradangan meningkat
atau visus menurun.
7.2.12 Prognosis
1. Prognosis uveitis tergantung pada banyak hal diantaranya derajat keparahan,
lokasi, dan penyebab peradangan

2. Umumnya kasus uveitis anterior prognosisnya baik bila di diagnosis lebih awal
dan diberi pengobatan yang tepat
3. Prognosis visual pada iritis kebanyakan pulih dengan baik tanpa adanya katarak,
glaukoma dan uveitis posterior
4. Keterlibatan retina, koroid atau nervus optikus cenderung memberi prognosis
yang lebi
DAFTAR PUSTAKA

Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis PERDAMI.


Jakarta: PP PERDAMI, 2006. 34.
Schlaegel TF, Pavan-Langston D. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and Choroid In:
Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. 2nd Edition,
Boston: Little, Brown and Company, 1980. 143-144.
Rao NA, Forster DJ. Basic Principles In: Berliner N, editors. The Uvea Uveitis and
Intraocular Neoplasms Volume 2. New York: Gower Medical Publishing, 1992. 1.1
Roque MR. Uveitis 2007; http://www.uveitis.com/ph.images.uveitis/jpg/files [diakses
tanggal 27 Juli 2012]
Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P, Whitcher JP,
editors. General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007.
Kanski JJ. Retinal Vascular Disorders in Clinical Ophthalmology: A Systematic
Approach. 3rdEdition. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd, 1994. 152-200.
El-Asrar AMA, Struyf S, Van den Broeck C, et al. 2007. Expression of chemokines
and

gelatinase

in

sympathetic

http://www.nature.com/.../fig_tab/6702342f1.html [diakses tanggal 27 Juli 2012]

ophthalmia.

WebMD. Iritis and Uveitis 2005; http://www.emedicine.com. [diakses tanggal 27 Juli


2012]
WebMD. Uveitis, Anterior, Nongranulomatous 2005; http://www.emedicine.com.
[diakses tanggal 27 Juli 2012]
Foster CS. Pars Planitis 2007. http://www.uveitis.org/images/Eye.kids.NE3.jpg.files
[diakses tanggal 27 Juli 2012]

Anda mungkin juga menyukai