Anda di halaman 1dari 4

Dengan motto, Maju Bersama, Tumbuh Bersama tentu kita tidak ingin hidup

sejahtera, sementara tetangga sebelah hidup menderita. Faktor inilah salah satunya yang
melatarbelakangi para pemimpin negara serumpun untuk membentuk suatu komunitas atau
masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah lebih dari satu dekade lalu dibuat.
Komunitas yang awalnya hanya melahirkan enam negara ini pun sepakat untuk melebarkan
sayap perdagangan ASEAN terutama di depan mata para investor asing secara bersama-sama
dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia dengan skema pelepasan tarif bea
masuk impor maupun ekspor (CEPT-AFTA). Hal ini juga memungkinkan mobilitas manusia
semakin tinggi guna mensejahterakan dan meningkatkan interaksi antar ratusan juta warga
ASEAN yang terlibat didalamnya.
Hingga hari ini, masih banyak terjadi pro-kontra terkait

AFTA

seperti

minimnya

kemampuan berbahasa asing dan tertinggalnya kompetensi sumber daya manusia di


Indonesia. Pro-kontra ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga di banyak negaranegara ASEAN seperti Filipina dan Vietnam. Di Indonesia sendiripun, kehadiran AFTA
dinilai terlalu mengagetkan dan terburu-buru karena dianggap tiba-tiba tanpa adanya
sosialisasi. Memiliki jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, Indonesia dipastikan
menjadi target pasar yang empuk untuk negara-negara ASEAN lainnya hingga memunculkan
banyak spekulasi miring yang menganggap bahwa perdagangan bebas hanya akan menambah
daftar persoalan baru bagi negara yaitu perdagangan bebas yang kebablasan.
Namun terlepas dari itu semua, keadaan pro-kontra ini justru dianggap menarik oleh
beberapa pakar ekonomidan termasuk diri saya sendirihingga menjadikannya sebuah hal
yang menarik untuk dikaji lebih jauh karena banyak dari masyarakat Indonesia yang tentu
sudah merasa penasaran tentang sejauh mana pengaruh peran Presiden dan rezim
pemerintahan yang saat ini telah berjalan lebih dari satu caturwulan dalam membawa
masyarakat yang hampir 2/3 nya masih dinilai awam dalam menyimpulkan apa itu
perdagangan bebas ASEAN yang mana hanya tinggal menghitung hari tersebut.
Lantas mengapa saya menekankan peran rezim pemerintahan yang masih berumur
jagung ini sebagai pemerintahan yang paling berpengaruh bagi keberlangsungan AFTA?
Sekedar mengingatkan dan merefresh memori kita bersama, bahwa di rezim-rezim
pemeritahan sebelumnya kehadiran AFTA memang seolah disembunyikan namun banyak
usaha yang sudah dilakukan para pemimpin saat itu untuk mensukseskan AFTA. Contoh
Jokowi Di Mata AFTA

singkatnya saja pada saat Bapak Soeharto yang kala itu memikul beban berat dengan
mewakili Indonesia dalam pertemuan pembentukan AFTA pun menyadari dengan keadaan
200 juta masyarakatnya hingga dengan cepat mengambil langkah konkret dengan
menghadirkan

banyak

kebijakan

seperti

menggalakan

kebijakan

import

bahan pokok hingga kenaikan upah buruh pada rezim pemerintahannya. Tak cukup sampai
disitu, Bapak Gus Dur pun ikut berperan dengan menghadirkan jaminan sosial yang
diharapkan dapat terus dipertahankan oleh pemerintahan-pemerintahan selanjutnya untuk
mempersiapkan AFTA namun nyatanya kebijakan ini masih bersifat stagnan bahkan jauh
sebelum masa pemerintahannya berakhir.
Sedangkan untuk profile Presiden yang menjabat di tahun dimana AFTA secara resmi
mulai dilaksanakanperiode 2014-2018merupakan seorang yang ahli dalam hal bisnis dan
perdagangan. Sebelum terjun dalam dunia politik, beliauBapak Joko Widodo atau dikenal
Bapak Jokowimempunyai usaha mebel yang cukup sukses di belahan bumi selatan
IndonesiaPulau Jawa. Usaha yang dirintisnya dari 0 (Nol) ini sudah pasti membuat beliau
mengetahui dengan jelas seberapa sulitnya produk lokal menembus persaingan ASEAN
terlebih dunia. Sedangkan di era perdagangan bebas, peningkatan daya saing merupakan salah
satu kunci utama ketahanan industri lokal yang paling berpengaruh. Namun, bahkan sebelum
gema AFTA bergaung ke seluruh pelosok tanah air, daya saing yang terkesan sulit ditembus
ini sudah banyak membuat para produsen dalam negeri lebih memilih untuk gulung tikar dan
mencari aman dengan menjadi karyawan berpenghasilan UMK di sebuah perusahaan asing.
Jika kita melihat data indeks Revealed Comparative Advantages (RCA) yang berfokus
mengukur daya saing industri nasional memaparkan bahwa di tahun 2015 dan 2020
diperkiraan pertumbuhan industri Indonesia berada diposisi kelima dibawah negara
Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Kabar yang belum cukup menjadi angin segar
bagi kesejahteraan 300 Juta penduduk Indonesia ini merincikan bahwa produk industri
Indonesia yang berdaya saing masih sekitar 22,15 persen berada jauh dibawah Singapura yang
telah mencapai 41,95 persen dan Thailand 38,78 persen, rendahnya kompetensi sumber daya
manusia di Indonesia diperoleh dari faktor-faktor seperti tenaga kerja yang tidak memiliki
kualifikasi, belum sesuainya pendidikan kurikulum terhadap keahlian profesi dan lain-lainnya.
Melihat indeks data diatas, AFTA sudah jelas bukan sesuatu yang masuk dalam
kategori main-main. Ketidakseriusan pemerintah dalam menangani persoalan AFTA
seharusnya sudah tidak harus pada tempatnya sejak jauh-jauh hari. Namun di lain pihak, satu
Jokowi Di Mata AFTA

yang tidak bisa dibantahkan bahwa Bapak Jokowi tentu bukan orang sembarangan yang bisa
dengan tiba-tiba menduduki bangku kepemimpinan negara tanpa adanya ide-ide cerdas
bahkan terkadang terdengar tidak biasayang selama ini sudah dikenal luas, meskipun
terkesan terlambat, seperti yang dikutip pada sebuah media harian bahwa bapak presiden
melalui para menterinya telah berusaha dengan keras untuk keberhasilan AFTA 2015 nanti
seperti melakukan pengalihan dana subsidi BBM untuk sektor usaha, melakukan syarat ketat
bagi

warga

negara

asing

regional

ASEAN

yang

ingin

bekerja

di

Indonesia,

penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) pada masing-masing


sektor industri, dan lain-lainnya.
Bapak Jokowi mungkin bukan satu-satunya petinggi yang mengetahui dengan jelas
kapan gerbang AFTA terbuka lebar 100% namun peran Presiden dalam mengubah paradigma
masyarakat terutama dalam mendobrak kultur pesimisme masyarakat yang selalu menatap
was-was akan persaingan produk lokal dengan asing sangat dibutuhkan terutama dalam hal
membimbing usaha kecil menengah yang masih betah merangkak untuk mulai berdiri dan
berjalan gagah bersinar di pasar global. Tak lupa, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya
bahwa sistem pendidikan pun merupakan faktor utama dalam mencetak SDM (Sumber Daya
Manusia) di Indonesia karena itu wajar bagi sebagian orangtermasuk sayaberpendapat
bahwa peran Presiden masih dikatakan kurang efektif jika beliau hanya terfokus pada aspek
ekonomi saja tanpa adanya terobosan baru di bidang pendidikan.
Hingga akhirnya, segala sesuatunya pun akan kembali pada hukum rimba dimana
yang lemah akan kalah dan yang rapuh akan tergusur. Dalam realisasinya, peran Presiden di
mata AFTA memang sangat berpengaruh, namun tetap semua akan berakhir pada keinginan
kuat masyarakatnya itu sendiri. Sejenak, mari kita telan baik-baik apa yang Bapak Jokowi
katakan dalam debat pemilihan presiden lalu mengenai AFTA dan mengaplikasikannya di
detik ini juga sebelum AFTA benar-benar menjadi ancaman bagi diri kita sendiri.

Untuk berbicara mau atau tidak mau, Asean Free Trade ini harus tetap kita hadapi.
Ketika perdagangan AFTA terbuka maka orang Indonesia harus sudah siap bernegosiasi
dan melakukan transaksi sehingga kita betul-betul bisa menyerang kesana terlebih dahulu
tanpa ada yang terserang
Joko Widodo
Jokowi Di Mata AFTA

Jokowi Di Mata AFTA

Anda mungkin juga menyukai