Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

A. ANATOMI DAN FISIOLOGIS


Pengertian
Darah adalah cairan di dalam pembuluh darah yang mempunyai fungsi
mentransportasikan oksigen, karbohidrat dan metabolit; mengatur keseimbangan asam
dan basa; mengatur suhu tubuh dengan cara konduksi (hantaran), membawa panas
tubuh dari pusat produksi panas (hepar dan otot) untuk mendistribusikan ke seluruh
tubuh; dan pengaturan hormone dengan membawa dan menghantarkan kelenjar ke
sasaran.
Fungsi Darah

Bekerja dari system transport dari tubuh, mengantarkan semua bahan kimia,
oksigen dan zat kimia yang diperlukan untuk tubuh supaya fungsi normalnya dapat

dijalankan dan menyingkirkan karbon dioksida dan hasil buangan lainnya.


Sel darah merah mengantarkan oksigen ke jaringan dan menyingkirkan sebagian

dari karbon dioksida.


Sel darah putih menyediakan banyak baha pelindung dan arena gerakan fagositosis

dari beberapa sel maka melindungi tubuh dari serangan bakteri.


Plasma membagi protein yang diperlukan untuk pembentukan

jaringan;

menyegarkan cairan jaringan karena melalui cairan ini semua sel tubuh menerima
makanannya. Dan merupakan kendaraan untuk mengangkut bahan buangan ke

berbagai organ exkretorik untuk dibuang.


Hormon dan enzim diantarkan dari organ ke organ dengan perantaraan darah.

Bagian-Bagian Darah
o

Sel darah merah


Jika dilihat di bawah mikroskop, bentuk darah merah seperti saluran bikokaf
tersebut mempunyai inti, warnanya kuning kemerah-merahan, sifatnya kenyal
sehingga bias berubah bentuk sesuai dengan pembuluh darah.
Sel darah merah atau eritrosit berupa saluran kecil , cebung pada kedua sisinya
sehingga dilihat dari samping tampak seperti dua buah bulan sabit yang saling

bertolak belakang.
Sel darah putih
Bentuknya bening dan tidak berwarna ukurannya lebih besar dari pritosit,
bentuknya lebih besar 2X sel darah merah, tetapi juga bermacam-macam inti sel
dan banyak.
Sel polimorfonulitear dan monosit normal dibentuk hanya dalam sumsum tulang,
sebaliknya limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai organ limfogen

termasuk kelenjar limpa, limpa kelenjar timus forsit dan sisa limfoid yang terletak
o

dalam usus dan ditempat lain.


Trombosit
Trombosit adalah sel kecil kira-kira sepertiga ukuran sel darah merah. Peranannya
penting dalam penggumpalan darah. Trombosit merupakan benda-benda kecil yang
mati. Bentuk dan ukurannya bermacam-macam, ada yang bulat dan ada yang
lonjong, warnanya putih. Trombosit bukanlah sel melainkan berbentuk kepingkeping yang merupakan bagian-bagian terkecil dari sel besar. Trombosit dibuat di
susunan tulang, paru-paru dan limpa dengan ukuran kira-kira 2 4 miliron umur

peredarannya sekitra 10 hari.


Leukosit
Leukosit ( sel darah putih ) adalah unit-unit yang dapat bergerak dalam suatu
pertahanan tubuh, keadaan tubuh dan sifat sifat leukosit berlainan dengan eritrosit
dan apa bila kita periksa dan kita lihat dibawah mikroskop maka akan terlihat.
Bentuknya dapat berubah ubah dan mempunyai macam-macam inti sel sehingga ia
dapat dibedakan menurut inti selnya, warnanya bening (tidak berwarna) banyaknya
dalam 1 mm3 darah kira kira 6000 9000
Terdapat 5 jenis Leukosit yang bersirkulasi baik yang mempunyai granula
maupun tidak bergranula, yang dikenal dengan granulosit dan agranulosit.
Macam macam Leukosit meliputi (Agranulosit Dan Granulosit):
1. Agranulosit
a.
Limfosit, macam Leukosit yang dihasilkan dari jaringan reticulum endothelial
system dan kelenjar limfe, bentuknya ada yang kecil dan ada yang besar
didalam sitoplasmanya tidak terdapat granula dan intinya besar. Berfungsi
b.

sebagai pembunuh dan pemakan bakteri yang masuk kedalam jaringan tubuh.
Monosit, macam Leukosit yang terbanyak dibuat disumsum merah lebih besar
dari pada limfosit. Dibawah mikroskop terlihat bahwa protoplasmanya lebar,
warna biru dan sedikit abu abu mempunyai bintik bintik sedikit kemerahan.,

berfungsi sebagai fagosit.


2. Granulosit
a.
Neutrofil, atau polimor nukleur leukosit mempunyai inti sel yang barang kali
kadang kadang seperti terpisah pisah. Protoplasmanya banyak bintik-bintik
halus.

b.

Eusinofil, ukuran dan bentuknya hampir sama dengan neutrofil tetapi granula

c.

dan sitoplasmanya lebih besar.


Basofil, sel ini kecil dari pada eusinofil tetapi mempunyai inti yang bentuknya
teratur. Didalam protoplasmanya terdapat granular-granular besar.

Leukosit mempunyai 2 fungsi di dalam tubuh manusia antara lain :

Sebagai serdadu tubuh yaitu bertugas membunuh dan memakan bibit penyakit /
bakteri yang masuk kedalam tubuh jaringan RES ( sistem retikulo endotel ),

tempat pembiakannya di dalam limpa dan kelenjar limfe.


Sebagai pengangkut yaitu, mengangkut dan membawa zat lemak dari dinding
usus melalui limfa terus ke pembuluh darah.

B. DEFINISI
Leukemia mieloblastik akut [acute myelogenous leukemia (AML)] juga disebut
leukemia nonlimfositik akut [acute nonlymphocytic leukemia (ANLL)] adalah keganasan
progresif yang terbentuk dari prekursor hematopoietik, atau sel induk mieloid, yang
kemudian berkembang menjadi granulosit, monosit, eritrosit, dan trombosit
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasineoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari sel myeloid.
Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu
beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis.

C. EPIDEMIOLOGI
Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dariseluruh kasus
leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak
(15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa
dewasa muda.Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial
sejalan denganmeningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah

0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia di atas
65 tahun adalah sebesar 13,7%.Secara tidak umum tidak didapatkan adanya variasi
antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insidens LMA
tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada rasHispanik yang tinggal di Amerika Serikat
dibandingkan dengan ras Kaukasia.
D. ETIOLOGI
Etiologi LMA tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang
diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada
populasi tertentu. Benze nemerupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu, radiasi
ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Terdapat penelitian pada orang-orang
yang selamat dari serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1.5tahun sesudah
pengeboman dan mencapai puncak 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain
yang merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21yang dijumpai
pada penyakit herediter sindrom Down. Pasien sindrom Down mempunyai risiko10
hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu
pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga
diketahui mempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk
menderita LMA.Faktor lain yang memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan
kempterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi
jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker
payudara, kanker ovarium dan kanker testis.Jenis kemoterapi yang paling sering
memicu timbulnya LMA adalah golongan alkalyting agent

dan topoisomerase II

inhobitor. LMA akibat terapi mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan LMA
de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia versi WHO dikelompokkantersendiri.
Faktor Predisposisi :
a. Senyawa kimia (benzene) : zat lekomogenik untuk LMA
b. Radiasi ionic : Efek tampak 1,5 tahun sesudah pengeboman Hiroshima & Nagasaki.
c. Sindrom Down : trisomi kromosom 21 dimana terjadi resiko 10-18 kali lemih tinggi
menderita leukemia
d. Pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. Contoh jenis
kemoterapi : Golongan alkylating agent and topoisomerase II inhibitor

E. PATOFISIOLOGI
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan
proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat
terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang
akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome)
yang ditandai dengan adanya sitopenia ( anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya
anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan
sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan,
sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi,
termausk infeksi oportunis dari flora normal bakteri yang ada di dalam tubuh manusia.
Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar
sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak
dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

Sel ganas pada AML myeloblast tersebut. Dalam hematopoiesis normal,


myeloblast merupakan prekursor belum matang myeloid sel darah putih, sebuah
myeloblast yang normal secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah dewasa putih.
Namun, dalam AML, sebuah myeloblast tunggal akumulasi perubahan genetik yang
"membekukan" sel dalam keadaan imatur dan mencegah diferensiasi.Seperti mutasi
saja tidak menyebabkan leukemia, namun ketika seperti "penangkapan diferensiasi"
dikombinasikan dengan mutasi gen lain yang mengganggu pengendalian proliferasi,
hasilnya adalah pertumbuhan tidak terkendali dari klon belum menghasilkan sel, yang
mengarah ke entitas klinis AML. Sebagian besar keragaman dan heterogenitas AML
berasal dari kenyataan bahwa transformasi leukemia dapat terjadi di sejumlah langkah
yang berbeda di sepanjang jalur diferensiasi. Skema klasifikasi modern untuk AML
mengakui bahwa karakteristik dan perilaku dari sel leukemia (dan leukemia) mungkin
tergantung pada tahap di mana diferensiasi dihentikan.
Spesifik sitogenetika kelainan dapat ditemukan pada banyak pasien dengan
AML, jenis kelainan kromosom sering memiliki makna prognostik. Para translokasi
kromosom yang abnormal menyandikan protein fusi, biasanya faktor transkripsi yang
mengubah sifat dapat menyebabkan "penangkapan diferensiasi." Sebagai contoh, pada
leukemia promyelocytic akut, t (15; 17) translokasi menghasilkan protein fusi PMLRAR yang mengikat ke reseptor unsur asam retinoat dalam beberapa promotor
myeloid-gen spesifik dan menghambat diferensiasi myeloid. Klinis tanda dan gejala
hasil AML dari kenyataan bahwa, sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia cenderung untuk
menggantikan atau mengganggu perkembangan sel-sel darah normal dalam sumsum
tulang. Hal ini menyebabkan neutropenia, anemia, dan trombositopenia.
(Terlampir)
F. MANIFESTASI KLINIS
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu
dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15%
pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami
netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi
akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk
memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit didarah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk
menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi
yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan
diatas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia sering dijumpai
di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan

yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC
ini paling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi ditenggorokan,
paru-paru, kulit dan daerah peri rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa
secara teliti pada pasien LMA dengan demam.
Pada pasien denagn angka leukosit yang tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3), sering
terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran penbuluh
darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi
sumbatanya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas,
nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan
gangguan metabolisme berupa hiperuresemia dan hipoglikemia. Hiperuresemia terjadi
akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secar cepat dalam jumlah yang besar.
Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan
diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimtomatik karena hipoglikemia
tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervareasi
tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast dikulit akan menyebabkan
leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit,
sedang infiltrasi sel-sel blas di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit
( kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan nyeri tulang yang
sepontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakan gusi sering di jumpai sebagai
manifestasi infiltrasi sel-sel blas kedalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat
dijumpai infiltrasi sel-sel blast kedaerah menings dan untuk penegakan diagnosis
diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebrospinal yang di ambil melalui prosedur
fungsi lumbal.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Secara klasik diagnosis LMA di tegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua
dekade tahun yang lalu berkembang 2 (dua) tekhnik pemeriksaan terbaru:
immunophenotyping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel
dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi amerika, perancis dan inggris
pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 sub tipe (M0 sampai
dengan M7). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar MLA.
Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien MLA adalah Sudan Black B (SBB) dan

mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil


positif pada pasien MLA tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.
Pemeriksaan penentuan imunofenotip adalah suatu tehknik pengecatan
moderen yang dikembangkan berdasarkan reaksi antigen dan antibody. Diketahui
bahwa permukaan membran sel-sel darah mengekspresikan antigen yang berbedabeda tergantung dari jenis dan tingkat diferensiasi sel-sel darah tersebut. Sebagi contoh
sel limfosit mengekspresikan antigen yang berbeda dengan sel granulosit maupun sel
trombosit dan eritrosit. Demikian pula limfosit B mempunyai ekspresi antigen yang
berbeda dengan limfosit T. Selain itu sel-sel blast mengekspresikan antigen yang
berbeda dengan se-sel leukosit yang lebih matur seperti promielosit dan mielosit. Bila
antigen yang terdapat di permukaan membran sel tersebut dapat diedentifikasi dengan
antibodi yang spesifik, maka akan dapat dilakukan identifikasi jenis sel dan tingkat
maturitasnya yng lebik akurat. Identifikasi sel dengan teknik immunophenotyping
biasanya diber label CD (cluster of differentiation). Saat ini terdapat lebih dari 200 CD
yang menjadi penanda berbagai jenis dan tingkat maturitas sel-sel darah. Selain
berfungsi sebagai alat diagnosis, teknik immunophenotyping juga mempunyai nilai
prognostik dan terapi. Sebagai contoh, pasien LMA yang mengekspresikan CD7
mempunyai prognosis yang jelek sedang pasien LMA yang mengekspresikan CD2
mempunyai prognosis yang lebih baik. Saat ini juga sedang dikembangkan terapi
antibodi yang secara spesifik mempunyai target terapi CD33, gentuzumab asagamicin,
yang diindikasikan bagio pasien LMA usia lanjut yang mengekspresiakn CD33.
Analisis sitogenetik pada keganasan hematologi telah dimulai sejak awal 1960
dan berkembang lebih pesat sejak awal 1980an. Terdapat dua kelainan dasar sitigenetik
pada LMA: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom
dan kelainan menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan hilang atau
bertambahnya materi kromosom. Kelainan pertama dapat berupa kehilangan sebagian
dari materi kromosom (delesi/del) atau hilangnya satu materi kromosom secara utuh
(monosomi). Penambahan materi kromosom juga dapat bersifat sebagian (duplikasi/d)
atau bertambah satu atau lebih materi kromosom secara utuh (trisomi, tetrasomi).
Kelainan kedua berupa perubahan kromosom seimbang dalam bentuk perubahan
resiprokal antara dua atau lebih kromosom (translokasi/t) atau perubahan pada
berbagai bagian dalam satu kromosom (inversi/inv).
Kelainan sitogenetik t (8,21), t (15,17), inv (16)/t dan translokasi 11 q23
merupakan kelainan sitogenetik yang dijumpai pada 21%-28% pada pasien LMA
dewasa. Kelainan sitigeneti lain yang dijumpai dalam jumlah cukup signifikan pada
pasien LMA adalah trisomi, delesi dan kelainan karyotype yang kompleks (mempunyai
kelainan sitogenetik 3 atau lebih). Kelainan sitogenetik pada pasien LMA mempunyai

nilai prognostik. Pasien dengan kelaina sitogenetik: t (15;17), inv (16), t (16;16) atau del
(16q) dan t (8;21) yang tidak disertai del (9q) atau kelainan karyotype yang kompleks
mempunyai prognosis yang baik (favourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8,-Y,
+6, del (12p) atau karyotype yang normal mempunyai prognosis yang sedang
(intermediate), sedangkan pasien dengan kelainan sitogenetik -5 atau del (5q), -7 atau
del (7q), inv (3q), del (9q), t (9;22) dan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis
yang buruk (unfavourable). Profil kelainan sitogenetik pada pasien LMA juga
mempunyai implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun masih kontrovensi,
telah dikembangkan strategi terapi pada pasien LMA berdasarkan profil sitogenik
pasien.
Berdasarkan profil kelainan sitogenetik pasien, WHO mengajukan usulan
perubahan klasifikasi LMA, yang telah diadopsi di banyak negara.
Tabel 1. Klasifikasi WHO Untuk LMA
I. LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren
LMA dengan t(8;21)(q22;q22), AML1(CBF)/ETO
APL dengan t(15;17)(q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RAR
LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)(p13q22) atau
t(16;16)(p13;q11),CMF/MHY11
LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
II. LMA dengan multilineage dysplasia
Dengan sindrom myelodisplasia
Tanpa sindrom myelodisplasia
III. LMA dan sindroma myelodisplastik yang berikatan dengan terapi
akibat obat alkilasi
akibat apipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan limfoid) tipe lain
IV. LMA yang tidak terspesifikasi
LMA diferensiasi minimal
LMA tanpa maturasi
LMA dengan maturasi
LMA dengan diferensiasi monotik
Leukimia monositik akut
Leukemia eritroid akut
Leukemia megakariositik akut
Leukemia basofilik akut
Panmielosis akut dengan mielofibrosis
Menurut (Komite Medik, 2000) Akut Mieloblastik Leukemia dibagi menjadi 7
varian, klasifikasi menurut FAB (French, American, British) sebagai berikut:

M1: Akut Mieloblastik Leukemia tanpa diferensiasi terdiri atas promieblas tak
bergranula, kadang ada granula azurolitik, Auer Rod sangat jarang ada nukleoli
jelas 1 2
M2: Akut Mieloblastik Leukemia dengan diferensiasi awal terdiri atas promielosit (sel-sel
dengan sedikit granula inti masih bulat atau sedikit melekuk, plasma biru) dan
mioblas, Auer rod sering ada
M3: Promyelocytic Leukemia sel dengan granula lebih kasar dan lebih banyak, inti
seperti ginjal, Auer rod mudah ditemukan
M4: Akut Mieloblastik Leukemia terdiri atas sel muda myeloid yang telah bergranula dan
monosit (jumlah mieloblast, promielosit, mielosit dan seri granulosit lain > 20%
tetapi kurang dari 80% dari sel berinti non eritroid)
M5: Akut Monoscytic Leukemia, sel dari seri granulosit <>
a. M5 A kurang deferensiasi: monoblast besar dengan inti berkromatin seperti benangbenang halus bentuk bulat atau oval, nukleoli 1-3 tampak vesikuler, sitplasma
banyak biru. Tipe ini lebih banyak pada anak dan dapat dikacaukan dengan LLA
terutama L3 (dibedakan dengan pengecetan esterase non spesifik) 90% kasus
esterase positif.
b. M5 B lebih berdiferensiasi: 20% atau lebih berupa promonosit atau lebih tua dengan
nuklei berlekuk-lekuk, sitoplasma biru abu-abu dan granula azurofilik tersebar,
jarang ada Auer rod.
M6: Erythroleukimia > 30% adalah leukositas dan 50% adalah 1 induk eritroid
megaloblastik
M7: Megakaryocitik leukemia, jarang sekali merupakan bentuk fulminan, pasien sering
menunjukkan pansitopenia, sumsum tulang sering dry tetap pada biopsi terdapat
peningkatan retikuli dengan kelompokan megakorlosit atipik dan atau blast.

Penyakit

Leukemia

dapat

dipastikan

dengan

beberapa

pemeriksaan,

diantaranya adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)}, CT or


CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal tap/lumbar
puncture.
Kelainan hematologis

Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x 106/mm3.


Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 103 /mm3. Leukosit yang ada

dalam darah tepi terbanyak adalah myeloblas.


Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang mengandung
badan auer suatu kelainan yang pathogonomis untuk LMA.

Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang masif,


sedang megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan sumsum
tulang ini sudah akan jelas meskipun myeloblas belum tampak dalam darah tepi. Jadi
kadang-kadang ditemukan kasus dengan pansitopenia perifer akan tetapi sumsum
tulang sudah jelas hiperseluler karena infiltrasi dengan myeloblas. Kadan-kadang
ditemukan Auer body dalam mieloblas. Kadang manifestasi pertama sebagai
eritroleukemia (ploriferasi eritroblas dan mieloblas dalam sumsum tulang) yang
berlangsung beberapa bulan/tahun sebelum fambaran mieloblastiknya menjadi jelas
benar.
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada pasien LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel klonal
leukemik dan untuk memulihkan hematopoesis normal didalam sumsum tulang. Survival
jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis
kemoterapi tidak boleh diturunkan karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang
diturunkan ini tetap akan menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum
tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun
untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang.
Untuk mencapai eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, diperlikan strategi
yang baik. Umum regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari beberapa fase :
fase induksi dan fase konsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi
yang intensif yang bertujuan untuk mengeradikasi sel-sel leukemik secara maksimal
sehingga tercapai remisi komplit. Istilah remisi komplit digunakan jika jumlah sel-sel
darh diperedaran darah tepi kembali normal serta pulihnya populasi sel di sumsum
tulang termasuk termasul jumlah sel-sel blast <5%. Perlu ditekankan disini, meskipun
tejadi remisi komplit tidak berarti bahwa sel-sel klonal leukemik telah tereradikasi
seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila jumlahnya lebih
dari 109 log sel. Jadi pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah signifikan sel-sel
leukemik didalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini
berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena
itu, meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditinjak lanjuti dengan program
pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi komsolidasi biasanya
terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat dengan jenis dan dosis
yang sama atau lebih besar dari dosis yang digunakn pada fase induksi.
Seperti yang sudah disebutkan diatas, tujuan utama pengobatan LMA adalah
untuk mengeradikasi sel-sel leukemik didalam sumsum tulang. Tindakan ini juga akan

mengeradikasi sisa-sisa sel hepatopoetis noramal yang ada di sumsum tulang,


sehingga pasien LMA akan mengalami periode aplasia pasca terapi induksi. Pada saat
tersebut pasien sangat rentan terhadap infeksi dan pendarahan. Pada kasus yang berat
kedua komplikasi ini dapat berakibat fata. Oleh karena itu terapi suportif berupa
penggunaan antibiotika dan tranfusi komponen darah ( khususnya sel darah merah dan
trombosit ) sangat penting untuk menunjang keberhasilan terapi LMA.
Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaitu terapi untuk LMA pada umumnya dan
terapi khusus untuk leukemia promielositik akut (LPA).

Terapi LMA pada Umumnya (tabel 3)


Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan
daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infusif kontinyu
selama 7 hari dan daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40%
pasien mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang
diberikan sebagai obat tunggal, sedang bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit
dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat residual disease pada hari ke-28 perlu
dipertimbangkan adanya gagal terapi primer dan perlu dimulai terapi alternatif dengan
regimen lain.
Pada pasien dengan gangguan fungsi jantung pemakaian antrsiklikn merupakan
kontra indikasi terutama bila terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang
dari 50%. Pilihan terapi pada kondisi ini adalah High dose cytarabine (ara-C)/HDAC.
Regimen terapi yang dipakai pada HDAC adalah sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2

jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam
pada hari 1,3, dan 5.
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi,
transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetik stem cell transplantion/ HSCT)
otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca remisi ditentukan berdasarkan
usia dan faktor prognostik, teritama profil sitogenik. Sebagian besar pasien usia muda
memberikan respon yang lebih baik dibandingkan usia usia tua.
Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan / atau HSCT untuk
mencapai remisi komplit kedua atau hanya diberikan perwatan suportif. Pencapaian
remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitogenik, namun lebih
dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas
aktif. Durasi median remisi komplit kedua umunya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT
dengan disease-fre survival kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya
pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umunya
terbatas.
Terapi pada penderita LMA antara lain :
a. Kemoterapi pada penderita LMA
Fase induksi
Fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif, bertujuan untuk
mengeradikasi sel-sel leukemia secara maksimal sehingga tercapai remisi
komplit. Walaupun remisi komplit telah tercapai, masih tersisa sel-sel leukemia di
dalam tubuh penderita tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini

berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa yang akan datang.


Fase konsolidasi
Fase konsolidasi dilakukan sebagai tindak lanjut dari fase induksi. Kemoterapi
konsolidasi biasanya terdiri dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan
obat dengan jenis dan dosis yang sama atau lebih besar dari dosis yang
digunakan pada fase induksi.
Dengan pengobatan modern, angka remisi 50-75%, tetapi angka rata-rata

hidup masih 2 tahun dan yang dapat hidup lebih dari 5 tahun hanya 10%.
b. Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel
leukemia. Sinar berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam
tubuh tempat menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa menjadi gelombang atau
partikel seperti proton, elektron, x-ray dan sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini
dapat diberikan jika terdapat keluhan pendesakan karena pembengkakan kelenjar
getah bening setempat.
c. Transplantasi Sumsum Tulang

Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang


rusak dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat
disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi
sumsum tulang juga berguna untuk mengganti sel-sel darah yang rusak karena
kanker. Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-80% angka keberhasilan) dicapai jika
menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun setelah terdiagnosis dengan donor
Human Lymphocytic Antigen (HLA) yang sesuai. Pada penderita LMA transplantasi
bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan
dan pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap
pengobatan.
d. Terapi Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag ditimbulkan penyakit
leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk
penderita leukemia dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi
perdarahan dan antibiotik untuk mengatasi infeksi.
I.

KOMPLIKASI
1. Sepsis
2. Perdaahan
3. Gagal organ
4. Iron Deficiency Anemia (IDA)
5. Kematian

ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas
Gejala
: Kelemahan, malaise, kelemahan ; ketidakmampuan untuk melakukan

2.

aktivitas biasanya.
Tanda
: Kelelahan otot, Peningkatan kebutuhan tidur, somnolen.
Sirkulasi
Gejala
: Palpitasi
Tanda
: Takikardi, murmur jantung. Kulit, membran mukosa pucat, nadi, TD.

3.

Defisit saraf kranial dan atau tanda perdarahan serebral.


Eliminasi
Gejala
: Diare ; nyeri tekan perianal, nyeri. Darah merah terang pada tisu,

4.

5.

feses hitam. Darah pada urin (gross hematuria), penurunan haluran urin.
Integritas Ego
Gejala
: Perasaan tidak berdaya/tidak ada harapan
Tanda
: Depresi, menarik diri, ansietas, takut, marah, mudah terangsang.
Perubahan alam perasaan, kacau.
Makanan/cairan
Gejala
: Kehilangan nafsu

makan,

anoreksia,

muntah.

Perubahan

rasa/penyimpangan rasa. Penurunan berat badan. Faringitis, disfagia.


Tanda
: Distensi abdominal, penurunan bunyi usus. Splenomegali,
6.

hepatomegali; ikterik. Stomatitis, ulkus mulut. Hipertrofi gusi


Neuorosensori
Gejala

: Kurang/penuurunan koordinasi, penurunan kesadaran, pusing


Perubahan alam perasaan, kacau, disorientasi kurang konsentrasi.
Pusing; kebas, kesemutan, parastesia

Tanda
7.

: Otot mudah terangsang, aktivitas kejang, delirium, muntah-muntah

Nyeri/kenyamanan
Gejala

: Nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang/sendi; nyeri tekan sternal,

kram otot.
Tanda
: Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah, fokus pada diri sendir.
8.

Pernapasan
Gejala

: Nafas pendek dengan kerja minimal

Tanda

: Dipsnea, takipnea, sianosis


Batuk
Gemericik, ronchi

Penurunan bunyi nafas


9.

Keamanan
Gejala

: Riwayat infeksi saat ini/dahulu; jatuh


Gangguan penglihatan/kerusakan
Perdarahan spontan tak terkontrol dengan trauma minimal

Tanda

: Demam, infeksi
Kemerahan, purpura, perdarahan retinal, perdarahan gusi, atau

epistaksis
Pembesaran nodus limfe, limpa, atau hati (sehubungan dengan invasi
jaringan).
Papiledema dan eksoftalmus
Infiltrat leukimia pada dermis
10. Seksulitas
Gejala

: Perubahan libido.
Perubahan aliran menstruasi, menorgia.
Impoten

11. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala

Riwayat

terpajan

pada

kimiawi,

mis.benzene,

fenilbutazon,

kloramfenikol; kadar ionisasi radiasi berlebihan; pengobatan kemoterapi


sebelumnya, khususnya agen pengkelat.
Gangguan kromosom, contoh sindrome Down atau anemia Franconi
aplastik.
Pemeriksaan Diagnostik
1.
Hitung darah lengkap : Menunjukkan normositik, anemia normositik.
2.
Hemoglobulin : dapat kurang dari 10 gr/100 ml.
3.
Retikulosit : Jumlah biasanya rendah
4.
Trombosit : sangat rendah <50.000/mm.
5.
SDP : mungkin lebih dari 50000/cm dengan peningkatan SDP imatur.
6.
PTT : memanjang
7.
LED : mungkin meningkat
8.
Asam urat serum : mugkin meningkat
9.
Muramidase serum : pengiktan pada leukimia monositik akut dan mielomonositik.
10. Copper serum : meningkat
11. Zink serum : menurun
12. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
13. Aspirasi sumsum tulang
14. Pemeriksaan fungsi ginjal
15. Pemeriksaan elektrolit
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko Infeksi
2. Gangguan perfusi jaringan b/d hipoksia sel.
3. Nyeri (akut) b/d pembesaran organ atau nodus limfe.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia.
5. Hipertermi b/d proses penyakit.

6.

Intoleransi aktifitas b/d kelemahan , penurunan sumber energi, ketidakseimbangan

suplai oksigen dengan kebutuhan.


7. Perubahan proses keluarga b/d mempunyai anak yang menderita leukemia..
8. Antisipasi berduka b/d perasaan potensial kehilangan anak.
C. INTERVENSI
Adapun diagnosa keperawatan pada klien dengan leukemia secara teoritis
menurut Dongoes, Marylinn E, (2000 : 599 604) yaitu :
1. Resiko tinggi infeksi behubungan dengan tidak adekuat pertahan sekunder
Tujuan : Mengidentifikasi tindakan untuk mencegah atau menurunkan resiko tinggi.
Tindakan atau intervensi (rasional) :
a. Tempatkan pada ruanga khusus. Batasi pengunjung sesuai indikasi.
Rasional
: Melindungi dari sumber potensial patogen/infeksi. Catatan :
supresi sumsum tulang berat, neutropenia, dan kemoterapi menempatkan
b.

pasien pada resiko tinggi infeksi.


Berikan protokol untuk mencuci tangan yang baik untuk semua petugas dan

pengunjung.
Rasional
: Mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi.
c. Awasi tanda2 infeksi. Perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan
pengobatan kemoterapi. Observasi demam sehubungan dengan takikardi,
hipotensi, perubahan mental samar.
Rasional
: Hipertermia lanjut terjadi padea beberapa tipe infeksi, dan demam
(tidak berhubungan dengan obat atau produk darah) terjadi pada banyak pasien
leukimia. Catatan: Septikemia dapat terjadi tanda demam.
d. Cegah menggigil: tingkatkan cairan. Berikan mandi kompres.
R : Membantu menurunkan demam, yang menambah ketidak seimbangan
cairan, ketidak nyamanan, dan komplikasi SSP.
e. Dorong klien untuk sering mengubah posisi, nafas dalam, dan batuk.
Rasional
: Mencegah statis sekret pernafasan, menurunkan resiko
atelektasis/pneumonia.
Inspeksi kulit untuk nyeri tekan
Rasional
: Mengidentifikasi infeksi lokal
g. Inspeksi membran mukosa mulut
Rasional
: Rongga mulut adalah medium yang baik untuk perumbuhan
f.

organisme
h. Kolaborasi : Hitung darah lengkap
Rasional
: Penurunan SDP abnormal dapat diakibatkan oleh proses penyakit
i.
j.
2.

atau kemoterapi.
Kolaborasi :Berikan obat sesuai indikasi, contoh antibiotik
Rasional
: Untuk mengobatkan infeksi
Kolaborasi : Berikan diet rendah bekteri, misalnya makanan dimasak, diproses.
Rasional
: Meminimalkan sumber potensial kontaminasi bakterial.

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pendarahan


Tujuan : Menunjukan volume cairan adekuat, dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi
teraba, dan haluaran urin.
Tindakan atau intervensi (rasional) :
a. Awasi intake dan output

Rasional

: Kemungkinan dapat mengakibatkan batu ginjal, retensi urin dan

ginjal.
b. Timbang berat badan setiap hari
Rasional
: Mengukur keadekuatan penggantian cairan sesuai fungsi ginjal.
c. Awasi tekanan darah dan frekuensi jantung
Rasional
: Perubahan dapat menunjukkan efek hipovolemia
(perdarahan/dehidrasi).
d. Perhatikan perdarah gusi
Rasional
: Supresi sumsum tulang dapat produksi trombosit menempatkan
pasien pada resiko perdarahan spontan tak terkendali.
e. Kolaborasi : Berikan cairan intravena sesuai indikasi
Rasional
: Mempertahankan keseimbangan cairan atau elektrolit karena
f.

tidak adekuatnya pemasukan oral.


Kolaborasi :Berikan transfusi SDM, trombosit, faktor pembekuan.
Rasional
: Memperbaiki atau menormalkan jumlah SDM dan kapasitas
pembawa oksigen untuk memperbaiki anemia, berguna untuk mencegah atau

mengobati pendarahan.
3. Nyeri akut berhubungan dengan pembesaran organ/nodus limfe, sumsum tulang
yang dikemas dengan sel leukemik.
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
Tindakan atau inetrvensi (Rasional) :
a. Selidiki keluhan nyeri, perhatikan perubahan pada derajat dua sisi (gunakan
skala 0-10).
Rasional
: Membantu mengkaji kebutuhan untuk intervensi:dapat
mengidfentifikasi terjadinya komplikasi.
b. Tempatkan pada posisi nyaman dan sokong sendi, ekstrimitas dengan bantal
atau bantalan.
Rasional
: Dapat menurunkan ketidaknyamanan tulang atau sendi.
c. Ubah posisi secara periodik dan berikan atau bantu latihan rentang gerak.
Rasional
: Memperbaiki sirkulasi jaringan dan mobilitas sendi.
d. Bantu atau berikan aktivitas terapeutik dan tehnik relaksasi
Rasional
: Membantu manajemen nyeri dengan perhatian langsung.
e. Kolaborasi : Awasi kadar asam urat
Rasional
: Penggantian cepet dan dekstruksi leukimia (sel) selama
kemoterapi meningkatkan asam urat, menyebabkan pembengkakan dan nyeri
f.

sendi.
Kolaborasi : Berikan obat sesuai indikasi

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aru.W.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.Jakarta : 2006
Permono,Bambang.Buku Ajar Hematologo-OnkologiAnak.Badan Penerbit IDAI.Jakarta:2005
Engram, Barbara.Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah.EGC.Jakarta:1999
Doenges, Marilyn.E.Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.EGC.Jakarta:2000
Long,

Barbar

C.Perawatan

keperawatan.Bandung:1996

Medikal

Bedah.Yayasan

Ikatan

Alumni

{endidikan

Anda mungkin juga menyukai