Bekerja dari system transport dari tubuh, mengantarkan semua bahan kimia,
oksigen dan zat kimia yang diperlukan untuk tubuh supaya fungsi normalnya dapat
jaringan;
menyegarkan cairan jaringan karena melalui cairan ini semua sel tubuh menerima
makanannya. Dan merupakan kendaraan untuk mengangkut bahan buangan ke
Bagian-Bagian Darah
o
bertolak belakang.
Sel darah putih
Bentuknya bening dan tidak berwarna ukurannya lebih besar dari pritosit,
bentuknya lebih besar 2X sel darah merah, tetapi juga bermacam-macam inti sel
dan banyak.
Sel polimorfonulitear dan monosit normal dibentuk hanya dalam sumsum tulang,
sebaliknya limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai organ limfogen
termasuk kelenjar limpa, limpa kelenjar timus forsit dan sisa limfoid yang terletak
o
sebagai pembunuh dan pemakan bakteri yang masuk kedalam jaringan tubuh.
Monosit, macam Leukosit yang terbanyak dibuat disumsum merah lebih besar
dari pada limfosit. Dibawah mikroskop terlihat bahwa protoplasmanya lebar,
warna biru dan sedikit abu abu mempunyai bintik bintik sedikit kemerahan.,
b.
Eusinofil, ukuran dan bentuknya hampir sama dengan neutrofil tetapi granula
c.
Sebagai serdadu tubuh yaitu bertugas membunuh dan memakan bibit penyakit /
bakteri yang masuk kedalam tubuh jaringan RES ( sistem retikulo endotel ),
B. DEFINISI
Leukemia mieloblastik akut [acute myelogenous leukemia (AML)] juga disebut
leukemia nonlimfositik akut [acute nonlymphocytic leukemia (ANLL)] adalah keganasan
progresif yang terbentuk dari prekursor hematopoietik, atau sel induk mieloid, yang
kemudian berkembang menjadi granulosit, monosit, eritrosit, dan trombosit
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasineoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari sel myeloid.
Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu
beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis.
C. EPIDEMIOLOGI
Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dariseluruh kasus
leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak
(15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa
dewasa muda.Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial
sejalan denganmeningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah
0,8%, pada orang yang berusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia di atas
65 tahun adalah sebesar 13,7%.Secara tidak umum tidak didapatkan adanya variasi
antar etnik tentang insidensi LMA, meskipun pernah dilaporkan adanya insidens LMA
tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada rasHispanik yang tinggal di Amerika Serikat
dibandingkan dengan ras Kaukasia.
D. ETIOLOGI
Etiologi LMA tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang
diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada
populasi tertentu. Benze nemerupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu, radiasi
ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Terdapat penelitian pada orang-orang
yang selamat dari serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1.5tahun sesudah
pengeboman dan mencapai puncak 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain
yang merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21yang dijumpai
pada penyakit herediter sindrom Down. Pasien sindrom Down mempunyai risiko10
hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7. Selain itu
pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga
diketahui mempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk
menderita LMA.Faktor lain yang memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan
kempterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi
jangka panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker
payudara, kanker ovarium dan kanker testis.Jenis kemoterapi yang paling sering
memicu timbulnya LMA adalah golongan alkalyting agent
dan topoisomerase II
inhobitor. LMA akibat terapi mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan LMA
de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia versi WHO dikelompokkantersendiri.
Faktor Predisposisi :
a. Senyawa kimia (benzene) : zat lekomogenik untuk LMA
b. Radiasi ionic : Efek tampak 1,5 tahun sesudah pengeboman Hiroshima & Nagasaki.
c. Sindrom Down : trisomi kromosom 21 dimana terjadi resiko 10-18 kali lemih tinggi
menderita leukemia
d. Pengobatan dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. Contoh jenis
kemoterapi : Golongan alkylating agent and topoisomerase II inhibitor
E. PATOFISIOLOGI
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan
proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat
terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang
akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome)
yang ditandai dengan adanya sitopenia ( anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya
anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan
sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan,
sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi,
termausk infeksi oportunis dari flora normal bakteri yang ada di dalam tubuh manusia.
Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar
sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak
dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.
yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC
ini paling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi ditenggorokan,
paru-paru, kulit dan daerah peri rektal, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa
secara teliti pada pasien LMA dengan demam.
Pada pasien denagn angka leukosit yang tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3), sering
terjadi leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran penbuluh
darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi
sumbatanya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas,
nyeri dada dan priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan
gangguan metabolisme berupa hiperuresemia dan hipoglikemia. Hiperuresemia terjadi
akibat sel-sel leukosit yang berproliferasi secar cepat dalam jumlah yang besar.
Hipoglikemia terjadi karena konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan
diperiksa, sehingga akan dijumpai hipoglikemia yang asimtomatik karena hipoglikemia
tersebut hanya terjadi in vitro tetapi tidak in vivo pada tubuh pasien.
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervareasi
tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast dikulit akan menyebabkan
leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit,
sedang infiltrasi sel-sel blas di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit
( kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan menimbulkan nyeri tulang yang
sepontan atau dengan stimulasi ringan. Pembengkakan gusi sering di jumpai sebagai
manifestasi infiltrasi sel-sel blas kedalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat
dijumpai infiltrasi sel-sel blast kedaerah menings dan untuk penegakan diagnosis
diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebrospinal yang di ambil melalui prosedur
fungsi lumbal.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Secara klasik diagnosis LMA di tegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua
dekade tahun yang lalu berkembang 2 (dua) tekhnik pemeriksaan terbaru:
immunophenotyping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel
dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi amerika, perancis dan inggris
pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 sub tipe (M0 sampai
dengan M7). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar MLA.
Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien MLA adalah Sudan Black B (SBB) dan
nilai prognostik. Pasien dengan kelaina sitogenetik: t (15;17), inv (16), t (16;16) atau del
(16q) dan t (8;21) yang tidak disertai del (9q) atau kelainan karyotype yang kompleks
mempunyai prognosis yang baik (favourable); pasien dengan kelainan sitogenetik +8,-Y,
+6, del (12p) atau karyotype yang normal mempunyai prognosis yang sedang
(intermediate), sedangkan pasien dengan kelainan sitogenetik -5 atau del (5q), -7 atau
del (7q), inv (3q), del (9q), t (9;22) dan karyotype yang kompleks mempunyai prognosis
yang buruk (unfavourable). Profil kelainan sitogenetik pada pasien LMA juga
mempunyai implikasi terhadap terapi sebab dewasa ini, meskipun masih kontrovensi,
telah dikembangkan strategi terapi pada pasien LMA berdasarkan profil sitogenik
pasien.
Berdasarkan profil kelainan sitogenetik pasien, WHO mengajukan usulan
perubahan klasifikasi LMA, yang telah diadopsi di banyak negara.
Tabel 1. Klasifikasi WHO Untuk LMA
I. LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren
LMA dengan t(8;21)(q22;q22), AML1(CBF)/ETO
APL dengan t(15;17)(q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RAR
LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan inv (16)(p13q22) atau
t(16;16)(p13;q11),CMF/MHY11
LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
II. LMA dengan multilineage dysplasia
Dengan sindrom myelodisplasia
Tanpa sindrom myelodisplasia
III. LMA dan sindroma myelodisplastik yang berikatan dengan terapi
akibat obat alkilasi
akibat apipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan limfoid) tipe lain
IV. LMA yang tidak terspesifikasi
LMA diferensiasi minimal
LMA tanpa maturasi
LMA dengan maturasi
LMA dengan diferensiasi monotik
Leukimia monositik akut
Leukemia eritroid akut
Leukemia megakariositik akut
Leukemia basofilik akut
Panmielosis akut dengan mielofibrosis
Menurut (Komite Medik, 2000) Akut Mieloblastik Leukemia dibagi menjadi 7
varian, klasifikasi menurut FAB (French, American, British) sebagai berikut:
M1: Akut Mieloblastik Leukemia tanpa diferensiasi terdiri atas promieblas tak
bergranula, kadang ada granula azurolitik, Auer Rod sangat jarang ada nukleoli
jelas 1 2
M2: Akut Mieloblastik Leukemia dengan diferensiasi awal terdiri atas promielosit (sel-sel
dengan sedikit granula inti masih bulat atau sedikit melekuk, plasma biru) dan
mioblas, Auer rod sering ada
M3: Promyelocytic Leukemia sel dengan granula lebih kasar dan lebih banyak, inti
seperti ginjal, Auer rod mudah ditemukan
M4: Akut Mieloblastik Leukemia terdiri atas sel muda myeloid yang telah bergranula dan
monosit (jumlah mieloblast, promielosit, mielosit dan seri granulosit lain > 20%
tetapi kurang dari 80% dari sel berinti non eritroid)
M5: Akut Monoscytic Leukemia, sel dari seri granulosit <>
a. M5 A kurang deferensiasi: monoblast besar dengan inti berkromatin seperti benangbenang halus bentuk bulat atau oval, nukleoli 1-3 tampak vesikuler, sitplasma
banyak biru. Tipe ini lebih banyak pada anak dan dapat dikacaukan dengan LLA
terutama L3 (dibedakan dengan pengecetan esterase non spesifik) 90% kasus
esterase positif.
b. M5 B lebih berdiferensiasi: 20% atau lebih berupa promonosit atau lebih tua dengan
nuklei berlekuk-lekuk, sitoplasma biru abu-abu dan granula azurofilik tersebar,
jarang ada Auer rod.
M6: Erythroleukimia > 30% adalah leukositas dan 50% adalah 1 induk eritroid
megaloblastik
M7: Megakaryocitik leukemia, jarang sekali merupakan bentuk fulminan, pasien sering
menunjukkan pansitopenia, sumsum tulang sering dry tetap pada biopsi terdapat
peningkatan retikuli dengan kelompokan megakorlosit atipik dan atau blast.
Penyakit
Leukemia
dapat
dipastikan
dengan
beberapa
pemeriksaan,
jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam
pada hari 1,3, dan 5.
Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi,
transplantasi sel stem hematopoetik (hematopoetik stem cell transplantion/ HSCT)
otolog, atau HSCT alogenik. Jenis terapi pada pasca remisi ditentukan berdasarkan
usia dan faktor prognostik, teritama profil sitogenik. Sebagian besar pasien usia muda
memberikan respon yang lebih baik dibandingkan usia usia tua.
Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan / atau HSCT untuk
mencapai remisi komplit kedua atau hanya diberikan perwatan suportif. Pencapaian
remisi komplit kedua tidak begitu dipengaruhi karakter sitogenik, namun lebih
dipengaruhi oleh durasi remisi komplit pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas
aktif. Durasi median remisi komplit kedua umunya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT
dengan disease-fre survival kurang dari 10 bulan. Survival meningkat bila sebelumnya
pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor untuk prosedur tersebut umunya
terbatas.
Terapi pada penderita LMA antara lain :
a. Kemoterapi pada penderita LMA
Fase induksi
Fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif, bertujuan untuk
mengeradikasi sel-sel leukemia secara maksimal sehingga tercapai remisi
komplit. Walaupun remisi komplit telah tercapai, masih tersisa sel-sel leukemia di
dalam tubuh penderita tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-sel ini
hidup masih 2 tahun dan yang dapat hidup lebih dari 5 tahun hanya 10%.
b. Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel
leukemia. Sinar berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam
tubuh tempat menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa menjadi gelombang atau
partikel seperti proton, elektron, x-ray dan sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini
dapat diberikan jika terdapat keluhan pendesakan karena pembengkakan kelenjar
getah bening setempat.
c. Transplantasi Sumsum Tulang
KOMPLIKASI
1. Sepsis
2. Perdaahan
3. Gagal organ
4. Iron Deficiency Anemia (IDA)
5. Kematian
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas
Gejala
: Kelemahan, malaise, kelemahan ; ketidakmampuan untuk melakukan
2.
aktivitas biasanya.
Tanda
: Kelelahan otot, Peningkatan kebutuhan tidur, somnolen.
Sirkulasi
Gejala
: Palpitasi
Tanda
: Takikardi, murmur jantung. Kulit, membran mukosa pucat, nadi, TD.
3.
4.
5.
feses hitam. Darah pada urin (gross hematuria), penurunan haluran urin.
Integritas Ego
Gejala
: Perasaan tidak berdaya/tidak ada harapan
Tanda
: Depresi, menarik diri, ansietas, takut, marah, mudah terangsang.
Perubahan alam perasaan, kacau.
Makanan/cairan
Gejala
: Kehilangan nafsu
makan,
anoreksia,
muntah.
Perubahan
Tanda
7.
Nyeri/kenyamanan
Gejala
kram otot.
Tanda
: Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah, fokus pada diri sendir.
8.
Pernapasan
Gejala
Tanda
Keamanan
Gejala
Tanda
: Demam, infeksi
Kemerahan, purpura, perdarahan retinal, perdarahan gusi, atau
epistaksis
Pembesaran nodus limfe, limpa, atau hati (sehubungan dengan invasi
jaringan).
Papiledema dan eksoftalmus
Infiltrat leukimia pada dermis
10. Seksulitas
Gejala
: Perubahan libido.
Perubahan aliran menstruasi, menorgia.
Impoten
11. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala
Riwayat
terpajan
pada
kimiawi,
mis.benzene,
fenilbutazon,
6.
pengunjung.
Rasional
: Mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi.
c. Awasi tanda2 infeksi. Perhatikan hubungan antara peningkatan suhu dan
pengobatan kemoterapi. Observasi demam sehubungan dengan takikardi,
hipotensi, perubahan mental samar.
Rasional
: Hipertermia lanjut terjadi padea beberapa tipe infeksi, dan demam
(tidak berhubungan dengan obat atau produk darah) terjadi pada banyak pasien
leukimia. Catatan: Septikemia dapat terjadi tanda demam.
d. Cegah menggigil: tingkatkan cairan. Berikan mandi kompres.
R : Membantu menurunkan demam, yang menambah ketidak seimbangan
cairan, ketidak nyamanan, dan komplikasi SSP.
e. Dorong klien untuk sering mengubah posisi, nafas dalam, dan batuk.
Rasional
: Mencegah statis sekret pernafasan, menurunkan resiko
atelektasis/pneumonia.
Inspeksi kulit untuk nyeri tekan
Rasional
: Mengidentifikasi infeksi lokal
g. Inspeksi membran mukosa mulut
Rasional
: Rongga mulut adalah medium yang baik untuk perumbuhan
f.
organisme
h. Kolaborasi : Hitung darah lengkap
Rasional
: Penurunan SDP abnormal dapat diakibatkan oleh proses penyakit
i.
j.
2.
atau kemoterapi.
Kolaborasi :Berikan obat sesuai indikasi, contoh antibiotik
Rasional
: Untuk mengobatkan infeksi
Kolaborasi : Berikan diet rendah bekteri, misalnya makanan dimasak, diproses.
Rasional
: Meminimalkan sumber potensial kontaminasi bakterial.
Rasional
ginjal.
b. Timbang berat badan setiap hari
Rasional
: Mengukur keadekuatan penggantian cairan sesuai fungsi ginjal.
c. Awasi tekanan darah dan frekuensi jantung
Rasional
: Perubahan dapat menunjukkan efek hipovolemia
(perdarahan/dehidrasi).
d. Perhatikan perdarah gusi
Rasional
: Supresi sumsum tulang dapat produksi trombosit menempatkan
pasien pada resiko perdarahan spontan tak terkendali.
e. Kolaborasi : Berikan cairan intravena sesuai indikasi
Rasional
: Mempertahankan keseimbangan cairan atau elektrolit karena
f.
mengobati pendarahan.
3. Nyeri akut berhubungan dengan pembesaran organ/nodus limfe, sumsum tulang
yang dikemas dengan sel leukemik.
Tujuan : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
Tindakan atau inetrvensi (Rasional) :
a. Selidiki keluhan nyeri, perhatikan perubahan pada derajat dua sisi (gunakan
skala 0-10).
Rasional
: Membantu mengkaji kebutuhan untuk intervensi:dapat
mengidfentifikasi terjadinya komplikasi.
b. Tempatkan pada posisi nyaman dan sokong sendi, ekstrimitas dengan bantal
atau bantalan.
Rasional
: Dapat menurunkan ketidaknyamanan tulang atau sendi.
c. Ubah posisi secara periodik dan berikan atau bantu latihan rentang gerak.
Rasional
: Memperbaiki sirkulasi jaringan dan mobilitas sendi.
d. Bantu atau berikan aktivitas terapeutik dan tehnik relaksasi
Rasional
: Membantu manajemen nyeri dengan perhatian langsung.
e. Kolaborasi : Awasi kadar asam urat
Rasional
: Penggantian cepet dan dekstruksi leukimia (sel) selama
kemoterapi meningkatkan asam urat, menyebabkan pembengkakan dan nyeri
f.
sendi.
Kolaborasi : Berikan obat sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Aru.W.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.Jakarta : 2006
Permono,Bambang.Buku Ajar Hematologo-OnkologiAnak.Badan Penerbit IDAI.Jakarta:2005
Engram, Barbara.Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah.EGC.Jakarta:1999
Doenges, Marilyn.E.Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.EGC.Jakarta:2000
Long,
Barbar
C.Perawatan
keperawatan.Bandung:1996
Medikal
Bedah.Yayasan
Ikatan
Alumni
{endidikan