Anda di halaman 1dari 26

Sesak Napas disertai Pembesaran Tonsilpada Leher Anak 3 Tahun

Samuel Theodorus Sutanto (10.2011.255)


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Fakultas Kedokteran UKRIDA, Jl. Ardjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
Alamat korespondensi : samy_theodorus@yahoo.com
Abstrak
Tujuan pembuatan tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui patofisiologi dari
sesak napas disertai pembesaran tonsil dan manifestasi gejala pada kasus anak 3 tahun.
Tujuan lain, untuk mengetahui penatalaksanaan dan edukasi pertama dapat dilakukan sebagai
dokter umum kepada pasien yang mengalami gejala tersebut. Tujuan terakhir, untuk
mengetahui pemeriksaan yang dapat mendukung diagnosis. Cara penulisan tinjauan pustaka
ini dengan mengumpulkan referensi dari buku-buku yang sudah dicetak diterbitkan. Hasil
dari tinjauan pustaka ini, dapat diketahui bahwa gejala tersebut disebabkan dari manifestasi
difteri yang penatalaksanaan umumnya memakai antibiotik. Jadi dapat disimpulkan, sesak
napas yang disertai pembesaran tonsil pada kasus anak 3 tahun terdiagnosis difteri.
Kata kunci: sesak napas, pembesaran tonsil, sesak napas disertai pembesaran tonsil.
Abstract
The

purposeof

makingthisliterature

reviewistodeterminethe

pathophysiologyofshortness ofbreathingwithenlargement of thetonsilsandthe manifestation


ofsymptoms

in

cases

ofchild3years

old.

Anotherpurposes,

to

determine

thethe

firsttreatmentandeducationcan be doneas ageneral practitionerforpatientswhoexperience


these symptoms. Lastpurpose, to findwhichexaminationmaysupport the diagnosis. The wayof
writinga literature reviewistogatherreferencesfromthe booksthat have beenprintedpublished.
The

results

ofthisliterature

fromthemanagement

review,can

be

known

thatthesesymptomsresulting

ofdiphtheriamanifestationsgenerallyusedantibiotics.

Soit

can

be

concluded, shortness ofbreathwhich is accompaniedenlarged tonsilsinchildren3years


olddiagnosed withthe caseof diphtheria.
Keywords:shortnessof breath, enlarged tonsils, shortnessof breathaccompanied byenlarged
tonsils.
PBL Blok 18 Sistem Respiratorius - dr. Herawati

I.

Pendahuluan
Sesak napas bukan merupakan gejala yang dapat dipandang sebelah mata. Hal ini

penting menjadi konsen di dunia kedokteran karena secara klinis dapat menyebabkan
kematian. Sebelum membahas tentang sesak napas pada anak 3 tahun yang disertai
pembesaran tonsil, kita harus kembali melihat esensi dari bernapas. Bernapas merupakan
salah aktivitas yang menjadi tiang pancang yang penting untuk seorang individu dalam
meneruskan kelangsungan hidup. Oleh karena itu, gangguan napas pada anak-anak dapat
menjadi hal yang kritis. Dalam kasus yang diberikan, diketahui bahwa sesak napas yang
terjadi disertai pembesaran tonsil dan terdapat selaput putih. Pada kasus ini, di utamakan
untuk membahas gejala, sehingga dapat menarik sebuah diagnosis. Pada kasus ini, di
hipotesiskan bahwa anak 3 tahun ini terinfeksi Corynebacterium diphtheriae. Penulis
berharap, makalah ini akan memberikan penjelasan untuk dapat menjelaskan kasus ini.
II.

Identifikasi istilah

1. Compos mentis : keadaan sadar (sehat mental).1

2. Agitasi : kegelisahan atau aktivitas motorik yang berlebihan dan tidak bertujuan,
biasanya dihubungkan dengan keadaan tegah atau ansietas. Disebut juga pyscomotor.1
3. Stridor : suara pernapasan bernada tinggi dan kasar, seperti suara inspirasi yang sering
terdengar pada obstruksi laring akut.1
III.

Anamnesis
Pada umur 2-5 tahun digolongkan menjadi tahap dimana pentingnya perkembangan

bahasa dan keinginan anak untuk mengeksplor sekitarnya.2 Tahap ini, anak akan sering untuk
belajar berjalan dan mempelajari berbagai emosi yang membedakan antara keras kepala
dengan perasaan senang, dan eksplorasi. Banyaknya waktu yang dipakai di tempat bermain
dan di kelas akan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan peraturan baru dan
relasi secara sosial. Anak pada tahap ini telah mengetahui apa yang dapat mereka lakukan
dibandingkan sebelumnya, tetapi mereka juga mengerti batasan-batasan dunia mereka dengan
dunia orang dewasa.
Anamnesis selayaknya menanyakan yang berhubungan dengan gejala traktus respirasi
(dyspnea, batuk, nyeri, wheezing, mengorok, apnea, sianosis), kroniksitas, perjalanan waktu,

dan asosiasi seperti pada kegiatan atau makan.2,3Pendekatan logis yang sistemik disusun
sebagai berikut dan memastikan dilakukannya penyelidikan yang menyeluruh dan lengkap.3
1. Gambaran umum : usia, jenis kelamin, ras, dan status perkawinan dari
orangtuanya.
2. Keluhan utama : buatlah daftar-daftar gejala utama, biasanya nyeri dada, sesak
napas (dispnea), batuk, atau hemoptisis pada penyakit respirasi.
3. Riwayat penyakit saat ini : tanyalah gambaran spesifik (misal onset,
perkembangan) gejala-gejala utama dan manifestasi sistemik terkait (misal
demam, kaku otot, keringat malam hari, malaise, penurunan berat badan,
limfadenopati, artritis, ruam). Oleh karena itu badan basah karena keringat
malam hari dan penurunan berat badan berhubungan dengan TB dan kanker
serta eritema nodosum (nodul peradangan pada kulit) dengan sarkoidosis atau
TB. Apnea obstruktif saat tidur menyebabkan penderita tidur di siang hari
disertai mengorok, obesitas, dan ukuran leher > 17 inci/43 centimeter.
a. Sesak napas : terjadi saat istirahat, berolahraga, atau ketika berbaring
datas (otropnea). Tentukan kecepatan onset (mendadak, bertahap),
kapan terjadinya (misal nokturnal), toleransi olahraga (misal ketika
berjalan), dan gejala-gejala yang terkait (misal hayfever, mengi,
stridor). Contoh pada PPOK, sesak napas akan memburuk saat
berolahraga. Sebaliknya, sesak napas yang disebabkan oleh edema paru
dapat secara mendadak membangunkan pasien yang sedang tidur
dengan gagal jantung. Sesak napas nokturnal dengan mengi atau sesak
napas musiman dengan hayfevcer menunjukkan asma.
4. Riwayat penyakit dahulu : selidikan keadaan respirasi sebelumnya; misal
batuk rejan masa kanak-kanak berhubungan dengan bronkiektasis dewasa; TB
dapat aktif kembali pada kehidupan selanjutnya. Atopi dan eksema sering
berhubungan dengan asma. Nilailah pemahaman penyakit saat ini dan
kepatuhan dengan obat-obatan. Tinjaulah foto toraks sebelumnya, perawatan
di rumah sakit, dan kebutuhan akan ventilasi mekanis.
5. Obat-obatan : tinjau kembali obat-obatan yang baru saja diminum dan
sebelumnya; misal inhaler, nebulizer, dan oksigen. Tentukan apakah perubahan
saat ini berhubungan dengan gejala-gejala baru

(misal beta-bloker dapat

mencetuskan atau memperburuk asma; sitotoksik (misalnya metotreksat) dapat


menyebabkan fibrosis paru). Catatlah alergi pasien terhadap obat-obatan dan
makanan.
3

6. Riwayat keluarga, pekerjaan, dan sosial : riwayat keluarga yang menderita


atopi, tuberkulosis, PPOK atau fibrosis kistik dapat membantu menegakkan
suatu diagnosis.
IV.

Pemeriksaan fisik
Pada akhir dari tahun kedua, tubuh dan otak akan berkembang lebih lambat, dengan

turunnya kebutuhan nutrisi dan selera makan, serta timbulnya sikap pemilih dalam
makanan.2 Pada tahap ini, diperkirakan akan menambah sekitar 2 kg dalam berat dan 7-8 cm
dalam tinggu setiap tahunnya. Berat ketika lahir akan menjadi 4 kali lipat pada umur 2,5
tahun. Dengan rata-rata umur 4 tahun dengan berat 20 kg dan tinggi 40 cm. 2 Bagian kepala
hanya akan bertumbuh dengan tambahan 5 cm antara umur 3 sampai 18 tahun. Anak dengan
pertumbuhan lemak yang dini akan menunjukkan, peningkatan risiko obesitas pada dewasa.
Motorik kasar dan halus akan mulai bertumbuh. Kebanyakan anak akan berjalan dengan cara
jalan seperti orang dewasa dan lari lebih stabil pada akhir tahun ketiga. Setelah dari
kemampuan basic ini, anak akan mempunyai berkembangan yang bervariasi sampai gerakan
yang kompleks.
Disfungsi respirasi biasanya memproduksi pattern yang mudah dideteksi. Pada umur
3 tahun, umumnya akan memiliki nadi sekitar 65-100x/menit, tekanan darah 95-110 untuk
sistol dan 60/75 untuk diastol, serta memiliki frekuensi napas 20-25x/menit. 2 Hal ini dapat
dipengaruhi oleh banyak faktor, khususnya umur. Pemeriksaan fisik pada frekuensi
pernapasan perlu dilakukan beberapa kali, dikarenakan pernapasan pada anak-anak masih
sangat sensitif terhadap pengaruh dari luar. Pada tahap 3 tahun, pernapasan pada istriahat
akan meningkat dibandingkan sedang beraktivitas. Pada anak dengan kasus obstruktif akan
menyebabkan napas yang dalam dan lambat. Untuk obstruksi dari ekstratoraks (dari hidung
sampai pertengahan trakea), inspirasi akan lebih panjang dari ekspirasi dan pada inspirasi
akan memunculkan stridor yang mudah didengar.2 Pada obstruksi intratoraks, ekspirasi akan
terdengar lebih panjang dibandingkan inspirasi, dan pasien harus menggunakan kerja otot
yang lebih untuk mengeluarkan udara.
Pada kasus anak, perkusi dari paru-paru mempunyai beberapa batasan karena tidak
bisa membedakan suara perkusi pada jaringan dikarenakan kecilnya dada bayi. 2 Auskultasi
dapat menkonfirmasi inspirasi atau ekspirasi yang memanjang pada pasien serta menyediakan
apakah terjadi pernapasan simetri dan apakah kualitas pernapasan yang baik atau tidak. 2
Sebagai tambahan, auskultasi akan mendeteksi abnormalitas seperti stridor (inspirasi yang
4

dominan), crackles (nada tinggi, suara yang terganggu pada inspirasi dan sedikit pada awal
ekspirasi), atau wheezes (musikal, bunyi yang terus terjadi karena adanya aliran turbulensi di
jalur pernapasan).
Tentukanlah apakah pasien sehat atau tidak, dan bagaimana pernapasan, jalan napas,
dan apakah sirkulasi adekuat. Periksalah laju dan pola pernapasan. Nilailah derajat sesak
napas saat istirahat atau saat tidak berpakaian. Periksalah: wajah dan leher.3 Periksalah
kelenjar getah bening dan gambaran penyakit sistemik. Periksalah konjungtiva apakah ada
tanda anemia dan lidah (bibir) untuk sianosis sentral (perubahan warna biru akibat
peningkatan hemoglobin arterial terdeoksigenasi). Ukurlah tekanan vena jugularis dan
perubahannya seiring respirasi. Periksalah ada deviasi trakea dan stridor (mengi inspirasi
akibat obstruksi jalan napas atas).
Pemeriksaan dada. Pemeriksaan ini meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi anterior dan posterior, dengan membandingkan sisi kanan dari kiri. 3 Pola tandatanda fisik akan menunjukkan kemungkinan diagnosis. Berikut adalah inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi untuk pemeriksaan fisik.3
1. Inspeksi : meliputi bentuk dada dan tulang belakang. Tanda parut akibat
radioterapi atau pembedahan sebelumnya, nodul-nodul subkuta, vena dinding
dada yang membesar dan berkelok-kelok (obstruksi SVC), hiperinflasi,
simetrisitas gerakan dinding dada, dan penggunaan otot respirasi tambahan.
2. Palpasi : periksalah adanya nyeri teknan, posisi denyut apeks, dan ekspansi
dinding dada yang adekuat (> 3centimeter).
3. Perkusi : nilailah bunyi pekak dan hiper-resonasi.
4. Auskultasi : nilailah bunyi napas dan distribusinya yang meliputi sifat (misal
vesikular, bronkus), intesitas (misal tidak ada, berkurang), dan bunyi tambahan
(misal mengki, ronki, rub). Bunyi napas vesikular adalah bunyi inspirasi dan
ekspirasi normal; tidak ada gap antara inspirasi dan ekspirasi. Bunyi napas
bronkial adalah bunyi bernada tinggi (tiupan) dengan suatu gap antara
inspirasi dan ekspirasi. Bunyi tersebut terjadi pada konsolidasi, kolaps, dan di
atas efusi pleura. Bunyi napas yang berkurang terjadi pada efusi, konsolidasi,
pneumotoraks, dan peninggian diafragma. Krepitasi dapat halus, tetap, dan
terdengar saat inspirasi karena fibrosis paru atau konsolidasi dini; atau kasar
akibat sekresi bronkus berlebih (misal bronkiektasis). Resonansi vokal dan
5

fremitus vokal taktil meningkat di area-area konsolidasi dan menghilang pada


efusi dan paru yang kolaps.
V.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan gas darah. Analisis arteri gas darah merupakan salah satu pemeriksaan

rapid yang bergna dalam fungsi dari paru-paru. Meskipun hasil dari analisis tidak spesifik
dalam memberikan kondisi pasien atau penyakit, tetapi dapat memberikan keseluruhan
penilaian dari fungsi sistem respirasi dan clue dari patogenesis dari penyakit tersebut. 2
karena deteksi dari sianosis dapat dipengaruhi oleh warna kulit, perfusi, dan konsentrasi dari
hemoglobin darah, serta pemeriksaan yang belum tentu bisa dipercaya dari inspeksi pada
kasus sianosis. Pertukaran gas darah dapat mengevaluasi secara spesifik dengan menilai
langsung tekanan oksigen, tekanan karbondioksida, dan pH.2 Spesimen dari darah paling baik
dikumpulkan secara anaerobik dalam alat suntik yang sudah diberikan heparin. Alat suntik
harus ditutup, ditaruh di dalam es, dan dibawa secepatnya ke laboratorium untuk dianalisis. 2
Umur dan kondisi klinis penting untuk disertakan karena akan mempengaruhi dalam
menginterpretasikan hasil gas darah. Kecuali pada anakanak, yang memiliki nilai tekanan
arterial < 85 mmHg dikatakan abnormal dari anak yang bernapas di dalam tekanan ruangan.2
Teknik radiografik.Upper airway film. Foto lateral dari lapang leher dapat
memberikan informasi tentang obstruksi saluran napas atas dan kondisi dari retrofaring, ruang
supraglotis, dan subglotis (yang juga perlu dilihat dari antero-posterior). 2 Mengetahui fase
dari respirasi ketika foto diambil merupakan hal yang penting untuk meningkatkan akurasi
dari interpretasi hasil. Membesarkan hasil kadang dapat membantu dalam menggambarkan
saluran napas atas. Pasien dengan obstruksi saluran napas perlu ditemani untuk dikirim ke
departemen radiologi. Fluoroscopy. Fluoroscopy terkhusus berguna untuk mengevaluasi
stridor dan gerakan abnormal dari diafragma atau mediastinum.2 Banyak prosedur, seperti
aspirasi jarum atau biopsi dari lesi periperal, dan lebih baik dilakukan dengan perbaikan dari
fluoroscopy, CT atau ultrasonografi.2 Perekaman video, yang tidak menyebabkan radiasi,
akan memberikan hasil yang dapat didipelajari lebih detail dari replay dengan pemeriksaan
yang singkat.
Laryngoscopy. Dapat mengevaluasi stridor, masalah dengan vokalisasi, dan
abnormalitas

dari

saluran

napas

atas

yang

lain

yang

memerlukan

inspeksi

langsung.2Meskipun indirek (dengan menggunakan kaca) laryngoscopy mungkin digunakan


pada anak dewasa dan dewasa, tetapi jarang dilakukan pada bayi dan anak kecil.
6

Laryngoscopy direk dapat dilakukan dengan alat-alat kaku maupun yang fleksibel. Tingkat
keamanan dari penggunaan alat yang kaku untuk pemeriksaan dari saluran napas atas
memerlukan anastesi lokal, sedasi, atau anastesi sistemik, sedangkan untuk alat yang fleksibel
dapat dipakai tanpa perlunya sedasi. Keuntungan dari alat yang fleksibel termasuk dari
kemampuan untuk masuk ke saluran napas tanpa gangguan seperti alat yang kaku yang
kurang akurat. Karena ada kemungkinan insidens yang tinggi dari kontaminasi lesi dari
saluran napas atas dan bawah, sering digunakan untuk menilai sampai dibawah glotis,
meskipun indikasinya hanya digunakan untuk saluran napas atas (stridor).2

Gambar 1.

Laryngoscopy

Sumber :

http://www.fitsugar.com/files/health/graphics/images/en/15895.jpg
VI.

Anatomi
Pharynx. Pharynx terletak di belakang cavum nasi, mulut, dan larynx.4 Bentuknya

mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian
bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai oesophagus setinggi vertebra cervicalis
enam.4Pharynx mempunyai dinding musculomembranosa yang tidak sempurna di bagian
depan. Di sini, jaringan musculomembranosa diganti oleh apertura nasalis posterior, isthmus
faucium (muara ke dalam rongga mulut), dan aditus larynges. Dinding pharynx terdiri atas
tiga lapis: mukosa, fibrosa, dan muscular.Otot-otot pharynx terdiri atas m. conctrictor
pharyngis superior, medius, dan inferior, yang serabut-serabutnya berjalan hampir melingkar,
dan m. stylopharyngeus serta m. salpingopharyngeus yang serabut-serabutnya berjalan
dengan arah hampir longitudinal.4 Serabut-serabut paling bawah m. constrictor pharyngis
inferior kadang-kadang disebut m. cricopharyngeus. Otot ini diyakini melakukan efek
7

sphincter pada ujung bawah pharynx, yang mencegah masuknya udara ke dalam oesophagus
selama gerakan menelan.4 Pharynx dibagi menjadi tiga bagian: nasopharyngx, oropharynx,
dan laryngopharynx.4
Nasopharynx terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle.4 Bila
palatum molle diangkat dan dinding posterior pharynx ditarik ke depan, seperti waktu
menelan, maka nasopharynx tertutup dari oropharynx. Nasopharynx mempunyai atap, dasar,
dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Atap dibentuk oleh corpus ossis
sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut
tonsila pharyngealis, terdapat di dalam submucosa daerah ini. 4 Dasar dibentuk oleh
permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah lubang di dasar
nasopharynx di antara pinggir bebas palatum molle dan dinding posterior pharynx.
Dinding anterior dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir
posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan
dengan atap. Dinding lateral pada tiap sisi mempunyai muara tuba audtiva ke pharynx.
Pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba. m. salphingeus yang
melekat pada pinggir bawah tuba, membentuk lipatan vertikal pada membrana mukosa yang
disebut plica salphingopharyngeus.
Oropharynx terletak di belakang cavum oris dan terbentang dari palatum molle
sampai ke pinggir atas epiglottis.4 Oropharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior,
dinding posterior, dan dinding lateral. Atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum dan
isthmus pharyngeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa
permukaan bawah palatum molle. Dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah (yang hampir
vertikal) dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglottis. Membrana mukosa yang
meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan
limfoid di bawahnya, disebut tonsila linguae.4
Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glosso-epiglottica mediana, dan
dua plica glossoepiglottica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glossoepiglottica mediana
disebut vallecula. Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus
oropharynx (isthmus faucium). Di bawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae.
Dinding posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus
vertebra cervicalis ketiga.

Pada

kedua

sisi

dinding

lateral

terdapat

arcus

palatoglossus

dan

arcus

palatopharyngeus dengan tonsila palatina di antaranya. Arcus palatoglossus adalah lipatan


membrana mukosa yang menutupi m. palatoglossus yang terdapat di bawahnya. 4 Celah di
antara kedua arcus palatoglossus merupakan batas antara rongga mulut dan oropharynx dan
disebut isthmus faucium. Arcus palatopharyngeus adalah lipatan membrana mukosa pada
dinding lateral oropharynx, di belakang arcus palatoglossus. Fossa tonsilaris adalah sebuah
recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral orophaynx di antara arcus palatoglossus di
depan dan arcus palatopharyngeus di belakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina.4
Tonsil palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada dinding
lateral pada dinding lateral oropharynx di dalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh
membrana mukosa, dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam pharynx. Pada
permukaannya terdapat banyak lubang kecil, yang membentuk crypta tonsillaris. 4 Permukaan
lateral tonsila palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa, disebut capsula. Tonsila
mencapai ukuran tersebarnya pada masa anak-anak, tetapi sesudah pubertas akan mengecil
dengan jelas.
Batas-batas tonsilla palatina:4 (anterior) arcus palatoglossus, (posterior) arcus
palatopharyngeus, (superior) palatum molle, (inferior) sepertiga posterior lidah, (medial)
ruang oropharynx, (lateral) capsula dipisahkan dari m. constrictor pharyngis superior oleh
jaringan aerolar jarang. Pendarahan arteri yang mendarahi tonsila adalah a. tonsilaris, sebuah
cabang dari a. facialis.4 Vena-vena menembus m. constrictor pharyngis superior dan
bergabung dengan v. palatina externa, v. pharyngealis, atau v. facialis. Aliran limfe bergabung
dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus juga terpenting dari kelompok ini adalah nodus
jugudigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.
Laryngopharynx terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior
larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah cartilago
cricoidea.4 Laryngopharynx mempunyai dinding anterior, posterior, dan lateral. Dinding
anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrana mukosa yang meliputi permukaan
posterior larynx.4 Dinding posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat,
kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilago thyroidea dan membrana
thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa piriformis,
terletak di kanan dan kiri aditus laryngis. Fossa ini berjalan miring ke bawah dan belakang
dari dorsum linguae menuju keoesophagus.
9

Persarafan pharynx berasal dari plexus pharyngeus yang dibentuk oleh cabang-cabang
n. glossopharyngeus, n. vagus, dan n. symphaticus. 4Persarafan motorik berasal dari pars
cranialis n. acessorius, yang berjalan melalui cabang n. vagus menuju ke plexus pharyngeus,
dan mempersarafi semua otot pharynx, kecuali m. stylopharyngeus yang dipersarafi oleh n.
glossopharyngeus.4 Persarafan sensorik membrana mukosa nasopharynx terutama berasal dari
n. maxillaris. Membrana mukosa oropharynx terutama dipersarafi oleh n. glossopharyngeus.
Membrana mukosa di sekitar aditus laryngeus dipersarafi oleh n. ramus laryngeus internus n.
vagus.
Pendarahan pharynx berasal dari cabang-cabang a. pharyngea ascendens, a. palatina
ascendens, a. facialis, a. maxillaris, dan a. lingualis. 4 Vena bermuara ke plexus venosus
pharyngeus, yang kemudian bermuara ke v. jugularis interna. Aliran limfe pharynx langsung
menuju ke nodi lymphoidei cervcialis profundi atau tidak langsung melalui nodi
retropharyngealis atau paratracheales.
Larynx. Larynx adalah organ khusus yang mempunyai sphincter pelindung pada
pintu masuk jalan napas dan berfungsi dalam pembentukan suara.4 Di atas larynx terbuka ke
dalam laryngopharynx, dan di bawah larynx berlanjut sebagai trachea. 4 Kerangka larynx
dibentuk oleh beberapa cartilago, yang dihubungkan oleh membrana dan ligamentum dan
digerakkan oleh otot. Larynx dilapisi oleh membrana mukosa. Cartilago thyroidea terdiri atas
dua lamina cartilago hyalin yang bertemu di garis tengah pada tunjulan sudut V, yaitu jakun
(adams apple).4 Pada permukaan luas setiap lamina terdapat line obliqua sebagai tempat m.
sternothyroideus, m. thyrohyoideus, dan m. constrictor pharyngis inferior.4
Cartilago cricoidea berbentuk cincin cartilago yang utuh. Bentuknya mirip cincin cap
dan terletak di bawah cartilago thyroidea. Cartilago ini mempunyai arcus anterior yang sempit
dan lamina posterior yang lebar. Pada masing-masing permukaan lateral terdapat facies
articularis sirkular untuk bersendi dengan cornu inferior cartilago thyroidea. Pada pinggir atas
masing-masing sisi terdapat facies articularis untuk bersendi dengan basis cartilago
aytenoidea. Semua sendi ini adalah sendi synovialis.
Cartilago arytenoidea merupakan cartilago kecil, dua buah, dan berbentuk
pyramid.4Keduanya terletak di belakang larynx, pada pinggir atas lamina cartilago cricoidea.
Masing-masing cartilago mempunyai apex di atas dan basis di bawah. Apex menyangga
cartilago corniculata. Basis bersendi dengan cartilago cricoidea. Processus vocalis menonjol
horizontal ke depan dan merupakan tempat lekat dari ligamentum vocale.4 Processus
10

muscularis menonjol ke lateral dan menjadi tempat lekat m.cricoarytenoideus lateralis dan
posterior.Cartilago corniculata adalah dua buah nodulus kecil yang bersendi dengan apex
cartilago arytenoidea dan merupakan tempat lekat plica aryepiglottica.

Gambar 2. Anatomi Pharynx dan Larynx


Sumber : http://www.drugs.com/health-guide/images/205299.jpg
Cartilago cuneiformis merupakan dua cartilago kecil berbentuk batang yang terletak
sedemikian rupa sehingga masing-masing terdapat di dalam satu plica aryepiglottica.
Cartilago ini berfungsi menyokong plica tersebut. Epiglottis adalah sebuah cartilago elastis
berbentuk daun yang terletak di belakang radix linguae. 4 Di depan berhubungan dengan
corpus ossis hyoidei dan di belakang dengan cartilago thyroidea melalui tangkainya. Sisi
epiglottis berhubungan dengan cartilago arytenoidea melalui plica aryepiglottica. Pinggir atas
epiglottis bebas, dan membrana mukosa yang melapisinya melipat ke depan melanjutkan diri
meliputi permukaan posterior lidah. Di sini, terdapat plica glossoepiglottica mediana dan
plica glossoepiglottica lateralis. Valleculae adalah cekungan pada membrana mukosa di kanan
dan kiri plica glossoepiglottica.
Membrana thyrohyoidea menghubungkan pinggir atas cartilago thyroidea di sebelah
bawah dengan permukaan posterior corpus dan cornu majus ossis hyoidei di sebelah atas. 4
Pada garis tengah membaran ini menebal, membentuk ligamentum thyrohyoideum mediana;
pinggir posterior menebal memebentuk ligamentum thyrohyoideum laterale. 4 Pada kedua sisi,
membrana ini ditembus oleh a. v. laryngea superior dan n. laryngeus internus. Ligamentum
11

cricotracheale menghubungkan pinggir bawah cartilago cricoidea dengan cincin trachea


pertama.
Membrana fibroelastica laryngis terletak di bawah membrana mukosa yang melapisi
larynx. Bagian atas membrana disebut membrana quadrangularis, yang terbentang antara
epiglottis dan cartilago arytenoidea.4 Pinggir bawahnya membentuk ligamentum vestibulare.
Bagian bawah membrana fibroelastica disebut ligamentum cricothyroideum. Pinggir atasnya
kanan dan kiri menebal dan membentuk ligamentum vocale yang penting. Ujung anterior
masing-masing ligamentum vocal melekat pada permukaan dalam cartilago thyroidea. Ujung
posterior

melekat

hypoepiglotticum

pada

processus

menghubungkan

vocalis

epiglottis

cartilago
dengan

os

arytenoidea.

Ligamentum

hyoideum.

Ligamentum

thyroepiglotticum menghubungkan epiglottis dengan carilago thyroidea.


Aditus laryngis menghadap ke belakang dan atas ke arah laryngopharynx. 4 Pintu ini
dibatasi di depan oleh pinggir atas epiglottis; di lateral oleh plica aryepiglottica, yaitu lipatan
membrana mukosa yang menghubungkan epiglottis dengan cartilago arytenoidea; dan di
posterior dan bawah oleh membrana mukosa yang terbentang antara kedua cartilago
arytenoidea.
Cavitas laryngis terbentang dari aditus sampai ke pinggir bawah cartilago cricoidea,
dan dapat dibagi menjadi tiga bagian:4 (1) bagian atas atau vestibulum, (2) bagian tengah, dan
(3) bagian bawah. Vestibulum laryngis terbentang dari aditus laryngis sampai ke plica
vestibularis. Plica vestibularis yang berwarna merah muda menonjol ke media. Larynx bagian
tengah terbentang dari plica vestibularis sampai setinggi plica vocalis. Plica vocalis berwarna
putih dan berisi ligamentum vocale. Di antara plica vocalis dan plica vestibularis pada
masing-masing sisi terdapat recessus kecil yang disebut sinus laryngis. Sinus ini dilapisi
membrana mukosa, dan dari sinus terdapat diverticulum kecil yang berjalan ke atas di antara
plica vestibularis dan cartilago thyroidea yang disebut sacculus laryngis. Larynx bagian
bawah terbentang dari plica vocalis sampai ke pinggir bawah cartilago cricoidea. Membrana
mukosa larynx melapisi cavitas laryngis dan ditutupi oleh epitel silindris bersilia. 4 Namun
pada plica vocal, tempat membrana mukosa sering mengalami trauma saat fonasi, maka
membrana mukosanya dilapisi oleh epitel berlapis gepeng.
Otot-oto larynx dapat dibagi menjadi dua kelompok: 4 (1) ekstrinsik dan (2) intrinsik.
Otot-otot ekstrinsik dapat dibagi dalam dua kelompok yang berlawanan, yaitu kelompok
elevator larynx dan depresor larynx. Larynx tertarik ke atas selama proses menelan dan ke
12

bawah sesudahnya. Otot levator larynvx meliputi m. digastricus, m. stylohyoideus, m.


mylohyoideus, dan m. geniohyoideus. M. stylopharyngeus, m. salphingopharyngeus, dan m.
palatopharyngeus yang berinsersio pada pinggir posterior lamina cartilaginis thyroidea juga
mengangkat larynx.4 Otot depresor larynx meliputi m. sternothyroideus, m. sternohyoideus,
dan m. omohyoideus.4 Kerja otot-otot ini dibantu oleh daya pegas trachea yang elastis.Otototot intrinsik dapat dibagi menjadi dua kelompok: kelompok yang mengendalikan aditus
laryngis dan kelompok yang menggerakkan plica vocalis.4Pendarahan langsung ke glandula
parathyroidea berasal dari a. thyroidea superior dan inferior.
VII.

Fisiologis

Pada umumnya anak-anak dan dewasa umumnya bernapas melalui hidung kecuali
obstruksi pada saluran napas mengganggu. Banyak bayi terpaksa bernapas lewat hidung dan
banyak kejadian obstruksi hidung seperti atresia saluran napas, sehingga dapat menyebabkan
situasi yang kritis. Kongesti hidung dengan obstruksi merupakan hal yang umum pada umur 1
tahun dan mempengaruhi kualitas dari pernapasan ketika tidur. Hal ini dapat berhubungan
dengan kecilnya jalur pernapasan, virus, atau infeksi bakteri, pembesaran adenoid, atau rhitis
akibat estrogen.2 Hidung berfungsi untuk penciuman, penghangatan udara, dan pelembaban
dari udara. Di anterior rongga hidung, turbulensi udara dan bulu-bulu halus mencegah banyak
partikel besar untuk masuk, sedangkan partikel kecil (diameter 6 mikrometer) akan dicegah
pada sisa lubang pernapasan.2 Lubang pernapasan berkontribusi sekitar 50% dari semua
pertahanan tubuh pada pernapasan normal. Pelebaran lubang napas, merupakan tanda akan
kesulitan bernapas, mengurangi pertahanan tubuh untuk jalur inspirasi melalui hidung dan
meningkatkan ventilasi.2 Meskipun mukosa hidung mempunyai banyak pendarahan, terutama
pada bagian turbulensi dibandingkan saluran napas bawah, epitel permukaannya memiliki
kesamaan, yaitu dengan sel bersilia, goblet sel, glandula submukosa, dan mukus.2
Sekresi dari hidung mengandung lisosim dan immunoglobulin A (IgA), keduanya
digunakan untuk aktivitas antimikroba, dan IgG, IgG, IgE, albumin, histamin, bakteria,
lactoferrin, dan debris sel, dan mukos glikoprotein, memberikan viscoelastik.2 Dilapisi
dengan sel bersilia, aliran mukos menuju ke nasopharynx, dimana saluran napas melebar, dan
epitel menjadi squamous, dan sekresi dibersihkan dengan menelan. Mukus akan terus
tergantikan setiap 10-20 menit.2 Dan diperkirakan produksi mukus setiap hari sekitar 0,1-0,3
mg/kg/24 jam, dengan kebanyakan dihasilkan oleh glandula submukosa.2

13

Ruang faringeal terdapat dua yang berhubungan dengan faring yang secara klinis
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. 5 Ruang retrofaring
berbatasan pada dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat dan
fasie prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling
bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada
vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila. Abses
retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. 5 Kejadiannya ialah karena di ruang
retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfe. Pada peradangan kelenjar limfe itu, dapat terjadi
supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. 5
Kelenjar limfe di ruang retrofaring ini akan banyak menghilang pada pertumbuhan anak.
VIII.

Differential diagnosis

Tonsilitis folikularis.Radang akut faring dan tonsil dapat berupa faringitis akut atau
tonsilitis akut. Penyakit ini sering ditemukan, dan dapat menyerang semua umur. Penyebab
radang aku di orofaring ini ialah kuman streptococcus B hemolyticus, streptococcus viridans
dan streptococcus pyogenes, yang merupakan penyebab pada 50% dari kasus. 5Sisanya
disebabkan oleh infeksi virus, yaitu adenovirus, ECHO, virus influenza, serta herpes. Cara
infeksinya ialah percikan ludah (droplet infection). Penyakit ini ada kecenderungan residif
secara periodik. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas.
Suatu tonsilitis akut dengan detritus, yang jelas disebut tonsilitis folikularis. 5 Bila bercakbercak detritus itu berdekatan menjadi satu, maka terjadi tonsilitis lakunaris.
Gejala yang sering ditemukan ialah suhu tubuh naik sampai mencapai 40C, rasa lesu,
rasa nyeri sendi, odimofagi, tidak nafsu makan, rasa nyeri di telinga. 5 Pada pemeriksaan
tampak faring hiperemis, tonsil membengkak, hiperemis, terlihat detritus berbentuk folikel,
lakuna.5 Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan, terutama pada anak-anak.5
Abses retrofaring sering ditemukan pada anak yang berusia antara 3 bulan sampai 5
tahun.5 hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe,
masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari
hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius dan telinga tengah. 5,6 Pada usia di
atas 6 tahun kelenjar limfe akan mengalami atrofi. Keadaan yang dapat menyebabkan
terjadinya abses ruang retrofaring ialah5 (1) infeksi saluran napas atas yang menyebabkan
limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang
14

ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi, (3)
tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).
Gejala abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. 5 Pada anak kecil,
menyebabkan anak menangis terus (cengeng) dan tidak mau makan atau minum. Juga
terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan
napas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat
timbul stridor, oleh karena terdapat sumbatan laring. Sumbatan oleh abses juga dapat
mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring
tampak benjolan yang teraba lunak. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat infeksi saluran
napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang dengan
membuat foto rontgen jaringan lunak leher lateral.5
Angina plaut vcincent/stomatitis ulsero membranosa disebabkan karena higiene
mulut kurang, dan terdapatnya defisiensi vcitamin C, kuman spirilum dan basil fusiform. 5
Terdapat gejala demam tinggi, sampai 39C, nyeri mulut, gigi serta nyeri kepala, badan
lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi, kadang-kadang terdapat gangguan
pencernaan.5 Pemeriksaan diketahui tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding
faring, gusi serta prosesus alveolaris.5 Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau
(foetor ex ore). Kelenjar submandibula membesar.
IX.

Working diagnosis
Difteri dikenal ditemukan sebagai suatu sindrom klinis oleh Bretonneae pada awal

abada ke-19. Basil penyebabnya, yaitu Corynebacterium diphtheriae, ditemukan oleh Klebs
pada tahun 1884; tahun berikutnya Loeffler menunjukkan adanya peristiwa epidemiologi
yang berkaitan dengan penyakit ini dan memperlihatkan patogenisitasnya pada hewan coba,
sehingga memberikan asal nama basil Klebs-Loeffler.7 Difteri ditandai dengan infeksi
pseudomembran setempat pada saluran pernapasan atas, yang dapat menimbulkan
penyumbatan, dan oleh kerusakan yang bersifat toksik pada organ viseral dan sistem saraf.7
Masa tunas difteri singkat, biasanya antara 2 dan 4 hari, tetapi kadang-kadang selama
1 minggu.7 Gambaran klinis bergantung pada tempat infeksi primer dalam hal tanda dan
gejala lokal, tetapi manifestasi toksiknya sama tanpa memandang tempat primer proliferasi
organisme. Tonsil adalah tempat infeksi yang paling umum. Pada serangkaian pasien difteri
yang diobati di rumah sakit, tempat primer (jumlah pasien) adalah tonsilofaringeal (1366),
15

nasal (27), laring (20), laringotrakeobronkial (6), luka (6), telinga (5), mata (3), umbilikus (1),
vagina (1), dan trakeobronkial (1).7 Akan tetapi, penyebaran dari tempat primer sering terjadi.
Difteri tonsilofaringeal. Mulainya gejala biasanya perlahan, berbeda dengan sakit
tenggorokan akibat streptokokus.7 Terjadi sakit tenggorokan yang ringan dengan sedikit
kemerahan dan demam ringan. Tanda penyakit sistemik tidak ada pada stadium dini. Dalam 1
atau 2 hari, tampak bintik eksudat putih kekuningan pucat dan menyatu membentuk
pseudomembran berkilat yang berbatas tegas. 7 Orang dengan kekebalan antitoksik parsial
mungkin tidak berlanjut melewati stadium eksudatif. Pada orang dengan kekebalan kurang,
pseudomembran akan meluas ke palatum mole dan faring posterior; pseudomembran akan
meluas ke palatum mole dan faring posterior; pseudomembran tidak meluas ke anterior.
Terjadi perdarahan bila eksudat dipaksa diangkat. Kadang-kadang napas agak berbau mirip
bawang putih.7

Gambar 3. Gambaran Difteri


Sumber : http://buletinkesehatan.com/wp-content/uploads/difteri1.jpg
Pada banyak pasien, nodus limfatikus leher sedikit membesar, tetapi tidak ditemukan
nodus khas infeksi streptokokus yang tunggal, besar, dan nyeri.7 Dengan adanya pembentukan
membran yang luas, dapat terjadi disfagia dan saliva menetes. Setelah kira-kira 5 hari,
pseudomembran berubah menjadi keabu-abuan akibat perdarahan saat melepas dan
terkelupas. Kadang-kadang (kira-kira 10% pasien), penyakit berbentuk hiperakut dengan
demam tinggi, keracunan sistemik, proliferasi cepat pseudomembran, edema nyata pada muka
dan leher, serta gangguan serebri. Keadaan ini disebut difteri leher lembu dan prognosisnya
buruk.7,8

16

Manifestasi toksik. Jantung, ginjal, dan sistem saraf mudah rusak akibat toksin difteri,
deraja kerusakan toksik ditentukan oleh dua faktor:7 (1) luasnya penyakit pada tempat primer
dan karena itu, juga jumlah toksin yang dihasilkan dan disebarkan secara hematogen; dan (2)
jumlah antitoksin dalam sirkulasi. Yang terakhir ini ditentukan oleh antitoksin yang sudah ada
akibat infeksi subklinis atau imunisasi sebelumnya dan oleh jumlah antitoksin terapeutik yang
diberikan. Karena kekebalan hilang setelah bertahun-tahun, orang yang telah diimunisasi
pada akhirnya dapat rentan terhadap toksin.
Bukti elektrokardiografis toksisitas miokardium ditemukan pada banyak pasien difteri,
tetapi gejala miokarditis yang wujud secara klinis terjadi pada 10% pasien. 7 Hal ini umumnya
terjadi dalam minggu pertama sakit, tetapi dapat tertunda hingga 1 bulan atau lebih. Ada
perubahan kualitas bunyi jantung, bising sistolik halus, dan akhirnya pembesaran jantung.
Seiring terjadi disritmia. Lebih sering terjadi kematian akibat disritmia dibanding akibat gagal
jantung. Blok jantung total bisa menjadi penyebab kematian. Gagal ginjal jarang, tetapi
perubahan ringan pada urinalisis (proteinuria, silindruria, jumlah sel meningkat) sering
ditemukan.7
Bila terjadi nefropati toksik, hampir pasti akan menyebabkan kematian. Sindrom
hemolitik uremik dilaporkan terjadi pada difteri. Keterlibatan sistem saraf sering ditemukan
pada 5-10% pasien.7 Hal ini bermanifestasi sebagai kelumpuhan saraf perifer tersendiri, atau
berupa kompleks gejala mirip sindrom Guillain-Barre.7 Otot di sekitar faring (palatum, faring,
laring) paling sering dikenai dan cenderung dikenai lebih dulu daripada otot ekstraokular,
diagragma, atau otot yang dipersarafi oleh saraf perifer. Kelumpuhan dapat terjadi pada
minggu pertama sakit, tetapi lebih sering timbul antara minggu kedua dan keenam. 7 Bila
pasien tidak mengalami komplikasi pernapasan akibat kelumpuhan, dapat diharapkan
terjadinya penyembuhan sempurna dalam beberapa minggu.
Laboratorium. Derajat leukositosis pada darah perifer menunjukkan berat penyakit.
Pada penyakit yang ringan sampai sedang, hitung leukosit antara 10.000 sampai
20.000/liter.7 Kemungkinan hasil yang fatal meningkat tajam pada pasien dengan hitung
leukosit lebih dari 25.000 liter.7 Dengan peningkatan hitung leukosit total, proporsi bentuk
imatur meningkat. Jarang terjadi trombositopenia dan koagulasi intravaskular deseminata.
Beberapa pasien memperlihatkan anemia ringan. Pada kelumpuhan pascadifteri, terdapat
disosiasi albuminositologi cairan serebrospinalis seperti yang terjadi pada sindrom Guillain
Barre idiopatik. Kandungan protein terus meningkat selama minggu awal timbulnya gejala
17

neurologi dan secara perlahan kembali menjadi normal setelah terjadi penyembuhan klinis.
Tidak ada peninggian jumlah sel dan kandungan glukosa normal. Sering terjadi albuminuria
dan pada penyakit tingkat berat, terdapat sel dalam urine.
Diagnosis. Bila dicurigai difteri, harus diupayakan melakukan isolasi organisme dari
lesi setempat. Dianjurkan untuk mengambil spesimen untuk biakan dari nasofaring dan faring
karena kemungkinan hasil positif 20% lebih tinggi bila dilakukan dua biakan dibanding satu. 7
Bila waktu pengangkutan ke laboratorium lebih dari 24 jam, apusan harus ditempatkan dalam
medium pengangkutan. Spesimen diinokulasi pada agar miring Loeffler atau Pai, piring agar
sistin telurit, dan piring agar darah domba 5%, dan pengeraman dilakukan semalaman pada
suhu 35C.7 Pertumbuhan pada agar miring kemudian diwarnai dengan biru metilen dan
dilihat bentuk Corynebacterium diphtheriae yang morfologinya khas. Pada agar sistin telurit,
koloni

Corynebacterium

diphtheriae

berwarna

abu-abu

atau

hitam dalam

24-48

jam.7Penentuan akhir spesies dan jenisnya didasarkan pada penampilan koloni dan reaksi
biokimia.
Toksigenisitas biasanya ditentukan dengan tes imunidifusi elek yang dimodifikasi.
Strain yang dicurigai digoreskan tegak lurus terhadap carik kertas saring yang diimpregnasi
dengan antitoksin difter di atas pinggir agar. Bila ada toksin yang dihasilkan, garis presipitin
tampak pada agar dalam waktu 18-24 jam. Banyak bakteri dan virus patogen dapat
menimbulkan tonsilitis pseudomembran, yang paling sering adalah streptococcus pyogenes,
adenovirus, dan EBV.7 Walaupun kadang-kadang ada eksudat pada bagian uvula yang
menyentuh tonsil yang membesar, pseudomembran tidak pernah meluas menjauhi tonsil.
Pada beberapa kasus difteri laringeal tanpa keterlibatan orofaring, diagnosis dicurigai bila ada
riwayat pemajanan dengan difteri atau bila pseudomembran terlihat pada saat melakukan
laringoskopi atau bronkoskopi. Sebaliknya, diagnosis banding croup yang disebabkan oleh
virus sangat sukar. Tidak ada perbedaan gambaran lesi kulit yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae dengan yang disebabkan oleh bakteri lain; diagnosis ditentukan
secara mikrobiologi.7
X.

Etiologi
Flora hidung terdiri dari corynebacterium, stafilokokus (S. epidermidis, S. aureus),

dan streptokokus yang menonjol.7,10 Membran mukosa mulut dan faring sering steril saat lahir
tetapi dapat terkontaminasi saat melewati jalan lahir. Dalam 4-12 jam setelah lahir,
streptokokus viridans dapat ditemukan sebagai anggota flora residen yang paling menonjol
18

dan tetap demikian seumur hidup.10 Organisme tersebut kemungkinan berasal dari saluran
pernapasan ibu dan orang yang hadir saat persalinan. Pada awal kehidupan, stafilokokus
aerob dan anaerob, diplokokus gram negatif (neisseria, moraxella catarrhalis), difteroid, dan
kadang-kadang laktobasilus juga ditambahkan.10 Spesies aktinomises secara normal terdapat
dalam jaringan tonsilar dan gingiva orang dewasa, dan juga terdapat berbagai protozoa. Fungi
(spesies candida) terdapat dalam mulut. Di faring dan trakea; flora yang serupa tumbuh
sendiri, sedangkan beberapa bakteri ditemukan dalam bronkus normal. Organisme yang
dominan dalam saluran pernapasan atas, terutama faring, adalah neisseria dan streptokokus
alfa-hemolitik, dan nonhemolitik.10 Stafilokokus, difteroid, hemogilia, pneumokokus,
mikoplasma,

dan

juga ditemukan.10

prevotella

Gambar 4.

Corynebacterium

Diphtheriae
Sumber : http://4.bp.blogspot.com/SBLSvvoDReE/TpJAzS9SvGI/AAAAAAAAAzI/R_lbMgZwsUo/s1600/Bakteri%2BDifteri.jpg

Organisme Corynebacterium diphtheriae adalah batang langsing, gram positif tanpa


spora atau kapsul.7 Organisme ini cenderung bercabang atau menggelung ujungnya, sehingga
menimbulkan bentuk kuneiformis. Sering terdapat granula metakromatik.7 Ada tiga jenis
organisme (gravis, intermedius, dan mitis) yang dibedakan menurut morfologi, pertumbuhan,
dan reaksi biokimia.7 Semua jenis bisa mengeluarkan eksotoksin. Toksin difteri adalah suatu
protein yang bersifat sitotoksik,

yaitu

dengan menganggu pembentukan

protein

sel.7Kemampuan strain Corynebacterium diphtheriae menghasilkan toksin dilakukan oleh


bakteriofaga lisogenik yang membawa gen pembentuk toksin. Jadi, strain yang nontoksik bisa
menjadi toksigenik melalui infeksi dengan bakteriofaga yang cocok. Toksin dapat diubah
menjadi toksoid imunogenik dengan cara mengobati dengan formalin .7 Toksin yang
dihasilkan oleh ketiga jenis tadi secara kuantitatif mirip, tetapi strain gravis dan intermedius
menghasilkan toksin yang lebih banyak dibanding strain mitis.
XI.

Epidemiologi
19

Difteri terjadi di seluruh dunia dan pada setiap waktu sepanjang tahun, meskipun
paling sering di musim dingin.7 Reservoir infeksi utama adalah manusia; peran peralatan
seperti baju atau handuk dan hewan dapat diabaikan. 7 Kedekatan dan lama kontak dengan
pasien difteri atau karier penyakit yang sehat merupakan penentu penting penyebaran infeksi.
Akibatnya, laju serangan penyakit di rumah tangga dan di pemukiman padat sangat tinggi.
Sumber Corynebacterium diphtheriae di nasofaring adalah sumber utama infeksi baru, tetapi
lesi kulit juga dapat menjadi reservoir.7 Pada tempat dengan iklim bermusim, lesi kulit difteri
berupa ulkus superfisial yang tidak terlalu bermakna yang menyerupai impetigo. Orang yang
mempunyai lesi kulit umumnya tidak memperlihatkan manifestasi toksik, tetapi lesi ini secara
epidemiologi penting sebagai sumber penyakit saluran pernapasan yang baru.7
Tanpa pengobatan, orang sehat pembawa infeksi di nasofaring dapat memiliki
kolonisasi selama berminggu-minggu; laju penurunan pembawa ini kira-kira 5% sehari.
Insidensi difteri berbanding terbalik dengan persentase orang yang kebal di daerah itu. Difteri
tetap merupakan penyakit yang umum di negara-negara tanpa program imunisasi yang
efektif. Di Amerika Serikat, insiden difteri menurun secara dramatis sejak tahun 1950, dan
terutama selama tahun 1960-an saat dilaksanakannya usaha imunisasi yang agresif. Sejak
tahun 1980 dilaporkan kurang dari 5 pasien per tahun. bersamaan dengan itu, difteri beralih
dari penyakit anak menjadi penyakit orang dewasa. Namun, kemungkinan wabah berlanjut
bila masyarakat tidak diimunisasi.7
XII.

Patofisiologi

Corynebacterium diphtheriae hanya memiliki satu toksin, yaitu toksin A-B yang
dikode oleh faga yang menghambat sintesis protein sel penjamu. 9 Di sitosol sel, fragmen A
mengkatalisis pemindahan kovalen adenosis difosfat (ADP)-ribosa ke elongation faktor (EF2)
yang berperan pada sintesis protein.9 Satu molekul toksin difteri dapat mematikan sebuah sel
melalui ribosilasi ADP sehingga terjadi inaktivasi lebih dari sejuta molekul EF2. Imunisasi
dengan toksoid difteri (toksin yang difiksasi dalam formalin) tidak mencegah kolonisasi
Corynebacterium diphtheriae, tetapi melindungi orang dari efek letak toksin. Leadakan kasus
luar baru-baru ini di Uni Soviet terjadi akibat berkurangnya angka cakupan vaksinasi,
instabilitas sosialekonomi, dan memberukunya infrastruktur kesehatan.
Lesi pseudomembran umumnya ditemukan pada membran mukosa faring, tonsil, dan
uvula dan lebih jarang di hidung, laring, dan saluran pernapasan bawah. 7 Kadang-kadang,
proses meluas ke telinga tengah atau ke esofagus dan lambung; lesi ini juga dapat mengenai
20

kulit atau mukosa organ kelamin.7 Pseudomembran terdiri dari epitel nekrotik yang tertanam
dalam eksudat peradangan yang menggumpal di permukaan. Perubahan inflamatorik
ditemukan pada epitel landasan yang hidup, dan bisa meluas ke submukosa, tempat
manifestasi perdarahan dapat terjadi. Basil tetap tinggal di permukaan lesi; hanya pada
keadaan perkecualian basil ini menginvasi struktur lebih dalam, dan lebih jarang lagi basil
yang menimbulkan bakteremia.7
Akan tetapi, toksin diserap dari lesi setempat, sehingga menimbulkan kerusakan di
jaringan dan organ yang letaknya jauh.7 Miokarditis lazim terjadi; perubahannya bersifat
degeneratif dan bukan peradangan. Dapat terjadi sedikit perdarahan, dan pada beberapa
pasien disertai dengan infiltrasi sel bulat. Sistem penghantaran di jantung sering dikenai. Sel
hati memperlihatkan perubahan degeneratif pada otopsi; mungkin ada daerah nekrosis fokal
yang menyebar.7 Fungsi hati dapat terganggu sampai derajat tertentu. 7 Ginjal umumnya
memperlihatkan pembengkakan berkabut, sel epitel granular tubulus kontortus membengkak.7
Bisa terjadi nefritis interstisial. Lesi korteks adrenal yang mirip dengan lesi pada
meningokoksemia sering ditemukan pada infeksi yang fatal. Perubahan degeneratif sistem
saraf terjadi pada hampir semua infeksi yang bersifat fatal.7 Di medula spinalis, lesi terjadi di
sel ganglion kornu anterior dan ganglion akar posterior. Nervus kranialis dan pusatnya dapat
dikenai, tetapi korteks tidak. Lesi lain yang ditemukan ialah perubahan degeneratif di limpa
dan nodus limfatikus; kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kapsul. Tidak jarang juga
terjadi perdarahan bawah kulit.
XIII.

Tatalaksana

Antitoksin difteri menetralkan toksin dalam sirkulasi, tetapi tidak mempunyai efek
pada toksin yang terikat pada jaringan. Antitoksin harus diberikan sesegera mungkin setelah
serangan penyakit.7 Oleh karena itu, biasanya karena itu, keputusan pengobatan dibuat
sebelum hasil biakan diperoleh, dan didasarkan pada gambaran klinis yang cocok pada
individu yang dicurigai. Terapi antitoksin. Antitoksin bakteri adalah serum yang diambil
dari kuda, sehingga tes kepekaan harus dilakukan dengan memberikan larutan 1:10 ke dalam
kantung konjungtiva atau melakukan tes intradermal denagn larutan antiserum 1:100.7 Bila
pasien mengalami reaksi yang segera, prosedur desensitisasi harus dilakukan. Dosis
antitoksin bersifat empirik dan didasarkan pada luasnya penyakit.7 Dosis tidak berdasarkan
berat badan, tetapi berdasarkan jumlah perkiraan toksin. Antiserum diberikan secara
intravena.7 Kegunaan pemberian antitoksin diragukan pada pasien yang menderita difteri
21

kulit, tetapi beberapa ahli menganjurkan karena manifestasi toksik kadang-kadang juga
ditemukan. Petunjuk terapi antitoksin difteri dapat dilihat dari tabel 1.
Terapi antimikroba. Corynebacterium diphtheriae rentan terhadap beberapa
antibiotik, termasuk penisilin dan eritromisin.7 Terapi antibiotik mempunyai sedikit efek atau
tidak sama sekali terhadap evolusi klinis difteri. Antibiotik terutama diberikan untuk
mencegah pasien menularkan penyakit. Eritromisin (40 mg/kg/hari, terbagi setiap 6 jam)
diberikan secara oral.7 Sebagai pengobatan alternatif diberikan prokain penisilin G setiap hari
(25.000 sampai 50.000 U/kg dibagi dalam dua dosis) secara intramuskular.7 Pengobatan
diberikan selama 14 hari. Setelah pengobatan antibiotik selesai, faring dan nasofaring dikultur
dua kali, setidaknya berjarak 24 jam, untuk menentukan apakah kuman patogen telah
dibasmi. Tindakan penjagaan terhadap pernapasan terus dilakukan sampai ada kepastian
biakan bahwa patogen telah habis pada nasofaring. Beberapa pasien yang menderita difteri
kulit mempunyai kolonisasi saluran pernapasan yang asimtomatis dengan Corynebacterium
diphtheriae.7 Biakan faring dan nasofaring juga perlu pada pasien. Bila ada keluhan pada
nasofaring yang menetap setelah tindakan terapi pertama, harus diberikan terapi eritromisin
ulang.
Tabel 1. Petunjuk Terapi Anti-toksin Difteri7
Keadaan penyakit

Dosis anti-toksin

Faringeal, laringeal, atau nasal dengan durasi < 48 jam

20.000-40.000 U

Nasofaringeal

40.000-60.000 U

Leher lembu atau segala penyakit dengan durasi > 48


jam

80.000-100.000 U

Lesi kulit

Tidak diberi atau 20-40.000 U

Kontak pada orang rentan yang asimtomatis

Tidak diberi atau 5.000-10.000 U

Pengobatan lain. Terapi kortikosteroid (untuk mengurangi miokarditis dan nefritis)


telah menunjukkan tidak efektif dan tidak direkomendasikan. 7 Karnitin adalah kofaktor dalam
pengangkutan asam lemak ke bagian dalam mitokondria sel. Karena asam lemak berkumpul
dalam sitoplasma sel jantung manusia pada pasien miokarditis difteri, karnitin mungkin
bermanfaat.7 Pada satu penelitian, sekelompok 10% DL-karnitin (10 mg/kg/hari dalam 2

22

dosisi terbagi selama 4 hari) menurunkan insiden miokarditis dibandingkan dengan kelompok
kontrol.7 Penelitian ini perlu dipastikan sebelum karnitin dianjurkan untuk terapi rutin.
Tindakan suportif. Saluran napas harus selalu dijaga terbuka pada pasien
difteri.7Intubasi nasotrakeal atau trakeostomi mungkin diperlukan. Pasien difteri harus tetap di
tempat tidur selama pengobatan. Ini terutama penting pada pasien yang mempunyai kelainan
elektrokardiografi atau secara klinis mempunyai keluhan jantung. Sering pasien dengan
miokarditis difteri paling sensitif terhadap digitalis dan harus dipantau secara ketat untuk
kemungkinan keracunan digitalis. Gagal ginjal ditangani dengan cara penanganan standar.
Pasien harus dipantau ketat untuk kemungkinan terjadinya kelumpuhan laring, faring, atau
diafragma.7 Bila ada kesulitan menelan, pemberian makanan melalui oral harus ditukar
dengan cara parenteral.7 Kelumpuhan pernapasan ditangani menurut prosedur standar. Selama
stadium perontokan pseudomembran, perlu pengisapan trakea untuk membuang serpihan
membran.
Perawatan orang yang terpajan. Kontak rumah tangga atau kontak dekat lain
dengan pasien difteri berisiko tinggi untuk menjadi pembawa penyakit yang asimtomatis atau
menjadi sakit. Imunisasi menimbulkan kekebalan antitoksik tetapi tidak ada kekebalan untuk
infeksi dengan Corynebacterium diphtheriae.7 Semua orang yang terpajan harus segera
diperiksa. Individu dengan gejala yang sesuai dengan difteri harus diperiksa dan diobati
dengan tepat. Biakan harus dilakukan terhadap semua orang yang terpajan yang asimtomatis,
dan mereka harus dianggap potensial menularkan sampai hasil biakan diketahui. Semua
individu yang berkontak erat dengan pasien harus diawasi selama 7 hari. Kontakan yang
sebelumnya telah mendapat imunisasi harus diberi imunisasi toksoid difteri ulangan jika
mereka belum menerima booster dalam waktu 5 tahun.7 Individu yang tidak diimunisasi atau
yang status imunisasinya tidak jelas harus diberi profilaksis dengan eritromisin (40
mg/kg/hari terbagi dalam 4 dosis selama 7 hari) atau suntikan intramuskular tunggal benzatin
penisilin G 50.000 unit per kg (maksimum 1.200.000 unit).7 Imunisasi dengan DPT atau Td
yang bergantung usia harus dimulai. Bila individu tidak dapat diawasi, beberapa ahli
menganjurkan memberikan 5000 sampai 10.000 U antitoksin difteri; tetapi, risiko reaksi
alergi menjadikan pemberian antitoksin ini tidak dianjurkan pada sebagian besar keadaan.
XIV.

Pencegahan

Karena serangan difteri tidak menimbulkan kekebalan antitoksik yang nyata, pasien
yang telah pulih harus mendapat toksoid difteri. Tes Shick dan Maloney untuk kekebalan
23

pada dasarnya menarik secara sejarah; kenyataannya, sulit mendapat bahan untuk
pemeriksaan Shick. Pada tes Shick, dilihat adanya reaksi terhadap suntikan intradermal toksin
difteri dan terhadap bahan kontrol yang dipanaskan. Terlihat suatu reaksi positif berupa
eritema dalam 48 jam dan maksimal dalam 5-7 hari. Reaksi sementara terhadap tes dan
reagens kontrol ini bersifat positif palsu. Tes yang positif menunjukkan keretanan terhadap
toksin dan tes yang negatif menandakan kekebalan. 7 Tes Maloney terdiri atas penyuntikan
intradermal 0,1 mL larutan toksoid cairan difteri 1:100.7 Eritema yang timbul dalam 24 jam
menunjukkan kekebalan.7 Bayi baru lahir mempunyai kekebalan sementara dari antibodi ibu
bila ibu imun. Semua bayi secara rutin harus diimunisasi dengan jadwal yang dianjurkan.
Dosis booster toksoid difteri sebaiknya diberikan setiap 10 tahun.7
Vaksin toksoid digunakan hanya bila toksin bakteri merupakan penyebab utama
penyakit. Toksin biasanya diinaktifkan dengan formalin dan disebut toksin yang detoksifikasi
atau toksoid sehingga aman untuk digunakan dalam vaksin. Banyak bekteri dalam usaha
meningkatkan penyebarannya, melepas molekul toksin (eksotoksin) yang merusak jaringan
sekitar atau menunjukkan efeknya di jaringan yang jauh (tetanus). 11Yang berperan pada
respons imun antitoksin adalah IgG, meskipun IgA dapat pula menetralisasi eksotoksin
seperti enterotoksin v.kolera.11
Toksin itu berikatan kuat dengan jaringan alat sasaran dan biasanya tidak dapat
dilepaskan lagi dengan pemberian antitoksin.11 Oleh karena itu pada penyakit-penyakit yang
mekanismenya terjadi melalui eksotoksin, pemberian segera antitoksin sangat diperlukan agar
kerusakan yang ditimbulkan (lebih banyak toksin berikatan dengan jaringan) dapat
dicegah.11Pada percobaan dengan kelinci, antitoksin yang diberikan satu jam sebelum
suntikan toksin difteri dapat memberikan proteksi lengkap, tetapi antitoksin yang diberikan
antara 1-2 jam sesudah suntikan toksin tidak efektif. 11Antitoksin terdiri atas antibodi yang
menetralisasi (antiserum) yang spesifik terhadap toksin. Biasanya diproduksi dengan
imunisasi pada manusia (sukarelawan), kuda dan lembu. Efikasi antitoksin berhubungan
dengan waktu paruh antibodi in vivo.
Vaksinasi terhadap toksin diberikan dalam bentuk toksoid. Yaitu toksin yang sudah
dihilangkan toksisitasnya, namun tidak kehilangan determinan antigen.11 Oleh karena itu
toksoid dapat dipakai untuk memacu pembentukan antibodi yang dapat menetralkan efek
toksin.11 Endotoksin adalah komponen dinding sel dari beberapa bakteri negatif-gram yang
dapat memodulasi respons imun.11 Eksotoksin bakteri seperti yang diproduksi difteri dan
24

tetanus sudah lama digunakan sebagai imunogen, tetapi harus ditoksifikasi terlebih dahulu
denga formaldehid yang tidak merusak determinan imunogennya.11
XV.

Prognosis

Secara keseluruhan, angka kematian adalah sekitar 10%, tetapi prognosis bergantung
pada jenis penyakit, usia dan keadaan umum pasien, serta jarak antara serangan penyakit
dengan terapi antitoksin.7 Lebih dari separuh pasien dengan difteri leher lembu meninggal
meskipun diberikan perawatan intensif yang agresif. Prognosis buruk bila terjadi miokarditis
atau gagal ginjal pada perjalanan penyakit yang dini. 7 Bila pasien ditangani dengan fasilitas
perawatan intensif, kematian akibat sumbatan saluran napas kecil kemungkinannya, kecuali
bila pseudomembran meluas ke bronkus. Sesudah sembuh dari penyakit akut, pasien masih
mempunyai risiko mengalami kelumpuhan atau miokarditis yang timbul lambat. 7Tidak ada
gejala sisa yang menetap akibat difteri kecuali bila terjadi kerusakan yang bersifat anoksik.
XVI. Penutup
Jadi dapat diterapkan pada kasus pada anak laki-laki berusia 3 tahun yang mengalami
sesak nafas dan pembesaran tonsil disertai adanya demam yang mencapai 40C, stridor (+),
dan adanya selaput putih keabu-abuan pada tonsil. Dari gejala-gejala yang telah didapatkan
dari pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang (yang mungkin disarankan), dapat
disimpulkan bahwa anak 3 tahun ini mengalami difteri tonsilofaringeal. Hal ini didukung
dengan adanya hasil pemeriksaan spesimen (pemeriksaan yang disarankan) dan tingginya
indidens penyakit difteri ini pada anak berumur 3-5 tahun untuk terpapar oleh penyakit ini.
XVII. Daftar Pustaka
1. Kamus kedokteran dorland. 31th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
2. Berhman RE, Kliegman RM. Nelson textbook of pediatrics. 18th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier, 2007.
3. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. The respiratory system at a glance. 2 th ed.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008.
4. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. 6th ed. Jakarta: EGC, 2006.
5. Soepardi EA, Iskandar N. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok. 4 th ed.
Jakarta: Gaya baru, 2000.
6. Bull P, Clareke R. Lecture notes:diseases of the ear, nose and throat. 10th ed. MA:
Blackwell Publishing, 2007.
25

7. Rudolph AM. Buku ajar pediatri. 20th ed. Jakarta: EGC, 2006.
8. Behrman RE, Kliegman RM. Esensi pediatri nelson. 4th ed. Jakarta: EGC, 2010.
9. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & cotran dasar patologis penyakit. 7 th ed.
Jakarta:EGC, 2009.
10. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, &
adelberg. 23th ed. Jakarta: EGC, 2007.
11. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi dasar. 10th ed. Jakarta: Balai penerbit
FKUI, 2012.
Lampiran Kasus 5:
Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan sesak napas
sejak 1 hari yang lalu. Keluhan didahului batuk pilek sejak 1 minggu yang lalu dan demam
tinggi serta nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat
imunisasi pasien ternyata tidak lengkap. Pada PF didapati kesadaran compos mentis, tampak
sesak dan agitasi. Frekuensi napas 50x/menit, denyut nadi 130x/menit, suhu 40C, stridor (+).
Leher terlihat membesar dan teraba keras, kedua tonsil membesar dengan ditutupi selaput
putih keabu-abuan yang menyebar sampai ke dinding faring.

26

Anda mungkin juga menyukai