Chapter 1 Benny

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan suku bangsa. Suku bangsa Tionghoa (biasa
disebut juga Cina) adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya
dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam
bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: , "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan
kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang
menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka
sebagai orang Han (Hanzi: , hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun
yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah
Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan
dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat
dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan
perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia
digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. (www.wapedia.com)
Medan didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun 1590. John Anderson,
orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung
yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan seorang pemimpin bernama
Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak
dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada tahun 1886, Medan secara
resmi memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta
Sultan Deli pindah ke Medan. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa,
terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran.

Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang bumiputra, dan
seorang Tionghoa.
Proses sejarah dan peristiwa kultural diantaranya, yang dapat diduga menjadi salah satu
faktor pendorong lajunya pertumbuhan dan perkembangan di kota Medan, tidaklah luput dari
upaya kreativitas warga masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di Medan. Kedatangan
mereka ke tanah Deli khususnya di Medan dengan jumlah yang relatif cukup besar
adalah upaya Jacob Nienhuys (Orang-orang dari negeri Cina
melakukan kunjungan ke daerah ini tetapi

sebelumnya juga pernah

untuk tujuan perdagangan dengan penduduk

setempat).
Pada mulanya mereka didatangkan untuk menjadi kuli di perkebunan yang ada di
sekitarnya. Gelombang pertama di datangkan dari Singapura, sebanyak 300 orang menurut
catatan yang terdaftar dibagian arsip kedatangan di pelabuhan Belawan, kemudian menyusul
sebanyak 100 orang lagi. Sebagian besar orang-orang Tionghoa yang didatangkan ke daerah
ini berasal dari Penang, yang dahulunya adalah orang Tionghoa yang berasal dari suku Teo
Chiu (dari propinsi Kwantung, Cina Selatan). Mereka dikumpulkan oleh broker-broker ( Keh
tau ), dan sekaligus merupakan kepala gerombolan Kongsi Toh Pe Kong yang ada di sana
(Sinar, 1994:58). Ada pula yang langsung didatangkan dari daratan Cina bagian Selatan yaitu
dari Propinsi Fukien dan Kwantung.
Jumlah mereka, pada tahun 1874, sudah mencapai 4.476 orang, dan dalam tahun 1890
meningkat menjadi 53.806 orang. Selanjutnya pada tahun 1900 jumlah mereka sudah
sebanyak 58.516 orang.
Namun dalam proses perkembangan selanjutnya, kedatangan orang-orang Tionghoa ini
tidak hanya sebagai kuli saja, tetapi ada juga yang melakukan aktivitas untuk perniagaan.
Menurut sensus pada tahun 1920, migran Tionghoa jumlahnya sudah mencapai 121.716
orang, yang terdiri dari 92.985 orang pria dan hanya 18.731 orang saja yang wanita. (Vleming
Jr, 1989:185).
Ada pendapat yang menyatakan orang-orang Tionghoa mau meninggalkan daerah
asalnya, karena pada saat itu, suasana politik dan kondisi sosial di tempat asalnya sedang

memburuk. Perebutan dinasti tengah terjadi yang menimbulkan perang saudara diantara
mereka, salah satu diantaranya adalah gagalnya pemberontakan Taiping (Soetriyono, 1989: 5)
Kehidupan mereka di tempat asalnya dirasakan serba sulit, tanah kurang subur, penduduknya
sangat padat terutama di daratan Cina bagian Selatan. Di samping itu, daerah asal mereka
kerap kali terjadi bencana alam (banjir). Hal ini menjadi faktor pendorong bagi mereka untuk
bermigrasi ke daerah Nan-Yang .
Peluang semacam itu, memberi keuntungan pula bagi pihak kolonial untuk merekrut
tenaga kerja yang murah, terampil dan rajin. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah Hindia
Belanda selama beberapa decade mendatangkan ratusan ribu orang Tionghoa dari bagian
Selatan daratan Cina. Mereka kebanyakan adalah orang-orang Hokkian, didatangkan oleh
pemerintah colonial Belanda terutama untuk dijadikan buruh perkebunan ke daerah Sumatera
Timur, sedangkan orang-orang Hakka untuk dijadikan sebagai buruh tambang di daerah
pertambangan timah di pulau Bangka dan Bilitung.
Namun, banyak juga orang-orang Tionghoa yang atas kemauannya sendiri berdatangan
ke Indonesia untuk mencari kehidupan baru. Terutama ketika terjadi serangan yang dilakukan
oleh tentera Jepang ke daerah Cina sekitar tahun 1937-38, membuat rakyat Cina Selatan selalu
dicekam ketakutan. Mereka pun pada mengungsi ke daerah lain, bahkan diantara mereka
berupaya meninggalkan negerinya untuk merantau (Soetriyono, 1989: 30). Karena tujuan
mereka memang untuk memperbaiki nasib, oleh karena itu kesungguhan untuk menduduki
posisi yang dominan dalam bidang perekonomian memang mereka harapkan. Kesempatan ini
diberi peluang pula oleh pemerintah kolonial.(Chalida, 1975:4).
Sejak kuli-kuli Tionghoa tidak lagi terikat kontrak dengan pihak perkebunan, atau
pertambangan, sebagian besar dari mereka tidak pula kembali ke daerah asalnya. Mereka
kebanyakan tinggal menetap di wilayah tanah Deli Sumatera Timur, terutama tinggal di
daerah perkotaan seperti Medan. Mereka diberi peluang kesempatan oleh pemerintah kolonial
Belanda pada waktu itu untuk bergerak di dunia bisnis. Dalam waktu yang cukup singkat
mereka sudah beralih ke berbagai sektor perdagangan dan jasa (Sinar, 1980), disertai dengan
kegigihannya yang sungguh-sungguh sehingga sebagian besar dari mereka telah pula
meningkat dan berhasil dalam usahanya.

Di kota Medan, masyarakat Tionghoa telah banyak memberikan corak tertentu, yang khas
terhadap perkembangan kehidupan kota Medan itu sendiri. Kendatipun masyarakat Tionghoa
yang jumlahnya hanya minoritas saja, bila dibanding dengan penduduk asli pribumi, tetapi
mereka sering kali dapat menguasai berbagai posisi yang strategis dan dapat pula
menggerakan kehidupan sosio-ekonomi penduduk lain yang non-Tionghoa di kota ini. Baik
yang bergerak di sektor produsen maupun mereka yang bergerak disektor distributor dan jasa.
Keberadaan etnis Tionghoa di kota Medan saat ini merupakan The Godfather, khususnya di
bidang ekonomi. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat kota Medan yang heterogen dan
serba kompleks kehandalan mereka membuat kota Medan menjadi suatu yang lain . Suatu
fenomena yang menarik untuk dicermati (Bergerak, 1994: 4). (Thesis Agustrisno Respons
Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa terhadap pembangunan di kota Medan )
Suku Tionghoa ini mempunyai pemukiman yang berkelompok. Pemukiman ini biasanya
disebut sebagai Pecinan atau Chinatown. Salah satu dasar terbentuknya pecinan adalah
karena faktor sosial, dimana merupakan keinginan masyarakat Tionghoa sendiri untuk hidup
berkelompok karena adanya perasaan aman dan dapat saling bantu-membantu. Ini sering
dikaitkan dengan sifat ekslusif orang Tionghoa, namun sebenarnya sifat ekslusif ada pada
etnis dan bangsa apapun, semisal adanya kampung Keling/India di Medan, Indonesia,
kampung Arab di Fujian, Tiongkok atau pemukiman Yahudi di Shanghai, Tiongkok.
(www.wapedia.com)
Pecinan sebagai domain ekonomi kota memang telah dikenal umum, bahkan hampir
setiap kota di Nusantara ini memiliki pecinan yang berfungsi sebagai sentra ekonomi dan
hunian. Sebagai sebuah komponen perkotaan yang memiliki keunikan dari segi etnisitas dan
fungsi (dan latar belakang sejarah tentunya) selain perbedaan fisiknya, pecinan ternyata
menyimpang banyak keunikan potensi dan masalah, baik dalam aspek-aspek perkotaan,
arsitektur, dan sosial budaya yang kesemuanya saling jalin-menjalin. Pecinan yang kita kenal
memiliki banyak problematika dan segudang persepsi dan mitos yang bisa jadi turut
melatarbelakangi berbagai problematikanya. Mitos, persepsi, dan problematika tersebut telah
terbentuk secara historis sedemikian panjang dan berliku sehingga tidaklah mengherankan
jika kita menelusurinya tak kunjung nampak akar masalah dan malah berujung pada masalah
lain.

Tetapi selain menyimpan berbagai masalah, pecinan juga menyimpan berbagai aset
budaya penting yang dapat mengingatkan (menalarkan) kepada kita semua sebagai sebuah
nation bahwa budaya dan etnis bukanlah sebuah kotak-kotak kaku, klasifikasi yang ketat.
Budaya dan etnisitas, seiring dengan kontak-kontak individu lewat kegiatan sehari-hari dan
perjuangan, adalah hal yang cair, penetratif, tanpa embel-embel agresi dan unsur pemaksaan.
Secara gamblang kita sebenarnya dapat mengamati bangunan-bangunan yang cenderung
tidak dilirik orang lagi untuk menemukan nilai-nilai kesejarahan, pelajaran sejarah yang tidak
akan pernah kita dapat dari sekolah. Kita dapat langsung menyadari dari ekspresi bangunanbangunan tersebut bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat yang
majemuk. Masing-masing individu memiliki preferensi, orientasi, dan selera estetika masingmasing sesuai dengan aspirasi, status, dan latar belakang mereka. (Koran Kompas, 13
Februari 2001)
Di Medan, juga memiliki Pecinan. Pecinan di Medan merupakan tempat perdagangan,
pemukiman dan wisata kuliner Pecinan ini terletak di Jl. Pandu, Jl. Semarang, Jl. Ahmad
Yani, Jl. Selat Panjang, Jl. Asia, Asia Mega Mas, dan rumah susun. Namun, wisatawan yang
datang tidak dapat merasakan suasana berada pada Pecinan. Hal ini dikarenakan di kota
Medan, kesan bangunan dan suasana Pecinan itu tidak dimunculkan. Semua bangunannya
tidak ditata sedemikian rupa yang dapat menghidupkan suasana selayaknya Pecinan. Untuk
itu, maka saya mengangkat topik ini untuk dibahas agar Medan memiliki suatu Pecinan yang
dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan.
I.2. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan perencanaan dan perancangan kawasan Pecinan ini antara lain
adalah :
Menciptakan suatu kawasan Pecinan sehingga penggunjung bisa merasakan suasana berada
di kota China
Membuat suatu wadah untuk tempat wisata, perdagangan dan kuliner
I.3. Rumusan Permasalahan
Kawasan Chinatown merupakan suatu tempat wisata, perdagangan, pendidikan, kuliner dan
pemukiman dengan gaya arsitektur China. Tempat wisata ini juga memperhatikan

perancangan semaksimal mungkin, baik dari segi penataan tapak maupun dari segi aktivitas
yang dilakukan didalamnya, untuk lebih dapat menarik minat para pengunjung.
Masalah yang sering dihadapi pada masa kini antara lain adalah :

Bagaimana cara mendesain kawasan Pecinan?


Apa saja yang dibutuhkan di sebuah Pecinan?
Bagaimana cara menciptakan suasana Pecinan?
Bagaimana konsep yang disajikan untuk mendukung adanya wisata, perdagangan, dan
kuliner

I.4. Batasan Permasalahan


Mengingat luasnya lingkup masalah dan hal-hal yang berkaitan dengan proyek kawasan
Chinatown ini, maka pembahasan dibatasi antara lain :
Pecinan yang merupakan tempat wisata, perdagangan, dan kuliner
Menata suatu kawasan dari segi arsitektur untuk menjadi sebuah Pecinan
Menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung suasanan Pecinan
I.5. Metodologi Penelitian
Metodologi Penelitian yang digunakan adalah pembahasan secara umum mengenai tempat
wisata budaya, hiburan dan perbelanjaan yang berkembang di Indonesia. Pendekatan yang
dilakukan yaitu pendekatan secara langsung dan pendekatan secara tidak langsung.
Pendekatan secara langsung dilakukan dengan :

Survey Lapangan , Survey lapangan dilakukan di Chinatown yang sudah ada.


Studi Wawancara Proses perolehan data melalui tanya jawab dengan pihak yang
berkepentingan yang berhubungan dengan perencanaan dan perancangan Wisata
Oriental Modern ini.

Sedangkan pendekatan secara tidak langsung dilakukan dengan :

Studi literatur Studi pengenalan masalah yang berhubungan dengan perencanaan dan
perancangan fasilitas Wisata Oriental Modern untuk melengkapi data-data bagi proses
perencanan dan perancangan tersebut yang diperoleh dari perpustakaan dan instansi
yang terkait.

I.6. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan, maka sistematika pembahasan secara garis besar melalui
BAB ke BAB dilakukan sebagai berikut :
BAB I

: PENDAHULUAN

Berisikan uraian mengenai latar belakang maksud dan tujuan direncanakan proyek Kawasan
Pecinan di kota Medan, pembatasan dan perumusan masalah serta kerangka pemikiran
dalam penyusunan laporan ini.
BAB II

: TINJAUAN UMUM

Berisikan pembahasan mengenai pengertian, sejarah dan gambaran umum Kawasan Pecinan
di kota Medan, tugas dan fungsi dari proyek.
BAB III : TINJAUAN KHUSUS
Berisikan pembahasan khusus pada proyek yang direncanakan, tentang pemilihan lokasi dan
tapak, deskripsi proyek serta intepretasi dan elabolasi tema yang digunakan dalam
perencanaan proyek.
BAB IV : ANALISA
Berisikan analisis terhadap kondisi tapak, lingkungan, bangunan dan hal-hal yang
berpengaruh dalam desain.
BAB V

LATAR BELAKANG

: KONSEP

Berisikan konsep-konsep perencanaan tapak, konsep perencanaan

bangunan yang

MAKSUD DAN TUJUAN

digunakan dalam studio perancangan tugas akhir.

PERMASALAHAN
METODOLOGI
PENELITIAN
LATAR BELAKANG

DATA SEKUNDER

DATA PRIMER

I.7. Kerangka Pemikiran


TINJAUAN UMUM

TINJAUAN KHUSUS

ANALISA
KONSEP

DESAIN

LAPORAN PERENCANAAN DAN

Diagram 1. Skema Kerangka Pemikiran


Keterangan :
: langkah selanjutnya
: feed back

Anda mungkin juga menyukai