Anda di halaman 1dari 9

KATAPENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya saya
dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teori Ekonomi. Ucapan terima kasih
juga saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini terutama
kedua orang tua saya atas doa dan motivasi yang diberikannya.
Saya berharap dengan ditulisnya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca Saya menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari yang diharapkan. Untuk itu kritik dan
saran yang membangun sangat saya harapkan.
Penulis,

BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ekonomi merupakan aspek terpenting di dalam suatu negara. Ekonomi menjadikan suatu
negara mampu untuk memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan sumber daya yang
terbatas. Dari sumber daya yang terbatas itulah muncul masalah ekonomi yang disebabkan
oleh kebutuan manusia yang tidak terbatas. Masalah ekonomi adalah masalah
What How Why yang meliputi masalah produksi, distribusi, dan konsumsi. Pemecahan
masalah dapat dilakukan oleh suatu negara dengan melihat sistem ekonomi yang
diterapkannya. Jika negara bisa memecahkan masalahnya, maka rakyat akan hidup sejahtera.
Suatu negara dipandang berhasil atau tidak dalam memecahkan permasalahan ekonomi
negaranya sendiri dapat dilihat dari ekonomi makro dan mikro negara tersebut. Ekonomi
makro membahas ekonomi nasional secara keseluruhan. Ekonomi mikro lebih merujuk
kepada bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan perekonomian. Dapat dilihat disini
bahwa ekonomi makro maupun mikro adalah faktor dan kriteria suatu negara dicap berhasil
oleh negara lain. Namun terkadang, ada hal-hal yang menghambat pertumbuhan
perekonomian suatu negara di dalam negara tersebut. Ekonomi makro yang memegang
peranan pentingpun acap kali bisa memberikan dampak yang serius dalam pertumbuhan
suatu negara. Tidak hanya sedikit pengaruhnya, tetapi secara signifikan dapat mempengaruhi
pertumbuhan tersebut. Dapat kita sebutkan satu per satu apa yang menjadi bagian dari
ekonomi makro yang mempengaruhi ekonomi nasional adalah rendahnya pertumbuhan
ekonomi, kemiskinan & pengangguran, inflasi, rendahnya nilai kurs rupiah, krisis energi,
defisit APBN, juga ketimpangan neraca perdagangan dan pembayaran menjadi permasalahan
ekonomi nasional dewasa ini. Pembahasan dan pemecahan masalah diatas sangat diperlukan
saat ini untuk mencapai tujuan negara itu sendiri yaitu mensejahterakan rakyatnya. Topik
ekonomi makro Indonesia tahun 2013 yang diangkat oleh penulis diharapkan dapat
memberikan pemahaman tentang apa itu ekonomi makro, permasalahan, dan pemecahan
masalah yang dilakukan oleh pemerintah terhadap permasalahan ekonomi nasional yang
berdampak bagi kita sebagai bagian dari negara Indonesia.

1.2 Identifikasi Masalah


1.Ekonomi makro dan mikro sangat berperan dalam keberhasilan suatu negara, terkadang
muncul masalah didalamnya.
2.Masalah ekonomi makro yang mencakup sistem perekonomian berpengaruh besar terhadap
ekonomi nasional suatu negara.
1.3Rumusan Masalah
1. Apa yang terjadi pada nilai tukar rupiah kita
2. Kenapa bisa terjadi
3. Bagaimana cara memperbaikinya
1.4 Tujuan
Mengetahui indikator ekonomi makro serta pengaruh permasalahan ekonomi makro pada
perekonomian nasional dan penerapan kebijakan pemerintah untuk menangani permasalahan
tersebut.

BAB II PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ekonomi Makro
Ekonomi makro atau makro-ekonomi adalah studi tentang ekonomi secara keseluruhan.
Makro-ekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak masyakarakat,
perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik
untuk memengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas
harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan. Meskipun
ekonomi makro merupakan bidang pembelajaran yang luas, ada dua area penelitian yang
menjadi ciri khas disiplin ini : kegiatan untuk mempelajari sebab dan akibat dari fluktuasi
penerimaan negara jangka pendek (siklus bisnis), dan kegiatan untuk mempelajari faktor
penentu dari pertumbuhan ekonomi jangka panjang (peningkatan pendapatan nasional).
Model makro-ekonomi yang ada dan prediksi-prediksi yang ada jamak digunakan oleh
pemerintah dan korporasi besar untuk membantu pengembangan dan evaluasi kebijakan
ekonomi dan strategi bisnis. (id.wikipedia.org)
Nilai tukar atau dikenal pula sebagai kurs dalam keuangan adalah sebuah perjanjian yang
dikenal sebagai nilai tukar mata uang terhadap pembayaran saat kini atau di kemudian hari,
antara dua mata uang masing-masing negara atau wilayah.
Dalam sistem pertukaran dinyatakan oleh yang pernyataan besaran jumlah unit yaitu "mata
uang" (atau "harga mata uang" atau "sarian mata uang") yang dapat dibeli dari 1 penggalan
"unit mata uang" (disebut pula sebagai "dasar mata uang"). sebagai contoh, dalam penggalan
disebutkan bahwa kurs EUR-USD adalah 1,4320 (1,4320 USD per EUR) yang berarti bahwa
penggalan mata uang adalah dalam USD dengan penggunaan penggalan nilai dasar tukar
mata uang adalah EUR

Daftar Nilai Tukar Mata Uang

ada 3 penyebab penting yang membuat rupiah tetap lemah terhadap dollar Amerika, yaitu
defisit neraca perdagangan, proyeksi IMF, penghentian stimulus The Fed.
Tingginya defisit neraca perdagangan
Tanggal 2 September 2013 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan merilis bahwa
defisit neraca perdagangan per Juli 2013 mencapai 2,21 dollar Amerika dan secara kumulatif
mencapai 5, 65 miliar. Ini merupakan defisit tertinggi sepanjang sejarah. BPS menyatakan
defisit perdagangan karena impor migas jauh melampaui ekspor. Defisit di sektor ini hingga
1,86 miliar Dolar Amerika, sedangkan non migas hanya 0, 45 miliar rupiah. Hal ini
menyebabkan respon negatif dari pelaku pasar. Semakin tinggi impor bisa membuat nilai
tukar rupiah kian terpuruk terhadap dolar. Melemahnya rupiah akan membuat investor asing
hengkang, sehingga aksi jual marak terjadi.
Menurut Ekonom senior INDEF, Ahmad Erani Yustika, ada 3 sebab yang membuat defisit
neraca keuangan ini. Pertama, pemerintah tidak mendiversifikasi komoditas ekspor dan
negara tujuan ekspor. Kedua, pemerintah tidak mengontrol impor bahan baku penolong yang
mencapai 70 % dari total impor. Ketiga, pemerintah gagal mengendalikan subsidi BBM, yang
berakibat pada tingginya impor migas.
Proyeksi IMF terhadap pertumbuhan Ekonomi domestik
Nilai tukar rupiah sempat melemah setelah pelaku pasar merespon proyeksi IMF mengenai
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan proyeksi International Monetary Fund (IMF)
pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menjadi 5,25 persen hingga akhir tahun 2013.
Proyeksi ini turun dari prediksi bulan April 2013 sebesar 6,3 persen. Pemangkasan ini
menurut IMF karena ekspor yang menurun dan kepercayaan investor yang lemah. IMF juga
memproyeksikan defisit transaksi berjalan Indonesia bisa membengkak hingga menjadi 3,5
persen. Lebih tinggi 0,2 persen dari prediksi sebelumnya. Selain itu, IMF juga
memproyeksikan indeks harga konsumen di Indonesia akan mengalami kenaikan menjadi 9,5
persen di akhir tahun 2013.
Rencana penghentian stimulus The fed
Stimulus the fed atau quantitative easing telah diluncurkan sejak 2009 lalu. Kebijakan ini
telah melalui 3 tahap. Program ini pada awalnya dilaksanakan untuk pemulihan pasar
perumahan di Amerika. Tahun 2013 ini, the Fed menganggap bahwa ekonomi Amerika sudah
dapat berjalan tanpa stimulus. Angka pengangguran pun sudah menurun. Kala stimulus ini
diluncurkan, Indonesia menjadi salah satu sasaran investasi asing. Setelah ada rilisan dari the
Fed bahwa kebijakan stimulus akan dikurangi mulai September 2013 dan akan dihentikan
total pada Juni 2014, investor kemudian mulai meninggalkan Indonesia. Hal ini
menyebabkan pasokan dolar di Indonesia menurun. Itu artinya, semakin melemahnya rupiah.

Apa yang terjadi pada nilai tukar rupiah kita


Pelemahan Rupiah, dan Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Ini
Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), pada tanggal 14 Maret 2015, Rupiah ditutup di
posisi Rp13,191 per US Dollar, dan ini adalah posisi terendah bagi mata uang Rupiah
terhadap US Dollar sejak.. well.. krisis moneter tahun 1998. Jadi meski penulis pribadi dalam
satu dua tahun terakhir ini berusaha untuk tutup mata terhadap perkembangan ekonomi
makro dan tetap fokus pada faktor fundamental perusahaan dalam berinvestasi di pasar
saham, namun hal ini mau tidak mau tetap kelihatan, karena bahkan pada krisis global tahun
2008 sekalipun, posisi nilai tukar Rupiah tidak pernah turun sampai serendah ini. Pada
puncak krisis global tahun 2008, Rupiah hanya anjlok sampai Rp12,768 per US Dollar
sebagai titik terendahnya, sebelum kemudian segera balik lagi ke level normalnya yakni
Rp9,000-an per US Dollar.
Menariknya, kita tahu bahwa pada tahun 1998 dan juga 2008, Indonesia sempat dilanda krisis
ekonomi termasuk bursa saham ketika itu juga hancur berantakan. Tapi pada hari ini, meski
kondisi Rupiah tampak mengkhawatirkan namun kondisi perekonomian secara umum tampak
masih berjalan normal, dan IHSG juga justru malah sukses break new high dalam beberapa
bulan terakhir. So, anda mungkin bertanya, sebenarnya Indonesia sedang dalam kondisi
krisis, baik-baik saja, apa gimana?
Nah, terkait hal ini, penulis hendak mengajak anda untuk flashback ke tahun 2013 lalu,
tepatnya pada tanggal 23 Agustus 2013, dimana Pemerintah Indonesia ketika itu meluncurkan
paket kebijakan penyelamatan ekonomi, terutama untuk mengatasi gejolak pelemahan
Rupiah yang ketika itu sudah menembus Rp11,000 per USD. Sedikit mengingatkan, kondisi
pasar saham ketika itu berbanding terbalik dengan saat ini dimana IHSG terpuruk di level
4,200-an, atau anjlok lebih dari 1,000 poin dibanding posisi puncaknya pada bulan Mei di
tahun yang sama. Jadi boleh dibilang bahwa problem yang dihadapi Pemerintah ketika itu
ada dua, yakni pelemahan Rupiah itu sendiri (yang dikeluhkan para pelaku usaha riil), dan
juga pelemahan IHSG (yang dikeluhkan para investor dan pelaku pasar modal lainnya). Dan
mungkin itu sebabnya Presiden SBY ketika itu gerak cepat dengan meluncurkan paket
kebijakan tadi, karena beliau dihadapkan pada tekanan baik dari para pengusaha maupun
investor di pasar modal.
However, seperti yang dulu sudah pernah kita bahas disini, problem yang sesungguhnya yang
dihadapi Indonesia ketika itu (tahun 2013) adalah 1. Perlambatan pertumbuhan ekonomi,
akibat 2. Defisitnya neraca ekspor impor, yang disebabkan oleh 3. Meningkatnya nilai
impor peralatan dan mesin-mesin industri karena pertumbuhan industri manufaktur di dalam
negeri, dan 4. Turunnya nilai ekspor karena turunnya harga batubara, CPO, serta karet, yang
merupakan tiga komoditas utama ekspor Indonesia. Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi
Indonesia memang tercatat hanya 5.8%, alias turun signifikan dibanding puncaknya yakni
6.9% pada tahun 2011. Jadi ketika Rupiah melemah sampai menembus Rp11,000 per Dollar,
maka itu adalah refleksi dari perlambatan pertumbuhan ekonomi tadi, dimana jika
fundamental perekonomian Indonesia melemah, maka Rupiah sebagai saham Indonesia juga
akan turut melemah.

Biji kelapa sawit dan batubara, dua komoditas utama ekspor Indonesia
Dan ketika Pemerintah meluncurkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi, maka
harapannya adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali meningkat, dan alhasil
nilai tukar Rupiah akan menguat dengan sendirinya. Berikut adalah empat poin utama dari
paket kebijakan ala Presiden SBY pada tahun 2013 lalu:
1. Pemberlakuan potongan/pengurangan pajak bagi industri padat karya yang mampu
mengekspor minimal 30% produksinya
2. Ekspor bijih mineral, yang sebelumnya dilarang sama sekali, sekarang dibolehkan
asalkan pihak perusahaan memenuhi syarat-syarat tertentu.
3. Meningkatkan porsi penggunaan campuran biodiesel dalam solar, sehingga
diharapkan akan menekan impor bahan bakar minyak jenis solar, dan
4. Menaikkan pajak untuk impor barang mewah, dari tadinya 75% menjadi maksimal
150%.
Berdasarkan keempat poin diatas, maka jelas sekali bahwa tujuan Pemerintah ketika itu
adalah untuk meningkatkan ekspor (poin 1 dan 2), sembari diwaktu yang bersamaan menekan
impor (poin 3 dan 4), sehingga defisit perdagangan yang ketika itu terjadi diharapkan tidak
akan terjadi lagi. However, paket kebijakan diatas masih menyentuh akar permasalahan dari
defisit tersebut, yakni penurunan harga komoditas CPO dan batubara yang merupakan
andalan ekspor Indonesia, dan peningkatan impor peralatan dan mesin-mesin industri. Dan
sayangnya bahkan sampai hari ini harga CPO dan batubara masih belum pulih kembali.
Alhasil, berdasarkan data ekspor impor terakhir dari BPS, sepanjang tahun 2014 Indonesia
masih mengalami defisit neraca ekspor impor sebesar US$ 1.9 milyar. Kabar buruknya,
angka pertumbuhan ekonomi juga terus turun hingga sekarang tinggal 5.0% pada Kuartal III
2014, dimana jika trend-nya begini terus, maka pada Kuartal berikutnya angka pertumbuhan
ekonomi tersebut kemungkinan bakal turun lagi.
Jadi ketika Rupiah sekarang sudah menembus Rp13,000 per USD, maka sebenarnya kurang
tepat jika dikatakan bahwa, Rupiah melemah karena seluruh mata uang di negara manapun
juga sedang melemah terhadap US Dollar, karena faktanya perekonomian kita memang lagi
ada problem, dimana problem ini bukan terjadi baru-baru ini saja, melainkan sudah terjadi
sejak dua atau tiga tahun yang lalu. Kalau dikatakan bahwa kita sedang krisis ekonomi sih
mungkin agak berlebihan, tapi jika kondisi ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin jika
krisis itu pada akhirnya akan benar-benar terjadi.

Kenapa bias terjadi


Nilai tukar mata uang suatu negara adalah relatif, dan dinyatakan dalam perbandingan dengan
mata uang negara lain. Tentu saja perubahan nilai tukar mata uang akan mempengaruhi
aktivitas perdagangan kedua negara tersebut. Nilai tukar yang menguat akan menyebabkan
nilai ekspor negara tersebut lebih mahal, dan impor dari negara lain lebih murah, dan
sebaliknya. Berikut adalah 6 faktor yang bisa mempengaruhi pergerakan nilai tukar mata
uang antara 2 negara:
1. Perbedaan tingkat inflasi antara 2 negara
Suatu negara yang tingkat inflasinya konsisten rendah akan lebih kuat nilai tukar mata
uangnya dibandingkan negara yang inflasinya lebih tinggi. Daya beli (purchasing power)
mata uang tersebut relatif lebih besar dari negara lain. Pada akhir abad 20 lalu, negara-negara
dengan tingkat inflasi rendah adalah Jepang, Jerman dan Swiss, sementara Amerika Serikat
dan Canada menyusul kemudian. Nilai tukar mata uang negara-negara yang inflasinya lebih
tinggi akan mengalami depresiasi dibandingkan negara partner dagangnya.
2. Perbedaan tingkat suku bunga antara 2 negara
Suku bunga, inflasi dan nilai tukar sangat berhubungan erat. Dengan merubah tingkat suku
bunga, bank sentral suatu negara bisa mempengaruhi inflasi dan nilai tukar mata uang. Suku
bunga yang lebih tinggi akan menyebabkan permintaan mata uang negara tersebut meningkat.
Investor domestik dan luar negeri akan tertarik dengan return yang lebih besar. Namun jika
inflasi kembali tinggi, investor akan keluar hingga bank sentral menaikkan suku bunganya
lagi. Sebaliknya, jika bank sentral menurunkan suku bunga maka akan cenderung
memperlemah nilai tukar mata uang negara tersebut.
3. Neraca perdagangan
Neraca perdagangan antara 2 negara berisi semua pembayaran dari hasil jual beli barang dan
jasa. Neraca perdagangan suatu negara disebut defisit bila negara tersebut membayar lebih
banyak ke negara partner dagangnya dibandingkan dengan pembayaran yang diperoleh dari
negara partner dagang. Dalam hal ini negara tersebut membutuhkan lebih banyak mata uang
negara partner dagang, yang menyebabkan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap
negara partnernya melemah. Keadaan sebaliknya disebut surplus, dimana nilai tukar mata
uang negara tersebut menguat terhadap negara partner dagang.
4. Hutang publik (Public debt)
Neraca anggaran domestik suatu negara digunakan juga untuk membiayai proyek-proyek
untuk kepentingan publik dan pemerintahan. Jika anggaran defisit maka public debt
membengkak. Public debt yang tinggi akan menyebabkan naiknya inflasi. Defisit anggaran
bisa ditutup dengan menjual bond pemerintah atau mencetak uang. Keadaan bisa memburuk
bila hutang yang besar menyebabkan negara tersebut default (gagal bayar) sehingga peringkat

hutangnya turun. Public debt yang tinggi jelas akan cenderung memperlemah nilai tukar mata
uang negara tersebut.
5. Ratio harga ekspor dan harga impor
Jika harga ekspor meningkat lebih cepat dari harga impor maka nilai tukar mata uang negara
tersebut cenderung menguat. Permintaan akan barang dan jasa dari negara tersebut naik yang
berarti permintaan mata uangnya juga meningkat. Keadaan sebaliknya untuk harga impor
yang naik lebih cepat dari harga ekspor.
6. Kestabilan politik dan ekonomi
Para investor tentu akan mencari negara dengan kinerja ekonomi yang bagus dan kondisi
politik yang stabil. Negara yang kondisi politiknya tidak stabil akan cenderung beresiko
tinggi sebagai tempat berinvestasi. Keadaan politik akan berdampak pada kinerja ekonomi
dan kepercayaan investor, yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai tukar mata uang
negara tersebut.
4. Bagaimana cara memperbaikinya
Problemnya adalah, terkait akar permasalahan tadi, Pemerintah tentunya tidak bisa
mengendalikan harga komoditas di pasar internasional, dan Pemerintah juga tidak bisa begitu
saja menghentikan impor mesin-mesin industri, karena itu akan mematikan industri itu
sendiri (sehingga dalam hal ini kita juga tidak bisa menyalahkan Pemerintah pada tahun 2013
lalu hanya karena kebijakannya tidak menyentuh akar permasalahan, karena mungkin
memang hanya itu yang bisa dilakukan). Jadi pertanyaannya sekarang, mampukah
Pemerintah kali ini untuk mengeluarkan kebijakan yang, meski mungkin juga tidak bisa
secara langsung menyentuh akar permasalahan, namun paling tidak bisa lebih efektif dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan juga bisa dengan cepat diimplementasikan?
Contohnyaaa:
1. Ekspor terbesar Indonesia setelah migas, CPO, dan batubara, adalah ekspor alat-alat
listrik, karet, dan mesin-mesin mekanik. Jadi Pemerintah mungkin bisa memberikan
insentif tertentu pada perusahaan-perusahaan alat-alat listrik dan mesin mekanik, agar
mereka bisa meningkatkan nilai ekspor.
2. Ekspor terbesar Indonesia hingga saat ini adalah migas, entah itu berbentuk minyak
mentah, gas, ataupun minyak olahan. However, nilai ekspor migas ini cenderung
turun dari tahun ke tahun, dari US$ 41.5 milyar pada tahun 2011, menjadi hanya US$
30.3 milyar pada 2014 (dan penyebabnya bukan karena semata penurunan harga
minyak dunia, mengingat rata-rata harga minyak pada tahun 2011 tercatat US$ 104
per barel, atau hanya sedikit lebih tinggi dibanding rata-rata tahun 2014 yakni US$ 96
per barel). Jadi dalam hal ini Pemerintah melalui kementerian dan badan-badan terkait
mungkin bisa mendorong perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di tanah
air, baik asing maupun lokal, untuk meningkatkan produksinya.
3. Impor terbesar Indonesia juga terletak di migas. Dan sayangnya meski nilai ekspor
migas terus turun dalam tiga tahun terakhir, namun nilai impor migas malah naik
terus. Jadi meski solusi yang ini sulit untuk bisa direalisasikan dalam waktu dekat,

namun Pemerintah harus segera merencanakan pembangunan kilang-kilang


pengolahan minyak di dalam negeri, agar kita tidak harus impor bensin dan solar lagi,
atau minimal dikurangi lah.
4. Memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit agar
mereka mau mengembangkan industri hilir CPO, termasuk mengembangkan
biodiesel, agar Indonesia bisa mengekspor produk hilir CPO yang memiliki nilai
tambah, dan juga mengurangi impor solar (sebenarnya ini juga baru akan terasa
manfaatnya dalam jangka panjang. Tapi kalau implementasinya gak dimulai dari
sekarang, maka mau nunggu sampai kapan?)
5. Diluar masalah defisit neraca perdagangan, ingat pula bahwa pertumbuhan ekonomi
tidak semata didorong oleh meningkatnya ekspor dan menurunnya impor, melainkan
juga didorong oleh meningkatnya 1. Belanja pemerintah, 2. Konsumsi, dan 3.
Investasi. Well, pemerintah tentunya punya banyak opsi untuk meningkatkan ketiga
hal tersebut, tinggal pilih yang mana yang bisa diimplementasikan dalam waktu
dekat.

Anda mungkin juga menyukai