Anda di halaman 1dari 19

Nama

: Hana Ismi Radlliyatin

Kelas

: BSI II C

NIM

: 1135030101
Extensive reading

1. Conative Writing
a. Cerpen Bahagia

Sahabatku Cintaku

Kamu, orang yang membuatku nyaman, dan bahagia. Selalu menjagaku tanpa lelah.
Tetapi rasa ini sungguh menyiksaku, menunggu kepastian tanpa balasan. Dia sahabatku, tapi dia
juga nafasku, dia Dicky Aprilio. Sejak pertama aku kenal dia, tatapannya itu masih teringat jelas
di memoriku, senyumannya membuatku tenang dan damai dia selalu menjagaku kapanpun
dan dimanapun, setiap aku down dia selalu memegang erat tanganku dan membuatku bangkit
lagi.
Mungkin aku terlalu egois terlalu berharap untuk memilikinya, tapi aku tak bisa selalu
berpura-pura untuk tidak mencintainya. Tapi disisi lain kalau emang kita jadian aku TAKUT, aku
sangat takut kehilangan dia, aku gamau dia hilang dari mata dan hatiku. Tapi di sisi lain juga aku
pengen banget milikkin dia, supaya semua orang tau dia milik aku bukan milik orang lain.
Aku selalu menahan rasa sakit ini ketika teman-temanku menanyakan kedekatan ku
dengan dicky selama ini, aku sakit ketika aku harus bilang bukan, dia hanya temanku. Dan
merekapun menjawab padahal udah cocok banget, jadian aja. Aku hanya membalas dengan
senyuman. Tapi perlahan masalah itu sudah menjadi hal yang biasa untukku. Karna Dicky
mengajarkanku untuk bertindak dan bersikap yang dewasa. Aku ga berani bilang Dicky adalah
segalanya buat aku, karna aku takut segalanya aku hilang.

Aku berusaha menjadi wanita yang dewasa yang ingin selalu berfikiran positif, jadi aku
kadang berpikir kalau hubungan aku sama Dicky sekarang jauh lebih bahagia aku takut jika
kita pacaran lalu putus dan gak bisa deket lagi, mending betemen kaya sekarang dan dia gak
akan ninggalin aku, kecuali dia mempunyai cintanya yang baru.
D-I-C-K-Y seseorang yang paling berharga buat aku sekarang, andaikan aku mampu
berkata di depannya bahwa aku sayang dia dan gamau kehilangan dia mungkin aku akan jauh
lebih tenang, tapi beberapa kali aku mencoba untuk mengatakannya malah yang ada hanya
gemetaran yang ku rasa, mungkin belum saatnya aku berkata seperti itu.
Tawa dan candanya adalah warna di hidupku, aku tak ingin semuanya berlalu begitu
cepat. Dicky juga adalah salah satu alesan yang membuatku betah di masa SMA yang dulu yang
aku anggap biasa aja. Aku sekarang masih duduk manis di sampingnya menjadi teman biasa,
entah akankah posisi itu berubah, akupun tak tahu.

b. Cerpen Sedih
Cinta yang Tak Pernah Terbalas
Menjelang pergantian tahun ajaran baru, tepatnya aku telah dinyatakan lulus di salah satu
perguruan tinggi negeri dibandung. Teramat bahagia mendengar kabar tersebut begitu juga
orangtuaku.
Sebelum aku tau aku lulus masuk PTN entah apa yang terjadi padaku, timbul getaran
cinta yang menurutku tak biasa karna semua itu terjadi tanpa ada pertemuan. Aku tiba-tiba
teringat pria yang justru tak pernah ada komunikasi sekian lama. Ya tuhan rasa ini begitu
menyakitkan karna yang aku rasa hanya sesak karna tak tau apa yang harus dilakukan. Aku
hanya bisa menangis menahan rasa rindu yang tak tersampaikan.
Hari pertama aku harus melakukan validasi kelulusanku aku berharap bertemu dengannya
karna aku tau dia juga kuliah di PTN yang sama. Harapan besar dari hati karna ingin
menjawabkan atas semua rasa rindu dan perasaan misterius ini.
Heyy hatiku tersentak,, dia,,, dia,,, dia pria yang aku cari. Rasanya hati ini remuk dan
lemas, tak kuasa tuk menopang tubuh ini, ingin rasanya menyapamu dengan alasan agar rindu ini
terobati. Tapi lihat di seberang jalan sana ada wanita yang menunggunya. Hatiku semakin remuk,
harapan bahagia yang kurasa tapi hanya sakit yang kudapat.

Hari-hari yang dilewati semakin terasa hampa karna kenyataan yang kudapat dia telah
mempunyai kekasih. Meskipun tak ada hubungan apa-apa tapi sangat sakit rasanya dia bahagia
bersama kekasihnya.
Hingga saat ini perasaan itu tetap ada dan mungkin akan tetap ada, karna itu mungkin
cinta pertamaku. Angan-angan kebahagiaan dengan kenyataan pahit yang aku lalui setiap ku
memikirkannya. Tak apalah rasa ini akan slalu ada dihatiku, dengan melihatmupun aku akan
merasa bahagia walau cinta ini tak akan ada balasannya.
2. Poetic Expresive Writing
a. Bahagia
Cinta
By Hana Ismi radliyatin
Cinta kata sederhana sejuta makna
Bahagia yang terasa
Ingin rasanya melayang ke angkasa
Seakan dunia milik berdua
Tenggelam dalam lautan asmara
Cinta yang bahagia
Berharap lewat semilir doa
Tanpa ada dusta diantara kita
Ingin selalu bersama berdua
Walau halangan dan rintangan kan melanda
Karna ku yakin akan kekuatan cinta kita

b. Conative Writing ( puisi sedih )


BUNDA CAHAYA HIDUPKU
Bunda.
Kaulah Pancaran Cahaya Hidupku
Memancarkan Cahaya Kasih
Yang Tak Pernah Lengah
Meski Nestapa Meleburkan Asa
Tutur Katamu
Adalah Sebuah Penerang Jalanku

Menyinari Hari-Hariku Yang Suram


Bertabur Cinta Dan Kasih Sayang
Yang Tak Pernah Hilang
Hujan
Badai
Ombak
Tlah Kau Lalui..
Demi Cintamu Pada Buah Hati
Meski Jiwamu Bertabur Sepi
Bunda
Karnamu
Karna Jasamu
Karna Cintamu
Aku Bisa Seperti Ini
Menitih Jalan Kehidupan
Yang Penuh Gelombang Dan Karang Yang Terjal

Poetic Writing
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari


Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan akan akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Phatic Writing
Hubungan baik sesama manusia

Flying High With My Best Friend

Tak terasa hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, setelah
aku mengenalnya hari-hariku terasa lebih indah dan aku sangat nyaman saat berada di
dekatnya. Ya dia adalah sahabatku, yang aku kenal dari awal kelas 8 Kita selalu melalui
waktu bersama sama dan punya banyak momen-momen indah, aku suka manggil dia
dengan sebutan vanilla, sedangkan dia memanggilku dengan sebutan strawberry, kami
berdua sangat akrab dan dekat, jika ada aku, pasti ada dia dan juga sebaliknya
Suatu hari Aku dengar ternyata sahabatku ditembak oleh teman sekelas, aku tersontak
kaget, aku bahagia karena sahabatku bahagia, tapi aku takut kalau dia sudah punya pacar
nanti aku dilupain enggak? Pertanyaan itu yang selalu terbayang-bayang di otakku

Setelah mereka dekat, ternyata apa yang aku pikirkan sekarang benar-benar terjadi, aku
merasa sahabatku sekarang jauh, jarang bareng-bareng kayak dulu lagi, dan sekarang dia
lebih milih pacarnya ketimbang aku sahabatnya sendiri, sekarang aku sendiri, aku
mengalah demi kebahagiaan sahabatku, karena aku ingin selalu melihat dia tersenyum ,ya
walau aku tau, mungkin aku yang harus nahan sakit hati ini tapi aku tulus ngelakuin ini
semua.
Suatu hari, saat aku sedang sendiri di dalam kelas yang masih kosong, karena hari masih
terlalu pagi, tiba-tiba suara sepatu terdengar dari luar
Ternyata
hai! tiba-tiba mengagetkanku yang sedang melamun, hai juga jawabku lesu
aku tau kamu sedih ,maafin aku yah, demi pacar, aku sekarang jadi jauhin kamu,
ngelupain kamu ,aku nyesel banget, aku gak menghargai hubungan persahabatan kita yang
udah terjalin selama ini, plis maafin aku, aku janji gak bakal ngulang kesalahan ini lagi
jelasnya panjang lebar sambil menghapus air matanya yang jatuh ya aku maafin kok,
gak papa mungkin memang kamu lebih bahagia sama pacarmu, kenapa aku harus marah
jelasku balik
baik banget kamu, aku udah salah ke kamu, tapi kamu masih mau maafin aku makasih ya,
kamu emang sahabatku yang paling baik jawabnya sambil berpelukan
Suatu hari, ada kabar kalau pacarnya PHPin vanilla, dia punya pacar baru, setelah itu
mutusin vanilla gitu aja
Vanilla, kenapa? Kamu putus sama dia? Sabar yah tetep semangat masih banyak yang
lebih baik dari dia oke, tapi bukannya kalau habis diputusin itu sedih ya? tanyaku
hahaha lucu deh kamu, kenapa aku harus sedih? Aku kan Cuma kehilangan orang yang
gak sayang sama aku, toh yang udah berlalu biarin aja, aku juga gak mikirin, aku sedih
kalau kehilangan kamu, orang yang selalu sayang, peduli dan selalu ada buat aku, kan
kamu MY BEST FRIEND FOREVER sampai kapanpun ,aku sayang kamu strawberry
jawabnya sambil berpelukan

Akhirnya persahabatan yang dulu hampir retak akhirnya kembali seperti semula lagi, dan
tidak akan terpisahkan sampai kapan pun, seberat apapun cobaan menerpa, aku dan
vanilla selalu bisa mengatasinya, itulah persahabatan sejati

Hubungan baik sesama makhluk Tuhan (bukan manusia )

(Serigala Putih) Daun Dari Angin

Kalau aku mengikuti angin, mungkinkah bisa bertemu. Aku mengharapkannya. Sudah
berhari-hari aku menelusuri sungai ini, tapi yang aku lihat masih belum berubah. Hari
sudah semakin terik, sejenak istirahat untuk memulihkan staminaku.
Tak ada yang bisa kulakukan selain menikmati indahnya susunan pepohonan dan semaksemak. Berhari-hari, aku tak bisa bilang bosan. Saat malam tiba pun pepohonan yang

pekat itu berubah warna menjadi lebih gelap. Sinar kunang-kunang membuat mereka
terlihat lebih ceria.
Dingin sekali malam ini, lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Aku putuskan untuk
berhenti dulu agar stamina dan suhu tubuhku tidak termakan oleh angin malam yang
mencekam ini. Kuselimuti diriku dengan bulu tebal yang ada di seluruh tubuhku.
*SREK*
Tiba-tiba aku terbangun karena telingaku menangkap sesuatu yang harus membuatku
siaga. Dari kegelapan malam di antara pepohonan itu, aku melihat sesuatu. Mata yang
mirip denganku.
Hm, aneh sekali bisa menemukan makhluk sepertimu di sini, gerammya sambil sedikit
mengintimidasi.
Apa maksudmu? Jawabku.
Kami tinggal di daratan tinggi di sana dan coba lihat, bagaimana mungkin aku
menemukanmu? Sepertinya kau berjalan dari tempat yang jauh, Curiganya.
Ya, aku berjalan cukup jauh, jawabku membuatnya lebih heran.
Dia terlihat sedikit kesal dan bingung. Dia terlihat berbeda dariku. Bulunya berwarna
coklat keemasan dan putih di bawahnya. Pejantan yang sudah cukup dewasa menurutku.
Sepertinya dia tak ingin berlama-lama di sini. Setidaknya aku juga perlu istirahat sebentar
lagi. Dia pun berbalik dan memasuki hutan malam itu lagi. Sampai akhirnya si kuning bulat
panas yang agung kembali ke tahtanya.
Sebenarnya aku tidak tahu harus kemana. Aku hanya mengharapkan sesuatu dari sungai
yang aku ikuti ini. Ternyata harapanku lumayan terjawab, buktinya aku telah menemukan

sebangsaku yang mengatakan kalau kawanannya ada di dataran tinggi di sana. Mungkinkah
aku mengikuti angin saja.
Tak berapa lama kemudian, aku mendengar lagi langkah kaki yang sama dengan langkah
yang membangunkanku kemarin.
Hei, si bulu aneh! Sapanya, Bagaimana kalau ku antar kau ke kawananku, aku sudah
selesai dengan urusanku, nih.
Ya, boleh saja, ujarku sedikit senang.
Jalurnya tidak cukup berubah, tinggal menyusuri aliran sungai ini, kemudian nanti terlihat
jalur-jalur telapak kaki yang perlu diikuti sampai masuk kembali ke dalam hutan.
Perjalanan masih cukup jauh, katanya. Semua berjalan dengan tenang dan damai sampai
instingku membisikkan sesuatu. Hidungkupun merasakannya, mungkin dia juga. Baunya
tidak asing bagiku. Entah mengapa aku langsung berlari ke arah bau itu. Teman
seperjalananku mengikuti gerakkanku.
Ya, tidak salah lagi, tubuh dingin itu cukup sering ku lihat, orang mati. Seram sekali musuh
orang ini, tubuhnya di robek-robek sampai terlihat organ dalamnya, tangannya tak bisa
kutemukan, wajahnya juga banyak bekas cakaran. Selain itu di sekitar mayat itu berbaring,
terlihat banyak bekas goresan. Dari bekas cakar yang bisa di pohon, mungkin lawannya
adalah beruang. Satu lagi, aku pernah melihat benda lonjong yang berserakan di samping
mayat itu, kalau tidak salah dapat membunuh hewan dari jarak yang cukup jauh. Mungkin
itu alasan si beruang menyerang.
Aku mengikuti bau beruang yang samar-samar, temanku juga mengikuti. Tidak jauh, aku
melihat bayangan hitam besar, tentu saja, itu si beruang. Ternyata tidak cuma seekor
bayangan, dua bayangan kecil nampak pula.
*DEG*

Sial! Tekanan ini, beruang besar itu mengetahui keberadaan kami. Entah kenapa keempat
kakiku terasa berat sementara beruang itu melompat ganas ke arah kami.
*DOR*
Apa? Apa itu? Beruang yang hampir menerkam kami tiba-tiba terkapar. Terkanan tadi tibatiba hilang. Aku memperhatikan. Keadaan dua bayangan beruang kecil tadi dalam kondisi
yang sama dengan bayangan besar yang ada di hadapan kami. Tidak, bayangan kecil di
sana sudah lama di sana..
Kenapa kau tidak langsung lari mendengar sesuatu yang berbahaya seperti itu? Entah
kenapa aku terbawa dengan aksimu, kata temanku bingung.
Aku tidak begitu merasa terancam, tenangku.
Benarkah? Herannya.
*DOR*
Sesuatu baru saja lewat di depan mataku. Aku bisa melihat benda itu berasal jauh sekali
dari arah kiriku. Kemudian aku lari ke balik pohon untuk berlindung dari benda yang sama.
Saat aku sudah di balik pohon, ternyata aku melewatkan sesuatu. Aku ceroboh. Tidak ada
yang bisa kulakukan lagi. Benda yang merobohkan beruang dan melewati mataku itu
mengenai teman seperjalananku. Sial.
Apa yang harus kulakukan. Darahku tiba-tiba meluap, tapi kemudian tenang kembali.
Perjalananku harus kulanjutkan. Aku tak ingin meninggalkan teman seperjalananku.
Kupikir di sana ada teman-temannya yang sedang menunggu.
Aku kembali menyusuri jejak yang kami tinggalkan. Jalan sudah mulai menanjak. Mungkin
hampir sampai, hidung dan instingku berkata begitu. Cukup lelah karena aku juga
membawa temanku. Dari balik pohon dan beberapa tanah yang cembung keluar makhluk

yang warnanya mirip dengan temanku. Semuanya terlihat terkejut melihatku, tapi
kebingungan dengan temanku yang masih kuseret. Satu dari mereka, sepertinya pemimpin
mereka, mendekatiku. Dia lalu menendus-endus temanku yang kuletakkan di depannya.
Tiba-tiba raut wajahnya berubah, marah dan takut, sepertinya aku mengerti emosi itu.
Tentu saja, yang bisa kubawa hanya tubuh dan darah ini saja. Mungkin yang kuperbuat
salah. Mungkin aku dapat melihat pemandangan yang di lihat beruang tadi. Cuma
mungkin, semua kemungkinan itu kubuat agar aku lebih tenang menghadapi keadaan ini.
Sepertinya sekarang aku cukup memutar badanku kemudian melangkahkan kakiku.
Kembali mengikuti angin. Ya, itu membuatku sedikit lebih tenang. Aku menyusuri
pepohonan lagi kembali ke alur sungai yang sudah menemaniku beberapa hari ini.
Aku pun sudah berada di daerah aliran sungai dan sepertinya aku bukan yang pertama.
Aku melihat beberapa orang sedang beristirahat di pinggir sungai. Saat menyadari jarakku
yang tidak begitu jauh dari mereka, tiba-tiba benda lonjong yang berlubang di tengahnya
langsung mereka pegang dan mengarahkannya kepadaku. Aku sudah bersiaga dari tadi.
Beberapa saat kami terdiam mencari waktu yang tepat untuk menyerang. Salah satu dari
mereka bergerak, sedikit maju kemudian menggerakkan jari telunjuk seperti menekan
sesuatu..
*DOR*
Cih, sesuatu yang keluar dari benda panjang itu menyerempet salah satu mataku. Aku
langsung melompat dan berusaha menggapai salah satu dari mereka, sialnya gerakkanku
tak secepat benda panjang itu.
*DOR DOR DOR*
Untunglah tidak ada yang melukaiku cukup serius. Aku masih bisa berdiri sementara
mereka memasukkan sesuatu ke benda panjang itu. Aku langsung menerkan salah satu
dari mereka. Aku ternyata tidak begitu cepat sampai ada yang memukulku, cukup untuk

membuatku terlempar ke sungai. Sudah kuduga, aku ikuti angin saja. Arus sungainya
cukup deras untuk menyeretku kabur dari mereka. Aku, tak bisa lagi menahan
kelelahanku, mataku sudah bosan melihat sungai ini, kemudian tertutup
*JDUG*
Ah! Benturan itu membuatku terbangun. Entah sudah berapa lama mataku tertutup.
Hei, Eric! Bagaimana perjalananmu? Tiba-tiba seekor makhluk yang mirip denganku
menyapaku.
Oh! Kau, tidak seberapa, ku pikir aku melakukan kesalahan, Jawabku, Bagaimana kau
bisa ada di sini?
Aha, tidak-tidak, aku tidak ada di sini.
Oh ya, tentu saja, sudahlah, aku belum bisa bertemu denganmu.
Aku tahu, sudah ya! Bayangan makhluk itu pun pelan-pelan menghilang dan
memperlihatkan pemandangan yang begitu asing bagiku. Tentu saja, aku terdampar
setelah di seret aliran sungai beberapa waktu yang lalu.
Aah, aku tak ingin menyesal. Sekarang aku bisa kembali mengikuti angin. Menuju ke
sebuah tempat yang kuinginkan. Ya, tempat dimana aku bisa duduk bersantai dahulu,
tolonglah, aku sudah lelah.
Ah, sudahlah, mengikuti angin ternyata tidak seburuk pikiranku, tenangku dalam senyap.

Hubungan Manusia dengan Alam


Laut seperti Pita Biru
Cerpen: Wildan Yatim

PADA kedua sisi jalan berderet teratur kelapa sawit. Kadang kelapa sawit itu diseling
dengan rumah penduduk yang berdinding papan dan beratap seng. Waktu lain mobil
lewat pundak bukit yang ditumbuhi semak belukar atau padang lalang. Sebelah kiri
jalan, dekat-dekat di atas rimbunan pohon hutan dan di balik unggukan embun,
samar-samar tampak membiru Gunung Pasaman. Beberapa kali mobil berpapasan
dengan truk besar yang baknya penuh buah sawit atau truk tanki berisi minyak kasar.
Sesekali lain kami melewati petani bersepeda. Din membawa mobil menyimpang ke
jalan tanah, lalu berhenti di depan sebuah dangau. Sekeliling bertebar kelapa sawit
yang batangnya baru beberapa puluh senti dari tanah.Sudah berbuahkah sawitmu
ini?" "Yang dekat sini belum. Tapi yang di dalam sana sudah panen pertama bulan
lalu." x"Wah, sebentar lagi kau jadi kaya!""Sulit sekali bagi orang macam kita yang
hanya punya satu-dua hektar. Buah masuk pabrik dan pemasaran minyak ditentukan
oleh toke-toke yang punya kebun ribuan hektar. Banyak petani yang membawa buah
sawitnya ke pabrik harus menunggu giliran berhari-hari agar dapat diproses.
Alasannya buah sawit mereka sendiri masih bertimbun. Tak sedikit yang membawa
truknya kembali lalu membuang isinya ke bawah jembatan.""Kenapa tidak diusulkan
kepada pemerintah agar dibangun pabrik baru untuk menampung kebutuhan kalian
petani plasma?""Permainan orang kapitalis itu semua, Bang. Yang menyedihkan
kapitalisnya itu ada dari negeri jiran. Ayo kita terus." Din melekatkan kaca mata
hitam. Tampak matahari menyorot miring dari balik daham belinjo. Mobil bergerak
pula. Kini kami lewat jalan yang di masa darurat beberapa kali aku lewati jalan kaki
bersama Ayah atau teman untuk sekolah di Talu. Jalan ini disebut "Lebuh Lurus",
karena lurus saja sepanjang lima km. Pada kedua sisi jalan berderet kapuk dengan
mangkuk isolasi kawat telepon. Di balik deretan kapuk terbentang kebun jeruk yang
luas, buahnya yang kekuningan bertebar di celah daunan. Di pinggir jalan antara
sebentar tampak dangau beratap lalang, dan pada meja yang terbikin dari bambu
teronggok buah jeruk. Sesewaktu ada mobil berhenti di salah satu dangau itu dan
orang berkerumun belanja."Kau coba dulu jeruk sini, dan rasakan manisnya."Din
menepikan mobil di depan sebuah dangau. Ia menawar, penjual menimbang dan
memasukkannya ke kantung plastik. Lalu kami duduk makan jeruk di bangku panjang
yang terbuat dari bambu."Inilah yang disebut jeruk Pasaman. Jeruk sini dipasarkan

sampai ke Padang, Bukit Tinggi, Sidempuan, dan Medan."Agak di kedalaman


pohonan tampak rumah pemilik kebun yang dikapur putih, bingkai pintu serta jendela
dicat merah, dan atap sengnya memantulkan cahaya matahari. Din mengajak
berangkat pula sambil kami terus makan jeruk. Kaca mata hitamnya dilekatkan,
menunjuk. "Di sana ada jalan ke dalam. Beberapa puluh meter dari situ tinggal Kak
Salmah. Ingat siapa dia? Boru Mak Suki 'kan?""Punya kebun jeruk juga dia?""Punya
sedikit. Beberapa tahun setelah suami pertama meninggal ia kawin lagi dengan orang
sini. Kurang jelas kenapa bisa berkenalan dan tinggal di sini. Suaminya
penjahit.""Berapa anaknya sekarang?""Dengan yang pertama dua, dengan yang
sekarang juga dua."Teringat ketika masih duduk di kelas 5 di Ujung Gading aku
dengar dari Mak Suki bahwa Salmah sudah kawin dengan anak mamak sendiri yang
bernama Burhan. Orangtua suaminya berlepau dekat pasar."Mak Suki sendiri di mana
sekarang?""Nanti kutunjukkan."Salmah lebih tua dari aku lima tahun. Waktu aku
duduk di kelas tiga dan mau menyambung sekolah ke Ujung Gading ia sudah remaja.
Aku sering datang ke rumahnya, dan jika ia menyuruh mengambil sesuatu aku senang
sekali. Sekali aku pulang kehujanan. Ia berteriak, lalu cepat-cepat melap muka dan
kepalaku dengan anduk. Jika ia menumbuk padi dan menampi, tak puas-puasnya aku
memperhatikan hidungnya yang bangir, rambut perunggunya yang dijalin dua hingga
di pinggang, dan mulutnya yang melengkung indah. Jika ia merasa diperhatikan, ia
akan bilang, "Kenapa kau perhatikan terus aku, Tam!" Bagaimanakah tampangnya
sekarang? Tentulah tetap cantik. Sayang orang secantik itu jadi istri penjahit!Di suatu
simpangan mobil membelok ke jalan lebih kecil. Meski lebih kecil tapi jalan itu
diaspal tebal dan rapi. Itulah jalan menuju desaku. Jalan lebih lebar ke kanan menuju
Ujung Gading, lalu terus ke perbatasan Tapanuli. Beberapa puluh km dari sana
terdapat Kota Natal.Kini mobil berjalan lebih pelan menerobos celah hutan rimba.
Dekat-dekat di kanan jalan menjulang bukit barisan dan ketika mobil lewat di
persawahan tampak Gunung Tuleh membiru. Din menepikan mobil di belakang
sepasang suami-istri yang mau menyimpang menuju sebuah pondok. Padi di
persawahan sini tampaknya sedang berisi. Si suami bertopi pandan, si istri
menekukkan kain panjang di kepala sebagai ganti topi. Mereka membalik. Si suami
menurunkan pacul dari bahu dan membuka topi."Bo ro ho?" kata si istri dalam bahasa

Mandailing. "Ise don?" Mereka menatap aku yang mengikuti Din mendekat."Ini Bang
Tamrin," kata Din"Bo! Dot ko? La ilaha illallah!" tukas si suami. Orang Bandung
masih ingat rupanya kampung kita!" Kami bersalam-salaman."Berapa hari di sini?"
tanya si istri."Besok kembali.""Kenapa sebentar?" kata si istri sambil mengusapi
tanganku.Din mengajak ikut pulang ke desa, tapi mereka bilang mau sembahyang
lohor dulu di pondok. Kami pun kembali masuk mobil dan melambai. Teringat si
suami yang kami salami tadi di masa Jepang pernah agak miring akibat ditempeleng
Kempei Jepang. Ia berkeliaran dari desa ke desa sambil menyandang buntil jaring
pakaian, persis seperti buntil laskar Gyugun. Persis seperti buntil Gyugun, buntilnya
juga berisi sepatu lars, senter, buku notes, dan potlot pendek. Ada anaknya yang
sebaya dengan aku yang jadi selapik seketiduran kalau aku pulang libur. Aku pun
leluasa membongkar simpanan buku dan majalah bapaknya. Bapaknya seniman. Ia
pernah menulis buku roman dan sudah dikirim ke penerbit di Medan. Belum sempat
terbit tentara Jepang masuk. Aku respek padanya, dan ketika senewennya kambuh
dan anak-anak lain bersembunyi jika ia datang, aku sendiri yang berani menyapanya
dan mengajaknya bercakap-cakap. Dia pintar pidato, kata orang ia bakal jadi saingan
berat Ir Sukarno kelak jika negeri ini merdeka seperti dijanjikan Jepang. Ketika jadi
juga merdeka, sayang ia tidak kemana-mana. Ia hanya jadi pegawai jawatan
penerangan di Padang. Mungkin betul akibat tempelengan Kempei dulu ada satu
sektor sirkuit sarat dalam otaknya yang korsluit, sehingga ia kurang bisa
berkonsentrasi dalam pekerjaan.Tiba di desa mobil langsung dibawa Din menuju
rumah kami di lembah. Ibu rupanya baru mengambil kayu api ke kebun para. Ia
mengusapi keringat yang mengucur di kepala dan leher. Kata Ibu, Ayah sedang
bekerja di sawah. Din bilang kami akan balik besok pagi, dan habis makan kami akan
terus menjenguk Mak Panto di Solo Godang. Mak Panto adalah adik Ibu. Ketika baru
diajak makan, tampaknya seperti dapat firasat, Ayah pulang dari sawah. Tampak segar
dia habis mandi dan sembahyang lohor. Aku memeluknya rapat-rapat. Terasa kini ia
lebih rendah dari aku. Masa kecil dan tinggal di desa atau di huma dengan dia,
menurut perasaanku ia orang berbadan tinggi dan tegap. Sekarang tampak ia jadi
kecil dan kurus. Kami makan berempat di meja dapur. Bulu hitam yang lebat masih
memenuhi punggung tangannya. Kumis dan berewoknya sudah berhari-hari tak

dicukur, dan uban memutih di sana-sini. Ia sudah pensiun sebagai guru SD, tapi
masih mengajar satu mata pelajaran di Ibtidaiyah. Teringat masa kecil sekitar rumah
kami banyak rumah pondok yang dihuni murid Ayah. Di masa Belanda kudengar ia
sudah mengajarkan lagu Indonesia Raya dalam bahasa Arab. Ketika suatu malam
Ayah akan membuka rapat organisasi Kepala Negeri datang menyuruh batalkan.
Pemerintah takut Ayah dapat mengganggu ketenteraman. Ayah punya banyak buku
dan majalah, sebagian besar sudah aku baca. Yang sisa hanya buku dan majalah
dalam bahasa Arab dan Belanda. Aku lihat isi lemari-lemarinya kini tinggal yang
berbahasa Arab dan sudah pada lapuk. Tentulah semua buku dan majalah yang
berbahasa Melayu sudah habis dipinjami dan tidak dikembalikan.Sebelum berangkat
aku pergi ke belakang rumah. Cepat-cepat aku coba raup kembali masa kecil ketika
tinggal bersama ayah-ibu dan adik-adik di kampung-halaman. Dari bawah pohon
kepundung tampak terbentang sawah. Pada berbagai tempat di tengah persawahan itu
ada tumpukan pohon dan dangau menyembul dari situ. Gunung Tuleh menjulang
dekat-dekat, dan batang pohon menyembul memutih di celah kehijauan. Terdengar
suara dendang kawanan siamang, dilatari oleh desah sungai yang kadang keras
kadang pelan dibawa angin. Suara itulah dulu tiap hari menemani aku jika sedang
berada di sini. Di kebun samping rumah tidak begitu banyak yang berubah. Pohon
sirsak, nangka, dan salak, masih yang dulu, dan tidak begitu banyak lebih tinggi dari
masa aku kecil.Aku kembali ke depan. Rupanya Ayah ikut ke mudik. Aku persilakan
dia duduk di sebelah Din. Tampak kasar jemari ayah. Kukunya tebal dan ujungnya
kehitaman karena sering kemasukan lumpur. Kain sarung disampirkan di bahu. Ingat
ketika Ayah dan Ibu datang ke Bandung dua tahun lalu Ibu ada menyiratkan alangkah
bagus jika bisa naik haji sebelum terlalu tua. Siratan itu tentu untuk mengharapkan
bantuanku sebagai anak sulung, sebagai anak yang paling banyak dan paling lama
dikirimi uang sekolah ke rantau, dan sebagai anak yang kini sudah jadi pegawai tinggi
pula. Mereka tak mengerti kenapa pegawai tinggi di negeri ini selalu bergaji
rendah.Tiba di jalan besar ada beberapa orang tua duduk mencangkung mengobrol di
bangku panjang depan rumah, dan ketika melihat Din mereka melambai. Sesewaktu
mobil ditepikan, kami turun, dan menyalami orang-orang. "Sedang di sini rupanya
beliau, Labai," kata mereka, sambil melihat aku yang berdiri di samping

Ayah.Beberapa lama mobil lewat kebun para, pada beberapa tempat merimbun pohon
kejai. Kejai adalah sejenis beringin. Sebelum para, kejai ini dikebunkan penduduk
sebagai sumber karet. Sebelum kejai sebetulnya ada sumber karet lain, yaitu perca.
Bibit ketiga jenis pohon berlateks ini konon dibawa orang Belanda dari Amerika
Selatan. Kebun para itu tampak sudah pada tua, karena bendar-bendar sadapan
getahnya sudah dekat ke tanah. Rupanya penduduk sedang bimbang untuk
meremajakan atau menggantinya dengan kelapa sawit. Kasihan kebun para itu.
Mungkin karena sejak kecil aku sudah biasa bergaul dengan mereka, sayang rasanya
jika itu digantikan kelapa sawit. Di hilir tadi, sekitar 30 km dari desa sawit itu sudah
diperkebunkan sejak masa Belanda, dan pekerjanya didatangkan dari Jawa. Aku juga
pernah melihatnya sepanjang pinggir jalan antara Medan dan Prapat. Aku belum
pernah dengar ada penduduk Sumatra yang bisa kaya oleh kebun sawit. Beda sekali
dengan kebun para, yang di masa Belanda hampir semua membuat rakyat makmur.
Apalagi di musim kupon karet dibuka, kebanyakan petani karet dapat uang banyak.
Waktu pasar kupon itu banyak mobil mewah datang ke desa, dan para petani saling
menraktir membelikan kacang goreng atau kue bagi anak-anak yang berkerumun.
Tapi kelapa sawit, aku belum pernah dengar ada petani yang jadi hidup senang,
apalagi jadi kaya. Dalam hati aku berharap agar kebun para itu tidak akan digantikan
kebun sawit, dan pohon kejainya tetaplah menjulang meneduhi alam desa.Sekitar
seperempat jam meninggalkan desa Din menunjuk ke kiri. "Nanti pulangnya kita
mampir beli durian," katanya. Sepuluh menit kemudian sampailah kami di kampung
Mak Panto. Rumahnya bertiang tinggi, lantai dan dinding dari papan, dan atapnya
seng. Buru-buru tikar dibentangkan, dan Mamak diberi baju bersih, lalu dibawa
duduk di ujung tikar."Ini Tam datang, Mak! Ayah kami juga ikut," kata Din. Kami
pun menyalami dia, istri, dan tiga orang anaknya yang sudah pada beristri. Uci, istri
mamak, bilang anaknya yang sulung tinggal di kampung lain. Aku mendengar Mak
Panto kini jadi rabun ketika aku baru tiba di Padang untuk menghadiri kongres.
Sambil pulang menengok orangtua kuajak Din menengok mamak sebentar. Jalan adik
yang jadi dokter di kota itu pun meminjamkan mobilnya. Aku ingat Mamak berjasa
besar bagiku pribadi, karena malaikat pernah masuk kedalam tubuhnya untuk
menolong aku yang sedang dilanda lapar. Waktu itu kedua orangtua dan saudara-

saudara sedang mengungsi ke gunung dengan berhuma. Aku sendiri saja yang tinggal
di desa sepanjang bulan, karena sedang sekolah. Meski umurnya enam tahun lebih
tua, tapi aku suka dibawanya bepergian ke mana-mana. Jaga durian waktu malam,
main domino di lepau, dan mencari buah manggis, duku, atau ringkanang ke hutan.
Badannya besar dan tinggi, berkulit kuning seperti Ibu. Waktu Jepang pernah
dipanggil masuk tentara Heiho. Entah kenapa baru sekitar dua bulan pergi ia sudah
kembali lagi. Kata Jepang matanya kurang bagus untuk dilatih pergi berperang.Kini
kuperhatikan matanya yang menatap kosong. Selaput beningnya ditutupi lapisan
berlemak, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut pterygium. Jika dioperasi di Medan
kata mereka matanya bisa melihat lagi. Tapi mereka tidak punya biaya, dan aku yang
pernah diselamatkan jiwanya olehnya tidak bisa membantu. Kurangkul dia, matanya
berkaca-kaca, lalu kuselitkan selembar sepuluh ribuan ke tangannya. Ketika uci
bilang supaya masak nasi dulu, kubilang tak usah. Lalu kami pamit.Di tempat yang
ditunjuk Din tadi mobil pun ditepikan. Kami melangkah pada jalan setapak yang
kedua sisinya berpagar. Di balik pagar menjulang rumpun jagung yang sedang
berbuah muda. Rambut buahnya berjuraian seperti rambut perempuan Belanda. Di
balik kebun ada sebatang pohon durian, dan buahnya bergelantungan. Waktu kecil
aku ingat pohon itu masih rendah. Kini sudah tinggi sekali dan batangnya besar. Kami
disongsong seorang bapak yang umurnya lebih muda beberapa tahun dari Ayah. Ia
tidak berbaju, hanya memakai celana sontok yang lusuh. Setelah menyalam Din dan
Ayah, ia tertegun menatapku. "Bo ro ho?"Baru ingat bahwa dia tak lain tak bukan
adalah Mak Suki, panggilan sehari-hari Mamak Marzuki. Aku terkejut, ia juga
terkejut dan agak tersipu. Aku menyalami, badannya kutarik lalu kupeluk. Ia
menepuki punggungku. Istrinya datang dan menyalami pula. Segera teringat Salmah
yang jadi istri penjahit di kebun jeruk. Mak Suki bergegas naik pondok lalu keluar
dengan baju bersih dan bersarung. Gigi mamak dan uci sudah banyak yang tanggal.
Aku berharap gigi Salmah belum begitu."Berapa lama di kampung? Besok kembali
ke Padang? Lalu terus pulang ke Jawa? Uh, janganlah ikut-ikutan terburu dengan Din.
Ia sendiri hampir tiap bulan datang ke sini. Tapi Mamak antara beberapa tahun baru
bisa pulang. Sudah ada lima tahun kan? Tinggallah beberapa hari di sini!"Mak Suki
membuka dua durian sekaligus. Kami duduk di bangku panjang di depan pondok.

Rupanya di pondok itulah Mak Suki tinggal. Semua anaknya tinggal di hilir, dan
hanya berdua dengan uci tinggal di sini. Kami pun makan durian. Inilah jenis durian
yang berdaging tebal, kuning, dan lezat. Tiap membuka satu ruang tampak deretan
bijinya seperti anak tikus tidur.Di tempat duduk mendadak aku terpana ketika
memandang ke barat. Di sana tampak laut seperti pita biru di atas kehijauan hutan.
Sesekali angin menderu di pucuk pohon para, dan mendesah lebar di lembah. Ada
tekukur berteguran jauh di tengah hutan sana. Aku merenungi laut itu sambil mulutku
mengecap-ngecap. Dari sini sampai ke tepi laut berjejer bukit yang makin jauh makan
rendah, seolah semua itu bisa ditempuh dengan melangkah panjang-panjang dan
beberapa puluh menit akan tibalah di sana. Kini aku pun sadar bahwa itulah pelukisan
lanskap ilahi, bahwa perjalanan hidup seseorang kebanyakan tak sesuai dengan
harapan. Laut itu sendiri adalah ujung rantau yang mengendapkan onggok hasrat tak
sampai.Selesai makan duren kami pun pamit dan kuulurkan uang Rp 5.000. Mak Suki
menolak dengan menggeleng-geleng berat. Uang itu aku letakkan di bangku
panjang."Itulah ganjaran orang yang suka judi dan banyak utang," kata Din, lalu
melekatkan kaca mata hitam. Ayah diam saja. "Rumah besar di hilir dijual, dari
saudagar kain kaya jadi petani jagung miskin."Teringat jika datang berpekan ke
Ujung Gading dan menyampaikan uang belanja mingguan dari Ayah, ia selalu
menambahnya beberapa rupiah. Sebagai layaknya kaya aku lihat ia selalu muncul
dengan sepatu mengkilat, sisiran klemis, dan bicara riang.Dari jendela mobil aku
masih sempat melihat sekali lagi laut yang seperti pita biru di barat. Di atas pita biru
itu awan kini seperti corat-coretan potlot merah jingga.

Anda mungkin juga menyukai