Anda di halaman 1dari 25

Keselamatan Radiasi Lingkungan dalam Pengelolaan Limbah Radioaktif di

Indonesia
Erwansyah Lubis
ABSTRAK
KESELAMATAN RADIASI LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH
RADIOAKTIF DI INDONESIA. Pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia diatur
oleh Undang-undang Ketenaganukliran, Undang-undang Lingkungan Hidup dan
Undang-undang lainnya yang terkait serta berbagai produk hukum di bawahnya.
Teknologi pengolahan limbah radioaktif yang diadopsi adalah teknologi yang telah
mapan (proven) dan umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Dalam
pengelolaan limbah radioaktif sesuai ketentuan yang berlaku diterapkan program
pemantauan lingkungan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga
keselamatan masyarakat dan lingkungan dari potensi dampak radiologik yang
ditimbulkan selalu berada dalam batas keselamatan yang direkomendasikan secara
nasional maupun internasional.
ABSTRACT
THE ENVIRONMENTAL RADIATION SAFETY OF RADIOACTIVE WASTE
MANAGEMENT IN INDONESIA. The radioactive waste management in Indonesia is
regulated by the Nuclear Energy Act, Environment Protection Act, and other acts
pertaining to the safety and all regulations derived from the above-mentioned acts.
The radioactive waste processing technology is already proven and widely used in
nuclear industrial countries. In performing radioactive waste management, the
regulations dictate the necessity of performing a continous environmental monitoring
program, so that the safety of the public and the environement from the radiological
impact is under control and assured in compliance with the national and international
recommendations.
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terus dikembangkan dan dimanfaatkan dalam
upaya memenuhi kebutuhan dasar manusia, memperpanjang harapan hidup dan
menstimulasi peningkatan kualitas hidup. Dalam pemanfatan iptek untuk berbagai
tujuan selalu ditimbulkan sisa proses/limbah, karena efisiensi tidak pernah mencapai
100%. Demikian juga dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek
nuklir selalu akan ditimbulkan limbah radioaktif sebagai sisa proses. Limbah
radioaktif yang ditimbulkan harus dikelola dengan baik dan tepat agar tidak
mencemari lingkungan, karena pada gilirannya berpotensi mengganggu kesehatan

masyarakat. Berdasarkan pengalaman di Amerika Serikat, ditunjukkan bahwa


pembersihan lingkungan (clean up) akibat terjadinya pencemaran oleh limbah
radioaktif membutuhkan biaya 10 sampai 100 kali lebih besar dibandingkan bila biaya
pengelolaan limbah tersebut secara baik [1].
Dalam makalah ini disampaikan upaya-upaya keselamatan radiasi lingkungan dalam
pengelolaan limbah radioaktif di Indonesia. Uraian ini diharapkan dapat memberikan
informasi seimbang kepada anggota masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra
terhadap pemanfaatan iptek nuklir.
RADIASI ALAM
Sebelum menguraikan lebih jauh tentang keselamatan radiasi lingkungan dalam
pemanfaatan iptek nuklir, lebih dulu akan diinformasikan mengenai paparan radiasi
yang diterima oleh manusia dari alam. Manusia di bumi tidak dapat menghindarkan
diri dari penerimaan paparan radiasi alami yang berasal dari radionuklida primordial
dan kosmogenik. Radionuklida alami ini terdapat dalam berbagai komponen
lingkungan hidup dan mempunyai potensi memberikan paparan radiasi secara
eksternal dan internal. Penerimaan dosis efektif dari radiasi alami di suatu daerah bisa
berbeda dengan daerah lainnya sesuai dengan komposisi kandungan radionuklida
alam yang terdapat dalam berbagai komponen lingkungan hidup. Penerimaan dosis
efektif dari radiasi alami oleh penduduk bumi telah diestimasikan oleh United Nations
Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR), yaitu antara
1,0 - 5,0 mSv per tahun, dengan rerata sebesar 2,4 mSv per tahun, 1 Sievert (Sv) = 1
Joule/ kg [2].
Informasi penerimaan dosis efektif dari radiasi alami pada suatu daerah di mana akan
diintroduksikan suatu kegiatan nuklir merupakan dasar untuk menetapkan besarnya
nilai dosis pembatas (dose constraint) yang dapat diterima oleh penduduk setempat.
Nilai dosis pembatas ini selain akan menentukan desain fasilitas nuklir yang akan
dibangun, juga menentukan Baku Mutu Emisi (BME) untuk tiap jenis radionuklida
yang boleh terdapat dalam efluen yang akan dibuang ke atmosfer dan ke badan-air.
NILAI BATAS DOSIS
Paparan radiasi dapat mengenai manusia melalui 2 jalur, yaitu dari sumber
radiasi/radionuklida yang berada di luar tubuh (eksterna) dan dari sumber
radiasi/radionuklida yang berada di dalam tubuh (interna). Interaksi sinar radiasi
dengan sel-sel tubuh manusia akan menyebabkan terjadinya berbagai reaksi kimia
(chemical sympton). Hasil reaksi ini dalam proteksi radiasi dikenal sebagai efek
somatik/non-stokastik dan efek genetik/ stokastik.
Efek somatik/non-stokastik disebut juga sebagai efek deterministik, karena efek ini
pasti terjadi bila dosis yang diterima di atas dosis ambang (treshold). Dalam efek

deterministik, tingkat kerusakan biologis mempunyai korelasi yang kuat dengan


besarnya dosis yang diterima. Contoh efek deterministik di antaranya adalah rasa
mual, kulit tubuh kemerah-merahan dan terjadinya katarak lensa mata. Efek
deterministik dapat dicegah dengan membatasi penerimaan dosis di bawah dosis
ambang.
Efek genetik disebut juga sebagai efek stokastik. Efek stokastik munculnya lambat,
terobservasi setelah beberapa dekade. Efek ini dapat terjadi bila sel-sel mengalami
perubahan setelah melalui proses yang berlangsung lama, yang pada gilirannya
berpotensi menjadi kanker. Contoh efek ini di antaranya adalah leukimia, cacat
bawaan lahir, keterbelakangan mental dan kanker. Efek stokastik yang terjadi terhadap
perorangan bervariasi dan berlangsung secara acak. Tubuh manusia pada dasarnya
mempunyai mekanisme pertahanan dan kemampuan memperbaiki sel-sel yang
mengalami kerusakan yang terjadi pada dosis rendah, sehingga probabilitas terjadinya
efek ini dapat diperkecil dengan membatasi dosis serendah-rendah yang dapat
diupayakan [3].
Dengan pemahaman potensi terjadinya efek deterministik dan efek stokastik, dalam
upaya perlindungan terhadap pekerja dan anggota masyarakat dari bahaya radiasi
diterapkan sistem pembatasan dosis. Rekomendasi Internasional dalam publikasi
Safety Series No. 115 tahun 1996, pekerja radiasi diberi toleransi menerima dosis 20
mSv per tahun untuk kurun waktu selama 5 tahun, dalam 1 tahun dosis yang diterima
tidak boleh melampaui 50 mSv. Nilai batas dosis (NBD) maksimal sebesar 20 mSv
per tahun untuk pekerja radiasi menjamin tidak terjadinya efek deterministik,
sementara probabilitas terjadinya efek stokastik Cuma sebesar 2 x 10 -4. NBD untuk
anggota masyarakat adalah 1 mSv per tahun untuk kurun waktu 5 tahun. Jadi dalam 1
tahun dosis yang diterima tidak boleh melampaui 5 mSv (sama dengan besarnya dosis
maksimal yang diterima dari alam). NBD sebesar 1,0 mSv per tahun untuk anggota
masyarakat menjamin tidak terjadinya efek deterministik dan kemungkinan terjadinga
efek stokastik sebesar 1.10-5. Berarti bila 100,000 penduduk yang ada di sekitar
fasilitas nuklir masing-masing menerima dosis 1,0 mSv per tahun, kemungkinan
hanya 1 orang penduduk yang mempunyai potensi menerima efek stokastik.
Umumnya instalasi nuklir dibangun jauh dari pemukiman penduduk dan di mana
kepadatan penduduknya rendah, sehingga probabilitas terjadinya efek stokastik ini
akan lebih rendah lagi.
PENGAWASAN PEMANFAATAN IPTEK NUKLIR
Kegiatan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir di Indonesia
diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal
14 ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan, perizinan dan inspeksi. Peraturan dan
perizinan yang diberikan oleh Bapeten juga memperhatikan Undang-Undang No. 23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 23 Tahun


1992 tentang Kesehatan, Undang Undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja dan Undang-Undang lainnya yang terkait beserta produk hukum dibawahnya
[5,6,7].
Upaya meminimalkan dampak terhadap lingkungan dalam pemanfaatan, penguasaan
dan pengembangan iptek nuklir berbagai izin mutlak diperlukan, diantaranya adalah
izin tapak/lokasi, izin pembangunan, izin operasi dan izin dekomisioning
[8,9,10,11,12,13,14].
Izin tapak diperoleh melalui penilaian dokumen tapak yang disampaikan oleh
pemrakarsa. Dalam dokumen ini dilakukan evaluasi pengaruh berbagai faktor alam
dan lingkungan hidup serta interaksinya terhadap kegiatan nuklir yang akan
dintroduksi, baik terhadap faktor-faktor yang telah nyata ada ataupun yang
diprakirakan akan timbul dikemudian hari. Dalam dokumen tapak dilakukan evaluasi
kesesuaian beberapa calon lokasi terhadap kriteria yang diterapkan, sehingga
diperoleh lokasi yang paling sesuai, yaitu lokasi yang diprakirakan akan menimbulkan
dampak negatif minimum terhadap kegiatan yang akan diintroduksi.
Izin pembangunan diberikan bila dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Amdal) yang disampaikan oleh pemrakarsa disetujui oleh komisi Amdal. Hal ini
dilakukan untuk memenuhi Undang Undang No. 23/1997 Pasal 15. Dalam dokumen
Analisis Dampak Lingkungan (Andal) dilakukan studi yang menyeluruh antara
komponen-komponen lingkungan hidup terhadap berbagai jenis kegiatan
pembangunan yang dimulai dari tahap pembebasan dan penyiapan lahan sampai tahap
dekomisioning. Hasil studi Andal adalah informasi mengenai berbagai kegiatan yang
menimbulkan dampak positif dan negatif serta komponen lingkungan hidup yang
terkena dampak. Berdasarkan hasil studi Andal selanjutnya disusun rencana
pengelolaan (RKL) dan pemantauan (RPL), sehingga upaya meningkatkan dampak
positif dan mengurangi dampak negatif dapat dilakukan. Dalam pemanfaatan iptek
nuklir yang tidak wajib Amdal diwajibkan menyusun dokumen Upaya Pengelolaan
(UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
Izin operasi diberikan melalui evaluasi dokumen Laporan Analisis Keselamatan
(LAK). Dalam dokumen LAK dilakukan evaluasi keamanan dan keselamatan
pengoperasian instalasi nuklir terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan, program
perawatan preventif dan kuratif, serta kesiapsiagaan nuklir bila terjadi kegagalan
operasi. Dalam kesiapsiagaan nuklir diinformasikan potensi dan probabilitas berbagai
jenis kecelakaan yang dapat terjadi serta konsekuensinya, elemen-elemen struktural
dan fungsional yang diterapkan dalam tindakan penanggulangan, serta pemulihan
lingkungan (remediasi) setelah pasca kegagalan operasi.
Fasilitas nuklir, industri, kedokteran nuklir atau fasilitas lainnya yang menggunakan
sumber dan atau bahan radioaktif diharuskan melakukan dekomisioning pada
penutupannya. Dekomisioning harus mendapat izin dari Badan Pengawas.
Permohonan izin diajukan berdasarkan dokumen program dekomisioning yang

diturunkan berdasarkan hasil pengkajian keselamatan. Rencana dekomisioning


memuat karakteristik fasilitas, pemindahan, pembongkaran, dekontaminasi,
pengelolaan limbah, pemantauan radiasi dan rencana penanggulangan kedaruratan,
proteksi fisik, jaminan kualitas, survei radiasi akhir dan dokumentasi. Setelah
pelaksanaan dekomisioning selesai, survei akhir radioaktivitas di lokasi fasilitas harus
dilakukan dan dilaporkan sebagai penegasan bahwa dekomisioning telah diselesaikan
sesuai dengan rencana yang disetujui Badan Pengawas. Setelah dekomsioning
diselesaikan dengan sukses, fasilitas dan tapak dapat dibebaskan dari pengawasan
ketenaganukliran dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain.
Berbagai peraturan lainnya yang terkait dengan keselamatan radiasi terhadap pekerja
dan lingkungan termuat dalam PP. No.63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion dan PP. No. 64 Tahun 2000 tentang
Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir dan SK. Ka. Bapeten No. 03/Ka. Bapeten/V-99
tentang ketentuan Keselamatan Pengelolaan Limbah Radioaktif.
PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF
Limbah radioaktif umumnya ditimbulkan dari kegiatan pengoperasian reaktor riset,
pemanfaatan sumber radiasi dan bahan radioaktif dalam bidang industri, pertanian,
kedokteran dan penelitian serta dari berbagai proses indusrti yang menggunakan
bahan yang mengandung radionuklida alam (Naturally Occurring Radioactive
Material, NORM). Sedangkan di negara-negara maju, limbah radioaktif juga
ditimbulkan dari pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan
kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/
fasilitas nuklir. Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah
timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup.
Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan, pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dan pembuangan
limbah (disposal) [5].
Dalam U.U. No. 10/1997 pasal 23 ayat (2) disebutkan bahwa "Pengelolaan limbah
radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. Dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah
membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden. Badan Pelaksana dalam hal ini adalah Badan Tenaga Nuklir
Nasional (Batan). Sesuai Keputusan Kepala Batan No.166/KA/IV/2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Batan, pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh
Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif (P2PLR). Dalam pasal 23 ayat
(2), Batan dalam melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif dapat bekerjasama
dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Koperasi dan/ atau
Badan Usaha lainnya. Berdasarkan pasal ini, pemerintah membuka pintu-pintu lebarlebar bagi pihak swasta atau Badan Usaha lainnya untuk berperan serta dalam
pengelolaan limbah radioaktif yang aman untuk generasi saat ini maupun untuk

generasi yang akan datang.


Skema pengelolaan limbah radioaktif yang ditimbulkan dalam pemanfaatan,
pengembangan dan penguasaan iptek nukkir secara umum ditampilkan dalam Gambar
1.
Minimisasi Limbah
Dalam pemanfaatan iptek nuklir minimisasi limbah diterapkan mulai dari
perencanaan, pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi).
Pada tahap awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi,
yaitu "tidak dibenarkan memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan
perorangan atau anggota masyarakat menerima paparan radiasi bila tidak
menghasilkan suatu manfaat yang nyata". Dengan menerapkan azas justifikasi berarti
telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta membatasi
limbah/dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Setelah penerapan
azas justifikasi atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut
harus lebih besar manfaatnya dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan
dalam pembangunan dan pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi,
pembangunan, dan pengoperasian dari Badan Pengawas, seperti telah diuraikan
sebelumnya.

Gambar 1. Skema pengelolaan limbah radioaktif dalam pemanfaatan Iptek Nuklir.


Pengelompokan Limbah Radioaktif

Limbah radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya


dikelompokkan ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan
tingkat tinggi (LTT). Pengelompokan ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk
jangka waktu yang panjang dalam upaya melindungi pekerja radiasi, lingkungan
hidup, masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini merupakan
strategi awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di
tiap negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan
yang berlaku di masing-masing negara. Pengelompokan limbah dapat dilakukan selain
berdasarkan tingkat aktivitasnya, juga dapat berdasarkan waktu-paro (T1/2), panas
gamma yang ditimbulkan dan kandungan radionuklida alpha yang terdapat dalam
limbah.
Di Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah radioaktif berdasarkan
aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah (LTR),
tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Di P2PLR, berdasarkan bentuknya
limbah radioaktif dikelompokkan ke dalam limbah cair (organik, anorganik), limbah
padat (terkompaksi/tidak terkompaksi, terbakar/tidak terbakar) dan limbah semi cair
(resin). Berdasarkan aktivitasnya dikelompokkan menjadi limbah aktivitas rendah (10 6
Ci/m3 < LTR < 10-3Ci/m3), limbah aktivitas sedang (10-3Ci/m3 < LTS < 104Ci/m3) dan
limbah aktivitas tinggi (LTT > 104Ci/m3).
Penimbul limbah radioaktif baik dari kegiatan Batan dan diluar Batan (Industri,
Rumah Sakit, industri, dll.) wajib melakukan pemilahan dan pengumpulan limbah
sesuai dengan jenis dan tingkat aktivitasnya. Limbah radioaktif ini selanjutnya dapat
diolah di Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN) Serpong untuk pengolahan lebih
lanjut.
Teknologi Pengolahan Limbah
Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah,
agar dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan
lingkungan hidup aman dari paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan
yang umum digunakan antara lain adalah teknologi alih-tempat (dekontaminasi,
filtrasi, dll.), teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.), teknologi transformasi
(insinerasi, kalsinasi) dan teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah,
imobilisasi, adsorpsi/absorpsi). Limbah yang telah mengalami reduksi volume
selanjutnya dikondisioning dalam matrik beton, aspal, gelas, keramik, sindrok, dan
matrik lainnya, agar zat radioaktif yang terkandung terikat dalam matrik sehingga
tidak mudah terlindi dalam kurun waktu yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun) bila
limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke lingkungan. Pengolahan limbah
ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem disposal ditutup (closure), hanya
sebagian kecil radionuklida waktu-paro (T1/2) panjang yang sampai ke lingkungan

hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh
di bawah NBD yang ditolerir untuk anggota masyarakat.
Limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang
Teknologi pengolahan dan disposal limbah tingkat rendah (LTR) dan tingkat sedang
(LTS) telah mapan dan diimplementasikan secara komersial di negara-negara industri
nuklir. Penelitian dan pengembangan (litbang) yang berkaitan dengan pengolahan dan
disposal limbah ini sudah sangat terbatas. Negara-negara berkembang dapat
mempelajari dan mengadopsi teknologi pengolahan dan disposal dari negara-negara
industri nuklir. Teknologi pengolahan dan disposal yang dipilih haruslah disesuaikan
dengan strategi pengelolaan yang ditetapkan. Dalam upaya meningkatkan
kepercayaan masyarakat, beberapa negara-negara industri nuklir saat ini cenderung
langsung mendisposal LTR dan LTS dari pada menyimpannya di tempat penyimpanan
sementara (strategi wait and see). Penerapan disposal secara langsung selain akan
memeperkecil dampak radiologi terhadap pekerja, juga diharapkan akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir [15].
P2PLR semenjak tahun 1989 hingga saat ini (13 tahun) telah mengolah LTR dan
LTS baik yang berasal dari kegiatan BATAN maupun dari kegiatan industri, rumah
sakit dan kegiatan lainnya. Limbah cair diolah dengan unit Evaporator yang
mempunyai faktor pemekatan 50 kali dan kapasitas pengolahan 750 liter/jam. Limbah
padat terbakar diolah dengan unit insinerator yang mempunyai kapasitas pembakaran
50 kg/jam. Limbah padat terkompaksi/tidak terbakar diolah dengan unit kompaktor
yang mempunyai kuat tekan 60 kN. Limbah hasil-olahan disimpan di tempat
penyimpanan sementara (Interim Storage, IS-1) yang mempunyai kapasitas
penampungan 1500 sel drum 200 liter. Jumlah limbah hasil-olahan yang disimpan di
IS-1 saat ini masing-masing 507 buah dalam drum 200 liter, 45 buah dalam cel beton
950 liter dan 34 buah dalam cel beton 350 liter. Data ini menunjukkan laju pengolahan
limbah per tahun relatif rendah. Namun demikian untuk mengantisipasi jumlah limbah
hasil-olahan untuk masa yang akan datang, P2PLR saat ini telah membangun IS-2
dengan kapasitas yang sama.
P2PLR dalam pengelolaan LTR dan LTS telah mengadopsi teknologi yang telah
mapan dan umum digunakan di negara-negara industri nuklir. Limbah hasil olahan
disimpan di fasilitas IS-1, sehingga limbah tersebut aman dan terkendali serta
kemungkinan limbah tersebut tercecer atau tidak bertuan dapat dihindarkan.
Limbah tingkat tinggi
Kebijakan pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) dan bahan bakar nuklir
(BBN) bekas di tiap negara industri nuklir selain berbeda juga masih berubah-ubah.
Beberapa negara melakukan pilihan olah-ulang (daur-tertutup) untuk pemanfaatan

material fisil dan fertil yang masih terkandung dan sekaligus mereduksi volumenya.
Sebagian negara lain melihat LTT sebagai limbah (daur-terbuka), dan berencana untuk
mendisposalnya dalam formasi geologi tanah dalam (deep repository).
Dalam diposal LTT, di negara-negara industri nuklir saat ini masih terjadi perdebatan,
sebagian pakar memilih opsi penyimpanan lestari/disposal dalam formasi geologi dan
sebagian lainnya mempertimbangkan opsi "non-disposal" (indefinite surface storage).
Opsi non-disposal adalah merupakan kecenderungan untuk menerima
ide retrievebility dan reversibility. Konsekuensi dari penerimaan opsi ini berdampak
kepada disain fasilitas, namun tidak mempengaruhi secara teknis [15].
Saat ini, beberapa negara-negara industri nuklir juga sedang mengeksplorasi jalur lain,
yaitu jalur partisi dan transmutasi dalam upaya mengurangi T1/2. Studi ini bertujuan
untuk mendapatkan pengetahuan yang mendasar dalam menetapkan strategi
pengelolaan LTT. Walaupun jalur partisi dan transmutasi dapat mengurangi T1/2
limbah, namun secara keseluruhan tetap tidak menutup kebutuhan disposal. Dengan
meningkatnya radionuklida T1/2 pendek hasil partisi/transmutasi akan meningkatkan
paparan radiasi. Hal ini berdampak pada keselamatan radiasi terhadap pekerja,
sehingga memerlukan kajian tersendiri [15].
BATAN dalam pengelolaan LTT saat ini memilih daur tertutup. Limbah BBN bekas
dan LTT dari hasil uji fabrikasi BBN saat ini disimpan di Interim Storage for Spent
Fuel Element (ISSFE) yang ada di PPTN Serpong. Kapasitas ISSFE mampu untuk
menyimpan BBN bekas untuk selama umur operasi reaktor G.A. Siwabessy. LTT dan
Bahan Bakar Nuklir (BBN) bekas yang dihasilkan dari pengoperasian reaktor Triga
Mark II di Bandung dan reaktor Kartini di Yogyakarta disimpan di kolam pendingin
reaktor. Dalam pengoperasian reaktor G.A.Siwabessy, reaktor Triga Mark II dan
reaktor Kartini, BBN bekas ataupun LTT tidak ada yang keluar dari kawasan nuklir
tersebut, seluruhnya tersimpan dengan aman di kawasan nuklir tersebut.
Pembuangan Limbah Radioaktif
Strategi pembuangan limbah radioaktif umumnya dibagi kedalam 2 konsep
pendekatan, yaitu konsep "Encerkan dan Sebarkan" (EDS) atau "Pekatkan dan Tahan"
(PDT). Kedua strategi ini umumnya diterapkan dalam pemanfaatan iptek nuklir di
negara industri nuklir, sehingga tidak dapat dihindarkan menggugurkan strategi zero
release [15].
Pembuangan efluen
Dalam pengoperasian instalasi nuklir tidak dapat dihindarkan terjadinya pembuangan
efluen ke atmosfer dan ke badan-air. Efluen gas/partikulat yang dibuang langsung ke
atmosfer berasal dari sistem ventilasi. Udara sistem ventilasi di tiap instalasi nuklir
sebelum dibuang ke atmosfer melalui cerobong, dibersihkan kandungan gas/

partikulat radioaktif yang terkandung di dalamnya dengan sistem pembersih udara


yang mempunyai efisiensi 99,9 %. Efluen cair yang dapat dibuang langsung ke badanair hanya berasal sistem ventilasi dan dari unit pengolahan limbah cair radioaktif. Tiap
jenis radionuklida yang terdapat dalam efluen yang di buang ke lingkungan harus
mempunyai konsentrasi di bawah BME.
Pembuangan efluen radioaktif secara langsung, setelah proses pengolahan/dibersihkan
dan setelah peluruhan ke lingkungan merupakan penerapan strategi EDS. Dalam
pembuangan secara langsung, setelah dibersihkan dan setelah peluruhan
aktivitas/konsentrasi radionuklida yang terdapat dalam efluen harus berada di bawah
BME. Radionuklida yang terdapat dalam efluen akan terdispersi dan selanjutnya
melaui berbagai jalur perantara (pathway) yang terdapat di lingkungan akan sampai
pada manusia sehingga mempunyai potensi meningkatkan penerimaan dosis terhadap
anggota masyarakat. Penerimaan dosis terhadap anggota masyarakat ini harus dibatasi
serendah-rendahnya (penerapan azas optimasi). Dosis maksimal yang diperkenankan
dapat diterima anggota masyarakat dari pembuangan efluen ke lingkungan dari
seluruh jalur perantara yang mungkin adalah 0,3 mSv per tahun [16]. Dosis pembatas
(dose constrain) sebesar 0,3 mSv memberikan kemungkinan terjadinya efek somatik
hanya sebesar 3,3x10-6. Berdasarkan dosis pembatas ini BME tiap jenis radionuklida
yang diizinkan terdapat dalam efluen dapat dihitung dengan teknik menghitung balik
pada metode prakiraan dosis. BME tiap jenis radioaktif ini harus mendapat izin dan
tiap jenis radionuklida yang terlepaskan ke lingkungan harus dimonitor secara berkala
dan dilaporkan ke Badan Pengawas.
BME tiap jenis radioanuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen radioaktif
yang dibuang ke lingkungan untuk tiap instalasi nuklir di PPTN Serpong telah
dihitung dengan metode faktor konsentrasi (concentration factor method) dan telah
diterapkan semenjak reaktor G.A. Siwabessy dioperasikan pada bulan Agusutus 1987
[17]. Pembuangan efluent gas/partikulat dan efluen cair ke lingkungan di PPTN
Serpong telah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan baik secara nasional
maupun internasional.
Disposal limbah
Penyimpanan lestari/disposal limbah radioaktif hasil-olahan merupakan penerapan
strategi PDT. Strategi ini mempunyai potensi meningkatkan peneriman dosis terhadap
anggota masyarakat, dosis maksimal yang diakibatkannya tidak boleh melebihi dosis
pembatas yang diperkenankan. Pengoperasian fasilitas disposal ini harus mendapat
izin lokasi, konstruksi dan operasi dari Badan Pengawas.
Lokasi disposal
Pemilihan lokasi untuk pembangunan fasilitas disposal mengacu pada proses seleksi

yang direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Faktorfaktor teknis yang dipertimbangkan diantaranya faktor geologi, hidrogeologi,
geokimia, tektonik dan kegempaan, berbagai kegiatan yang ada di sekitar calon lokasi,
meteorologi, transportasi limbah, tata-guna lahan, distribusi penduduk dan
perlindungan lingkungan hidup. Faktor lainnya yang sangat penting adalah
penerimaan oleh masyarakat. Di negara-negara industri nuklir moto "Not In My
Backyard" (NYMBY) telah merintangi dalam pemilihan lokasi, tidak hanya untuk
disposal limbah radioaktif juga terhadap limbah industri lainnya. Oleh karena itu
perhatian terhadap faktor-faktor sosial (societal issues) selama pase awal proses
pemilihan lokasi memerlukan perhatian ekstra hati-hati dan seksama. Isu ini
menyebabkan negara-negara industri nuklir cenderung memilih lokasi (site) nuklir
yang telah ada untuk pembangunan fasilitas disposal. Sebagai contoh diantaranya
fasilitas disposal Drig (United Kingdom), Centre de la Manche (Perancis), Rokkasho
(Jepang) dan Oilkiluoto (Finlandia) [15].
P2PLR telah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian kemungkinan kawasan
nuklir PPTN Serpong dan calon lokasi PLTN di S. Lemahabang dapat digunakan
sebagai lokasi untuk disposal LTR, LTS dan LTT. Hasil pengkajian dan penelitian ini
sementara menyimpulkan bahwa kawasan PPTN Serpong dikarenakan kondisi
lingkungan setempat (pola aliran air tanah, demographi, dll) hanya memungkinkan
untuk pembangunan sistem disposal eksperimental, sedangkan di calon lokasi PLTN
telah dapat diidentifikasi daerah yang mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk
pembangungan sistem disposal near-surface dan deep disposal. [18, 19].
Rancang-bangun
Fasilitas disposal dibangun tergantung pada kondisi geologi, persyaratan-persyaratan
khusus dan pemenuhan regulasi. Fasilitas disposal yang dibangun haruslah efektif
menahan radionuklida untuk tidak migrasi ke lingkungan hidup selama periode
potensi bahaya (hazard) maksimal, sehingga paparan radiasi terhadap pekerja dan
anggota masyarakat selama operasi dan pasca-operasi minimal. Tujuan ini dapat
dicapai melalui rancang-bangun komponen-komponen teknis seperti paket limbah,
struktur teknis fasilitas, lokasi itu sendiri dan kombinasi dari berbagai faktor-faktor
teknis tersebut.
Rancang-bangun fasilitas disposal berkaitan erat dengan kemajuan teknologi dan
perhatian masyarakat terhadap keselamatan radiasi dan lingkungan serta perlindungan
generasi yang akan datang. Rancang-bangun yang banyak diminati adalah sistem
disposal dengan penahan berlapis (multiple engineered barriers). Sistem ini terdiri
dari bungker beton (concrete vault), bahan pengisi (backfill material), penahan
berdasarkan proses kimia (chemical barrier), sistem ventilasi (mesure for gas venting)
sistem drainase (drainage) dan daerah penyangga (buffer zone).
Saat ini beberapa jenis fasilitas disposal telah dibangun dan beroperasi di negara-

negara industri nuklir, 62 % dibangun dekat permukaan tanah (engineered nearsurface), 18 % di permukaan tanah, 7 % dalam gua bekas tambang dan sisanya dalam
formasi geologi (deep disposal) [15].
Pengkajian keselamatan
Pengkajian keselamatan pembuangan/disposal limbah radioaktif bertujuan
mengevaluasi unjuk-kerja dari sistem disposal baik untuk kondisi saat ini maupun
untuk kondisi yang akan datang, diantisipasi juga mengenai kejadian-kejadian yang
sangat jarang terjadi. Berbagai faktor, seperti model dan parameter, periode waktu
yang lama, perilaku manusia dan perubahan iklim harus dievaluasi secara konsisten,
walaupun data kuantitatif yang diperlukan tidak/ belum tersedia. Hal ini dapat
diperoleh melalui formulasi dan analisis dari berbagai skenario yang mungkin terjadi.
Skenario adalah deskripsi berbagai alternatif yang mungkin terjadi secara konsisten
mengenai evolusi dan kondisi dimasa yang akan datang. Proses pengkajian
keselamatan umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan proses, seperti kontek
perlunya pengkajian dilakukan (memilih lokasi, perizinan, kriteria yang digunakan,
dan waktu pengoperasian), rincian rancang-bangun, pengembangan dan
menenetapkan skenario, memformulasikan dan penerapkan model. Melakukan
analisis dan menginterpretasikan hasil dengan membandingkan terhadap kriteria yang
direkomendasikan [15].
Kemampuan untuk melakukan pengkajian keselamatan ini perlu dukungan
infrastruktur (organisasi, peralatan, dll.) dan sumberdaya manusia yang handal serta
disiapkan secara berkesinambungan. Di P2PLR saat ini terdapat Bidang Kelompok
Penyimpanan Lestari dan Bidang Keselamatan dan Lingkungan, telah membuat
group-group untuk pengkajian skenario, mendapatkan besaran-besaran fisika-kima
untuk pengkajian dan pengembangan perangkat lunak untuk pengkajian unjuk kerja
fasilitas disposal (performance assessment), diharapkan dalam jangka panjang dapat
dibangun capacity building dan confidence building dalam keselamatan disposal
limbah radioaktif.
Penerimaan Masyarakat
Penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek-nuklir sangat dipengruhi oleh
keamanan dan keselamatan pengelolaan limbah radioaktif, dimana didalamnya
termasuk masalah bersifat teknis dan sosial. Di negara-negara industri nuklir upayaupaya yang dilakukan dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat, yaitu
meningkatkan dialog/komunikasi dengan komunitas lokal di mana fasilitas/kegiatan
nuklir akan diintroduksi dan dengan masyarakat luas yang secara nyata menunjukan
komitmen terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang unggul (excellent). Di
beberapa negara menawarkan insentif finasial ke komunitas yang menerima di mana

di daerahnya akan diintroduksi fasilitas/kegiatan nuklir. Kompensasi ditetapkan tidak


sebagai hadiah, namun berdasarkan diskusi terhadap isu-isu masalah keselamatan.
Sebagai contoh dari finansial insentif dapat berupa kesempatan kerja untuk komunitas
lokal yang lebih besar atau pembebasan biaya listrik bila dilokasi tersebut dibangun
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Isu-isu sosial (societal issues) yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan
kepercayaan masyarakat diantaranya adalah jaminan independensi dari Badan
Pengawas dan keputusan yang diambil oleh Badan Pengawas terhadap perizinan
dalam pemanfaatan iptek nuklir haruslah berdasarkan suatu pengkajian dan
pertimbangan yang tepat. Dalam masalah disposal, diantaranya demonstrasikan bahwa
masalah keselamatan telah memperhatikan generasi yang akan datang, pengambilan
keputusan dilakukan secara bertahap dan transparan serta lakukan komunikasi yang
efektif dengan penduduk lokal dalam membangun kepercayaan.
PEMANTAUAN LINGKUNGAN
Pemantauan radioaktivitas lingkungan di sekitar instalasi dimana
kegiatan/pemanfaatan iptek nuklir berlangsung, merupakan suatu ketentuan yang
diberlakukan. Tujuan utama dari pemantauan lingkungan ini adalah untuk [20];
1. Verifikasi kelayakan pengawasan pembuangan efluen ke lingkungan
2. Melakukan koreksi terhadap kesahihan perhitungan batas konsentrasi tiap jenis
radionuklida yang diperkenankan terdapat dalam efluen.
3. Memberikan jaminan/pembuktian kepada Badan Pengawas dan masyarakat
bahwa dampak radiologi yang ditimbulkan dalam batasan yang
diizinkan/diperkenankan.
4. Sebagai sarana ilmiah dalam mempelajari pola penyebaran, faktor
perpindahan/pemekatan dan migrasi radionuklida di berbagai komponen
lingkungan hidup.
Program pemantauan yang diturunkan dari hasil studi Amdal, berdasarkan dokumen
RPL, komponen-komponen lingkungan dan jenis dampak/radionuklida yang harus
dipantau serta frekuensi pemantauan dapat ditetapkan. Selanjutnya dari hasil
pemantauan dapat dilakukan prakiraan penerimaan dosis oleh anggota masyarakat
dari berbagai jalur perantara (pathway) yang mungkin. Prakiraan dosis dilakukan
dengan metode faktor pemekatan. Hasil prakiran dosis yang diperoleh dibandingkan
dengan Nilai Batas Dosis (NBD) yang diperkenankan untuk anggota masyarakat dan
dilaporkan ke Badan Pengawas.
Program pemantauan lingkungan di PPTN Serpong telah dilaksanakan semenjak

reaktor G.A.Siwabessy dioperasikan tahun 1987 hingga sekarang. Hasil pemantauan


yang diperoleh berdasarkan evaluasi secara statistika, metode pembobotan dan
pembandingan terhadap baku mutu radioaktivitas di lingkungan, menunjukkan bahwa
[21, 22]:
1. Laju dosis dan dosis kumulatif di udara di PPTN Serpong, daerah Puspiptek
dan Lepas Kawasan tidak menunjukan adanya perubahan ataupun
kecenderungan peningkatan.
2. Tidak teramati adanya radionuklida hasil fisi ataupun aktivasi dalam komponen
lingkungan di PPTN Serpong, daerah Puspiptek dan Lepas Kawasan, yang
teramati umumnya adalah radionuklida alam dan radionuklida jatuhan dari
percobaan bom nuklir di atmosfer (Global Fall-Out) yang konsentrasinya
sangat rendah.
3. Berdasarkan butir 1 dan 2 menyatakan bahwa tidak terjadi peningkatan
penerimaan dosis oleh anggota masyarakat yang berada di sekitar PPTN
Serpong.
Berdasarkan pengalaman pemantauan radioaktivitas dan pengkajian keselamatan
lingkungan di PPTN Serpong semenjak tahun 1987, saat ini Batan mempunyai
sumberdaya manusia dalam kelompok keahlian Keselamatan Radiasi dan
Keselamatan Lingkungan yang mampu selain untuk melakukan Amdal kegiatan
nuklir, juga melakukan rancang-bangun sistem pemantauan keselamatan radiasi
lingkungan untuk operasi normal ataupun untuk kondisi kedaruratan nuklir.
KESIMPULAN
Keselamatan radiasi lingkungan dalam pengelolaan limbah radioaktif diupayakan
melalui;
1. Pembatasan penerimaan dosis, Nilai Batas Dosis (NBD) yang ditolerir dapat
diterima oleh anggota masyarakat sebesar 1,0 mSv per tahun. NBD untuk
anggota masyrakat ini relatif lebih kecil dari yang diterima rata-rata dari radiasi
alam (2,4 mSv per tahun).
2. Penerimaan dosis oleh anggota masyarakat dari kegiatan pembuangan efluen
radioaktif ke atmosfer dan ke badan-air, serta dari disposal limbah dibatasai
maksimal sebesar 0,3 mSv per tahun. Besarnya dosis pembatas ini, mempunyai
potensi kemungkinan terjadinya efek somatik sebesar 3,3 x 10 -6, sesuai
dengan standar de minimus, nilai risiko ini termasuk dapat diabaikan.

3. Pemantauan lingkungan merupakan ketentuan yang diberlakukan, sehingga bila


terjadi kecenderungan peningkatan penerimaan dosis oleh penduduk di sekitar
fasilitas nuklir dapat secara dini diketahui, sehingga kegiatan nuklir dapat
dihentikan segera, dengan demikian kerugian terhadap masyarakat dan
lingkungan dapat diminimalisis serendah-rendahnya.
4. Pengelolaan limbah radioaktif tingkat rendah (LTR) dan sedang (LTS) telah
mapan (proven) baik secara teknologi maupun keselamatan, dan telah
diimplemetasikan secara komersial. Teknologi pengolahan limbah radioaktif ini
telah diadopsi dan diimplementasikan di Indonesia (Batan) dalam mengelola
LTR dan LTS baik yang dihasilkan dari kegiatan Batan maupun dari kegiatan
Non-Batan (industri, rumah sakit, penelitaian dan lain-lainhya).
5. Pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi (LTT) di negara-negara industri
nuklir selain berbeda, juga masih berubah-ubah. Sebagian memilih daur
tertutup (memilih opsi olah-ulang) dan sebagian lainnya memilih daur terbuka
(memilih opsi disposal). Indonesia memilih daur terbuka, limbah BBN bekas
yang awalnya dipasok dari luar Negeri, direeksport kembali ke negara asal.
Sementara LTT yang ditimbulkan dari Litbang disimpan di ISSFE yang berada
dalam kawasan nuklir, sehingga aman dan terkendali.
6. Kecenderungan pembangunan fasilitas disposal yang terjadi di negara-negara
industri nuklir dalam mengantisipasi moto NYMBY adalah di kawasan
nuklir yang telah ada.
7. Penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan iptek nuklir sangat dipengaruhi
oleh keamanan dan keselamatan pengelolaan limbah radioaktif. Dalam
permasalahan ini, umumnya negara-negara industri nuklir melakukan
pendekatan secara teknis, namun pendekatan secara sosial masih kurang.
DAFTAR PUSTAKA
1. TSYPLENKOV V. S., Principles and Components of the Waste Management
Infrastructure, IAEA, Regional Training Course, 21 Oct -1 Nov. 1991, JakartaIndonesia, (1991).
2. BENNET B. G., Exposures from Worldwide Release, Environmental Impact of
Radioactive Releases, Proceedings of a Symposium, IAEA, Vienna 8 - 12 May,
(1995).

3. ALAN MARTIN., SAMUEL H., An Introduction to Radiation Protection,


Third Edition, Chapman and Hall, London, (1986).
4. International Basic Safet Standard for Protection against Ionizing radiation and
for the Safety of Radiation Sources., Safety-Series no. 115, IAEA, Vienna,
(1996).
5. Undang-Undang Republik
Ketenaganukliran.

Indonesia

No.

10

Tahun

1997

Tentang

6. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.


7. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Kesehatan Kerja.
8. Sk. Kepala BAPETEN No.06/Ka.BAPETEN/V-99., Pembangunan dan
Pengopersian Reaktor Nuklir.
9. Sk. Kepala BAPETEN No.01/Ka. Ka.BAPETEN/VI-99., Pedoman Penentuan
Tapak Reaktor Nuklir
10.Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2000 Tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion.
11. Peraturan Pemerintah No.64 Tahun 2000 Tentang Perizinan Pemanfaatan
Tenaga Nuklir.
12.SK. Ka. BAPETEN No.07-P/Ka.-BAPETEN/I-02, Pedoman Dekomisioining
Fasilitas Medis, Industri dan Penelitian Serta Instalasi Nuklir Non Reaktor.
13.Sk. Ka. BAPETEN No.03/Ka.BAPETEN/99, Ketentuan Keselamatan Untuk
Pengelolaan Limbah Radioaktif.
14.Kep. Ka. BAPETEN No.064-P/Ka-BAPETEN/VI-99, Pedoman Teknis
Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Untuk Rencana Pembangunan dan
Pengoperasian Instalasi Nuklir dan Instalasi Lainnya.
15.Safety of Radioactive Waste Management., Proceedings of an International
Conference, Cordoba, Spain, 13 - 17 March, (2000).
16.Regulatory Control of Radioactive Discharge into the Environment, SafetySeries-77, IAEA, Vienna, (1999).

17.Batas Pelepasan Maksimal (BPM) Pembuangan Zat Radioaktif ke Atmosfer


dan Badan-air untuk tiap Instalasi Nuklir di PPTA Serpong, Revisi-1, BKKLPTPLR, (1991).
18.LUBIS, E., D. MALLANTS., G. VOLCKAERT., Safety Assessment for a
Hyphotetical Near Surface Disposal at Serpong Site, Atom Indonesia Vol. 26,
No.2, July 2000.
19.LUBIS, E., SUCIPTA., Features, Events and Processes (FEP's) dalam
Pengkajian Keselamatan Penyimpanan Limbah Tanah Dangkal di S. Muria,
Jurnal Teknologi Pengolahan Limbah., 2(2), 1 - 18, ISSN 1410-9565, 1999.
20.Program Pemantauan Radioaktivitas Lingkungan Daerah PPTN Serpong
Dalam Radius 5,0 km, P2PLR, Serpong.
21.Laporan Pemnatauan Radioaktivitas Lingkungan Daerah PPTN Serpong Dalam
Radius 5,0 km, P2PLR, Serpong, (2002).
22.Kep. Ka. BAPETEN No.06/Ka-BAPETEN/V-99,
Pengoperasian Reaktor Nuklir.

Pembangunan

dan

Penulis : Erwansyah Lubis (Ahli Peneliti Utama, Kepala Bidang Keselamatan


Lingkungan P2PLR - BATAN)
Artikel ini telah dimuat pada 'Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah' Volume 6 No. 2
Desember 2003 (ISSN:1410-9565)

Pengelolaan Limbah Radioaktif


Pada dasarnya kegiatan pengelolaan limbah radioaktif meliputi tahapan :
1.
2.
3.

Pengangkutan Limbah
Pra-olah
Penyimpanan sementara

4.
5.
6.

Pengolahan
Penyimpanan sementara
Penyimpanan akhir (belum dilakukan)

Kategori Limbah

Berdasarkan rekomendasi IAEA dan kemampuan fasilitas pengelolaan limbah di PTLR maka limbah
radioaktif yang dikelola PTLR dapat dikategorikan sebagai berikut :
N
o.

Jenis Limbah

Aktivitas (A Ci)

Limbah Cair Aktivitas Rendah dan Sedang Pemancar Beta dan


Gamma

II

Limbah Semi Cair (Resin) Aktivitas Rendah dan Sedang Pemancar


Beta dan Gamma

III

Limbah Padat Aktivitas Rendah dan Sedang Pemancar Beta dan


Gamma :

3.
1

Terbakar

A<=1e-2

3.
2

Terkompaksi

A<=1e-2

3.
3

Tak Terbakar & Tak Terkompaksi

A<=1e-2

IV

Limbah Aktivitas Rendah Pemancar Alpha

Limbah Aktivitas > 6 Ci

VI

Sumber Bekas

6.
1

Penangkal Petir

--

6.
2

Sumber Bekas Ra-226

--

6.
3

Sumber Bekas 1Ci<=A<=6Ci selain Ra-226 (Co-60, Am-241, Cs137, Kr-85, Pm-147, Sr-90, Mo-99, dll.)

1<=A<=6

6.

Sumber Bekas 0,1Ci<=A<1Ci selain Ra-226 (Co-60, Am-241, Cs-

0,1<=A<1

1e-6<=A<=1e-1

A<=1e-2

-A>6

137, Kr-85, Pm-147, Sr-90, Mo-99, dll.)

6.

Sumber Bekas A<0,1Ci selain Ra-226 (Co-60, Am-241, Cs-137, Kr85, Pm-147, Sr-90, Mo-99, dll.)

A<0,1

Pengangkutan Limbah

Pengangkutan meliputi kegiatan pemindahan limbah radioaktif dari lokasi pihak penghasil limbah
menuju ke lokasi pengelolaan limbah PTLR. Kegiatan pengangkutan harus memenuhi syarat-syarat
keamanan dan keselamatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Terutama bila lokasi
penghasil limbah diluar kawasan PTLR diperlukan ijin Pengangkutan Limbah dari Badan Pengawas
Tenaga Nuklir (Bapeten).

Sarana dan prasarana yang dipakai pada kegiatan pengangkutan Limbah antara lain :

Alat angkut: truck, fork lift, crane, hand crane dan sebagainya
Transfer Cask / Kanister
Pallet.
Alat monitoring
Tanda bahaya radiasi dan tanda bahaya lainnya
Sarana keselamatan kerja
Dan sarana lain yang diperlukan.

Praolah (pretreatment)

Praolah adalah kegiatan yang dilakukan sebelum pengolahan agar limbah memenuhi syarat untuk
dikelola pada kegiatan pengelolaan berikutnya.

Kegiatan ini antara lain meliputi :

Pengelompokan sesuai dengan jenis dan sifatnya.


Preparasi dan analisis terhadap sifat kimia, fisika dan kimia fisika serta kandungan

radiokimia
Menyiapkan wadah drum, plastik, lembar identifikasi dan sarana lain yang diperlukan
Pewadahan dalam drum 60, 100, 200 liter atau tempat yang sesuai
Pengepakan untuk memudahkan pengangkutan dan pengolahan
Pengukuran dosis paparan radiasi
Pemberian label identifikasi dan pengisian lembar formulir isian
Pengeluaran dari hotcell

Penempatan dalam kanister sehingga memenuhi kriteria keselamatan pengangkutan

Sarana dan prasarana yang dipakai dalam kegiatan Praolah antara lain :

Drum 60 liter / 100 liter


Plastik pelapis bagian dalam drum
Lembar identifikasi dan lembar isian
Alat monitor radiasi
Alat pengepakan
Kanister
Sarana keselamatan kerja

Pengolahan (treatment)

Pengolahan limbah radioaktif di PTLR menggunakan fasilitas utama Kompaktor, Evaporator, Insinerator
dan Unit Immobilisasi (lhat gambar dbawah).

Keterangan :
IS : Interim Storage
PSLAT : Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi
KH-IPSB3 : Kanal Hubung - Instalasi Penyimpanan Sementara Bahan Bakar Bekas

Limbah cair organik dan limbah padat terbakar direduksi volumenya dengan cara insinerasi. PTLR
mempunyai satu unit insinerator dengan kapasitas pembakaran limbah padat 50 kg/jam atau 20 liter
limbah organik cair / jam beserta peralatan sementasi abu dalam drum 100L.

Limbah cair diolah dengan cara evaporasi untuk mereduksi volume limbah. PTLR memiliki satu unit
evaporator dengan kapasitas olah 0,75 m3/jam dengan ratio pemekatan 50:1. Konsentrat hasil
evaporasi dikungkung dalam shell beton 950L dengan campuran semen. Bila limbah cair bersifat
korosif maka limbah diolah secara kimia (chemical treatment) sebelum disementasi.

Limbah padat termampatkan proses reduksi volumenya dilakukan dengan cara kompaksi. PTLR
mempunyai 1 unit kompaktor dengan kekuatan 600 kN, meja getar dan perangkat sementasi. Limbah
padat dalam drum 100L dimasukkan dalam drum 200L saat kompaksi. Dengan kuat tekan 600 kN
kompaktor PTLR mampu mereduksi 4-5 drum 100L dalam drum 200L. Setelah pengisian batu koral,
hasil kompaksi selanjutnya disementasi dalam drum 200L.

Limbah padat tak terbakar dan tak termampatkan pengolahannya dimasukkan secara langsung
dengan cara sementasi dalam shell beton 350L/950L. Proses imobilisasi atau proses kondisioning
dilakukan dengan menggunakan shell beton 350 liter, 950 liter, drum beton 200 liter dan drum 200
liter dengan bahan matriks campuran semen basah.

Limbah padat aktivitas tinggi (LAT), limbah aktivitas sedang (LAS) dan limbah aktivitas rendah (LAR)
masing-masing diimobilisasi di dalam shell beton 350 liter, 950 liter, drum beton 200 liter dan drum
200 liter. Untuk menunjang kegiatan proses pengolahan ini diperlukan suatu koordinasi kerja yang
terpadu diantara tenaga yang terdiri dari proses, penunjang sarana, keselamatan, laboratorium dan
administrasi.

Penyimpanan Sementara

Penyimpanan dilakukan sebelum dan sesudah limbah diolah. PTLR memiliki 2 fasilitas penyimpanan,
yaitu Interim Storage (IS) dan Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT).

Shell beton 950L disimpan di IS

PSLAT memiliki 2 bentuk; kolam dan sumuran. Drum 60/100L disimpan dalam lokasi berbentuk
sumuran. Fasilitas ini memiliki 20 buah sumur, dan masing-masing sumur mampu menampung 6 buah
drum 60/100L. Total kapasitas bentuk sumuran adalah 120 drum.

PSLAT

Kapasitas penyimpanan limbah P2PLR :


Penyimpanan

Kapasitas

Interim Storage (IS)

1500 drum 200L


500 Shell 950L

PSLAT

20 Sumur = 7,2 m3
3 Kolam = 129,6 m3

Sarana yang diperlukan antara lain :

Tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas tinggi


Transfer Cask Magnetik
Peralatan trasportasi: truck, fork lift, crane, hand crane
Crane / hand crane
Sistem informasi managemen limbah
Alat monitor radiasi

Peralatan keselamatan kerja


Dan sarana lain yang diperlukan

Untuk mengetahui kriteria limbah yang memenuhi kriteria keselamatan untuk dikelola lebih lanjut
maka dilakukan inspeksi dan pemantauan secara rutin selama penyimpanan.

Insiden Pembangkit nuklir yang memakan biaya lebih dari 300 juta dolar AS, sampai 2009 [98][99]
[100]

Tanggal

Lokasi

Deskripsi

Biaya
(2006,
dalam juta
dolar)[101]

7
Desember
1975

Greifswald,
Jerman Timur

Kesalahan di bagian kelistrikan menyebabkan


kebakaran yang merusak jalur kontrol dan 5
pompa pendingin utama

22 Februari
1977

Jaslovsk
Bohunice,
Cekoslowakia

AS $1,700

28 Maret
1979

Middletown,
Pennsylvania, AS

Kebocoran sebagian inti nuklir dan rusaknya


sistem pendingin, lihat Musibah Pulau Three
Mile dan Dampak kesehatan akibat musibah Pulau
Three Mile

AS $2,400

9 Maret
1985

Athens, Alabama,
AS

Sistem instumen mengalami malfungsi, sehingga


pengoperasian ketiga reaktor diBrowns Ferry reaktor akhirnya dioperasikan kembali tahun 1991
untuk unit 2, 1995 untuk unit 3, dan 2007 untuk unit
1

AS $1,830

11 April
1986

Plymouth,
Massachusetts,
AS

Adanya masalah pada peralatan menyebabkan


kematian darurat di Pembangkit listrik nuklir Pilgrim

AS $1,001

AS $443

Insiden Pembangkit nuklir yang memakan biaya lebih dari 300 juta dolar AS, sampai 2009 [98][99]
[100]

Tanggal

Biaya
(2006,
dalam juta
dolar)[101]

Lokasi

Deskripsi

26 April
1986

Chernobyl, dekat
kota Pripyat,
Ukraina

Ledakan yao dan kebocoran menyebabkan 4.057


kematian (lihat Bencana Chernobyl) dan
menyebabkan 300.000 orang dievakuasi di
Belarusia, Rusia, dan Ukraina. Material radioaktif
menyebar di seluruh Eropa.

AS $6,700

31 Maret
1987

Delta,
Pennsylvania, AS

Malfungsi pada sistem pendinginan menyebabkan


matinya unit 2 dan 3 di Peach Bottom

US$400

Anda mungkin juga menyukai