Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

Buah Duwet (Syzygium cumini)


Buah duwet merupakan buah dari suku jambu-jambuan (Myrtaceae).
Buah ini memiliki nama ilmiah Syzygium cumini, yang juga memiliki sinonim
dengan Syzygium jambolanum, Eugenia cumini, atau Eugenia jambolana (BPPT
2005). Klasifikasi ilmiah buah duwet adalah:
Kerajaan

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Myrtales

Famili

: Myrtaceae

Genus

: Syzygium

Spesies

: Syzygium cumini

Buah duwet dikenal dengan beberapa nama, di Indonesia, seperti Juwet,


Jambu keling, Jamblang, dan Jambolan. Di India, duwet dikenal dengan Jambool
dan di Amerika dikenal sebagai Java plum.

Gambar 1 Buah duwet

Buah duwet berbentuk lonjong sampai bulat telur, sering agak bengkok.
Ukuran buah berkisar antara 1 hingga 5 cm, dengan kulit buah tipis, licin, dan
mengkilap. Warna buah yang telah matang adalah merah tua sampai ungu
kehitaman, kadang-kadang putih. Duwet sering tumbuh dalam gerombolan
besar. Daging buah berwarna putih, kuning kelabu, sampai agak merah ungu

dan hampir tak berbau. Buah duwet memiliki banyak sari buah dengan rasa
sepat masam sampai masam manis. Bentuk biji lonjong dan dapat berukuran
sampai 3,5 cm (BPPT 2005). Buah duwet berwarna hijau sebelum masak. Warna
hijau kemudian berubah menjadi merah, hingga pada akhirnya menjadi ungu
sampai hitam pada saat buah benar-benar masak.
BPPT (2005) menggambarkan bahwa tanaman buah duwet biasa
ditanam di pekarangan atau tumbuh liar, terutama di hutan jati. Duwet tumbuh di
dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl. Pohon dengan tinggi 10-20 m ini,
berbatang tebal, tumbuhnya bengkok, dan bercabang banyak. Daun tunggal,
tebal, tangkai daun 1-3,5 cm. Helaian daun lebar bulat memanjang atau bulat
telur terbalik, tepi rata, pertulangan menyirip, dan permukaan atasnya mengkilap.
Panjang daun 7-16 cm dengan lebar 5-9 cm dan berwarna hijau. Bunga tumbuh
di ketiak daun dan di ujung percabangan. Mahkota bunga berbentuk bulat telur
dengan banyak benang sari, berwarna putih, dan berbau harum. Pohon duwet
juga sering ditanam sebagai pohon peneduh di pekarangan dan perkebunan
(misalnya untuk meneduhi tanaman kopi), atau sebagai penahan angin (wind
break). Bunga-bunganya baik sebagai pakan lebah madu.
Buah duwet biasa dimakan segar. Di India dan Filipina, seperti juga
kebiasaan di beberapa daerah di Indonesia, buah duwet yang masak
dicampurkan dengan sedikit garam dan kadang-kadang ditambah juga dengan
gula pasir, kemudian dikocok di dalam wadah tertutup sehingga lunak dan
berkurang

rasa

sepatnya.

Selain

dimakan

segar,

buah

yang

banyak

mengandung vitamin A dan vitamin C ini, juga dapat dijadikan sari buah, jeli
atau minuman beralkohol.
Buah duwet mengandung berbagai zat gizi yang baik bagi tubuh. Zat-zat
yang bermanfaat dari buah duwet tidak hanya berasal dari daging buah,
melainkan juga berasal dari biji dan kulit buahnya. Salah satu manfaat buah
duwet adalah untuk mengurangi kerapuhan pembuluh darah kapiler penyebab
luka diabetes yang lama sembuhnya. Manfaat lain duwet adalah menjaga kadar
kolesterol darah tetap normal (Anonim 2010), mengobati asma, diare, dan nyeri
lambung (BPPT 2005).
Buah duwet memiliki berbagai manfaat kesehatan karena aktivitas
antioksidan yang tinggi. Sifat antioksidan buah berasal dari antosianin yang
menyebabkan warna ungu pada buah ini. Penelitian yang dilakukan oleh Sari et.
al. (2009) menunjukkan bahwa dalam 100 gram buah duwet segar mengandung

161 miligram antosianin (3430mg/100g kulit buah kering). Kandungan gizi dalam
setiap 100 gram buah duwet, ditampilkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan gizi 100 gram buah duwet masak
Kandungan gizi
Zat gizi
Satuan
Jumlah
Energi
Karbohidrat
Protein
Lemak
Air
Vitamin A
Vitamin B3
Vitamin C
Kalsium
Zat besi
Fosfor
Magnesium
Kalium
Natrium

Kkal
60,00
gram
15,56
gram
0,72
gram
0,23
gram
83,13
IU
3,00
mg
0,26
mg
14,30
mg
19,00
mg
0,19
mg
17,00
mg
15,00
mg
79,00
mg
14,00
Sumber: USDA Nutrient database (2010)

Buah duwet, menurut BPPT (2005), selain mengandung zat gizi seperti
yang

digambarkan

di

Tabel

1,

mengandung

minyak

atsiri,

fenol

(methylxanthoxylin), alkaloid (jambosine), asam organik, triterpenoid, resin yang


berwarna merah tua mengandung asam elagat dan tannin.
Kadar antosianin pada buah duwet dipengaruhi tingkat kematangan buah.
Lestario et. al. (2003) meneliti kandungan antosianin pada buah duwet yang
dibagi dalam tujuh tingkat kematangan, mulai buah berwarna hijau, hingga buah
berwarna hitam. Kandungan antosianin pada beberapa tingkat kematangan,
menurut penelitian Lestario et. al. (2003), ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kadar antosianin buah duwet pada beberapa tingkat kematangan
Antosianin
Tingkat kematangan
(mg/g buah kering beku)
Hijau
1,680,03
Hijau-merah
3,050,10
Merah muda
4,320,08
Merah
5,960,07
Ungu cerah
7,850,12
Ungu gelap
12,160,08
Hitam
29,390,36
Sumber: Lestario et. al. 2003

Penelitian Lestario et. al. (2003) menunjukkan bahwa kadar antosianin


pada buah duwet semakin tinggi sejalan dengan peningkatan kematangan buah.
Hal ini ditunjukkan dengan perubahan warna buah duwet yang semakin ungu

sejalan dengan semakin masaknya buah duwet. Seperti halnya kadar antosianin
yang semakin tinggi pada masing-masing tingkat kematangan buah duwet,
aktivitas antioksidan buah duwet juga meningkat seiring dengan kematangan
buah. Pada tingkat kematangan maksimal, aktivitas antioksidan buah duwet
hampir sama dengan tingkat aktivitas antioksidan sintetis BHT. Pada penelitian
Lestario et. al. (2003), peningkatan aktivitas antioksidan antosianin ditunjukkan
dengan penurunan tingkat oksidasi asam linoleat yang menghasilkan peroksida.
Tabel 3 menujukkan tingkat aktivitas antioksidan pada beberapa tingkat
kematangan buah duwet.
Tabel 3 Aktivitas antioksidan pada beberapa tingkat kematangan buah duwet
Aktivitas antioksidan
Tingkat kematangan
(% pencegahan oksidasi asam linoleat)
Hijau
29,680,59
Merah
47,810,54
Ungu
64,750,11
BHT
79,450,57
Sumber: Lestario et. al.2003

Antioksidan
Dalam menjalani aktivitas sehari-hari, tubuh manusia tidak dapat
menghindari paparan radikal bebas atau oksidan yang membahayakan
kesehatan. Radikal bebas merupakan atom atau molekul dengan satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Komponen-komponen reaktif dan produknya
ini terbentuk melalui berbagai proses fisiologis dan biokimia seperti respirasi
mitokondria, aktifasi fagosit, maupun aktivitas oksidasi oleh enzim (Basu et.
al.1999).
Radikal bebas derivat oksigen dan prooksidan lain memiliki peranan
penting dalam pembentukan komponen esensial dan aktivasi biologis dari
komponen-komponen penting. Namun, di saat bersamaan, radikal bebas bersifat
toksik dan dapat menyebabkan kerusakan sel melalui oksidasi lipid, protein dan
DNA. Selain itu, fungsi sel imun juga dapat terganggu dengan adanya aktivitas
radikal bebas. Salah satu zat yang memperkecil bahaya dari radikal bebas
adalah antioksidan. Antioksidan mengganggu produksi radikal bebas atau
membantu inaktivasi radikal bebas saat terbentuk (Basu et. al. 1999).
Antioksidan dipercaya mampu menangkal oksidasi dari radikal bebas
yang dapat merusak komponen sel (Webb 2007) dan menyebabkan penyakitpenyakit degeneratif (MacDougall et. al. 2002), seperti penyakit jantung koroner,
kanker, diabetes, katarak, dan arthritis. Barus (2007) juga menyebutkan peran

positif lain dari antioksidan untuk membantu sistem pertahanan tubuh bila ada
unsur pencetus penyakit memasuki dan menyerang tubuh.
Berbagai jenis protein dan enzim yang disintesis dalam tubuh dapat
memiliki fungsi antioksidan (Basu et. al. 1999). Begitu pula dengan beberapa
jenis vitamin dan mineral, seperti vitamin C, vitamin E, dan selenium, memiliki
fungsi antioksidan atau merupakan bagian yang penting dari sebuah sistem
antioksidan. Beberapa antioksidan lain tidak dinyatakan sebagai zat gizi esensial.
Namun, sekarang disadari bahwa zat-zat gizi yang awalnya bukan merupakan
zat gizi esensial namun memiliki aktivitas antioksidan dapat berperan dalam
menjaga kesehatan yang optimal dengan menurunkan tingkat oksidasi dari
radikal bebas. Beberapa antioksidan potensial pada makanan tidak dinyatakan
sebagai zat gizi esensial. Senyawa tersebut antara lain karotenoid, flavonoid,
fenol, dan polifenol (Webb 2007).
Senyawa-senyawa yang memberikan sifat antioksidan dapat digunakan
secara terpisah. Namun, sering kali senyawa-senyawa ini digunakan secara
bersamaan untuk memberikan perlindungan yang optimal (MacDougall et. al.
2002). Namun demikian, belum ada batasan yang pasti asupan harian senyawa
antioksidan untuk mencegah timbulnya penyakit (Basu et. al. 1999).
Senyawa Fenol
Senyawa fenol banyak ditemukan pada tanaman. Senyawa ini memiliki
cincin aromatis dengan satu atau dua buah gugus hidroksil (Basu et. al. 1999).
Pada tumbuhan, senyawa fenol berperan sebagai pertahanan terhadap
serangga. Sintesis senyawa fenol pada tumbuhan berhubungan dengan
serangan serangga, paparan sinar ultraviolet, dan pertumbuhan mikroorganisme.
Hal ini menunjukkan bahwa senyawa fenol memiliki peran dalam mencegah
serangan serangga, oksidasi oleh cahaya, dan infeksi bakteri maupun jamur
(Asami et. al. 2003).
Salah satu kelompok senyawa fenol yang paling banyak ditemui adalah
flavonoid. Flavonoid berperan dalam memberikan rasa dan warna pada berbagai
buah dan sayuran. Di dalam tubuh, flavonoid dan senyawa fenol lainnya memiliki
berbagai manfaat biologis, termasuk antioksidan, antiinflamasi, menghambat
pertumbuhan mikroba, dan mencegah timbulnya tumor (Prior 2003). Senyawa
flavonoid dan asam fenolat, secara in vitro, terbukti berpotensi sebagai
antioksidan. Akan tetapi, terdapat kemungkinan sifat pro-oksidan pada senyawa
ini apabila berinteraksi dengan ion logam pada kondisi tertentu.

Senyawa flavonoid yang sering dijumpai meliputi katekin (sering dijumpai


dalam teh) dan anthosianidin yang sebagian besar merupakan pigmen warna
pada sayuran dan buah. Asupan harian flavonoid diperkirakan antara 20 mg
hingga 1 g (Basu et. al. 1999). Beberapa senyawa flavonoid dan asam fenolat
serta sumbernya antara lain: katekin (teh dan minuman anggur), flavonon (buahbuahan sitrus), flavonol (bawang merah, buah zaitun, teh, minuman anggur, dan
apel), antosianidin (buah-buahan berwarna), dan asam kafeat (tomat, plum, ceri).
Salah satu komponen flavonoid yang paling umum terdapat pada tumbuhtumbuhan adalah antosianin, yang merupakan derivat dari antosianidin.
Antosianin
Antosianin merupakan komponen flavonoid yang paling umum terdapat
pada tumbuhan. Antosianin memiliki lima subkelas, yaitu peralgonidin, cyanidin,
peonidin, malvidin, dan delphinidin (Rein 2005). Antosianin merupakan pigmen
larut air yang menyebabkan warna merah, ungu, dan biru pada tanaman. Warna
yang berbeda ini dipengaruhi oleh pH dan interaksi antosianin dengan kelas
flavonoid lain yang tidak berwarna dalam tumbuhan (dikenal dengan copigmentation). Antosianin merupakan derivat dari anthosianidin yang tidak
beraroma dan hampir tidak berasa. Antosianin terdiri dari dua struktur dasar
aglikon, satu atau lebih gugusan gula, dan terkadang juga memiliki gugusan asil
(MacDougall et. al. 2002). Bagian gula pada antosianin, biasanya berupa
glukosa, rhamnosa, xylosa, galaktosa, arabinosa, dan fruktosa (Ozela,
Stringheta, and Chauca 2007). Struktur kimia dasar pada lima sub kelas
antosianin ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia dasar antosianin

10

Pada tanaman bunga, warna merah cerah dan ungu merupakan cara
menarik serangga yang membantu penyerbukan. Pada tanaman buah, kulit buah
yang berwarna juga menarik perhatian serangga yang mungkin memakan buah
dan menyebarkan bijinya. Pada jaringan fotosintesis, antosianin berperan
sebagai tabir surya yang melindungi sel dari kerusakan dengan menyerap
cahaya ultraviolet. Antosianin terdapat pada daun muda yang berwarna merah,
pada daun saat musim panas, dan daun-daun hijau yang berubah merah pada
saat musim dingin. Prior (2003) menyebutkan bahwa antosianin memiliki manfaat
antioksidan dengan berperan sebagai donor elektron atau transfer atom hidrogen
pada radikal bebas.
Antosianin merupakan kelas flavonoid yang paling umum pada tanaman.
Sumber antosianin yang biasa digunakan dalam industri biasanya adalah
anggur, elderberry dan blackcurrant. Kadar antosianin dalam buah dapat berkisar
antara 0,25 mg hingga 500 mg per 100 gram buah segar (Prior 2003).
MacDougall et. al. (2002) menyebutkan beberapa sumber lain yang belakangan
digunakan, seperti kol merah dan wortel hitam. Dua komoditas ini, menurut
MacDougall et. al. (2002), memiliki antosianin yang lebih stabil terhadap pH dan
cahaya dibandingkan dengan sumber-sumber antosianin yang terlebih dahulu
digunakan. Kandungan antosianin pada beberapa jenis buah dan sayur
ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Kandungan antosianin pada beberapa jenis buah dan sayur
Antosianin
Bahan Pangan
(mg/100g)
[1]
Marion Blackberry
317
[2]
Strawberry
97
[2]
Raspberry
365
[2]
Blueberry
365
[2]
Cherry
177
[3]
Duwet
161
[4]
Anggur merah
88
[5]
Kol ungu
355
Sumber:

[1]

[2]

Siriwoharn et. al (2004); Hosseinian dan Beta (2007);


[4]
[5]
Sari et. al. (2009); Munos-Espada et. al. (2004); Kim
& Wampler (2009)

[3]

Antosianin, seperti halnya pigmen alami lainnya, memiliki stabilitas yang


rendah. Degradasi dapat terjadi selama ekstraksi, pemurnian, pengolahan, dan
penyimpanan pigmen. Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas antosianin
antara lain struktur kimia pigmen, keasaman (pH), suhu, dan jenis pelarut. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Laleh et. al. (2006) menunjukkan bahwa
peningkatan pH, suhu, dan paparan cahaya dapat merusak molekul antosianin.
Salah satu karakteristik utama antosianin adalah perubahan warna yang

11

merespon adanya perubahan pH lingkungan. Warna dan stabilitas antosianin


pada larutan sangat tergantung pada pH. Antosianin paling stabil pada pH
rendah dan perlahan kehilangan warnanya seiring dengan peningkatan pH dan
menjadi hampir tak berwarna pada pH 4,0 sampai 5,0. Menurut Rein (2005),
antosianin lebih stabil pada larutan asam daripada pada larutan netral atau alkali.
Namun kehilangan warna dapat bersifat reversibel. Corak warna merah akan
kembali dengan adanya peningkatan derajat keasaman (Ozela, Stringheta, and
Chauca 2007).
Stabilitas antosianin juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Proses
pemanasan merupakan faktor yang dapat menyebabkan kerusakan antosianin.
Rahmawati (2011) mengemukakan bahwa proses pemanasan terbaik untuk
mencegah kerusakan antosianin adalah pemanasan pada suhu tinggi dalam
jangka waktu pendek (High Temperature Short Time). Paparan cahaya juga
dapat memperbesar degradasi pada molekul antosianin. Penyebab utama
kehilangan pigmen warna berhubungan dengan hidrolisis antosianin (Ozela,
Stringheta, and Chauca 2007). Dalam penelitiannya, Ozela, Stringheta, and
Chauca (2007) menemukan bahwa pH juga memiliki pengaruh yang sangat
besar pada stabilitas antosianin baik pada keadaan ada atau tidak adanya
cahaya. Keberadaan oksigen dan interaksi dengan komponen lain seperti gula
dan asam askorbat juga mempengaruhi stabilitas antosianin.
Antosianin memiliki manfaat kesehatan bagi tubuh dan digunakan
sebagai komponen aktif dari beberapa produk kesehatan (MacDougall et. al.
2002). Manfaat tersebut, menurut Ozela, Stringheta, and Chauca (2007),
termasuk perlindungan terhadap kerusakan hati, penurunan tekanan darah,
peningkatan kemampuan penglihatan, zat anti peradangan dan antiseptik,
menghambat mutasi akibat mutagen yang berasal dari makanan yang dimasak,
dan menekan poliferasi sel kanker. Berbagai aktivitas fisiologis antosianin dapat
memberikan dampak yang signifikan dalam mencegah kanker, diabetes, serta
penyakit kardiovaskular dan syaraf. MacDougall et. al. (2002) juga menyebutkan
antosianin memiliki manfaat anti alergi dan antitrombotic.
Vitamin C
Vitamin C (asam askorbat) merupakan salah satu vitamin larut air.
Vitamin C mempunyai efek multifungsi, tergantung pada kondisinya. Vitamin C
dapat berfungsi sebagai antioksidan, proantioksidan, pengikat logam, pereduksi
dan penangkap oksigen. Fungsi lain vitamin C yang penting adalah mendukung

12

penyerapan dan metabolisme zat besi (Bender 2003). Dalam bentuk larutan
yang mengandung logam, vitamin C bersifat sebagai proantioksidan dengan
mereduksi logam yang menjadi katalis aktif untuk oksidasi dalam tingkat keadaan
rendah. Bila tidak ada logam, vitamin C sangat efektif sebagai antioksidan pada
konsentrasi tinggi (Barus 2009). Vitamin C merupakan antioksidan kuat dalam
oksidasi LDL (Noroozi et. al. 1998) dan memegang peranan penting dalam
menurunkan oksidasi fosfolipid akibat radikal bebas. Pencegahan penyakit
jantung dengan konsumsi buah dan sayuran juga berkaitan dengan kandungan
vitamin C pada keduanya. Kandungan vitamin C setiap 100 g buah duwet adalah
14,3 mg (USDA 2010). Konsumsi 100 g buah duwet setiap hari mampu
memenuhi 16% kebutuhan vitamin C pria dewasa, 19% kebutuhan vitamin C
wanita dewasa, dan 35% kebutuhan vitamin C pada anak-anak.
Vitamin C tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia. Namun demikian,
tubuh sangat memerlukan vitamin C untuk membangun dan menjaga jaringan
yang kuat. Kebutuhan ini terutama untuk jaringan seperti jaringan tulang, sendi,
gigi, dentin, tendon, dan dinding kapiler. Sebagian besar protein yang terdapat
pada jaringan fibrosa adalah kolagen. Untuk membentuk kolagen, asam amino
prolin harus mengalami reaksi hidroksilasi menjadi hidroksiprolin. Reaksi ini
membutuhkan asam askorbat. Jika kebutuhan asam askorbat terpenuhi dengan
baik, kolagen dan jaringan yang terbentuk dari kolagen akan berkembang
dengan cepat (Nix 2005).
Kebutuhan tubuh seseorang terhadap vitamin C bervariasi dipengaruhi
beberapa hal, termasuk usia dan jenis kelamin. Faktor fisiologis seperti
kehamilan dan menyusui juga menambah kebutuhan vitamin C seseorang.
Berikut ini ditampilkan tabel yang memuat kecukupan vitamin C pada beberapa
kelompok usia pada keadaan normal.
Tabel 5 Angka kecukupan Vitamin C
Angka Kecukupan
Jenis Kelamin
Usia
Vitamin C
(mg)
0-6 bl
40
7-12 bl
50
Anak
1-3 th
40
4-9 th
45
10-12 th
50
Laki-laki
13-15 th
75
>16 th
90
10-12 th
50
Perempuan
13-15 th
65
>16 th
75
Sumber: WKNPG 2004

13

Seperti vitamin larut air lainnya, kelebihan konsumsi vitamin C akan


dibuang dari tubuh melalui urin. Namun demikian, konsumsi vitamin C dalam
sangat banyak juga tidak disarankan. Batas paling tinggi konsumsi vitamin C
adalah 2000 mg per hari (Nix 2005). Konsumsi yang melebihi batas paling tinggi
menyulitkan kerja ginjal untuk mengeluarkannya bersama urin.
Kekurangan vitamin C dalam darah dapat menyebabkan beberapa
penyakit seperti: asma, kanker, diabetes, dan penyakit hati. Selain itu vitamin C
dapat memperkecil terbentuknya penyakit katarak dan penyakit mata (Barus
2009). Nix (2005) juga menyebutkan bahwa kekurangan vitamin C dapat
menyebabkan pendarahan pada jaringan, tulang, dan sendi. Tulang menjadi
mudah retak dan penyembuhan luka pun lebih lama.
Minuman Sari Buah Duwet
Sari buah adalah cairan yang dihasilkan dari pemerasan atau
penghancuran buah segar yang telah masak. Pada prinsipnya dikenal 2 (dua)
macam sari buah, yaitu:
1.

Sari buah encer (dapat langsung diminum), yaitu cairan buah yang
diperoleh

dari

pemerasan

daging

buah,

dilanjutkan

dengan

penambahan air dan gula pasir.


2.

Sari buah pekat yaitu cairan yang dihasilkan dari pemerasan daging
buah dan dilanjutkan dengan proses pemekatan, baik dengan cara
pendidihan biasa maupun dengan cara lain seperti penguapan
dengan hampa udara, dan lain-lain. Sirup ini tidak dapat langsung
diminum, tetapi harus diencerkan dulu dengan air (1 bagian sirup
dengan 5 bagian air) (Esti 2000).

Minuman sari buah duwet dibuat tanpa proses pemekatan. Oleh karena itu,
minuman sari buah duwet tergolong ke dalam sari buah encer.
Bahan Penyusun Minuman Sari Buah Duwet
Minuman sari buah duwet dibuat dengan bahan utama buah duwet
masak berwarna ungu gelap. Selain buah duwet masak sebagai bahan utama,
bahan lain yang digunakan adalah sukrosa, garam, asam sitrat, dan natrium
benzoat.
Sukrosa. Sukrosa atau sakarosa disebut juga sebagai gula tebu. Dalam
bahan pangan, sukrosa diperoleh dari gula pasir dan gula merah. Secara
komersial, gula pasir dibuat melalui proses penyulingan dan kristalisasi
sedangkan gula merah dibuat melalui proses penyulingan yang tidak sempurna.

14

Pada pembuatan sirup, sebagian sukrosa akan terpecah menjadi glukosa dan
fruktosa (Almatsier 2001). Pembuatan minuman sari buah duwet menggunakan
sukrosa yang berasal dari gula pasir. Selain sebagai pemanis, sukrosa
digunakan karena memiliki fungsi pengawet karena menghambat pertumbuhan
bakteri dengan pemakaian minimal 3 persen (Esti 2000).
Garam. Garam dapur (NaCl) dalam keadaan murni tidak berwarna, tetapi
kadang berwarna kuning kecoklatan yang berasal dari kotoran di dalamnya.
Garam dapur dapat diperoleh dari air laut. Kandungan garam dapur dalam air
laut sekitar 3 persen (Esti 2000).
Asam sitrat. Asam sitrat (C6H8O7) merupakan asam organik lemah yang
dapat ditemukan pada daun dan buah tumbuh-tumbuhan bergenus Citrus. Asam
sitrat berbentuk kristal atau serbuk putih, mudah larut dalam air, spirtus, dan
etanol. Asam sitrat tidak berbau dan memiliki rasa asam. Jika dipanaskan, asam
sitrat meleleh kemudian terurai dan selanjutnya terbakar hingga menjadi arang.
Asam sitrat memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan
bakteri, kapang dan jamur. Dalam jumlah molar yang sama, asam sitrat memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dalam menghambat pertumbuhan bakteri, kapang,
dan jamur dibandingkan dengan asam laktat dan asam asetat. Asam sitrat dapat
digunakan pada produk susu, buah kering, jeli buah, minuman buah, dan selai.
Asam sitrat dapat juga digunakan sebagai pengontrol pH pada jus buah kaleng
dan flavor agent pada tuna kalengan. Asam sitrat ditemukan pada jaringan dalam
siklus Kreb. WHO/FAO tidak memberikan batasan asupan harian untuk asam
sitrat pada manusia (Fennema et. al. 2002).
Natrium Benzoat. Natrium benzoat merupakan bentuk asam benzoat
yang umum dipasarkan. Rumus kimia natrium benzoat adalah NaC6H5CO2.
Natrium benzoat terbentuk dari proses netralisasi asam benzoat oleh natrium
hidroksida. Bentuk fisik natrium benzoat berbentuk serbuk atau kristal putih,
halus, sedikit berbau, rasa payau, dan pada pemanasan yang tinggi (300oC)
akan meleleh lalu terbakar (Esti 2000). Natrium benzoat digunakan sebagai
bahan pengawet. FDA membatasi penggunaan bahan ini sebesar 0,1% berat
bahan makanan. Pada sari buah, penggunaan maksimal natrium benzoat adalah
1000 mg/L (Winarno 1992).
Mekanisme pengawetan oleh natrium benzoat yang diutarakan oleh
Krebs et. al. (1983) adalah dengan absorbsi asam benzoat ke dalam sel. Jika pH

15

intraseluler berubah menjadi lebih rendah dari lima, proses fermentasi aerob
pada glukosa akan menurun hingga 95%.
Pembuatan minuman sari buah duwet
Buah duwet yang digunakan pada pembuatan minuman sari buah ini
merupakan buah duwet matang dengan warna ungu gelap. Buah duwet
dipisahkan antara daging dan biji buahnya. Daging buah duwet kemudian
dihancurkan menghasilkan bubur buah duwet. Bubur buah dicampurkan dengan
9 bagian air. Sebelum ditambahkan pada bubur buah, terlebih dahulu air
dicampur dengan asam sitrat sebanyak 3 persen berat campuran air dan bubur
buah. Campuran air dan bubur buah kemudian ditambahkan gula pasir, garam,
dan natrium benzoat.
Hasil dari proses di atas menghasilkan minuman sari buah duwet. Sari
buah duwet dipasteurisasi pada suhu 72oC selama 15 detik. Tahap terakhir,
minuman sari buah dikemas dalam gelas plastik dan segel plastik.
Pasteurisasi
Penanganan produk akhir mempengaruhi masa simpan produk. Salah
satu upaya yang dilakukan untuk memperpanjang masa simpan adalah
pasteurisasi. Pasteurisasi merupakan proses pemanasan yang digunakan untuk
memperpanjang umur simpan produk pangan dengan cara mengurangi jumlah
mikroorganisme dalam produk tanpa mempengaruhi sifat-sifat fisiko kimiawi dan
organoleptiknya. Karena proses ini tidak merusak seluruh mikroorganisme,
pengaruhnya bersifat sementara. Produk yang dipasteurisasi harus disimpan
dalam suhu dingin dan hanya untuk waktu yang pendek (Makfoeld et. al. 2006).
Teknik pasteurisasi, menurut Makfoeld (2006) dapat dilakukan dengan
kombinasi suhu dan waktu yang berbeda, yaitu.
1. Proses suhu tinggi waktu pendek (high temperature short time, HTST).
Pada proses ini, produk dipanaskan pada suhu 72-80oC dalam waktu 15
detik.
2. Pasteurisasi suhu rendah yang dilakukan pada suhu 62oC dalam waktu
30 menit.
Pembuatan minuman sari buah duwet menggunakan teknik pasteurisasi
HTST, dilakukan selama 15 detik pada suhu 72-80oC. Sesuai hal yang
dikemukakan Rahmawati (2011) bahwa proses pemanasan terbaik untuk
mencegah kerusakan antosianin adalah pemanasan pada suhu tinggi dalam
jangka waktu pendek (High Temperature Short Time).

16

Uji Organoleptik
Uji inderawi telah berkembang sejak manusia memberikan penilaian
terhadap makanan, air, dan berbagai produk lain yang dapat digunakan atau
dikonsumsi. Perkembangan di dunia pemasaran mencetuskan uji inderawi yang
lebih bersifat formal. Seorang pembeli, dengan harapan sebagian kecil produk
mewakili seluruhnya, akan menguji sampel produk sebelum membelinya. Penjual
pun mulai memberikan harga produknya berdasarkan penilaian terhadap kualitas
produknya (Meilgaard, Civille, dan Carr 1999).
Literatur yang berkembang menggunakan istilah Uji Organoleptik untuk
menjelaskan penilaian objektif terhadap atribut inderawi. Walaupun pada
kenyataannya penilaian yang dilakukan seringkali subjektif. Atribut inderawi yang
dimaksud meliputi penampilan, aroma, konsistensi atau tekstur, dan rasa. Atribut
inderawi lain yang dapat disertakan adalah suara (noise) untuk mengukur
kerenyahan makanan (Meilgaard, Civille, dan Carr 1999).
Mutu produk pangan dapat sangat ditentukan oleh penilaian inderawi dari
konsumen. Uji organoleptik menggunakan indera manusia sebagai alat utama
untuk mengukur daya terima suatu produk. Uji ini dapat memberikan indikasi
kebusukan dan penurunan mutu dari produk (Nurhayati 2010).

Anda mungkin juga menyukai