Unud-789-830426399-Tesis TB, Study Casecontrol PDF
Unud-789-830426399-Tesis TB, Study Casecontrol PDF
BAB I
PENDAHULUAN
usia
produktif (15-50 tahun) yaitu berkisar 75%. Seorang pasien tuberkulosis dewasa
diperkirakan akan kehilangan rata-rata waku kerjanya 3-4 bulan sehingga berakibat
pada kehilangan pendapatan rumah tangganya yaitu sekitar 20-30%. Jika seseorang
meninggal akibat tuberkulosis, maka dia akan kehilangan pendapatannya sekitar
15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, tuberkulosis juga memberikan
dampak buruk lainnya, yaitu dikucilkan oleh masyarakat (stigma) (WHO, 2012).
kasus ke Puskesmas Karang Taliwang dan bukan merupakan hasil survei rumah
tangga (Dikes Kota Mataram, 2011).
Menurut Supari (2005), faktor fisik rumah (ventilasi, pencahayaan alami,
kepadatan hunian, dan lantai rumah) memiliki hubungan terhadap kejadian
tuberkulosis paru di Karang Jati Kecamatan Ngawi. Hal ini didukung pula oleh
hasil penelitian Jelalu (2008) tentang faktor-raktor risiko kejadian tuberkulosis
paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang menemukan bahwa ada pengaruh
tingkat ekonomi, kebiasaan merokok, kepadatan hunian, dan kelembaban rumah
terhadap kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa. Menurut Fatimah (2008)
selain faktor kesehatan lingkungan rumah (pencahayaan, ventilasi, dan
kelembaban), status gizi juga berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru.
Kondisi sosial ekonomi suatu keluarga sangat berkaitan dengan kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan asupan gizi dan sanitasi rumah. Puskesmas Karang
Taliwang sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan di Kecamatan
Cakranegara Kota Mataram, memiliki 5 (lima) Kelurahan sebagai wilayah
kerjanya dan dengan jumlah penduduk pada tahun 2012, yaitu Kelurahan Cakra
Barat dengan jumlah penduduk 6.268 jiwa, Kelurahan Cakra Utara sebesar 5.270
jiwa, Kelurahan Karang Taliwang 5.570 jiwa, Kelurahan Cilinaya 5.864 jiwa, dan
Kelurahan Sapta Marga 5.926 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk 531
jiwa/km2. Proporsi penduduk menurut jenis kelamin tiap kelurahan adalah rata-rata
sebesar 14.547 (50,4%) wanita dan 14.288 (49,6%) pria. Jumlah keluarga miskin
pada tiap Kelurahan menunjukkan jumlah yang tidak berbeda pada tiga Kelurahan
(Cakra Barat, Cilinaya, dan Sapta Marga) yaitu rata-rata 24% dari jumlah
penduduk, dan dua Kelurahan lainnya (Cakra Utara dan Karang Taliwang) 50%
dari jumlah penduduknya adalah keluarga miskin. Cakupan rumah sehat pada
wilayah Puskesmas Karang Taliwang untuk 3 tahun terakhir, belum memenuhi
target 80% rumah sehat, yaitu pada tahun 2010 sebesar 72,70%, tahun 2011
sebesar 73,43%, dan tahun 2012 menjadi 75%. Kasus gizi buruk juga ditemukan di
Puskesmas Karang Taliwang
meningkat menjadi 4,18% pada tahun 2011, kemudian menjadi 0,2% pada tahun
2012 (Puskesmas Karang Taliwang, 2011).
Cakupan rumah sehat yang belum memenuhi 80% dari target Nasional,
masalah gizi buruk, dan masih ditemukannya kasus tuberkulosis paru di Kota
Mataram khususnya Puskesmas Karang Taliwang, sebagai dasar penelitian ini
dilakukan, sehingga diketahuinya faktor risiko kejadian tuberkulosis paru di
Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram, dan dijadikan masukan untuk
tindakan penanggulangan dan pemberantasan tuberkulosis di Kota Mataram
khususnya di Puskesmas Karang Taliwang.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah faktor sanitasi rumah (ventilasi, kelembaban,
pencahayaan, dan padat hunian), sosial ekonomi, status gizi, paparan asap rokok,
penyakit penyerta, dan status imunisasi merupakan faktor risiko kejadian
tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB?
risiko
faktor
sanitasi
rumah
(ventilasi,
kelembaban,
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang akan
datang.
1.4.2 Manfaat praktis yaitu bagi instansi terkait, hasil penelitian ini dapat
memberikan masukan dalam menyusun langkah dan strategi pencegahan dan
pemberantasan penyakit tuberkulosis.
1.4.3 Untuk masyarakat, hasil penelitian ini dapat memberi pemahaman pada
masyarakat tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
tuberkulosis paru, dan mau memeriksakan diri sedini mungkin dan mendapat
pengobatan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama)
dan aerob (Depkes RI, 2002).
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100C selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap
bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara.
Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara
bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara
per jam (Widoyono, 2008)
Penularan penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun
tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien
tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh
orang lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis paru BTA
positif, bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang
lain, basil tuberkulosis tersembur kemudian terhisap ke dalam paru orang sehat,
serta dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe
atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008).
Lingkungan yang tidak sehat (kumuh) sebagai salah satu reservoir atau tempat
baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Menurut
Azwar (1990), peranan faktor lingkungan sebagai predisposing artinya berperan
dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya sebuah keluarga
yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab di daerah endemis
akan
menjadi
penderita
tuberkulosis
10% di
sekitar 50 di antaranya adalah pasien tuberkulosis BTA positif (Depkes RI, 2008).
Menurut Depkes RI (2008) riwayat alamiah pasien tuberkulosis yang tidak
diobati, setelah 5 tahun sebesar 50% akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri
dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap
menular.
2.2 Aspek Klinis dan Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis
a. Aspek klinis penyakit tuberkulosis
10
7) berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik; 8) demam meriang lebih dari satu
bulan. Sedangkan menurut strategi yang baru DOTS (directly observed treatment
shortcourse), gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus
selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah
dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak
penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis (Widoyono, 2008).
Kegiatan penemuan pasien terdiri atas penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit, dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan
langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan tuberkulosis. Penemuan
dan penyembuhan pasien tuberkulosis menular secara bermakna akan dapat
menurunkan kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis, penularan tuberkulosis di
masyarakat, dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan tuberkulosis
yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan pasien tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan promosi
aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan,
didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat,
untuk
meningkatkan
cakupan
penemuan
tersangka
pasien
11
bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,
maka diagnosis tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem
skor yang dilakukan dokter dengan parameter: kontak tuberkulosis, uji tuberkulin,
berat badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas, batuk, pembesaran kelenjar
limfe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto
thoraks (Depkes RI, 2008).
b. Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru
Penyakit tuberkulosis paru, berdasarkan pemeriksaan dahak menurut Depkes
RI (2008), dibagi dalam 2 bagian yaitu 1) tuberkulosis paru BTA positif; 2)
tuberkulosis paru BTA negatif.
Klasifikasi pasien tuberkulosis paru berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu: a) baru; b) kambuh (Relaps); c)
pengobatan setelah putus berobat (Default); d) gagal (Failure); e) pindahan
(Transfer In); f) lain-lain.
2.3 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru
Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap
orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya
penyebaran penyakit. Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau
tuan rumah (host) dan faktor lingkungan (environment) (Notoatmodjo, 2007).
Upaya pencegahan dan pemberantasan tuberkulosis secara efektif diuraikan
sebagai berikut: 1) melenyapkan sumber infeksi, dengan: a) penemuan penderita
sedini mungkin; b)
penularan/penderita
masih
dapat
menular;
c)
segera
diobati;
12
13
a. Jenis kelamin
WHO (2012) melaporkan bahwa di sebagian besar dunia, lebih banyak lakilaki daripada wanita didiagnosis tuberkulosis. Hal ini didukung dalam data yaitu
antara tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru pada laki-laki cenderung
meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan pada wanita menurun 0,7%. tuberkulosis
paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena lakilaki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya tuberkulosis paru.
Hasil penelitian mengenai risiko jenis kelamin dan infeksi tuberkulosis masih
bervariasi, seperti penelitian Feng et al (2012) yang menunjukkan bahwa di
Taiwan Cina, jenis kelamin pria merupakan faktor risiko independen untuk
terinfeksi tuberkulosis (OR, 1,96, 95% CI, 1,12-3,41) karena memiliki kebiasaan
merokok. Sedangkan penelitian Zhenhua (1996-2000) di Arkansas Amerika
Serikat menunjukkan bahwa perempuan (OR, 1,98, 95% CI, 1,25-3,13), nonHispanik kulit hitam (OR, 2,38, 95% CI , 1,42-3,97), dan HIV-positif (OR, 4,93,
95% CI, 1,95-12,46) memiliki risiko lebih tinggi untuk tuberkulosis paru daripada
laki-laki, kulit putih non-Hispanik, dan HIV-negatif.
b. Umur
Faktor umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Hasil
penelitian Rusnoto dan kawan-kawan tentang faktor-faktor yang Berhubungan
dengan kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa di BP4 Pati tahun 2006, dari
karakteristik responden yang diteliti bahwa proporsi responden yang tuberkulosis
14
paru BTA positif berusia di atas 45 tahun lebih besar (69,8 %) dari usia antara 15
45 tahun (37,7 %).
Menurut Haryani tahun 2007 bahwa tuberkulosis paru pada anak biasanya
bersumber dari orang dewasa yang menderita tuberkulosis aktif, yaitu penderita
dengan bakteri tahan asam (BTA) positif. Frekuensi anak mengalami tuberkulosis
tergantung pada banyaknya jumlah sumber penularan, kedekatan dengan sumber
penularan, lama kontak dengan sumber penularan, dan umur anak. Meskipun risiko
terbesar anak tertular tuberkulosis dari kontak serumah dengan penderita
tuberkulosis, namun tidak tertutup kemungkinan anak mendapatkan infeksi dari
sumber penular yang asalnya di luar rumah.
c. Kondisi sosial ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.
Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2012), mengukur
kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic
needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan
makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis
kemiskinan.
Faktor kemiskinan walaupun tidak berpengaruh langsung pada kejadian
tuberkulosis paru namun dari beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan
antara pendapatan yang rendah dan kejadian tuberkulosis paru (Coker, 2003;
15
Ratnasari, 2005; Mahfudin, 2006). Lebih jauh lagi Coker (2003) dan Leadefoget et
al. (2006) menunjukkan bahwa ada hubungan pengangguran dengan kejadian
tuberkulosis.
d. Kekebalan
Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu: kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis
paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan
diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin).
Tetapi bila kekebalan tubuh lemah, kuman tuberkulosis paru akan mudah
menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.
Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis menurut
Soysal et al. (2005) bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali
untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p = 0,003), dibandingkan dengan
anak-anak yang belum divaksin. Ditegaskan oleh
16
yang menderita penyakit kronis, seperti tuberkulosis paru, umumnya status gizinya
mengalami penurunan.
Menurut Badan Litbang Depkes RI (2012), proporsi tuberkulosis paru
ditemukan sedikit lebih besar pada yang mengkonsumsi buah sayur kurang dari 5
porsi/hari. Proporsi tuberkulosis paru yang besar juga ditemukan pada kondisi
status gizi kurus.
Menurut Narasimhan et al. (2012), malnutrisi (baik mikro dan makrodefisiensi) meningkatkan risiko tuberkulosis karena adanya respon kekebalan yang
terganggu. Penyakit tuberkulosis dapat menyebabkan kekurangan gizi itu sendiri
karena penurunan nafsu makan dan perubahan dalam proses metabolisme.
Hubungan antara malnutrisi dan tuberkulosis telah ditunjukkan dengan uji vaksin
BCG yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1960 dan memperkirakan
bahwa anak-anak kekurangan gizi akan berisiko dua kali untuk terkena penyakit
tuberkulosis daripada anak-anak yang gizinya baik.
Menurut Supariasa (2011) pengukuran status gizi yang sesuai dengan standar
antropometri salah satunya adalah dengan mengukur Indek Masa Tubuh (IMT).
Parameter yang harus ada dalam mengukur IMT adalah berat badan dan tinggi
badan. IMT adalah perbandingan berat badan dengan kuadrat tinggi badan
individu, dan merupakan alat yang sederhana memantau status gizi orang dewasa
khususnya yang berkaitan dengan kekurangan atau kelebihan berat badan.
Kelebihan menggunakan pengukuran status gizi dengan IMT adalah tidak
memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan. Sedangkan
17
kekurangan IMT adalah membutuhkan dua jenis alat ukur, pengukurannya lebih
lama, dan saat prakteknya sulit melakukan pengukuran pada balita.
Menurut Fatimah (2008) dan Rusnoto et al (2005), ada hubungan antara status
gizi dan kejadian tuberkulosis paru.
g. Perilaku merokok
Rokok atau tembakau sebutan lainnya merupakan faktor risiko ke empat
timbulnya semua jenis penyakit didunia, termasuk penyakit tuberkulosis paru, hal
ini didukung dari penelitian Wijaya (2012), bahwa merokok meningkatkan risiko
infeksi Mycobacterium tuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan penyebab
kematian pada penderita tuberkulosis.
Menurut Sajinadiyasa et al. (2010) dalam penelitiannya di Poliklinik Paru
Rumah Sakit Sanglah didapatkan prevalensi pasien yang terpapar rokok masih
tinggi dan sebagian besar pasien adalah bekas perokok. Risiko mendapat penyakit
paru cenderung lebih besar pada pasien yang terpapar rokok.
Menurut Priyadi (2001) bahwa adanya hubungan yang bermakna antara
kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru dan tidak ada hubungan
yang bermakna antara jumlah rokok yang dihisap, lamanya merokok serta jenis
rokok yang dihisap dengan kejadian tuberkulosis paru.
h. Penyakit Penyerta (Infeksi HIVdan DM)
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis
adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor
risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi tuberkulosis menjadi sakit
18
tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (opportunity),
seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
bisa mengakibatkan kematian.(Depkes RI, 2008)
Seseorang yang hidup dengan HIV dan juga terinfeksi tuberkulosis
akan lebih cenderung mengembangkan penyakit tuberkulosis dibandingkan mereka
yang HIV negatif. Pada tahun 1980 hingga tahun 2004, epidemic HIV
menyebabkan peningkatan jumlah kasus tuberkulosis dan kematian akibat
tuberkulosis pada banyak negara, terutama di Afrika Selatan dan AfrikaTimur.
Pada tahun 2011, 1,1juta (13%) dari 8,7 juta orang yang mengembangkan
tuberkulosis di seluruh dunia adalah HIV positif, 79% dari kasus tuberkulosis HIV
positif berada di Negara Afrika. Diperkirakan 0,4 juta kematian HIV karena
tuberkulosis pada tahun 2011, dengan angka kira-kira sama antara pria dan wanita.
WHO telah menetapkan target angka kematian akibat tuberkulosis separuh antara
orang yang HIV positif pada tahun 2015, dibandingkan dengan tahun 2004 (tahun
di mana angka kematian tuberkulosis pada orang HIV positif diperkirakan telah
mencapai puncaknya) (WHO, 2012).
Menurut Widyasari et al (2011) bahwa seseorang dengan riwayat penyakit
diabetes mellitus (DM) memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk terinfeksi
tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat penyakit
DM. Hal ini didukung oleh penelitian Nasution (2007), bahwa ada hubungan
antara kadar gula darah (KGD) puasa dengan BTA sputum.
19
20
h. Kelembaban rumah
Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban
udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan
kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan.
Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap
atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Untuk
mengatur suhu udara dan kelembaban suatu ruangan normal bagi penghuni dalam
melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan: keseimbangan penghawaan antara
volume udara yang masuk dan keluar, pencahayaan yang cukup pada ruangan
dengan perabotan tidak bergerak dan menghindari perabotan yang menutupi
sebagian besar luas lantai ruangan (Kepmen Perumahan dan Prasarana Wilayah,
2002).
Indikator kelembaban udara dalam rumah sangat erat dengan kondisi ventilasi
dan pencahayaan rumah. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu
panas akan berdampak pada cepat lelah saat bekerja dan tidak cocok untuk
istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan
pada orang orang tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan
karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembang biaknya
mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang
tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga
kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme (Kepmenkes, 1999).
21
22
23
pencahayaan
rumah
sehat
menurut
Kemenkes
No.
24
dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung yang dapat menerangi seluruh
ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
Cahaya efektif dari sinar matahari dapat diperoleh dari jam 08.00
dengan jam 16.00. Pengukuran dapat dilakukan dengan
diukur
pada
alat
sampai
luxmeter, yang
25
menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Azwar, 1996). Hal ini
didukung oleh hasil penelitian Mahfudin (2006) bahwa kondisi rumah yang
berlantai tanah memiliki hubungan bemakna dengan kejadian tuberkulosis paru
dengan OR 2,2 (1,135;4,269).
l. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin
serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan
(privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu,
pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Tetapi
tersebut
yang
paling
baik
adalah
pasangan
dari
batu
beberapa
bata
atau
bahan
tembok
(permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah
dibersihkan (Ditjen Cipta Karya, 1997).
26
BAB III
KERANGKA BERFIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berfikir
Adapun kerangka berfikir dalam penelitian ini adalah :
Faktor Lingkungan
Ventilasi
Kelembaban
Pendapatan
Pekerjaan
Pendidikan
Akses ke fasilitas kesehatan
Faktor Karakteristik
Individu
Kepadatan hunian
dalam ruangan
Kejadian
TB paru
Pencahayaan
Merokok
Umur
Jenis Kelamin
Tempat tinggal
Kekebalan
(imunisasi)
Penyakit Penyerta
Malnutrisi
Infeksi HIV
Penyakit DM
Gambar 3.1.
Kerangka teori penelitian dikembangkan dari Depkes RI (2008)
dan John Gordon (1950).
Kerangka pikir dari penelitian ini mengutip konsep faktor risiko kejadian
tuberkulosis paru (Depkes RI, 2008) dan keseimbangan faktor epidemiologi
(John Gordon, 1950), yaitu faktor host/pejamu, environment/lingkungan, dan
agent/penyakit terhadap timbulnya suatu penyakit.
Faktor pejamu dalam penelitian ini adalah karakteristik individu (umur, jeniskelamin,
tempat
tinggal,
dan
kekebalan/imunitas),
sosial
ekonomi
27
merupakan
Mycobacterium tuberculosis).
3.2 Kerangka konsep penelitian
Berdasarkan uraian kerangka pikir diatas, dan karena kemampuan serta
keterbatasan penelitian tidak semua faktor risiko di teliti, maka kerangka konsep
yang diajukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sosial Ekonomi
(Pendapatan, pekerjaan,
pendidikan, akses ke fasilitas
kesehatan)
Lingkungan
- Sanitasi rumah
(ventilasi,
kelembaban,
pencahayaan, suhu,
padat hunian)
- Perilaku merokok
Penyakit Penyerta
(Infeksi HIV, penyakit DM)
Kejadian
TB paru
Status Imunisasi (BCG)
Karakteristik Individu
(Umur, jenis kelamin, tempat
tinggal )
: variabel dependen
: variabel independen
: variabel confounding
Gambar 3.2 Kerangka konsep penelitian
28
29
BAB IV
METODE PENELITIAN
Penderita
TB paru
paru
Bukan penderita
TB paru
Pada Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa penelitian ini meneliti dan
membandingkan riwayat paparan yang dialami oleh kelompok kasus (penderita
tuberkulosis) dengan kelompok kontrol (bukan penderita tuberkulosis) di masa lalu
dan saat penelitian.
30
31
32
2x46 = 92. Jadi jumlah sampel yang diperlukan adalah 138 sampel.
4.5.2 Tehnik pemilihan sampel kasus dan kontrol
Pemilihan sampel kasus diambil dari register TB UPK Puskesmas Tahun 2012
sampai dengan Mei 2013, yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu penderita berumur
15 tahun, sampai dengan jumlah sampel kasus terpenuhi. Sampel kontrol diambil
dari register pengunjung rawat jalan Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram
tahun 2012 yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien yang berusia 15-80 tahun
dan tidak sedang menderita tuberkulosis paru serta ISPA. Karakterisitik kontrol
mirip dengan kasus menurut umur dan jenis kelamin.
4.6 Cara Pengumpulan Data Faktor Risiko
Pengumpulan data faktor risiko dilakukan dalam beberapa cara, yaitu
wawancara, pengukuran, observasi, dan test HIV, dengan hasil data yang
dikumpulkan seperti yang diuraikan sebagai berikut.
a. Wawancara
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden
dan di rumah responden, yaitu dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang
dilakukan untuk memperoleh data faktor risiko seperti variabel sanitasi rumah,
sosial ekonomi, paparan asap rokok, karakterisitik individu, penyakit penyerta, dan
status imunisasi.
b. Pengukuran
Pengumpulan data dengan pengukuran yaitu dengan menggunakan roll meter
untuk memperoleh data luas ventilasi dan luas ruangan, hygrometer untuk tingkat
33
independen
adalah
sanitasi
rumah
(ventilasi,
kelembaban,
pencahayaan, dan kepadatan hunian), status sosial ekonomi, status gizi, paparan
asap rokok, penyakit penyerta, dan status imunisasi.
Variabel dependen adalah kejadian tuberkulosis paru.
Variabel confounding adalah umur dan jenis kelamin.
34
4.7.2
Definisi Operasional
35
tidak memenuhi syarat (TMS), tingkat pencahayaan < 60 lux atau > 300 lux,
kode 0; b) memenuhi syarat (MS), tingkat pencahayaan 60-300 lux, kode 1.
5. Kepadatan hunian rumah adalah perbandingan antara luas ruangan yang
tersedia, dengan jumlah anggota keluarga yang berada dalam rumah responden.
Diukur pada tempat dimana penghuni menghabiskan sebagian waktunya
dirumah yaitu kamar tidur, ruang keluarga atau ruang istirahat keluarga, yaitu
dengan menggunakan roll meter, dengan kategori: a) tidak memenuhi syarat
(TMS) < 9 m2, kode 0; b) memenuhi syarat (MS) 9 m2, kode 1.
6. Sosial ekonomi adalah rata-rata tingkat pengeluaran perkapita responden
perorang, yang diketahui dengan melakukan wawancara langsung, dan
dibandingkan dengan standar pengeluaran perkapita dibawah garis kemiskinan
(BPS
RI,
2012).
Kategorinya
antara
lain:
a)
miskin,
pengeluaran
36
37
sebagai responden (informed consent) jika repsonden bersedia, dan jika menolak
peneliti tidak memaksa dan menghormati hak responden.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara langsung di rumah
responden, dibantu oleh petugas Sanitarian dan petugas TB Puskesmas.
Pengukuran berat badan responden dilakukan dengan cara meletakkan alat
penimbangan pada lantai yang rata, kemudian meminta responden naik pada alat
penimbangan berat badan, tanpa menggunakan alas kaki, dan berdiri tegak,
selanjutnya skala pengukuran pada penimbangan dibaca. Sedangkan untuk
pengukuran tinggi badan, responden diminta berdiri tegak tanpa alas kaki pada
dinding rumah yang rata, dengan kepala, tumit, dan pantat menmpel di dinding.
Kemudian mistar diletakkan tepat di atas kepala, pada bagian mistar yang
menempel di dinding diberi tanda dengan spidol, dan dilakukan pengukuran
dengan roll meter dari batas tanda pada dinding, sampai batas tumit responden
menempel di antara dinding dan lantai. Selanjutnya membaca skala pengukuran
pada roll meter yang menyatakan tinggi responden dalam senti meter.
4.9 Pengolahan dan Analisis Data
4.9.1 Pengolahan data
Setelah pengumpulan data, pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap
yaitu meliputi editing, coding, scoring, entry data, dan tabulasi data.
4.9.2 Analisis data
Analisis data dilakukan dengan 2 proses yaitu analisis deskriptif dan analisis
hubungan antar variabel. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui proporsi
38
39
BAB V
HASIL PENELITIAN
Kasus
%
Kontrol
%
33 (71,7)
13 (28,3)
66 (71,7)
26 (28,3)
1,000
33 (71,7)
13 (28,3)
64 (69,6)
28 (30,3)
0,792
18 (38,1)
28 (60,9)
19 (20,7)
73 (79,3)
0,021
14 (30,4)
11 (23,9)
10 (21,7)
6 (13,1)
5 (10,9)
39 (42,4)
13 (14,1)
26 (28,3)
12 (13,0)
2 (2,2)
0,095
31 (67,4)
15 (32,6)
63 (68,5)
29 (31,5)
0,897
14 (30,4)
32 (69,6)
30 (32,6)
62 (67,4)
0,796
40
Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa karakteristik kelompok kasus dan kelompok
kontrol tidak berbeda (sudah komparabel) dalam variabel-variabel umur, jenis
kelamin, tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan, tetapi ada perbedaan
bermakna (tidak komparabel) dalam hal variabel status perkawinan.
Sampel kelompok umur 15-55 lebih banyak ditemukan baik pada
kelompok kasus maupun kontrol dibandingkan dengan kelompok umur 56-80,
sedangkan untuk jenis kelamin, sampel berjenis kelamin laki-laki juga lebih
banyak
baik itu pada kasus maupun pada kontrol. Pada status perkawinan
ditemukan juga lebih banyak jumlah sampel yang sudah menikah pada kasus dan
kontrol. Distribusi sampel penderita tuberkulosis paru lebih banyak ditemukan di
Kelurahan Karang Taliwang, kemudian Kelurahan Cakra Barat, dan Cakra Utara.
Sedangkan untuk tingkat pendidikan jumlah sampel lebih banyak ditemukan pada
tingkat pendidikan yang rendah baik pada kasus maupun pada kontrol. Jumlah
sampel yang bekerja juga ditemukan lebih banyak dari pada yang tidak bekerja
pada kasus dan kontrol.
5.2 Crude Odds Ratio
Crude odds ratio (OR) atau OR kasar adalah besarnya risiko variabel bebas
terhadap variabel terikat, dan besaran nilai OR didapat dengan melakukan analisis
bivariat, sedangkan untuk mengetahui tingkat kemaknaannya dengan melakukan
uji chi-square. Hasil analisis bivariat dengan nilai crude OR masing-masing faktor
risiko seperti yang disajikan pada Tabel 5.2.
41
Tabel 5.2
Crude Odds Ratio (OR) Ventilasi, Kelembaban, Pencahayaan, Suhu,
Kepadatan Hunian, Sosial Ekonomi, Status Gizi, Perilaku Merokok, Penyakit
Penyerta (DM), dan Status Imunisasi terhadap Tuberkulosis Paru
Faktor Risiko
Ventilasi
TMS (< 10%)
MS ( 10%)
Kelembaban
TMS ( >70 %)
MS (40-70 %)
Pencahayaan
TMS (< 60 lux)
MS ( 60 lux)
Suhu
TMS ( > 30oc)
MS ( 18-30 oc)
Kepadatan Hunian
TMS (< 9 M2)
MS ( 9 M2)
Pengeluaran perkapita
Rp. 270.652.> Rp.270.652.Kepesertaan Jamkesmas
Tidak dapat
Dapat
Status Gizi
Kurang
Normal
Merokok
Ada
Tidak
Penyakit Penyerta (DM)
Ada
Tidak ada
Statusimunisasi (BCG)
Tidak imunisasi
Imunisasi
Kasus
(%)
Kontrol
(%)
Crude
OR
95%CI
38 (82,6)
8 (17,4)
53 (57,6)
39 (42,4)
3,495
1,47-8,32
0,003
38 (82,6)
8 (17,4)
51 (55,4)
41 (44,6)
3,819
1,61-9,08
0,002
39 (84,8)
7 (15,2)
53 (57,6)
39 (42,4)
4,100
1,66-10,13
0,001
26 (56,6)
20 (43,4)
34 (37,0)
68 (63,0)
2,218
1,08-4,56
0,029
25 (54,3)
21 (45,7)
50 (54,3)
42 (45,7)
1,000
0,49-2,03
1,000
23 (50,0)
23 (50,0)
28 (30,4)
64 (69,6)
2,286
1,10-4,74
0,025
10 (21,7)
36 (78,3)
31 (33,7)
61 (66,3)
1,830
0,80-4,17
0,147
29 (63,0)
17 (37,0)
24 (26,1)
68 (73,9)
4,833
2,26-10,32
0,000
29 (63,0)
17 (37,0)
62 (67,4)
30 (32,6)
0,825
0,39-1,73
0,611
5 (10,9)
41 (89,1)
1 (1,1)
91 ( 98,9)
11,098
1,26-98,02
0,008
32 (69,6)
14 (30,4)
52 (56,5)
40 (43,5)
1,758
0,83-3,73
0,139
42
Pada Tabel
43
responden juga berisiko terhadap kejadian tuberkulosis paru yaitu pada responden
dengan rata-rata pengeluaran perkapita Rp. 270.652.- akan berisiko 2 kali lebih
besar terinfeksi tuberkulosis paru daripada responden dengan rata-rata pengeluaran
perkapita > Rp. 270.652.- (OR: 2,286; 95%CI: 1,10-4,74). Responden dengan
status gizi yang kurang akan berisiko 4 kali lebih besar terinfeksi tuberkulosis paru
dibandingkan responden dengan status gizi normal (OR: 4,833; 95%CI: 2,2610,32). Responden dengan penyakit penyerta DM memiliki risiko 11 kali lebih
besar terinfeksi tuberkulosis paru daripada responden yang tidak sedang menderita
DM (OR: 11,098; 95%CI: 1,26-98,02). Untuk penyakit penyerta HIV, tidak semua
responden mau melakukan tes HIV, dimana dari 138 responden, yang mau
melakukan tes HIV adalah 38 orang (27,5%), yang terdiri dari 35 orang (76,1%)
kelompok kasus dan 3 orang (3,3%)
keseluruhan adalah 100% non reaktif (NR). Sedangkan faktor risiko kepadatan
hunian, kepesertaan Jamkesmas, paparan asap rokok, dan status imunisasi tidak
menunjukkan sebagai faktor risiko.
Nilai crude OR yang diperoleh dari hasil analisis bivariat tidaklah murni
sebagai faktor risiko, namun masih ada pengaruh dari variable confounding,
sehingga faktor risiko yang memenuhi nilai kemaknaan p < 0,25 diikutkan dalam
analisis multivariat. Variabel tersebut adalah ventilasi, kelembaban, pencahayaan,
suhu, sosial ekonomi, kepesertaan Jamkesmas, status gizi, penyakit penyerta DM,
dan status imunisasi.
44
Adjusted OR
95%CI
2,872
3,905
4,456
5,411
6,736
1,01-8,20
1,28-11,89
1,34-14,85
1,90-15,39
2,52-18,02
0,049
0,017
0,015
0,002
0,000
Pada Tabel 5.3 hasil dari analisis multivariat menunjukkan bahwa ada lima
variabel yang berperan bersama-sama sebagai faktor risiko terhadap kejadian
tuberkulosis paru, variabel tersebut dari yamg memiliki OR terbesar adalah status
gizi kurang meningkatkan risiko 6 kali lebih besar daripada status gizi normal
(OR: 6,736; 95%CI: 2,52-18,02), suhu rumah lebih dari 30oC berisiko juga
meningkatkan kejadian tuberkulosis paru 5 kali lebih besar daripada rumah dengan
suhu 18oC-30oC (OR: 5,431; 95%CI: 1,90-15,39), tingkat pencahayaan kurang dari
60 lux meningkatkan risiko 4 kali lebih besar terhadap terjadinya tuberkulosis paru
daripada tingkat pencahayaan 60 lux (OR: 4,456; 95%CI: 1,34-14,85), tingkat
kelembaban lebih dari 70% meningkatkan risiko 3 kali lebih besar daripada tingkat
kelembaban 40%-70% (OR: 3,255; 95%CI: 1,04-10,20), dan terakhir adalah luas
ventilasi rumah kurang dari 10% meningkatkan
45
tuberkulosis paru 2 kali lebih besar daripada rumah dengan ventilasi 10%
(OR: 2,872; 95%CI: 1,01-8,20). Setelah mempertimbangkan kelima variabel
diperoleh nilai R = 48,9%. Hal ini berarti kemungkinan terjadinya tuberkulosis
paru adalah 48,9% ditentukan oleh kelima faktor tersebut dan sekitar 51,1% di
tentukan oleh faktor lain.
46
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru
Perbandingan karakteristik responden untuk umur, jenis kelamin, tempat
tinggal, tingkat pendidikan, dan pekerjaan responden tidak berbeda, namun ada
perbedaan status perkawinan antara sampel kasus dan kontrol, sehingga mungkin
berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari sebelas variabel bebas yang
bermakna terhadap kejadian tuberkulosis paru, dan dengan nilai p < 0,05 adalah
variabel ventilasi rumah, kelembaban, pencahayaan, suhu rumah, sosial ekonomi,
status gizi, dan penyakit penyerta. Setelah dilakukan analisis multivariat diperoleh
variabel yang secara bersama-sama berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis
paru yaitu variabel sanitasi rumah seperti variabel ventilasi, kelembaban,
pencahayaan, dan suhu, serta status gizi. Kelima variabel tersebut menentukan
kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang sebesar 48,9%, dan
sisanya 51,1% disebabkan oleh faktor lain.
Sanitasi rumah secara umum berisiko terhadap kejadian tuberkulosis paru
dengan nilai OR: 12, 578; dan 95%CI: 3,64-43,46, namun komponen rumah yang
paling berperan berisiko terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah ventilasi
rumah, kelembaban, pencahayaan, dan suhu dalam rumah. Orang yang tinggal di
rumah yang memiliki luas ventilasi tidak memenuhi syarat berisiko 2 kali lebih
besar untuk terinfeksi tuberkulosis paru daripada orang yang tinggal pada rumah
yang
memiliki
ventilasi
memenuhi
syarat,
dengan
nilai
OR:
2,872;
47
(OR:
4,923) dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat (OR: 3,471) (Rusnoto et al.,
2005; Ruswanto, 2010). Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara
dan kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh normal manusia. Suhu
udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan
pencahayaan. Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan
terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam
ruangan (Kepmen Perumahan dan Prasarana Wilayah, 2002). Indikator
kelembaban udara dalam rumah sangat erat dengan kondisi ventilasi dan
48
pencahayaan rumah (Kepmenkes RI, 1999). Ventilasi pada rumah memiliki banyak
fungsi, selain menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar juga
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen,
karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Fungsi lainnya adalah
untuk menjaga agar ruangan rumah selalu dalam kelembaban yang optimum.
Ventilasi yang tidak mencukupi akan menyebabkan peningkatan kelembaban
ruangan karena terjadinya proses penguapan dan penyerapan cairan dari kulit.
Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan
berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis
(Notoatmodjo, 2007). Kuman tuberkulosis mampu bertahan hidup di tempat yang
gelap dan lembab, dan akan dormant di tempat kering dan dingin. Bakteri
tuberkulosis paru akan mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit, atau pada
suhu 60oC selama 30 menit. Kemampuan bakteri tuberkulosis berkembang pada
suhu 35oC-37oC, tidak tumbuh pada suhu 25oC atau lebih dari 40oC, dan bakteri
tuberkulosis akan hidup subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, karena
air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan media yang
paling baik untuk pertumbuahan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould dan
Brooker, 2003) .
Status gizi juga berperan sebagai faktor risiko kejadian tuberkulosis paru.
Status gizi kurang meningkatkan risiko 6 kali lebih besar terhadap tuberkulosis
paru dibandingkan dengan status gizi normal, dengan nilai OR = 6,736; 95%CI =
2,52-18,02. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian terdahulu yang
menunjukkan bahwa orang dengan IMT < 18,5 mempunyai risiko 11,31 kali lebih
49
besar untuk menderita tuberkulosis paru dibanding orang dengan IMT 18,5
dengan nilai OR: 11,331; dan 95%CI: 4,05<OR<31,59 (Priyadi, 2003). Penyebab
utama dari kekurangan gizi dan malnutrisi adalah karena asupan gizi yang tidak
seimbang baik dari kualitas dan kuantitas, bisa juga karena penyakit infeksi. Gizi
kurang atau buruk dapat menyebabkan menurunnya imunitas/kekebalan tubuh.
Kekebalan tubuh yang menurun akan menyebabkan seseorang mudah terkena
penyakit infeksi, seperti tuberkulosis. Demikian juga sebaliknya seseorang yang
menderita penyakit kronis, seperti tuberkulosis paru umumnya status gizinya
mengalami penurunan (Notoatmodjo, 2007).
Variabel yang tidak terbukti sebagai faktor risiko setelah didapatkan nilai
adjusted OR antara lain variabel kepadatan hunian, variabel sosial ekonomi,
adanya paparan asap rokok, dan status imunisasi.
Kepadatan hunian sesuai nilai crude OR dan adjusted OR menunjukkan bukan
faktor risiko kejadian tuberkulosis paru. Hasil ini sama dengan penelitian yang
dilakukan Priyadi (2003) yang menunjukkan bahwa kepadatan hunian tidak ada
hubungan dengan kejadian tuberkulosis paru. Rata-rata tingkat kepadatan
penduduk pada wilayah Puskesmas Karang Taliwang adalah sebesar 513 jiwa/km2
(Puskesmas Karang Taliwang, 2012), dan suatu wilayah di kategorikan sangat
padat jika kepadatan penduduk melebihi dari 401 jiwa/km2 (BPS RI, 2012).
Kepadatan hunian adalah salah satu unsur dalam sanitasi rumah. Kepadatan
penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya.
Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan
berjubel (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan
50
kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena
penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota
keluarga lain (Notoatmodjo, 2007).
Menurut hasil analisis terhadap variabel kepadatan hunian dengan tingkat
pencahayaan, kelembaban, ventilasi, dan suhu, yang menunjukkan siginifikan
merupakan faktor risiko terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah rumah dengan
tingkat padat hunian dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat dengan nilai
OR = 4,472; 95%CI = 1,34-22,50, sedangkan rumah dengan padat hunian dan suhu
yang tidak memenuhi syarat juga menunjukkan berisiko terhadap kejadian
tuberkulosis, dengan nilai OR = 2,912; 95%CI = 1,08-7,85. Hal ini sesuai dengan
sifat kuman tuberkulosis yang mampu bertahan hidup di tempat gelap dan lembab
selama berbulan-bulan, namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran
udara (penghawaan). Suhu udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh
penghawaan dan pencahayaan. Penghawaan dan pencahayaan yang memenuhi
syarat berfungsi dalam mencegah terjadinya penularan penyakit tuberkulosis paru,
dan dapat diperoleh
melakukan pertukaran udara secara teratur, dan memberi peluang sinar matahari
masuk ke dalam rumah, sehingga suhu dan kelembaban ruangan tidak berisiko
sebagai media berkembang biaknya kuman tuberkulosis paru (Soekidjo, 2007).
Tingkat kepadatan penduduk adalah salah satu indikator pemicu munculnya
masalah sosial yaitu sulitnya mendapat pekerjaan, pendidikan, dan layanan
kesehatan, yang berdampak juga pada masalah ekonomi atau kemiskinan. Makin
buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, berakibat pada makin buruk juga nilai
51
gizi dan sanitasi lingkungannya, yang menyebabkan daya tahan tubuh rendah, dan
makin rentan menjadi sakit (Entjang, 2000). Kemiskinan digambarkan dalam
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan dan
bukan makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis
kemiskinan (BPS RI, 2012). Hasil analisis bivariat menunjukkan responden dengan
pengeluaran rata-rata perkapita Rp. 270.652.- sebagai faktor risiko kejadian
tuberkulosis paru, namun setelah masuk dalam analisis multivariat, rata-rata
tingkat pengeluaran responden adalah bukan sebagai faktor risiko kejadian
tuberkulosis paru. Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh
Priyadi (2003) yang menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran tidak berhubungan
dengan kejadian tuberkulosis paru, namun beberapa penelitian menunjukkan
adanya hubungan antara pendapatan yang rendah dengan kejadian tuberkulosis
paru (Coker, 2003; Ratnasari, 2005; Mahfudin, 2006). Hasil pengumpulan data
menunjukkan proporsi yang sama pada responden yang dapat kartu Jamkesmas
yaitu sebesar 78,3% pada kasus dan 66,3% pada kontrol, dan karena populasi
sampel dari penelitian ini adalah seluruh pengunjung rawat jalan Puskesmas
Karang Taliwang, dengan jumlah penduduk yang berobat menggunakan
Jamkesmas adalah sebesar 539 jiwa (60%), sisanya adalah pasien ASKES dan
umum, sedangkan jumlah keluarga miskinnya adalah 9764 jiwa (34%) dari jumlah
pendduduk. Dengan demikian tingkat pengeluaran masih memungkinan sebagai
faktor risiko kejadian tuberkulosis paru, dan ditemukan juga ada hubungan
bermakna antara rata-rata pengeluaran perkapita penduduk di wilayah Puskesmas
52
pertumbuhan bakteri,
termasuk
kuman
tuberkulosis, dan berakibat pada rentannya tubuh pada infeksi tuberkulosis paru
(Aditama, 2003).
53
54
55
Kontrol dalam penelitian ini adalah pasien rawat jalan, yang pada saat
56
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Setelah melakukan penelitian tentang faktor risiko
terhadap kejadian
tuberkulosis paru dengan studi case control di wilayah kerja Puskesmas Karang
Taliwang Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat, maka dapat disimpulkan
bahwa variabel yang merupakan faktor risiko determinan terhadap kejadian
tuberkulosis paru adalah faktor ventilasi rumah, kelembaban, pencahayaan, suhu
rumah, dan status gizi. Kelima variabel tersebut 48,9% merupakan faktor risiko
terhadap kejadian tuberkulosis paru. Sedangkan kepadatan hunian, sosial ekonomi,
paparan asap rokok, penyakit penyerta, dan status imuniasi bukan merupakan
faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota
Mataram.
7.2 Saran
7.2.1 Untuk penentu kebijakan, disarankan: a) perlunya upaya perbaikan sosial
ekonomi masyarakat yang secara tidak langsung akan berdampak pada
kemampuan
57
kontrol di populasi agar memilih kontrol pada populasi, dan terhadap kontrol
juga dilakukan pemeriksaan dahak, untuk memastikan bahwa kontrol benarbenar tidak sedang menderita tuberkulosis.
58
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y. 2003. Rokok dan Tuberkulosis Paru. Jakarta: Bagian Pulmonologi
dan Kedokteran Respiratori FKUI.
Azwar, A. 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Jakarta : Mutiara
Sumber Widya.
Azwar, A. 1999. Pengantar Epidemiologi . Jakarta : Mutiara Sumber Widya.
Agustin, H. 2011. Tuberkulosis Pada HIV/AIDS. J Respir Indo Vol. 31: No. 3,
Juli 2011.
Abdusalam, A. 2011, Juli 27, HIV dan Tuberkulosis Derita Indonesia,
Kompasiana Tersedia di http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/27. diakses
pada tanggal 22 Feruari 2013.
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2012. Sosial dan Kependudukan.
BPS. Tersedia di http:// www. bps.go.id/ menutab.php? tabel=1&kat=1&id subyek=23. Diakses pada tanggal 29 April 2013.
Balitbangkes RI, 2012. Profil Konsumsi Sumber Antioksidan Alami, Status Gizi,
Gaya Hidup, dan Sanitasi Lingkungan pada Daerah-Daerah dengan TB Paru
Tinggi di Indonesia. Tersedia di grey.litbang.depkes.go.id. Diakses pada
tanggal 21 Februari 2013.
Bappeda Kota Mataram. 2011. Mataram Dalam Angka 2011. Mataram: Setda Kota
Mataram.
Bappeda Kota Mataram. 2012. Mataram Dalam Angka 2012. Mataram: Setda Kota
Mataram.
Coker, R.; Reader; McKee, M.; Atun, R.; Dimitrova, B.; Dodonova, E.;
Kuznetsov, S.; Drobniewski, F.
2005. Risk factors for pulmonary
tuberculosis in Russia: case-control study. BMJ. 2006:332:85. Tersedia di
http:// www. bmj. com/ content/332/7533/85. Diakses pada tanggal 4 Februari
2013.
Dahlan, A. 2001. Faktor-Faktor Risiko Lingkungan Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru BTA(+) (studi kasus kontrol) di Kota
Jambi Tahun 2000-2001 (tesis). Jakarta: UI.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Nasional
Tuberkulosis,cetakan kedua, 2008.Jakarta: Depkes RI.
Penanggulangan
59
Departeman Kesehatan
Kemenkes RI.
RI. 2008.
Profil
Kesehatan
Indonesia,
Jakarta:
60
61
62
63