Dermatofita hanya dapat hidup di stratum korneum manusia yang menyediakan
sumber nutrisi untuk jamur tersebut dan untuk miselia yang sedang tumbuh. Infeksi dermatofita meliputi 3 langkah : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel, perkembangan respon host. Perlekatan. Jamur superfisial harus menghadapi beberapa hambatan agar artrokonidia (elemen infeksiusnya) dapat melekat ke jaringan keratin. Mereka harus tahan terhadap pengaruh sinar ultraviolet, berkompetisis dengan flora normal kulit, variasi suhu dan kelembaban, dan sfingosisn yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh glandula sebasea bersifat fungistatik, khususnya yang memiliki panjang rantainya 7, 9, 11, dan 13. Adanya asam lemak ini mungkin berperan dalam penurunan tinea kapitis yang signifikan pada post-pubertas. Penetrasi. Setelah melekat, spora harus menyerbuk dan berpenetrasi ke stratum korneum dengan kecepatan yang lebih tinggi dari deskuamasi. Penetrasi selesai terlaksana dengan adanya sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi membantu penetrasi jamur dan merupakan faktor penting dalam patologi tinea pedis. Fungal mannans di dinding sel dermatofita juga dapat menurunkan tingkat proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul saat memasuki lapisan epidermis yang lebih dalam, meliputi kompetisi terhadap besi dengan unsaturated transferin dan inhibisi pertumbuhan jamur oleh progesteron. Perkembangan Respon Host. Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Deteksi imun dan kemotaksis sel-sel peradangan dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur menghasilkan faktor kemotaktik dengan berat molekul rendah seperti yang dihasilkan oleh bakteri. Yang lainnya mengaktivasi komplemen via jalur alternatif, menciptakan faktor kemotaktik yang berasal dari komplemen. Pembentukan antibodi nampaknya tidak protektif dalam infeksi dermatofita ini karena pasien dengan infeksi yang tersebar luas dapat memiliki titer antibodi yang meningkat. Sebagai kemungkinan lain, reaksi hipersensitif tipe IV memainkan peran penting dalam memerangi dermatofitosis. Penggerak imunitas seluler ini diperoleh dengan sekresi interferon gamma dari limfosit T helper 1. Pada pasien yang belum pernah terpapar dermatofita sebelumnya, infeksi primer menimbulkan peradangan minimal, dan trichophytin skin test hasilnya negatif. Infeksi tersebut menimbulkan eritem ringan berskuama (hasil dari peningkatan turnover keratinosite). Dihipotesiskan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermal dan dipresentasikan kelimfosit T yang ada di limfonodi lokal. Limfosit T mengalami proliferasi klonal dan bermigrasi ke sisi yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat tersebut, lesi mendadak meradang, barrier epidermal menjadi permeabel terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Dengan segera jamur dibersihkan dan lesi sembuh dengan spontan. Trichophytin skin test pada saat tersebut akan positif dan pembersihan infeksi yang kedua akan terjadi lebih cepat. Reaksi dermatifitid yang terjadi pada 4-5% pasien, merupakan reaksi kulit alergik, eksematous dan meradang. Tidak seperti pada lesi primer, pemeriksaan KOH dan kultur pada reaksi dermatofitid ini negatif. Reaksi ini akan membentuk papul folikuler, eritema nodusum, id vesikuler pada tangan kaki, erysipelas-like, erythema annulare centrifugum, ataupun urtikaria. Meskipun mekanisme yang tepat belum diketahui, reaksi ini berhubungan dengan
reaksi hipersensitif tipe IV terhadap trichophytin test dan mungkin melibatkan antigen jamur yang diabsorbsi secara sistemik.