Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

DIABETES MELLITUS
Untuk memenuhi tugas Tutorial KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)

Disusun Oleh :
Itamah Yulaikha

115070500111022

Ismal Hakim Al Kautsar

125070500111007

Karina Larasati

125070500111015

Afrikh Nur Azizah

125070500111023

M. Wildan Lidnillah A.

125070500111031

Siti Nurul Khotimah

125070501111006

Putri Endah R.

125070501111015

Baiq Arnil Ulum

125070506111002

Nadya Putsa D.

125070507111005

Nurul Isneini

125070507111014

Program Studi Farmasi


Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
2014

1.1 Pengertian Diabetes Melllitus


Penyakit Diabetes mellitus adalah penyakit dengan gejala kadar gula darah yang
tinggi yang disebabkan tubuh tidak lagi memiliki hormon insulin atau insulin tidak dapat
bekerja sebagaimana mestinya. Insulin disekresikan oleh sel-sel beta yang merupakan salah
satu dari empat tipe sel dalam pulau-pulau Langerhans pankreas. Sekresi insulin akan
meningkat dan menggerakkan glukosa ke dalam sel-sel otot, hati serta lemak. Insulin di
dalam sel-sel tersebut menimbulkan efek seperti menstimulasi penyimpanan glukosa dalam
hati dan otot (dalam bentuk glikogen), meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan
dalam jaringan adiposa dan mempercepat pengangkutan asam-asam amino (yang berasal dari
protein makanan) ke dalam sel (Smeltzer dan Bare, 2002).
1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
1.2.1 DM tipe I atau IDDM (Insulin Dependen Diabetes Mellitus )
DM tipe I adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan sistem imun atau
kekebalan tubuh penderita dan mengakibatkan kelainan sel pankreas sehingga terjadi reaksi
autoimun yang menyebabkan kerusakan sel beta. Penderita Diabetes tipe 1 dikenal sebagai
diabetes yang tergantung insulin. Tipe ini berkembang jika sel-sel beta pankreas
memproduksi insulin terlalu sedikit atau bahkan tidak memproduksi sama sekali. Jenis ini
biasanya muncul sebelum usia 40 tahun bahkan termasuk pada usia anak-anak (Iman, 2010).
Berdasarkan jumlah semua penderita diabetes, 5% 10%nya adalah penderita
diabetes tipe I. Diabetes jenis ini, sel-sel beta pankreas yang dalam keadaan normal
menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh suatu proses autoimun, sebagai akibatnya
penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa darah (Smeltzer dan
Bare, 2002).
1.2.2 DM tipe II atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
Diabetes tipe II yaitu diabetes yang tidak tergantung pada insulin, biasanya terjadi
sekitar 90 sampai 95% dari penderita diabetes secara keseluruhan. Diabetes tipe II terjadi
akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau akibat penurunan jumlah produksi insulin.
Keadaan normal insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel,
sebagai akibatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan
penurunan reaksi intrasel ini. Sehingga insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Upaya untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Penderita dengan toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Diabetes tipe ini pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan, jika kenaikan glukosa darah
tetap terjadi, terapi diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemik oral
(Smeltzer dan Bare, 2002).

1.2.3 Diabetes Melitus Tipe III atau MRDM (Malnutrition Related Diabetes Mellitus)
Diabetes tipe ini berkaitan dengan sindroma hiperosmoler nonkeotik, disertai dengan
keadaan yang diketahui atau dicurigai dapat menyebabkan penyakit pankreatitis, kelainan
hormonal, obat-obatan seperti glukokortikoid dan preparat yang mengandung estrogen
penyandang diabetes. Penderita tipe III bergantung kepada pankreas untuk menghasilkan
insulin (Soegondo, 1995).
1.2.4 Diabetes Mellitus Tipe IV atau diabetes pada kehamilan (Gestasional diabetes)
Diabetes tipe IV adalah diabetes yang timbul pada saat kehamilan, yang diakibatkan
oleh kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan ekstra pada kehamilan. Resiko terjadinya anomali kongenital
berkaitan langsung dengan derajat hiperglikemia pada saat diagnosis ditegakkan (Schafer,
2000).
1.2.5 Diabetes tipe lain
Tipe diabetes lain yang berhubungan dengan keadaan sindroma tertentu, yaitu
penyakit pankreas, penyakit hormonal, keadaan yang disebabkan obat maupun bahan kimia,
kelainan reseptor insulin, sindroma genetik tertentu, serosis hepatik (Soegondo, 1995).
1.3 Gejala Diabetes Mellitus Tipe II
1.3.1 Gejala Pradiabetes
Kelelahan yang berlebihan, keletihan dan mengantuk setelah makan, kesulitan
berkonsentrasi, kesukaan pada makanan yang manis, roti-rotian dan segala makanan yang
memiliki tingkat karbohidrat tinggi, mengalami kelebihan berat badan atau sulit
menurunkannya, menjadi terganggu jika tidak makan dalam waktu yang lama (Nurjanah,
2006).
1.3.2 Gejala diabetes
Sering buang air kecil (poliurea) terutama pada malam hari, sering haus (polidipsia)
dan lapar (polifagia), cepat lemas dan cepat lelah, berat badan menurun drastis, kesemutan
pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan kabur atau berubah, gairah seks menurun,
luka sukar sembuh (Sidohutomo, 2009).
1.4 Faktor-Faktor Penyebab Diabetes Mellitus Tipe II
Faktor-faktor penyebab diabetes meliputi (American Diabetes Association. 2004):
- Genetik
Faktor genetik merupakan faktor yang penting pada Diabetes Mellitus yang dapat
mempengaruhi sel beta dan mengubah kemampuannya untuk mengenali dan
menyebarkan sel rangsang sekretoris insulin. Keadaan ini meningkatkan kerentanan
individu tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat mengubah integritas dan
fungsi sel beta pankreas (Price & Wilson, 2002).
- Usia
DM tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi
setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang

mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50-92% (Medicastore, 2007; Rochman


dalam Sudoyo, 2006).
Sekitar 6% individu berusia 45-64 tahun dan 11% individu diatas usia 65 tahun
menderita DM tipe II (Ignativicius & Workman, 2006).
Goldberg dan Coon dalam Rochman (2006) menyatakan bahwa umur sangat erat
kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat
usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Proses
menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis,
fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat
jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis.
Komponen tubuh yang dapat mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang
menghasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan glukosa, sistem
saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
-

Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko diabetes meningkat lebih cepat. Para
ilmuwan dari University of Glasgow, Skotlandia mengungkap hal itu setelah mengamati
51.920 laki-laki dan 43.137 perempuan. Seluruhnya merupakan pengidap diabetes tipe II
dan umumnya memiliki indeks massa tubuh (IMT) di atas batas kegemukan atau
overweight. Laki-laki terkena diabetes pada IMT rata-rata 31,83 kg/m2 sedangkan
perempuan baru mengalaminya pada IMT 33,69 kg/m2. Perbedaan risiko ini dipengaruhi
oleh distribusi lemak tubuh. Pada laki-laki, penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar
perut sehingga memicu obesitas sentral yang lebih berisiko memicu gangguan
metabolisme (Pramudiarja, 2011).
- Berat badan
Obesitas adalah berat badan yang berlebihan minimal 20% dari BB idaman atau
indeks massa tubuh lebih dari 25Kg/m2. Soegondo (2007) menyatakan bahwa obesitas
menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa darah berkurang,
selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk di otot berkurang
jumlahnya dan kurang sensitif.
- Aktivitas fisik
Kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam
menyebabkan resistensi insulin pada DM tipe II (Soegondo, 2007).
Lebih lanjut Stevenson dan Lohman dalam Kriska (2007) menyatakan
mekanisme aktifitas fisik dapat mencegah atau menghambat perkembangan DM tipe II
yaitu:
1) Penurunan resistensi insulin; 2) peningkatan toleransi glukosa; 3) Penurunan lemak
adipose; 4) Pengurangan lemak sentral; perubahan jaringan otot (Kriska, 2007). Semakin
jarang kita melakukan aktivitas fisik maka gula yang dikonsumsi juga akan semakin
lama terpakai, akibatnya prevalensi peningkatan kadar gula dalam darah juga akan
semakin tinggi.
- Pola makan
Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan,
merupakan faktor eksternal yang dapat merubah integritas dan fungsi sel beta individu

yang rentan (Prince & Wilson, 2002). Individu yang obesitas harus melakukan diet untuk
mengurangi pemasukan kalori sampai berat badannya turun mencapai batas ideal.
Penurunan kalori yang moderat (500-1000 Kkal/hari) akan menghasilkan
penurunan berat badan yang perlahan tapi progresif (0,5-1 kg/minggu). Penurunan berat
badan 2,5-7 kg akan memperbaiki kadar glukosa darah (American Diabetes Association;
2006; Price & Wilson, 2002; Sukarji dalam Soegondo, 2007).
- Stress
Respon stress menyebabkan terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti
oleh sekresi simpatis-medular, dan bila stress menetap maka sistem hipotalamus-pituitari
akan diaktifkan dan akan mensekresi corticotropin releasingfactor yang menstimulasi
pituitari anterior memproduksi adenocorticotropic faktor (ACTH). ACTH memstimulasi
produksi kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah. (Guyton
& Hall, 1996; Smeltzer & Bare, 2008).
1.5 Lama Menderita Diabetes Mellitus Tipe II
Lama menderita Diabetes Mellitus tipe II dapat menyebabkan terjadinya komplikasi.
Penyebab yang spesifik dan patogenesis setiap jenis komplikasi masih terus diselidiki, namun
peningkatan kadar glukosa darah tampaknya berperan dalam proses terjadinya kelainan
neuropatik, komplikasi mikrovaskuler dan sebagai faktor resiko timbulnya komplikasi
makrovaskuler. Komplikasi jangka panjang tampak pada diabetes tipe I dan II (Smeltzer dan
Bare, 2002).
2.1.2 Diagnosis diabetes mellitus
Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria, polidipsia, polifagia
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Diagonosis DM dapat
dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu = 200 mg/dl dan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa = 126 mg/dl. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1. Kriteria penegakan diagnosis diabetes mellitus

2.1.3 Penatalaksanaan diabetes mellitus


Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam langkah
pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi dengan langkah

farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi
keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2.1.3.1 Terapi non farmakologi
1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein
dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:
a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus, yang
terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal dan
pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian utamanya pada
regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan memelihara berat
badan yang sehat. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi
insulin dan memperbaiki respon sel-sel terhadap stimulus glukosa.
2. Olah raga
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal.
Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan
sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa contoh olah raga yang disarankan,
antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan
memperbanyak jumlah dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan
Alkes, 2005).
2.1.3.2 Terapi farmakologi
1. Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam merespon glukosa.
Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai
A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin mempunyai
peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek kerja insulin
adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.
Macam-macam sediaan insulin:
1. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah setengah
jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan jaringan
dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan
adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya,
contoh: Monotard Human.

3. Insulin kerja sedang (medium-acting)


Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan mencampurkan
beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan
insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat
dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan sulfonilurea, langkah
selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin (Waspadji, 2010).
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes
mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu
jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
a. Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab
itu hanya efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas masih dapat berproduksi Penurunan
kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea
disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini
merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang serta
tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Sulfonilurea Generasi Pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa
kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam darah
tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi karboksitolbutamid
dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa paruh
plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-hidroksilheksamid yang
ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam
(Handoko dan Suharto, 1995).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan
metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa paruh kirakira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan dihentikan
(Handoko dan Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan efeknya
pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah pemberian. Waktu
paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).
Sulfonilurea Generasi Kedua
Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih kuat
daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif lagi, risiko
hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan sulfonilurea
yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu menstimulasi sekresi insulin pada setiap
pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di

hati, hanya 21% metabolit diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan
ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam hati
menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal (Katzung,
2002).
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling rendah dari
semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif dan dosis harian
maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5 jam dan
dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif (Katzung, 2002).
b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah
melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan produksi
gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat,
sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa
penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari
otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak
dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran
kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
menyebabkan kelelahan sel pankreas. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja di
lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar
insulin. Contoh: Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002).

DAFTAR PUSTAKA
Andrea M, Kriska dkk. 2010. Physical Avtivity, Obesity, and The Incidence of Type 2
Diabetes in High Risk Population . Vol 58 no 7 DOI:10.1093/aje/kwg 191.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 37- 49.
Gustaviani, R. 2007. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes mellitus. In : Sudoyo, A.W., B.
Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata. K., dan S. Setiati, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : FKUI.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Handoko, T., dan Suharto, B. 1995. Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral, Dalam:
Farmakologi dan Terapi. Editor: Sulistia G. Ganiswara, Setabudy Rianto, Frans D.
Suyatna, Purwantyastuti, dan Nafrialdi. Edisi 4. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 476-479.
Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku 2. Edisi 8. Jakarta: Salemba
Medika. Hal. 674.
Price, S.A., dan L.M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit
Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC.
Smeltzer, S.C, Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Volume 2.
Jakarta : EGC.
Soegodo S, Soewondo P, Subekti. 1995. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini
dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terkini. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Tjay, T.H., dan Rahardja, K. 2002. ObatObat Penting. Edisi V. Jakarta: Penerbit PT Elex
Media Komputindo. Hal. 64, 560-700.
Waspadji, S. 2010. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan
Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru Sudoyo, Bambang
Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan Siti Setiati. Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing. Hal. 1922-1933.

Anda mungkin juga menyukai