Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Appendiks
Appendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi
karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermikularis.
Penelitian Collin pada tahun 1990 di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50%
ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan
limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.
2.1.1. Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang
kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat
perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans
sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih
akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit
kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada
usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar
pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu
dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala
klinik appendicitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah
retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di
bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang
usus halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.1. Appendiks pada saluran pencernaan

Gambar 2.2 Anatomi appendiks

Gambar 3.3. Posisi Appendiks

Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan


limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu
setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah
sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu,
mengalami atropi dan menghilang pada usia 60 tahun.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh

karena itu, nyeri viseral pada

appendicitis bermula di sekitar umbilikus. Appendiks didarahi oleh arteri


apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri
appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka
appendiks mengalami ganggren.
2.1.2. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid
Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah
Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah

jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh.
2.2. Epidemiologi Appendisitis
2.2.1. Distribusi Appendisitis
a. Distribusi Appendisitis Berdasarkan Orang (Person)
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada pada 65.675 penderita appendicitis
didapat 38.143 orang (58%) laki-laki dan 27.532 orang (42%) perempuan. 14
Penelitian Khanal (2004) di Rumah Sakit Tribhuvan Nepal pada 99 penderita
appendicitis didapat 76 orang (76,8%) laki-laki dan 23 orang (23,2%) perempuan,
serta kelompok umur 15-24 tahun 41 orang (41,4%), 25-34 tahun 38 orang
(38,4%), 35-44 tahun 15 orang (15,2%), 45-54 tahun 3 orang (3,0%), 55-64 tahun
1 orang (1,0%), dan 65-74 tahun 1 orang (1,0%).
Penelitian Nwomeh (2006) di Amerika Serikat pada 788 penderita
appendicitis didapat proporsi kulit putih 81%, kulit hitam 12%, dan lainnya 7%.
Penelitian Salari (2007) di Iran pada 400 penderita appendicitis didapat 287 orang
(71,7%) laki-laki dan 113 orang (28,3%) perempuan, serta kelompok umur
5-14 tahun 58 orang (14,5%), 15-19 tahun 114 orang (28,5%), 20-24 tahun 99
orang (24,8%), 25-34 tahun 102 orang (25,5%), dan 35 tahun 27 orang (6,8%).
b. Distribusi Appendicitis Berdasarkan Tempat (Place)
Penelitian Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR appendicitis 5 per
1.000 penduduk di pedesaan, 9 per 1.000 penduduk di periurban, dan 18 per 1.000
penduduk di perkotaan.32 Penelitian Penfold et al (2008) di Amerika Serikat pada
anak umur 2-20 tahun didapat bahwa perforasi appendicitis lebih cenderung di
pedesaan (69,6%) daripada perkotaan (30,4%) (p=0,042).
c. Distribusi Appendicitis Berdasarkan Waktu (Time)
Penelitian Dombal (1994) di Amerika Serikat terjadi penurunan kasus
appendicitis dari 100 menjadi 52 per 100.000 penduduk periode tahun 1975-1991.
Penelitian Walker (1995) di Afrika Selatan terjadi peningkatan kasus appendicitis
dari 8,2 menjadi 9,5 per 100.000 penduduk periode tahun 1987-1994.
Penelitian Bisset (1997) di Skotlandia terjadi penurunan kasus appendicitis
dari 19,7 menjadi 9,6 per 10.000 penduduk periode tahun 1973-1993. Penelitian
Ballester et al (2003) di Spanyol terjadi peningkatan kasus appendicitis dari 11,7
menjadi 13,2 per 10.000 penduduk periode tahun 1998-2003.
2.2.2. Determinan Appendicitis
1. Faktor Host
a.1. Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa
muda. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada

usia 10-19 tahun dengan Age Specific Morbidity Rate (ASMR) 23,3 per 10.000
penduduk.37 Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena
jaringan limfoid mencapai puncak pada usia pubertas.
a.2. Jenis Kelamin
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific Morbidity Rate
(SSMR) pria : wanita yaitu 8,8 : 6,2 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,4 : 1.
Penelitian Gunerhan (2008) di Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 :
144,6 per 100.000 penduduk dengan rasio 1,07: 1. Kesalahan diagnosa appendisitis
15-20% terjadi pada perempuan karena munculnya gangguan yang sama dengan
appendisitis seperti pecahnya folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik,
kista ovarium, dan penyakit ginekologi lain.
a.3. Ras
Faktor ras berhubungan dengan pola makan terutama diet rendah serat dan
pencarian pengobatan. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, IR
kulit putih : kulit hitam yaitu 15,4 : 10,3 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,5 : 1.
Penelitian Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR kulit putih : kulit hitam
yaitu 2,9 : 1,7 per 1.000 penduduk dengan rasio 1,7 : 1.
Penelitian Ponsky (2004) di Children's National Medical Center Amerika
Serikat dengan desain Case Control pada anak umur 5-17 tahun didapat penderita
ruptur appendicitis 1,66 kali lebih besar pada anak keturunan Asia (Odds Ratio
[OR]: 1,66; 95% Confidence Interval [CI] : 1,24-2,23) dan 1,13 kali lebih besar
pada anak kulit hitam (OR: 1,13; 95% CI: 1,01-1,30) dibandingkan anak bukan
penderita ruptur appendicitis. Penelitian Smink (2005) di Boston dengan desain
Case Control pada anak umur 0-18 tahun didapat penderita ruptur appendicitis 1,24
kali lebih besar pada anak kulit hitam (OR: 1,24; 95% CI: 1,101,39) dan 1,19 kali
lebih besar pada anak hispanik (OR: 1,19; 95% CI: 1,101,29) dibandingkan anak
bukan penderita ruptur appendicitis.

b. Faktor Agent
Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang ada
di usus besar. Pada kultur ditemukan kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan
Eschericia coli, Splanchicus sp, Lactobacilus sp, Pseudomonas sp, dan
Bacteriodes splanicus. Bakteri penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan
aerob 4%.
c. Faktor Environment

Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola


makan dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi
tinggi lemak dan rendah serat. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
konsumsi rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis.
Kebiasaan

konsumsi

rendah

serat

mempengaruhi

defekasi

dan

fekalith

menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko appendicitis yang lebih


tinggi.
2.3. Patofisiologi Appendicitis
Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan
ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis. Obstruksi intraluminal
appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding
appendiks. Sirkulasi darah pada dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti
vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada dinding appendiks. Kondisi ini
mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus besar memasuki luka dan
menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversibel meskipun faktor
obstruksi telah dihilangkan.
Appendicitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan
muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel
radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi granular
membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh fibrinoid
supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis akut supuratif. Edema dinding
appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi ganggren, warnanya
menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding appendiks
tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan pembuluh darah
kongesti.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan
pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali
dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.
2.4. Klasifikasi Appendisitis
Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai
berikut:
2.4.1. Appendisitis Akut
a. Appendisitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan


obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri
di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada
appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia,
edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b.

Appendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan

terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.


Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi
serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada
appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri
lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tandatanda peritonitis umum.
c. Appendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda
supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks
berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut
gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
2.4.2. Appendisitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
2.4.3. Appendisitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
2.4.4. Appendisitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

2.4.5. Appendisitis Kronis


Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai
proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua
minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami
fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis
propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
2.5. Gejala Appendisitis
Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:
a. Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau di
kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini samar-samar,
ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah empat jam
biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang kemudian beralih ke kuadran
bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien
bergerak.
b. Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan
kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.
c. Demam tidak tinggi (kurang dari 380C), kekakuan otot, dan konstipasi.
d. Appendisitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat nyeri
lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa nyeri terasa
lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.
e. Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga di
daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal. Rasa nyeri
ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila posisi appendiks di
pelvic. Letak appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri.

2.6. Diagnosa Banding Appendisitis


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendicitis karena
penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan appendicitis,
diantaranya:
a.

Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului rasa
sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan

leukositosis kurang menonjol dibandingkan appendicitis akut.


b. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis.
Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan
c.

perut.
Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil

positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat.


d. Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendicitis akut.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
e.

difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Tidak ada

f.

tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.


Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang
tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai
pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok

g.

hipovolemik.
Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan appendisitis akut
dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendicitis akut

sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.


h. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendicitis jika isi gastroduodenum
i.

mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.


Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai
appendicitis retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria, dan
terjadi demam atau leukositosis.

2.7. Komplikasi
Komplikasi

terjadi

akibat

keterlambatan

penanganan

appendicitis.

Faktor

keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi
pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda
diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan.

Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
appendicitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi
pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 1015% terjadi pada anak-anak dan orang tua. 43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang
masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun
jenis komplikasi diantaranya:
2.7.1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2.7.2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam.19 Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari
38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear

(PMN). Perforasi,

baik

berupa

perforasi

bebas

maupun

mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.


2.7.3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai
rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
2.8. Pencegahan Appendicitis
2.8.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada
masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan
insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan
bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran

pencernaan. Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa,


dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan
keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada
dinding kolon.
b. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces.
Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan
makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu
yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang
lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal
sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan
flora normal kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip
masuk ke saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak
sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan pada appendiks.
2.8.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk
mencegah timbulnya komplikasi.
a. Diagnosa Appendicitis
Diagnosa yang dilakukan antara lain:
a.1. Pemeriksaan Fisik
1.

Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan

terlihat distensi perut.


2. Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing
Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada
perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
3. Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk
menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang
terletak di daerah pelvic.
4. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif

sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang
menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada
posisi terlentang. Bila appendiks yang meradang kontak dengan obturator internus
yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan
nyeri.
a.2. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein


(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada
CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.

Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.


Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith
dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-

100% dan 96-97%.


Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan

infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.


Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa

peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.


Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa

adanya kemungkinan kehamilan.


Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.

Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendisitis,


tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendisitis dengan
obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

b. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
b.1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik.
b.2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
2.8.3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan
abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan
garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan
pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

Anda mungkin juga menyukai