Anda di halaman 1dari 12

A.

Tatalaksana
1.) Penatalaksanaan ketika serangan panik terjadi
Serangan panik merupakan salah satu jenis kegawatdaruratan psikiatri.
Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pasien
serangan panik yang datang dengan keluhan nyeri dada, sesak napas,
palpitasi, atau nyaris pingsan antara lain:
1.
2.
3.
4.

Terapi oksigen
Membaringkan pasien dalam posisi fowler
Memonitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan EKG
Memeriksa ada tidaknya kelainan lain yang dialami pasien seperti
kelainan kardiopulmoner dan memastikan kalau pasien memang sedang

mengalami serangan panik.


5. Memberikan penjelasan dan motivasi pada pasien kalau semua keluhan
yang dialaminya dapat berkurang jika dia menenangkan diri.
Komponen utama dari terapi pasien serangan panik adalah
menjelaskan pada pasien kalau kondisi yang dialaminya bukanlah
disebabkan oleh kondisi medis yang serius dan bukan pula dikarenakan
oleh gangguan mental yang parah, tapi lebih diakibatkan oleh
ketidakseimbangan kimiawi dalam tubuh karena respon sistem simpatik
atau fight or flight response. Memberi keyakinan seperti ini terbukti
menjadi plasebo yang signifikan dalam memperbaiki kondisi pasien.
Dokter harus mendengarkan keluhan pasien secara efektif namun
tetap menunjukkan empati terhadap kondisi pasien. Kita harus hati-hati
dalam menggunakan frasa seperti penyakit Anda tidak serius atau
Anda akan baik-baik saja karena itu dapat di-misinterpretasi oleh
pasien sebagai ketiadaan empati.
6. Memberikan injeks lorazepam 0.5 mg IV untuk menenangkan dan
mengurangi impuls tak terkontrol pasien.
Bila keadaan pasien membaik, lorazepam injeksi dapat diganti
dengan lorazepam oral atau golongan benzodiazepin lain. Terapi ini
tidak boleh lebih dari 1 minggu untuk mencegah ketergantungan.
Benzodiazepin digunakan hanya untuk meningkatkan kepercayaan diri
pasien. Setelah serangan panik berlalu, pasien harus dijelaskan
mengenai pentingnya terapi jangka panjang seperti CBT (Cognitive-

behaviour therapy) dan penggunaan obat jenis SSRI (Serotonin


Selective Reuptake Inhibitors) (Memon, 2011).
2). Penatalaksanaan gangguan panik ketika tidak ada serangan
Mengingat gangguan panik merupakan suatu penyakit yang bersifat
kronik, sering berulang, serta dapat menyertai berbagai gangguan mental
dan somatik lain, maka penatalaksanaan yang tepat serta hemat biaya
sangat dibutuhkan oleh pasien untuk mengurangi beban ekonomi yang bisa
ikut menjadi pemicu gangguan mental yang lain lagi pada pasien (Memon
et al, 2011).
1. Cognitive-behavioral therapy (CBT)
CBT, dengan atau tanpa farmakoterapi, merupakan terapi pilihan
untuk gangguan panik, dan terapi ini harus diberikan pada semua
pasien. CBT memiliki efikasi yang lebih tinggi dalam mengatasi
gangguan panik dan biayanya lebih murah. Selain itu tingkat drop out
dan relaps juga lebih rendah jika dibandingkan dengan terapi
farmakologi. Meskipun begitu, hasil yang lebih superior dapat
dihasilkan dari kombinasi CBT dan famakoterapi (Memon et al, 2011).
Beberapa Metode CBT :
Terdapat beberapa metode CBT, beberapa di antaranya yakni
metode restrukturisasi, terapi relaksasi, terapi bernapas, dan terapi
interocepative. Inti dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam
memahami cara kerja pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah
dapat menimbulkan respon emosional yang berlebihan, seperti pada
gangguan panik.
a. Terapi restrukturisasi,

melalui

terapi

ini

pasien

dapat

merestrukturisasi isi pikirannya dengan cara mengganti semua


pikiranpikiran negatif yang dapat mengakibatkan perasaan tidak
menyenangkan yang dapat memicu serangan panik dengan
pemikiran-pemikiran positif (Saddock et al, 2007)
b. Terapi relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu
pasien mengontrol kadar kecemasan dan mencegah hypocania ketika
serangan panik terjadi. Semua jenis CBT seperti di atas dapat
dilakukan pasien dengan atau tanpa melibatkan dokter (McLean et
al, 2001).
2

c. Salah satu metode CBT seperti interoceptive therapy yang terbukti


berhasil pada 87% pasien harus dilakukan dengan bantuan dokter di
suatu lingkungan yang terkontrol. Karena terapi ini dilakukan
dengan memberikan paparan yang dapat menstimulus serangan
panik pasien dengan cara meningkatkannya sedikit demi sedikit
hingga pasien mengalami desensitasi terhadap stimulus tersebut.
Adapun beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mendesensitasi
gangguan panik antara lain:
(i) Hiperventilasi disengaja ini dapat mengakibatkan kepala
pusing, derealisasi, dan pandangan menjadi kabur
(ii) Melakukan putaran pada kursi ergonomis ini dapat
mengakibatkan rasa pusing dan disorientasi
(iii) Bernapas melalui pipet ini dapat mengakibatkan sesak napas
dan konstriksi saluran napas
(iv) Menahan napas - ini dapat menciptakan sensasi seperti
pengalaman menjelang ajal
(v) Menegangkan badan untuk menciptakan perasaan tegang dan
waspada
Semua tindakan di atas dilakukan tidak boleh lebih dari 1 menit.
Kuncinya dari teknik di atas adalah menciptakan sejumlah stimulus yang
menyerupai serangan panik. Latihan-latihan tersebut diulangi 3-5 kali sehari
hingga pasien tidak lagi merasakan kepanikan terhadap stimulus seperti itu.
Biasanya butuh waktu hingga beberapa minggu untuk dapat mencapai hal
itu (Memon, 2011).
Pemaparan terhadap stimulus tersebut dilakukan agar pasien dapat
belajar melalui pengalaman bahwa semua sensasi internal yang dia rasakan
seperti sesak napas, pusing dan pandangan yang kabur bukanlah hal yang
harus ditakuti. Ketika pasien mulai menyadari hal tersebut maka secara
otomatis, hippocampus dan amygdala, yang merupakan pusat emosi, akan
ikut mempelajarinya sebagai hal yang tidak perlu ditakuti, sehingga respon
sistem simpatik akan ikut berkurang (Memon, 2011).
2. Terapi Medikasi
Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi
gangguan panik, yakni golongan SSRI (Serotonin Selective Reuptake
3

Inhibitors), trisiklik, dan MAOI (Monoamine Oxidase Inhibitor). Sedangkan


golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap kontoversial dalam
terapi gangguan panik (Cloos et al, 2005).
a. Golongan SSRI
Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya sebaiknya
dimulai dalam rentang 2 minggu sejak serangan panik terjadi karena
SSRI dapat memicu serangan panik pada pemberian awal. Oleh karena
itu dosis SSRI dimulai dari yang terkecil lalu ditingkatkan secara
perlahan di setiap kesempatan follow up berikutnya.
SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar

serotonin

di

ekstraselular dengan cara menghambat pengambilan kembali serotonin


ke dalam sel presinaptik sehingga ada lebih banyak serotonin di celah
sinaptik yang dapat berikatan dengan reseptor sel post-sinaptik. SSRI
memiliki tingkat selektivitas yang cukup baik terhadap transporter
monoamin yang lain, seperti pada transporter noradrenaline dan
dopamine, SSRI memiliki afinitas yang lemah terhadap kedua reseptor
tersebut sehingga efek sampingnya lebih sedikit.
SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki
desain obat rasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada
suatu target biologi tertentu dan memberikan efek berdasarkan target
tersebut. Oleh karena itu SSRI digunakan secara luas di hampir semua
negara sebagai lini pertama pengobatan antipanik (Memon et al, 2011).
SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya dapat
ditingkatkan secara bertahap tergantung pada kebutuhan. Semua jenis
SSRI yang dikenal saat ini memiliki efektifitas yang baik dalam
menangani gangguan panik. Salah satunya, Fluoxetine dalam salut
memiliki masa paruh waktu yang panjang sehingga cocok digunakan
untuk pasien yang kurang patuh minum obat. Selain itu waktu paruh
yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawl yang dapat terjadi
ketika pasien lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI
(Saddock et al, 2007).
Contoh Golongan SSRI :
(i) Fluoxetine (Prozac)

Fluoxetine

secara

selektif

menghambat

reuptake

seotonin

presinaptik, dengan efek minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap
reuptake norepinephrine atau dopamine.
(ii) Paroxetine (Paxil, Paxil CR)
Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara
kerjanya berupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin
neuronal dan memiliki efek yang lemah terhadap reuptake
norepinephrine dan dopamine.
(iii) Sertraline (Zoloft)
Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang
lemah pada reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.
(iv) Fluvoxamine (Luvox, Luvox CR)
Fluoxamine merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada
reuptake serotonin neuronal serta secara signifikan tidak berikatan
pada alfa-adrenergik, histamine atau reseptor kolinergik sehingga efek
sampingnya lebih sedikit dibanding obat-obatan jenis trisiklik.
(v) Citalopram (Celexa)
Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi
selektif reuptake serotonin pada membran neuronal. Efek samping
antikolinergik obat ini lebih sedikit.
(vi) Escitalopram (Lexapro)
Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme
kerjanya mirip dengan citalopram.
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika
tubuh mulai mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping
seksual yang timbul pada fase akhir pengobatan). Biasanya penggunaan
SSRI mencapai 6-8 minggu ketika obat mulai mendekat potensi terapi yang
menyeluruh. Adapun beberapa efek samping SSRI antara lain: anhedonia,
insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi urin, perubahan pada perilaku
seksual, penurunan berat badan, mual, muntah dan yang ditakutkan adalah
efek samping keinginan bunuh diri dan meningkatkan perasaan depresi pada
awal pengobatan (Memon et al, 2011).
b. Golongan Trisiklik
Golongan trisiklik zat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan
untuk mengatasi depresi. Pada awal penemuannya, golongan trisiklik
merupakan pilihan pertama untuk terapi depresi. Meskipun masih
5

dianggap memiliki efektifitas yang tinggi, namun saat ini penggunaannya


mulai digantikan oleh golongan SSRI dan antidepresan lain yang terbaru
(Memon et al, 2011).
Golongan trisiklik beberapa memiliki kelebihan di antaranya, dosisnya
cukup 1x/hari, rendah resiko ketergantungan, dan tidak perlu ada
pantangan makanan. Namun 35% penggunanya langsung menghentikan
pengobatan karena efek samping yang tidak menyenangkan. Golongan
trisiklik harus dimulai dengan dosis kecil untuk menghindari amphetamine
like stimulation. Biasanya pengobatan dengan menggunakan trisiklik
membutuhkan waktu sekitar 8-12 minggu untuk mencapai respon terapi.
Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau
panik yang resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan
trisiklik tidak menyebabkan ketergantungan sehingga dapat digunakan
dalam jangka waktu yang lama. Hanya saja kelemahan golongan ini
adalah, efek sampingnya biasanya mendahului efek terapi sehingga banyak
pasien yang justru segera menghentikan pengobatan meskipun efek
terapinya belum tercapai (Saddock et al, 2007).
Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI
(Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitor) dengan cara memblok
transporter serotonin dan norepinephrine, sehingga terjadi peningkatan
neurotransmiter

ekstraseluler

yang

dapat

bereaksi

dalam

proses

neurotransmisi. Trisiklik sama sekali tidak bereaksi terhadap transporter


dopamin sehingga efek samping akibat peningkatan dopamin seperti
halusinasi dapat berkurang (Memon et al, 2011).
Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik
juga bereaksi sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and
5-HT2C), 5-HT6, 5-HT7, 1-adrenergic, and NMDA receptors, dan
sebagai agonists pada sigma receptors (1 and 2), yang memberikan
kontribusi pada efek terapi dan efek sampingnya. Trisiklik juga dikenal
sebagai antihistamin dan antikolinergik kuat karena dapat bereaksi dengan
reseptor histamine dan asetilkolin muskarinik.
Kebanyak trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium,
sehingga dapat bekerja seperti obat-obatan natrium channel blocker dan

calcium channel blocker. Karena itu penggunanaan berlebih trisiklik dapat


menyebabkan kardiotoksik (Memon et al, 2011).
Contoh Golongan Trisiklik :
(i) Imipramine (Tofranil, Tofranil-PM)
Imipramine menghambat reuptake norepinephrine dan serotonin
pada neuron presinaptik.
(ii) Desipramine (Norpramin)
Desipramine dapat meningkatkan konsentrasi norepinephrine pada
celah sinaptik sistem saraf pusat dengan cara menghambat reuptake di
membran presinaptik. Hal ini dapat menyebabkan efek desensitasi
pada adenyl cyclase, menurunkan regulasi reseptor beta-adrenergik,
dan regulasi reseptor serotonin.
(iii)

Clomipramine (Anafranil)
Obat ini berefek langsung pada uptake serotonin sedangkan pada
efeknya uptake norepinephrine terjadi ketika obat ini diubah menjadi
metabolitnya, desmethylclomipramine.
Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang

berkaitan dengan antimuskariniknya. Beberapa di antaranya adalah mulut


kering, hidung kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan
memori dan peningkatan temperatur tubuh. Efek samping lainnya adalah
pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit tidur, akathisia, hipersensitivitas,
hipotensi, aritmia serta kadang-kadang rhabdomiolisis (Memon et al,
2011).
c. MAO Inhibitor
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenis
antidepresi yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik. Pada
masa lalu golongan ini digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan
depresi yang sudah resisten terhadap golongan trisiklik.
MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai
agoraphobia. Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi
migraine dan penyakit parkinson karena target dari obat ini adalah MAOB yang berperan dalam timbulnya nyeri kepala dan gejala Parkinson
(Memon, 2011; Saddock, 2007).
7

Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini


rendah dan efek antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan
trisiklik. MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine
oxidase,

sehingga

ini

dapat

mencegah

pemecahan

monoamine

neurotransmitters dan meningkatkan avaibilitasnya. Terdapat 2 jenis


monoamine oxidase, MAO-A dan MAO-B. MAO-A berkaitan dengan
deaminasi

serotonin,

melatonin,

epinephrine

and

norepinephrine.

Sedangkan MAO-B mendeaminasi phenylethylamine and trace amines.


Dopamine dideaminasi oleh keduanya.
Contoh Golongan MAOI:
(i) Phenelzine (Nardil)
Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering
digunakan dalam mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan
merlalui superioritas yang jelas terhadap placebo dalam percobaan
double-blind untuk mengatas gangguan panik. Obat ini biasanya
digunakan untuk pasien yang tidak respon terhadap obat golongan
trisiklik atau obat antidepresi golongan kedua.
(ii) Tranylcypromine (Parnate)
Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena berikatan
secara ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi pemecahan
monoamin dan meningkatkan avaibilitas sinaptik.
Efek Samping MAOI yaitu ketika dikonsumsi peroral, MAOI
menghambat katabolisme amine. Sehingga ketika makanan yang
mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapat menderita krisis
hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga, maka
hal ini dapat menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah makanan yang
dibutuhkan hingga menimbulkan reaksi berbeda-beda pada tiap individu.
Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis
hipertensi pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan
tiramin menggantikan norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel,
dalam hal ini norepinefrin terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat memicu
aliran pengeluaran norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis
8

hipertensi. Teori lain menyatakan bahwa proliferasi dan akumulasi


katekolamin yang menyebabkan krisis hipertensi.
Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati,
makanan yang difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa
seperti kacang-kacangan. Makanan-makanan itu harus dihindarkan dari
pengguna MAOI (Memon et al, 2011).
d. Golongan Benzodiazepin
Golongan benzodiazepin merupakan salah satu obat piliahan yang
digunakan untuk mengatasi serangan panik akut. Benzodiazepin bekerja
dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter GABA (gamma-butyric
acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga dapat
menimbulkan kantuk, menekan kecemasan, anti kejang, melemaskan otot
dan dapat mengakibatkan amnesia.
Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate
acting dan long acting. Benzodiazepin short dan intermediate acting
digunakan untuk mengatasi insomnia sedangkan yang golongan long
acting digunakan untuk mengatasi gangguan panik (Saddock et al, 2007).
Contoh Golongan Benzodiazepin:
(i) Long acting : Clonazepam (Klonopin), Diazepam (Valium, Diastat,
Diazepam Intensol)
Clonazepam menfasilitasi

inhibisi

GABA

dan

transmiter

inhibitorik lainnya. Selain itu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif
panjang sekitar 36 jam.
Diazepam merupakan salah satu jenis benzodiazepin yang
potensinya rendah. Namun dapat digunakan untuk mengatasi serangan
panik. Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin
biasanya berkaitan dengan efek sedasi dan relaksan ototnya. Beberapa
di antaranya adalah mengantuk, pusing, dan penurunan konsentrasi dan
kewaspadaan. Kurangnya koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan
kecelakaan, terutama pada orang tua. Akibat lain dari benzodiazepin
adalah penurunan kemampuan menyetir sehingga dapat berakibat pada
tingginya angka kecelakaan.

Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan pusat


pernapasan terutama pada penggunaan intravena. Beberapa efek
samping lain yang dapat timbul pada penggunaan benzodiazepin adalah
mual, muntah, perubahan selera makan, pandangan kabur, bingung,
euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk. Beberapa kasus juga
menunjukkan bahwa benzodiazepin bersifat liver toksik (Memon et al,
2011).
(ii) Intermediate acting : Lorazepam (Ativan)
Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki efek
onset singkat dan paruh waktunya tergolong intermediate. Dengan
meningkatkan aksi GABA, yang merupakan inhibitor utama di otak,
lorazepam dapat menekan semua kerja SSP, termasuk sistem limbik dan
formasi retikuler.
(iii) Short acting : Alprazolam (Xanax, Xanax XR)
Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk manajemen serangan
panik. Obat ini dapat terikat pada reseptor-reseptor pada beberapa
bagian otak, termasuk sistem limbik dan RES. Meskipun begitu banyak
ahli yang tidak menyarankan penggunaan alprazolam dalam waktu lama
karena tingkat ketergantungannya sangat tinggi.
Kemasan Alprazolam adalah tablet 0.5 mg x 10 x10. Dosis
Alprazolam untuk dewasa adalah 0.25-0.5 mg 3x/hari, dapat
ditingkatkan dengan interval 3-4 hari sampai dengan maksimal 4
mg/hari dalam dosis terbagi. Sedangkan untuk lansia, pasien lemah fisik
dan disfungsi hati berat dosisnya adalah 0.25 mg 2-3x/hari. Efek
Alprazolam ditingkatkan oleh depresan SS, alkohol, barbiturat.
Eksresinya dihambat oleh simetidin.
e. Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors
Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini
adalah mencegah reuptake inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga
dapat mengatasi kepanikan. Contohnya adalah Venlafaxine (Effexor,
Effexor XR). Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat inhibitor
reuptake serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat ini adalah
menurunkan regulasi reseptor beta (Memon, 2011).
10

3. Interaksi Obat
Adapun beberapa interaksi obat yang harus diperhatikan pada
penggunaan terapi medikasi gangguan panik antara lain:
a. Kombinasi antara trisiklik (Imipramine/Clomipramine)

dengan

Haloperidol (Phenothiazine) dapat mengurangi kecepatan ekskresi dari


trisiklik sehingga kadar dalam plasma meningkat, sebagai akibatnya
dapat terjadi potensiasi efek samping antikolinergik seperti ileus
paralitik, disuria, gangguan absorbsi dan lain-lain.
b. Kombinasi antara trisiklik/SSRI dengan CNS Depressant (alkohol,
opioid, benzodiazepine, dll) menyebabkan potensiasi efek sedasi dan
penelanan terhadap pusat pernapasan bahkan dapat terjadi gagal napas.
c. Kombinasi trisklik/SSRI dengan obat simpatomimetik (derivat
amfetamin) dapat membahayakan kondisi jantung.
d. Kombinasi trisiklik/SSRI dengan MAOI tidak boleh diberikan
bersamaan karena dapat terjadi Serotonin Malignant Syndrome.
Perubahan penggunaan trisiklik/SSRI menjadi MAOI atau sebaliknya
harus menunggu waktu sekitar 2-4 minggu untuk wash out period.
e. Kombinasi trisiklik dengan SSRI, dapat meningkatkan toksisitas obat
trisiklik (Maslim, 2007).
4. Pemilihan Obat dan Pengaturan Dosis
a. Semua

jenis

obat

anti-panik

hampir

sama

efektifnya

dalam

menanggulangi sindrom panik pada taraf sedang dan pada stadium awal
dari gangguan panik.
b. Bila pasien peka terhadap efek samping obat, maka golongan obat yang
dianjurkan adalah SSRI yang lebih sedikit efek sampingnya.
c. Alprazolam menjadi pilihan untuk menangani pasien yang terkena
serangan panik akut.
d. Obat anti-panik harus dimulai dengan dosis kecil lalu ditingkatkan
secara perlahan hingga tercapai dosis maintenance. Dan harus
diingatkan pada pasien bahwa efek obat anti-panik bekerja dalam
jangka waktu 2-4 minggu sehingga meyakinkan pasien agar tetap patuh
minum obat sangatlah penting.
e. Lamanya pemberian obat anti-panik bisa mencapai 6-12 bulan dan bila
sudah tidak terdapat lagi gejala, dosisnya dapat diturunkan selama 3
bulan hingga pasien tidak tergantung lagi pada obat. Namun apabila
terdapat lagi serangan, pasien harus memulai lagi pengobatan dari awal.
11

f. Semua pasien yang baru saja memakan obat anti-panik tidak dianjurkan
membawa kendaraan atau menjalankan mesin karena pasien dapat
tertidur saat melakukan aktivitas.
g. Semua ibu hamil tidak dianjurkan memakan obat anti-panik.
h. Pada manula dan yang menderita gangguan hati serta ginjal, maka dosis
obat anti-panik harus diberikan seminimal mungkin (Maslim, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
Cloos JM. Treatment of panic disorder. Updated on January 2005. [Cited on June
2011]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1
Maslim R Obat anti-panik. Dalam: Penggunaan Klinis Obat Psikotropika. Edisi
Ketiga. Jakarta: PT Nuh Jaya. Hal.52-56
McLean PD & Woody SR. 2001. Panik diorder and agoraphobia. In: Anxiety
Disorders in Adults. Vancouver: Oxford University Press.
Memon MA. Panic disorder. Updated on March 2011. [Cited on June 2011].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/287913-overview

Saddock BJ & Saddock VA. 2007. Panic disorder and agoraphobia. In: Kaplan
&

Sadock's

Synopsis

of

Psychiatry:

Behavioral

Sciences/Clinical

Psychiatry, 10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Sec.16.

12

Anda mungkin juga menyukai