PERSPEKTIF MARITIM
Oleh: Dr. Susilo Bambang Yudhoyono
A whole history of power or knowledge remains to be written of spaces,
which would at same time be a history of powers,
from the great strategies of the geopolitics to the little tactics of the habitats
(Foucault, 1972)
1.
Pendahuluan
Kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah yang didominasi oleh perairan
daripada daratan. Situasi demikian berimplikasi pada lebih dominannya isu-isu politik
dan keamanan yang terkait dengan domain maritim daripada isu-isu lainnya. Dari
sembilan choke points strategis dunia, empat di antaranya berada di kawasan ini.
Dengan demikian, bukan suatu hal yang berlebihan apabila menyimpulkan bahwa
geopolitik kawasan akan terkait pula dengan domain maritim.
Mendiskusikan geopolitik kawasan Asia Tenggara tidak bisa mengabaikan
Indonesia, sebab dua pertiga kawasan Asia Tenggara adalah wilayah kedaulatan
Indonesia. Selain itu, dua pertiga perairan Asia Tenggara merupakan perairan yurisdiksi
Indonesia. Bertolak dari keadaan tersebut, Indonesia dahulu, kini dan ke depan akan
selalu memainkan peran sentral dan strategis dalam stabilitas keamanan kawasan.
Karena strategisnya domain maritim dalam geopolitik kawasan, Indonesia
hendaknya senantiasa selalu mengikuti dinamika yang terjadi pada domain tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini akan mengupas tentang geopolitik kawasan Asia
Tenggara dari perspektif maritim dan implikasinya terhadap Indonesia.
2.
Geopolitik Kontemporer
Dalam pemikiran geopolitik, tercipta interaksi antara ruang dengan manusia yang
melahirkan kesadaran ruang (space consciousness). Kesadaran itu baik langsung atau
tidak langsung terkait dengan kepentingan keamanan dan kesejahteraan bagi manusia.
Dalam konteks negara modern, konsep kesadaran ruang diwujudkan dengan adanya
1
klaim kedaulatan, yang dibatasi oleh batas negara (boundary) dengan seperangkat
hukum dan aparat untuk menjamin keamanan dan kedaulatan.
Mengacu pada teori geopolitik, geopolitik mengandung empat dasar utama
yaitu konsepsi ruang, konsepsi frontier, konsepsi kekuatan politik dan konsepsi
keamanan bangsa.1 Ruang merupakan inti dari geopolitik, sehingga senantiasa ada
upaya untuk memperluas wilayah pengaruh tiap-tiap bangsa yang jauh melampaui
wilayah kedaulatannya.
Menurut Friederich Ratzel, seorang ahli geopolitik Jerman, negara sebagai suatu
kesatuan antara rakyat dengan tanahnya, adalah organisasi yang tumbuh sebagaimana
organisasi lainnya, perbatasan sifatnya dinamis dan berubah-ubah, sebagai cermin
sifat-sifat ekspansionis negara-negara yang agresif. 2 Oleh karena itu, lanjut Ratzel,
apabila terjadi kemunduran dalam konsepsi ruang, maka dapat mengakibatkan
runtuhnya suatu bangsa dan negara. Teori Ratzel ini dikenal sebagai teori lebensraum
(ruang hidup).
Teori lebensraum selanjutnya dikembangkan oleh Karl Haushofer. Menurut
Haushofer, ruang (raum) merupakan wadah dinamika politik dan militer. Penguasaan
ruang atau ruang pengaruh (sphere of influence), menurut Haushofer, merupakan satu
fenomena spasial itu sendiri, di mana jika ruang pengaruh diperluas, maka akan ada
yang diuntungkan dan ada yang dirugikan.3
Meskipun di masa kini teori lebensraum tidak sepenuhnya valid bila dikaitkan
dengan tatanan internasional pasca Perang Dingin, namun tidak berarti teori itu tidak
berlaku lagi. Tataran internasional pasca Perang Dingin tidak bebas dari perebutan
ruang pengaruh oleh masing-masing negara, karena kini perebutan ruang pengaruh
tetap terjadi meskipun caranya berbeda dengan masa sebelumnya, misalnya melalui
globalisasi.
Di era globalisasi dengan ekonomi pasar bebas dan teknologi informasi sebagai
pilarnya, batas-batas non fisik antar negara bangsa menjadi kabur. Namun demikian
era globalisasi tidak dapat menghilangkan sepenuhnya nasionalisme dan patriotisme
setiap bangsa, yang dapat dilihat dari adanya kecenderungan proteksi pasar oleh
1
. RM Sunardi, Geopolitik dan Geostrategi Indonesia: Pembinaan Ketahanan Nasional, Jakarta: 2004, PT
Kuarternita Adidharma hal.33
2
. Ibid, hal.34
3
, Ibid
bersama.
3.
4
. Sam J. Tangredi, Globalization and Maritime Power, Washington: National Defense University, 2000
Malaysia
memiliki
hubungan
baik
dengan
sejumlah
negara
tetangganya, akan tetapi di bawah permukaan masih sulit untuk menghilangkan sama
sekali rasa curiga terhadap beberapa tetangganya tersebut. Tidak dapat dipungkiri
belum kokohnya rasa saling percaya negeri itu terhadap Indonesia dan Singapura yang
dinilai merintangi aspirasi geopolitik Malaysia untuk menjadi pemain kawasan.
Kecurigaan yang ada tidak lepas dari sengketa batas maritim Malaysia dengan
Indonesia dan Singapura pada beberapa segmen perairan yang sampai saat ini belum
mencapai kata sepakat pada ranah diplomasi.
Tantangan terhadap geopolitik Malaysia muncul pula dengan kebangkitan Cina,
khususnya klaim Cina terhadap Laut Cina Selatan yang mencakup beberapa pulau di
gugusan Kepulauan Spratly yang diklaim dan diduduki oleh Malaysia. Dengan
mengamati kecenderungan terakhir dalam sengketa Laut Cina Selatan, tindakan4
tindakan Cina untuk menegaskan klaimnya akan dipandang sebagai ancaman terhadap
aspirasi geopolitik Malaysia.
Singapura
merupakan
sebuah
eksistensinya
sangat
tergantung pada perannya sebagai hub bagi kawasan Asia Tenggara maupun Asia
Pasifik. Secara psikologis, Singapura sejak masa berdirinya sebagai negara merdeka
dan berdaulat merasa berada pada posisi geopolitik yang tidak menguntungkan
baginya karena berada di tengah dua negara besar kawasan yang beretnis Melayu dan
mayoritas menganut agama Islam. Oleh karena itu, negara itu senantiasa merasa
dalam
posisi
terancam
sehingga
menempuh
berbagai
kebijakan
untuk
meliputi Selat Malaka dan Laut Cina Selatan sebagai jalur pendekat Singapura dari
kawasan Samudera India dan kawasan Asia Timur. Oleh karena itu, tantangan
geopolitik Singapura memiliki keterkaitan erat dengan domain maritim yang diwarnai
oleh isu keamanan maritim.
Thailand merupakan negara yang cukup penting di kawasan Asia Tenggara.
Ditinjau dari aspek geopolitik, kepentingan geopolitik Thailand lebih banyak terkait
dengan stabilitas di daratan Asia Tenggara daripada pada domain maritim kawasan.
Sejak dahulu fokus Thailand adalah stabilitas negara-negara di sekitarnya, seperti
Malaysia, Kamboja, Myanmar dan Vietnam. Terjadinya instabilitas di negara-negara
sekitar Thailand akan memberikan efek negatif terhadap stabilitas Thailand itu sendiri
sebagaimana terlihat dalam perang saudara Kamboja pada 1979-1989 dan konflik
Kamboja-Thailand.
Meskipun Thailand tercatat sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara yang
mempunyai kapal induk helikopter, akan tetapi kehadiran kapal induk tersebut tidak
berpengaruh besar terhadap perluasan peran Thailand pada domain maritim di
kawasan. Kepentingan geopolitik Thailand yang terkait dengan domain maritim lebih
banyak pada wilayah perairan teritorialnya saja. Secara umum, Thailand belum tercatat
sebagai negara yang memiliki kepentingan geopolitik yang besar pada domain maritim.
Vietnam secara geopolitik berbatasan dengan Cina yang merupakan musuh
bebuyutannya. Cina pada masa dinasti Han pernah menjajah Vietnam selama hampir
seribu tahun sehingga memunculkan dendam sejarah yang berkepanjangan. Dalam
konteks kekinian, ancaman geopolitik terhadap Vietnam dipandang berasal dari Cina.
Hal ini bukan saja menyangkut perbatasan darat, tetapi juga mencakup domain maritim.
Seperti diketahui, Vietnam merupakan satu dari enam negara yang memiliki
klaim di Laut Cina Selatan. Negara ini mengklaim Kepulauan Paracel dan Kepulauan
Spratly sebagai wilayahnya. Bagi Vietnam, kedua kepulauan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kepentingan geopolitiknya. Dalam sengketa itu, Vietnam kembali
berhadapan dengan Cina yang juga mempunyai klaim di sana. Perkembangan terakhir,
interaksi antara Vietnam dan Cina dalam sengketa Laut Cina Selatan menghangat
seiring aksi kapal nelayan Cina yang dinilai mengganggu aktivitas eksplorasi minyak
Vietnam di perairan tersebut, memperkuat alasan Vietnam membeli enam kapal selam
kelas Kilo dari Rusia.
Filipina yang merupakan satu dari dua negara kepulauan di Asia Tenggara
memiliki kepentingan geopolitik yang terkait dengan domain maritim. Sebagaimana
Vietnam, Filipina merupakan satu dari enam negara yang mengklaim wilayah di Laut
Cina Selatan khususnya Kepulauan Spratly. Klaim Filipina atas Kepulauan Spratly
mendapat tantangan di lapangan dari Cina, sehingga memunculkan sikap keras dari
pemerintah Filipina pada jalur diplomatik.
Walaupun Filipina merupakan negara pihak dalam sengketa Laut Cina Selatan,
akan tetapi perhatian negara itu terhadap kepentingan geopolitiknya di sana belum
maksimal. Hal demikian disebabkan oleh karena pemerintah Filipina masih harus
berkutat pada isu separatisme Moro di Mindanao yang telah berlangsung sejak 1970an. Selain itu, pemerintah Filipina menghadapi pula ancaman terorisme dari kelompok
Abu Sayyaf yang mempunyai hubungan dengan kelompok Jemaah Islamiyah dan Al
Qaidah.
Amerika Serikat meskipun bukan negara kawasan Asia Tenggara tetapi
mempunyai pula kepentingan geopolitik di kawasan ini. Kepentingan geopolitik Amerika
Serikat
adalah
menciptakan
perdamaian
stabilitas
di
kawasan
ini
sekaligus
Mengacu pada Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030,
kepentingan paling strategis Australia adalah mempertahankan negeri itu dari serangan
bersenjata langsung. Untuk mencapai kepentingan itu, Australia memiliki kepentingan
mendasar untuk mengendalikan jalur pendekat udara dan laut menuju wilayahnya.
Terkait dengan kepentingan strategis Australia, maka kebijakan pertahanan yang
diambil berpegang pada prinsip self-reliance yang apabila diperlukan akan berbagi
beban dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, menjaga aliansi dan hubungan
pertahanan internasional untuk memperkuat keamanan Australia merupakan bagian
dari kebijakan pertahanan.
Persepsi ancaman Australia sejak era Perang Dunia Kedua menyatakan bahwa
ancaman berasal dari utara. Berangkat dari persepsi itu, Australia senantiasa
mengembangkan kekuatan Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang dirancang untuk
mampu diproyeksikan guna menghadapi ancaman ketika masih berada di luar
wilayahnya. Pendekatan demikian telah berlangsung lama dan akan terus demikian ke
depan, siapa pun yang memegang tampuk pemerintahan di Australia. Dengan kata lain,
wilayah di utara Australia merupakan bagian dari mandala pertahanannya di mana
Australia akan berupaya secara maksimal untuk mencegah agar ancaman itu tidak
sampai masuk ke wilayah teritorialnya.
4.
Persepsi Ancaman
Kondisi lingkungan strategis kawasan saat ini penuh dengan ancaman dan
tantangan keamanan yang bersumber dari aktor negara maupun non negara. Bentuk
ancaman dan tantangannya
dikelompokkan dalam rupa simetris dan asimetris. Ancaman dan tantangan simetris
secara umum dapat berasal dari aktor negara, sedangkan asimetris bisa muncul dari
aktor non negara. Namun perlu menjadi catatan pula bahwa ancaman asimetris tidak
dapat dibatasi pada bentuk organisasi aktornya, tetapi juga bagaimana pula kekuatan,
kesenjataan dan moral.
Ancaman dan tantangan simetris muncul dari kasus seperti sengketa perbatasan
antar negara yang belum terselesaikan, perlombaan senjata Angkatan Laut (naval arms
race) dan masalah kebebasan penggunaan laut. Saat ini dapat dilihat dengan mudah
10
Asia Tenggara dan sekitarnya di antaranya membangun kekuatan militer sebagai salah
satu instrumen kekuatan nasionalnya. Dengan memperhatikan karakteristik kawasan,
pembangunan kekuatan maritim dalam hal ini Angkatan Laut dalam dua dekade terakhir
meningkat cukup pesat. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut yang dilaksanakan
bukan sekedar untuk merespon ancaman asimetris, tetapi mencakup pula ancaman
simetris yang tidak dapat diabaikan di kawasan ini seiring makin meningkatnya
persaingan antar negara untuk memperebutkan wilayah dan memperluas pengaruh
pada domain maritim.
Malaysia memperkuat kekuatan Angkatan Lautnya melalui pengadaan sejumlah
alutsista dari negara-negara lain, baik kapal permukaan maupun kapal selam. Selain
pengadaan kapal perang, Malaysia juga membangun sejumlah pangkalan baru Tentara
Laut Diraja Malaysia (TLDM), seperti di Lumut dan Sabah. Untuk memperkuat
pertahanan maritim di sekitar Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Laut Cina Selatan, Malaysia
mengembangkan pangkalan Angkatan Laut di Teluk Sepanggar, Sabah, yang menjadi
pangkalan induk kapal selam.
12
konflik
meyakinkan
Malaysia
untuk
memperkuat kekuatan laut (dan udaranya) di sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi.
Adapun di Laut Cina Selatan, Malaysia bersikap teguh atas klaimnya, ditunjang pula
oleh kebijakan pembangunan kekuatan laut Malaysia, seperti pengadaan kapal perang
yang mampu ocean going dan pembelian lima kapal selam kelas Scorpene dari Prancis
yang saat ini telah tiba dua buah.
Singapura menganut strategi pertahanan yang dikenal sebagai porcupine
strategy sebagai pengembangan dari poisonous shrimp strategy. Porcupine strategy
beranggapan bahwa Singapura tidak akan mampu menghancurkan secara total negara
agresor, namun pihak tersebut harus membayar dengan biaya tinggi akibat tindakan
agresinya terhadap Singapura. Pembangunan kekuatan pertahanan Singapura,
termasuk pembangunan kekuatan Angkatan Laut berangkat dari strategis tersebut.
Terkait strategi pertahanan tersebut, Angkatan Laut Singapura dibangun untuk
memiliki keunggulan kualitas dibandingkan Angkatan Laut lainnya di kawasan Asia
Tenggara. Meskipun wilayah perairan mereka sangat kecil, tetapi jumlah kapal perang
yang dimiliki jauh melebihi kebutuhan untuk mempertahankan negara itu. Kekuatan
kombatan Angkatan Laut Singapura berpusat pada enam fregat kelas Formidable dua
13
kapal selam kelas Vastergotland dan empat kapal selam kelas Sjoormen. Kekuatan
tersebut dirancang untuk mampu mengamankan SLOC Singapura yang bukan saja di
Selat Malaka, tetapi mencakup pula Laut Cina Selatan, Teluk Persia dan Laut Merah.
Karena itu pula, Singapura aktif dalam koalisi internasional untuk mengamankan
perairan di Somalia dan sekitarnya dari ancaman bajak laut. Angkatan Laut Singapura
terlibat dalam Combined Task Force-150 (CTF-150) dan CTF-151 di bawah NATO.
Partisipasi aktif tersebut merupakan implementasi dari kebijakan nasional Singapura
yang memberikan perhatian khusus pada keamanan SLOC-nya.
Thailand tidak mempunyai kepentingan yang besar pada domain maritim di
kawasan, sehingga pembangunan kekuatan Angkatan Lautnya tidak terlalu menonjol.
Eksistensi kapal induknya tidak dieksplorasi secara optimal yang dapat dilihat dari tidak
adanya penyebaran kapal tersebut ke luar wilayah yurisdiksinya. Dalam perkembangan
terakhir, Thailand menunjukkan minatnya untuk membeli dua eks kapal selam U-206
eks Angkatan Laut Jerman. Meskipun demikian, Thailand setidaknya hingga satu
dekade ke depan tidak akan membangun kekuatan laut secara progresif dibandingkan
beberapa negara lain di kawasan.
Adapun Vietnam yang kini semakin tersentak oleh klaim Cina atas Laut Cina
Selatan tengah memperkuat Angkatan Lautnya. Fokus pembangunan kekuatannya
adalah lewat pengadaan enam kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Pengadaan kapal
selam tersebut secara terbuka diakui untuk mengamankan kepentingan nasionalnya di
Laut Cina Selatan di mana Vietnam adalah salah satu negara pengklaim. Langkah
Vietnam untuk memperkuat Angkatan Lautnya merupakan suatu terobosan baru karena
selama ini negara itu dikenal mengedepankan kekuatan daratnya.
Filipina merupakan negara Asia Tenggara dengan kekuatan Angkatan Laut
terlemah. Upaya modernisasi kekuatan Angkatan Laut senantiasa mengalami
hambatan karena keterbatasan anggaran. Konflik internal di Mindanao membuat
sebagian besar anggaran pertahanan Filipina diarahkan pada upaya untuk mengatasi
pemberontakan dan terorisme di wilayah selatan negara itu. Dalam perkembangan
terakhir, Angkatan Laut Filipina membeli eks USCG Hammilton dari US Coast Guard
yang akan menjadi capital ship-nya menggantikan BRP Rajah Humabon yang
merupakan kapal destroyer escort eks Perang Dunia Kedua.
14
khususnya
kekuatan
Angkatan
Laut
berada
dalam
bingkai
untuk
konstelasi
perimbangan
kekuatan
kawasan
apabila
Cina
mampu
16
Landing
Helicopter Dock (LHD) bertonase 27.000 ton dari galangan Navantia, Spanyol, di
samping sejumlah kapal baru yang belum ditentukan jumlahnya, dengan tonase
10.000-15.000 ton, mempunyai landasan helikopter dan mampu menurunkan
kendaraan dan kargo lainnya tanpa membutuhkan dukungan infrastruktur pelabuhan.
6.
17
akan
18
19
betapa SLOC yang harus dilindungi bukan saja yang berada di wilayah perairan
yurisdiksi saja, tetapi juga di luar wilayah yurisdiksi.
7.
Penutup
Geopolitik kawasan Asia Tenggara akan selalu dipengaruhi oleh dinamika yang
terjadi pada domain maritim, sebab dua pertiga kawasan ini berupa perairan.
Perkembangan lingkungan strategis menunjukkan bahwa dinamika geopolitik kawasan
diwarnai oleh isu-isu simetris dan asimetris sekaligus. Persaingan antar negara dalam
perebutan wilayah maupun pengaruh pada domain maritim berjalan bersamaan dengan
semakin terintegrasinya ekonomi kawasan melalui berbagai moda kerjasama.
Pembangunan kekuatan Angkatan Laut terus berlangsung di kawasan meskipun belum
dapat dikategorikan sebagai perlombaan senjata.
Dalam kondisi demikian, Indonesia akan terkena implikasi seiring posisi strategis
negeri ini dalam percaturan politik, ekonomi dan keamanan kawasan. Implikasi yang
tercipta bisa positif, tetapi dapat pula negatif. Untuk merespon implikasi itu, Indonesia
mesti memiliki kekuatan TNI Angkatan Laut yang mampu mengamankan kepentingan
nasional yang terkait dengan domain maritim. Dengan memiliki kekuatan TNI Angkatan
Laut yang demikian, implikasi negatif dinamika geopolitik terhadap stabilitas kawasan
dapat diminimalkan sekaligus memperkuat posisi tawar Indonesia dalam percaturan
kawasan sekaligus dapat berkontribusi positif terhadap ekonomi Indonesia melalui
kemampuan TNI Angkatan Laut mengamankan SLOC Indonesia di dalam wilayah
yurisdiksi maupun di luar wilayah yurisdiksi serta mengamankan sumberdaya laut di
wilayah perairan yurisdiksi.
20
Daftar Referensi:
1.
RM Sunardi, Geopolitik dan Geostrategi Indonesia: Pembinaan Ketahanan
Nasional, PT Kuarternita Adidharma, Jakarta, 2004.
2.
Sam J. Tangredi, Globalization and Maritime Power, National Defense University,
Washington, 2000.
3.
White House, US National Security Strategy 2010.
4.
Commonwealth of Australia, Defending Australia In The Asia Pacific Century:
Force 2030.
5.
Indian Ministy of Defence, Freedom to use the Seas: Indias Maritime Military
Strategy, 2008.
6.
Departemen Pertahanan RI, Strategi Pertahanan Negara, 2007.
7.
Prof Muladi dan Kazan Gunawan, Transformasi Geopolitik, Pusat Pengkajian
Strategi Nasional, Jakarta, 2007.
8.
US Department of Defense, Annual Report to Congress: Military Power of the
Peoples Republic of China 2009.
9.
Geoffrey Till, Seapower: A Guide for the Twenty First Century, Second Ed,
Routledge, New York, 2010
10.
US Naval War College, US, China and Maritime Cooperation, Newport, 2010.
21