Anda di halaman 1dari 21

GEOPOLITIK KAWASAN ASIA TENGGARA:

PERSPEKTIF MARITIM
Oleh: Dr. Susilo Bambang Yudhoyono
A whole history of power or knowledge remains to be written of spaces,
which would at same time be a history of powers,
from the great strategies of the geopolitics to the little tactics of the habitats
(Foucault, 1972)

1.

Pendahuluan
Kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah yang didominasi oleh perairan

daripada daratan. Situasi demikian berimplikasi pada lebih dominannya isu-isu politik
dan keamanan yang terkait dengan domain maritim daripada isu-isu lainnya. Dari
sembilan choke points strategis dunia, empat di antaranya berada di kawasan ini.
Dengan demikian, bukan suatu hal yang berlebihan apabila menyimpulkan bahwa
geopolitik kawasan akan terkait pula dengan domain maritim.
Mendiskusikan geopolitik kawasan Asia Tenggara tidak bisa mengabaikan
Indonesia, sebab dua pertiga kawasan Asia Tenggara adalah wilayah kedaulatan
Indonesia. Selain itu, dua pertiga perairan Asia Tenggara merupakan perairan yurisdiksi
Indonesia. Bertolak dari keadaan tersebut, Indonesia dahulu, kini dan ke depan akan
selalu memainkan peran sentral dan strategis dalam stabilitas keamanan kawasan.
Karena strategisnya domain maritim dalam geopolitik kawasan, Indonesia
hendaknya senantiasa selalu mengikuti dinamika yang terjadi pada domain tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini akan mengupas tentang geopolitik kawasan Asia
Tenggara dari perspektif maritim dan implikasinya terhadap Indonesia.
2.

Geopolitik Kontemporer
Dalam pemikiran geopolitik, tercipta interaksi antara ruang dengan manusia yang

melahirkan kesadaran ruang (space consciousness). Kesadaran itu baik langsung atau
tidak langsung terkait dengan kepentingan keamanan dan kesejahteraan bagi manusia.
Dalam konteks negara modern, konsep kesadaran ruang diwujudkan dengan adanya
1

klaim kedaulatan, yang dibatasi oleh batas negara (boundary) dengan seperangkat
hukum dan aparat untuk menjamin keamanan dan kedaulatan.
Mengacu pada teori geopolitik, geopolitik mengandung empat dasar utama
yaitu konsepsi ruang, konsepsi frontier, konsepsi kekuatan politik dan konsepsi
keamanan bangsa.1 Ruang merupakan inti dari geopolitik, sehingga senantiasa ada
upaya untuk memperluas wilayah pengaruh tiap-tiap bangsa yang jauh melampaui
wilayah kedaulatannya.
Menurut Friederich Ratzel, seorang ahli geopolitik Jerman, negara sebagai suatu
kesatuan antara rakyat dengan tanahnya, adalah organisasi yang tumbuh sebagaimana
organisasi lainnya, perbatasan sifatnya dinamis dan berubah-ubah, sebagai cermin
sifat-sifat ekspansionis negara-negara yang agresif. 2 Oleh karena itu, lanjut Ratzel,
apabila terjadi kemunduran dalam konsepsi ruang, maka dapat mengakibatkan
runtuhnya suatu bangsa dan negara. Teori Ratzel ini dikenal sebagai teori lebensraum
(ruang hidup).
Teori lebensraum selanjutnya dikembangkan oleh Karl Haushofer. Menurut
Haushofer, ruang (raum) merupakan wadah dinamika politik dan militer. Penguasaan
ruang atau ruang pengaruh (sphere of influence), menurut Haushofer, merupakan satu
fenomena spasial itu sendiri, di mana jika ruang pengaruh diperluas, maka akan ada
yang diuntungkan dan ada yang dirugikan.3
Meskipun di masa kini teori lebensraum tidak sepenuhnya valid bila dikaitkan
dengan tatanan internasional pasca Perang Dingin, namun tidak berarti teori itu tidak
berlaku lagi. Tataran internasional pasca Perang Dingin tidak bebas dari perebutan
ruang pengaruh oleh masing-masing negara, karena kini perebutan ruang pengaruh
tetap terjadi meskipun caranya berbeda dengan masa sebelumnya, misalnya melalui
globalisasi.
Di era globalisasi dengan ekonomi pasar bebas dan teknologi informasi sebagai
pilarnya, batas-batas non fisik antar negara bangsa menjadi kabur. Namun demikian
era globalisasi tidak dapat menghilangkan sepenuhnya nasionalisme dan patriotisme
setiap bangsa, yang dapat dilihat dari adanya kecenderungan proteksi pasar oleh
1

. RM Sunardi, Geopolitik dan Geostrategi Indonesia: Pembinaan Ketahanan Nasional, Jakarta: 2004, PT
Kuarternita Adidharma hal.33
2
. Ibid, hal.34
3
, Ibid

negara-negara maju terhadap produk dari negara-negara berkembang. Apapun alasan


proteksi pasar itu, namun tidak lepas dari kepentingan nasional negara-negara tersebut,
khususnya di bidang ekonomi.
Dikaitkan dengan globalisasi, peran domain maritim sangat vital karena lebih dari
90 persen perdagangan dunia melintasi lautan. Tidak berlebihan bila Sam J. Tangredi
menyatakan bahwa globalisasi dimulai dari laut. 4 Karena sangat strategisnya laut, maka
keamanan maritim kini menjadi salah satu isu keamanan secara global dan menjadi
perhatian semua pihak yang berkepentingan, baik aktor negara maupun non negara.
Aktor non negara yang dimaksud seperti industri pelayaran, industri asuransi, industri
perbankan dan beragam industri lainnya yang secara langsung atau tidak langsung
terkait dengan keamanan maritim dalam distribusi produknya.
Geopolitik kontemporer dewasa ini diwarnai oleh persaingan dan sekaligus
kerjasama antar bangsa di bidang politik, ekonomi dan militer. Domain maritim
merupakan salah satu wadah persaingan sekaligus kerjasama antar bangsa. Isu-isu
keamanan maritim dan keamanan energi mewarnai geopolitik kontemporer. Keamanan
maritim dan keamanan energi bagaikan dua sisi dari koin yang sama di mana satu
sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya negara yang
menekankan isu keamanan maritim sebagai bagian dari kepentingan nasional,
demikian pula dengan isu keamanan energi.
Sengketa pada domain maritim seperti di Laut Cina Selatan merupakan
persinggungan antara keamanan maritim dan keamanan energi. Makin langkanya
sumber energi di wilayah daratan mendorong banyak negara untuk mengeksplorasi dan
eksploitasi energi di wilayah lautan. Hal itu seringkali memunculkan sengketa dengan
negara lain khususnya pada wilayah perairan yang batas-batas definitifnya baik laut
teritorial, zona tambahan

maupun zona ekonomi eksklusif (ZEE) belum disepakati

bersama.

3.
4

Lanskap Geopolitik Kawasan

. Sam J. Tangredi, Globalization and Maritime Power, Washington: National Defense University, 2000

Dinamika geopolitik kawasan Asia Tenggara selalu dipengaruhi oleh interaksi


negara-negara Asia Tenggara maupun peran dan pengaruh kekuatan ekstra kawasan.
Walaupun negara-negara Asia Tenggara kini semuanya telah terhimpun dalam ASEAN
sebagaimana impian para pendiri ASEAN pada 6 Agustus 1967, akan tetapi peran dan
pengaruh kekuatan ekstra kawasan seperti Amerika Serikat, Australia, India, Jepang
dan Cina tidak bisa diabaikan pula. Merupakan hal yang logis bila ASEAN merangkul
kekuatan-kekuatan itu menjadi mitra wicara dalam wadah ASEAN Regional Forum
(ARF).
Lanskap geopolitik kawasan Asia Tenggara apabila digambarkan cukup
kompleks, karena melibatkan banyak aktor yang mana antar tiap aktor seringkali
kepentingannya tidak selalu sama. Bahkan tidak dapat dihindari pula terjadinya
persaingan geopolitik antar negara ASEAN sendiri maupun antar kekuatan ekstra
kawasan untuk memperkuat peran dan pengaruhnya di kawasan ini. Secara singkat,
berikut adalah uraian geopolitik kawasan Asia Tenggara dari perspektif maritim.
Malaysia sebagai negara bangsa memiliki tantangan yang tidak sedikit untuk
mempertahankan eksistensinya di kawasan. Secara geopolitik, tantangan yang
dihadapi oleh Malaysia adalah bagaimana menjaga keutuhan wilayah negeri itu yang
dipisahkan oleh Laut Natuna. Keutuhan antara wilayah Semenanjung dengan wilayah
Sabah dan Serawak merupakan isu krusial bagi Malaysia hari ini dan ke depan.
Meskipun

Malaysia

memiliki

hubungan

baik

dengan

sejumlah

negara

tetangganya, akan tetapi di bawah permukaan masih sulit untuk menghilangkan sama
sekali rasa curiga terhadap beberapa tetangganya tersebut. Tidak dapat dipungkiri
belum kokohnya rasa saling percaya negeri itu terhadap Indonesia dan Singapura yang
dinilai merintangi aspirasi geopolitik Malaysia untuk menjadi pemain kawasan.
Kecurigaan yang ada tidak lepas dari sengketa batas maritim Malaysia dengan
Indonesia dan Singapura pada beberapa segmen perairan yang sampai saat ini belum
mencapai kata sepakat pada ranah diplomasi.
Tantangan terhadap geopolitik Malaysia muncul pula dengan kebangkitan Cina,
khususnya klaim Cina terhadap Laut Cina Selatan yang mencakup beberapa pulau di
gugusan Kepulauan Spratly yang diklaim dan diduduki oleh Malaysia. Dengan
mengamati kecenderungan terakhir dalam sengketa Laut Cina Selatan, tindakan4

tindakan Cina untuk menegaskan klaimnya akan dipandang sebagai ancaman terhadap
aspirasi geopolitik Malaysia.

Peta Kawasan Asia Tenggara

Singapura

merupakan

sebuah

negara kota yang

eksistensinya

sangat

tergantung pada perannya sebagai hub bagi kawasan Asia Tenggara maupun Asia
Pasifik. Secara psikologis, Singapura sejak masa berdirinya sebagai negara merdeka
dan berdaulat merasa berada pada posisi geopolitik yang tidak menguntungkan
baginya karena berada di tengah dua negara besar kawasan yang beretnis Melayu dan
mayoritas menganut agama Islam. Oleh karena itu, negara itu senantiasa merasa
dalam

posisi

terancam

sehingga

menempuh

berbagai

kebijakan

untuk

mempertahankan eksistensinya di kawasan.


Sebagai negara yang sangat tergantung pada pergerakan arus barang dan jasa
bagi kelangsungan ekonominya, kepentingan geopolitik Singapura akan selalu terkait
dengan keamanan SLOC (sea lines of communication). SLOC yang vital bagi negeri itu
5

meliputi Selat Malaka dan Laut Cina Selatan sebagai jalur pendekat Singapura dari
kawasan Samudera India dan kawasan Asia Timur. Oleh karena itu, tantangan
geopolitik Singapura memiliki keterkaitan erat dengan domain maritim yang diwarnai
oleh isu keamanan maritim.
Thailand merupakan negara yang cukup penting di kawasan Asia Tenggara.
Ditinjau dari aspek geopolitik, kepentingan geopolitik Thailand lebih banyak terkait
dengan stabilitas di daratan Asia Tenggara daripada pada domain maritim kawasan.
Sejak dahulu fokus Thailand adalah stabilitas negara-negara di sekitarnya, seperti
Malaysia, Kamboja, Myanmar dan Vietnam. Terjadinya instabilitas di negara-negara
sekitar Thailand akan memberikan efek negatif terhadap stabilitas Thailand itu sendiri
sebagaimana terlihat dalam perang saudara Kamboja pada 1979-1989 dan konflik
Kamboja-Thailand.
Meskipun Thailand tercatat sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara yang
mempunyai kapal induk helikopter, akan tetapi kehadiran kapal induk tersebut tidak
berpengaruh besar terhadap perluasan peran Thailand pada domain maritim di
kawasan. Kepentingan geopolitik Thailand yang terkait dengan domain maritim lebih
banyak pada wilayah perairan teritorialnya saja. Secara umum, Thailand belum tercatat
sebagai negara yang memiliki kepentingan geopolitik yang besar pada domain maritim.
Vietnam secara geopolitik berbatasan dengan Cina yang merupakan musuh
bebuyutannya. Cina pada masa dinasti Han pernah menjajah Vietnam selama hampir
seribu tahun sehingga memunculkan dendam sejarah yang berkepanjangan. Dalam
konteks kekinian, ancaman geopolitik terhadap Vietnam dipandang berasal dari Cina.
Hal ini bukan saja menyangkut perbatasan darat, tetapi juga mencakup domain maritim.
Seperti diketahui, Vietnam merupakan satu dari enam negara yang memiliki
klaim di Laut Cina Selatan. Negara ini mengklaim Kepulauan Paracel dan Kepulauan
Spratly sebagai wilayahnya. Bagi Vietnam, kedua kepulauan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kepentingan geopolitiknya. Dalam sengketa itu, Vietnam kembali
berhadapan dengan Cina yang juga mempunyai klaim di sana. Perkembangan terakhir,
interaksi antara Vietnam dan Cina dalam sengketa Laut Cina Selatan menghangat
seiring aksi kapal nelayan Cina yang dinilai mengganggu aktivitas eksplorasi minyak

Vietnam di perairan tersebut, memperkuat alasan Vietnam membeli enam kapal selam
kelas Kilo dari Rusia.
Filipina yang merupakan satu dari dua negara kepulauan di Asia Tenggara
memiliki kepentingan geopolitik yang terkait dengan domain maritim. Sebagaimana
Vietnam, Filipina merupakan satu dari enam negara yang mengklaim wilayah di Laut
Cina Selatan khususnya Kepulauan Spratly. Klaim Filipina atas Kepulauan Spratly
mendapat tantangan di lapangan dari Cina, sehingga memunculkan sikap keras dari
pemerintah Filipina pada jalur diplomatik.
Walaupun Filipina merupakan negara pihak dalam sengketa Laut Cina Selatan,
akan tetapi perhatian negara itu terhadap kepentingan geopolitiknya di sana belum
maksimal. Hal demikian disebabkan oleh karena pemerintah Filipina masih harus
berkutat pada isu separatisme Moro di Mindanao yang telah berlangsung sejak 1970an. Selain itu, pemerintah Filipina menghadapi pula ancaman terorisme dari kelompok
Abu Sayyaf yang mempunyai hubungan dengan kelompok Jemaah Islamiyah dan Al
Qaidah.
Amerika Serikat meskipun bukan negara kawasan Asia Tenggara tetapi
mempunyai pula kepentingan geopolitik di kawasan ini. Kepentingan geopolitik Amerika
Serikat

adalah

menciptakan

perdamaian

stabilitas

di

kawasan

ini

sekaligus

mengeliminasi sedini mungkin adanya ancaman terhadap dominasinya. Sebagai


pemain utama kawasan, Amerika Serikat tidak akan membiarkan munculnya kekuatan
lain yang akan menyaingi hegemoninya dan kini kebangkitan Cina dipandang sebagai
tantangan terhadapnya.
Kepentingan geopolitik Amerika Serikat di kawasan tidak lepas pula dari domain
maritim. Kebebasan bernavigasi adalah bagian tidak terpisahkan dari kepentingan itu,
karena dengan adanya kebebasan bernavigasi akan menjamin pergerakan militer
Amerika Serikat khususnya Angkatan Laut. Secara umum, kawasan Asia Tenggara
khususnya dan Asia Pasifik pada umumnya berada dalam pengaruh geopolitik Amerika
Serikat. Pengaruh tersebut tentu saja akan terus dipertahankan selama mungkin, sebab
pengaruh itu memberikan ruang yang luas bagi Amerika Serikat untuk dominan di
kawasan ini dalam rangka mengimplementasikan kepentingan nasionalnya.

Cina sebagai kekuatan baru di kawasan Asia Pasifik sangat berkepentingan


untuk memproyeksikan kepentingannya ke kawasan Asia Tenggara. Kepentingan
geopolitik negara itu adalah meluaskan pengaruhnya ke kawasan Asia Pasifik dan
sekaligus mengendalikan jalur-jalur pendekat laut ke wilayahnya. Oleh karena itu,
kepentingan geopolitik Cina memiliki keterkaitan yang erat dengan domain maritim,
karena jalur-jalur pendekat ke Cina adalah melalui laut. Di samping itu, status sebagai
negara industri yang mempunyai ketergantungan pada minyak importir mengharuskan
Cina untuk mampu mengendalikan SLOC-nya yang terbentang dari Teluk Persia hingga
Laut Cina Timur.
Kepentingan Cina yang terkait dengan domain maritim itu pula yang membuat
Cina bersikeras dalam klaimnya terhadap seluruh wilayah Laut Cina Selatan, termasuk
Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly, sebagaimana terlihat dalam peta yang
dikenal sebagai U-Shaped. Bahkan Cina menetapkan Laut Cina Selatan sebagai satu
dari empat core national interest selain Tibet, Taiwan dan Xinjiang, di mana ditengarai
pada perairan itu terdapat minyak dan gas bumi dalam jumlah besar. Terkait dengan hal
tersebut, Cina memberikan reaksi keras, baik secara politik maupun operasional,
terhadap kehadiran kapal perang asing di Laut Cina Selatan khususnya kapal perang
dan kapal survei Amerika Serikat yang rutin berlayar di perairan tersebut.

Klaim Cina Berbentuk Huruf U Di Laut Cina Selatan

Jepang sebagai negara industri mempunyai aspirasi geopolitik yang menjangkau


wilayah di luar yurisdiksinya. Aspirasi geopolitik tersebut mayoritas terkait dengan
domain maritim, di mana negara itu mesti mampu mengamankan SLOC-nya yang
memanjang dari Teluk Persia hingga Laut Jepang. Geopolitik Jepang sangat terkait
dengan keamanan energi, sebab pasokan energi Jepang mayoritas mengandalkan
pada sumber-sumber yang berada jauh dari wilayahnya.
Pengaruh geopolitik Jepang cukup terasa di kawasan Asia Tenggara, meskipun
bukan dalam bentuk kekuatan militer. Karena sensitivitas terhadap penggunaan
kekuatan militer, Jepang secara rutin mengirimkan kapal patroli Japan Coast Guard
untuk berpatroli di perairan Asia Tenggara khususnya di Selat Malaka. Hal itu karena
Selat Malaka tercatat sebagai salah satu choke point strategis bagi Jepang, bahkan
beberapa kali kapal berbendera Jepang pernah dirompak dan dibajak di perairan itu
beberapa tahun silam.
Meskipun tidak terletak di kawasan Asia Tenggara, India memiliki aspirasi
geopolitik hingga kawasan ini. Mengacu pada Freedom to use the Seas: Indias
Maritime Military Strategy, India membagi kawasan kepentingannya menjadi dua
klasifikasi, yaitu primary areas dan secondary areas. Primary areas meliputi Laut Arab
dan Teluk Benggala, choke points menuju dan dari Samudera India yakni Selat Malaka,
Selat Hormuz, Selat Bab-El-Mandeb dan Tanjung Harapan, negara-negara pulau di
Samudera India, Teluk Persia yang merupakan sumber utama suplai minyak India dan
SLOC utama yang melewati kawasan Samudera India. Adapun secondary areas
mencakup kawasan bagian selatan Samudera India, Laut Merah, Laut Cina Selatan
dan kawasan Pasifik Timur.
Pada dasarnya, aspirasi geopolitik India berpusat pada Samudera India di mana
negara itu berprinsip bahwa sistem politik yang berlaku di perairan itu adalah sistem
politik India. Selat Malaka adalah salah satu jalur pendekat ke Samudera India,
sehingga kepentingan India terhadap perairan strategis itu juga ada. Seiring dengan
persaingan geopolitik India dengan Cina, kini India telah meluaskan pengaruh
geopolitiknnya ke Laut Cina Selatan yang dipandang sebagai halaman belakang Cina.
Perluasan pengaruh itu bekerjasama dengan Amerika Serikat yang juga memberikan
perhatian besar terhadap kebangkitan Cina.
9

Mengacu pada Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030,
kepentingan paling strategis Australia adalah mempertahankan negeri itu dari serangan
bersenjata langsung. Untuk mencapai kepentingan itu, Australia memiliki kepentingan
mendasar untuk mengendalikan jalur pendekat udara dan laut menuju wilayahnya.
Terkait dengan kepentingan strategis Australia, maka kebijakan pertahanan yang
diambil berpegang pada prinsip self-reliance yang apabila diperlukan akan berbagi
beban dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, menjaga aliansi dan hubungan
pertahanan internasional untuk memperkuat keamanan Australia merupakan bagian
dari kebijakan pertahanan.
Persepsi ancaman Australia sejak era Perang Dunia Kedua menyatakan bahwa
ancaman berasal dari utara. Berangkat dari persepsi itu, Australia senantiasa
mengembangkan kekuatan Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang dirancang untuk
mampu diproyeksikan guna menghadapi ancaman ketika masih berada di luar
wilayahnya. Pendekatan demikian telah berlangsung lama dan akan terus demikian ke
depan, siapa pun yang memegang tampuk pemerintahan di Australia. Dengan kata lain,
wilayah di utara Australia merupakan bagian dari mandala pertahanannya di mana
Australia akan berupaya secara maksimal untuk mencegah agar ancaman itu tidak
sampai masuk ke wilayah teritorialnya.
4.

Persepsi Ancaman
Kondisi lingkungan strategis kawasan saat ini penuh dengan ancaman dan

tantangan keamanan yang bersumber dari aktor negara maupun non negara. Bentuk
ancaman dan tantangannya

pun beragam, yang

secara garis besar dapat

dikelompokkan dalam rupa simetris dan asimetris. Ancaman dan tantangan simetris
secara umum dapat berasal dari aktor negara, sedangkan asimetris bisa muncul dari
aktor non negara. Namun perlu menjadi catatan pula bahwa ancaman asimetris tidak
dapat dibatasi pada bentuk organisasi aktornya, tetapi juga bagaimana pula kekuatan,
kesenjataan dan moral.
Ancaman dan tantangan simetris muncul dari kasus seperti sengketa perbatasan
antar negara yang belum terselesaikan, perlombaan senjata Angkatan Laut (naval arms
race) dan masalah kebebasan penggunaan laut. Saat ini dapat dilihat dengan mudah
10

adanya persaingan antara Amerika Serikat versus Cina menyangkut pembangunan


kekuatan militer Cina, pembangunan kekuatan laut India untuk dapat mengendalikan
Samudera India sesuai dengan aspirasi politiknya, kerjasama latihan Angkatan Laut
Amerika Serikat-India-Jepang dan Australia bersandi Exercise Malabar yang secara
tidak langsung ditujukan untuk menghadapi kekuatan laut Cina dan lain sebagainya.
Sedangkan ancaman dan tantangan asimetris pada domain maritim, berupa
perompakan, pembajakan, terorisme maritim, proliferasi senjata pemusnah massal dan
pencurian sumber daya laut. Lahirlah inisiatif seperti Regional Maritime Security
Initiative (RMSI), Proliferation Security Initiative (PSI), International Ship and Port
Facility Code (ISPS Code), Global Maritime Partnership/Thousand-Ship Navy dan lain
sebagainya. Ancaman dan tantangan asimetris pada domain maritim kini telah menjadi
perhatian semua negara di kawasan, karena dipandang dapat mengancam stabilitas
kawasan.
Perlu dipahami pula bahwa kini dunia sudah memasuki era peperangan
generasi keempat yang karakteristiknya sangat berbeda dengan tiga generasi
peperangan sebelumnya. Munculnya peperangan generasi keempat tidak lepas dari
perubahan masyarakat di dunia, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
technical yang mempengaruhi sifat alamiah (nature) dari perang. Istilah peperangan
generasi keempat berasal dari para ahli strategi dan perencana militer di Amerika
Serikat pada akhir 1980-an untuk mengkarakterisasi dinamika dan arah ke depan dari
peperangan.
Konsep dasar peperangan generasi keempat adalah sikap politik yang lebih kuat
dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Dengan kata lain,
peperangan generasi keempat karakteristiknya bersifat politik, berkepanjangan
(protracted) dan terhubung dalam jaringan (networked). Sebagian pihak berpendapat
bahwa dalam peperangan generasi keempat, musuh yang dihadapi bukan saja aktor
bukan negara, tetapi dapat pula aktor negara yang menggunakan cara-cara non
tradisional untuk mengalahkan musuh yang lebih kuat. Cara-cara non tradisional yang
dimaksud antara lain adalah ekonomi, diplomatik, cyber, media dan lain sebagainya.
Sementara itu, arsitektur keamanan kawasan Asia Pasifik belum tertata sesuai
dengan Bab VIII Piagam PBB tentang Pengaturan Regional. Bab VIII Piagam PBB
11

mengamanatkan pengaturan keamanan suatu kawasan dilakukan secara mandiri oleh


negara-negara di kawasan tersebut melalui suatu organisasi regional. Dalam konteks
yang lebih sempit lagi yaitu kawasan Asia Tenggara, penataan keamanan kawasan ini
lebih banyak dilaksanakan oleh aktor ekstra kawasan seperti Amerika Serikat.
Sejak terbentuk pada 8 Agustus 1967, ASEAN baru sepakat menyentuh isu
keamanan kawasan setelah KTT ASEAN Ke-9 di Bali pada 7-8 Oktober 2003 yang
menyepakati Bali Concord II. Sesuai amanat tersebut, negara-negara ASEAN
mendirikan Komunitas ASEAN yang terdiri dari ASEAN Political Security Community
(APSC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community
(ASCC) pada 2015. APSC akan menjadi wadah kerjasama negara-negara ASEAN
dalam bidang politik keamanan, di mana salah satu wadah forum di dalamnya adalah
ASEAN Maritime Forum (AMF) yang berdiri atas prakarsa Indonesia.
5.

Pembangunan Kekuatan Maritim Kawasan


Untuk mendukung aspirasi geopolitik masing-masing, negara-negara di kawasan

Asia Tenggara dan sekitarnya di antaranya membangun kekuatan militer sebagai salah
satu instrumen kekuatan nasionalnya. Dengan memperhatikan karakteristik kawasan,
pembangunan kekuatan maritim dalam hal ini Angkatan Laut dalam dua dekade terakhir
meningkat cukup pesat. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut yang dilaksanakan
bukan sekedar untuk merespon ancaman asimetris, tetapi mencakup pula ancaman
simetris yang tidak dapat diabaikan di kawasan ini seiring makin meningkatnya
persaingan antar negara untuk memperebutkan wilayah dan memperluas pengaruh
pada domain maritim.
Malaysia memperkuat kekuatan Angkatan Lautnya melalui pengadaan sejumlah
alutsista dari negara-negara lain, baik kapal permukaan maupun kapal selam. Selain
pengadaan kapal perang, Malaysia juga membangun sejumlah pangkalan baru Tentara
Laut Diraja Malaysia (TLDM), seperti di Lumut dan Sabah. Untuk memperkuat
pertahanan maritim di sekitar Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Laut Cina Selatan, Malaysia
mengembangkan pangkalan Angkatan Laut di Teluk Sepanggar, Sabah, yang menjadi
pangkalan induk kapal selam.

12

Pembangunan sejumlah pangkalan TLDM di wilayah Sabah menandakan


adanya perluasan strategi maritim Malaysia, yang semula hanya berfokus terhadap
keamanan Selat Malaka, kini melebar ke Laut Natuna, Laut Sulu dan Laut Sulawesi.
Perluasan strategi maritim hingga ke ketiga perairan dilatarbelakangi oleh isu politik
keamanan dan ekonomi. Dari isu politik keamanan, wilayah Serawak dan Sabah
merupakan bagian integral dari Malaysia, sehingga salah satu tugas pokok TLDM
adalah menjamin tetap terbukanya SLOC Malaysia, yang dalam konteks ini adalah Laut
Natuna. Perairan Laut Sulu dan Laut Sulawesi merupakan kawasan rawan aktivitas
terorisme yang berpusat di Pulau Mindanao, Filipina yang berimplikasi negatif terhadap
keamanan Malaysia di wilayah Sabah dan sekitarnya.
Sedangkan isu ekonomi tak lepas dari banyaknya potensi kandungan minyak
dan gas bumi di Laut Sulawesi. Potensi hidrokarbon itulah yang menjadi salah satu
faktor pendorong Malaysia mengklaim perairan teritorial dan ZEE Indonesia di Laut
Sulawesi pasca lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kasus yang dikenal
sebagai

konflik

Blok Ambalat tersebut semakin

meyakinkan

Malaysia

untuk

memperkuat kekuatan laut (dan udaranya) di sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi.
Adapun di Laut Cina Selatan, Malaysia bersikap teguh atas klaimnya, ditunjang pula
oleh kebijakan pembangunan kekuatan laut Malaysia, seperti pengadaan kapal perang
yang mampu ocean going dan pembelian lima kapal selam kelas Scorpene dari Prancis
yang saat ini telah tiba dua buah.
Singapura menganut strategi pertahanan yang dikenal sebagai porcupine
strategy sebagai pengembangan dari poisonous shrimp strategy. Porcupine strategy
beranggapan bahwa Singapura tidak akan mampu menghancurkan secara total negara
agresor, namun pihak tersebut harus membayar dengan biaya tinggi akibat tindakan
agresinya terhadap Singapura. Pembangunan kekuatan pertahanan Singapura,
termasuk pembangunan kekuatan Angkatan Laut berangkat dari strategis tersebut.
Terkait strategi pertahanan tersebut, Angkatan Laut Singapura dibangun untuk
memiliki keunggulan kualitas dibandingkan Angkatan Laut lainnya di kawasan Asia
Tenggara. Meskipun wilayah perairan mereka sangat kecil, tetapi jumlah kapal perang
yang dimiliki jauh melebihi kebutuhan untuk mempertahankan negara itu. Kekuatan
kombatan Angkatan Laut Singapura berpusat pada enam fregat kelas Formidable dua
13

kapal selam kelas Vastergotland dan empat kapal selam kelas Sjoormen. Kekuatan
tersebut dirancang untuk mampu mengamankan SLOC Singapura yang bukan saja di
Selat Malaka, tetapi mencakup pula Laut Cina Selatan, Teluk Persia dan Laut Merah.
Karena itu pula, Singapura aktif dalam koalisi internasional untuk mengamankan
perairan di Somalia dan sekitarnya dari ancaman bajak laut. Angkatan Laut Singapura
terlibat dalam Combined Task Force-150 (CTF-150) dan CTF-151 di bawah NATO.
Partisipasi aktif tersebut merupakan implementasi dari kebijakan nasional Singapura
yang memberikan perhatian khusus pada keamanan SLOC-nya.
Thailand tidak mempunyai kepentingan yang besar pada domain maritim di
kawasan, sehingga pembangunan kekuatan Angkatan Lautnya tidak terlalu menonjol.
Eksistensi kapal induknya tidak dieksplorasi secara optimal yang dapat dilihat dari tidak
adanya penyebaran kapal tersebut ke luar wilayah yurisdiksinya. Dalam perkembangan
terakhir, Thailand menunjukkan minatnya untuk membeli dua eks kapal selam U-206
eks Angkatan Laut Jerman. Meskipun demikian, Thailand setidaknya hingga satu
dekade ke depan tidak akan membangun kekuatan laut secara progresif dibandingkan
beberapa negara lain di kawasan.
Adapun Vietnam yang kini semakin tersentak oleh klaim Cina atas Laut Cina
Selatan tengah memperkuat Angkatan Lautnya. Fokus pembangunan kekuatannya
adalah lewat pengadaan enam kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Pengadaan kapal
selam tersebut secara terbuka diakui untuk mengamankan kepentingan nasionalnya di
Laut Cina Selatan di mana Vietnam adalah salah satu negara pengklaim. Langkah
Vietnam untuk memperkuat Angkatan Lautnya merupakan suatu terobosan baru karena
selama ini negara itu dikenal mengedepankan kekuatan daratnya.
Filipina merupakan negara Asia Tenggara dengan kekuatan Angkatan Laut
terlemah. Upaya modernisasi kekuatan Angkatan Laut senantiasa mengalami
hambatan karena keterbatasan anggaran. Konflik internal di Mindanao membuat
sebagian besar anggaran pertahanan Filipina diarahkan pada upaya untuk mengatasi
pemberontakan dan terorisme di wilayah selatan negara itu. Dalam perkembangan
terakhir, Angkatan Laut Filipina membeli eks USCG Hammilton dari US Coast Guard
yang akan menjadi capital ship-nya menggantikan BRP Rajah Humabon yang
merupakan kapal destroyer escort eks Perang Dunia Kedua.
14

Amerika Serikat terus mempertahankan kehadirannya di kawasan ini, terlebih


lagi ketika Cina muncul sebagai kekuatan baru. Kehadiran militer Amerika Serikat di
kawasan

khususnya

kekuatan

Angkatan

Laut

berada

dalam

bingkai

untuk

mengamankan kepentingan nasionalnya, khususnya kebebasan bernavigasi. Untuk


mendukung kehadiran tersebut, Amerika Serikat memiliki beberapa pangkalan di sekitar
Laut Cina Selatan seperti di Sasebo, Okinawa, Changi Singapura dan Guam. Sejak
masa pemerintahan Presiden George W. Bush, Amerika Serikat secara bertahap
memindahkan sebagian kekuatan militernya dari kawasan lain ke kawasan Asia Pasifik
untuk merespon dinamika lingkungan strategis yang berkembang.
Cina mengembangkan strategi pertahanan Cina yang dikenal sebagai Offshore
Defense, ada pula pembagian zona pertahanan yang disebut sebagai two island
chains yang terdiri dari the first island chain dan second island chain. Offshore
Defense merupakan konsep strategis yang mengarahkan Angkatan Laut Cina untuk
bersiap memenuhi tiga misi kunci untuk periode baru melalui pelibatan dalam operasioperasi maritim di laut dan membangun Angkatan Laut yang mampu melaksanakan
operasi berkelanjutan di laut. Tiga misi kunci yang diemban oleh Angkatan Laut Cina
yaitu (i) menjaga musuh dalam batas dan menolak invasi dari laut, (ii) melindungi
kedaulatan teritorial nasional dan (iii) menjaga keutuhan ibu pertiwi dan hak-hak
maritim.
Untuk melaksanakan strategi tersebut, saat ini Cina sangat aktif membangun
kekuatan Angkatan Lautnya menuju status blue water navy. Selain memperkuat armada
kapal atas air dan kapal selam, Cina juga tengah menyelesaikan refurbished eks kapal
induk Varyag eks Rusia yang dibelinya satu dekade lalu. Kapal itu nantinya akan
dinobatkan menjadi kapal induk pertama Cina dengan nama Shi Lang dan nampaknya
dalam waktu tidak lama lagi kapal tersebut akan melaksanakan sea trial. Secara
teoritis, eksistensi kapal induk dalam jajaran armada Angkatan Laut Cina akan
mengubah

konstelasi

perimbangan

kekuatan

kawasan

apabila

Cina

mampu

mengoperasikan kapal itu dan bukan sekedar memilikinya.


Kepentingan Jepang di kawasan Asia Tenggara tidak lepas dari keamanan
SLOC-nya yang akan berimbas langsung apabila pecah konflik di perairan tersebut. 70
persen kapal tanker Jepang membawa minyak menuju Jepang melalui Laut Cina
15

Selatan, meskipun sebenarnya kapal tersebut dapat menghindar melalui perairan


Indonesia menuju Samudera Pasifik. Jalur yang terakhir memakan waktu dan biaya
yang besar sehingga tidak ekonomis.
Dari sini tergambar bahwa keamanan SLOC Jepang sangat berkaitan erat
dengan keamanan energinya. Keamanan energi kini menjadi isu strategis bagi banyak
di dunia seiring ketergantungan pada sumber energi di Timur Tengah yang rawan dan
dinamika lingkungan strategis yang ditandai dengan menonjolnya ancaman asimetris
seperti terorisme, pembajakan dan perompakan di laut. Gangguan terhadap keamanan
energi merupakan suatu ancaman langsung terhadap keamanan nasional Jepang.
Isu keamanan SLOC khususnya mempengaruhi pula karakteristik Japan
Maritime Self-Defense Force (JMSDF) sejak awal berdiri pada 1952 hingga saat ini.
Sejak kelahirannya JMSDF dirancang sedemikian rupa untuk melindungi jalur
perhubungan laut Jepang, sehingga kemudian lahir doktrin operasi 1.000 mil laut. Yang
menarik diperhatikan dalam pembangunan JMSDF terkini adalah kehadiran kapal induk
helikopter kelas Hyuga dan ke depan masih akan mengembangkan kapal sejenis.
Kehadiran kapal induk helikopter akan mendukung penyebaran kekuatan JMSDF yang
selama ini sudah dilakukan di kawasan Asia Pasifik.
Angkatan Laut India menurut Laksamana Mehta pada 2022 akan diperkuat oleh
sekitar 160 lebih kapal perang, termasuk tiga kapal induk, 60 kapal kombatan atas air
dan kapal selam dan hampir 400 pesawat udara berbagai tipe. Pembangunan kekuatan
laut India, sebagaimana dinyatakan dalam The Indian Navys Vision Document
ditujukan untuk mempromosikan lingkungan yang tenang dan damai di kawasan
Samudera India untuk mencapai tujuan-tujuan politik, ekonomi, diplomasi dan militer
India. Dalam The Indian Maritime Doctrine, hal yang digarisbawahi adalah kebutuhan
untuk mengendalikan choke points, pulau-pulau penting dan jalur-jalur perdagangan
vital. Terkait dengan kebutuhan tersebut, Angkatan Laut India menekankan diplomasi
Angkatan Laut sebagai salah satu tugas utamanya di masa damai. Adapun wilayah
penyebaran kekuatan laut India dalam rangka diplomasi Angkatan Laut terbentang dari
Teluk Persia hingga Selat Malaka yang ditetapkan sebagai kawasan kepentingan India
yang sah.

16

Strategi militer Australia adalah to deter and defeat attacks on Australia.


Wujudnya berupa preemptive strategy dengan menyerang musuh sejauh mungkin dari
wilayahnya melalui operasi gabungan di jalur-jalur pendekat menuju Australia. Terkait
dengan hal tersebut, strategi maritim menjadi fokus utama dalam pertahanan Australia
yang mengedepankan keterpaduan antar ketiga matra dalam Australian Defence Force.
Selain Royal Australian Air Force, Australian Army juga mendapat peran dalam strategi
maritim negeri itu. Peran Australian Army adalah mengendalikan jalur-jalur pendekatan,
mengamankan wilayah-wilayah di seberang lautan dan beragam fasilitas, mengalahkan
serangan mendadak ke wilayah Australia, melindungi pangkalan-pangkalan yang
menjadi basis operasi Royal Australian Navy dan Royal Australian Air Force dan
menolak (deny) akses lawan ke pangkalan aju.
Pembangunan kekuatan laut difokuskan pada kemampuan peperangan bawah
air, dengan tambahan kemampuan peperangan udara dan peperangan amfibi. Untuk
kemampuan peperangan bawah air, hingga tahun 2030 Royal Australian Navy didesain
mempunyai 12 kapal selam pengganti kapal selam konvensional kelas Collins yang
dilengkapi dengan rudal permukaan, delapan fregat anti kapal selam untuk
menggantikan fregat kelas Anzac dengan dimensi yang lebih besar dan 24 heli anti
kapal selam. Adapun kemampuan peperangan udara masih terkait dengan program
SEA 4000/Air Warfare Destroyer (AWD) kelas Hobart yang akan dilengkapi dengan
rudal anti pesawat jarak jauh Standard Missile 6 (SM-6), selain Aegis Combat System.
Sistem sensor Cooperative Engagement Capability (CEC) akan terpasang pula di kapal
itu, sehingga nantinya interoperable dengan sensor serupa pada pesawat udara
AEW&C yang tengah dipesan oleh Royal Australian Air Force. Sedangkan untuk
kemampuan peperangan amfibi, programnya adalah pengadaan dua

Landing

Helicopter Dock (LHD) bertonase 27.000 ton dari galangan Navantia, Spanyol, di
samping sejumlah kapal baru yang belum ditentukan jumlahnya, dengan tonase
10.000-15.000 ton, mempunyai landasan helikopter dan mampu menurunkan
kendaraan dan kargo lainnya tanpa membutuhkan dukungan infrastruktur pelabuhan.
6.

Implikasi Terhadap Indonesia

17

Dinamika geopolitik kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya pasti akan


mempengaruhi pula Indonesia. Dalam konteks tersebut, terjadi pertemuan antara
kepentingan geopolitik yang tengah berkembang di kawasan dengan kepentingan
geopolitik Indonesia. Kepentingan geopolitik Indonesia yang utama adalah keutuhan
dan kesatuan Indonesia dari semua aspek, baik politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan. Hal itu telah diamanatkan oleh Wawasan Nusantara yang menjadi
pandangan geopolitik Indonesia.
Pertemuan kepentingan geopolitik bisa melahirkan kerjasama, dapat pula
memunculkan konflik. Mengacu pada pemikiran geopolitik, terhadap interaksi antara
ruang dengan manusia. Interaksi tersebut melahirkan kesadaran ruang (space
consciousness) yang langsung atau tidak langsung terkait dengan kepentingan
keamanan dan kesejahteraan bagi manusia. Dalam konteks negara modern, konsep
kesadaran ruang diwujudkan dengan adanya klaim kedaulatan, yang dibatasi oleh
batas negara (boundary) dengan seperangkat hukum dan aparat untuk menjamin
keamanan dan kedaulatan. Terkait dengan dinamika geopolitik kawasan, terdapat
beberapa implikasi yang perlu diantisipasi oleh Indonesia sejak dini.
Pertama, politik. Dinamika geopolitik kawasan dari perspektif maritim

akan

berimplikasi negatif terhadap Indonesia maupun stabilitas kawasan apabila tidak


dikelola dengan baik. Dewasa ini, isu-isu yang mengedepan di kawasan adalah
keamanan maritim, keamanan energi dan sengketa wilayah. Indonesia memiliki
keterkaitan yang erat dengan ketiga isu tersebut.
Tantangannya adalah bagaimana agar pembangunan kekuatan Angkatan Laut di
kawasan tidak memperbesar kesenjangan perimbangan kekuatan, karena kesenjangan
itu akan memicu pihak yang merasa diri lebih kuat untuk melakukan tindakan-tindakan
yang dipandang dapat mengancam stabilitas kawasan. Apabila Indonesia tidak memiliki
daya tawar yang tinggi dari aspek kekuatan militer khususnya Angkatan Laut, muncul
peluang akan terulangnya kembali tindakan-tindakan pelecehan dan tidak menghormati
kedaulatan dan wibawa Indonesia pada domain maritim, khususnya pada perairan yang
masih menjadi sengketa Indonesia dengan negara tetangga maupun pada perairan
strategis seperti choke points dan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI).

18

Kedua, ekonomi. Implikasi ekonomi dari dinamika gepolitik kawasan dari


perspektif maritim terhadap Indonesia dapat bersifat positif dan negatif sekaligus.
Implikasi positif dari dinamika tersebut adalah semakin terbuka peluang kerjasama
antar Angkatan Laut kawasan dalam merespon ancaman dan tantangan yang terkait
dengan keamanan maritim dan keamanan energi, khususnya ancaman asimetris
seperti pembajakan, perompakan dan terorisme maritim. Untuk merespon ancaman
demikian, salah satu kata kuncinya adalah kerjasama antar negara selain adanya sikap
politik yang sebangun.
Sedangkan implikasi negatifnya adalah kemungkinan penggunaan kekuatan
Angkatan Laut untuk mengamankan sumberdaya laut di perairan sengketa, baik
perikanan maupun minyak dan gas bumi. Hal demikian dapat dilihat dalam sengketa
Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi, di mana kekuatan Angkatan Laut digunakan oleh
negara-negara lain untuk merebut sumberdaya alam yang diklaim oleh Indonesia
sebagai wilayah ZEE-nya. Implikasi negatif demikian sebaiknya sudah diantisipasi sejak
dini sehingga diharapkan tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Ketiga, militer. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut di kawasan dalam rangka
mengamankan kepentingan nasional masing-masing pihak akan merugikan Indonesia
apabila tidak direspon secara proporsional oleh Indonesia. Pembangunan kekuatan TNI
Angkatan Laut harus tetap dijalankan sesuai dengan minimum essential force (MEF)
agar jurang ketidakseimbangan kekuatan antara Indonesia dan negara-negara lain di
kawasan tidak melebar. Sebab apabila melebar justru akan berkontribusi negatif
terhadap Indonesia, meskipun diyakini tidak akan ada invasi terhadap Indonesia hingga
dekade mendatang.
Pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut bukan sekedar untuk menjaga dan
mengamankan keutuhan wilayah Indonesia, tetapi mencakup pula pengamanan
kepentingan ekonomi Indonesia baik di wilayah yurisdiksi maupun di luar wilayah
yurisdiksi. Dengan semakin meningkatnya interaksi ekonomi Indonesia dengan negaranegara Asia Timur maupun kawasan lain di dunia, TNI Angkatan Laut dituntut untuk
mampu mengamankan SLOC Indonesia. Kasus pembajakan MV Sinar Kudus pada 16
Maret 2011 oleh bajak laut Somalia memberikan pelajaran berharga kepada Indonesia

19

betapa SLOC yang harus dilindungi bukan saja yang berada di wilayah perairan
yurisdiksi saja, tetapi juga di luar wilayah yurisdiksi.

7.

Penutup
Geopolitik kawasan Asia Tenggara akan selalu dipengaruhi oleh dinamika yang

terjadi pada domain maritim, sebab dua pertiga kawasan ini berupa perairan.
Perkembangan lingkungan strategis menunjukkan bahwa dinamika geopolitik kawasan
diwarnai oleh isu-isu simetris dan asimetris sekaligus. Persaingan antar negara dalam
perebutan wilayah maupun pengaruh pada domain maritim berjalan bersamaan dengan
semakin terintegrasinya ekonomi kawasan melalui berbagai moda kerjasama.
Pembangunan kekuatan Angkatan Laut terus berlangsung di kawasan meskipun belum
dapat dikategorikan sebagai perlombaan senjata.
Dalam kondisi demikian, Indonesia akan terkena implikasi seiring posisi strategis
negeri ini dalam percaturan politik, ekonomi dan keamanan kawasan. Implikasi yang
tercipta bisa positif, tetapi dapat pula negatif. Untuk merespon implikasi itu, Indonesia
mesti memiliki kekuatan TNI Angkatan Laut yang mampu mengamankan kepentingan
nasional yang terkait dengan domain maritim. Dengan memiliki kekuatan TNI Angkatan
Laut yang demikian, implikasi negatif dinamika geopolitik terhadap stabilitas kawasan
dapat diminimalkan sekaligus memperkuat posisi tawar Indonesia dalam percaturan
kawasan sekaligus dapat berkontribusi positif terhadap ekonomi Indonesia melalui
kemampuan TNI Angkatan Laut mengamankan SLOC Indonesia di dalam wilayah
yurisdiksi maupun di luar wilayah yurisdiksi serta mengamankan sumberdaya laut di
wilayah perairan yurisdiksi.

20

Daftar Referensi:
1.
RM Sunardi, Geopolitik dan Geostrategi Indonesia: Pembinaan Ketahanan
Nasional, PT Kuarternita Adidharma, Jakarta, 2004.
2.
Sam J. Tangredi, Globalization and Maritime Power, National Defense University,
Washington, 2000.
3.
White House, US National Security Strategy 2010.
4.
Commonwealth of Australia, Defending Australia In The Asia Pacific Century:
Force 2030.
5.
Indian Ministy of Defence, Freedom to use the Seas: Indias Maritime Military
Strategy, 2008.
6.
Departemen Pertahanan RI, Strategi Pertahanan Negara, 2007.
7.
Prof Muladi dan Kazan Gunawan, Transformasi Geopolitik, Pusat Pengkajian
Strategi Nasional, Jakarta, 2007.
8.
US Department of Defense, Annual Report to Congress: Military Power of the
Peoples Republic of China 2009.
9.
Geoffrey Till, Seapower: A Guide for the Twenty First Century, Second Ed,
Routledge, New York, 2010
10.
US Naval War College, US, China and Maritime Cooperation, Newport, 2010.

21

Anda mungkin juga menyukai